Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Chapter 20

A Agus langsung bangkit dari atas tubuhku. Kami dengan tergesa gesa memakai pakaian yang berserakan di mana mana. Kami seperti berpakaian lengkap dan tentu saja pemenangnya adalah A Agus.

"Yuk kita keluar...!" ajak A Agus begitu kami selesai berpakaian.

Begitu A Agus membuka pintu kamar, kami melihat 2 orang pria berbeda usia. Seorang pria berusia kurang lebih 40 tahun yang wajahnya benar benar mirip dengan A Agus. Mungkin dia adalah Pak Jalu. Dan yang membuatku terkejut pria yang satunya ternyata Satria. Apa Satria adalah anak Pak Jalu?

Dimulai oleh A Agus yang mencium tangan Pak Jalu dan .enyalami Satria, kami mengikuti apa yang dilakukan A Agus.

"Kamu Agus?" tanya Pak Jalu, tatapan matanya sangat tajam tapi anehnya tidak menakutkan. Wajahnya memancarkan kharisma yang membuat takluk lawan bicaranya.

"Iy iyyya, Pak..!" A Agus terlihat gugup menjawab pertanyaan Pak Jalu. Apakah benar Pak Jalu adalah ayah A Agus? Sesekali aki melirik ke arah Satria yang juga ikut melirikku.

"Kamu anaknya Rini?" tanya Pak Jalu lagi. Rini? Apakah A Agus bukan anak ibuku?

"Benar, saya anak ibu Rini alias Hajjah Ijah." kata Agus membuatku mengerti. Ternyata Rini adalah nama ibuku. Tapi kenapa aku baru tahu sekarang.

"Aku ingin bicara denganmu empat mata, tapi bukan di sini. Kamu ikut aku..!" kata Pak Jalu seperti sebuah perintah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun yang mendengarnya.

"Tunggu, saya mau mengambil sesuatu.?" kata A Agus tanpa menunggu jawaban dia masuk kamar tempatnya menginap. Tidak lama kemudia A Agus keluar dengan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat dan menyerahkannya ke Pak Jalu.

"Ayo kita berangkat. Satria, dan siapa nama kalian?" tanya Pak Jalu yang sudah pasti ditujukan kepadaku dan Ecih.

"Saya Kokom dan teman saya Ecih..?" kataku memperkenalkan diri.

"Wajah kamu persis wajah ibu Kamu. Panggil aku Mang Jalu, karena adik ibumu adalah istriku." kata Pak Jalu membuatku heran. Ibu selalu mengatakan bahwa dia sebatang kara. Ibu ternyata banyak menyimpan rahasia, termasuk nama aslinya Rini. Jangan jangan yang membunuh ayahku adalah ibu. Aku langsung mengucapkan istighfar karena berpikir ibuku adalah pembunuh ayahku.

"Iy iya Mang..!" kataku senang setelah sekian lama ahirnya aku punya saudara. Aku ingin tahu wajah bibiku seperti apa.

"Ya sudah, kalian aku tinggal di simi dulu. Satria, kamu jaga adik adikmu ini." kata Jalu berpamitan meninggalkan kami bertiga di rumah yang besar ini.

"A Satria, Mang Jalu itu ayah A Satria, bukan?" tanyaku setelah tinggal kami bertiga di rumah ini.

"Bukan, uwanya istriku." kata Satria. Mendengar Satria punua istri, entah kenapa aku jadi kecewa.

"Och A Satria sudah punya istri, pantesan udah pengalaman ritual." kata Ecih sambil tersenyum genit ke arah Satria. Aku langsung mencubit paha Ecih yang kegenitan.

"Kalian ke sini mau ritual lagi, bukan?" tanya Satria terlihat serius. Membuatnya semakin tampan berwibawa. Hatiku agak berdesir melihatnya.

"Iya, aku mau ritual...?" jawab kami berbarengan. Aku terkejut dengan jawabanku yang spontan dan menjadi malu sendiri.

"Kokom juga mau ritual?" tanya Satria heran dengan jawabanku yang spontan dan kali ini aku tidak langsung menjawabnya karena malu. Bagaimana mungkin gadis belia dan selalu menutup auratnya mau melakukan ritual mesum yang haram

"Iya, Kokom mau ritual seperti Ecih dulu." kata Ecih yang mewakiliku menjawab pertanyaan Satria sedangkan aku hanya mengangguk lemah karena malu.

"Niatnya apa, Kom?" tanya Satria penasaran.

"Kokom pengen bisa nemuin pembunuh ayah, Kokom." kataku sedih mengingat kematian ayahku yang tragis. Aku belum melakukan penyelidikan sudah disibukkan mencari Ecih yang kabur dan sekarang malah dilempar ke Gunung Kemukus oleh ibu. Apa yang sebenarnya terjadi membuatku semakin bingung

"Aa Satria mau bantuin Kpkom ritual?" tanya Ecih seperti comblang membuatku semakin merasa malu.

"Ecih...!" kataku mendelik ke arah Ecih yang hanya tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Gak apa apa, Kom. Dari pada kamu ritual dengan kakak kandung, disanya dobel." kata Ecih dengan argumen sederhananya yang memang benar.

"Kita ziarah yuk..!" ajak Satria yang terlihat sangat antusias. Dasar lelaki di mana saja kalo urusan memek pasti sangat bersemangat.

"Yuk Kom, kamukan belum ziarah..?" kata Ecih menarik tanganku agar berdiri.

Tanpa dipaksapun aku akan berdiri karena dari kemarin tekadku sudah bulat untuk melepaskan perawanku untuk A Agus. Tapi nasib malah mempertemukanku dengan Satria, itu malah lebih baik. Aku tidak perlu melakukan hubjngan sex sedarah. Dengan hilangnya keperawananku, aku akan lebih leluasa mencari pembunuh ayahku. Aku heran, apa hubjngannya keperawanan dengan mencari pembunuh ayahku.

Satria menggandeng tanganku tanpa penolakan. Hatiku berdesir merasakam kehangatan tangan Satria. Aku melihat Ecih yang terlihat senang melihat keakrabanku dengan Satria. Kehangatan yang spontan.

"Kalau Kokom ritual dengan Satria, Ecih sama A Agus gak ada yang ganggu." kata Ecih berbisik dan aku paham kenapa Ecih menjadi comblang dadakan untukku dan Satria.

Ternyata Satria mengajakku ke sebuah ruangan seperti tempat pemandian umum, ada tulisan besar di tembok SENDANG ONTROWULAN, aku belum pernah ke tempat ini. Aku menoleh ke arah Ecih.

"Kamu tadi ke sini gak sama A Agus?" tanyaku.

"Iya, tadi Ecih mandi di sini sama A Agus." kat Ecih mengiyakan pertanyaanku.

Satria membeli kembang dan menyan, sepertinya dia sangat tahu dengan tahapan prosesi ritual yang akan dilakukannya. Satria mengajakku masuk ke dalam kamar mandi, ada sebuah sumur yang tidak terlalu dalam karena aku sempat melihat ke dalam sumur.

"Ini namanya Sendang Ontriwulan. Buka bajunya kita mamdi bareng." kata Satria yang segera membuka pakaiannya hingga bugil. Aku terbelalak melihat ke arah selangkangan Satria yang masih kemas tapi sangat panjang dan besar. Apa kontol ini yang akan menjebol perawanku. Kontol yang sudah menjebol keperawanan Ecih sahabatku.

"Kok malah bengong? Ayo buka baju...!" kata Satria mengagetkanku dan menyadarkan keterpesonaanku dengan ukuran kontol Satria. Aku mulai membuka pakaianku. Rasa maluku sudah hilang karena aku mulai terbiasa berbugil ria di hadapan pria. Dimulai dari Mang Ikat, Mang Gandhi dan A Agus. Berarti Satria menjadi pria ke empat yang beruntung melihat keindahan tubuh bugilku.

"Payudara kamu indah sekali...!" gumam Satria meraba payudaraku dengan keras seakan akan ingin merasakan kekenyalannya. Remasannya yang kasar justru membuatku sangat menikmatinya dibandingkan remasan lembut.

"Aduhhhhh, ennnak..!" tanpa sadar aku mengatakan apa yang kurasakan.

"Kok kamu gak kesakitan?" tanya Satria heran karena aku justru menikmati remasannya yang keras.

"Gak tahu, Kokom suka kalo diremes kenceng, lebih kerasa..!" jawabku menunduk malu dengan kelainanku. Mungkin karena sifat ibu yang menurun padaku.

"Ya sudah kita mandi dulu..!" kata Satria mengambil ember timba untu mengambil air Sendang mengisi ember kosong yang ukurannya kebih besar dari ember yang digunakan sebagai timba. Setelah ember terisi penuh, Satria menaburkan kembang di diember lalu menoleh ke arahku.

"Kamu jongkok, biar aku mandiin...!" kata Satria yang aku turuti kemauannya. Berjongkok di samping ember. Satria mengguyur kepalaku dengan air Sendang yang penuh kembang. Dalam sekejap air dalam ember sudah habis. Aku berdiri dan jadi bingung karena tidak ada handuk untuk melap tubuh dab rambutku yang basah kuyup.

"Kokom lupa bawa handuk...!" kataku ke Satria yang sibuk mengisi air ke ember dan menaburkan bunga ke dalam ember yang terusi penuh.

"Kata Pak Jalu mandi di sini gak boleh bawa handuk, biar kekuatannya meresap ke tubuh kita." kata Satria menerangkan."gantian, sekarang kamu mandiun aku." kata Satria berjongkok menghadap ke arahku. Berbeda denganku yang berjongkok membelakanginya. Mungkin karena aku masih agak malu.

"Kokom gak tau jampi jampinya..!" kataku bingung harus membaca apa.

"Baca bismillah aja..!" kata Satria menerangkan.

Aku segera memandikan Satria sambil menahan tawa. Aku seperti dukun yang sedang memandikan pasiennya. Satria terlihat begitu husu menjalani prosesi ritual dengan akunsebagai dukunnya hingga teyes air yang terahir jatuh menimpa kepalanya.

"Sudah selesai." kataku merasa malu setelah menyadari arah pandangan mata Satria yang tertuju ke memekku, memek seorang gadis yang baru saja menginjak usia 18 tahu. Memek yang belum ditumbuhi bulu sama sekali.

"Memek kamu bagus sekali..!" kata Satria sambil meremas memekku tanpa ijin. Pelecehan yang dilakukannya membuatku semakin terangsang.

"Achhhh, udah yuk A. Nanti ada orang...!" kataku berusaha mengingatkannya, ini adalah tempat umum.

Kami kembali berpakaian walau aku merasa tidak nyaman karena tubuhku masih basah, terutama rambutku yang panjang masih meneteskan air yang membasahi jilbab dan bajuku. Tapi ini situasi darurat dan mungkin dialami mayoritas peziarah yang datang terutama kaum wanitanya.

Selesai sudah prosesi mandi kembang di Sendang Ontrowulan Satria kembali menggandengku ke makam Pangeran Samudra yang terletak di puncak Bukit Kemukus. Sepanjang jalan aku tidak berani melihat kiri kanan jalan yang dipenuhi warung. Mereka tentu menganggapku perempuan murahan yang bisa diajak macam macam. Biarlah anggapan itu berada di kepala mereka, tltoh tidak ada yang aku kenal di sini.

Singkat cerita, kami selesai melakukan ziarah di makam Pangeran Samudra, makan yang terlihat mewah dan berada di dalam bangunan besar. Ahirnya kami kembali ke rumah Pak Jalu dan ternyata A Agus belum juga kembali. Ke mana mereka.

"Eh Satria, kapan kamu datang..?" tiba tiba dari arah dapur keluar seorang wanita cantik dengan rambut di potong pendek. Payudaranya besar sekali yerlihat menonjol di balik kaos yang dipakainya. Ternyata ada wanita yang payudaranya lebih besar dari pada punya ibu dan wanita itu terlihat bangga dengan ukuran payudarannya.

"Mbak Ratih, kapan datang? Satria tadi datang dengan Pak Jalu." kata Satria yang langsung menyalami wanita yang sudah dikenalnya itu.

"Baru sampai. Mereka siapa?" tanya wanita yang bernama Mbak Ratih itu kepadaku dan Ecih.

"Saya Kokom, Mbak..!" kataku sambil mencium tangan wanuta itu dan kemuduan diikuti Ecih yang juga memperkenalkan dirinya.

"Kalian habis ziarah ya?" tanya Mbak Ratih dan kami mengiyakannya berbarengan.

"Ratih, kapan kamu datang?" tanya Pak Jalu yang tiba tiba muncul diiringi A Agus yang berjalan di belakangnya.

"Baru sampe, Pakdhe. Ini siapa Pakdhe?" tanya Mbak Ratih kaget melihat A Agus. Mungkin karena wajah A Agus dan Pak Jalu yang sangat mirip seperti pinang dibelah dua. Satu satunya yang berbeda adalah usianya.

"Ini namanya Agus, anak Pakdhe..!" kata Jalu memperkenalkan A Agus ke .Mbak Ratih.

"Och...!" hanya itu yang dikatakan Mbak Ratih, sepertinya dia tidak merasa heran Pak Jalu tiba tiba punya seorang anak.

"Kalian habis mandi di Sendang dan ziarah, ya?" tanya Pak Jalu kepada kami. Aku heran dari mana dia tahu kami habis ziarah. Padahal dia baru sampai.

"Kok Pakdhe tahu?" tanya Satria heran. Seperti halnya denganku.

"Hahaha, tahulah. Jilbab dan baju bagian punggung Kokom terlihat basah..!" kata Pak Jalu membuaku sadar akan kebodohanku. Tentu saja hal sekecil ini sangat mudah ditebak, aku mengagumi kejelian Pak Jalu.

Untuk menyelidiki jematian ayahku, aku harus mempunyai kejelian seperti itu. Hal yang terlihat kecil dan remeh mungkin bisa memberi petunjuk yang sangat menentukan.

"Kalian ke sinj bukan hanya sekedar main, tapi kalian juga pasti sangat ungin melakukan ritual dan ritual yang dilakukan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Harus ada tata caranya agar keinginan kalian bisa terwujud. Kalau semuanya dilakukan secara sembarangan, ritual kalian akan sia sia." kata Pak Jalu menerangkan panjang lebar.

"Jadi kami harus bagaimana, Pak?" tanya A Agus mewakili apa yang ingin kami tanyakan.

"Kalian harus ritual dengan orang yang sudah mengerti ilmunya dan membuktikannya. Karena ritual bukan hanya sekedar melakukan hubungan sex belaka." kata Pak Jalu belum juga memberi tahu tata cara agr ritual kami bisa berhasil dan sukses.

"Jadi menuruk anda, baiknya bagaiman?" kembali A Agus bertanya mewakili kami yang semakin penasaran.

"Bagaimana aku yang akan memilih pasangan kalian agar ritual kalian berjalan sempurna?" Pak Jalu malah bertanya kepada kami. Entah apa maksudnya dengan memilihkan kami pasngan ritual.

Aku memandang A Agus dan juga Ecih. Merwka juga menatapku seperti bingung dengan tawaran Pak Jalu. Di ruangan ini ada tiga wanita, aku, Ecih dan Mbak Ratih. Sementara prianya juga ada tiga, A Agus, Satria dan Pak Jalu. Kalau Pak Jalu yang akan menentukan pasangan kami, maka komposisinyang sudah terjadi akan kembali berubah. A Agus terlihat bingung untuk mengambil keputusan karena aku dan Ecih akan mengikuti keputusan A Agus.

"Saya setuju..!" kata A Agus. Keputusan yang menurutku sangat tepat karena Pak Jalu pasti tahu apa yang terbaik untuk kami.

"Kamu Kom dan Ecih, apa kalian stuju?" tanya Pak Jalu membuatku merasa sangat dihargai.

"Saya setuju.." aku dan Ecih menjawab berbarengan.

"Kalau kamu Satria dan Ratih?" tanya Pak Jalu kembali bertanya ke Satria dan Mbak Ratih, ternyata merekapun sangat setuju seperti kami bertiga.

"Agus, kamu berpasangan dengan Ratih. Ratih lahir di sini, jadi dia sangat mengerti dengan tata cara ritual disini." kata Pak Jalu, aku yakin A Agus pasti mau berpasangan dengan wanita secantik Mbak Ratih, terlebih payudaranya yang besar adalh selera A Agus.

"Kamu Satria..!" kata Pak Jalu menoleh je arah Satria yang sedang asik bermain hp. Jantungku berdegup kencang nama Satria disebut. Mungkin dia benar benar ditakdirkan untuk menjebol keperawananku.

"Iya. Maaf, saya balas pesan dari ibu." kata Satria.

"Kamu bimbing Ecih buat ritual bersama kamu." kata Pak Jalu memupuskan harapanku. Ternyata bukan Satria yang ditakdirkan menjebol perawanku. Tapi.....

Bersambung
 
Terakhir diubah:
Chapter 20

A Agus langsung bangkit dari atas tubuhku. Kami dengan tergesa gesa memakai pakaian yang berserakan di mana mana. Kami seperti berpakaian lengkap dan tentu saja pemenangnya adalah A Agus.

"Yuk kita keluar...!" ajak A Agus begitu kami selesai berpakaian.

Begitu A Agus membuka pintu kamar, kami melihat 2 orang pria berbeda usia. Seorang pria berusia kurang lebih 40 tahun yang wajahnya benar benar mirip dengan A Agus. Mungkin dia adalah Pak Jalu. Dan yang membuatku terkejut pria yang satunya ternyata Satria. Apa Satria adalah anak Pak Jalu?

Dimulai oleh A Agus yang mencium tangan Pak Jalu dan .enyalami Satria, kami mengikuti apa yang dilakukan A Agus.

"Kamu Agus?" tanya Pak Jalu, tatapan matanya sangat tajam tapi anehnya tidak menakutkan. Wajahnya memancarkan kharisma yang membuat takluk lawan bicaranya.

"Iy iyyya, Pak..!" A Agus terlihat gugup menjawab pertanyaan Pak Jalu. Apakah benar Pak Jalu adalah ayah A Agus? Sesekali aki melirik ke arah Satria yang juga ikut melirikku.

"Kamu anaknya Rini?" tanya Pak Jalu lagi. Rini? Apakah A Agus bukan anak ibuku?

"Benar, saya anak ibu Rini alias Hajjah Ijah." kata Agus membuatku mengerti. Ternyata Rini adalah nama ibuku. Tapi kenapa aku baru tahu sekarang.

"Aku ingin bicara denganmu empat mata, tapi bukan di sini. Kamu ikut aku..!" kata Pak Jalu seperti sebuah perintah yang tidak bisa ditolak oleh siapapun yang mendengarnya.

"Tunggu, saya mau mengambil sesuatu.?" kata A Agus tanpa menunggu jawaban dia masuk kamar tempatnya menginap. Tidak lama kemudia A Agus keluar dengan membawa sebuah amplop besar berwarna coklat dan menyerahkannya ke Pak Jalu.

"Ayo kita berangkat. Satria, dan siapa nama kalian?" tanya Pak Jalu yang sudah pasti ditujukan kepadaku dan Ecih.

"Saya Kokom dan teman saya Ecih..?" kataku memperkenalkan diri.

"Wajah kamu persis wajah ibu Kamu. Panggil aku Mang Jalu, karena adik ibumu adalah istriku." kata Pak Jalu membuatku heran. Ibu selalu mengatakan bahwa dia sebatang kara. Ibu ternyata banyak menyimpan rahasia, termasuk nama aslinya Rini. Jangan jangan yang membunuh ayahku adalah ibu. Aku langsung mengucapkan istighfar karena berpikir ibuku adalah pembunuh ayahku.

"Iy iya Mang..!" kataku senang setelah sekian lama ahirnya aku punya saudara. Aku ingin tahu wajah bibiku seperti apa.

"Ya sudah, kalian aku tinggal di simi dulu. Satria, kamu jaga adik adikmu ini." kata Jalu berpamitan meninggalkan kami bertiga di rumah yang besar ini.

"A Satria, Mang Jalu itu ayah A Satria, bukan?" tanyaku setelah tinggal kami bertiga di rumah ini.

"Bukan, uwanya istriku." kata Satria. Mendengar Satria punua istri, entah kenapa aku jadi kecewa.

"Och A Satria sudah punya istri, pantesan udah pengalaman ritual." kata Ecih sambil tersenyum genit ke arah Satria. Aku langsung mencubit paha Ecih yang kegenitan.

"Kalian ke sini mau ritual lagi, bukan?" tanya Satria terlihat serius. Membuatnya semakin tampan berwibawa. Hatiku agak berdesir melihatnya.

"Iya, aku mau ritual...?" jawab kami berbarengan. Aku terkejut dengan jawabanku yang spontan dan menjadi malu sendiri.

"Kokom juga mau ritual?" tanya Satria heran dengan jawabanku yang spontan dan kali ini aku tidak langsung menjawabnya karena malu. Bagaimana mungkin gadis belia dan selalu menutup auratnya mau melakukan ritual mesum yang haram

"Iya, Kokom mau ritual seperti Ecih dulu." kata Ecih yang mewakiliku menjawab pertanyaan Satria sedangkan aku hanya mengangguk lemah karena malu.

"Niatnya apa, Kom?" tanya Satria penasaran.

"Kokom pengen bisa nemuin pembunuh ayah, Kokom." kataku sedih mengingat kematian ayahku yang tragis. Aku belum melakukan penyelidikan sudah disibukkan mencari Ecih yang kabur dan sekarang malah dilempar ke Gunung Kemukus oleh ibu. Apa yang sebenarnya terjadi membuatku semakin bingung

"Aa Satria mau bantuin Kpkom ritual?" tanya Ecih seperti comblang membuatku semakin merasa malu.

"Ecih...!" kataku mendelik ke arah Ecih yang hanya tersenyum tanpa merasa bersalah.

"Gak apa apa, Kom. Dari pada kamu ritual dengan kakak kandung, disanya dobel." kata Ecih dengan argumen sederhananya yang memang benar.

"Kita ziarah yuk..!" ajak Satria yang terlihat sangat antusias. Dasar lelaki di mana saja kalo urusan memek pasti sangat bersemangat.

"Yuk Kom, kamukan belum ziarah..?" kata Ecih menarik tanganku agar berdiri.

Tanpa dipaksapun aku akan berdiri karena dari kemarin tekadku sudah bulat untuk melepaskan perawanku untuk A Agus. Tapi nasib malah mempertemukanku dengan Satria, itu malah lebih baik. Aku tidak perlu melakukan hubjngan sex sedarah. Dengan hilangnya keperawananku, aku akan lebih leluasa mencari pembunuh ayahku. Aku heran, apa hubjngannya keperawanan dengan mencari pembunuh ayahku.

Satria menggandeng tanganku tanpa penolakan. Hatiku berdesir merasakam kehangatan tangan Satria. Aku melihat Ecih yang terlihat senang melihat keakrabanku dengan Satria. Kehangatan yang spontan.

"Kalau Kokom ritual dengan Satria, Ecih sama A Agus gak ada yang ganggu." kata Ecih berbisik dan aku paham kenapa Ecih menjadi comblang dadakan untukku dan Satria.

Ternyata Satria mengajakku ke sebuah ruangan seperti tempat pemandian umum, ada tulisan besar di tembok SENDANG ONTROWULAN, aku belum pernah ke tempat ini. Aku menoleh ke arah Ecih.

"Kamu tadi ke sini gak sama A Agus?" tanyaku.

"Iya, tadi Ecih mandi di sini sama A Agus." kat Ecih mengiyakan pertanyaanku.

Satria membeli kembang dan menyan, sepertinya dia sangat tahu dengan tahapan prosesi ritual yang akan dilakukannya. Satria mengajakku masuk ke dalam kamar mandi, ada sebuah sumur yang tidak terlalu dalam karena aku sempat melihat ke dalam sumur.

"Ini namanya Sendang Ontriwulan. Buka bajunya kita mamdi bareng." kata Satria yang segera membuka pakaiannya hingga bugil. Aku terbelalak melihat ke arah selangkangan Satria yang masih kemas tapi sangat panjang dan besar. Apa kontol ini yang akan menjebol perawanku. Kontol yang sudah menjebol keperawanan Ecih sahabatku.

"Kok malah bengong? Ayo buka baju...!" kata Satria mengagetkanku dan menyadarkan keterpesonaanku dengan ukuran kontol Satria. Aku mulai membuka pakaianku. Rasa maluku sudah hilang karena aku mulai terbiasa berbugil ria di hadapan pria. Dimulai dari Mang Ikat, Mang Gandhi dan A Agus. Berarti Satria menjadi pria ke empat yang beruntung melihat keindahan tubuh bugilku.

"Payudara kamu indah sekali...!" gumam Satria meraba payudaraku dengan keras seakan akan ingin merasakan kekenyalannya. Remasannya yang kasar justru membuatku sangat menikmatinya dibandingkan remasan lembut.

"Aduhhhhh, ennnak..!" tanpa sadar aku mengatakan apa yang kurasakan.

"Kok kamu gak kesakitan?" tanya Satria heran karena aku justru menikmati remasannya yang keras.

"Gak tahu, Kokom suka kalo diremes kenceng, lebih kerasa..!" jawabku menunduk malu dengan kelainanku. Mungkin karena sifat ibu yang menurun padaku.

"Ya sudah kita mandi dulu..!" kata Satria mengambil ember timba untu mengambil air Sendang mengisi ember kosong yang ukurannya kebih besar dari ember yang digunakan sebagai timba. Setelah ember terisi penuh, Satria menaburkan kembang di diember lalu menoleh ke arahku.

"Kamu jongkok, biar aku mandiin...!" kata Satria yang aku turuti kemauannya. Berjongkok di samping ember. Satria mengguyur kepalaku dengan air Sendang yang penuh kembang. Dalam sekejap air dalam ember sudah habis. Aku berdiri dan jadi bingung karena tidak ada handuk untuk melap tubuh dab rambutku yang basah kuyup.

"Kokom lupa bawa handuk...!" kataku ke Satria yang sibuk mengisi air ke ember dan menaburkan bunga ke dalam ember yang terusi penuh.

"Kata Pak Jalu mandi di sini gak boleh bawa handuk, biar kekuatannya meresap ke tubuh kita." kata Satria menerangkan."gantian, sekarang kamu mandiun aku." kata Satria berjongkok menghadap ke arahku. Berbeda denganku yang berjongkok membelakanginya. Mungkin karena aku masih agak malu.

"Kokom gak tau jampi jampinya..!" kataku bingung harus membaca apa.

"Baca bismillah aja..!" kata Satria menerangkan.

Aku segera memandikan Satria sambil menahan tawa. Aku seperti dukun yang sedang memandikan pasiennya. Satria terlihat begitu husu menjalani prosesi ritual dengan akunsebagai dukunnya hingga teyes air yang terahir jatuh menimpa kepalanya.

"Sudah selesai." kataku merasa malu setelah menyadari arah pandangan mata Satria yang tertuju ke memekku, memek seorang gadis yang baru saja menginjak usia 16 tahu. Memek yang belum ditumbuhi bulu sama sekali.

"Memek kamu bagus sekali..!" kata Satria sambil meremas memekku tanpa ijin. Pelecehan yang dilakukannya membuatku semakin terangsang.

"Achhhh, udah yuk A. Nanti ada orang...!" kataku berusaha mengingatkannya, ini adalah tempat umum.

Kami kembali berpakaian walau aku merasa tidak nyaman karena tubuhku masih basah, terutama rambutku yang panjang masih meneteskan air yang membasahi jilbab dan bajuku. Tapi ini situasi darurat dan mungkin dialami mayoritas peziarah yang datang terutama kaum wanitanya.

Selesai sudah prosesi mandi kembang di Sendang Ontrowulan Satria kembali menggandengku ke makam Pangeran Samudra yang terletak di puncak Bukit Kemukus. Sepanjang jalan aku tidak berani melihat kiri kanan jalan yang dipenuhi warung. Mereka tentu menganggapku perempuan murahan yang bisa diajak macam macam. Biarlah anggapan itu berada di kepala mereka, tltoh tidak ada yang aku kenal di sini.

Singkat cerita, kami selesai melakukan ziarah di makam Pangeran Samudra, makan yang terlihat mewah dan berada di dalam bangunan besar. Ahirnya kami kembali ke rumah Pak Jalu dan ternyata A Agus belum juga kembali. Ke mana mereka.

"Eh Satria, kapan kamu datang..?" tiba tiba dari arah dapur keluar seorang wanita cantik dengan rambut di potong pendek. Payudaranya besar sekali yerlihat menonjol di balik kaos yang dipakainya. Ternyata ada wanita yang payudaranya lebih besar dari pada punya ibu dan wanita itu terlihat bangga dengan ukuran payudarannya.

"Mbak Ratih, kapan datang? Satria tadi datang dengan Pak Jalu." kata Satria yang langsung menyalami wanita yang sudah dikenalnya itu.

"Baru sampai. Mereka siapa?" tanya wanita yang bernama Mbak Ratih itu kepadaku dan Ecih.

"Saya Kokom, Mbak..!" kataku sambil mencium tangan wanuta itu dan kemuduan diikuti Ecih yang juga memperkenalkan dirinya.

"Kalian habis ziarah ya?" tanya Mbak Ratih dan kami mengiyakannya berbarengan.

"Ratih, kapan kamu datang?" tanya Pak Jalu yang tiba tiba muncul diiringi A Agus yang berjalan di belakangnya.

"Baru sampe, Pakdhe. Ini siapa Pakdhe?" tanya Mbak Ratih kaget melihat A Agus. Mungkin karena wajah A Agus dan Pak Jalu yang sangat mirip seperti pinang dibelah dua. Satu satunya yang berbeda adalah usianya.

"Ini namanya Agus, anak Pakdhe..!" kata Jalu memperkenalkan A Agus ke .Mbak Ratih.

"Och...!" hanya itu yang dikatakan Mbak Ratih, sepertinya dia tidak merasa heran Pak Jalu tiba tiba punya seorang anak.

"Kalian habis mandi di Sendang dan ziarah, ya?" tanya Pak Jalu kepada kami. Aku heran dari mana dia tahu kami habis ziarah. Padahal dia baru sampai.

"Kok Pakdhe tahu?" tanya Satria heran. Seperti halnya denganku.

"Hahaha, tahulah. Jilbab dan baju bagian punggung Kokom terlihat basah..!" kata Pak Jalu membuaku sadar akan kebodohanku. Tentu saja hal sekecil ini sangat mudah ditebak, aku mengagumi kejelian Pak Jalu.

Untuk menyelidiki jematian ayahku, aku harus mempunyai kejelian seperti itu. Hal yang terlihat kecil dan remeh mungkin bisa memberi petunjuk yang sangat menentukan.

"Kalian ke sinj bukan hanya sekedar main, tapi kalian juga pasti sangat ungin melakukan ritual dan ritual yang dilakukan tidak bisa dilakukan dengan sembarangan. Harus ada tata caranya agar keinginan kalian bisa terwujud. Kalau semuanya dilakukan secara sembarangan, ritual kalian akan sia sia." kata Pak Jalu menerangkan panjang lebar.

"Jadi kami harus bagaimana, Pak?" tanya A Agus mewakili apa yang ingin kami tanyakan.

"Kalian harus ritual dengan orang yang sudah mengerti ilmunya dan membuktikannya. Karena ritual bukan hanya sekedar melakukan hubungan sex belaka." kata Pak Jalu belum juga memberi tahu tata cara agr ritual kami bisa berhasil dan sukses.

"Jadi menuruk anda, baiknya bagaiman?" kembali A Agus bertanya mewakili kami yang semakin penasaran.

"Bagaimana aku yang akan memilih pasangan kalian agar ritual kalian berjalan sempurna?" Pak Jalu malah bertanya kepada kami. Entah apa maksudnya dengan memilihkan kami pasngan ritual.

Aku memandang A Agus dan juga Ecih. Merwka juga menatapku seperti bingung dengan tawaran Pak Jalu. Di ruangan ini ada tiga wanita, aku, Ecih dan Mbak Ratih. Sementara prianya juga ada tiga, A Agus, Satria dan Pak Jalu. Kalau Pak Jalu yang akan menentukan pasangan kami, maka komposisinyang sudah terjadi akan kembali berubah. A Agus terlihat bingung untuk mengambil keputusan karena aku dan Ecih akan mengikuti keputusan A Agus.

"Saya setuju..!" kata A Agus. Keputusan yang menurutku sangat tepat karena Pak Jalu pasti tahu apa yang terbaik untuk kami.

"Kamu Kom dan Ecih, apa kalian stuju?" tanya Pak Jalu membuatku merasa sangat dihargai.

"Saya setuju.." aku dan Ecih menjawab berbarengan.

"Kalau kamu Satria dan Ratih?" tanya Pak Jalu kembali bertanya ke Satria dan Mbak Ratih, ternyata merekapun sangat setuju seperti kami bertiga.

"Agus, kamu berpasangan dengan Ratih. Ratih lahir di sini, jadi dia sangat mengerti dengan tata cara ritual disini." kata Pak Jalu, aku yakin A Agus pasti mau berpasangan dengan wanita secantik Mbak Ratih, terlebih payudaranya yang besar adalh selera A Agus.

"Kamu Satria..!" kata Pak Jalu menoleh je arah Satria yang sedang asik bermain hp. Jantungku berdegup kencang nama Satria disebut. Mungkin dia benar benar ditakdirkan untuk menjebol keperawananku.

"Iya. Maaf, saya balas pesan dari ibu." kata Satria.

"Kamu bimbing Ecih buat ritual bersama kamu." kata Pak Jalu memupuskan harapanku. Ternyata bukan Satria yang ditakdirkan menjebol perawanku. Tapi.....

Bersambung
Keeeeennntaaaaaannggg
 
Yeeessssss.... Bener kaaann.. Nggak ketebak.. Yang penting bukan Satria. Terlalu mainstream (pria tampan dan wanita cantik).

Jalu itu orangnya pro, saya jamin Kokom pasti puas, dan tititnya pasti guueeeedeee... Tetek kokom juga gueeedeeee.. Perfect banget lah. Kalau jadi anak pasti kalau cowo tititnya gede, dan kalau cewe teteknya gede. Perfect? Bangeeettt!

Incest? Aaaahhh.. Itu mah belakangan aja, kom. Sabar. Incest mah ga usah harus ambil perawan. Sudah lepas perawan juga masih taboo, kok. Asal crotttt di dalam, bunting, anak fix cacat, deh. Secara, incest kan memang 'kelebihannya' begitu.

Lanjut kom... Crooottt ahhh...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd