goblingoblok
Semprot Kecil
- Daftar
- 25 Aug 2012
- Post
- 52
- Like diterima
- 25
Mencoba menuliskan sebuah karya tulis. Semua cerita di bawah ini hanyalah fiksi belaka.
ADIK IDOLAKU
“Saya, Stella Cornelia. Memutuskan untuk lulus dari JKT48…”
Aku terdiam. Mulutku menganga, mataku melotot. Lightstick yg kupegang di tangan kananku jatuh. Suasana teater hening. Semuanya seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan member favoritku barusan di hari ulang tahunnya.
“STELLA GRAD!”
Tiba tiba entah dari mana ada teriakan seperti itu. Lalu tiba-tiba, suasana teater menjadi gemuruh. Isak tangis dan teriakan menyemangati Stella bercampur menjadi satu.
“Semangat Stellaaaaaaa”
“Stellaaaaaaaaa”
“Ciciiiiiiiiiii”
Aku lemas, terduduk dan tak berdaya. Sahabatku yang juga fans Stella, Roni sudah menangis terisak-isak disampingku. Dan tanpa kusadari sekelilingku melakukan hal yang sama. Dengan sisa tenagaku, aku melihat member di atas panggung semuanya juga menangis. Sonia memeluk cicinya erat, berbagi pelukan dengan Haruka dan Melody. Tanpa kusadari air mata menetes di mataku. Pandanganku mulai buram. Dadaku sesak, dan aku sudah tak tahan. Aku ingin berteriak,
“STELLAAAAAAAAAAAAAAAAA…………..”
BRAK! BRAK!
“Rik bangun, Rik. Tidur mulu lo woi”
Aku terbangun. Aku masih belum sadar sepenuhnya. Kukucek mataku, dan kulihat Geri duduk di depanku. Si kampret ini menggebrak meja untuk membangunkanku. Ah, yang barusan cuma mimpi. Mimpi yang aneh tentang dunia yang sudah kutinggalkan hampir 2 taun.
“Ganggu aja lo Ger”
“Yeee elo tidur mulu sih”
“Ya kenapa emang, gue ngantuk. Lagian juga gaada kegiatan kan”
“Cek hape lo lah. Makan noh kegiatan”
Kuambil hape. Ada banyak sekali notifikasi chat yg masuk. Rupanya aku diundang ke grup chat dan tampaknya mereka sudah mulai mengobrol ke mana-mana.
“Apaan nih?”, tanyaku ke Geri.
“Itu kan ada nama grupnya”
“Awarding Night Performance… apaan sih?”
“Itu grup paduan suara buat Awarding Night acara kampus kita, begok. Dan lo kepilih buat jadi pengiringnya”
“Pake Piano?”
“Kaga, pake sapu. Ya pake Piano lah anjir. Lo masih ngantuk ya?”
“Hmm…” gumamku tak menjawab Geri lagi.
Kutaruh hape di saku, lalu berjalan keluar kelas. Benar kata Geri, aku masih ngantuk. Yah salahku juga sih semalem nonton bola sampai pagi. Udah gitu Real Madrid kalah pula. Sialan.
Aku masuk ke toilet Pria. Kunyalakan keran dan kubasuh mukaku dengan air. Kuusapkan air beberapa kali sampai kantukku terasa hilang. Kumatikan keran. Kuambil sapu tangan dan kukeringkan mukaku. Kulihat diriku sendiri di kaca toilet.
Yah inilah aku. Namaku Eric. Seperti yg kalian tau dari mimpiku, aku wota. Atau setidaknya mantan wota. Setelah member favoritku, Stella, lulus dari JKT48, kini aku sudah tidak pernah lagi menonton dan terlibat kegiatan wota. Di samping ketertarikanku tentang JKT48 sudah hilang bersama dengan lulusnya Stella, Aku disibukkan dengan kegiatan transisiku dari SMA ke kuliah. Berbagai tugas dan kesibukan di SMA yang dulu tak seberapa, kini berbanding terbalik waktu kuliah. Jadi maba, mengerjakan tugas kampus, dan ya, aku seorang pemain piano. Nggak sih, nggak jago-jago amat. Tapi bisa lah, main piano. Dan mungkin 2 taun jadi wota membuatku melupakan piano sebagai hobi. Ibuku pun heran ketika masuk kuliah, pianoku yang sudah lama tak kusentuh mendadak kusentuh lagi. Tak hanya itu, aku akhirnya memutuskan aktif di klub Musik kampus.
Sebenarnya dulu teman-teman JKT48 ku masih sering mengajakku main. Fernando, Jacky, Rivan, dan banyak lagi teman2ku di Stella Fans Club. Disuruh nonton teater team lain lah, diajak Handshake event lah, dan bahkan diajak datang ke Meet and Greet Stella. Namun ya itu tadi. Entah kenapa aku malas. Aku sudah tak melihat Stella sebagai idola. Lebih baik kulanjutkan hidupku.
Cuma memang agak aneh. Aku tak pernah mengalami mimpi seperti siang tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku bermimpi itu lagi. Mimpi buruk pertama dan terakhirku sebagai wota. Apakah ini pertanda akan terjadi sesuatu? Entahlah.
Kulangkahkan kakiku keluar toilet. Tanpa kusadari pintu toilet wanita terbuka. Seorang perempuan berlari dari sana dan dengan suksesnya ia menabrakku.
BUK…
Yang ditabraknya adalah lengan kananku. Aku merasakan sesuatu yang empuk. Sepertinya lenganku ditabrak payudaranya.
“Aduh maaf”, ujarnya sambil sedikit menunduk ke arahku. Ia memakai topi yang menutupi mukanya. Memakai celana jeans, dan kaos yang sedikit agak ketat. Tangan kirinya penuh dengan berkas entah apa. Ia melanjutkan larinya, menghilang di ujung koridor.
Aku cuek, namun kertas miliknya ada yang jatuh. Kuambil kertas itu dari lantai. Sepertinya ini lirik lagu, dan di ujung kertasnya ada nama seseorang.
“Sonia?”
Aku duduk di bagian belakang ruangan. Semua anak di grup berkumpul untuk briefing pertama acara Awarding Night. Banyak teman-teman yang kukenal dan memang sering ikut paduan suara. Kam sudah sering tampil di acara seperti ini sih. Jadi bagi kami hal seperti ini sudah biasa.
Pak Franky, dosen musikku masuk. Ia menerangkan tentang detail acara nanti. Dia ingin kami perform sebaik-baiknya karena ini acara taunan terbesar kampusku. Ia juga menjelaskan beberapa lagu yang akan ia ubah aransemennya.
“Oh iya, taun ini kita juga akan memakai mahasiswa baru. Kemaren Vanessa dan saya sudah menyeleksi beberapa yang kita anggap memiliki suara bagus. Mereka akan ikut sementara di grup ini, dan harapannya nanti performance di Awarding Night menjadi penilaian bagi mereka. Silahkan Vanessa”
Vanessa ketua grup musik kampus kami. Ia lihai memainkan berbagai alat musik. Suaranya juga bagus. Dia seniorku, taun ini taun terakhir dia di kampus. Dia membantu Pak Franky menilai anak2 baru dan mengajak mereka ikut tampil di beberapa acara.
“Silahkan maju ke depan adik-adik”
Sekitar 7 orang anak perempuan dan 3 laki-laki maju ke depan. Pandanganku fokus ke maba perempuan itu. Mereka memang cantik. Dan berdiri di sana berarti kemampuan bernyanyinya diakui oleh Vanessa. Mereka memperkenalkan diri satu persatu. Hingga akhirnya sampai ke peserta terakhir…. Dahiku berkernyit.
Bukankah itu….
“Selamat Sore kakak-kakak. Namaku Sonia! Mohon bantuannya ya” ujarnya malu malu.
“Sonia topinya dibuka dong”, kata Vanessa.
Ia membuka topinya. Menampakkan jelas wajahnya yang malu-malu. HAH? Ini kan Sonia JKT48! Batinku dalam hati. Adiknya Stella kan? Aku ngga mungkin salah. Oh dia maba di kampusku ternyata.
Aku makin fokus melihatnya. Kupandangi dirinya dari atas sampai bawah. Masih seperti dulu, badannya masih pendek namun berisi. Pipinya masih chubby. Rambutnya panjang, tanpa poni rata yang selalu ia pakai dulu. Dan sepasang payudaranya kini mulai terlihat jelas. Berbeda sekali dengan saat aku masih ngewota dulu. Dulu masih anak-anak sekali, mungkin payudaranya baru mulai tumbuh. Kini tampak pemandangan seorang remaja perempuan yang semua bagian badannya mulai tumbuh. Behelnya sudah dilepas dari giginya. Senyumnya lebih menarik sekarang.
Sore itu aku seperti tak percaya. Aku yang sudah pensiun dari dunia wota, kini seperti ditarik kembali. Sonia, adik Idolaku dulu ternyata maba di kampusku. Memang kuakui suaranya bagus, sehingga membuat ia masuk ke grup musik kampus ini. Dan tentu saja, badannya kini berkembang ke arah yang sangat menggiurkan, setidaknya bagiku.
Setelah Pak Franky menutup briefing sore itu, aku berjalan ke arah Sonia. Dia duduk di sekitar Vanessa dan teman-temannya.
“Sonia?”
“Eh iya kak?” Ujarnya sambil mendongakkan kepalanya.
“Eh engga, nama gw Eric” aku sedikit gugup dan menyodorkan tanganku untuk bersalaman.
“Oh iya aku Sonia, salam kenal”
Ia tersenyum. Aku juga senyum. Dan karena aku berdiri sedangkan ia duduk, dari atas sini tampak sebongkah payudara ranumnya. Kutahan pikiran jorokku, kuambil duduk di sebelahnya.
“Lo… Sonia… Sonia Natalia member JKT48 kan?”
“Iya. Kok kakak tau?”
“Eh iya Ric, dia member JKT48. Kok lo tau? Gue kan belom bilang” Vanessa memotongku.
“Eh ngg… itu Van... gw kan dulu wota juga. Jadi tau, hehe” ujarku.
“Oh kakak wota juga?” kini Sonia yang terkejut.
“Dulu sih, sebelom masuk kampus. Sekarang udah nggak pernah lagi”
"Iya nih Son, dia wota juga dulu” kata Vanessa setengah mengejekku.
“Emang dulu suka siapa kak?” Sonia melanjutkan pertanyaannya.
“ng… itu…” aku terbata-bata. Sedikit tengsin juga sih sebenarnya.
“Stella kan”, Vanessa tiba-tiba menjawab.
“Oh ya? Cici?”
“Apaan sih Van!” aku pura-pura marah ke Vanessa.
“Eh ya emang kan. Emang kenapa?”
“Stella itu cici aku kak”, kata Sonia sambil tertawa.
“Yeee pantesan. Seneng kan lu nih ada adeknya Stella” Vanessa makin mengejekku.
“Biasa ajaaa, lagian kan itu dulu” ujarku menahan malu.
“Mau disalamin cici nggak?” Sonia kembali menggodaku.
“Enggaklaaaaah”
Sonia dan Vanessa tertawa. Aku pun kembali bersama teman-temanku. Dalam hati aku berpikir, Tak kusangka setelah 2 taun lebih pensiun, justru malah adik idolaku jadi junior di kampusku.
Hari sudah mulai gelap, dan tampaknya gerimis. Aku berjalan ke parkiran mobil. Kutekan remot kunci mobilku, sebelum akhirnya aku tak jadi berlari ke mobilku, karena kulihat seseorang berdiri di parkiran. Tangan kanannya memegang map yang ia taruh di atas kepalanya. Tangan kirinya mengutak atik smartphone-nya. Dari samping aku melihatnya sebagai pemandangan yang cukup menggairahkan. Curve badan dengan pantatnya sangat indah sekali.
“Loh kok belom pulang?”
“Eh kak Eric. Iyaaa nunggu mobil online nih, dicancel terus”
“Pulang sama gue aja yuk, gue anterin. Udah malem loh. Gerimis lagi nih”
“Mmmm… gimana ya…” Ia tampak malu dan tak enak kepadaku.
“Ayok, gue lg nggak ada acara kok malem ini. Jadi bisa nganterin ke rumah lo. Rumah lo di mana?”
“Eh itu… Mmm…” dia masih ragu.
Aku kemudian sadar, karena statusku pensiunan wota, mungkin dia takut kalo aku tau rumahnya. Dan karna sudah tau rumahnya, dia takut aku selalu ke rumahnya cuma buat liat Stella. Biasalah, kekhawatiran khas member.
“Yaudah kalo nggak mau nggak papa. Gue pulang duluan yak. Lo hati-hati” ujarku sambil berjalan ke mobilku.
“Iya kak, makasih ya kak udah ditawarin”, balasnya.
Kutekan remot kunci mobilku sekali lagi. Kubuka pintu mobilku, kumasukkan tas ku ke kursi belakang. Tepat setelah masuk, handphoneku berbunyi. Ibuku menelepon. Cukup lama kami berbicara sehingga tanpa sadar hujan makin deras. Kuarahkan Honda City-ku keluar parkiran kampus. Sesudah menutup telepon, mataku fokus ke pinggir jalan. Sonia masih di sana. Kuhentikan mobil dan kubuka kaca kursi penumpang depan.
“Sonia! Ayo ikut gue aja. Ini deres banget loh” kataku setengah berteriak dari dalam mobil.
“Eh kak…” wajahnya tampak ragu.
“Makin deres nih, ayo masuk aja” ajakku lagi. Kutepikan mobilku sehingga ia bisa langsung masuk. Wajahnya masih ragu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menganggukkan kepalanya dan membuka pintu mobil.
“Makasih ya kak, maaf ngrepotin” katanya.
“Santai aja kali, gila apa lo mau nunggu sampe jam berapa emang kalo ga pulang sekarang”
“hehehe, iya”
Kutolehkan kepalaku, kulihat sosok Sonia yg duduk di kursi depan. Aku tak salah lihat. Payudaranya berkembang pesat. Kini menonjol dan entah apa karena pakaiannya, payudaranya seperti ingin berontak dari kaosnya yang ketat. Pahanya walaupun ditutup oleh celana jeans panjang, tetap saja bisa kubayangkan betapa mulusnya paha itu. Aduh, penisku tiba-tiba berdiri dan membayangkan yang enggak enggak. Gawat…
“Kenapa kak?” ia membuyarkan lamunanku.
“Eh enggak. Udah kan ya?”
“Iya”
“Oke”
Kulajukan mobilku menuju keluar parkiran kampus. Dan benar saja, hujan deras sejadi-jadinya seketika aku meninggalkan kampus.
“Deres banget astaga, lo mau balik jam berapa kalo hujannya kayak gini?”
“Iya yah. Habisnya tadi nggak enak sih kak, ngrepotin rasanya”
“Ngrepotin atau…”
Aku tak melanjutkan kalimatku.
“Atau apa kak?”
“Atau takut rumah lo ketauan sama gue? Hahaha”
“Eh itu… ng…”
Tuh kan. Jiwa wotaku bisa merasakan keresahannya.
“Wajar kali, gue kan dulu wota. Jadi ya lo sah sah aja ngerasa waswas kalo gue tau rumah lo.”
Ia tak menjawab, namun tebakanku sepertinya benar.
“Gini aja, lo telpon keluarga lo deh. Kita janjian di mana gitu biar nanti lo dijemput mereka aja. Gimana?”
“B-boleh aja kok Kak”
Ia mengambil hapenya. Ia menelepon seseorang. Suaranya berusaha ditutupi, tapi aku masih tetap bisa mendengarkan. Aku berusaha fokus ke jalan, namun sesekali curi pandang ke arah gundukan payudaranya. God Damn, she’s so hot now! I can’t thinking properly!
“yaah, yaudah deh. Jam segitu gapapa kok. Iya. Yaudah Ci dadah”
Ia menutup telepon.
“Gimana?”
“Iya kak, nanti kakak ke mall itu aja” Ia menyebutkan sebuah Mall di Jakarta Barat.
“Nanti dijemput cici di parkirannya. Tapi baru agak maleman, jam 9 an gitu” lanjutnya.
“Oke, nggak masalah”
“Beneran ngga ngrepotin nih kak?”
“Enggak, santai aja. Nanti lo gw drop aja gitu gapapa kan?”
“Iya gapapa kok Kak. Makasih ya Kak, makasih banget. Udah nggak tau sih tadi gimana. Papa Mama keluar kota, jadinya Cuma ada cici di rumah. Tapi aku telpon cici katanya lagi keluar sama Koko Fendy, baru malem bisa jemput aku”
Kini ia berbicara panjang lebar, tampaknya sudah mulai tenang dan nggak memperlakukanku kayak wota lagi.
“eh tapi kak…”
“kenapa?” tanyaku.
“Kalo nurunin nggak di rumah aku, kakak gabisa ketemu cici dong” ia tertawa setengah menggodaku.
“yeeeee enggak laaah gw kan ikhlas nolongin lo nyaaa”
“yaaa siapa tau kak Eric masih mau ketemu cici, ya kan? Hahahaha”
Kami berdua tertawa. Kuarahkan mobilku menuju mall itu. Hujan tampaknya semakin deras sehingga aku hanya bisa membawa mobilku pelan pelan karena jalanan mulai menggenang. Sepanjang jalan kami bercerita banyak. Sambil terkadang melihatnya, kupuaskan mataku menoleh untuk melihat payudaranya. Dari sejak di kelas, aku membayangkan bisa memegang payudara itu. Nampak ranum bagiku, dan membuat penisku berdiri. Untung sepertinya ia tak melihatnya, karena cahaya di mobil memang temaram.
Kami bertukar cerita. Awalnya tentang JKT48, gimana sepeninggal aku sudah nggak ngewota lagi. Dan aku baru tau kalau Kinal pindah ke K3. Ia jadi Kapten di sana. Kini sudah ada 3 team, Team T membawakan Te Wo Tsunaginagara. Pesat juga perkembangannya. Team J sendiri membawakan Theater no Megami.
Lama kelamaan topik pembicaraan berubah meluas. Dari kehidupannya di luar jeketi, seperti sekolah. Lalu lanjut lagi ke hobinya menemani anjing2nya bermain. Dia sangat excited menceritakan anjing-anjingnya, karena memang ia suka sekali dengan anjing. Ia cerita panjang lebar. Suaranya yang agak melengking tinggi entah kenapa justru makin menaikkan birahiku.
Topik pun berganti. Karena birahiku makin meninggi, kuarahkan pembicaraan kami ke seputar kehidupan percintaannya. Awalnya dia ragu namun setelah mendengarkanku berbicara tentang kehidupan percintaanku, ia mulai terbuka. Entah bohong atau tidak, namun dia bilang dia belom pernah pacaran. Pernah suka, namun Cuma sebatas suka. Dekat, tapi tidak pacaran. Aku hanya manggut manggut.
“Emang kenapa kak nanya soal itu?”
“Ya nggak papa sih, pengen tau aja”
Setelah itu kami mengakhiri pembicaraan karena hapenya berbunyi. Jalanan kini semakin macet seiring dengan derasnya hujan. Aku pun berkonsentrasi dengan jalanan. Untunglah mallnya sudah terlihat.
“Aduuh cici masih nggak bisa cepet nih, kena macet katanya” ia berkata sambil menutup telponnya.
“Iya jalanan hujan gini, pasti macet di mana mana. Emang dia dari mana?”
“Dari jemput Koko Fendy syuting. Eh hampir lupa. Kak Eric tau kan Koko Fendy pacarnya Cici?”
“Tau lah, gw jg masih ngikutin berita kok”
“Trus?”
“Trus apa?”
“Trus nggak marah gitu? Hahahahaha” Dia tertawa keras menggodaku. Menggoda kewotaanku, tampaknya.
“yeee maksudnya gw wota marah gitu oshi gw pacaran? Kan dia udah graaaad” balasku. “Lo tuh, cari pacar dong kayak cici lo”
“Eh nggak boleh tauk, Sonia kan member jeketi yg baik hati dan taat peraturan” ujarnya sambil bergaya sok serius.
“yaelaaah hahaha bohong amat”
“beneran tauuk”
“masa sih ga pernah? Berarti lo ga pernah ciuman dong?” ujarku memancingnya.
“Mmm ya biarin!” sahutnya cepat.
Ia diam. Pipinya yang chubby memerah. Suasana di mobil jadi awkward. Namun dalam hati aku sudah mengira bahwa pancinganku masuk.
AC dalam mobil makin terasa dingin. Kupecahkan keheningan dengan tiba2 memegang tangan kanannya di sebuah lampu merah.
“Dingin ya?”
Kupegang tangannya. Ia sedikit terkejut. Namun tangan kiriku tak dilepasnya atau digenggam balik.
“Mmm iya”
“Dikit lagi sampai nih. Lo mau di drop di mana?”
“Di Lobby aja kak”
Kali ini tanganku digenggam balik. Ia tak berani menatap mataku. Pandangannya lurus ke depan. Pipinya yang chubby masih tetep memerah.
“Tapi masih hujan gini, lo gimana ntar? Sendirian dong”
“Mmm nggak papa nanti Sonia nunggu deh”
“Sendiri? Gw temenin deh, kalo cici lo udah deket lo telpo…. Aaah iya gw lupa”
Gw lepaskan tangan gw, gw setuh kening gw dengan tangan kiri.
“Gw lupa nanti lo bakal dikira yg enggak enggak kalo ketauan wota, ya kan?”
“Naah itu tauuuu” sahutnya sambil nyengir.
“Di mobil aja boleh nggak kak?” lanjutnya.
“Oh di parkiran aja, boleh kok.”
Kuparkirkan mobilku. Di luar memang masih hujan deras. Sangat deras bahkan.
Cukup lama kami terdiam. Aku hanya memainkan hape.
“Emang kak Eric pernah ciuman?” tanyanya tiba-tiba.
Kena nih, batinku.
“Pernah dong. Ya kan gw sejak kuliah aja 2x pacaran. Emang kenapa?”
“Mmmm yaa nggak papa nanya aja”
“Lo kedinginan ya? Dimatiin aja apa AC nya?”
“eh ngga usah, ntar malah panas kak”
“oh yaudah”
Spontan kupegang tangan kanannya. Ia kembali sedikit kaget.
“Cukup anget ngga kalo gini?” tanyaku sambil tersenyum ke arahnya. Pipinya makin memerah. Dan penisku, makin mengeras.
“Eh ng mmm… i-iya”
Dari tangannya, aku bisa merasakan kalau entah kenapa sepertinya ia makin gelisah. Ia bahkan tak berani menatap mataku. Kemudian ia melepaskan genggamannya.
“K-kak aku nunggu aja deh di Starbucks. Nggak papa sendirian”
ia membungkukkan badannya ke kursi belakang, mengambil tasnya. Lenganku yang masih berada di tengah mobil terhimpit oleh payudaranya.
ASTAGA! Teriakku dalam hati. Kenyal payudaranya sangat terasa. Walaupun dibungkus bra, kutebak bra yang ia pakai sekarang tidak terlalu tebal. Uh, penisku kembali berdiri.
Ia akhirnya menemukan tasnya, membawanya ke pangkuannya.
“Makasih ya kak udah dianterin sampe sini” lanjutnya lagi.
“Tapi masih hujan di luar”
“Nggak papa nanti lari”
“Nanti kamu basah”
“Nggak kok itu kan deket”
Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya. Wajah kami cukup dekat sehingga perlahan aku bisa merasakan deru nafas dan dirinya yg sedang gelisah.
“Mmmm… Kak…. Eric…”
“Iya…”
Tangan kiriku kuarahkan ke belakang kepalanya. Entah siapa yang memulai, akhirnya kami berciuman. Kami berciuman di dalam mobil di bawah derasnya hujan. Tidak lama, namun cukup untuk membuat kami berdua terkejut bahwa kami berciuman. Kulepas kecupannya. Aneh, dia sudah nggak terlalu gelisah kali ini.
“Sekarang lo udah pernah ciuman” godaku sambil tersenyum.
Ia tak menjawab. Tasnya yg tadi di pangkuannya, ia biarkan jatuh ke bawah kursi. Wajah kami berdekatan lagi, tanpa ada yang mengomandoi. Tangan kiriku berpindah ke lehernya. Tangan kananku memegang tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang pipiku. Kami kembali berpagutan, kali ini lebih lama. Lidah kami saling bermain, bertautan di dalam sana. Nafas kami saling memburu.
Ia melepaskan ciumannya sesaat. Tersenyum. Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi. Sebelum keterkejutanku habis, entah kenapa tiba2 kami berciuman lagi. Penisku semakin tegak, birahiku semakin meningkat sampai ke ubun-ubun. Tangan kananku melepas genggaman tangan kirinya. Kupegang payudara kirinya dari luar kaosnya.
“Mmhh….” Ia segera melepaskan ciumannya.
“Hmmhh, kenapa Son?”
“Mmm… Kak Eric, jangan pegang itu”
“Oh… yaudah”
Aku menjawab seadanya. Kupeluk badannya, sedikit kutarik ke arahku. Kami berciuman lagi. Ciuman kami sangat intim dan panas. Sesekali kulepas ciumanku dan berusaha mencumbu lehernya. Dan setiap kali aku melakukan itu, Sonia selalu mencari bibirku lagi seolah menghentikan perbuatanku mencumbu lehernya. Aku tak menyerah, sambil berciuman kupegang lagi payudaranya. Kali ini ia tak protes. Tangan kiri kulingkarkan di pinggulnya, tangan kananku meremas remas payudaranya dari luar. Sesuai dugaanku, branya tipis. Ingin rasanya cepat-cepat kulepas kaos lengan pendeknya itu. Sembari berciuman tangan kananku mulai bermain. Kumasukkan tanganku dari bawah kaosnya. Tanganku bergerak ke atas mencari payudaranya dan bingo! Sangat kenyal.
“Ngghhh, Kak Eric…” ia melepaskan ciumannya dan agak merengek.
Aku tak menjawab apapun. Kucumbu lehernya sambil tangan kananku tetap beraksi di balik kaosnya. Kuelus elus kedua bukit kembarnya itu, sesekali jariku masuk branya dari luar, menyentuh pentilnya.
“Ahhh ngghh sssss…” Sonia melenguh. Nafasnya semakin pendek-pendek, matanya terpejam.
“ssshhhh nggg k…ka-k er—ic ngga bol… hmmm… leh….oooough…”
Penisku semakin menegak, aku semakin tak tahan. Celanaku semakin terasa sempit. Kugulung kaosnya ke atas. Terlihat bra warna pink miliknya. Tebakanku, ukurannya 34B.
Kusudahi mencumbu lehernya. Ia tampak masih menikmati sisa cumbuanku tadi.
Kuarahkan bibirku ke payudara kanannya. Kuciumi bra nya. Ia masih merem melek menikmati permainanku.
“Mmmhhh nggghhh… k…aaaakh kak….”
Kedua tangannya memegang kepalaku. Antara menahan dan tak ingin aku berhenti. Perlahan, kuangkat branya ke atas, sehingga yang tampak adalah bongkahan payudara kenyal miliknya. Payudaranya yang bulat sempurna dan puting berwarna pink-nya makin membuatku bernafsu.
“Tete lo makin gede aja sekarang Son…” racauku sambil mulai menciumi payudaranya.
“mmhh… ahhh…”
“empuk lagi, mmhhh” kulanjutkan racauanku sambil kuciumi payudara kanannya
“Kaa….aaak Errrrr….iicccc” ia makin kegelian tampaknya. Rambutku diremas-remasnya dengan tak aturan.
Tangan ku tak tinggal diam. Tangan kananku memegang payudara kirinya. Jadi kini dua payudaranya kuhajar. Kumainkan puting kanannya dari samping menggunakan lidah, dan kuelus puting kirinya menggunakan jari tangan kananku.
“Aahhhhh kak Eriiic aaahhh, mmgghhhhh kakakkkkk….”
TIRIRIRIRIRIRIT TIRIRIRIRIRIRIT
Hapenya berbunyi. Kami berdua tersontak kaget. Ia kemudian merapikan bra dan menurunkan kembali kaosnya yang kugulung ke atas. Ia mencari hapenya yang ternyata sudah jatuh di bawah kakiku. Entah bagaimana bisa berada di sana.
“Siapa?” tanyanya
“Cici” jawabku sambil menyerahkan hapenya. Seketika itu juga ia mengambil hape dan menjawab telpon itu.
Aku menghela nafas. Yaampun, benar-benar sesuatu yang ajaib tiba tiba kami berciuman. Penisku daritadi masih tegang. Aku berpikir setelah ini tangannya akan kutuntun ke arah penisku. Bagaimanapun caranya. Nafsu birahiku udah di ujung kepala. Poko--
“Kak cici udah nunggu di Starbucks. Aku lari aja deh” katanya tiba-tiba. Ia membuka pintu. Memang hujan sudah tak sederas tadi. Ia mengambil tasnya dan bergegas keluar dari mobilku.
“Makasih kak Eric!”
“eh, Son.. Sonia.. tunggu” ujarku setengah berteriak. Ia tampaknya lari begitu saja sehinggu pintu mobilku masih terbuka. Dan yang lebih parah, membiarkan aku menahan sange.
Sialaaaaan, lagi sange sangenya malah ada gangguan.
Kuhela napas. Kuangkat badanku ke arah kursi penumpang untuk berusaha menutup pintunya. Kejauhan. Kucoba sekali lagi. Kali ini kudengar derap langkah orang lari.
“Maaf pintunya lupa ditutup kak Eric!” Sonia kembali lagi ke mobilku. Ia melihatku yang susah payah berusaha menutup pintu.
“Ah iya, gak pap…”
Ia menciumku. Melumat bibirku sekali lagi.
“makasih ya Kak. Nanti kapan-kapan lagi”
Ia tersenyum. Pipinya masih memerah menahan malu. Dengan cepat ia membanting pintu dan berlari ke arah mall. Meninggalkanku yang terbengong bengong.
Wow, what was that?
Hari yang aneh. Bermimpi soal hobi lamaku, tau kenyataan bahwa juniorku adalah adik idolaku semasa jadi wota dulu, mengantarnya pulang, dan bahkan mencumbunya.... di mobilku.
Aku tak habis pikir betapa ajaibnya hari ini.
Setelah mengatur nafas, kuarahkan mobilku ke pintu keluar mall. Antrian mobil cukup panjang, tampaknya. Dan Ketika sedang mengantri keluar itu, hapeku berbunyi. Ada chat masuk yang entah dari siapa. Isi chat itu Cuma stiker lucu seorang cewek berponi dengan pose sedang berterima kasih.
Hahaha.
Kupacu mobilku keluar mall, masuk tol dalam kota. Senyum tersungging di bibirku, dan dalam hati aku berkata,
“Petualanganku berlanjut”
Aku terdiam. Mulutku menganga, mataku melotot. Lightstick yg kupegang di tangan kananku jatuh. Suasana teater hening. Semuanya seolah tidak percaya dengan apa yang diucapkan member favoritku barusan di hari ulang tahunnya.
“STELLA GRAD!”
Tiba tiba entah dari mana ada teriakan seperti itu. Lalu tiba-tiba, suasana teater menjadi gemuruh. Isak tangis dan teriakan menyemangati Stella bercampur menjadi satu.
“Semangat Stellaaaaaaa”
“Stellaaaaaaaaa”
“Ciciiiiiiiiiii”
Aku lemas, terduduk dan tak berdaya. Sahabatku yang juga fans Stella, Roni sudah menangis terisak-isak disampingku. Dan tanpa kusadari sekelilingku melakukan hal yang sama. Dengan sisa tenagaku, aku melihat member di atas panggung semuanya juga menangis. Sonia memeluk cicinya erat, berbagi pelukan dengan Haruka dan Melody. Tanpa kusadari air mata menetes di mataku. Pandanganku mulai buram. Dadaku sesak, dan aku sudah tak tahan. Aku ingin berteriak,
“STELLAAAAAAAAAAAAAAAAA…………..”
BRAK! BRAK!
“Rik bangun, Rik. Tidur mulu lo woi”
Aku terbangun. Aku masih belum sadar sepenuhnya. Kukucek mataku, dan kulihat Geri duduk di depanku. Si kampret ini menggebrak meja untuk membangunkanku. Ah, yang barusan cuma mimpi. Mimpi yang aneh tentang dunia yang sudah kutinggalkan hampir 2 taun.
“Ganggu aja lo Ger”
“Yeee elo tidur mulu sih”
“Ya kenapa emang, gue ngantuk. Lagian juga gaada kegiatan kan”
“Cek hape lo lah. Makan noh kegiatan”
Kuambil hape. Ada banyak sekali notifikasi chat yg masuk. Rupanya aku diundang ke grup chat dan tampaknya mereka sudah mulai mengobrol ke mana-mana.
“Apaan nih?”, tanyaku ke Geri.
“Itu kan ada nama grupnya”
“Awarding Night Performance… apaan sih?”
“Itu grup paduan suara buat Awarding Night acara kampus kita, begok. Dan lo kepilih buat jadi pengiringnya”
“Pake Piano?”
“Kaga, pake sapu. Ya pake Piano lah anjir. Lo masih ngantuk ya?”
“Hmm…” gumamku tak menjawab Geri lagi.
Kutaruh hape di saku, lalu berjalan keluar kelas. Benar kata Geri, aku masih ngantuk. Yah salahku juga sih semalem nonton bola sampai pagi. Udah gitu Real Madrid kalah pula. Sialan.
Aku masuk ke toilet Pria. Kunyalakan keran dan kubasuh mukaku dengan air. Kuusapkan air beberapa kali sampai kantukku terasa hilang. Kumatikan keran. Kuambil sapu tangan dan kukeringkan mukaku. Kulihat diriku sendiri di kaca toilet.
Yah inilah aku. Namaku Eric. Seperti yg kalian tau dari mimpiku, aku wota. Atau setidaknya mantan wota. Setelah member favoritku, Stella, lulus dari JKT48, kini aku sudah tidak pernah lagi menonton dan terlibat kegiatan wota. Di samping ketertarikanku tentang JKT48 sudah hilang bersama dengan lulusnya Stella, Aku disibukkan dengan kegiatan transisiku dari SMA ke kuliah. Berbagai tugas dan kesibukan di SMA yang dulu tak seberapa, kini berbanding terbalik waktu kuliah. Jadi maba, mengerjakan tugas kampus, dan ya, aku seorang pemain piano. Nggak sih, nggak jago-jago amat. Tapi bisa lah, main piano. Dan mungkin 2 taun jadi wota membuatku melupakan piano sebagai hobi. Ibuku pun heran ketika masuk kuliah, pianoku yang sudah lama tak kusentuh mendadak kusentuh lagi. Tak hanya itu, aku akhirnya memutuskan aktif di klub Musik kampus.
Sebenarnya dulu teman-teman JKT48 ku masih sering mengajakku main. Fernando, Jacky, Rivan, dan banyak lagi teman2ku di Stella Fans Club. Disuruh nonton teater team lain lah, diajak Handshake event lah, dan bahkan diajak datang ke Meet and Greet Stella. Namun ya itu tadi. Entah kenapa aku malas. Aku sudah tak melihat Stella sebagai idola. Lebih baik kulanjutkan hidupku.
Cuma memang agak aneh. Aku tak pernah mengalami mimpi seperti siang tadi. Entah kenapa tiba-tiba aku bermimpi itu lagi. Mimpi buruk pertama dan terakhirku sebagai wota. Apakah ini pertanda akan terjadi sesuatu? Entahlah.
Kulangkahkan kakiku keluar toilet. Tanpa kusadari pintu toilet wanita terbuka. Seorang perempuan berlari dari sana dan dengan suksesnya ia menabrakku.
BUK…
Yang ditabraknya adalah lengan kananku. Aku merasakan sesuatu yang empuk. Sepertinya lenganku ditabrak payudaranya.
“Aduh maaf”, ujarnya sambil sedikit menunduk ke arahku. Ia memakai topi yang menutupi mukanya. Memakai celana jeans, dan kaos yang sedikit agak ketat. Tangan kirinya penuh dengan berkas entah apa. Ia melanjutkan larinya, menghilang di ujung koridor.
Aku cuek, namun kertas miliknya ada yang jatuh. Kuambil kertas itu dari lantai. Sepertinya ini lirik lagu, dan di ujung kertasnya ada nama seseorang.
“Sonia?”
Aku duduk di bagian belakang ruangan. Semua anak di grup berkumpul untuk briefing pertama acara Awarding Night. Banyak teman-teman yang kukenal dan memang sering ikut paduan suara. Kam sudah sering tampil di acara seperti ini sih. Jadi bagi kami hal seperti ini sudah biasa.
Pak Franky, dosen musikku masuk. Ia menerangkan tentang detail acara nanti. Dia ingin kami perform sebaik-baiknya karena ini acara taunan terbesar kampusku. Ia juga menjelaskan beberapa lagu yang akan ia ubah aransemennya.
“Oh iya, taun ini kita juga akan memakai mahasiswa baru. Kemaren Vanessa dan saya sudah menyeleksi beberapa yang kita anggap memiliki suara bagus. Mereka akan ikut sementara di grup ini, dan harapannya nanti performance di Awarding Night menjadi penilaian bagi mereka. Silahkan Vanessa”
Vanessa ketua grup musik kampus kami. Ia lihai memainkan berbagai alat musik. Suaranya juga bagus. Dia seniorku, taun ini taun terakhir dia di kampus. Dia membantu Pak Franky menilai anak2 baru dan mengajak mereka ikut tampil di beberapa acara.
“Silahkan maju ke depan adik-adik”
Sekitar 7 orang anak perempuan dan 3 laki-laki maju ke depan. Pandanganku fokus ke maba perempuan itu. Mereka memang cantik. Dan berdiri di sana berarti kemampuan bernyanyinya diakui oleh Vanessa. Mereka memperkenalkan diri satu persatu. Hingga akhirnya sampai ke peserta terakhir…. Dahiku berkernyit.
Bukankah itu….
“Selamat Sore kakak-kakak. Namaku Sonia! Mohon bantuannya ya” ujarnya malu malu.
“Sonia topinya dibuka dong”, kata Vanessa.
Ia membuka topinya. Menampakkan jelas wajahnya yang malu-malu. HAH? Ini kan Sonia JKT48! Batinku dalam hati. Adiknya Stella kan? Aku ngga mungkin salah. Oh dia maba di kampusku ternyata.
Aku makin fokus melihatnya. Kupandangi dirinya dari atas sampai bawah. Masih seperti dulu, badannya masih pendek namun berisi. Pipinya masih chubby. Rambutnya panjang, tanpa poni rata yang selalu ia pakai dulu. Dan sepasang payudaranya kini mulai terlihat jelas. Berbeda sekali dengan saat aku masih ngewota dulu. Dulu masih anak-anak sekali, mungkin payudaranya baru mulai tumbuh. Kini tampak pemandangan seorang remaja perempuan yang semua bagian badannya mulai tumbuh. Behelnya sudah dilepas dari giginya. Senyumnya lebih menarik sekarang.
Sore itu aku seperti tak percaya. Aku yang sudah pensiun dari dunia wota, kini seperti ditarik kembali. Sonia, adik Idolaku dulu ternyata maba di kampusku. Memang kuakui suaranya bagus, sehingga membuat ia masuk ke grup musik kampus ini. Dan tentu saja, badannya kini berkembang ke arah yang sangat menggiurkan, setidaknya bagiku.
Setelah Pak Franky menutup briefing sore itu, aku berjalan ke arah Sonia. Dia duduk di sekitar Vanessa dan teman-temannya.
“Sonia?”
“Eh iya kak?” Ujarnya sambil mendongakkan kepalanya.
“Eh engga, nama gw Eric” aku sedikit gugup dan menyodorkan tanganku untuk bersalaman.
“Oh iya aku Sonia, salam kenal”
Ia tersenyum. Aku juga senyum. Dan karena aku berdiri sedangkan ia duduk, dari atas sini tampak sebongkah payudara ranumnya. Kutahan pikiran jorokku, kuambil duduk di sebelahnya.
“Lo… Sonia… Sonia Natalia member JKT48 kan?”
“Iya. Kok kakak tau?”
“Eh iya Ric, dia member JKT48. Kok lo tau? Gue kan belom bilang” Vanessa memotongku.
“Eh ngg… itu Van... gw kan dulu wota juga. Jadi tau, hehe” ujarku.
“Oh kakak wota juga?” kini Sonia yang terkejut.
“Dulu sih, sebelom masuk kampus. Sekarang udah nggak pernah lagi”
"Iya nih Son, dia wota juga dulu” kata Vanessa setengah mengejekku.
“Emang dulu suka siapa kak?” Sonia melanjutkan pertanyaannya.
“ng… itu…” aku terbata-bata. Sedikit tengsin juga sih sebenarnya.
“Stella kan”, Vanessa tiba-tiba menjawab.
“Oh ya? Cici?”
“Apaan sih Van!” aku pura-pura marah ke Vanessa.
“Eh ya emang kan. Emang kenapa?”
“Stella itu cici aku kak”, kata Sonia sambil tertawa.
“Yeee pantesan. Seneng kan lu nih ada adeknya Stella” Vanessa makin mengejekku.
“Biasa ajaaa, lagian kan itu dulu” ujarku menahan malu.
“Mau disalamin cici nggak?” Sonia kembali menggodaku.
“Enggaklaaaaah”
Sonia dan Vanessa tertawa. Aku pun kembali bersama teman-temanku. Dalam hati aku berpikir, Tak kusangka setelah 2 taun lebih pensiun, justru malah adik idolaku jadi junior di kampusku.
Hari sudah mulai gelap, dan tampaknya gerimis. Aku berjalan ke parkiran mobil. Kutekan remot kunci mobilku, sebelum akhirnya aku tak jadi berlari ke mobilku, karena kulihat seseorang berdiri di parkiran. Tangan kanannya memegang map yang ia taruh di atas kepalanya. Tangan kirinya mengutak atik smartphone-nya. Dari samping aku melihatnya sebagai pemandangan yang cukup menggairahkan. Curve badan dengan pantatnya sangat indah sekali.
“Loh kok belom pulang?”
“Eh kak Eric. Iyaaa nunggu mobil online nih, dicancel terus”
“Pulang sama gue aja yuk, gue anterin. Udah malem loh. Gerimis lagi nih”
“Mmmm… gimana ya…” Ia tampak malu dan tak enak kepadaku.
“Ayok, gue lg nggak ada acara kok malem ini. Jadi bisa nganterin ke rumah lo. Rumah lo di mana?”
“Eh itu… Mmm…” dia masih ragu.
Aku kemudian sadar, karena statusku pensiunan wota, mungkin dia takut kalo aku tau rumahnya. Dan karna sudah tau rumahnya, dia takut aku selalu ke rumahnya cuma buat liat Stella. Biasalah, kekhawatiran khas member.
“Yaudah kalo nggak mau nggak papa. Gue pulang duluan yak. Lo hati-hati” ujarku sambil berjalan ke mobilku.
“Iya kak, makasih ya kak udah ditawarin”, balasnya.
Kutekan remot kunci mobilku sekali lagi. Kubuka pintu mobilku, kumasukkan tas ku ke kursi belakang. Tepat setelah masuk, handphoneku berbunyi. Ibuku menelepon. Cukup lama kami berbicara sehingga tanpa sadar hujan makin deras. Kuarahkan Honda City-ku keluar parkiran kampus. Sesudah menutup telepon, mataku fokus ke pinggir jalan. Sonia masih di sana. Kuhentikan mobil dan kubuka kaca kursi penumpang depan.
“Sonia! Ayo ikut gue aja. Ini deres banget loh” kataku setengah berteriak dari dalam mobil.
“Eh kak…” wajahnya tampak ragu.
“Makin deres nih, ayo masuk aja” ajakku lagi. Kutepikan mobilku sehingga ia bisa langsung masuk. Wajahnya masih ragu. Setelah beberapa saat, ia akhirnya menganggukkan kepalanya dan membuka pintu mobil.
“Makasih ya kak, maaf ngrepotin” katanya.
“Santai aja kali, gila apa lo mau nunggu sampe jam berapa emang kalo ga pulang sekarang”
“hehehe, iya”
Kutolehkan kepalaku, kulihat sosok Sonia yg duduk di kursi depan. Aku tak salah lihat. Payudaranya berkembang pesat. Kini menonjol dan entah apa karena pakaiannya, payudaranya seperti ingin berontak dari kaosnya yang ketat. Pahanya walaupun ditutup oleh celana jeans panjang, tetap saja bisa kubayangkan betapa mulusnya paha itu. Aduh, penisku tiba-tiba berdiri dan membayangkan yang enggak enggak. Gawat…
“Kenapa kak?” ia membuyarkan lamunanku.
“Eh enggak. Udah kan ya?”
“Iya”
“Oke”
Kulajukan mobilku menuju keluar parkiran kampus. Dan benar saja, hujan deras sejadi-jadinya seketika aku meninggalkan kampus.
“Deres banget astaga, lo mau balik jam berapa kalo hujannya kayak gini?”
“Iya yah. Habisnya tadi nggak enak sih kak, ngrepotin rasanya”
“Ngrepotin atau…”
Aku tak melanjutkan kalimatku.
“Atau apa kak?”
“Atau takut rumah lo ketauan sama gue? Hahaha”
“Eh itu… ng…”
Tuh kan. Jiwa wotaku bisa merasakan keresahannya.
“Wajar kali, gue kan dulu wota. Jadi ya lo sah sah aja ngerasa waswas kalo gue tau rumah lo.”
Ia tak menjawab, namun tebakanku sepertinya benar.
“Gini aja, lo telpon keluarga lo deh. Kita janjian di mana gitu biar nanti lo dijemput mereka aja. Gimana?”
“B-boleh aja kok Kak”
Ia mengambil hapenya. Ia menelepon seseorang. Suaranya berusaha ditutupi, tapi aku masih tetap bisa mendengarkan. Aku berusaha fokus ke jalan, namun sesekali curi pandang ke arah gundukan payudaranya. God Damn, she’s so hot now! I can’t thinking properly!
“yaah, yaudah deh. Jam segitu gapapa kok. Iya. Yaudah Ci dadah”
Ia menutup telepon.
“Gimana?”
“Iya kak, nanti kakak ke mall itu aja” Ia menyebutkan sebuah Mall di Jakarta Barat.
“Nanti dijemput cici di parkirannya. Tapi baru agak maleman, jam 9 an gitu” lanjutnya.
“Oke, nggak masalah”
“Beneran ngga ngrepotin nih kak?”
“Enggak, santai aja. Nanti lo gw drop aja gitu gapapa kan?”
“Iya gapapa kok Kak. Makasih ya Kak, makasih banget. Udah nggak tau sih tadi gimana. Papa Mama keluar kota, jadinya Cuma ada cici di rumah. Tapi aku telpon cici katanya lagi keluar sama Koko Fendy, baru malem bisa jemput aku”
Kini ia berbicara panjang lebar, tampaknya sudah mulai tenang dan nggak memperlakukanku kayak wota lagi.
“eh tapi kak…”
“kenapa?” tanyaku.
“Kalo nurunin nggak di rumah aku, kakak gabisa ketemu cici dong” ia tertawa setengah menggodaku.
“yeeeee enggak laaah gw kan ikhlas nolongin lo nyaaa”
“yaaa siapa tau kak Eric masih mau ketemu cici, ya kan? Hahahaha”
Kami berdua tertawa. Kuarahkan mobilku menuju mall itu. Hujan tampaknya semakin deras sehingga aku hanya bisa membawa mobilku pelan pelan karena jalanan mulai menggenang. Sepanjang jalan kami bercerita banyak. Sambil terkadang melihatnya, kupuaskan mataku menoleh untuk melihat payudaranya. Dari sejak di kelas, aku membayangkan bisa memegang payudara itu. Nampak ranum bagiku, dan membuat penisku berdiri. Untung sepertinya ia tak melihatnya, karena cahaya di mobil memang temaram.
Kami bertukar cerita. Awalnya tentang JKT48, gimana sepeninggal aku sudah nggak ngewota lagi. Dan aku baru tau kalau Kinal pindah ke K3. Ia jadi Kapten di sana. Kini sudah ada 3 team, Team T membawakan Te Wo Tsunaginagara. Pesat juga perkembangannya. Team J sendiri membawakan Theater no Megami.
Lama kelamaan topik pembicaraan berubah meluas. Dari kehidupannya di luar jeketi, seperti sekolah. Lalu lanjut lagi ke hobinya menemani anjing2nya bermain. Dia sangat excited menceritakan anjing-anjingnya, karena memang ia suka sekali dengan anjing. Ia cerita panjang lebar. Suaranya yang agak melengking tinggi entah kenapa justru makin menaikkan birahiku.
Topik pun berganti. Karena birahiku makin meninggi, kuarahkan pembicaraan kami ke seputar kehidupan percintaannya. Awalnya dia ragu namun setelah mendengarkanku berbicara tentang kehidupan percintaanku, ia mulai terbuka. Entah bohong atau tidak, namun dia bilang dia belom pernah pacaran. Pernah suka, namun Cuma sebatas suka. Dekat, tapi tidak pacaran. Aku hanya manggut manggut.
“Emang kenapa kak nanya soal itu?”
“Ya nggak papa sih, pengen tau aja”
Setelah itu kami mengakhiri pembicaraan karena hapenya berbunyi. Jalanan kini semakin macet seiring dengan derasnya hujan. Aku pun berkonsentrasi dengan jalanan. Untunglah mallnya sudah terlihat.
“Aduuh cici masih nggak bisa cepet nih, kena macet katanya” ia berkata sambil menutup telponnya.
“Iya jalanan hujan gini, pasti macet di mana mana. Emang dia dari mana?”
“Dari jemput Koko Fendy syuting. Eh hampir lupa. Kak Eric tau kan Koko Fendy pacarnya Cici?”
“Tau lah, gw jg masih ngikutin berita kok”
“Trus?”
“Trus apa?”
“Trus nggak marah gitu? Hahahahaha” Dia tertawa keras menggodaku. Menggoda kewotaanku, tampaknya.
“yeee maksudnya gw wota marah gitu oshi gw pacaran? Kan dia udah graaaad” balasku. “Lo tuh, cari pacar dong kayak cici lo”
“Eh nggak boleh tauk, Sonia kan member jeketi yg baik hati dan taat peraturan” ujarnya sambil bergaya sok serius.
“yaelaaah hahaha bohong amat”
“beneran tauuk”
“masa sih ga pernah? Berarti lo ga pernah ciuman dong?” ujarku memancingnya.
“Mmm ya biarin!” sahutnya cepat.
Ia diam. Pipinya yang chubby memerah. Suasana di mobil jadi awkward. Namun dalam hati aku sudah mengira bahwa pancinganku masuk.
AC dalam mobil makin terasa dingin. Kupecahkan keheningan dengan tiba2 memegang tangan kanannya di sebuah lampu merah.
“Dingin ya?”
Kupegang tangannya. Ia sedikit terkejut. Namun tangan kiriku tak dilepasnya atau digenggam balik.
“Mmm iya”
“Dikit lagi sampai nih. Lo mau di drop di mana?”
“Di Lobby aja kak”
Kali ini tanganku digenggam balik. Ia tak berani menatap mataku. Pandangannya lurus ke depan. Pipinya yang chubby masih tetep memerah.
“Tapi masih hujan gini, lo gimana ntar? Sendirian dong”
“Mmm nggak papa nanti Sonia nunggu deh”
“Sendiri? Gw temenin deh, kalo cici lo udah deket lo telpo…. Aaah iya gw lupa”
Gw lepaskan tangan gw, gw setuh kening gw dengan tangan kiri.
“Gw lupa nanti lo bakal dikira yg enggak enggak kalo ketauan wota, ya kan?”
“Naah itu tauuuu” sahutnya sambil nyengir.
“Di mobil aja boleh nggak kak?” lanjutnya.
“Oh di parkiran aja, boleh kok.”
Kuparkirkan mobilku. Di luar memang masih hujan deras. Sangat deras bahkan.
Cukup lama kami terdiam. Aku hanya memainkan hape.
“Emang kak Eric pernah ciuman?” tanyanya tiba-tiba.
Kena nih, batinku.
“Pernah dong. Ya kan gw sejak kuliah aja 2x pacaran. Emang kenapa?”
“Mmmm yaa nggak papa nanya aja”
“Lo kedinginan ya? Dimatiin aja apa AC nya?”
“eh ngga usah, ntar malah panas kak”
“oh yaudah”
Spontan kupegang tangan kanannya. Ia kembali sedikit kaget.
“Cukup anget ngga kalo gini?” tanyaku sambil tersenyum ke arahnya. Pipinya makin memerah. Dan penisku, makin mengeras.
“Eh ng mmm… i-iya”
Dari tangannya, aku bisa merasakan kalau entah kenapa sepertinya ia makin gelisah. Ia bahkan tak berani menatap mataku. Kemudian ia melepaskan genggamannya.
“K-kak aku nunggu aja deh di Starbucks. Nggak papa sendirian”
ia membungkukkan badannya ke kursi belakang, mengambil tasnya. Lenganku yang masih berada di tengah mobil terhimpit oleh payudaranya.
ASTAGA! Teriakku dalam hati. Kenyal payudaranya sangat terasa. Walaupun dibungkus bra, kutebak bra yang ia pakai sekarang tidak terlalu tebal. Uh, penisku kembali berdiri.
Ia akhirnya menemukan tasnya, membawanya ke pangkuannya.
“Makasih ya kak udah dianterin sampe sini” lanjutnya lagi.
“Tapi masih hujan di luar”
“Nggak papa nanti lari”
“Nanti kamu basah”
“Nggak kok itu kan deket”
Perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya. Wajah kami cukup dekat sehingga perlahan aku bisa merasakan deru nafas dan dirinya yg sedang gelisah.
“Mmmm… Kak…. Eric…”
“Iya…”
Tangan kiriku kuarahkan ke belakang kepalanya. Entah siapa yang memulai, akhirnya kami berciuman. Kami berciuman di dalam mobil di bawah derasnya hujan. Tidak lama, namun cukup untuk membuat kami berdua terkejut bahwa kami berciuman. Kulepas kecupannya. Aneh, dia sudah nggak terlalu gelisah kali ini.
“Sekarang lo udah pernah ciuman” godaku sambil tersenyum.
Ia tak menjawab. Tasnya yg tadi di pangkuannya, ia biarkan jatuh ke bawah kursi. Wajah kami berdekatan lagi, tanpa ada yang mengomandoi. Tangan kiriku berpindah ke lehernya. Tangan kananku memegang tangan kanannya, dan tangan kirinya memegang pipiku. Kami kembali berpagutan, kali ini lebih lama. Lidah kami saling bermain, bertautan di dalam sana. Nafas kami saling memburu.
Ia melepaskan ciumannya sesaat. Tersenyum. Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi. Sebelum keterkejutanku habis, entah kenapa tiba2 kami berciuman lagi. Penisku semakin tegak, birahiku semakin meningkat sampai ke ubun-ubun. Tangan kananku melepas genggaman tangan kirinya. Kupegang payudara kirinya dari luar kaosnya.
“Mmhh….” Ia segera melepaskan ciumannya.
“Hmmhh, kenapa Son?”
“Mmm… Kak Eric, jangan pegang itu”
“Oh… yaudah”
Aku menjawab seadanya. Kupeluk badannya, sedikit kutarik ke arahku. Kami berciuman lagi. Ciuman kami sangat intim dan panas. Sesekali kulepas ciumanku dan berusaha mencumbu lehernya. Dan setiap kali aku melakukan itu, Sonia selalu mencari bibirku lagi seolah menghentikan perbuatanku mencumbu lehernya. Aku tak menyerah, sambil berciuman kupegang lagi payudaranya. Kali ini ia tak protes. Tangan kiri kulingkarkan di pinggulnya, tangan kananku meremas remas payudaranya dari luar. Sesuai dugaanku, branya tipis. Ingin rasanya cepat-cepat kulepas kaos lengan pendeknya itu. Sembari berciuman tangan kananku mulai bermain. Kumasukkan tanganku dari bawah kaosnya. Tanganku bergerak ke atas mencari payudaranya dan bingo! Sangat kenyal.
“Ngghhh, Kak Eric…” ia melepaskan ciumannya dan agak merengek.
Aku tak menjawab apapun. Kucumbu lehernya sambil tangan kananku tetap beraksi di balik kaosnya. Kuelus elus kedua bukit kembarnya itu, sesekali jariku masuk branya dari luar, menyentuh pentilnya.
“Ahhh ngghh sssss…” Sonia melenguh. Nafasnya semakin pendek-pendek, matanya terpejam.
“ssshhhh nggg k…ka-k er—ic ngga bol… hmmm… leh….oooough…”
Penisku semakin menegak, aku semakin tak tahan. Celanaku semakin terasa sempit. Kugulung kaosnya ke atas. Terlihat bra warna pink miliknya. Tebakanku, ukurannya 34B.
Kusudahi mencumbu lehernya. Ia tampak masih menikmati sisa cumbuanku tadi.
Kuarahkan bibirku ke payudara kanannya. Kuciumi bra nya. Ia masih merem melek menikmati permainanku.
“Mmmhhh nggghhh… k…aaaakh kak….”
Kedua tangannya memegang kepalaku. Antara menahan dan tak ingin aku berhenti. Perlahan, kuangkat branya ke atas, sehingga yang tampak adalah bongkahan payudara kenyal miliknya. Payudaranya yang bulat sempurna dan puting berwarna pink-nya makin membuatku bernafsu.
“Tete lo makin gede aja sekarang Son…” racauku sambil mulai menciumi payudaranya.
“mmhh… ahhh…”
“empuk lagi, mmhhh” kulanjutkan racauanku sambil kuciumi payudara kanannya
“Kaa….aaak Errrrr….iicccc” ia makin kegelian tampaknya. Rambutku diremas-remasnya dengan tak aturan.
Tangan ku tak tinggal diam. Tangan kananku memegang payudara kirinya. Jadi kini dua payudaranya kuhajar. Kumainkan puting kanannya dari samping menggunakan lidah, dan kuelus puting kirinya menggunakan jari tangan kananku.
“Aahhhhh kak Eriiic aaahhh, mmgghhhhh kakakkkkk….”
TIRIRIRIRIRIRIT TIRIRIRIRIRIRIT
Hapenya berbunyi. Kami berdua tersontak kaget. Ia kemudian merapikan bra dan menurunkan kembali kaosnya yang kugulung ke atas. Ia mencari hapenya yang ternyata sudah jatuh di bawah kakiku. Entah bagaimana bisa berada di sana.
“Siapa?” tanyanya
“Cici” jawabku sambil menyerahkan hapenya. Seketika itu juga ia mengambil hape dan menjawab telpon itu.
Aku menghela nafas. Yaampun, benar-benar sesuatu yang ajaib tiba tiba kami berciuman. Penisku daritadi masih tegang. Aku berpikir setelah ini tangannya akan kutuntun ke arah penisku. Bagaimanapun caranya. Nafsu birahiku udah di ujung kepala. Poko--
“Kak cici udah nunggu di Starbucks. Aku lari aja deh” katanya tiba-tiba. Ia membuka pintu. Memang hujan sudah tak sederas tadi. Ia mengambil tasnya dan bergegas keluar dari mobilku.
“Makasih kak Eric!”
“eh, Son.. Sonia.. tunggu” ujarku setengah berteriak. Ia tampaknya lari begitu saja sehinggu pintu mobilku masih terbuka. Dan yang lebih parah, membiarkan aku menahan sange.
Sialaaaaan, lagi sange sangenya malah ada gangguan.
Kuhela napas. Kuangkat badanku ke arah kursi penumpang untuk berusaha menutup pintunya. Kejauhan. Kucoba sekali lagi. Kali ini kudengar derap langkah orang lari.
“Maaf pintunya lupa ditutup kak Eric!” Sonia kembali lagi ke mobilku. Ia melihatku yang susah payah berusaha menutup pintu.
“Ah iya, gak pap…”
Ia menciumku. Melumat bibirku sekali lagi.
“makasih ya Kak. Nanti kapan-kapan lagi”
Ia tersenyum. Pipinya masih memerah menahan malu. Dengan cepat ia membanting pintu dan berlari ke arah mall. Meninggalkanku yang terbengong bengong.
Wow, what was that?
Hari yang aneh. Bermimpi soal hobi lamaku, tau kenyataan bahwa juniorku adalah adik idolaku semasa jadi wota dulu, mengantarnya pulang, dan bahkan mencumbunya.... di mobilku.
Aku tak habis pikir betapa ajaibnya hari ini.
Setelah mengatur nafas, kuarahkan mobilku ke pintu keluar mall. Antrian mobil cukup panjang, tampaknya. Dan Ketika sedang mengantri keluar itu, hapeku berbunyi. Ada chat masuk yang entah dari siapa. Isi chat itu Cuma stiker lucu seorang cewek berponi dengan pose sedang berterima kasih.
Hahaha.
Kupacu mobilku keluar mall, masuk tol dalam kota. Senyum tersungging di bibirku, dan dalam hati aku berkata,
“Petualanganku berlanjut”
Lanjut ke Part 2
Indeks Part:
Part 2
Part 3
Part 4
Part 5
Terakhir diubah: