Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

When The Sun Goes Down (NO SARA)

Bimabet
EPISODE 5: YELLOW

=====


=====

“Tetaplah di istanamu, langit yang biru kelabu!” teriak kami berempat di mobil Morris menyanyikan lagu Rumahsakit yang berjudul “Kuning”.

Hari ini adalah hari penampilan kami di kampus Seno dan Tiara. Tentu saja, mereka akhirnya mengetahui apa yang kulakukan dua minggu yang lalu, dan semua orang terutama Seno selalu meledekku yang sedang berbunga-bunga. Morris juga kerap melontarkan bercandaan “offside”-nya yang selalu menjadi punchline di tiap candaan kami.

Semenjak perbincangan kami di tukang sate, aku jadi sering mendengarkan lagu indah ini. Tiara pun juga menyadari pergerakanku ketika aku mengunggah lagu ini ke story-ku di Inst*gram. Aku juga bukan seorang “Hardcore tulen”, aku juga masih bisa menikmati lagu-lagu seperti ini karena tak dapat dipungkiri lagu ini memang lagu yang sangat indah.

“Pokoknya, malem ini malemnya Fadil, ya guys!” Ucap Morris kembali meledekku.

“Alah, tai. Mau manggung di kampusnya Tiara atau sampe main di Madagascar ‘ge, malam ini milik kita, lah pren!” Balasku kembali membalutnya dengan candaan.

“Dih, momen biasa-biasa aja tapi di kosan gua tadi ribut nyari outfit yang bagus!” Balas Seno tanpa menghentikan ledekan kearahku.

“Iya, anying! Perasaan Fadil juga biasanya kaga mikirin outfit!” sambung Umair.

“Udeh, udeh. Pokoknya, mah malem ini kita cheers buat Fadil, ye!” Potong Morris mengajakku tos.

“Yep, dan semoga kali ini Morris dapet bungkusan yang oke banget juga!” Balasku membuat kami tertawa.

=====

Seperti saat aku melakukan survei lokasi, Fauzan telah menyambut kami di pintu masuk fakultasnya. Kami juga langsung diantar ke ruang tunggu, dimana Sam telah berada disini sendirian.

“Wey, Sam!” Sapaku selagi kami memasuki ruangan.

“Weh, Dil! Sokin!”

Tentu saja, sebagai band pengisi, kami ditempatkan bersama tanpa Rumahsakit. Di acara ini terdapat 7 band yang akan tampil, dan dibagi menjadi 3 kategori. Dua band pertama yang akan menjadi pembuka acara ditempatkan di ruangannya sendiri, sedangkan Unwanted, band Sam yang bernama Last Friday Night, ditempatkan di ruangan yang sama.

Aku, Seno, dan Sam mulai mengobrol sementara Morris dan Umair langsung menjajarkan kursi dan merebahkan diri di deretan kursi tersebut.

“Kalian berempat doang?” Tanya Sam.

“Kan emang berempat mainnya.” Jawab Seno.

“Nggak, maksudnya, kalian nggak bawa kru apa gimana gitu?” Balasnya kembali bertanya.

“Oh, nggak, sih. Kita dari awal main udah gak mikir perlu punya kru juga, Sam.” Jelasku.

“Iya. Toh kita cuma berempat, gear juga gak banyak.” Sambung Seno.

“Sama enak juga sih bagi-bagian uangnya jadi lebih gede juga.” Timpalku dengan Candaan.

“Hahahahaha. Iya juga, sih. Ini juga anak-anak kru gua pada kejebak macet dari Jakarta, terus yang di Bandungnya juga masih nungguin mereka.” Cerita Sam.

“Lah, bukannya personil lu ada yang anak sini?” Tanyaku.

“Iya, tapi dia lagi ngurusin kerjaan diluar bentar.”

Selagi kami bertiga berbincang, Fauzan kembali ke ruangan ini membawa dua kantung besar berisikan riders kami. Meskipun kami memberikan list yang disatukan, Fauzan juga telah menyortir mana yang milik kami dan mana yang milik Sam, meskipun sebenarnya dapat disaksikan jelas jika memerhatikan berapa kaleng bir yang berada di dalam kantung.

Mengingat beban yang bisa kami berikan ke panitia, aku dan Morris juga sudah menyiapkan beberapa botol lain yang akan kami nikmati. Sayangnya kami tidak membawa botol itu dan juga aku sangat melarang Morris untuk tampil ketika ia sedang mabuk.

Beberapa kali, Morris mengacaukan bagiannya dan terkadang ia malah terkapar lebih cepat. Aku dan Seno pun akhirnya melarang Morris untuk berada dibawah pengaruh selama diatas panggung. Alkohol yang lainnya kini kusimpan di tasku supaya Morris tidak iseng mengambil.

“Oh, iya kang. Ieu ekslusif buat maneh.” Ucap Fauzan memberikan sekantung paper bag kepadaku.

Ketika aku membuka tas itu, aku melihat ada satu gelas es kopi dan roti bakar dari salah satu coffeeshop ternama di negeri ini. Selain itu, aku menemukan jaketku yang tak menghuni lemariku beberapa waktu belakangan.

Tak kusangka Tiara akan seniat ini untuk mengembalikan jaketku. Padahal, aku lebih berharap ia bisa datang kesini dan memberikan jaketnya kepadaku langsung. Aku ingin sekali melihat kecantikannya lagi.

Di dalam tas itu juga, terdapat sebuah note kecil yang ditempatkan diatas jaket yang masih dikemas dalam plastik. Selagi aku mengambil minuman yang ia berikan, aku juga mengambil pesan itu dan Seno dan Sam langsung mengintip.

“Kak Fadil ini jaket punya kakak yaa, have fun dan semangat buat hari iniii hehe. Sama ini ada kopi buat kakak biar kak Fadil seger terus hehe.” Isi pesannya.

“Anjing, lu udah punya cem-an aja disini, Dil!” Ledek Sam.

“Bukan sekedar ceman, bro! Si Tiara ini kalo lu kenal!” Balas Seno.

“HAH, SUMPAH?!” Jawab Sam begitu kaget.

Aku hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan Sam. Aku begitu senang bisa mendapatkan ini dari Tiara, namun aku tak langsung meminumnya karena bir yang dipampangkan di depanku sepertinya terlihat lebih menarik.

Akupun langsung mengembalikan barang-barang itu seperti kondisi semula. Morris juga sepertinya mulai ‘asam’ dan sembari membawa sekaleng bir, ia beranjak pergi keluar.

“Dil, sebat ga?” Tanya Morris.

“Ayo, dah.”

=====

Untuk mengamankan diri, kami menghabiskan bir ini di dalam mobil Morris. Selagi kami menikmati bir dan rokok yang kami genggam, kami terus memerhatikan orang-orang yang berlalu-lalang di depan kami. Tentu saja aku mencari Tiara, dan Morris sepertinya sedang mencari mangsa berikutnya.

“Anying, Dil.” Ucapnya setelah membuang asap. “Cewek-cewek disini mantep juga ya, ternyata.”

“Asli, men.” Jawabku.

Aku juga selalu standby di hapeku. Sebagai narahubung band juga aku harus selalu siap siaga. Kami datang lebih awal harusnya kami bisa mendapatkan waktu sound-check yang lebih awal juga. Dari rundown yang diberikan oleh Fauzan juga sudah cukup molor dari waktu ideal.

Aku juga sudah mengucapkan terimakasih kepada Tiara. Akan tetapi, Tiara masih belum membalas pesanku dan biasanya ia tak pernah mnghilang selama ini. Kartu as-ku juga sudah di genggaman, jadi tak mungkin aku bisa mencuri kesempatan dalam waktu dekat.

“Terus lu udah jadian sama Tiara, Dil?” Tanya Morris tiba-tiba.

“Belom, Ris.” Jawabku. “Kadang gua jadi takut sendiri kalo dia ternyata gak mau pacaran gimana.”

“Ah, tai. Jangan negative thinking mulu, Dil.” Balasnya.

“Tapi gimana, ya? Kadang gua takut kalo ngeliat karir yang gua tempuh gak bisa buat ngehidupin dia, soalnya orangnya emang keliatan serius banget gitu.”

“Well, lu berdua sama-sama kerja di ranah media. Lu juga dari nge-band masih lumayan dapet gede.” Jabar Morris. “Kenapa lu malah jadi takut?”

“Nah itu. Kadang gua mikirnya kalo dia ngejabanin gua karena nganggep gua senior di media aja.” Jelasku. “Gua juga bingung, udah kehabisan langkah.”

“Nih, Dil, saran gua mah, ya—“

“Kagak, anjing! Ujung-ujungnya gua tau lu nyuruh gua ewe paksa dia!” Potongku membuat Morris tertawa.

Aku tahu, Morris memang bercanda. Morris juga menjadi orang yang paling cabul diantara kami. Lagipula dia juga memang sering seks sana-sini. Tapi aku tahu Morris tidak seperti itu.

Morris mungkin memang bajingan, tapi ia masih manusiawi. Meskipun kadang candaannya menjatuhkan wanita, Morris selalu bersikap gentlemen terhadap wanita-wanita yang pernah ia setubuhi.

Morris juga bisa membedakan hubungan ranjang dengan hubungan romansa. Meski ia masih sering bergonta-ganti pasangan, itu hanya sekedar pelampiasan dalam hubungan mau-sama-mau. Ia tak pernah memaksa untuk memiliki hubungan dengan seseorang hanya karena seks, dan untungnya saat ini, tidak pernah ada perempuan yang menolak pemikirannya.

“Kagak, anjing! Serius ini gua!” Timpalnya membuatku tertawa.

“Cewek emang kompleks, Dil. Kadang lu gak bisa nebak apa yang emang dia mau. Kadang lu mikir dia mau pacaran tapi dia maunya sahabatan, atau pas lu maunya sahabatan taunya dia kepalang sange.” Jelasnya.

“Kalo emang lu bingung sama Tiara, wajar. Lu juga gak bisa buru-buru. Tapi kalo kelamaan juga, orang kayak Tiara pasti bakal banyak saingannya.” Lanjutnya selagi aku memahami apa yang ingin ia sampaikan.

“Lagipula, lu udah unggul posisinya sekarang. Jadi let it flow aja. Sekalipun lu gagal sama Tiara, lu masih bisa jadi sahabat dia, jadi kakak-kakakan dia.” Jelasnya lagi.

“Nah, yang jadi pertanyaan gua sekarang: lu udah siap belom kalo ujungnya bakal begitu?”

“Gak tau, Ris. Gua juga belom mikir sampe kesana.” Balasku.

“Nah, yaudah. Buat saat ini, just enjoy it, man.” Saran Morris. “Lu gak akan tau kalo lu bakal dapet kesempatan kayak gini lagi.”

Benar, sih. Selama waktu kurang lebih dua bulan kebelakang, aku merasa kehidupanku menjadi lebih cerah. Aku tidak pernah menyangka bahwa sekedar ucapan ‘selamat pagi’ dan ‘selamat malam’ bisa memperbaiki mood-ku tiap aku mengawali atau mengakhiri hari.

Aku juga tak menyangka bahwa ucapan ‘semangat kerjanya!’ dan ‘hati-hati di jalan’ juga selalu menjagaku tiap aku beraktivitas. Ucapan selamat makan darinya juga selalu meningkatkan nafsu makanku, dan ingatan untuk tetap melaksanakan ibadah juga membuatku selalu tetap ingat kepada tuhan yang maha esa.

Tak dapat dipungkiri, hubungan ini berdampak begitu besar kepadaku. Tiara selalu membuatku menjaga diriku sendiri dan berusaha untuk mejadi orang yang lebih baik. Meski sebelumnya kuanggap remeh, aku baru menyadari betapa membahagiakannya untuk bisa memiliki hubungan dengan seseorang.

Meskipun begitu, bila harus jujur, aku tak siap untuk menerima fakta bahwa mungkin ini titik terjauh yang bisa kudapatkan dari Tiara.

“Udah, gapapa, Dil.” Ucap Morris sambil menepuk-nepuk bahuku. “Kalo emang gak bisa ewein Tiara, masih ada teh Laras.”

“Hahahahah, anjing! Jadi ke teh Laras gini!” Balasku tertawa kencang.

“Lah, enak bego, Dil! Pantatnya kan bulet banget tuh, pas lagi doggy lu tepak-tepak pantatnya! Masa lu gak demen?!” Canda Morris meragakan tamparan kearah pantat.


“Coy, lu pikir gua gak pernah coli sambil bayangin die?” Balas candaanku membuat Morris tertawa lepas.

Kami lanjut menikmati rokok dan bir yang sedang kami genggam. Kami bersinggah di mobil Morris cukup lama setelahnya sampai akhirnya Fauzan menelelponku dan kini sudah jadwal bagi kami untuk melakukan sound-check.

=====

Acara telah dimulai. Band pertama sudah menampilkan performanya, dan selagi menunggu giliran kami, aku selalu berada di lokasi venue untuk menikmati musik yang dimainkan.

Tentu saja sebagai band pembuka, antusiasme dari penonton tidak begitu besar. Dari yang kulihat juga, audiens yang meramaikan acara lebih banyak berasal dari pihak panitia. Beberapa band lainnya juga tidak ikut mendukung, dan selagi Umair dan Morris pergi dari lingkungan kampus, aku dan Seno ikut meramaikan acara disini.

Waktu senggang maghrib menjadi penghubung dari sesi ‘cover’ ke sesi ‘keras’. Seno langsung beranjak ke Masjid untuk menunaikan ibadah sementara aku berkeliling di zona tenant untuk membeli cemilan. Tak perlu banyak usaha dan waktu, aku langsung melihat Tiara yang sedang mengobrol bersama Sam seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.

“Wey, Ti! Sam!” Panggilku selagi mendekati mereka.

“Eeeeh, kak Fadil!” Teriak Tiara girang melihatku dari kejauhan.

“Akrab banget nih, aing liat-liat.” Candaku.

“Biasa, lah. Ada tawaran job lagi buat Tiara.”

Kami mulai berbincang bertiga selagi menunggu panggilan. Harusnya Sam naik ke panggung setelah ini, tetapi melihat masih sedikit pengunjung yang meramaikan lingkungan panggung, panitia memutuskan untuk melonggarkan waktu dan aku dan Sam memiliki waktu yang lebih banyak untuk berleluasa.

Selagi Tiara dan Sam berbincang, dugaanku benar bila mereka sudah saling kenal sejak lama. Ketika aku berasa di dalam perbincangan ini, aku merasa diriku diasingkan dengan topik mereka. Hal seperti inside jokes yang tak kuketahui juga seringkali dilontarkan hingga membuatku mati kutu.

Tapi masuk akal juga, sih. Lagipula, kan Tiara pernah menonton Last Friday Night berkali-kali. Mungkin juga saat pertama kali kami bertemu, Tiara bisa mendapatkan akses dari siapa lagi selain Sam?

“Eh, sorry, ini gua ngeganggu waktu bucin kalian, nggak?”

SAM BANGSAT!

“Hah, emang siapa yang pacaran?”

Dengan cepat aku langsung mematahkan basa-basi Sam supaya tidak canggung. Tatapanku kuarahkan ke kedua mata Sam begitu tajam. Sam pun akhirnya sadar bahwa perkataan dia mungkin akan menghancurkan usahaku untuk mendapatkannya.

“Oooh, kirain. Kali aja Tiara mau sama anak band lagi, hahahaha.”

Oh, ternyata sebelumnya pacar Tiara merupakan seorang anak band? Aduh, aku jadi mulai bimbang. Stigma anak band, kan dikenal dengan kepribadiannya yang sangat “fuckboy”. Apakah Tiara merasakan hal yang sama ketika aku mencoba?

Atau mungkin sebenarnya dia sudah sadar tapi tetap ingin berhubungan dekat denganku? Aaah, sial. Ada saja momen yang dapat merusak mood-ku nanti.

Meski Sam hanya bergurau tentang mengganggu waktuku, ia benar-benar pergi meninggalkan kami. Untungnya, Tiara juga membalas candaan Sam dan tak terlihat adanya ketidaknyamanan di wajahnya.

Aku dan Tiara pun kembali berbincang. Tak lupa aku mengucapkan terimakasih atas kopi dan jaket yang ia kembalikan. Ia juga bercerita kalau jaket itu sempat menjadi perbincangan di lingkungannya, karena tak hanya Tiara menceritakan itu milik siapa, Tiara juga selalu mengenakan jaket itu nyaris setiap hari ketika ia pergi ke kampus.

Tak lama setelah itu, Fauzan meneleponku. Waktu istirahat telah habis dan Unwanted beserta Last Friday Night diminta untuk bergegas mengangkut barang ke backstage.

“Ti, kamu mau ikut ke backstage, nggak?” Ajakku.

“Hah, emang boleh?” Tanyanya.

“Yaudah, weh bilang aja kamu jadi kru-nya Unwanted.” Balasku lagi.

Tiara pun mengiyakan ajakanku. Kami beranjak menuju ke ruang tunggu Unwanted dan Last Friday Night. Selagi kami berbincang, aku memulai interogasiku tentang hubungan lamanya. Apa mungkin sebelumnya ia pernah punya hubungan dengan sam?

“Ti,” mulaiku. “Itu si Sam mantan kamu, kah?”

“Hah? Nggak, kok.” Jawabnya. “Kenapa emang, kak?”

“Nerka-nerka aja. Kamu deket banget terus Sam juga nyinggung masalah kamu pernah pacaran sama anak band.”

“Ooooh, hahahaha. Bukan, kok. Sam mah emang temen aku aja, kak. Tapi bener, kok dulu aku pacaran sama anak band.” Jelasnya.

“Tapi dia kenal sama mantan kamu?” Tanyaku lagi.

“Waduh, panjang, kak. Kapan-kapan aku ceritain, deh.”

Kami telah tiba di ruang tunggu. Entah kenapa, Tiara lebih memilih untuk menunggu diluar. Aku juga tak takut untuk meninggalkannya sendirian karena beberapa panitia yang ada di gedung ini juga teman dari Tiara, dan dengan Tiara tidak ada, aku bisa mengonfrontasi Sam tentang bercandaan tadi.

“Sam,” panggilku dan ia segera mendekatiku. “Untung lu cepet connect-nya, anjir. Berabe gua kalo tadi Tiara malah nanya yang aneh-aneh.”

Sam pun tertawa lepas, dan ia langsung menepuk-nepuk pundakku selagi kami berangkulan dan berbisik-bisik.

“HAHAHAHAHAHAHA! KALEM AJA ATUH, DIL! TIARA MAH JUGA NYELO ORANGNYA!” Teriaknya membuatku panik.

“Eh, bego, kecilin! Tiara ada di luar!” Bisikku.

“Lah, kagak mau masuk, dia?” Tanyanya.

“Ho’oh. Teuing anying kenapanya.” Balasku.

“Yaa, wajar, sih.”

“Kenapa, anying?”

“Ya orang ada mantannya disini.” Jelasnya.

Sebentar. Tak mungkin Tiara berhubungan dengan Seno karena pasti ia akan bercerita kepadaku. Morris apalagi, dan begitu juga dengan Umair.

OH, BERARTI…

“OOOOH, DIA PERNAH PACARAN AMA BOCAHAN LU?!” tanyaku berbisik kencang.

“Iyee, cuma hubungannya jelek yang sampe sekarang ngebikin Tiara gak mau berurusan ato ketemu sama dia.” Jelasnya.

“Siapa?”

“Bassist gua.”

Oh, Raynel. Pantas saja.

Melihat gayanya Raynel, aku bisa paham mengapa Tiara pernah suka dengannya. Gaya berpakaiannya begitu nyentrik dan taste-nya juga sangat edgy. Aku bisa melihat betapa cocoknya mereka berdua. Hal itu juga membuatku sedikit insecure karena aku bukan orang yang mengerti gaya, dan juga seleraku —terutama di musik— begitu berbanding jauh dengannya.

Diantara yang lainnya, Raynel juga lebih pendiam dibandingkan dengan personil lainnya. Selama aku di ruang tunggu, aku hanya melihat ia mengobrol dengan gitarisnya. Bahkan selama kami berada di ruangan yang sama, Raynel tak pernah sekalipun menyapaku, atau sekedar basa-basi. Perawakan itulah yang kunilai begitu keren darinya.

Tapi, apa yang membuat hubungannya hancur?

“Putus kenapa, mereka?” Tanyaku.

“Wah, bukan hak gua buat cerita, Dil. Mending lu yang tanya aja ke Tiara nanti.” Jawabnya. “Itupun kalo dia mau.”

“Emang separah itu, Sam?”

Belum Sam menjawab, tiba-tiba Raynel datang menghampiri kami dan mengejutkan kami berdua.

“Lagi bahas apaan, sih? Buruan, ayo.” Ucapnya tanpa basa-basi.

Kami terdiam kaku melihat perlakuan Raynel. Tanpa berpamitan atau apapun itu, kami juga langsung mengambil barang-barang kami dan aku yang ditunggu Tiara langsung bergegas menuju ke panggung.

=====

Jelas, kini perjalanan kami terasa begitu canggung. Bagaimana tidak? Ketika kami jalan berdua, Raynel berada di depan kami. Melihat gelagatnya Tiara, ia juga terlihat tidak nyaman. Bahkan ketika aku mempercepat atau melambatkan langkahku, ketika aku berhenti sejenak, Tiara selalu mengikuti langkahku dan tak mau jauh dariku.

Entah apa yang terjadi di hubungannya kala itu, pasti dampaknya sangat besar bagi Tiara hingga ia menjadi seperti itu.

Kami pun tiba di backstage. Setelah aku menaruh hardcase gitar dan pedalboard, aku kembali mendekati Tiara dan kini aku mengenalkan Tiara kepada seluruh personil Unwanted.

“Nih, ini Seno yang dari fakultas sebelah. kalo ini Morris, yang itu Umair.” Ucapku mengenalkan satu-persatu.

Tiara pun langsung menyalami tangan Seno dan Morris. Namun ketika ia hendak menyalami Umair, Unair terdiam bingung dan tampangnya begitu datar yang membuat Tiara canggung dan kembali menarik tangannya.

“Eh, Mir! Itu ada yang mau salaman sama lu!” Ucapku yang hanya dibalas dengan senyuman dungu.

“Yah, udah kelewat mabok, ini mah.” Canda Morris.

“Ih, bangsat! Kalian udah ngambil duluan, ya?!” Marahku yang hanya dibalas dengan tawan kecil.
“Awas aja kalo lu main berantakan, anying!”

“Hehehe.. Aman, Dil… Aing perlu dorongan aja..” jawab Umair yang masih mengawang.

“Udah kelewat dorong lu, anjing!” Timpal canda dari Seno.

Yang kutahu, Umair memang memiliki ketergantungan pada alkohol. Terkadang ia memiliki hambatan untuk bisa fokus, dan pelarian utamanya adalah miras yang menurutnya bisa membuat ia lebih tenang. Hal ini tak hanya berlaku di dunia musik. Tapi di perkuliahan, ranah kerja, dan lain-lainnya.

Tak lama kemudian, stage manager datang ke kami dan memberi himbauan kepada Last Friday Night untuk beranjak ke panggung. Tentu saja, kami saling bertukar semangat. Namun diantara mereka, hanya Sam yang berani mendatangi kami dan bersalaman dengan kami semua.

Raynel? Tentu saja tidak.

“Dil, pas ‘Dilarang di Bandung’ naik lagi, ya!” Ajaknya dan kuterima dengan sepenuh hati.

Akhirnya setelah Sam mendekati kami, seluruh personilnya mengajak kami tos, termasuk Tiara. Namun ketika Raynel berjalan melewati kami, Raynel menujukan perhatiannya ke Tiara sedangkan Tiara lebih memilih untuk membuang muka.

Selagi mereka menaiki panggung, aku juga mulai mempersiapkan diri. Aku langsung mengambil gitar bermerek Ibanez kebanggaanku dan aku mulai mempersiapkan set-up efek yang akan kugunakan nanti.

Seno dan Morris pun juga sama. Seno langsung mengambil bass-nya dan Morris sebagai bartender kami langsung memberikan sebotol alkohol kepadaku.

“Dil, dorongan.” Ucapnya.

Tentu saja aku awalnya enggan. Tiara sedang berada di depan kami. Aku tak enak bila harus menenggak minuman haram ini di depannya. Lagipula aku juga bukan orang yang bergantung dengan alkohol. Aku bisa menggila tanpa beban di panggung tanpa adanya dorongan sekalipun.

“Skip dulu, ah.” Tolakku yang membuat Morris cengengesan.

“Et, dah bocah malu-malu amat. Setinggi apa, sih harga diri lu?!” Canda Morris yang membuatku tertawa canggung.

Menyadari gelagatku, Tiara pun juga bersikap santai dan ia menyuruhku untuk minum bila aku mau.

“Sok aja, atuh kak. Santai ajaa!” Sambung Tiara.

Akhirnya karena dorongan dari Morris dan ‘izin’ dari Tiara, aku menenggak miras itu cukup banyak yang mungkin akan memberikan dampak buruk bagiku di panggung. Morris, Seno, dan Tiara pun juga terlihat santai saja. Bahkan mereka mentertawaiku ketika aku menumpahkan sedikit cairan di kausku.

“Eh, by the way, kak,” ucap Tiara memotong tawa kami. “Nanti perlu difotoin, nggak?”

“Atuh, gak bawa kamera aku.” Jelasku.

“Gak papaa, pake hape aja.” Balasnya meski aku masih enggan.

“Udah, sih. Ngeremehin Tiara, lu?” Timpal Seno.

“Tapi nggak ada bayarannya, nih. Aman, kah?” Tanyaku lagi.

“Bayarannya bagi itu aja, deh. Gimana?” Ujar Tiara sembari menunjuk kearah sebotol bir yang kusiapkan untuk nanti.

“HAHAHAHAHAHAHA. KAMU MINUM JUGA, TOH?!” Teriakku tak menduga tentang ini sama sekali.

“Iyaa, cuma sekarang, mah occasionally ajaa. Udah mau berusaha tobat aku.” Jawabnya.

Jelas saja. Melihat Tiara yang sekarang menutup diri dengan hijab juga sebenarnya terlihat bahwa ia ingin berubah menuju ke arah yang lebih baik. Perpindahan ini juga tak mungkin berjalan secara instan, dan langkah sedikit demi sedikit juga sudah cukup baik.

“Okeh, deal.” Jawabku menyetujui tawarannya.

“Sipp, aku tunggu di bawah aja, yaa!” Balasnya.

Tiba-tiba, ia mengambil jaket yang sebelumnya ia pinjam dan ia mengenakannya asal di pundakku. Setelah itu juga, ia menepuk-nepuk pundakku menyemangatiku.

“Pake ini, kak. Biar lebih cakep.” Ucapnya. “Semangat, yaa kak! Do your best!”

Setelah itu, Tiara beranjak pergi dari backstage. Setelah memastikan kondisi aman, aku berbalik menghadap ke Seno dan Morris. Mereka melihat kearahku dan serentak mereka berdua mengangguk-anggukan kepala sembari mengacungkan jari tengahnya.

“She’s a keeper, bro.” Ucap Morris memuji Tiara.

“For real.” Sambung Seno.

Aku hanya tertawa melihat tingkah mereka, dan setelah sekian lama, Sam mengumandangkan kartu as “Dilarang di Bandung” mereka dan ini sudah saatnya aku menaiki panggung sebelum tampil bersama Unwanted.

======

“WE’RE THE FUCKING UNWANTED! WHO THE FUCK ARE YOU?!” Teriak Morris di tiap akhir penampilan kami.

Penampilan kami menjadi pusat dari tensi tinggi acara. Di ranah Bandung dan sekitarnya, Unwanted merupakan salah satu underdog terbaik dari skena musik Hardcore dan kami juga selalu dikenal dengan penampilan yang begitu liar ketika kami berada di atas panggung.

Tak kusangka, Umair bisa tetap menjaga performanya di drum meski ia sudah mabuk parah. Morris pun juga terlihat seperti mengalami momen terindah di hidupnya karena tak pernah aku melihat Morris bermain segila ini. Penonton pun juga selalu meramaikan dengan menciptakan mosh-pit yang bahkan tak berhenti ketika kami berada di jeda antara lagu.

Dengan dorongan alkohol tadi aku juga bisa bermain lebih lepas. Ketika sedang tidak ada bagian untuk memainkan gitar, aku kerap melakukan two-step di atas panggung dan beberapa kali aku melakukan gimmick menendang ke arah penonton.

Kami pun langsung meninggalkan panggung dan kami kembali ke backstage. Setelah andrenalin mulai menurun, barulah efek alkohol mulai menunjukkan sisi gelapnya. Umair langsung mendapatkan jackpot dan mengeluarkan isi perutnya ke dalam trashbag. Morris juga kini sudah terkapar dan berbaring di lantai sembari menghisap rokok.

Sedangkan aku yang belum banyak menelan alkohol, aku langsung membuka botol bir yang kusiapkan untuk perayaan setelah ‘manggung’. Tak lupa juga aku menyalakan rokok untuk merilekskan diriku yang masih merasa tegang.

“That’s a wrap, guys!” Ucap Seno yang menjadi satu-satunya orang dengan kesadaran penuh.

“He’eh….” Jawab yang lainnya yang sudah begitu mabuk.

“Keren, lu Dil, kagak mabok kayak mereka.” Sambung Seno meledekku.

“Yeh, anjing. Jangan samain gua kayak dua alcoholic ini, nyet!”

Sebenarnya juga hal ini tidak jarang terjadi. Ini merupakan pertama kalinya kami menampilkan permainan kami dengan durasi lebih dari 40 menit sejak begitu lama. Tubuh dan kondisi kami tentu merasa kaget, ditambah dengan dorongan alkohol yang kini membuat Morris dan Umair seperti tak bernyawa.

Memang aku tak semabuk mereka. Tapi hari ini saja aku sudah meminum dua bir ditambah dengan satu botol Arak yang kami minum bertiga meski lebih banyak dihabiskan oleh Morris dan Umair.

Aku sepertinya memang harus berhenti.

“Dah, ah! Mau nyari Tiara dulu.” Ucapku sembari bangkit dari dudukku.

“Selamat mengentot, Fadil!…” gurau Morris yang hanya kubalas dengan jari tengah sebelum aku pergi.

Aku beranjak menuju ke depan panggung. Tak sulit juga bagiku untuk mencari Tiara karena Tiara berada jauh dari kerumunan dan sedang duduk di pojokan area. Melihatnya yang sedang sendirian, aku tak akan menyia-nyiakan kesempatanku untuk bisa berbincang dengannya.

“Ti!” Panggilku yang dibalas dengan senyumannya.

“Ih, merinding euy aku liat kak Fadil tadi.” Ceritanya selagi aku duduk di sampingnya. “Kak Fadil jauh lebih energetik, ya kalo sambil gitaran.”

“Yah, emang comfort zone juga, sih.” Jawabku singkat.

“Nih, kak. Foto-fotonya bagus, nggak?” Tanyanya memberikan hapenya kepadaku.

“Ah, percaya aku, mah kalo kamu yang fotoin.”

Setelah itu, kami berbincang cukup panjang tentang begitu banyak hal. Tiara pun juga makin terbuka kepadaku tentang kehidupan personalnya, keluarganya, bahkan tentang kehidupannya sebelum berusaha untuk hijrah.

Selagi kami berbagi bir yang menemani dinginnya malam, Tiara menceritakan tentang momen dimana ia mulai tersentuh dengan godaan alkohol dan bagaimana ia bisa memasuki dunia bawah tanah di Bandung.

Ceritanya, ia mulai meminum alkohol ketika ia memasuki kampus ini. Awalnya hanya dari sekedar mencoba, namun perlahan-lahan ada momen dimana ia benar-benar bergantung kepada alkohol, meski ia tidak menceritakan kenapanya.

Kini pun ia sedang berusaha untuk merubah branding dirinya. Namun terkadang ia masih merasakan tekanan yang tinggi dari lingkungan sekitar dari kehidupan lamanya. Meski menurutku, sebenarnya orang akan cuek saja ketika ada yang berusaha untuk berubah, malah mendukung. Namun karena Tiara juga ikut menutup diri, orang-orang mulai banyak yang mempertanyakannya.

Akupun juga ikut bercerita tentang kehidupan personalku. Aku bercerita tentang bagaimana alcoholism ini terkadang menunjukkan sisi terburukku, dan itulah yang menjadi alasanku untuk menahan diri. Selain itu aku juga bukan orang yang sepenuhnya lurus. Aku juga pernah memiliki sisi liar semasa SMA-ku dimana pengaruh besar aku menyukai musik keras berasal dari kehidupan SMA-ku yang keras juga.

Meskipun sekarang ada Seno yang bisa menjagaku ketika Morris dan Umair sudah tepar, terkadang aku masih memiliki rasa takut yang tinggi ketika aku tetap tak bisa mengontrol diri.

Tak terasa kami mengobrol cukup lama, hingga akhirnya momen yang ditunggu telah tiba.

Rumahsakit akan tampil.

“KAK, UDAH MAU MULAI!” Teriaknya serentak bangkit dan menarikku. “AYO KITA KE TENGAH!”

Aku bersama Tiara pun langsung berlari menuju ke depan panggung. Kami yang tak jauh dari lokasi panggung bisa mendapatkan spot yang cukup ideal. Namun, Rumahsakit membawa massa begitu banyak sehingga tempat ini terasa begitu sesak.

Sekian banyak orang ini saling mendesak dan berusaha untuk mendapatkan tempat di paling depan. Aku sebagai gentleman pun mulai menjaga Tiara, dan kemanapun aku pergi mencari celah, aku selalu menarik Tiara supaya ia pergi mengikutiku.

Penampilan di mulai, dan kami semua mulai melompat-lompat menikmati penampilan Rumahsakit yang selalu meriah.

To be honest, aku juga sebenarnya bukan fanatik Rumahsakit. Lagu yang kutahu saja bisa dihitung pakai jari. Melihat Tiara yang selalu berteriak menyanyikan lirik-lirik poetical yang mereka tulis juga membuatku merasa insecure.

Selagi kami menikmati penampilan dari band ini, aku yang tak begitu hafal dengan lagu-lagunya mulai memerhatikan sekitar. Benar saja, sebuah kisah klasik di acara konser yang memasuki ranah kekerasan seksual mulai terlihat. Aku yang berada di samping Tiara juga terus memerhatikan orang disekitar kami, dan benar saja, begitu banyak penonton di belakang kami yang menyorotkan pandangannya ke tubuh Tiara yang menggugah mata nakal, terutama ke bagian belakangnya yang sangat terbentuk dengan pakaiannya saat ini.

Melihat hal ini, sebagai lelaki jantan dan teman Tiara juga mulai bertindak. Jaket yang ia berikan kepadaku tadi langsung kulepas dan kukenakan ke Tiara lagi. Hal ini kulakukan hanya untuk mengantisipasi jika mereka akan melakukan hal yang lebih jauh dari sekedar melihat.

“Eh, kak. Kenapa?” Tanyanya kebingungan.

“Bisi dingin. Pake aja.” Jawabku tanpa menjelaskan alasan sebenarnya.

“Ih, sok atuh kak Fadil aja yang pake. Malah kepanasan aku kalo pake jaket lagi.” Tolaknya bersikeras yang membuatku terpaksa harus menjelaskan alasan sebenarnya.

“Ada yang merhatiin badan kamu di belakang kita. Pake aja ini biar ketutupan.” Bisikku.

Tiara terlihat kebingungan mendengar bisikanku. Entah apa maksud dari raut wajah Tiara seperti itu, namun setelah kujelaskan Tiara langsung mengenakan jaket yang sudah cukup lama berada di genggamannya. Setelah itu, Tiara tak berbicara apa-apa, dan pandangannya hanya tertuju kepadaku dengan senyumannya yang sangat manis. Orang yang berada di belakang kami pun juga sepertinya kecewa, melihat dari bagaimana mereka pergi setelah aku menutup akses mereka untuk melakukan hal yang tidak-tidak.

Momen setelah itu terasa sangat canggung. Tiara tidak melakukan apa-apa, tak bernyanyi ataupun melompat-lompat seperti orang di sekeliling kami. Hingga akhirnya intro lagu “Hilang” karya mereka dimainkan, Tiara kembali melompat-lompat seiring lagunya dimainkan.

Akupun juga ikut melompat karena aku tahu betapa magisnya lagu ini. Bahkan di lirik chorusnya yang bernyanyikan:

“Jangan biarkan aku, jangan hilang”,

Tiara menggenggam kedua tanganku sembari kami melompat-lompat. Ia juga meneriakkan lirik itu di hadapanku dengan senyumannya yang tak pernah hilang.

Lagu tersebut selesai dimainkan, dan inilah saatnya untuk lagu encore mereka. Lagu yang sedari tadi kunyanyikan selama perjalanan kami kesini. Lirik di lagu ini benar-benar menceritakan tentang perasaanku dengannya.

Eh, apa mungkin tadi dia menyanyikan lagu “Hilang” karena itu apa yang dia rasakan dengan hubungan ini, ya?

Selagi lagu ini dimainkan, tanganku tak pernah lepas dari genggamannya selagi kami melompat-lompat. Anehnya juga, Tiara tak kulihat menyanyikan lagu ini dan dia hanya melihatku selagi berteriak menyanyikan lagu ini.

“Bagai berputar
Jauh sudah terasa
Namun jarak yang kutempuh
Tak membuatku lebih dekat lagi denganmu

Ceritakan padaku
Indahnya keluh kesahmu
Sebelum angin senja membasuh jauh

Tetaplah di istanamu
Langit yang biru kelabu
Biarlah rinduku
Kusimpan bersama mimpiku

Bilakah kau ajakku
Bertemu kembali selalu
Kutunggu kuningmu
Di setiap waktuku”

Lagu ini pun mulai memasuki penghujung, dan menandakan kalau Rumahsakit telah menyelesaikan setlist-nya. Kami tetap berpengangan tangan dan saling membalas senyuman selagi solo gitar dimainkan. Dan tiba-tiba, ketika lagu sudah akan diakhirkan, Tiara menarik kedua tanganku hingga tubuh kami bersentuhan dan memeluk tubuhku erat, membuatku begitu canggung harus melakukan apa selain menikmati pelukannya yang hangat dan membalas pelukannya.


Apa maksudnya ini?


(To be Continued)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd