Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

WAYANG ORANG [2019]

Bimabet
Congrats master, atas rilisnya cerita ini. Judulnya simpel tapi isinya menohok. Keputusan Tyo yg akhirnya menjual istri buat di-gangbang menurut ane tidak untuk ditiru, kecuali itu adalah fantasi ente bersama istri, tanpa orientasi uang. Hehehe. Pendalaman karakter Rani kurang, kalo ada adegan SS dulu sebelum ke villa, pasti lebih keren. Dialog Rani pas di-gangbang juga kurang. Semoga dapet penilaian bagus dari para juri.

Rating 7,5/10
 
Congrats master, atas rilisnya cerita ini. Judulnya simpel tapi isinya menohok. Keputusan Tyo yg akhirnya menjual istri buat di-gangbang menurut ane tidak untuk ditiru, kecuali itu adalah fantasi ente bersama istri, tanpa orientasi uang. Hehehe. Pendalaman karakter Rani kurang, kalo ada adegan SS dulu sebelum ke villa, pasti lebih keren. Dialog Rani pas di-gangbang juga kurang. Semoga dapet penilaian bagus dari para juri.

Rating 7,5/10
Terimakasih hu atas masukannya emang saya juga belum puas sama isi ceritanya ga bikin dag dig dug sampai skrg juga masih diperbaiki sedikit2 hehehe
 
Terakhir diubah:
Selamat suhu. ini seakan-akan seperti double fresh meat ya suhu ? Istri yang dari orang kaya, menjadi fresh meat di dunia agak berkekurangan, kemudian menjadi fresh meat lagi saat menjual dirinya
 
Selamat suhu. ini seakan-akan seperti double fresh meat ya suhu ? Istri yang dari orang kaya, menjadi fresh meat di dunia agak berkekurangan, kemudian menjadi fresh meat lagi saat menjual dirinya
Terimakasih suhu :D
 
Fi
Sampurasun!

Pertama-tama saya ucapkan banyak terimakasih kepada para suhu dan admin semprot yang senantiasa mengelola dan meramaikan forum tercinta ini, tak lupa juga saya ucapkan beribu terimakasih pada para panitia dan para d0natur (jadi d0natur HANYA melalui admin team, BUKAN lewat staff lain) yang sudah berkontribusi hingga terlaksananya LKTCP 2019 Edisi Fresh Meat, yang merupakan sebuah bentuk apresiasi kepada para penulis yang selalu ikut meramaikan forum tercinta kita.

Ucapan terimakasih juga saya alamatkan kepada para meastro penghuni forum, yang karya-karya luar biasanya bisa membuka wawasan dan imajinasi saya dalam menulis cerita.

Cerita yang saya sajikan hanyalah karangan fiksi semata, jika ada kesamaan nama tokoh dan tempat kejadian hanyalah kebetulan saja tanpa ada unsur kesengajaan, harapan saya semoga saya bisa ikut meramaikan gelaran LKTCP 2019 ini, dan semoga cerita saya bisa diterima oleh para suhu penghuni forum semprot, jikapun menjadi pemenang itu hanya bonus yang menyenangkan hehehe.

Saya menyadari tak ada karya yang sempurna, maka kritik dan saran yang membangun untuk kemajuan tulisan saya sangat saya tunggu.

Akhir kata saya ucapkan, Selamat menikmati!



[LKTCP] WAYANG ORANG [2019]

Apa yang akan kamu lakukan jika dihadapkan pada dua buah pilihan yang sulit?

Apa yang akan kamu korbankan jika harus memilih antara kerjaan atau keluarga? antara uang atau cinta?

Apakah kamu rela mengorbankan orang yang kamu cintai demi uang?

Apa yang kamu lakukan jika orang yang kamu cintai rela berkorban demi uang dan demi kamu?

***​

“Kamu kenapa say, kayanya kusut banget?” Sapa istriku Rani, sambil meletakan secangkir teh, dilantai keramik.

Yah, di rumahku memang tidak ada meja, apalagi kursi sofa, hanya ada kasur dan beberapa peralatan dapur, itupun bukan rumah sendiri, karena aku masih ngontrak

Sebelumnya perekenalkan namaku Tyo Prasetyo, umur 24 tahun, baru sekitar dua bulan yang lalu aku menikah dengan Rani yang terpaut usia tiga tahun lebih muda dariku. Sebenarnya aku belum siap menikah karena dari segi ekonomi aku belum mapan, malah aku masih kuliah semester akhir, namun terbengkalai karena aku harus fokus mencari uang.

Ranipun demikian, dia terpaksa cuti dari kuliahnya entah sampai kapan? karena kedua orang tuanya sudah tidak mau lagi membiayai. Semua itu gara-gara hal bodoh yang kami lakukan beberapa bulan yang lalu, kami ke gap orang tua Rani saat sedang asik bercinta dirumahnya, sumpah itu pengalaman paling pahit dalam hidupku, pastinya juga Rani.

Bagaimana tidak, Ayah Rani menemukan kami dalam kondisi telanjang bulat diruang keluarga rumahnya, parahnya aku sedang menggenjot lubang nikmat anaknya. Ayah mana yang tak naik pitam, saat melihat anak gadis kesayangannya sedang di gagahi oleh orang yang belum sah menjadi suami, beruntung aku tidak sampai dihajar atau diarak masa.

Masa muda memang gila, apalagi saat nafsu sudah merajai terkadang logika dan kewarasan hilang begitu saja, seperti yang terjadi pada kami saat itu, dan sayangnya penyesalan selalu datang terlambat.

Setelah menikahkan anaknya denganku lewat acara pernikahan yang alakadarnya, kedua orang tua Rani memasrahkan anaknya padaku, bahkan mereka tidak mau menampung kami dirumahnya, seolah itu adalah hukuman atas kesalahan yang telah kami lakukan.

Pastinya mereka sangat kecewa, apalagi kedua orang tua Rani termasuk ketat dan taat dalam agama, selain itu keluarga Rani memang cukup terpandang karena posisi ayahnya yang bekerja dipemerintahan, tentunya perbuatan yang telah kami lakukan itu, sama saja mencoreng nama baik mereka.

Aku memang melakukan kesalahan yang sangat fatal, dan tentu saja merusak kepercayaan kedua orang tua Rani padaku, hingga sepertinya mereka terkesan jijik saat melihatku, wajar saja karena Rani adalah anak kebanggaan mereka, apalagi Rani sebagai anak pertama, pastinya kedua orang tuanya telah menaruh harapan besar padanya.

Rani memang termasuk berprestasi dalam hal akademik, bahkan dia masuk fakultas kedokteran lewat jalur beasiswa, pastinya orang tua mana yang tak bangga, namun semuanya itu sirna dalam sekejap mata, hanya kerana kebodohan yang aku lakukan.

Kedua orang tuakupun tak jauh beda, mereka begitu kecewa padaku, tentunya karena mereka telah menaruh harapan yang begitu besar juga padaku, seorang anak laki-laki satu-satunya dikeluarga yang selalu menjadi kebanggaan kedua orang tua.

Terlebih bagi Ayahku, karena baginya aku adalah penerusnya, pewujud segala mimpinya, namun aku menyecewakannya begitu rupa.

Karena sudah tidak ada yang mau menampung kami, akhirnya dengan bekal uang seadanya aku hidup berdua dengan Rani disebuah rumah kontrakan sederhana, untuk memenuhi kebutuhan hidup, kami sama-sama bekerja. Aku bekerja sebagai sales mobil, dan Rani bekerja sebagai pelayan di restoran cepat saji.

Aku sangat merasa bersalah atas apa yang sudah terjadi, apalagi aku membawa Rani dalam kehidupan yang serba sulit, padahal sebenarnya dia berasal dari keluarga berada.

Sedikit gambaran tentang Rani Septiani istriku, dia seorang wanita berparas cantik dan manis, hidungnya mancung, dagu belah, dan sepasang bola mata coklat yang indah. Badannya tidak terlalu tinggi mungkin sekitar 160cm, tapi yang membuatku takjub adalah bulatan pantatnya yang menungging indah dan selalu berhasil membuatku bergairah, gundukan didadanya tidak terlalu besar, tapi pastinya masih kencang, dan pas dengan bentuk tubuhnya.

“Aku lagi pusing say, udah dua bulan aku kerja tapi belum juga jualan.” Jawabku sambil menyandarkan punggung ditembok kontrakan.

“Sabar aja, entar juga ada waktunya!” balas Rani sambil merapihkan jaket dan sepatuku yang berantakan dilantai.

Kerja sebagai sales ternyata gak gampang, apalagi keadaan ekonomi sedang tidak pasti, sementara tiap hari aku dituntun target yang tinggi, bahkan jika sampai tiga bulan aku belum juga jualan, sudah pasti aku dipecat dari kerjaan.

“Tapi kalau sebulan lagi aku gak jualan juga, bisa dipecat say!” keluhku.

“Udahlah, kalo kamu sampai dipecat, nyari kerjaan lain aja! Yang penting usaha dulu!” kata Rani, berusaha menenangkanku.

Selama dua bulan pernikahan kami, Rani memang tak pernah sedikitpun mengeluh, bahkan dia selalu memberikan semangat dan dukungan padaku, padahal kehidupan yang sekarang dia jalani denganku jauh lebih berat, ketimbang saat dia masih tinggal berasama kedua orang tuanya.

Sebenarnya sumber kegelisahanku bukan hanya karena aku belum bisa jualan, tapi masih ada hal lain yang membuatku pusing tujuh keliling, dan rasanya begitu sulit untuk ku bagi dengan istriku. Namun karena hanya dialah satu-satunya tempatku berbagi keluh kesah, akhirnya ku utarakan juga apa yang mengganjal dalam hati dan pikiranku beberapa hari terakhir.

“Say, kamu punya kenalan temen yang jadi biduan ga?”

Akhirnya kalimat itu keluar juga, setelah sebelumnya aku cukup kesulitan merangkai kata, takut jika dia tersinggung atau salah paham padaku.

“Maksud kamu?” tanya Rani sambil mengerutkan dahi.

Melihat ekspresi Rani yang tampak curiga, aku sudah pasrah saja jika seandainya dia akan marah.

“Gini say, bos aku ngadain acara dipuncak, nah aku disuruh nyari biduannya!” kataku, mencoba menjelaskan.

“Lah, kenapa harus kamu?” tanya Rani.

“Katanya sih udah tradisi, buat anak baru yang udah kerja dua bulan tapi belum juga jualan, dan emang cuman aku aja yang belum jualan.”

Aku berusaha menjelaskan sesuai dengan informasi yang aku dapat dari teman-teman, karena bosku tak menjelaskan apa-apa dia hanya menyuruhku mencari biduan.

"Tradisi? Aneh!" ketus Rani.

"Gimana lagi say, katanya sih gitu!" jawabku.

“Yah, aku ga punyalah say, kamu hafal sendirikan temen-temen aku?”kata Rani, penuh penegasan.

“Iya sih, habis gimana coba, acaranya lusa!” jawabku lesu.

Suasana hening sesaat, aku merebahkan diri dilantai keramik sambil memandangin langit-langit kamar, sementara Rani duduk termenung disampingku seolah memikirkan sesuatu.

Entah sejak kapan tradisi konyol seperti itu ada ditempat kerjaku, namun berdasarkan informasi yang aku peroleh dari mulut ke mulut, tradisi itu memang selalu ada hampir setiap kali ada karyawan baru, tentunya bagi karyawan baru yang belum bisa memenuhi target dari perusahaan yaitu harus jualan minimal satu unit mobil dalam sebulan.

Malah dari gosip yang aku dengar, jika perempuan yang dibawa tidak sesuai dengan yang mereka inginkan, maka sudah dapat dipastikan kelangsungan karir ditempat kerja akan semakin suram. Terang saja aku panik, karena selama ini aku tak pernah berhubungan dengan wanita penghibur, biduan, atau semacamnya.

Aku memang bukan type orang yang senang bergaul, makanya relasiku sangat terbatas, bahkan dikampus saja yang jumlah mahasiswanya ribuan, teman dekatku tidak sampai sepuluh orang.

“Sebenernya bajetnya sih lumayan, aku dikasih lima juta, disuruh nyari dua orang!” kataku memulai kembali percakapan.

“Seriusan?” tanya Rani, dengan mata yang berbinar, entah mungkin karena dia mendengar nominal uang.

Cukup aneh, karena setauku Rani bukan tipe cewe mata duitan.

“Nih duitnya!” kataku seraya mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas.

Dengan cekatan Rani menyambar amplop itu, dan menghitung uang didalamnya.

“Wah, beneran lima juta nih say lumayan!” seru Rani, matanya semakin berbinar.

Aku benar-benar dibuat bingung oleh reaksi Rani, padahal sebelumnya dia tidak seperti itu, buktinya dia mau pacaran denganku yang orang biasa saja, padahal yang mendekati dia banyak, bahkan motor bututku terkadang harus bersaing dengan mobil mewah.

“Iya lumayan, tapi kan buat nyari biduan say!” kataku.

“Gimana, kalo aku aja?”

Hampir aku tersedak, karena saat Rani mengatakan itu, aku sedang nyeruput teh yang dia sajikan.

“Jangan gila deh!” umpatku.

“Ko gila? Nyanyi doangkan? Itu mah gampang, aku kan juara tingkat kecamatan!” kata Rani menyombongkan diri.

“Kamu tuh ngerti ga sih? Ini tuh acarnya buat laki, diadain dipuncak pula! Masa ga paham?”

Rani termenung sesaat ,seperti sedang mengolah perkataanku, mungkin dia sulit memahami.

Maklumlah dia itu sebenarnya type anak rumahan yang tidak terlalu mengerti tentang hiruk-pikuk dunia luar, dangdutan, saweran, mana dia ngerti, namun kesalahan fatal dia adalah jatuh cinta padaku, orang yang sudah terlanjur kecanduan pornografi, bahkan sudah begitu penasaran dengan yang namanya ngentot sejak aku SMP.

Namun aku baru berani melakukannya dengan Rani, karena dengan perempuan lain aku hanya berani sebatas menelanjangi dan peting. Jujur saja awal kami berkenalan, Rani itu masih hijau masalah pacaran apalagi sex, tapi entah kenapa dia begitu mudah jatuh kedalam rayuanku, hingga akhirnya dia terseret kedalam masalah berasamaku.

“Emang acaranya buat berapa orang?” tanya Rani, seolah menyelidiki.

“Aku sih gak tau pasti, tapi kayanya buat bos-bos doang!” kataku.

“Wih banyak duitnya dong!”jawab Rani antusias.

Lagi-lagi DUIT.

Aku sih sebenarnya tak mempermasalahkan perubahan sikap Rani menjadi seperti itu, karena memang biasanya dia tak pernah kekurangan masalah uang, tapi sekarang uang jadi sesuatu yang sulit didapat, bahkan dia harus rela peras keringat untuk mendapatkannya, mungkin saja dia sudah tak mampu lagi bertahan hidup dalam kesusahan.

“Palingan digrepe doang kan ya?” kata Rani, seolah hal itu, bukan masalah baginya.

Deg, sumpah jantungku rasanya seperti kena hantaman palu, aku tak menyangka kalimat itu akan keluar dari mulut manis istriku.

Aku diam seribu bahasa, tak menanggapi perkataan Rani, dan pastinya dia sangat paham, jika aku seperti itu, tandanya Aku sedang kesal.

Tujuanku menceritakan masalahku padanya memang selain untuk mengurangi beban dalam pikiran, akupun berharap Rani bisa memberikan solusi, tapi tentunya bukan solusi semacam itu yang aku harapkan.

“Say, aku tuh baru dipecat dari kerjaan, gara-gara ribut sama si Ajeng sialan! kita butuh duit ini!” kata Rani, membuatku tersentak, ternyata bukan hanya aku yang sedang dilanda masalah.

Ajeng adalah teman, sekaligus senior Rani ditempat kerja, entah kenapa si Ajeng itu seolah tak suka oleh kehadiran Rani, hingga setiap hari selalu saja ada masalah yang dibuatnya, dan setiap hari juga Rani selalu mengeluh tentang dia padaku.

“Lagian, mereka gak tau ini aku istri kamu!”

Tambahnya, membuatku kembali tersentak, rupanya dia bersungguh-sungguh dengan apa yang dia katakan, memang jika hanya mengandalkan penghasilan sales yang belum bisa jualan, rasanya kehidupan kita akan semakin memprihatinkan.

“Kamu Yakin?” Aku berusaha meyakinkan, karena aku tahu pasti itu bukan ide yang bagus, malah cukup nekat dan berbahaya.

“Iya!” jawabnya cepat.

Melihat Rani yang begitu antusias, akhrinya aku melunak, dan menghilangkan segala ego, serta cemburu yang kurasakan, bahkan firasat buruk yang sempat menyeruak dalam dirikupun ku abaikan, alasannya jelas kita sedang butuh uang.

“Tapi Aku disuruh nyari dua orang loh!” Kataku, berusaha membuatnya bimbang.

“Coba tanya dulu aja sama bos kamu!”

Rupanya Rani sudah benar-benar yakin dengan keputusannya, bahkan tak sekalipun dia meletakan uang dalam genggamannya.

Karena merasa tak ada pilihan lain, akhirnya aku nekat menghubungi bosku.

“Selamat malam Bos, saya mau laporan !” kataku.

“Iya, gimana dapet belum?” terdengar suar berat bosku, pak Gino diujung telpon.

Gila dia langsung nyambung aja, padahal aku belum cerita.

Pak Gino berperawakan tinggi besar, dengan logat bataknya yang khas, jujur saja aku jiper setiap kali berhadapan dengannya.

“Dapet bos, tapi cuman satu orang, udah gitu dia minta lima juta!” jawabku, sambil harap-harap cemas, takut dia marah-marah.

“Ah payah loh! yaudah kirimin aja potonya!’

Tut… Tut… Tu….t!

Sambunganpun terputus.

Sial nasib jadi bawahan diperlakukan seenaknya saja sama atasan, jika saja aku bisa lulus kuliah mungkin semua itu tak perlu kurasakan, aku menggerutu dalam hati, atas sikap atasanku yang seenaknya.

“Gimana say?” tanya Rani.

“Dia minta foto kamu!” kataku.

“Yaudah tinggal kirim!” jawab Rani, santai dan matanya semakin berbinar seolah yakin uang dalam genggamannya tak akan hilang.

“Fotonya, terbaru ya!”

Tiba-tiba masuk pesan dari bos ku, sial tau aja dia, padahal tadinya aku mau ngirim foro lama.

“Eh, kamu ngapain say?” Protes Rani saat Aku membidikan kamera ponsel padanya.

“Dia pengen poto kamu yang terbaru!” jawabku.

‘”Masa Akunya kaya gini!” ketus Rani.

Wajar saja dia merasa risih, karena saat itu Rani hanya memakai tangktop dan hotpans, yang pastinya akan menonjolkan setiap lekuk tubuhnya, dan membuat dia terlihat sexy.

“Udahlah, toh apa bedanya, nanti juga kamu pake baju sexy kan!” kataku, sambil kembali mengarahkan kamera ponsel pada Rani, dan setelah itu tak ada penolakan lagi.

Malah tanpa disuruh Rani berpose sexy, dia berdiri dihadapanku, dengan senyum dan tatapan menatang, selain itu dengan sengaja dia lebih membusungkan dada, sungguh sempurna tubuhnya yang putih mulus, dipadu dengan wajah cantik dan manis serta dua gundukan bukit kembar yang tampak masih kencang, sangat menggoda.

Sumpah tangaku gemetar saat akan mengirimkan poto sexy Rani pada bosku, bahkan aku harus menarik nafas panjang beberapa kali sebelum akhirnya poto itu benar-benar ku kirim.

Aku menunggu, sambil harap-harap cemas selama beberapa menit.

Aku memang tidak terlalu setuju dengan ide Rani, tapi karena pekerjaanku dipertaruhkan dan kami juga sedang butuh uang untuk bayar kontrakan, maka otak dangkalku berpikir mungkin hanya itulah satu-satunya jalan.

“Ada poto lain ga? yang lebih hot!”

Tak lama berselang datang balasan dari pak Gino.

Sialan, bisa-bisanya dia seolah tak tertarik dengan poto Rani yang ku kirim, padahal aku hampir tak bisa bernafas saat ngirim poto itu.

Ranipun tampak bingung, setelah ikut membaca balasan dari pak Gino.

"Maksdunya, poto yang gimana ya bos?" terkirim pesan balasan untuk pak Gino.

Sebenarnya aku cukup paham maksud pa Gino ke arah mana, tapi aku hanya ingin memastikan saja.

Tak perlu menunggu lama, langsung datang balasan dari pak Gino, yang cukup menohok.

"Bego lo! suruh dia nungging!"

Aku dan Rani saling tatap, seolah tak percaya dengan isi pesan pak Gino.

Ditengah kebimbangan yang aku rasakan, tiba-tiba masuk panggilan telpon dari pak Gino, rupanya dia tak sabar menunggu balasan.

"Tyo, lama banget lo!"

"Lo masih sama cewe itu kan?"

"Buruan kirim! nih gw lagi sama pak Leo!"

Tuuuu..t! Tuuuut! Tuuuuut!

Panggilan kembali berakhir begitu saja, setelah dia nyerocos tanpa memberikanku kesempatan bicara.

Sumpah aku benar-benar jingkel dibuatnya, dan memang pak Gino itu bukan atasan yang menyenangkan bahkan hampir semua orang yang tergabung kedalam tim yang dipimpin olehnya merasakan hal yang sama.

"Udahlah say tinggal nungging doang!" seru Rani.

Namun perkataan Rani itu tak membuat kegelisahanku hilang, malah aku mulai merasakan sebuah sensasi aneh yang perlahan merambat dan merasuki sekujur tubuhku.

"Ayo! malah diem!"

Sumpah, aku menatap nanar bulatan pantat Rani yang terpampang didepan mataku, karena dia sudah dalam posisi merangkak, tentunya aku sudah sering melihat dia dalam pose seperti itu, namun saat itu entah kenapa sensasi yang kurasakan begitu dahsyat, hingga wajahku terasa panas, dan batang kejantananku langsung seketika mengeras.

Tanganku gemetar, saat membidikan kamera ponsel kearah istriku dengan pose begitu menantang, hingga aku kesulitan mengambil fokus gambar.

"Udah belum? lama banget!" ketus Rani.

"Bee.. bentar!" jawabku dengan suara parau.

Setelah beberapa kali jepret akhirnya aku mendapatkan gambar yang sempurna, sebuah gambar yang memperlihatkan bulatan pantat gempal dipadu dengan paha bersih mulus serta perut ramping, dari seorang wanita yang sangat ku cintai.

Sial, lagi-lagi tanganku kembali gemetar saat akan mengirimkan gambar itu pada bos ku.

"Udah belum?" Rani kembali bertanya.

Aku tak menjawab, malah tanganku langsung mendarat dipantatnya dan meremas benda gempal itu dengan gemas.

"Ihhh, ngapain sih potonya udah belum?"

Pertanyaan Rani yang lagi-lagi ku abaikan, karena aku sedang sibuk meremas-remas bulatan pantat Rani yang manjadi kebanggaanku.

"Arghh...! say!"

Rani menjerit lirih, saat aku menarik turun hot pan tipis beserta dengan celana dalamnya, hingga mambuat bulatan pantat mulus itu kini terpampang tanpa penghalang.

"Arghhhhh....! ko malah gini say oughhh!"

Rani mendesah dan mengerang, mana kala mulut dan lidahku mencumbu belahan lubang nikmatnya, tanpa ampun, tanpa jeda.

Berhubung nafsu sudah diubun-ubun, maka batang kejantananku yang sudah seperti kayu, ku keluarkan dari sarangnya, dan langsung ku arahkan tepat ke depan bibir vagina Rani, dengan sekali dorongan benda keras itu langsung menerobos lubang nikmat Rani yang terasa hangat.

"Oughh.. malah dientot sih say!" erang Rani, ditengah genjotanku yang semakin cepat.

Ditengah usahaku memburu puncak birahi, terdengar seseorang memanggilku dari luar, diikuti dengan pintu yang tiba-tiba saja terbuka.

"Anjing! Sore-sore udah ngentot aja lo!" umpat pak Bahar, lelaki paruh baya si pemilik kontrakan, yang berdiri gagah didepan pintu.

Aku panik bukan main, buru-buru aku mencabut kontolku dari sarangnya yang hangat, beruntung celana tak aku tanggalkan.

Rani tak kalah heboh, dia langsung ngacir ke kamar mandi, dalam keadaan setengah telanjang, karena hot pannya ku lempar entah kemana.

"Ko maen buka aja pak!" umpat ku, wajar saja jika aku kesal.

Namun si tua bangka itu, tak langsung menjawab perkataanku karena dia seolah terpaku melihat tubuh setengah telanjang Rani, yang berlalu didepan matanya.

Sial, sudah pasti dia bisa melihat dengan jelas, bagian paling intim dan rahasia milik istriku.

"Lah pintunya kaga di konci!" balasnya entang.

Anehnya setelah itu dia pergi begitu saja, padahal awalnya ku pikir dia datang nagih sewa kontrakan, yang memang sudah sebulan belum dibayar.

"Kamu sih maen tusuk aja!" umpat Rani, jelas dia kesal.

"Gimana lagi, pantat kamu tuh bikin sange!" jawabku asal.

"Rugi deh gw, bagi-bagi sama tuh bandot!"

Sepertinya Rani benar-benar kesal, jika sudah begitu hasratnyapun pasti ikutan hilang, padahal batang kontolku masih tegang berharap pelampiasan.

"Oiya potonya gimana?" tanya Rani, seraya menyambar hp ku, dan melihat isi percakapan dengan pak Gino.

Langsung saja raut wajah Rani berubah dan tampak sumringah, saat melihat pesan dilayar ponselku, karena tenyata pak Gino setuju dan artinya uang lima juta itu benar-benar jadi miliknya.

***
Hampir jam delapan malam, aku baru sampai disebuah vila yang ada didaerah Cisarua Puncak, vilanya tidak terlalu besar namun terlihat mewah lengkap dengan taman dan kolam renang. Ditempat itu ada tiga buah vila dengan desain bangunan yang hampir sama yaitu berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu jati, dengan jarak antar satu vila dengan vila yang lain sekitar sepuluh meter.

Dipelataran parkir vila itu aku melihat sebuah mobil mewah yang sudah sangat ku kenal, kerena itu adalah mobil yang selalu dipakai bosku Pak Gino ke kantor, itu artinya mereka sudah sampai duluan, alamat aku bakal kena semprot karena sesuai perjanjian seharusnya jam setangah delapan malam acara harus sudah dimulai.

Benar saja, dari kejauhan aku melihat sesosok tubuh lelaki tinggi besar yang sangat ku kenal, berdiri didepan pintu masuk salah satu vila, dari gelagatnya dia terlihat gelisah, langsung saja aku menemui orang itu yang tak lain adalah pak Gino, jelas dia tampak penuh amarah, tercermin dari raut wajahnya yang tak ramah.

“Woi, lo kemana aja? Pak Leo udah nunggu tuh!” bentak Pak Gino.

Memang aku telat datang kelokasi, karena aku harus sedikit cek-cok dengan Rani sebelum berangkat.

Awalnya memang aku hendak membatalkan acara, karena setelah ku pertimbangkan lagi, tak rela rasanya menyerahkan istrku pada mereka, selain itu ada sesuatu yang mengganjal dalam hati dan pikiranku, entah apa itu? tapi aku rasa itu adalah sebuah firasat yang biasanya sebuah pertanda akan terjadinya hal buruk, sama seperti saat aku ke tangkap basah oleh orang tua Rani, sebenarnya saat itu aku sudah merasakan firasat buruk, namun karena nafsu sudah diujung tanduk maka firasat itu ku abaikan.

Pastinya usahaku membujuk Rani gagal total, dia memang keras kepala, jika sudah memutuskan sesuatu maka tak ada satu manusiapun yang mampu menghalanginya, sekalipun aku sebagai suaminya sendiri. Padahal aku sudah jelaskan segala kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi.

“Sooory bos, ada sedikit masalah tadi!” jawabku, sambil merundukan badan karena tak berani menatap matanya yang menyeramkan.

“Alasan lo! Ayo cepetan!” bentak pak Gino.

Lalu pak Gino menggiring aku dan Rani menuju sebuah ruangan, tanpa sempat aku memperkenalkan Rani padanya, namun sekilas aku melihat ketertarikannya terhadap setiap lekuk tubuh indah Rani dari sorot matanya.

Pak Leo adalah kepala cabang di kantorku, yang otomatis bosnya pak Gino, makanya pak Gino sewot atas keterlambatanku, mungkin karena dia juga takut disemprot pak Leo.

“Nah, yang ditunggu datang juga!” sambut Pak Leo, saat kami memasuki sebuah ruangan yang lumayan besar dan seperti sudah di set sedemikian rupa untuk sebuah pertunjukan.

Di ruangan itu hanya ada beberapa kursi sofa dan sebuah meja besar yang ada ditengah-tengah, lampu ruangan redup dengan House musik yang menggema, sebagai pelangkap tentunya botol-botol minuman keras dengan merek mahal berjejer disana.

“Maaf Pak saya terlambat, perkenalkan ini Dewi.” Kataku seraya membungkuk dan memperkenalkan istriku dengan nama samarannya.

“it’s ok” seru pak Leo, tampak ramah.

“Hy, manis langsung aja ya!” tambahnya.

Pak Leo orangnya kalem, tapi tatapan matanya begitu tajam dan memiliki aura yang membuat orang disekitarnya akan menaruh hormat padanya. Usianya tak lagi muda mungkin sudah menginjak lima puluh tahunan, namun masih tampak segar dan gagah hanya rambutnya saja yang sudah mulai memutih.

Diruangan yang diselimuti asap roko itu, pak Leo tidak sendiri karena dia ditemani oleh Pak Hilman kepala GA, dan Pak Riki suver visor sales, mereka nampak berbincang santai sambil meroko dan sesekali menenggak minuman.

“Pak, saya permisi ganti baju dulu!” seru Rani dengan suara sedikit bergetar, mungkin dia grogi atau ketakutan.

Saat itu memang Rani belum memakai kostum layaknya seorang biduan, karena tubuhnya masih dibalut jaket kulit dan celana jeans ketat, yang seakan menonjolkan setiap lekuk tubuhnya yang indah.

“Lah, ngapain ganti? langsung buka aja!” saut pak Gino, dengan raut wajah masih sama seperti sebelumnya, penuh amarah, rupanya kekesalannya padaku belum juga hilang.

Rani tampak bingung, dan menoleh padaku yang ada disamping kanannya, sepintas aku melihat wajahnya tampak pucat.

Wajar saja reaksi Rani seperti itu, karena dari rumah dia berpikir akan menjadi biduan, tapi begitu sampai dilokasi dia malah langsung disuruh telanjang.

“Lo gimana sih Tyo?” bentak pak Gino, sepertinya kemarahannya semakin bertambah, mungkin karena dia melihat gelagat Rani yang tampak terkejut dan gelisah, seolah dia tak mengerti atas apa yang harus dia kerjakan.

“Ma… maaf pak, sebenarnya acaranya apa ya?” tanyaku.

“Bego! Emang lo pikir apa?” bentak pak Gino balik bertanya.

“Saya pikir dangdutan, makanya saya bawa biduan!”jawbaku.

“Hahahahahaa”

Perkataan ku langsung disambut riuh tawa Pak Loe, Pak Hilman, dan Pak Riki, namun tidak dengan Pak Gino, mukanya tampak merah padam menyeramkan, bahkan bola matanya yang bulat seakan ingin meloncat keluar, seolah tertawaan Bos dan rekannya itu ditujukan padanya.

“Bego! gw ga butuh biduan, gw butuh penari telanjang!” bentak pak Gino, penuh kekecewaan dan amarah.

Sumpah sekujur tubuhku mendadak lemas, dan kepalaku terasa pening, aku bingung harus berbuat apa.

Aku yakin dengan pasti, beberapa minggu yang lalu itu pak Gino menyuruhku mencari biduan, bukan penari telanjang, tapi apa aku yang salah dengar?

Sialan! Tentu saja aku panik, mana mungkin aku membiarkan istriku menghibur mereka tanpa pakaian, dan Ranipun pastinya akan kebertan, apalagi dia belum pernah mempertontonkan auratnya pada lelaki selain aku suaminya,

Namun saat itu, aku terjebak dalam situasi yang serba sulit, karena jika aku membatalkan maka para atasanku sudah pasti akan kecewa, dan hal itu akan berimbas pada nasibku ditempat kerja. Hilang sudah kerjaan yang sudah kurintis selama dua bulan terakhir, tapi jika aku menuruti mereka, maka sudah pasti istriku akan jadi korbannya.

Bayangkan saja apa yang terjadi pada seekor domba yang berada ditengah gerombolan serigala, kemalangan seperti itulah yang akan menimpa Rani jika aku tidak segera membawanya kabur dari tempat itu.

“Sudah gak usah ribut. Langsung show aja ya manis!” seru pak Leo dengan nada datar namun penuh penekanan, sumpah lebih menyeramkan dari teriakan dan umpatan kasar pak Gino.

Lagi-lagi Rani menoleh padaku, dari sorot matanya sepertinya dia menginginkanku melakukan sesuatu, namun aku hanya diam terpaku, bahkan lidahkupun terasa kelu.

“Taaaapi saya pikir nyannyi paaaak, bu.. bu..kan nari telanjang!” seru Rani, dengan suara parau dan sedikit bergetar, sudah pasti karena dia ketakutan.

"Udahlah santai aja, lagian diruangan ini cuman ada kita aja ko! kamu juga udah terima bayarannya kan?" seru pak Hilman, nampak lebih santai tidak sewot seperti pak Gino.

Sebagai kepala GA memang pak Hilman tipe orang yang ramah dan mudah berbaur dengan siapapun, bahkan dengan OB dan Cleaning Servicepun dia bisa akrab, dari usiapun pak Hilman masih muda mungkin hanya terpaut beberapa tahun saja denganku.

Rani masih tampak bingung, berkali-kali dia melirik padaku, mungkin dia meminta pertolongan dariku, tapi sudah pasti dia tidak bisa mengatakannya secara langsung, karena bisa membongkar penyamarannya.

“EH monyet! Urus nih biduan lo! Kalo sampe gagal abis lo! Duitnya juga balikin!” ancam pak Gino, membuatku gemetar tak karuan.

Astaga! Uang lima juta itu sudah habis diapakai untuk bayar kontrakan dan stok kebutuhan selama sebulan.

Aku bingung harus berbuat apa, Ranipun sepertinya merasakan hal yang sama malah wajahnya terlihat semakin pucat, lagi-lagi aku melakukan kesalahan dan menyeretnya kedalam masalah yang besar.

Seperti dua keledai bodoh kami mematung kaku diruangan itu, tak ada satu gerakanpun yang mampu ku perbuat, bahkan sepatah katapun sangat sulit untuk ku ucapkan.

“Santai aja say, minum dulu biar tenang!” kata pak Riki seraya mendekati Rani, dan menyodorkan segelas minuman.

Lalu pak Riki membisikan sesuatu ditelinga Rani, entah apa yang dia katakan, karena aku tak bisa mendengarnya walaupun jarak kami cukup berdekatan, tapi suara pak Riki ditelan musik yang berisik.

Tangan Rani tampak gemetar, meraih gelas yang disodorkan pak Riki, dan tanpa banyak berpikir minuman dalam gelas itu habis dalam sekali tenggak.

Entah apa yang membuat Rani terkesan lebih rileks dengan pak Riki, padahal dengan pak Leo dan pak Hilman yang sama-sama memberi kesan ramah dia masih tampak canggung, apa mungkin karena pak RIki terlihat paling keren dan ganteng dari yang lain?

Tiba-tiba saja badan Rani seketika limbung, seolah hilang keseimbangan, beruntung pak Riki sigap meraih badannya.

Aku tak tahu minuman apa yang ditenggak oleh istriku, karena reaksi badanya langsung seperti itu, tapi karena jelas diruangan itu tak ada lagi minuman selain minuman keras maka aku menyimpulkan bahwa yang Rani tenggak itu salah satu dari minuman keras itu.

Tebakanku diperkuat oleh reaksi tubuh Rani yang tampak hilang keseimbangan setelah menenggak habis minuman itu, dan itu reaksi wajar bagi seseorang yang tak biasa meminum minuman keras.

Wajah Rani yang sebelumnya pucat, nampak kembali merah merona, bahkan sorot matanya berbinar seperti sediakala, entah mungkin itu efek dari minuman yang dia tenggak tadi, atau bisikan dari pak Riki, saat itu aku tak bisa menerkanya.

“Ayo, dimulai!”

Sekali lagi keluar sebuah kalimat sakti dari mulut pak Leo dengan sorot matanya yang tajam.

“Baik pak!” jawab Rani, seolah keraguan bahkan ketakutannya hilang seketika.

lalu dengan langkah sedikit gontai, dia berjalan digandeng oleh pak Riki sampai ketengah ruangan.

Suara musik terdengar semakin kencang, sepertinya volumenya dinaikkan, dan tak lama berselang tubuh Ranipun mulai bergoyang.

Awalnya dia memang terlihat canggung, namun semakin lama gerakannya terlihat semakin natural, bahkan begitu sensual dan menggairahkan.

Jantungku berdetak kencang, tubuhku gemetar, menyaksikan istriku yang cantik sedang meliuk-liukan badannya bergoyang erotis, aku tak menyangka jika dia lihai melakukannya, bahkan pak Gino yang tadi marah-marah kini sudah tenang dibuatnya.

“Naik kemeja dong say!” kata Pak Riki, dan tanpa perlu perintah lagi Rani langsung menuruti.

Badannya kembali bergoyang dengan gerakan lembut namun menawan.

Jari-jari lentiknya menulusuri setiap inci tubuh indahnya, desertai gerakan pinggul yang begitu erotis dan mendebarkan.

“Telanjang dong!” seru pak Hilman, sepertinya sudah tak sabar, ingin menyaksikan istriku tanpa pakaian.

Sumpah seketika aku merinding saat membayangkan istriku akan bergoyang-goyang tanpa pakaian, dihadapan atasanku.

Tampak masih ada keraguan dari raut wajah istriku, bahkan beberapa kali dia menoleh kearahku seolah mengharapakan sesuatu, namun dalam kondisi seperti itu, tak ada yang mampu ku lakukan selain mematung kaku, seperti seonggok kayu tak berguna yang terombang ambing ditengah lautan.

“Eh, lo ngapain disini? keluar!” usir pak Gino padaku.

Bukannya aku tak ingin pergi, hanya saja kedua kaki terasa sulit digerakan seolah terpaku ditempat itu.

“Waduh, lo galak banget sama anak buah, udah duduk aja ikutan nonton!” saut pak Leo, yang seketika membuat salah tingkah pak Gino.

Pastinya aku hanya bisa menuruti instruksi dari pak Leo, lalu duduk dikursi sofa samping pak Gino.

“Anjing, mulus banget!” seru pak Hilman, saat Rani berhasil menanggalkan kaos ketatnya hingga menyisakan BH, yang menutupi bukit kembarnya.

Gila! Sejak kapan Rani mulai menanggalkan pakainnya, bahkan aku tak sempat melihatnya menanggalkan jaket kulitnya, rasanya hanya sepersekian detik saja aku kehilangan fokus, gara-gara pak Gino sialan.

Sambil terus bergoyang, jari lentik Rani perlahan tapi pasti turun kebawah menuju celana jeans yang masih melekat ditubuhnya.

Aku menatap momen itu tanpa berkedip, momen dimana istriku dengan sadar membuka kancing celana jeansnya lalu menurunkannya begitu saja dihadapan lelaki lain, dengan gerakan sensual yang mendebarkan.

Pantatnya yang gempal, dan kulit pahanya yang tempak halus dan mulus, terpampang jelas saat Rani berhasil menanggalkan celana jeansnya.

Walaupun aku sudah sering melihat istriku dalam kondisi telanjang bulat tanpa pakaian, tapi saat itu rasanya begitu berbeda, penyebabnya sudah pasti karena aku tidak sendiri, bersamaku diruangan itu ada empat orang laki-laki lain yang sama-sama menyaksikan keindahan tubuh istriku.

“Wow, Gila, sempurna,..!” seru pak Leo, seolah begitu takjub oleh keindahan tubuh Rani.

“Lo pinter nyari cewe bro!” seru pak Riki, begitu antusias.

Sungguh perasaanku tak karuan saat itu, jujur aku kesal, marah, cemburu, tapi tak bisa ku pungkiri ada rasa bangga yang menyeruak dalam diri, saat para atasan memuji keindahan tubuh istriku, bahkan gejolak birahikupun mulai merambat perlahan setelah sebelumnya tenggelam oleh rasa kesal.

Gerakan serta goyangan erotis Rani semakin liar, seolah diapun senang mendengar setiap pujian, yang tak sungkan-sungkan ditujukan padanya, bahkan dia mulai berani terang-terangan meremas bagian paling sensitif ditubuhnya, dari mulai payudara, sampai selangkangannya, tentu saja aksi Rani membuat suasana ruangan semakin panas.

Tiba-tiba pak Gino berjalan mendekati Rani, lalu dengan santai dia meraih tangan Rani, dan menariknya, membuat Rani terpaksa turun dari meja serta mengikuti kemana pak Gino melangkah.

Ternyata pak Gino membawa Rani kehapadan pak Leo, yang sedang asyk meroko sambil sesekali menenggak minuman.

Rani tampak canggung dan salah tingkah, berhadapan dengan lelaki lain dalam kondisi dia hampir telanjang bulat, karena saat menari diatas meja masih ada jarak antara dia dengan penonton ditambah lampu yang remang-remang, mungkin hal itu cukup membuatnya berani bergoyang.

Pak Leo menatap nanar pada sesosok tubuh indah yang ada dihadapannya, wajar saja karena memang Rani rajin sekali merawat tubuhnya, selain itu diusia yang masih muda tentunya setiap lekuk dan tonjolan ditubuhnya masih tampak kencang dan segar, semua itu semakin sempurna dengan wajahnya yang manis dan cantik serta kulit nya yang bersih, mulus tanpa cacat.

“Buka!” seru pak Loe sambil nunjuk BH dan celana dalam Rani.

Rani sempat menoleh padaku sesaat, sebelum akhirnya tanpa keraguan dia melepaskan pengait BH merah mudanya, tentunya tanpa meminta persetujuan dariku, karena jika itu dia lakukan maka sama saja dia memberitahu pada semua orang bahwa aku adalah suaminya.

Rani membiarkan penutup bukit kembarnya itu turun begitu saja dengan sendirinya, seirama gerakan dan goyangan badannya yang ritmis dan erotis.

Perlahan tapi pasti bukit kembar Rani semakin terkuak, seiring dengan penutup merah mudanya yang meluncur bebas, hingga akhirnya dua banda kenyal dan kencang itu terpampang jelas dihadapan atasanku.

Sumpah nafasku mulai terasa sesak, apalagi saat melihat Rani sedikit menungging karena harus menanggalkan celana dalamnya, sudah pasti karena posenya itu bukit kembarnya bergelantung indah dihadapan pak Leo, dan tak hanya itu karena bulatan pantatnya yang gempal menggemaskanpun yang selalu menjadi kesukaanku, telah terpampang dihadapan semua orang yang ada didalam ruangan.

“Argh…!” Rani mendesah saat tiba-tiba saja tangan pak Leo meremas bukit kembarnya.

Namun tanpa ada perlawanan sedikitpun Rani mulai kembali bergoyang, dan tentunya dia membiarkan atasanku bermain-main dengan dua benda kenyal miliknya itu.

"Boleh?" seru pak Loe, sambil mengarahkan jari tengahnya pada area selangkangan Rani yang tak terutup apapun, hingga memperlihatkan lipatan lubang nikmatnya yang bersih mulus tanpa bulu, karena Rani sangat rajin mencukur setiap bulu yang tumbuh disekitarnya.

Rani tampak menggelangkan kepala sebagai tanda penolakan, tapi sudah pasti pak Leo tak mengindahkannya, dan tentu saja pertanyaannya itu hanya untuk menggoda saja, padahal jantungku hampir copot menyaksikan momen itu terjadi.

“Emgggghhhhh.. !” Rani kembali mendesah saat jari tengah pak Leo mengusap belahan lubang nikmatnya.

“Anjing masih sempit nih!” seru pak Leo sambil tersenyum penuh arti.

"Jarang di entot ya neng? hahahaha" ledek pak Hilman, sambil terkekeh.

Rani diam saja tak menanggapi ledekan pak Hilman, entah mungkin karena dia terlalu sibuk merintih.

"Kalo ditanya tuh jawab!" saut pak Gino seraya menampar pantat gempal Rani, membuat Rani terlonjak dan sedikit menjerit mungkin karena kaget.

"Ehh... iyyaaa pakkkk.. mgggghhhhh!" jawab Rani, sambi mulutnya tak berhenti mendesah, karena lubang nikmatnya diobok-obok pak Loe.

"Iya apa?" "PLAK!" lagi-lagi pak Gino menampar pantat gempal Rani, yang langsung tampak memerah.

"Ssssaya ja..jarang di entttot.. Arghh!" jawab Rani, setengah berteriak.

Sumpah bulu kudukku langsung merinding mendengarnya, dan gilanya bukannya melawan diperlakukan seperti itu, pinggul Rani malah bergoyang seirama dengan jari tengah pak Leo yang semakin terbenam didalam lubang surgawi miliknya.

Aku masih tak habis pikir, apa mungkin efek minuman yang begitu dahsyat hingga membuat Rani seolah kehilangan kontrol atas dirinya, atau semua itu terpaksa Rani lakukan, untuk menyelamatkan kami, atau lebih tepatnya menyelamatkanku, selain itu aku juga masih penasaran apa yang dikatakan pak Riki padanya karena aku yakin dari situ kegilaan istriku Rani bermula.

Walaupun aku cukup terangsang oleh live show istriku yang begitu liar, namun tetap saja sebagai seorang suami ada rasa cemburu yang kurasakan, dan kombanasi antara keduanya memberikan sensasi yang begitu dahsyat, tak bisa kupungkiri benda yang tergantung diselangkangankupun sudah mulai mengeras seperti kayu.

Tubuh telanjang Rani yang bersih mulus tanpa cacat, meliuk-liuk dan bergoyang-goyang indah dihadapan si tua bangka pak Leo, tak ada rasa canggung apalagi malu, malah beberapa kali Rani terlihat memejamkan matanya seolah menikmati jari tengah pak Leo yang sedang keluar masuk dilubang nikmatnya.

"Mau Man?" tanya pak Leo, sambil menoleh pak Hilman yang ada disampingnya.

Tentu saja pak Hilman menyambut tawaran pak Leo dengan antusias.

"Sini manis duduk dipangkuan AA!" seru pak Hilman, seraya menarik tangan Rani.

"Gini ya pak?" tanya Rani, sambil dia duduk di pangkuan pak Hilman namun membelakanginya.

Sudah pasti kesempatan itu tak disia-siakan oleh pak Hilman, karena kedua tangannya langsung gencar bergerilya pada setiap lekuk tubuh indah istriku.

"Argh.. pak...!" Rani mendesah dan kembali bergoyang dipangkuan pak Hilman.

Aku hanya melongo seperti orang bego, melihat istriku yang begitu liar seolah kesambet setan binal.

"Bener bos, sempit banget nih lubang!" seru pak Hilman, setelah dia berhasil menancapkan jari tengahnya kedalam memek Rani, yang otomatis membuat Rani kembali harus merintih.

"Ah elo bikin gw penasaran aja!" seru pak Riki, lalu dia mendekati isitriku yang masih dalam pangkuan pak Hilman.

Seolah paham keinginan pak Riki, pak Hilman menarik jari tangahnya yang sedang asyk bermain didalam lubang nikmat istriku, lalu dia merenggangkan kedua kaki istriku lebar-lebar hingga lubang nikmat yang biasanya hanya menjadi miliku itu, seolah sengaja dipertontonkan pada semua orang diruangan itu.

"Argh... malu Pak...!" seru Rani, dan dia berusaha menutupi lubang nikmatnya yang terbuka dengan jemari tangannya.

"Udah, santai aja!" kata pak Riki, lalu dia menyingkirkan tangan Rani, dan dengan satu gerakan dia melesakkan jari tengahnya kedalam lubang nikmat Rani yang terbuka lebar.

"Argh.. jangan dikobel-kobel terus memek Rani pak..." "Oughhh...!"

Tiba-tiba saja Rani meracau dan nyaris berteriak, saat jari tengah pak Riki berselancar dengan liar dilubang nikmatnya bergantian dengan jemari pak Gino dan pak Hilman yang sudah pasti tak mau ketinggalan.

Gila, istriku benar-benar dilecehkan sedemikian rupa, namun aku sebagai suaminya tak mampur berbuat apa-apa, malah anehnya aku malah terangsang menyaksikan istriku diperlakukan seperti itu.

Mungkin aku memang sudah gila, tapi perpaduan antara cemburu dan birahi itu sangat dahsyat, hingga membuat sekujur tubuhku menggigil hebat, bahkan sesaat aku merasa oksigen seolah hilang dari tempat itu.

Tak kuasa aku menahan cemburu berbalut birahi yang dahsyat, tanpa sadar aku mencekik sebotol minuman lalu menumpahkan isinya ketenggorokanku.

Aku memang bukan seorang peminum, bahkan seumur hidupku, tak pernah sekalipun aku menyentuh barang haram itu, maka tak perlu waktu lama tubuh langsung bereaksi gara-gara minuman sialan itu.

Kepalaku langsung terasa berat dan pandangan berkunang-kunang, sumpah rasanya kepalaku seperti memikul batu puluhan kilo, hingga nyaris saja aku memejamkan mata dan hilang kesadaran.

Dalam kesadaranku yang tinggal tersisa lima puluh persen, aku melihat Rani kembali digiring oleh pak Gino menuju pak Leo, namun langkah Rani tertatih-tatih karena jari-jemari pak Gino seolah tak bosan mengobok-obok memeknya, yang terlihat mengkilap.

Aku tertegun saat menyadari bahwa ternyata pak Leo sudah menanggalkan pakaiannya hingga telanjang bulat, bahkan batang kontolnya yang mirip torpedo sudah berdiri tegak dihadapan istriku, sumpah aku tak mengira pria paruh baya seperti pak Leo masih memiliki senjata yang begitu perkasa, bahkan sepertinya istriku terpesona olehnya, tampak jelas dari bola matanya yang mengkilat.

Pak Leo menarik tangan Rani dan mengarahakan pada torpedonya, mungkin dia kesal karena melihat Rani hanya bengong seolah tak paham dengan apa yang harus dia lakukan.

"Jangan diem aja dong!" bentak pak Leo, sepertinya langsung mengembalikan kesadaran Rani yang beberapa menit lalu entah melayang kemana.

Rani menggangguk tanda dia sudah mengerti apa yang harus dia perbuat, dan tanpa perlu dikomando lagi tangan halusnya mulai mengelus-elus kontol pak Leo.

Tangan halus Rani begitu lihai, mengocok benda besar berurat milik pak Leo yang berdiri tegak dihadapannya, sambil sesekali lidahnya menyentuh ujung kepala benda itu, seperti sedang menjilati sebuah eskrim, namun Rani hanya menjilat tidak sampai mengulumnya, sungguh melihat Rani melakukan hal itu membuatku merinding.

Namun ada sebuah pemandangan lain yang membuat sekujur tubuhku menggigil, yaitu saat melihat pak Hilman meremas-remas bongkahan pantat Rani yang gempal, sambil sesekali menggesek-gesekan kepala kontolnya yang seperti jamur sedang merekah, kelipatan lubang nikmat Rani yang pastinya sudah basah kusup, karena sedari tadi lubang nikmat itu sudah diobok-obok oleh jari-jemari atasanku.

Entah sejak kapan pak Hilman mengeluarkan kejantanannya aku tak tahu, namun yang pasti momen itu berhasil membuatku sulit bernafas.

Sebuah sensasi yang semakin gila, melihat istriku tercinta sedang memberikan service pada kejantanan lelaki lain yang bukan suaminya, dan selain itu ada sebuah batang keras dan besar yang juga bukan kepunyaan suaminya, sedang menggesek-gesek gerbang nikmatnya, dan hanya perlu satu hentakan saja maka batang besar itu akan menerobos dengan mudah lubang surgawi yang sebelumnya hanya menjadi milikku.

Rasanya aku seperti merasakan kembali sensasi saat pertama kali menonton film porno berpuluh tahun yang lalu saat aku masih SD, atau saat pertama kali aku menelanjangi perempuan waktu aku SMP, namun parahnya saat itu sensasinya lebih dahsyat.

Pengaruh alkohol bercampur dengan luapan birahi yang tiba-tiba meledak-ledak, membuat Kepalaku terasa semakin berat saja, hingga akhirnya aku tak mampu menguasai kesadaranku lagi, namun sesaat sebelum kesadaranku benar-benar hilang aku masih sempat melihat istriku Rani naik kepangkuan pak Leo yang sudah sama-sama telanjang bulat, lalu dengan gerakan liar dan erotis dia kembali bergoyang diatas pangkuan pak Leo.

Bisa dibayangkan kondisi Rani yang telanjang bulat tanpa selembar benangpun, bergoyang-goyang diatas pangkuan lelaki yang sama-sama telanjang, maka sudah pasti alat kelamin mereka akan saling bergesekan secara langsung, kulit bertemu kulit, karena sudah tak ada penghalang lagi diantara kedua alat kelamin itu, dan tidak menutup kemungkinan alat kelamin Rani dan pak Leo akan bersatu, yang artinya kontol pak Leo akan mudah menerobos kedalam lipatan memek Rani, apalagi goyangan Rani begitu liar, namun aku hanya bisa menduga-duga karena tak bisa melihatnya secara langsung, yang jelas kulihat adalah pantat gempal Rani yang bergoyang-goyang liar, begitu sexy dan mendebarkan, serta pak Leo yg tampak rakus mengulum dan melumat dua bukit kembar yang mulus dan kencang milik istriku, lalu setelah itu tiba-tiba semua menjadi gelap.

“Arghhhh…. Arghh,…!”

“Oughhh…!”

Samar pendengaranku menangkap suara-suara yang begitu familiar, disertai sebuah ingatan yang membuat hati bergetar. Sebuah ingatan yang seakan hilang beberapa menit yang lalu, ingatan yang begitu menyesakkan, dan ingatan yang begitu mendebarkan.

Sekuat tenaga aku berusaha membuka mata dan mengendalikan lagi kesadaranku, walaupun sulit namun perlahan aku mampu melakukannya, hingga kembali mataku mampu menangkap seisi ruangan walau samar.

Aku melihat pak Leo masih duduk di sofa sambil menghisap sebatang roko, namun dia sudah berpakaian lengkap. Anehnya disofa itu tak ada orang lain selain dirinya. Lalu mataku menyapu kesetiap sudut ruangan, hingga akhrinya pandanganku berhenti dan terpaku pada sebuah adegan yang begitu menyayat hati sekaligus mendebarkan jantung, dan menguras emosi.

Istiku tercinta masih tanpa busana, telentang diatas meja dengan kedua kaki mengangkang lebar, rambutnya acak-acakan tak karuan dan badannya mengkilat oleh keringat, namun tak sedikitpun melunturkan kecantikannya malah membuatnya terlihat begitu sexy dan menggoda.

Sebuah kenyataan yang membuatku nyaris kembali kehilangan kesadaran adalah bahwa istriku tidak sendiri diatas meja itu, karena dia sedang dikerumuni oleh tiga laki-laki buaya darat yang sudah pasti ku kenal.

Pak Hilman nampak memegang kendali, dia tampak begitu bernafsu menggenjot lubang nikmat Rani dengan alat kejantanannya. Ya, jelas sekali aku melihat kepala GA berperut buncit itu sedang menyetubuhi istriku, sementara pak Riki dan pak Gino berada disebelah kanan dan kiri Rani, merekapun sama-sama sedang mencari kepuasan dari tubuh indah Rani.

Kemungkinan terbutuk yang aku takutkan benar-benar terjadi, istirku dijadikan alat pelampiasan nafsu bejat mereka, tentu saja hal itu yang menjadi perdebatan antara aku dan Rani sebelum berangkat, namun aku tidak cukup punya kekuatan untuk melunakan kekerasan kepala dan hati Rani, hingga akhrinya semua itu harus terjadi.

Namun ada yang aneh dari semua yang ku saksikan, karena tak ada raut kesedihan atau keterpaksaan yang ku tangkap dari Rani, malah yang kulihat, dia seperti menikmatinya, tercermin dari rintihan dan goyangan pinggulnya menerima setiap sodokan-sodokan kontol pak Hilman, atau saat dia terlihat begitu liar menyepong kontol pak Gino dan pak Riki bergantian.

Apakah benar Rani begitu menikmati?

Apakah semua itu hanya pengaruh minuman yang mungkin dicampur perangsang?

Atau semua itu akibat dari pengaruh pak Riki?

Pertanyaan-pertanyaan itu membuatku gila.

"Ough..!" "Enakk... ngentotttt!"

"Hummffff...."

Erangan dan desahan erotis Rani yang sesekali tertahan akibat mulutnya disumbat kontol membuat sekujur tubuhku merinding, diiringi lenguhan dan desahan tiga orang lelaki yang sedang mencari kepuasan darinya.

"Argh...!" "Anjinggg...!"

Tiba-tiba pak Hilman mengerang, sambil menghentakkan pinggulnya lebih kencang. Lalu sesaat kemudian dia bergerak mundur, sepertinya dia sudah selesai menunaikan hajatnya, tampak raut kenimatan tersirat diwajahnya, lalu dengan segera posisinya di gantikan oleh bosku pak Gino.

"Sialan lo Bro, pake ngecrot didalem lagi!" umpat pak Gino, tapi tetap saja dia menghujamkan kontolnya kedalam lubang nikmat Rani yang pasti dipenuhi sprema pak Hilman.

"Oughhhh, kontolnya pak...!!!" Rani kembali merintih, saat pak Gino mulai penetrasi, sepertinya dia merasakan sesuatu yang lain dari kejantanan milik bos ku itu, hingga dia terlihat bergoyang lebih liar, dan lebih sering mengerang.

"Kenapa kontol gw?" ledek pak Gino, seraya menghentikan pompaannya.

"Terus pak jangan berhenti, entot terus...!" pinta Rani, menghiba, seperti pengemis kelaparan.

"Kenapa kontol gw?" pak Gino mengulang pertanyaannya.

"Geddeeeee pak, ennnaaaak , entot lagi!!!" jawaban dari istriku yang sungguh membuat sekujur tubuhku menggigil hebat.

Istriku yang semula perempuan anggun dan manis, hanya dalam beberapa menit saja sudah berubah menjadi perempuan liar dan binal entah apa yang merasukinya.

"Dasar Lonte!" umpat pak Gino, lalu kembali dia mengehentakkan pinggulnya bahkan lebih kasar, namun sepertinya Rani teramat menikmatinya.

Tentu saja Rani tidak hanya mengimbangi setiap sodokan kontol pak Gino dengan goyangan pinggulnya, karena diapun harus melayani kontol pak Riki yang ada dihadapanya.

Kontol besar dan berurat milik pak Riki nampak mengkilap oleh air liur Rani, karena mulut mungil istri tercintaku berkali-kali melahap kontol jumbo itu.

Jika sebelumnya Rani yang memegang kendali saat nyepong kontol pak Riki, namun perlahan pak Riki mulai mengambil alih, awalnya pak Riki diam saja menikmati kuluman lembut dari mulut dan lidah Rani, paling sesekali dia meremas bukit kembar Rani yang memang menggemaskan, namun perlahan terlihat jelas pinggul pak Riki mulai bergoyang dan menghentak-hentak, seolah menganggap mulut mungil Rani seperti lubang nikmat yang kedua.

Entah apa lagi yang harus ku katakan, karena saat itu perasaanku berkecamuk tak karauan, melihat dua lubang yang ada pada tubuh indah istriku sedang dijejali oleh dua benda tumpul yang berukuran diatas rata-rata, bahkan dua kali dari ukuranku.

Rani tampak kepayahan setiap kali harus menerima sodokan kontol jumbo pak Riki dimulutnya, apalagi semakin lama sodokan kontol pak Riki semakin intens, seolah tak memberikan jeda pada Rani untuk bernafas, tentu saja hal itu membuat Rani terlhat kelabakan, namun tentunya tak ada yang bisa dia lakukan selain berusaha membuka mulutnya semakin lebar.

Selain itu tentu saja diapun harus meladeni sodokan- sodak kasar kontol pak Gino, yg mengobrak- abrik memek mungilnya.

"Ough... Bangsat!" umpat pak Riki, sambil menjambak rambut Rani, lalu tubuhnya nampak melengking dan berkedut beberapa kali.

Gila, pak Riki sepertinya sedang menumpahkan cairan kentalnya dimulut istriku, otomatis tak ada pilihan lain bagi istriku selain menelan cairan kental yang dikeluarkan oleh kontol pak Riki, padahal sebelumnya dia tak pernah mau melakukannya, dan saat pak Riki mencabut kontolnya, cairan kental yang masih tersisa berceceran membasahi wajah manis istriku.

"Gimana enak?" seru pak Riki, sambil mengusap-usapkan kepala kontolnya ke wajah manis Rani.

"Ough.. Argh.. Konnntolll!"

"Rani, sampeeee paaaakk"

"Arghhh... Anjinggg"

"Enaaaakkkk"

Bukan jawaban yang pak Riki dengar, tapi suara erangan dan racauan tak karuan Rani yang sangat heboh, sepertinya dia mencapai puncak kenikmatan yang bagitu dahsyat, saking dahsyatnya tubuhnya sampai mengejang beberapa kali, miris sekali karena saat bercinta denganku tak pernah sekalipun dia seheboh itu.

Setelah itu tubuh istriku seolah menjadi milik pak Gino, karena pak Riki dan pak Hilman tampak menyerah ketepian, mereka tampak asyk menghisap sebatang roko, sambil menyaksikan adegan erotis yang diperankan oleh istriku dan pak Gino.

Setelah membiarkan istriku menikmati gelombang orgasmenya yang dahsyat, pak Gino kembali menggarap tubuh indah istriku, tanpa sungkan dan malu bahkan dihadapan teman dan bosnya sendiri.

Adegan berlanjut, dan dengan satu isyarat pak Gino meminta istriku berganti posisi. Lalu masih diatas meja Rani memposisikan diri seperti kuda betina yang siap dikawini, jujur saja itu adalah pose paforitku karena pantatnya yang membulat dan gempal menjadi pemandangan yang indah.

"Plak...! Plak...! Plak...!"

Lagi-lagi pak Gino menampar pantat istriku beberapa kali, hingga membuat pantat putih mulus itu kembali memerah.

"Ough.. Entot lagi Rani pak!"

"Argghh!"

Rani kembali mengerang dan meracau setiap kali pak Gino menampar pantat mulusnya.

"Oughhh.... Terus pak yang dalem!" seru Rani saat pak Gino kembali menghujamkan torpedonya, mengobrak-abrik lubang hangat dan nikmat miliknya.

Rani tampak seperti kuda betina yang liar, tubuhnya merangkak diatas meja sambil sesekali meliuk-liuk, diselangi pantat gempalnya yang bergoyang memutar.

Sementara pak Gino seolah menjadi joki handal, yang sedang menunggangi kuda betina yang binal, raut wajahnya yg keras menyiratkan kepuasaan dan kebanggaan karena telah berhasil menaklukan Rani.

Sungguh kontras tubuh tinggi besar pak Gino, melawan badan semampai Rani yang keduanya tampak mengkilat oleh keringat.

"Arghh! terus pak!! entot Rani yang kenceng"

"Ough...!! Nikmat....!!!"


Erangan serta desahan Rani terdengar begitu jelas, seolah mengisi seisi ruangan yang sepi, dan akhirnya baru kusadari bahwa house musik yang sempat berisik itu sudah mati, berganti oleh suara erangan dan desahan erotis istri dan atasanku yang sedang berpacu memburu puncak birahi.

Sebenarnya kesadaranku hampir pulih, walau kepala masih berat, dan perut mulai terasa mual, namun aku memilih menenggak lagi minuman yang leher botolnya masih ada dalam cengkramanku, berharap aku kembali tak sadarkan diri, itu lebih baik dari pada aku harus melihat ada laki-laki lain lagi yang menggenjot lubang nikmat istriku, atau ada laki-laki lain yang memuntahkan spermanya di mulut serta wajah manis istriku seperti yg dilakukan oleh pak Riki beberapa menit yang lalu, bahkan mungkin lebih baik aku tak sadar lagi.
Finish ah ngeditnya ;)
 
Terima kasih atas releasenya karya suhu di gelaran LKTCP 2019.
Izin mengikuti lanjutannya suhu
 
bagus banget tapi sayang padahal sedikit lagi ending nya kena? kok seperti putus ditengah jalan!!! seumpama dilanjutin dikit lagi pasti kena dibagian istrinya setelah itu menyesal atau malah senang atau pura2 nyesel? kalo gini jadi nanggung banget!!!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd