Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Wanita Yang Menutup Aurat

Status
Please reply by conversation.
Chapter 37



Ada Satria disini, mengingatkanku dengan pengalaman pertama ke Gunung Kemukus, pria yang sudah merenggut perawan Ecih, pria kedua yang merasakan kenikmatan jepitan memekku.

"Kamu kenapa, Kom?" tanya Ustadzah Aisyah yang melihatku gelisah. Tentu dia tidak tahu nama Jalu dan Satria sangat membekas dalam ingatanku. Mang Jalu yang sudah berhasil mendapatkan keperawananku dan Satria yang juga pernah memberiku kepuasan yang sulit aku lupakan.

"Nggak apa apa, Teh." jawabku menunduk, kegelisahanku semakin terasa saat mendengar langkah kaki yang mendekat dari salah satu pintu yang entah menuju ke mana. Tempat ini sangat aneh, ada 4 pintu yang berjajar seperti sebuah kamar. Aku tidak melihat adanya ruangan keluarga atau sejenisnya.

Sebuah pintu terbuka, membuat kami semua menoleh ke arah pintu yang terbuka, Mang Jalu keluar dari dalam. Sekilas aku melihat sebuah lorong panjang dari balik pintu yang segera ditutup oleh Mang Jalu, benar benar tempat yang aneh dan mencurigakan.

"Rini, ada berita apa sampai kalian datang ke sini?" tanya Mang Jalu mengulurkan tangan mengajak Ibuku bersalaman. Lalu bergantian ke arah Teh Aisyah yang hanya merapatkan kedua tangannya di depan dada tanpa bersentuhan kulit. Sedangkan aku dan Imron mencium tangan Mang Jalu.

"Duduk..!" kata Mang Jalu mempersilahkan kami duduk di kursi layaknya ruang tamu pada umumnya, tapi tetap saja aku merasakan ada yang janggal dengan ruang tamu ini, ruang tamu teraneh yang aku masuki. Ini seperti ruangan luas dengan empat buah pintu yang kemungkinan adalah kamar kecuali pintu tempat Mang Jalu dan Bu Lilis keluar, aku melihat lorong panjang yang entah menuju ke mana.

"Saya ke sini mau memberitahu keadaan Agus, dia ditangkap polisi karena dituduh sudah membunuh almarhum suamiku." kata Emak memulai percakapan langsung pada tujuannya, dia tidak mau menunda waktu.

Aneh, kenapa Bu Lilis dan Mang Jalu terlihat tenang mendengar kabar A Agus ditangkap Polisi, bukankah A Agus adalah anak mereka yang sengaja diculik emak dan almarhum ayahku. Tapi kenapa mereka begitu tenang menghadapi berita ini. Wajah mereka tanpa ekspresi.

"Nanti kita bicarakan hal itu, kalian pasti lelah. Bagaimana kalau untuk sementara waktu kalian menginap di rumah Ratna?" tanya Pak Jalu membuatku semakin heran, kenapa dia seperti menghindar dari masalah yang sedang dihadapi A Agus? Benar benar aneh.

"Terserah Kang Jalu..!" kata Emak terlihat sedih, perjalanan kami seperti sia sia. Bahkan Bu Lilis yang seharusnya lebih peka, sejak kedatangan Mang Jalu tidak bicara sepatah katapun.

Sepertinya Pak Jalu tidak mau kami berlama lama disini, dia langsung mengajak kami pergi ke rumah Bu Ratna yang menurut cerita Emak adalah adik satu ayah.

"Kang, bagaimana masalah Agus, Kang Jalu akan menolongnya?" tanya Emak saat kami dalam perjalanan ke rumah Bi Ratna. Sejak tadi Mang Jalu tidak pernah menyinggung masalah A Agus.

"Nanti aku akan mencari cara untuk menolong Agus, sekarang kalian istirahat di rumah Ratna, kalian bisa menginap di sana selama yang kalian suka. Aku juga mau mengajakmu menemui Rani." kata Mang Jalu Emak sangat terkejut mendengar nama Rani. Siapa lagi itu Rani.

"Kang Jalu bertemu Rani? Di mana dia dan bagaimana kabarnya?" tanya Emak dengan suara bergetar. Jelas Emak tidak bisa menyembunyikan perasaannya.

"Nanti, kamu akan tahu sendiri akibat perbuatanmu.," jawab Mang Jalu membuatku bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya terjadi. Banyak rahasia yang tersembunyi dari Emak.

Akhirnya kami sampai di rumah Bi Ratna yang terletak di sebuah perumahan cukup mewah menurunkan ukuran kami orang Desa, rumah minimalis yang tertata apik.

"Teh Rini, Yaa Allah akhirnya kita bisa bertemu lagi..!" Bu Ratna langsung memeluk Emak dengan erat, mereka berpelukan setelah dua puluh tahun lebih mereka tidak bertemu. Momen yang terasa sangat mengharukan sehingga tanpa sadar aku meneteskan air mata, seumur hidup inilah pertama kali aku bertemu dengan saudara Emak. Aku ikut bahagia, ternyata Emak tidak sebatang kara.

"Mereka siapa?" tanya Bu Ratna melihat ke arah kami bertiga yang sejak tadi hanya memperhatikan adegan yang sangat mengharukan dan membuat orang yang melihat akan terbawa hanyut oleh momen yang sangat jarang terjadi.

"Ini anak bungsu Teh Rini, namanya Kokom..!" kata Emak memperkenalkan Aku ke Bi Ratna yang langsung memelukku bahagia.

"Meuni geulis pisan keponakan Bibi," kata Bi Ratna menciumku membuatku merasa risih dicium seorang wanita, kecuali Emak.

"Kalau ini?" tanya Bi Ratna menunjuk ke arah Ustadzah Aisyah dan Imron, wajahnya terlihat heran dan pasti menyangka Ustadzah Aisyah dan Imron kakak kakakku.

"Ini yang cantik Ustadzah Aisyah, guru ngajinya Kokom, sedangkan yang ganteng ini adalah Imron adiknya Ustadzah Aisyah. Ceritanya begini sampai akhirnya mereka ikut ke sini..!" kata Emak yang langsung menceritakan semua kronologi sehingga Ustadzah Aisyah dan Imron ikut. Bi Ratna mendengar dengan seksama, berkali kali kepalanya mengangguk tanpa sepatah katapun memotong cerita Emak hingga tamat.

"Begitu Teh, jadi anak Teh Aisyah ditangkap polisi karena dituduh telah membunuh ayahnya," kata Bi Ratna. Emak tidak menceritakan kalau A Agus adalah anak Bu Lilis, aku tidak tahu alasannya.

"Iya Rat, makanya Teh Rini mencari Kang Jalu meminta pertolongannya." jawab Emak setelah ceritanya selesai.

"Kalau tidak begitu, Teh Rini tidak akan mencariku. Seolah kita tidak mempunyai hubungan apa apa,." kata Bi Ratna menyindir.

"Kamu pernah bertemu Kan Rani?" tanya Emak tidak menggubris perkataan Bi Ratna yang sedikit banyak menyinggung perasaannya.

"Belum pernah, aku belum pernah ketemu dengan Teh Rani. Dia hilang seperti ditelan bumi seperti halnya Teh Rini." jawab Bi Ratna, suaranya bergetar menahan kerinduan.

"Mama..!" tiba tiba seorang gadis cantik masuk begitu saja tanpa mengucapkan salam seperti kebiasaan kami di desa, cantik sekali gadis yang baru datang.

"Dina, ini kenalin Tante Rini kakak Mama beda ayah dan ini Kokom saudara sepupumu, kalau yang ini Ustadzah Aisyah dan Imron. Kata Bi Narsih mengenalkan kami satu persatu.

***†***"

"Kom, tetek kamu gede amat..! Kamu apain bisa segede itu?" tanya Dina takjub melihat payudaraku yang sedang mengganti baju, payudaraku yang besar menempel indah. Ya, Dina mengajakku istirahat.di kamarnya sementara Ustadzah Aisyah sekamar dengan Emak.

"Nurun dari Emak, Teh..!" jawabku bangga. Padahal awalnya aku tidak merasa nyaman dengan ukuran payudaraku yang kebesaran, tapi semenjak mengenal sex, aku baru sadar payudaraku menjadi aset paling berharga buatku.

"Tetek segede kamu itu tipenya si Satria, awas hati hati kalau kamu bertemu Satria..!" kata Dina membuat hatiku berdesir aneh. Tentu saja aku kenal Satria, kontol miliknya pernah beberapa kali menyodok memekku, salah satu kontol terbesar yang bersarang di memekku sampai aku sakit sepulangnya dari Gunung Kemukus.

"Satria itu siapa?" tanyaku berpura pura tidak mengenalnya.

"Suami adik sepupuku." jawab Dina terlihat gelisah, apa yang membuatnya gelisah itu bukan urusanku.

"Teh Dina sudah punya pacar, belum?" tanyaku mengalihkan pembicaraan kami tentang Satria.

"Belum, kalau kamu?" tanya Dina balik bertanya kepadaku. Aku tidak begitu percaya Dina belum mempunyai pacat, gadis secantik Dina belum mempunyai pacar.

"Belum, Teh. Masa sich Teh Dina belum punya pacar, gak percaya gadis secantik Teh Dina belum punya pacar." kataku yakin, pasti banyak cowok yang mengemis cinta ke Dina.

"Beneran aku belum punya pacar, belum ada yang sreg." kata Dina, dia pasti sangat selektif memilih pacar, apa lagi dia anak orang kaya.

"Belum Teh, masih takut." kataku jujur, belum ada satu pria yang diam diam aku sukai mengutarakan isi hatinya padaku..

"Takut kenapa? Takut pacar kami minta ML melihat tetek kamu yang besar, ya?" goda Dina membuatku malu. Bukan itu yang membuatku takut berpacaran, sex bukanlah sesuatu yang asing buatku.

"Teh Dina ada ada saja, kalau mau minta ML doang buat apa pacaran." jawabku. Mereka bebas minta ngentot denganku, selama aku suka pasti aku akan melayaninya sepenuh hati. Sex sudah menjadi candu buatku.

"Iya juga sich, emang kamu masih perawan?" tanya Dina membuatku sangat terkejut. Pertanyaan yang sangat menikam karena penampilanku sangatlah tidak sesuai dengan akhlaqku. Tanpa sadar kepalaku menggeleng, bukan sebagai jawaban dari pertanyaan Dina. Aku menggelengkan kepala untuk mengusir berbagai macam pikiran yang tumpang tindih dalam kepalaku.

"Ha, kamu sudah nggak perawan?" tanya Dina menyadari kesalahanku, dia menganggap gelengkan kepalaku sebagai jawaban pertanyaannya tentang keperawananku. Biarlah, memang benar seperti itu kenyataannya, aku adalah CHILD JAMAN NOW. Keperawanan di zaman sekarang bukanlah sesuatu yang sangat penting.

"Iya, Teh Dina sendir masih perawan apa sudah bolong?" tanyaku, ada perasaan bangga saat mengakui bahwa aku bukan lagi seorang perawan. Rasa bangga yang sangat aneh.

"Aku juga sudah bukan perawan, baru kemarin perawanku hilang." jawab Dina lirih, kulihat pandangan matanya berubah menjadi tajam. Entah apa yang sedang dipikirkannya, gadis yang sulit ditebak jalan pikirannya.

"Katanya Teh Dina belum punya pacar, sama siapa atuh perawan Teh Dina diambil?" tanyaku heran, bukankah Dina belum punya pacar. Hei, aku juga belum punya pacar, yang beruntung mendapatkan perawanku justru Mang Jalu, pria yang lebih pantas menjadi ayahku.

"Tidak selamanya perawan kita dikasih ke pacar, yang penting perawanku diambil pria yang aku cintai.......Satria..!" kata Dina setengah berbisik saat mengatakan nama Satria. Nama yang membuat hatiku bergetar, orang kedua yang sudah merasakan jepitan memekku.

"Satria bukannya suami sepupu, Teh Dina?" tanyaku heran, bagaimana bisa Satria mendapatkan keperawanan Dina. Pertanyaan yang sama yang seharusnya ditanyakan padaku, bagaimana bisa pria yang lebih pantas .menjadi ayahku mendapatkan keperawananku.

"Seharusnya Satria jadi pacarku, tapi dia lebih suka cewek toket gede makanya dia lebih milih sepupuku. Aku yakin, Satria akan langsung nyosor begitu lihat kamu. Kamu sendiri, siapa cowok yang beruntung dapat perawan kamu?" tanya Teh Dina membuatku sangat terkejut, tidak mungkin aku mengatakan orang itu adalah ayahnya.

"Pasti cowok yang ikut bersama kalian, ya? Siapa namanya?" tanya Dina sebelum aku sempat menjawab pertanyaannya. Tebakan yang membuatku lega dan tahu harus menjawab apa.

"Iyyya, Teh.." jawabku sambil menundukkan kepala agar Dina tidak melihat mataku yang sedang berbohong.

"Lumayan ganteng, kontolnya gede nggak?" tanya Dina membuatku merasa tidak nyaman, aku bingung harus menjawab apa. Pertanyaan yang berkaitan dengan kontol, sudah cukup memancing nafsuku. Dari dalam memekku merembes cairan birahi disertai memekku berkedut ringan.

"Nggak tahu atuh, Teh. Kokom cuma tahu kontol Imron, jadi gak tahu kontol Imron gede apa kecil." kataku semakin gelisah, kalau dibandingkan kontol Mang Jalu, Satria atau A Agus, kontol Imron biasa biasa saja walau lebih besar dari pada kontol Mang Ikat ayahnya Ecih.

"Kalau kontol Satria gede banget, panjangnya segini, sejengkal!" kata Dina bangga. Aku tahu apa yang dikatakan Dina benar, karena aku sudah merasakan kontol Satria sebelum Dina.

"Masa panjangnya segitu?" aku pura pura tidak percaya dengan apa yang dikatakan Dina, dia pasti tidak tahu bahwa kontol Mang Jalu seukuran dengan Satria. Ternyata aku lebih berpengalaman dibandingkan Dina.

"Iya benar..!" kata Dina.

"Kamu tidak sakit diperawani kontol sebesar itu?" tanyaku. Akupun mengalami hal yang sama dengan Dina, sama seperti yang dialami Ecih, kontol Jumbo yang sudah merobek selaput dara kami.

"Sakit, sampe sekarang masih sakit. Tapi rasanya enak, sepertinya aku nggak akan nolak kalau Satria ngajak aku ngentot lagi." jawab Dina sambil mengelus memeknya.

"Masih sakit?" tanyaku mengingat kejadian perawanku robek oleh kontol Mang Jalu, lalu disodok kontol Satria bahkan A Agus ikut ikutan mencoblos memekku terus terusan selama beberapa hari hingga akhirnya kemampuan mencapai batasnya, aku jatuh sakit. Bahkan untuk bergerak saja aku tidak berani karena rasa sakit yang sangat menyiksa.

"Agak sakit, apalagi pas jalan, tapi kalau Satria ngajakin aku ngentot lagi, aku nggak akan nolak." jawab Dina tersenyum, bukan senyum bahagia. Senyum yang menurutku sangat sinis.

"Och begitu. Kamu nggak takut hamil?" tanyaku, mungkin dia juga memasang alat kontrasepsi sepertiku agar tidak hamil. Jadi aku bisa bebas ngentot sebanyak yang aku mau, itu yang dikatakan Emak saat mengajakku ke bidan yang jauh dari desa kami.

"Aku malah ingin hamil, aku ingin Satria bisa menghamiliku." kata Dina membuatku merasa aneh, kenapa dia justru berharap untuk hamil sedangkan Satria adalah suami adik sepupunya. Apa Dina berniat merusak rumah tangga adik sepupunya? Aku mulai tidak menyukai Dina.

"Tapi Satria suami adik sepupu, Teh Dina." kataku mengingatkan, entah ada masalah apa antara Dina dan sepupunya itu sampai Dina berusaha menghancurkan rumah tangga mereka.

"Wulan yang sudah menghancurkan mimpiku, aku yang pertama kenal Satria..!" kata Dina sama sekali tidak merasa bersalah. Tiba tiba sebuah pesan chat masuk ke hp Dina, Dina segera membacanya dengan wajah berbinar senang. Apa itu daru Satria sehingga Dina terlihat bahagia membacanya.

"Kamu ikut Teh Dina, yuk. Nanti Teh Dina kenalin." kata Teh Dina mengajakku pergi, dia pasti akan mengenalkanku dengan Satria. Aku sudah kenal Satria, tidak perlu lagi kenalan dengan Satria. Bahkan aku punya nomer telpone Satria.

"Nggak Teh, nanti aku jadi kambing congek." kataku berusaha menolak ajakannya.

"Nggak bakalan, sekalian kita jalan jalan biar kamu tahu situasi kota Bogor." kata Dina memaksaku. Akhirnya aku menyetujui ajakannya. Kami segera mengganti baju dan sedikit riasan di wajah. Setelah selesai, kami ruang keluarga untuk berpamitan.

"Mah, aku mau ngajak Kokom jalan jalan, ya.!" pamit Dina ke Bi Ratna yang sedang mengobrol dengan Emak di ruang tengah. Aku tidak melihat Imron maupun Ustadzah Aisyah, mereka.pasti tidur setelah semalaman lembur.

"Iya, hati hati...!" jawab Bi Ratna dan juga Emak hampir berbarengan.

Sepanjang perjalanan hatiku berdebar kencang, sebentar lagi aku akan bertemu dengan Satria dalam kondisi yang berbeda. Kondisi yang tidak memungkinkan kami berpacu birahi. Akhirnya kami sampai di sebuah cafe tenda di pinggir jalan.

"Sssst,!" Dina memberiku isyarat untuk diam, sambil berjalan perlahan lahan mendekati seorang pria yang duduk membelakangi kami.

Bersambung
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd