Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Rahma [NO SARA]

Status
Please reply by conversation.
Terima kasih updatenya kang.
Masih pelan mengalir dan tidak terburu buru tapi bikin penasaran terus sehingga membuat pembaca tidak merasa cape menunggu update nya
 
:baca:Setelah baca updetan rasanya gimana gitu..:klove: jadi keinget indahnya masa jatuh cinta. CCiiioEEEEEE...

lanjuuut kang:angel:
 
EMPAT
Membuat Rahma berbicara balk-blakan adalah sebuah kemenangan besar dalam proses pendekatan yang telah kulakukan selama ini. Pernyataanku ini tidaklah berlebihan, mengingat aktifitas keseharian Rahma yang serba tertutup karena menjaga iffah mereka dari fitnah dengan menerapkan aturan hijab. Jika kalian mengira bahwa hijab itu adalah kain yang menutup aurat mereka, maka kalian salah besar. Hijab adalah prinsip pembatasan hubungan dengan lawan jenis dalam bentuk apapun untuk menghindari fitnah. Baik itu dalam urusan fisik, seperti mengumbar aurat, maupun dalam hal psikis seperti berbicara yang tidak penting. Untuk itulah mereka mengenakan jilbab yang tertutup sebagai pendukung untuk gerakan hijab mereka. Memang benar anggapan bahwa tidak semua perempuan yang bercadar itu menganut faham konservatif. Buktinya banyak sekali akhwat yang memakai cadar dengan segala kepentingannya. Ada yang melakukannya karena keyakinan. Aku bisa dengan sangat mudah mengenali mereka yang berada pada tipe ini, berhubung Arni, istriku adalah orang yang bergabung dengan organisasi mereka, meskipun Arni dan beberapa ummahat yang lain memilih untuk tidak memakainya. Biasanya mereka terlihat dari pakaiannya yang serba gelap, tanpa motif dan corak. Hanya pakaian jubbah dan jilbab yang polos, dan Rahma adalah akhwat yang berada pada tipe ini. Tipe kedua adalah mereka yang mengedakan cadar karena doktrin ataupun ikut-ikutan. Mereka hanya bermodalkan semangat namun tidak mengimbanginya dengan usaha yang pantas, sehingga akhwat jenis ini terlihat sangat mudah dikenali. Mereka berjilbab lebar dan bercadar, tetapi kain corak pakaiannya sangat modis, menggunakan kain yang warnanya cerah, kadang memakai motif-motif. Meskipun mereka bercadar, tetapi mereka tetap menarik perhatian.

Ah, terlalu banyak pendahuluannya.

Pagi ini aku telah bersiap-siap ke kantor. Setelah PDH warna khaki telah dikenakan lengkap dengan segala tetek-bengek atributnya. Hari ini seolah aku mendapatkan semangat yang baru, setelah semalaman berhasil memasuki babakan baru dalam proses komunikasiku dengan rahma. Di samping itu aku juga telah mendapatkan ‘sarapan’ kilat dari Arni. Skor 4-1 sudah cukup memuaskanku dan dia pagi ini. Dia adalah istri yang sangat hebat. Mengapa? Karena dia adalah wujud keadilan Tuhan atas diriku. Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan, dalam hal apapun dan Arni selalu mampu melengkapi kekurangan ataupun kebutuhanku, termasuk dalam hal syahwat. Aku selalu memiliki nafsu yang menggebu untuk melepaskan birahiku, sedangkan Arni selalu memiliki semangat yang tinggi untuk melayani syahwat hewaniku. Oh, Arni. Engkau sebenarnya sudah lebih dari cukup untukku, hanya aku saja yang seperti kurang bersyukur.

Pukul 06.26 pagi aku telah siap berangkat. Ku kecup pipi istriku yang masih terkapar lemas di samping tubuh putri kami yang juga masih lelap dalam mimpinya. Seutas senyum lembut tersungging di bibirnya tatkala keningnya menyambut bibirku. Matanya terbuka pelan dan menatapku dengan senyum yang mampu meluluhkanku.

“udah mau berangkat, sayang?” tanyanya lembut. Aku tersenyum lalu mengangguk.

“Iya, kamu tidur aja dulu. Kamu pasti masih teler, kan?” jawabku. Arni mengangguk pelan.

“Hhhhh…..mana pernah kamu gak bikin aku teler, Kang?”

“Iya….kamu juga istri yang hebat. Beberapa kali gol tapi masih sanggup melawan”

“iyah…..hati-hati ya? Jadi jemput Ummu Khalila, Kan?”

“Rencananya sih gitu….”

Arni menghela nafas perlahan.

“Ingat….!! Jaga jarak. Bukan mahram. OK?”

“Ok sayangku. Aku berangkat dulu ya?”

“Iya.”

Aku mengemudikan skuter matikku dalam perasaan yang sukar kugambarkan. Tidak ada bahasa lain untuk menggambarkannya melainkan dengan penggambaran seperti ini: skuter matik yang kukendarai seolah melayang tanpa menyentuh tanah, padahal jalanan yang biasa kulalui ke kantor tidak sepenuhnya mulus. Terdapat kecacatan proyek pemerintah di sana-sini. Masih saja ada badan jalan yang berlubang maupun retak, namun entah mengapa rasanya kok jalanan ini sangat mulus. Aku merasa seolah memang jalanan sudah sepenuhnya mulus. Aku hanya berkeyakinan kalau rupanya suasana hatiku yang sedang berbinar mempengaruhi kondisi berkedaraku. Hari ini untuk pertama kalinya aku harus menjemput Rahma, yang sampai kemarin masih menjadi misteri buatku.

Menit yang berlalu terasa lambat. Inginnya aku segera sampai di rumahnya dan bertemu dengannya. Ah…perasaan ini. Terlalu murahkah perasaan kasmaranku? Mengapa bukan hanya dengan Arni aku merasa kasmaran? Mengapa dengan Ani juga? Dan kini dengan Rahma? Ah, Rahma. Perempuan anggun yang penuh misteri, setidaknya dari wajah yang dia tutupi. Dari mata dan sedikit alisnya yang Nampak, aku tidak bisa mengira apa yang tersaji di baliknya. Cantikkah? Sebaliknya kah? Sempurna kah? Atau sebaliknya kah? Kalau cantik tentu saja aku siap menerimanya dan memang itulah yang kuinginkan. Tapi jika sebaliknya, sanggupkan aku melanjutkan perjuangan ini? lalu bagaimana nasib Rahma jika kulepaskan begitu saja target yang telah ku incar belakangan ini? tidakkah dia justru menjadi terpuruk dalam kehinaan, setelah dikejar mati-matian lalu dilepaskan begitu saja tatkala wajahnya yang ditutupi ternyata tidak cantik atau tidak sempurna? Mendekati seorang akhwat yang memakai cadar adalah sebuah pertaruhan yang sangat besar. Bagaimana tidak, engkau memperjuangkan apa yang belum engkau ketahui tentangnya. Hm, begitulah kira-kira kondisiku saat ini.

Akhirnya, itu dia rumahnya. Dia berdiri di depan pintu rumah dan sepertinya telah menungguku. Aku tidak tahu apakah dia membalas senyumanku atau tidak, karena aku tidak bisa mengetahui ekspresi seseorang hanya dengan melihat mata, alis dan keningnya saja.

“Assalamu alaikum”

“Wa alaikum salam”

“Khalila ke mana?”

“Lagi siap-siap sama tantenya ke PAUD”

“Oh…yuk, berangkat”

“Iya……”

Rahma mendekati motorku yang terparkir di depan pagarnya. Entah mengapa ku lakukan ini. begitu Rahma mendekat, ku julurkan tangan kananku untuk bersalaman dengannya. Jujur, hatiku menyalahkanku tapi tanganku mengacuhkannya. Tanganku tetap meluncur ke arah Rahma meskipun sudah ku duga akan mendapatkan pelototan darinya. Untuk sekejap aku mengutuk perbuatanku yang memalukan, hingga tidak sengaja sudut mataku menangkap gerakan tangan Rahma yang meluncur menyambut uluran tanganku. Tangannya yang dibalut handsock dengan ujung yang seperti cincin melekat di jari tengahnya tampak putih mulus menyambut tanganku. Dalam situasi yang canggung ini, kami bersalaman, untuk pertama kalinya aku bersalaman dengan seorang akhwat selain Arni.

Deg…..

Belum selesai kekagetanku, tanganku yang masih bersalaman dengan tangannya, perlahan tertarik ke atas. Tentunya bukan atas tenagaku, melainkan karena Rahma menarik tanganku, dan perlahan meletakkan di keningnya. Hingga tanpa sadar tenggorokanku tiba-tiba mengering dan aku seperti tersedak. Mau tidak mau akupun terbatuk.

“Uhuukkkk…Uhukkk….”

Suara batukku seolah mengingatkan Rahma akan apa yang dia lakukan. Dengan cepat dia melepaskan tanganku dan menunduk dengan kikuk. Gerakan Rahma menunjukkan kalau dia pun tidak sengaja menyambut tanganku dan reflex menciumnya di keningnya. Akupun demikiansama kagetnya. Segera ku Tarik tanganku. Dan membiarkan situasi canggung menyelimuti kami berdua. Baik aku maupun Rahma tidak tahu harus bagaimana mengambil sikap setelahnya. Yang aku tahu hanyalah jantungku seakan ingin meledak rasanya. Terlalu indah situasi canggung ini untuk dilukiskan dengan kata-kata.

Tak ingin larut lebih lama lagi, akhirnya aku sudah bisa menguasai diri dan hatiku.

“Ehm….Mari, bu. Kita berangkat”

“Ehh….I..Iya….”

Rahma segera membonceng di belakangku. Kali ini dia tidak menyamping, melainkan duduk searah dengan dudukku. Ku biarkan dia sejenak merapikan pakaiannya, sebagaimana ku biarkan Arni melakukan hal serupa jika kami hendak bepergian.

“Sudah, Kang. Ayo…” katanya kemudian.

“Iya….”

Motor mulai melaju perlahan, tetapi entah mengapa sepertinya hatiku masih tertinggal di depan pagar rumahnya, yaitu ketika ia menciumi tanganku. Sepertinya aku sangat berbunga-bunga denga peristiwa itu, atau lebih tepatnya bergairah. Aku tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini. mungkin saja sama denganku, atau mungkin lebih dariku, atau mungkin saja tidak ada apa-apa. Suara motor dan beberapa kendaraan yang menyalip kami tidak mampu mengusir sepinya suasana di atas motorku. Entah berapa lami kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hingga kemudian aku memilih untuk membuka obrolan.

“tidur sam berapa, semalam, Bu?” tanyaku.

“Ohh….Ehh….Iya, Kang?”

“Nggak apa-apa bu…cuman mau nanya semalam tidurnya jam berapa”

“Kok pake ibu sih, Kang? Kan kita udah sepakat, Kang”

“Oh….Maaf bu, ehh…Ukhti…..”

“Hmmm….iya yah….keknya ukhti lebih enak dibandingkan ibu.”

“Iya…..”

“Sekitar jam dua, Kang. Gara-gara kamu aku jadi gak bisa tidur”

“Lho kok gara-gara aku sih, Ukh….”

“Gimana bukan gara-gara kamu. Lha aku terangsang gitu mana bisa tidur, hehehe….”

Jgerrrr….bagai petir menyambar, kalimat Rahma barusan sangat mengagetkanku. Seorang akhwat yang aku tahu persis gerakan tempatnya bergabung, mengucapkan kalimat yang terkesan sensual dengan santai di depan seorang lelaki yang bukan mahramnya. Ringan sekali meluncur dari mulutnya. Saat mengucapkan kalimat itu, kedua telapak tangannya juga sudah menempel di punggungku. Suaranya yang lembut tanpa terkesan menahan atau menyembunyikan sesuatu, tulus terdengar.

“Wah…maaf ukh…***k ada maksud mau bikin tersiksa. Cobanya saya nginap di rumah ukhti semalam…..” kataku

“Emang kenapa kalau akang nginap?”

“Yaa….minimal bisa ngebantuin Rahma buat ngilangin terangsangnya hehehe….Adduhhhh…..”

“Dasarrrr…..MEssummmm”

Rahma ucapanku terpotong oleh tamparan Rahma di kepalaku dari belakang punggungku. Lalu entah mengapa kami berdua tiba-tiba tertawa bersama.

“Akang nih….masa bisa-bisanya ngomong gitu di depan saya…..Fitnah tau, Kang”

“Lha….situ yang terangsang kok yang salah di saya? Hehehe……”

“Yee….situ yang mancing duluan. Udah ah, males ngomong sama Akang…..”

Lalu sejurus kemudian kami berdua terdiam menikmati alur waktu dalam setiap jejak perjalanan kami menuju ke bengkel tempat motor Rahma semalam dititipkan. Entah mengapa aku hampir saja tidak percaya kalau ternyata kami bisa sedekat ini dalam waktu jurang dari 24 jam saja. Kalau sudah begini aku jadi serba salah. Orientasiku mendekati Rahma menjadi bias dan membingungkan. Kedekatan ini begitu murni untuk dikotori dengan syahwat. Ketika aku dan dia saling bercanda lepas tanpa beban, kelihatannya urusan kelamin menjadi nomor sekian. Jujur, aku menjadi dilemma. Aku tidak ingin mengotori kedekatan kami ini dengan urusan kelamin, tapi aku juga sangat terobsesi untuk memuaskannya, apalagi dengan keadaannya yang sudah dua bulan ditinggal suaminya. Sungguh aku ingin menyirami lading itu agar tanahnya gembur kembali setelah ditimpa kemarau dua bulan. Tapi aku takut jika sang pemilik lading tak rela ladangnya disirami dengan air yang bukan miliknya.

“Lho, Kang? Kok gak belok kanan?” Tanya Rahma menyadarkan lamunanku.

“oh, mau lewat jalur yang di situ, ya?”

“Kan motorku di situ, Kang. Lupa, ya?”

“Eh….Hehehehe….Maaf bu, lupa. Aduhhhh…..”

Sebuah cubitan mendarat di pingganggu. Sakit, tapi bukan itu yang menyebabkanku mengaduh. Aku mengaduh lebih karena aku suka seandainya aku dicubit lagi.

“Ibu…?” Rahma bertanya dengan penekanan.

“Kan udah pake baju dinas…”jawabku.

“Kan belum di kantor” jawabnya tidak kalah sengit.

Aku sangat berharap Rahma mencubit aku lagi. Aku suka cubitan yang manja itu. Hhmmm….sepertinya memang harus ku pancing lagi. Sungguh hari ini entah mengapa aku merasa kembali kasmaran. Ah, sungguh aku bingung dengan perasaanku. Sayang kah? Syahwat kah?

“Maaf, Rahma. Aku bingung musti panggil apa.”

“Kan kemaren udah manggil ukhty. Itu aja, kang”

“Gak enak.”

“Kamu gak suka dengan panggilan ukhty?”

“Suka sih….cuman aku ngomong ukhty ke Rahma itu rasanya kok kagok gimana, gitu”

“Lantas Akang ini mau manggil saya dengan sebutan apa?”

“Hmmmm……munya sih panggil sayang, tapi Aaakkhhhh…….sakit, tau..!!!”

“Ihhhh….rasainnn….sapa suruh godain istri orang….nih lagi, nih…..”

“Adawwww…..udahh….ampun…..ntar kita bisa jatuh, lho”

Sakit. Kali ini cubitannya kembali mendarat di pinggangku dan rasanya sakit. Tapi sungguh aku senang sekali. Ingin rasanya aku bermimpi seandainya motor ini punya sayap, akan kuterbangkan dengan segera saking senangnya.

“Biarin aja. Jatuh aja sekalian, biar kamu yang suka godain istri orang bisa tobat”

Ringan sekali. Tidak ada kesan marah yang terdengar dari ucapan Rahma. Artinya dia tidak tersinggung dengan ucapanku barusan. Ah, Rahma, ingin segera kutepikan motor ini, lalu ku berbalik menghadapmu, lalu ku peluk dirimu, tidak peduli dengan kendaraan lain yang melintas di jalur yang sama.

“Lha, terus saya musti manggil dengan sebutan apa, gitu?”

“Mmmm….gimana kalo neng aja”

“Setuju…!!”

“Widih....cepet amat setujunya”

“Emang neng gak sadar? Kalo setiap kita rapat, saya yang paling pertama setuju kalo Neng punya usul”

“Iya, Kah? Saya gak merhatiin tuh, Kang”

“Lha emang begitu. Setiap kita rapat bagian, coba ingat-ingat lagi…..Aduhhhh….kena lagi deh….”

“Nihh… rasain…..”

“Akang kenapa, Neng?”

“Kita kan baru rapat sekali, Kang”

“Heheheh…..iya sih……”

Lalu entah mengapa kami berdua tertawa berbarengan, seolah-olah kami baru saja mengingat sesuatu yang lucu.

Jalanan semakin ramai dengan kendaraan lain yang lalu lalang dengan penunggang-penunggang yang juga sama dengan kami, mencoba mengais rejeki yang telah disiapkan dari Sang Pemilik Semesta. Kali ini tangan Rahma tidak lagi hanya menempel di belakangku, tetapi sudah memegang kedua sisi pinggangku, dan kami mulai terdiam dalam pikiran kami masing-masing. Entah apayang dipikirkan Rahma, tetapi yang pasti sekarang pikiranku mulai kalut karena bengkel tempat motor Rahma dititipkan sudah semakin dekat. Entah mengapa tiba-tiba ada rasa rindu tan takut untuk berpisah yang begitu kuat memenuhi dadaku. Padahal kami satu kantor, satu bagian, satu ruangan, dan kami satu tim untuk menyiapkan laporan audit. Tapi tetap saja, kedekatan yang mencair dengan akhwat misterius ini membuatku enggan melepasnya begitu saja. Aku masih ingin memboncengnya dan menggodanya dengan candaan-candaanku. Menggoda saja, bukan merayu. Cukuplah kedekatan ini dulu yang terjalin. Cukuplah perasaan sayang yang halus ini terbina sedikit demi sedikit. Toh, aku percaya kalau Rahma sudah dekat tanpa jarak denganku, urusan syahwat akan tidab dengan sendirinya. Ah, senjataku mengeras.

“Kang….” Rahma memecah keheningan di atas motor.

“Ya?”

“Kalo akang manggil saya neng, apa gak kebetulan, ya?” tanyanya.

“Gak kebetulan gimana?”

“Panggilan Akang itu kan pasangannya adalah panggilan Neng.”

“Saya mah gak percaya dengan yang namanya kebetulan, Neng. Yang saya tau, semua situasi itu sudah ada perancangannya oleh Yang di Atas. Kita hanya tidak mampu mengurai semua scenario ini sehingga kita menarik kesimpulan singkat dengan menggunakan istilah kebetulan”

“Wahh….luar biasa. Penjelasan Akang seperti penjelasan murabbiyahku masalah iman kepada takdir”

“Iya kah? Hehehe…saya mah awam, neng. Cuman belajar dari pengalaman pribadi dan pengalaman orang aja”

“Emang Akang manggil istri dengan panggilang apa?”

“Manggilnya Ayang atau Sayang”

“Kok gak manggil dengan Neng?”

“Panggilan Ayang atau sayang itu memang permintaan istri saya, Neng.”

“Oh, begitu, ya?”

“Iya. Mungkin istri saya tau kalau….” Ku potong kalimatku.

“tau kalau apa, Kang?”

“Tau kalau panggilan Neng itu emang untuk Neng Rahma, biar cocok hehehe”

“Ihhh….Akaaanggg……aku cubit lagi nih….”

Ah, suara itu. Melengking tinggi namun diucapkan pelan dengan nada yang sangat manja.

“Aaaahhhhh……”

Kali ini kedua tangannya yang memegang pinggangku langsung mencengkram dan mencubit bagian tubuh yang tadinya menjadi pegangannya. Kali ini lebih sakit, tapi sensasinya jauh lebih nikmat, karena didahului dengan panggilan manjanya ke aku. Sungguh, suara itu mampu membuat bulu kudukku berdiri.

“Rasain. Siapa suruh, akang godain Neng terus dari tadi”

“Kan neng suka akang godain, kan?”

“Gak suka. Neng gak suka Akang ngomong gitu terus”

“Gak percaya. Akang Tau kalo Neng suka. Buktinya, panggilannya bukan lagi saya-kamu, tapi udah pake Akang-Neng”

“Eh……?”

“Lagian Neng tadi yang ngasih usul panggilan, Kan?”

“Eh….?”

“Itu artinya Neng suka panggilan kita Akang sama Neng”

“Bengkelnya udah kelihatan itu Kang”

“Idih….ada yang mengalihkan topik, rupanya”

Kali ini Rahma terdiam sampai akhirnya motorku berhenti tepat di depan bengkel itu, dan tampaklah motor Rahma yang sudah diperbaiki. Rahma turun dari motorku tanpa mengucapkan sepatah katapun. Itu sudah cukup membuat perasaanku menjadi tidak menentu. Baru saja kami sangat dekat sampai pakai acara cubit-cubitan segala, kini situasainya kembali canggung seperti kemarin siang. Apalagi setelah Rahma membayar motornya, dia menaiki motornya tanpa sedikitpun melihat ke arahku. Hmmmm….mungkin inilah yang namanya perasaan galau. Akhirnya ku putuskan untuk memacu motorku meninggalkannya di belakang. Sepanjang perjalanan otakku hanya dipenuhi tanda Tanya besar, mengapa sikap Rahma begitu tiba-tiba saja berubah. Wajahnya yang tertutup cadar tidak bisa memberiku penjelasan apakah dia marah, tersinggung, atau sedih. Matanya pun sedikitpun memandangku. Aku menjadi khawatir ini akan mempengaruhi kinerja kami hari ini.

Pikiran-pikiran ini terus berkecamuk di kepalaku hingga aku memasuki tempat parkir di kantor. Orang-orang sudah mulai berdatangan ketika aku selesai memarkirkan motor, hanya saja aku tidak langsung turun dari joknya melainkan duduk-duduk dulu sebentar sambil sesekali menyapa rekan-rekan kerja yang lain. Ku buka ponselku untuk melihat apakah ada notifikasi atau tidak, karena sepanjang perjalanan tadi memang aku merasakan getaran di pahaku, tapi tidak terlalu ku pedulikan karena mungkin saja itu pengaruh dari getaran mesin motor.

Di layar tampak satu notifikasi WA. Ternyata dari Rahma, dan dikirim sekitar 10 menit yang lalu. Berarti Rahma menghentikan motornya sejenak dan mengirimkanku pesan.

“Iya, Kang, Neng suka. Panggil Neng dengan ini terus ya Kang? Maaf tadi Neng diam saja karena Neng takut terjerumus dalam fitnah, Kang. Neng takut perasan Neng ke Akang seperti yang Neng takutkan. Neng takut kalau Neng jadi ada rasa ke Akang. Akan kan udah tau bagaimana status kita berdua. Maaf kang udah bikin Akang galau, soalnya tadi naik motornya kok tiba-tiba ngebut gitu.”

Ahhhhh….Lega…..rasanya seperti ada awa gelap yang melayang di atas kepalaku, lalu tiba-tiba terbit matahari yang mengusir awan gelap itu.

BERSAMBUNG
Thx akang, smakin mendebarkan ini kang. Gregetan ane kang
 
Top kang update nya,
Walaupun pasti bakalan lama nih
Hehehe

Tapi isinya berbobot,
Berbobot ttg bagaimana harus menaklukkan hehe
 
Sebagai cowok
Ane ngerasa kalah total dlm hal pendekatan yg Om lakuin
Makasih atas pelajarannya yah Om...
 
Updete yang lama terbayar dengan cerita yg mewah dan bukan murahan.

Rahma ai lop yu pull

Jempol Kang :jempol:
 
yossshaaaa update jg, makasih suhu. semoga lancar kerja dan urusan di RLnya biar ada waktu luang buat update
KANPAI!! :beer:
 
asyeeek...fase romantis, tak perlu sarana dan prasarana yang wah...romantis itu sederhana...ihirrr...#sarpras...kwkwkwkwk bahasa birokrat
 
siAkang:D sisi masokis nya keluar... suka banghet disakiti:hammer: cubitan neng Rahma..

gaya becandaan macam abg nya nichh ane demen banghet..
:hore:
 
edyyyaaaan, baca apdtnya udh kebayang gmana liarnya...
mantap
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd