Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rahma [NO SARA]

Status
Please reply by conversation.
Nyantai kang @tomame biarlah org berkata apahh.. Penting rahma msh aman dalam pelukan hhi
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
wkwkwkwk.... kasian ya kita dibikin gantung gini.... padahal kalo dipikir2, kapan ada waktu tiggal di ketik, trus kaan kisah nyata.... jd, alur cerita@ ja dikit biar lebih berasaa.... ya kan suhu??? maaf loh ini ya... maaf loh....
wkwkwkwk.... kasian ya kita dibikin gantung gini.... padahal kalo dipikir2, kapan ada waktu tiggal di ketik, trus kalo ud siap tiggal upload... kan kisah nyata.... jd, alur cerita@ uda ada, tiggal tambahin bumbu2 aja dikit biar lebih berasaa.... ya kan suhu??? maaf loh ini ya... maaf loh....
kalo komen yg isinya membangun aja suhu, takutnya nanti sampeyan dilaporin ke om momod sama om ts. wkwkwk
wkwkwkwk.... kasian ya kita dibikin gantung gini.... padahal kalo dipikir2, kapan ada waktu tiggal di ketik, trus kalo ud siap tiggal upload... kan kisah nyata.... jd, alur cerita@ uda ada, tiggal tambahin bumbu2 aja dikit biar lebih berasaa.... ya kan suhu??? maaf loh ini ya... maaf loh....
kalo mau komen usahakan kalimatnya yg membangun dan mensupport TS aja suhu, jangan yg menyudutkan om TS.
wkwkwkwk.... kasian ya kita dibikin gantung gini.... padahal kalo dipikir2, kapan ada waktu tiggal di ketik, trus kalo ud siap tiggal upload... kan kisah nyata.... jd, alur cerita@ uda ada, tiggal tambahin bumbu2 aja dikit biar lebih berasaa.... ya kan suhu??? maaf loh ini ya... maaf loh....
kalau komen usahakan isi komenannya yg membangun dan mensupport om TS aja suhu. takutnya kalau ternyata komenan suhu gak berkenan di hati dan bikin baper om TS trus suhu dilaporin ke om momod. maaf suhu sekedar masukan jangan diambil ati. *sungkem*
 
Mohon maaf kepada pemirsa. Sepertinya memang akan sedikit lama. Dua hari yang lalu saya tertangkap basah oleh atasan membuka forum kita ini ditambah lagi kemarin kedapatan lagi mengedit cerita. Walhasil saya terkena semprot dan peringatan lisan.
Menulis komen inipun di tempat parkir dengan alasan mau nyari kopi di kantin.
Harap maklum
Kwkwkw suhu cemen
 
EMPAT
Membuat Rahma berbicara balk-blakan adalah sebuah kemenangan besar dalam proses pendekatan yang telah kulakukan selama ini. Pernyataanku ini tidaklah berlebihan, mengingat aktifitas keseharian Rahma yang serba tertutup karena menjaga iffah mereka dari fitnah dengan menerapkan aturan hijab. Jika kalian mengira bahwa hijab itu adalah kain yang menutup aurat mereka, maka kalian salah besar. Hijab adalah prinsip pembatasan hubungan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun untuk menghindari fitnah. Baik itu dalam urusan fisik, seperti mengumbar aurat, maupun dalam hal psikis seperti berbicara yang tidak penting. Untuk itulah mereka mengenakan jilbab yang tertutup sebagai pendukung untuk gerakan hijab mereka. Memang benar anggapan bahwa tidak semua perempuan yang bercadar itu menganut faham konservatif. Buktinya banyak sekali akhwat yang memakai cadar dengan segala kepentingannya. Ada yang melakukannya karena keyakinan. Aku bisa dengan sangat mudah mengenali mereka yang berada pada tipe ini, berhubung Arni, istriku adalah orang yang bergabung dengan organisasi mereka, meskipun Arni dan beberapa ummahat yang lain memilih untuk tidak memakainya. Biasanya mereka terlihat dari pakaiannya yang serba gelap, tanpa motif dan corak. Hanya pakaian jubbah dan jilbab yang polos, dan Rahma adalah akhwat yang berada pada tipe ini. Tipe kedua adalah mereka yang mengedakan cadar karena doktrin ataupun ikut-ikutan. Mereka hanya bermodalkan semangat namun tidak mengimbanginya dengan usaha yang pantas, sehingga akhwat jenis ini terlihat sangat mudah dikenali. Mereka berjilbab lebar dan bercadar, tetapi kain corak pakaiannya sangat modis, menggunakan kain yang warnanya cerah, kadang memakai motif-motif. Meskipun mereka bercadar, tetapi mereka tetap menarik perhatian.

Ah, terlalu banyak pendahuluannya.

Pagi ini aku telah bersiap-siap ke kantor. Setelah PDH warna khaki telah dikenakan lengkap dengan segala tetek-bengek atributnya. Hari ini seolah aku mendapatkan semangat yang baru, setelah semalaman berhasil memasuki babakan baru dalam proses komunikasiku dengan rahma. Di samping itu aku juga telah mendapatkan ‘sarapan’ kilat dari Arni. Skor 4-1 sudah cukup memuaskanku dan dia pagi ini. Dia adalah istri yang sangat hebat. Mengapa? Karena dia adalah wujud keadilan Tuhan atas diriku. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dalam hal apapun dan Arni selalu mampu melengkapi kekurangan ataupun kebutuhanku, termasuk dalam hal syahwat. Aku selalu memiliki nafsu yang menggebu untuk melepaskan birahiku, sedangkan Arni selalu memiliki semangat yang tinggi untuk melayani syahwat hewaniku. Oh, Arni. Engkau sebenarnya sudah lebih dari cukup untukku, hanya aku saja yang seperti kurang bersyukur.

Pukul 06.26 pagi aku telah siap berangkat. Ku kecup pipi istriku yang masih terkapar lemas di samping tubuh putri kami yang juga masih lelap dalam mimpinya. Seutas senyum lembut tersungging di bibirnya tatkala keningnya menyambut bibirku. Matanya terbuka pelan dan menatapku dengan senyum yang mampu meluluhkanku.

“udah mau berangkat, sayang?” tanyanya lembut. Aku tersenyum lalu mengangguk.

“Iya, kamu tidur aja dulu. Kamu pasti masih teler, kan?” jawabku. Arni mengangguk pelan.

“Hhhhh…..mana pernah kamu gak bikin aku teler, Kang?”

“Iya….kamu juga istri yang hebat. Beberapa kali gol tapi masih sanggup melawan”

“iyah…..hati-hati ya? Jadi jemput Ummu Khalila, Kan?”

“Rencananya sih gitu….”

Arni menghela nafas perlahan.

“Ingat….!! Jaga jarak. Bukan mahram. OK?”

“Ok sayangku. Aku berangkat dulu ya?”

“Iya.”

Aku mengemudikan skuter matikku dalam perasaan yang sukar kugambarkan. Tidak ada bahasa lain untuk menggambarkannya melainkan dengan penggambaran seperti ini: skuter matik yang kukendarai seolah melayang tanpa menyentuh tanah, padahal jalanan yang biasa kulalui ke kantor tidak sepenuhnya mulus. Terdapat kecacatan proyek pemerintah di sana-sini. Masih saja ada badan jalan yang berlubang maupun retak, namun entah mengapa rasanya kok jalanan ini sangat mulus. Aku merasa seolah memang jalanan sudah sepenuhnya mulus. Aku hanya berkeyakinan kalau rupanya suasana hatiku yang sedang berbinar mempengaruhi kondisi berkedaraku. Hari ini untuk pertama kalinya aku harus menjemput Rahma, yang sampai kemarin masih menjadi misteri buatku.

Menit yang berlalu terasa lambat. Inginnya aku segera sampai di rumahnya dan bertemu dengannya. Ah…perasaan ini. Terlalu murahkah perasaan kasmaranku? Mengapa bukan hanya dengan Arni aku merasa kasmaran? Mengapa dengan Ani juga? Dan kini dengan Rahma? Ah, Rahma. Perempuan anggun yang penuh misteri, setidaknya dari wajah yang dia tutupi. Dari mata dan sedikit alisnya yang Nampak, aku tidak bisa mengira apa yang tersaji di baliknya. Cantikkah? Sebaliknya kah? Sempurna kah? Atau sebaliknya kah? Kalau cantik tentu saja aku siap menerimanya dan memang itulah yang kuinginkan. Tapi jika sebaliknya, sanggupkan aku melanjutkan perjuangan ini? lalu bagaimana nasib Rahma jika kulepaskan begitu saja target yang telah ku incar belakangan ini? tidakkah dia justru menjadi terpuruk dalam kehinaan, setelah dikejar mati-matian lalu dilepaskan begitu saja tatkala wajahnya yang ditutupi ternyata tidak cantik atau tidak sempurna? Mendekati seorang akhwat yang memakai cadar adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar. Bagaimana tidak, engkau memperjuangkan apa yang belum engkau ketahui tentangnya. Hm, begitulah kira-kira kondisiku saat ini.

Akhirnya, itu dia rumahnya. Dia berdiri di depan pintu rumah dan sepertinya telah menungguku. Aku tidak tahu apakah dia membalas senyumanku atau tidak, karena aku tidak bisa mengetahui ekspresi seseorang hanya dengan melihat mata, alis dan keningnya saja.

“Assalamu alaikum”

“Wa alaikum salam”

“Khalila ke mana?”

“Lagi siap-siap sama tantenya ke PAUD”

“Oh…yuk, berangkat”

“Iya……”

Rahma mendekati motorku yang terparkir di depan pagarnya. Entah mengapa ku lakukan ini. begitu Rahma mendekat, ku julurkan tangan kananku untuk bersalaman dengannya. Jujur, hatiku menyalahkanku tapi tanganku mengacuhkannya. Tanganku tetap meluncur ke arah Rahma meskipun sudah ku duga akan mendapatkan pelototan darinya. Untuk sekejap aku mengutuk perbuatanku yang memalukan, hingga tidak sengaja sudut mataku menangkap gerakan tangan Rahma yang meluncur menyambut uluran tanganku. Tangannya yang dibalut handsock dengan ujung yang seperti cincin melekat di jari tengahnya tampak putih mulus menyambut tanganku. Dalam situasi yang canggung ini, kami bersalaman, untuk pertama kalinya aku bersalaman dengan seorang akhwat selain Arni.

Deg…..

Belum selesai kekagetanku, tanganku yang masih bersalaman dengan tangannya, perlahan tertarik ke atas. Tentunya bukan atas tenagaku, melainkan karena Rahma menarik tanganku, dan perlahan meletakkan di keningnya. Hingga tanpa sadar tenggorokanku tiba-tiba mengering dan aku seperti tersedak. Mau tidak mau akupun terbatuk.

“Uhuukkkk…Uhukkk….”

Suara batukku seolah mengingatkan Rahma akan apa yang dia lakukan. Dengan cepat dia melepaskan tanganku dan menunduk dengan kikuk. Gerakan Rahma menunjukkan kalau dia pun tidak sengaja menyambut tanganku dan reflex menciumnya di keningnya. Akupun demikiansama kagetnya. Segera ku Tarik tanganku. Dan membiarkan situasi canggung menyelimuti kami berdua. Baik aku maupun Rahma tidak tahu harus bagaimana mengambil sikap setelahnya. Yang aku tahu hanyalah jantungku seakan ingin meledak rasanya. Terlalu indah situasi canggung ini untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Tak ingin larut lebih lama lagi, akhirnya aku sudah bisa menguasai diri dan hatiku.

“Ehm….Mari, bu. Kita berangkat”

“Ehh….I..Iya….”

Rahma segera membonceng di belakangku. Kali ini dia tidak menyamping, melainkan duduk searah dengan dudukku. Ku biarkan dia sejenak merapikan pakaiannya, sebagaimana ku biarkan Arni melakukan hal serupa jika kami hendak bepergian.

“Sudah, Kang. Ayo…” katanya kemudian.

“Iya….”

Motor mulai melaju perlahan, tetapi entah mengapa sepertinya hatiku masih tertinggal di depan pagar rumahnya, yaitu ketika ia menciumi tanganku. Sepertinya aku sangat berbunga-bunga denga peristiwa itu, atau lebih tepatnya bergairah. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. mungkin saja sama denganku, atau mungkin lebih dariku, atau mungkin saja tidak ada apa-apa. Suara motor dan beberapa kendaraan yang menyalip kami tidak mampu mengusir sepinya suasana di atas motorku. Entah berapa lami kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian aku memilih untuk membuka obrolan.

“tidur sam berapa, semalam, Bu?” tanyaku.

“Ohh….Ehh….Iya, Kang?”

“Nggak apa-apa bu…cuman mau nanya semalam tidurnya jam berapa”

“Kok pake ibu sih, Kang? Kan kita udah sepakat, Kang”

“Oh….Maaf bu, ehh…Ukhti…..”

“Hmmm….iya yah….keknya ukhti lebih enak dibandingkan ibu.”

“Iya…..”

“Sekitar jam dua, Kang. Gara-gara kamu aku jadi gak bisa tidur”

“Lho kok gara-gara aku sih, Ukh….”

“Gimana bukan gara-gara kamu. Lha aku terangsang gitu mana bisa tidur, hehehe….”

Jgerrrr….bagai petir menyambar, kalimat Rahma barusan sangat mengagetkanku. Seorang akhwat yang aku tahu persis gerakan tempatnya bergabung, mengucapkan kalimat yang terkesan sensual dengan santai di depan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Ringan sekali meluncur dari mulutnya. Saat mengucapkan kalimat itu, kedua telapak tangannya juga sudah menempel di punggungku. Suaranya yang lembut tanpa terkesan menahan atau menyembunyikan sesuatu, tulus terdengar.

“Wah…maaf ukh…***k ada maksud mau bikin tersiksa. Cobanya saya nginap di rumah ukhti semalam…..” kataku

“Emang kenapa kalau akang nginap?”

“Yaa….minimal bisa ngebantuin Rahma buat ngilangin terangsangnya hehehe….Adduhhhh…..”

“Dasarrrr…..MEssummmm”

Rahma ucapanku terpotong oleh tamparan Rahma di kepalaku dari belakang punggungku. Lalu entah mengapa kami berdua tiba-tiba tertawa bersama.

“Akang nih….masa bisa-bisanya ngomong gitu di depan saya…..Fitnah tau, Kang”

“Lha….situ yang terangsang kok yang salah di saya? Hehehe……”

“Yee….situ yang mancing duluan. Udah ah, males ngomong sama Akang…..”

Lalu sejurus kemudian kami berdua terdiam menikmati alur waktu dalam setiap jejak perjalanan kami menuju ke bengkel tempat motor Rahma semalam dititipkan. Entah mengapa aku hampir saja tidak percaya kalau ternyata kami bisa sedekat ini dalam waktu jurang dari 24 jam saja. Kalau sudah begini aku jadi serba salah. Orientasiku mendekati Rahma menjadi bias dan membingungkan. Kedekatan ini begitu murni untuk dikotori dengan syahwat. Ketika aku dan dia saling bercanda lepas tanpa beban, kelihatannya urusan kelamin menjadi nomor sekian. Jujur, aku menjadi dilemma. Aku tidak ingin mengotori kedekatan kami ini dengan urusan kelamin, tapi aku juga sangat terobsesi untuk memuaskannya, apalagi dengan keadaannya yang sudah dua bulan ditinggal suaminya. Sungguh aku ingin menyirami lading itu agar tanahnya gembur kembali setelah ditimpa kemarau dua bulan. Tapi aku takut jika sang pemilik lading tak rela ladangnya disirami dengan air yang bukan miliknya.

“Lho, Kang? Kok gak belok kanan?” Tanya Rahma menyadarkan lamunanku.

“oh, mau lewat jalur yang di situ, ya?”

“Kan motorku di situ, Kang. Lupa, ya?”

“Eh….Hehehehe….Maaf bu, lupa. Aduhhhh…..”

Sebuah cubitan mendarat di pingganggu. Sakit, tapi bukan itu yang menyebabkanku mengaduh. Aku mengaduh lebih karena aku suka seandainya aku dicubit lagi.

“Ibu…?” Rahma bertanya dengan penekanan.

“Kan udah pake baju dinas…”jawabku.

“Kan belum di kantor” jawabnya tidak kalah sengit.

Aku sangat berharap Rahma mencubit aku lagi. Aku suka cubitan yang manja itu. Hhmmm….sepertinya memang harus ku pancing lagi. Sungguh hari ini entah mengapa aku merasa kembali kasmaran. Ah, sungguh aku bingung dengan perasaanku. Sayang kah? Syahwat kah?

“Maaf, Rahma. Aku bingung musti panggil apa.”

“Kan kemaren udah manggil ukhty. Itu aja, kang”

“Gak enak.”

“Kamu gak suka dengan panggilan ukhty?”

“Suka sih….cuman aku ngomong ukhty ke Rahma itu rasanya kok kagok gimana, gitu”

“Lantas Akang ini mau manggil saya dengan sebutan apa?”

“Hmmmm……munya sih panggil sayang, tapi Aaakkhhhh…….sakit, tau..!!!”

“Ihhhh….rasainnn….sapa suruh godain istri orang….nih lagi, nih…..”

“Adawwww…..udahh….ampun…..ntar kita bisa jatuh, lho”

Sakit. Kali ini cubitannya kembali mendarat di pinggangku dan rasanya sakit. Tapi sungguh aku senang sekali. Ingin rasanya aku bermimpi seandainya motor ini punya sayap, akan kuterbangkan dengan segera saking senangnya.

“Biarin aja. Jatuh aja sekalian, biar kamu yang suka godain istri orang bisa tobat”

Ringan sekali. Tidak ada kesan marah yang terdengar dari ucapan Rahma. Artinya dia tidak tersinggung dengan ucapanku barusan. Ah, Rahma, ingin segera kutepikan motor ini, lalu ku berbalik menghadapmu, lalu ku peluk dirimu, tidak peduli dengan kendaraan lain yang melintas di jalur yang sama.

“Lha, terus saya musti manggil dengan sebutan apa, gitu?”

“Mmmm….gimana kalo neng aja”

“Setuju…!!”

“Widih....cepet amat setujunya”

“Emang neng gak sadar? Kalo setiap kita rapat, saya yang paling pertama setuju kalo Neng punya usul”

“Iya, Kah? Saya gak merhatiin tuh, Kang”

“Lha emang begitu. Setiap kita rapat bagian, coba ingat-ingat lagi…..Aduhhhh….kena lagi deh….”

“Nihh… rasain…..”

“Akang kenapa, Neng?”

“Kita kan baru rapat sekali, Kang”

“Heheheh…..iya sih……”

Lalu entah mengapa kami berdua tertawa berbarengan, seolah-olah kami baru saja mengingat sesuatu yang lucu.

Jalanan semakin ramai dengan kendaraan lain yang lalu lalang dengan penunggang-penunggang yang juga sama dengan kami, mencoba mengais rejeki yang telah disiapkan dari Sang Pemilik Semesta. Kali ini tangan Rahma tidak lagi hanya menempel di belakangku, tetapi sudah memegang kedua sisi pinggangku, dan kami mulai terdiam dalam pikiran kami masing-masing. Entah apayang dipikirkan Rahma, tetapi yang pasti sekarang pikiranku mulai kalut karena bengkel tempat motor Rahma dititipkan sudah semakin dekat. Entah mengapa tiba-tiba ada rasa rindu tan takut untuk berpisah yang begitu kuat memenuhi dadaku. Padahal kami satu kantor, satu bagian, satu ruangan, dan kami satu tim untuk menyiapkan laporan audit. Tapi tetap saja, kedekatan yang mencair dengan akhwat misterius ini membuatku enggan melepasnya begitu saja. Aku masih ingin memboncengnya dan menggodanya dengan candaan-candaanku. Menggoda saja, bukan merayu. Cukuplah kedekatan ini dulu yang terjalin. Cukuplah perasaan sayang yang halus ini terbina sedikit demi sedikit. Toh, aku percaya kalau Rahma sudah dekat tanpa jarak denganku, urusan syahwat akan tidab dengan sendirinya. Ah, senjataku mengeras.

“Kang….” Rahma memecah keheningan di atas motor.

“Ya?”

“Kalo akang manggil saya neng, apa gak kebetulan, ya?” tanyanya.

“Gak kebetulan gimana?”

“Panggilan Akang itu kan pasangannya adalah panggilan Neng.”

“Saya mah gak percaya dengan yang namanya kebetulan, Neng. Yang saya tau, semua situasi itu sudah ada perancangannya oleh Yang di Atas. Kita hanya tidak mampu mengurai semua scenario ini sehingga kita menarik kesimpulan singkat dengan menggunakan istilah kebetulan”

“Wahh….luar biasa. Penjelasan Akang seperti penjelasan murabbiyahku masalah iman kepada takdir”

“Iya kah? Hehehe…saya mah awam, neng. Cuman belajar dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang aja”

“Emang Akang manggil istri dengan panggilang apa?”

“Manggilnya Ayang atau Sayang”

“Kok gak manggil dengan Neng?”

“Panggilan Ayang atau sayang itu memang permintaan istri saya, Neng.”

“Oh, begitu, ya?”

“Iya. Mungkin istri saya tau kalau….” Ku potong kalimatku.

“tau kalau apa, Kang?”

“Tau kalau panggilan Neng itu emang untuk Neng Rahma, biar cocok hehehe”

“Ihhh….Akaaanggg……aku cubit lagi nih….”

Ah, suara itu. Melengking tinggi namun diucapkan pelan dengan nada yang sangat manja.

“Aaaahhhhh……”

Kali ini kedua tangannya yang memegang pinggangku langsung mencengkram dan mencubit bagian tubuh yang tadinya menjadi pegangannya. Kali ini lebih sakit, tapi sensasinya jauh lebih nikmat, karena didahului dengan panggilan manjanya ke aku. Sungguh, suara itu mampu membuat bulu kudukku berdiri.

“Rasain. Siapa suruh, akang godain Neng terus dari tadi”

“Kan neng suka akang godain, kan?”

“Gak suka. Neng gak suka Akang ngomong gitu terus”

“Gak percaya. Akang Tau kalo Neng suka. Buktinya, panggilannya bukan lagi saya-kamu, tapi udah pake Akang-Neng”

“Eh……?”

“Lagian Neng tadi yang ngasih usul panggilan, Kan?”

“Eh….?”

“Itu artinya Neng suka panggilan kita Akang sama Neng”

“Bengkelnya udah kelihatan itu Kang”

“Idih….ada yang mengalihkan topik, rupanya”

Kali ini Rahma terdiam sampai akhirnya motorku berhenti tepat di depan bengkel itu, dan tampaklah motor Rahma yang sudah diperbaiki. Rahma turun dari motorku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Itu sudah cukup membuat perasaanku menjadi tidak menentu. Baru saja kami sangat dekat sampai pakai acara cubit-cubitan segala, kini situasainya kembali canggung seperti kemarin siang. Apalagi setelah Rahma membayar motornya, dia menaiki motornya tanpa sedikitpun melihat ke arahku. Hmmmm….mungkin inilah yang namanya perasaan galau. Akhirnya ku putuskan untuk memacu motorku meninggalkannya di belakang. Sepanjang perjalanan otakku hanya dipenuhi tanda Tanya besar, mengapa sikap Rahma begitu tiba-tiba saja berubah. Wajahnya yang tertutup cadar tidak bisa memberiku penjelasan apakah dia marah, tersinggung, atau sedih. Matanya pun sedikitpun memandangku. Aku menjadi khawatir ini akan mempengaruhi kinerja kami hari ini.

Pikiran-pikiran ini terus berkecamuk di kepalaku hingga aku memasuki tempat parkir di kantor. Orang-orang sudah mulai berdatangan ketika aku selesai memarkirkan motor, hanya saja aku tidak langsung turun dari joknya melainkan duduk-duduk dulu sebentar sambil sesekali menyapa rekan-rekan kerja yang lain. Ku buka ponselku untuk melihat apakah ada notifikasi atau tidak, karena sepanjang perjalanan tadi memang aku merasakan getaran di pahaku, tapi tidak terlalu ku pedulikan karena mungkin saja itu pengaruh dari getaran mesin motor.

Di layar tampak satu notifikasi WA. Ternyata dari Rahma, dan dikirim sekitar 10 menit yang lalu. Berarti Rahma menghentikan motornya sejenak dan mengirimkanku pesan.

“Iya, Kang, Neng suka. Panggil Neng dengan ini terus ya Kang? Maaf tadi Neng diam saja karena Neng takut terjerumus dalam fitnah, Kang. Neng takut perasan Neng ke Akang seperti yang Neng takutkan. Neng takut kalau Neng jadi ada rasa ke Akang. Akan kan udah tau bagaimana status kita berdua. Maaf kang udah bikin Akang galau, soalnya tadi naik motornya kok tiba-tiba ngebut gitu.”

Ahhhhh….Lega…..rasanya seperti ada awa gelap yang melayang di atas kepalaku, lalu tiba-tiba terbit matahari yang mengusir awan gelap itu.

BERSAMBUNG
 
TIGA
Sekitar lima belas menit berlalunya Rahma, aku juga sudah selesai bersiap-siap untuk pulang, istriku menelpon.

“Halo, sayang? Kenapa?” tanyaku.

“Kang, masih di kantor?” Tanya Istriku balik.

“Iya. Ini lagi di parkiran mau pulang”

“Oh…mau minta tolong, kalau boleh….”

“Ihh…ya boleh donk. Apa sih yang nggak buat kamu,”

“Uhhuyy…hehehe…senangnya.”

“Jadi, mau minta tolong apa nih?”

“Gini…..”

Wah….kalau istriku udah ngomong dengan kata ‘gini’ pasti akan ada cerita runtut yang panjang sekali, lalu intinya hanya sekitar satu atau dua kalimat.

“Kan jadwalnya hari ini kami tarbiyah (kajian). Trus wktunya Ummu Kalila yang bawakan materi. Kan di liqo’ kami murabbiyah itu kan nyuruh kita masing-masing mawain satu materi dulu.”

“Iya. Kalau itu mah aku juga udah tau, sayang. Intinya?”

“Nah initinya, si Ummu Kalila sampai sekarang gak hadir di tarbiyah. Waktu kami hubungi tadi sih masih di kantor.”

“Udah pulang kok, yang. Sekitar berapa belas menit yang lalu lah”

“Nah itu dia masalahnya sayangku. Ternyata baru-baru ini dia nelpon katanya motornya bermasalah. Bannya bocor.”

“Iya….trus apa masalahnya”

“Nah, kalau gak ngerepotin, kamu bisa nolongin gak?”

“Nolongin gimana?”

“Ya anterin di ke bengkel, atau bonceng dia pulang”

“Lho, kak jadinya khalwat (berduaan) sayang”

“Kan darurat, Kang. Kata ustadzhah darurat itu harus didahulukan tergantung kadarnya. Kan kaidah ushulnya begitu”

“Hmmm…gimana yah?”

Aku pura-pura mempertimbangkannya padahal dalam hati aku sudah sangat senang. Rasanya ingin melonjak kegirangan. Membonceng seorang akhwat yang berpemahaman ortodoks adalah sesuatu yang sangat langka. Tentunya kesempatan emas ini akan aku manfaatkan.

“Ya kalo gak ngerepotin sih, sayang.” Kata sitriku.

“Dianya gimana? Ntar aku tawarin bantuan malah nolak. Kan malu juga. Ntar disangkain pria yang gak jelas”

“Udah kok sayang. Dia udah ditlepon. Meskipun nolak tapi kan kata murabbiyah ini darurat.”

“Hmmm….ya udah deh. Sekarang dia di daerah mana?”

“Tadi sih ada di *******”

“Oh…ya udah aku ke sana. Dadah sayang, mmuahcchhh”

“Hehehe…iya. I love U”

“I Love U too.”

Ku tutup teleponku dan bergegas menuju tempat kejadian perkara. Setelah sekitar lima menit perjalanan, ku lihat bu Rahma sedang mendorong motornya perlahan. Tampak ban depannya sangat kempis. Daerah ini adalah daerah perbukitan yang agak jarang dilalui kendaraan karena merupakan jalur alternatif. Lewat jalur yang biasanya memang akan terjebak macet. Hanya saja, daerah ini sepi, dan bengkel terdekat masih ada sekitar 2 km lagi. Tentunya ini bukan jarak yang dekat bagi seorang Rahma dalam mendorong motornya.

“Assalamu alaikum, bu” sapaku. Rahma berhenti dan melihatku sebentar lalu menundukkan pandangannya.

“Eh, wa alaikum salam, Pak.” Jawabnya dengan menundukkan pandangannya.

“Tadi saya ditelepon istri saya katanya ibu ada masalah. Jadinya saya ke sini”

“Syukran (terima kasih) Pak. Tapi saya tidak apa-apa kok. Bapak duluan saja” katanya. Aku tengsin dan agak malu. Ternyata dia kembali menolak tawaranku. Tetapi perjuangan baru saja dimulai. Aku tidak akan menyerah dengan tantangan ringan seperti ini.

“Tapi ibu tau bengkel terdekat?” tanyaku. Dia menggeleng dan tetap menunduk. “Bengkel terdekat ada di **** bu. Ibu kuat mendorong sampai di sana?” tanyaku lagi. Dia terdiam, tidak mengangguk dan tidak menggeleng. Ku standarkan motorku lalu ku hampiri dia. Ku ambil motornya dan mendorongnya.

“Ibu bawa saja motor saya, biar saya yang mendorong motor ibu” kataku.

“Eh. Saya gak enak sama bapak.” Katanya.

“Ini lebih baik bu, daripada kita berkhalwat, nanti malah jadi fitnah. Ntar orang ketiganya adalah setan, bu” kataku seperti seorang tokoh agama, padahal aku hanyalah seorang PNS biasa yang juga lemah syahwat. Maksudnya bila sudah berkaitan dengan syahwat, imanku langsung lemah. Justru kesempatan inilah yang sangat aku tunggu-tunggu.

“Bagaimana, bu?”

“Baiklah pak. Maaf merepotkan” katanya. Waduh, entah kenapa aku jadi agak menyesal dengan kata-kataku tadi. Kesempatan emasku untuk mendekati hatinya menguap begitu saja.

“Ah, tidak apa-apa kok bu. Yang penting kan ini adalah amanah istri saya untuk menolong ibu. Saya risih sebenarnya” kataku. Entah apakah kata ini memberikan pengaruh kepadanya untuk bersimpati padaku atauka kata-kataku ini hanyalah angin lalu yang tidak dianggapnya. Rahma kemudian menaiki motorku dan menghidupkan mesinnya.

“Saya duluan dulu, pak. Assalamu alaikum”

“wa alaikum salam” jawabku dengan senyum yang dipaksakan. Satu kesempatan telah terbuang percuma. Memang kesempatan ini bukanlah tentang kelamin saja, melainkan tentang menarik simpati dan lebih berlama-lama dengannya. Tetapi kini Rahma telah meninggalkanku. Ah. Biarlah. Mungkin di lain kesempatan akan ada lagi waktu untuk bersama.

“Hhhhh…..” aku menghela nafas lalu mulai mendorong motornya.

Tetapi baru sekitar delapan meter di depan, Rahma menghentikan motornya lalu turun ke trotoar. Nampaknya dia menungguku hingga aku tiba di tempatnya memarkirkan motor.

“Aku gak enak ninggalin bapak sendirian” katanya.

YESSSS!!! Betapa girangnya hatiku. Ternyata kegagalan tadi hanyalah pengantar kesuksesanku. Tetapi ekspresi ini hanya aku yang mengertinya karena aku tidak akan memperlihatkannya kepada Rahma. Aku hanya memasang wajah standar tanpa ekspresi. Ku sandarkan motornya lalu ku ambil ponselku. Ku hubungi istriku.

“Halo sayang. Aku udah ada di tempatnya ibu Rahma, nih”

“Syukurlah kalau begitu. Maaf ngerepoti ya, sayang”

“Iya, gak pa-pa. udah ya? Assalamu alaikum”

“Wa alaikum salam”

Aku menatap Rahma yang terus memandang ke arah yang lain.

“Jadi bagaimana, bu? Masa kita jalan berdua seperti ini” kataku.

“Iya, Pak. Aku juga bingung musti ngapain. Malah udah mau masuk waktu magrib, lagi”

“ya sudahlah bu. Mau di apakan lagi” kataku sambil memulai mendorong motornya. Ternyata Rahma juga mendorong motorku dan kami berjalan bersama dalam diam. Tidak ada mulut yang berbicara, hanya hati yang saling sibuk dengan kontemplasinya masing-masing. Dalam hatiku tentu saja ada girang yang berdendang, entah apa pula dalam hati akhwat di sampingku ini. Tanpa terasa telah satu kilometer kami lewati dan azan telah terdengar dari kejauhan. Langit telah berganti warna menjadi gelap seiring malam yang kian merambat. Dan entah mengapa kali ini jalanan ini begitu sepi dari lalu-lalangnya para pencari uang.

“Maaf bu” kataku memecah kesunyian. “Daripada kita telat ibadah, gimana kalau saya antar ibu ke masjid terdekat dulu. Nanti kalau sudah ibadah saya kembali mengambil motor ibu. Mungkin aja ada ojek nanti. Gimana?” lanjutku. Rahma terlihat berfikir untuk beberapa saat lalu dia akhirnya mengangguk. Ku standarkan motornya dipinggir jalan dan ku tutupi dengan beberapa ranting kayu.

Ku hidupkan motorku lalu ku tunggu Rahma hingga kemudian naik membonceng di belakang. Entah perasaan apa yang ada dalam hatiku pada saat itu, tetapi ini adalah momen yang sangat indah, apalagi ketika tanpa sengaja tangannya bertumpu di pundakku untuk memperbaiki posisi duduknya.

“Sudah siap, bu?”

“Iya, pak”

Aku pun membawa motor dengan kecepatan sedang dan agak sedikit melambat. Aku ingin menikmati momen ini sedikit lebih lama. Meskipun demikian aku tidak berani membuka pembicaraan lebih lanjut karena aku tau perasaan Rahma sekarang sedang berkecamuk dan bergemuruh. Antara prinsip dan kebutuhan, antara ekspektasi dan realita, Rahma yang berpendirian teguh kini harus merelakan sebahagian prinsipnya luntur demi sebuah keadaan yang sama sekali tidak diinginkannya.

Tidak beberapa lama kemudian kami telah sampai di tempat ibadah di kampung terdekat. Tampak beberapa meter dari situ kulihat bengkel yang sebenarnya sudah tertutup, tetapi aku hanya berharap semoga pemiliknya mau memberikan bantuan. Kami segera turun dan menunaikan ibadah. Setelah itu, aku kemudian menuju ke pangkalan ojek terdekat dengan berjalan kaki. Entah mengapa aku seakan memiliki energi berlebih dalam membantu Rahma.

Singkat cerita……. Aku telah mendorong motor Rahma sampai di bengkel ketika orang-orang sudah selesai ibadah Isya. Memang agak jauh, tetapi sekali lagi, ada saja tenaga untuk membantu Rahma.

“Permisi, pak. Motor saya bocor. Apa bisa diperbaiki?” tanyaku kepada sang pemilik bengkel yang sedang merokok di depan rumahnya.

“Oh. Iya, pak. Bisa. Bawa aja masuk ke sini” Kata bapak itu meskipun aku dapat menangkap nada keberatan dari balik suaranya. Akupun menuntun motor Rahma masuk di bengkel. Setelah diperiksa, ternyata area pentil ban dalamnya sudah sobek sehingga tidak bisa lagi ditambal. Parahnya lagi, stok ban dalamnya habis untuk ukuran itu. Akhirnya setelah ku pertimbangkan, ku titipkan saja motor itu di dalam rumah si pemilik bengkel setelah terlebih dahulu mendapatkan izin ke Rahma. Akhirnya situasi kini memihak kepadaku. Mau tidak mau aku harus membonceng Rahma pulang ke rumahnya yang masih berjarak sekitar satu setengah km lagi dari posisi sekarang.

“Maaf ya Kang. Aku udah merepotkan Akang” kata Rahma. Wah, kini dia sudah memanggilku dengan sebutan akang lagi.

“Ah, gak pa-pa kok bu. Namanya aja rekan sekantor, sahabat istri, dan yang penting saudara seagama. Masa sih saya gak ngebantu ibu” kataku.

“Jadi gak enak nih, Kang”

“Gak pa-pa bu. Saya ikhlas kok….”

“Panggil Rahma aja, Kang. Udah diluar jam kerja kok”

Deg…!!!! Ada riang yang terselip dalam kagetku. Rahma kini agak mencairkan statusnya di hadapanku dengan membuka sekat hijab (jarak) yang memisahkan kami. Tentunya aku sangat gembira dalam situasi ini, meskipun lagi-lagi aku tidak bisa memperlihatkannya.

“Oh, iya. Aneh aja manggil Rahma langsung, hehehe…..” kataku sambil berusaha bercanda.

“iya juga sih, kan aku lebih tua dari kamu, Kang”

“Hmmmm….kalo gitu aku manggil mbak aja, gimana?”

“Ah, pakai nama aja, Kang. Gak pa-pa. yang penting diluar jam kerja”

“OK,….Rahma….”

“Hehehe….kamu jadi kaku ngomongnya, Kang”

Tiba-tiba motor terlonjak karena menginjak gundukan aspal yang agak besar dan itu luput dari perhatianku. Kontan saja tubuh Rahma agak terlonjak ke atas dan itu mengagetkannya.

“Kyaaa…..” jeritnya sambil dengan spontan memelukku. Otomatis punggunggku merasakan dua tonjolan lembut dan kenyal di belakang sana.

“Maaf Bu, eh….Rahma….” kataku

“Kamu jahat, kang. Aku kaget….hampir aja jatuh” katanya. Kali ini nada suaranya berbeda. Terdengar lebih apa adanya dan tidak dibuat-buat. Rupanya cara bicaranya berubah menjadi agak manja. Entah sadar atau tidak pelukannya menjadi tambah erat. Ku rasakan kepalanya direbahkan dibahuku. Entah bagaimana kacaunya perasaanku, yang bisa aku gambarkan hanyalah kerasnya senjataku serasa seperti ingin meledak dalam situasi ini.

Namun beberapa saat kemudian, Rahma sepertinya tersadar dan langsung melepaskan pelukannya. Jaraknya kini lebih menjauh ke belakang dibandingkan sebelum kejadian ini.

“Maaf, kang” suaranya bergetar menahan perasaan bersalah yang amat dalam.

“Ehmm….iya. aku juga minta maaf”

Lalu kembali kami terdiam dalam diorama hati kami masing-masing. Entah apa yang dirasakannya, tetapi hatiku kini bergemuruh, penuh dengan senang dan riang yang tumpah ruah menjadi jutaan energi cadangan yang menghilangkan lelah dan penatku. Tidak ada lagi sapaan, yang ada hanyalah deru angin dan mesin. Tetapi aku sudah menang. Aku mendapatkan lebih dari yang aku inginkan pda hari ini, dan aku sudah puas. Kalaupun dia marah lalu menamparku, aku sudah tidak merasa rugi.

Akhirnya kami sampai juga di rumahnya. Dia turun dari motorku dan membuka pagarnya.

“Terima kasih, kang. Mau mampir dulu?”

“Ah, tidak usah Rahma. Gak enak. Entar malah jadi fitnah berdua-duaan”

“Ah. Ada adikku kok. Semoga gak menjadi fitnah.”

“Hmm….tapi kan…..”

“Minimal secangkir kopi, Kang. Gak enak sama kamu yang udah. Korban waktu dan tenaga buat nolongin aku.”

Aku terdiam beberapa saat dan membuat ekspresi berfikir, padahal aku hanya mengulur waktu untuk memberikan kesan agak jual mahal padanya.

“Baiklah….”

***

Pukul Sembilan malam lewat beberapa menit aku tiba di rumah, setelah tiga puluh menit yang canggung di rumah Rahma. Rahma duduk di sofa sekitar 4 meter di depanku, ditemani adiknya, Hikmah dan seorang balita, Khalila, anaknya. Hikmah ini sama dengan Rahma, seorang akhwat, tetapi cara memakai jilbabnya sedikit lebih moderat, yaitu jilbab segitiga meskipun dengan ukuran yang juga agak besar. Khalila, anaknya adalah anak yang cantik dan cerdas. Tetapi satu pertanyaan besar menggelayut di benakku. Di mana suaminya? Apakah dia sudah cerai? Ataukah suaminya poligami, sebagaimana yang mereka yakini, bahwa poligami justru membahagiakan mereka? Ah, entahlah. Aku tidak ambil pusing dengan itu.

Istriku yang cantik, Arni telah tidur di kamar memeluk guling di samping putri kami. Arni sangat cantik dan ia selalu tampil seksi di depanku. Entah mengapa (dan aku bersyukur) aku tidak pernah bosan dengan percintaan kami. Tidak perlu ransangan khusus untuk membangkitkan gairahku kepadanya, cukup dengan senyumnya, atau kerlingan matanya, sudah cukup membuatku tegang. Begitupun dengannya. Cukup dengan kecupanku yang agak basah, atau kedipan sebelah mataku, atau cukup dengan memperlihatkan bibir bawahku yang ku gigit, sudah cukup membuatnya basah. Ah, Arni. Maafkan aku, yang terlalu lemah dalam menghadapi gempuran syahwat. Bukannya aku tidak puas denganmu, tapi aku hanya tidak kuat untuk tida mencoba yang lain.

Ku baringkan tubuhku di shofa setelah meletakkan secangkir cokelat hangat yang kubuat sendiri. Aku tidak ingin mengganggu istirahat istriku yang telah seharian mengurus rumah sepulang dari kerjaannya mengajar di salah satu SMA di daerah kami. Ku ambil ponselku dan membaca beberapa postingan di beberapa group WA. Setelah berfikir beberapa saat, ku beranikan diri mengirimpan chat ke Rahma.

“Assalamu alaikum. Sudah tidur, bu?”

Aku deg-degan ketika menekan layar untuk mengirim pesanku. Butuh waktu agak lama hingga akhirnya ponselku bergetar.

“Wa alaikum salam. Belum. Ini lagi menidurkan si Khalila”

“Oh….aku ngeganggu ya? Maaf”

“Gak kok. Ada yang bisa saya bantu?”

“Gak kok bu. Hanya lagi iseng aja”

“Rahma, Kang. Bukan ibu. Ini kan diluar jam kerja. Kok iseng? Iseng itu adalah salah satu jalan syaitan menyesatkan jiwa kita”

“Iya Rahma saya juga tau. Kalau Rahma takut berkhalwat dan fitnah saya minta maaf. Ini chat terakhir saya malam ini.”

“Ih…Akang kok jadi mellow gini. Gak pa-pa lagi Kang. Yang penting kita berdua harus bisa jaga hati dari syubhat dan syahwat”

“Iya…Eh. Maaf nih ya? Saya mau nanya, boleh?”

“Boleh. Mau nanya apa”

“Kalau misalnya pertanyaan saya bikin Rahma marah atau sensi, gimana?”

“Ya gak saya jawab hehehe…..”

Ah, entah mengapa aku jadi geregetan kepada akhwat yang satu ini. Aku gemas menatap layar ponselku. Seandainya kau adalah istri keduaku, akan kuhajar sampai besok harus izin sakit ke atasan. Senyum seringai iblisku menambah manisnya khayalanku hingga kemudian ponselku bergetar dan mengembalikan aku ke dalam kenyataan. Sebuah pesan dari Rahma.

“Mau nanya apa, Kang?”

“Maaf nih ya, kok saya dari tadi gak ngeliat suaminya, mbak? Aku panggil mbak, ya?”

Agak lama setelah ku kirim pesanku belum juga ada jawaban. Aku tidak tahu apa yang sedang melanda perasaannya, hingga aku merasa pantas untuk mengklarifikasi ulang pertanyaanku.

“Maaf, mbak. Gak bermaksud menyinggung. Maaf ya?”

Tidak ada jawaban. Ku tunggu dan ku tatap layar ponselku, tetap saja hitam tanpa ada pemberitahuan. Sepertinya aku harus memasrahkan diri pada kemarahan si akhwat di seberang sana. Tiba-tiba aku merasa menyesal telah mengirim pertanyaan yang siapapun sepakat bahwa pertanyaan seperti ini amat sangat sensitif. Hhhhh….. ku hela nafas panjang lalu ku letakkan ponselku di meja dan mencoba memejamkan mata. Ah…***panya badanku sangat pegal setelah mendorong motornya Rahma tadi sore. Ingin dipijatpun rasanya tidak mungkin. Aku terlalu kasihan bila harus membangunkan Arni yang telah seharian bekerja mengurus rumah.

Drrrttt…..Drrttt….

Aku langsung terbangun begitu mendengar suara getaran ponselku. Rahma. Hmmm semoga dia tidak marah. Entah mengapa dadaku berdegup sedikit kencang. semoga saja aku tidak terbawa perasaan.

“Maaf, Kang. Tadi aku ke belakang. Sakit perut hehehehe……”

Fyyuuuhhhhhh…..legaaa….. rupanya tidak terjadi apa-apa.

“Akang pasti ngirain aku gak bales karena marah ya? Maaf deh kang. Aku kan gak mungkin bawa hape ke toilet”

“Hehehe…iya. Alhamdulillah kirain bakalan dicuekin saya”

“Lha. Emangnya kenapa kalau akang dicuekin?”

“Yak an gak enak bu. Dicuekin rekan kerja. Apalagi sedang ramai-ramainya kerjaan. Makan nasi tanpa lauk lah rasanya”

“Tapi kan masih makan nasi, Kang?”

Wah….***panya hampir lagi tidak ada jarak dalam komunikasi verbal kami. Suasana yang sangat cair bahkan hampir membuatku lupa kalau aku sedang berkirim pesan dengan seorang akhwat yang sangat tertutup. Hmm, mungkin sudah saatnya untuk menebarkan pancingan sedikit demi sedikit.

“Ehmm….sepertinya saya masih penasaran, mbak”

“Hehehe…..Suamiku ikut Jamaah T*****h. Dia ada ijtima di Bang*****h 4 bulan. Sekarang udah mau masuk dua bulan”

What…???? Ku tatap layar ponsel dengan seksama. Aku berharap aku tidak salah baca, tetapi memang tertulis di sana. Aku hampir tidak percaya, suaminya tergabung dengan kelompok yang notabene tidak sepaham atau bahkan cenderung berlawanan dengan kelompoknya Rahma. Aku pernah diajak oleh istriku mengikuti sebuah kajian tentang kelompok-kelompok dan aliran-aliran dalam kepercayaan kami. Dari sinilah aku mendapatkan pengetahuan tentang kelompok dan aliran yang banyak berkembang. Dan kelompok Rahma dan Istriku sangat bertolak belakang dengan Jamaah T*****h. yang satu sangat ketat dan tegas dalam ajarannya, dan yang lainnya sangat lunak dan lembut. Bagai minyak dan air. Aneh.

“Oh…..wah lama, ya?”

“Iya. Tapi itulah pilihan dia. Itu jauh lebih baik ketimbang dia berkubang dalam maksiat”

“Maksudnya?”

“Masa lalu, kang. Maaf ya, aku gak mau bahas”

“Iya, mbak. Maaf juga. Tapi ngomong-ngomong hehehhe…..”

“Kenapa, kang? Kok senyumnya aneh”

“Emang keliatan dari sini? Orang cuman emoji aja kok”

“Kelihatan di hati keles hihihi……”

Rahma kini telah totally opened dalam berbincang. Itu artinya hal-hal yang lebih pribadi sudah bisa terkorek, atau lebih tepatnya mungkin bisa dikorek sedikit demi sedikit. Saatnya memancing di air keruh. Butuh trik dan skill yang tangguh, serta perasaan yang kuat, karena ikan tidak akan terlihat di air keruh, tetapi bukan hal yang tidak mungkin kalau di dalam sana ada peluang.

“Tapi, mbak. Apa gak kangen?”

“Kangen apan nih maksudnya?”

“Ya apa aja, gitu. Kangen sama abahnya Khalila.”

“Kangen sih ada, kang. Banget malah. Tapi dia kan sedang berjuang, Kang. Saya juga di sini sedang berjuang menahan rindu dan hasrat untuknya. Saling berjuang dan saling mendukung”

Hmmm…..dia sudah mulai berbicara tentang hasrat. Sepertinya telah ada titik poin yang akan aku tembak.

“Luar biasa, mbak. Saya kagum sekaligus iri dengan keluarga mbak.”

“Iya, Kang? Kenapa?”

“Saya gak kuat pergi begituan.”

“Tiap orang kan memiliki kekuatan dan kecenderungan yang berbeda, Kang. Mungkin tempat akang bukan di situ”

“Iya juga sih, mbak. Tapi bukan di situ masalahnya.”

“Trus?”

“Hehehe…maaf mbak. Saya gak kuat nahan hasrat. Setiap dua hari paling maksimal saya harus berjuang di atas istri saya. Maaf mbak.”

“sampai segitunya?”

“Mbak Rahma bisa bertanya sendiri ke Arni. Saya tidak mau mengumbar kegiatan seperti itu. Katanya dilaknat.”

“Iya Kang. Jangan diceritain ke saya, ya? Ntar kalau saya panas dingin malah tambah runyam jadinya”

“Iya mbak. Maaf. Tapi begitulah kondisi saya. Untunglah Arni mengerti dan mampu mengimbangi hasrat saya ini”

“Ah akang mah, dibilangin jangan diceritain. Kalo begini kan jadinya repot kang?”

“Memangnya kenapa, mbak?”

“Gak pa-pa kok”

“Trus repot apanya? Maaf kalo ngerepotin”

“Ih. Akang mah keseringan minta maaf.”

“Lha habisnya mbak katanya jadi repot gara-gara saya”

Entah mengapa edisi chatingan ini membuat insting seksualku terbangun. Senjataku terusik dan sepertinya filingku mengatakan bahwa Rahma di seberang sana entah bagaimana caranya pasti sedang terangsang.

“Lha akang nyeritain yang katanya akang gak mau ceritain. Kan kontradiktif kang”

“maaf mbak. Saya gak merasa nyeritain kok. Cuman ngomong kalau istri mengerti tentang kebiasaan saya yang hampir tiap hari harus berjuang di atas tubuh istri. Atau di samping. Atau sesekali di bawah. Tergantung kondisi dan keinginan. Ini aja kok. Gak ada maksud bercerita”

“Akaaangggggggg……udah…atuh….Akang rese”

“Hehehe…maaf mbak. Mbak terangsang ya?”

“Gak”

“Oh…untunglah. Kirain terangsang. Kalau saya mah ini udah terangsang mbak. Jadi maaf, sepertinya saya harus ke kamar dulu.”

“Kamu jahat kang. Aku marah sama kamu.”

“Kok bisa?”

“………..Aku terangsang Kang…………”

SKAK MAT. AKU MENANG !!

BERSAMBUNG
Kurang menantang
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd