Void(PART 8);
“Nih, ayo minum dulu.” Manda menaruh 4 gelas jus jeruk. Anin terlihat masih shock mengetahui aku mengenal manda dengan baik. Aku daritadi hanya cengengesan. Aku mengambil gelas dan meneguknya sedikit. Seorang pria paruh baya datang dengan kursi rodanya. Aku segera membantunya untuk menuju ruang tamu.
“Makasih makasih hahahaha.” Pria tersebut tertawa. Wajahnya sudah sangat berkeriput, namun postur badannya masih cukup kekar.
“Sama-sama, pah.” Aku segera kembali ke tempat dudukku. Anin terlihat semakin bingung.
“Pah, ini Anin, temennya Manda. Anin, ini ayahnya Manda.” Anin bergegas menyalami pria itu. Kulihat Manda hanya tersenyum menyaksikan pemandangan ini.
“Nah, jadi, ada apa Dhika?” Anin kembali kaget ketika orang yang tadi kupanggil Pah itu memanggilku Dhika, bukan Tama.
“Ohiya, Dhika itu panggilan Tama diumah.” Papah langsung bereaksi melihat ekspresi Anin.
“Ah, enggak, kebetulan Dhika lagi di Bandung, jadi pingin main aja ke tempat Papah. Sudah lama sekali sepertinya hahahaha.” Jelasku diakhiri tawa.
“Kangen Papah, apa kangen aku?” goda Manda dari ujung meja. Kami bertiga tertawa, terkecuali Anin.
“Maaf, bukannya saya lancang, namun, kalian bertiga ini ada hubungan apa ya?” Tanya Anin diiringi dengan sebuah senyum dari Manda.
“Dulu, hampir 5 tahun yang lalu, waktu dia mutusin kabur dari rumah karena Ayahnya pake narkoba, dia ikut tinggal disini.” Kata Manda. Wajah Anin semakin kaget, sementara aku berusaha menenangkan kagetnya dengan menggenggam tangannya.
“Berhubung mama udah gaada, dan papah waktu itu mulai sakit-sakitan, jadi kita terbantu banget sama kehadiran Dhika di tengah-tengah kita. Dhika selalu bisa hibur aku, dan papah. Kita bertiga udah kelihatan kayak keluarga kandung gitu.” Manda menjelaskan dengan mata berkaca-kaca, aku hanya tersenyum memandangnya, sementara Papah mendengarkan sembari meminum es jeruk yang ada. Manda melanjutkan ceritanya.
“Kata Papah, Dhika itu 180 derajat dari Ayahnya. Ayah Dhika itu gak se humble Dhika. Itu yang membuat hubungan Papah sama Ayahnya Dhika jadi rusak, tapi enggak sama Dhika. Waktu Dhika kecil, Papah selalu ngajak aku waktu kerumah Dhika, biar aku bisa main sama dia.”
“Ah, sekarang aja bilang gitu, dulu aja diajak Dhika main diem kamu.” Papah menyauti. Manda memasang ekspresi gemas. Kami tertawa.
“Iya, Nin. Aku sama Dhika ini temenan dari kecil, jadi ya papah iya-iya aja waktu Dhika bilang mau numpang. Meskipun Dhika laki-laki, dia tuh rapih orangnya Nin.” Kata Manda. Anin menjadi pendengar setia, kadang merespon dengan Ohh atau tawa kecil saja. Manda semangat bercerita tentang cerita kita dulu. Aku dan papah hanya mendengarkan.
Kami menghabiskan hari itu dengan reuni keluarga kecil-kecilan. Makan, bermain di halaman, membersihkan perabotan rumah, dan lainnya. Tidak sadar waktu, matahari mulai terbenam di ufuk barat. Aku pamit pulang kepada papah, dan Manda. Namun, ada yang unik saat aku pamit ke Manda.
“Heh!” ucap Manda saat aku menuruni tangga depan rumah. Aku menoleh.
“Lupa?” tanya Manda lagi. Aku tertawa, lalu menghampirinya.
Manda mencium pipi kananku, lalu aku balas mencium pipi kirinya. Jika dilihat dari jauh, kita terlihat seperti sedang berciuman.
Cup.
Sebuah ciuman singkat dari Manda mendarat di bibirku yang segera aku balas.
Cup.
“Yaudah yak, bye Amandaa~” aku melambai kearah Manda lalu menggandeng tangan Anin. Di perjalanan, Anin bertanya sesuatu.
“Dulu, kakak pernah ada apa-apa ya sama Manda?”
Aku hanya tersenyum dari dalam helm.
***
PLOK
PLOK
PLOK
Suara benturan pahaku dengan pantatnya terdengar. Rambutnya berjatuhan kearah depan, sementara tanganku sibuk meremas toketnya kasar.
“Aaaahhh... Dhikkk... ENAAKKKK AAAHHHH.....” racau Manda tak karuan. Tangannya bertumpu pada tembok. Keringat mengucur deras dari tubuh kami berdua. Genjotanku pada lubang anusnya makin cepat.
“AAHHH... CEPETTIINNN... AAHHHH...... ENAAKKK DHIIKKK!!” Manda semakin berteriak tidak karuan. Aku mempercepat tempo genjotanku.
“Nakal ya minta di analin!” ucapku seraya menampar pantatnya.
“AAHHH!! KASARINNN!! KASARINN GUEE PLISS!!” rintih Manda. Aku langsung menciumi leher Manda dari belakang, sementara tanganku tetap meremas toketnya dengan kasar.
“AAHHH DHIKK.. GUE MAU..... AAHH!! DHIKKAAAAA!!!”
***
“Kak!” teriak Anin membuyarkan lamunanku.
“Eh, kenapa Nin?” tanyaku sembari membuka visor helm.
“Aku daritadi cerita ih! Gak di dengerin ya?!” Anin terdengar sedikit kesal dibelakang sana. Tidak mungkin juga aku bilang bahwa aku sedang melamun masa laluku dengan Manda.
“Gak kedengeran Nin, visor aku tadi ketutup.” Alibiku.
“iya juga ya..” Anin mengalah. Aku tertawa dalam hati.
---
Mobilku berhenti di depan rumah Anin. Aku menoleh kearahnya, dia masih tertidur. Karena tidak tega membangunkannya, aku menurunkan kaca mobilku sedikit, lalu berjalan keluar. Terdengar suara adzan Subuh dari kejauhan.
Udah subuh aje. Kirain masih jam 3 an.
Aku mengambil gawaiku, dan membuka kunci layarnya dengan pola. Sebuah pola yang membuat handphoneku keluar dari mode publicnya. Setelah layarnya memuat sebentar, terlihat gambar latar yang membuatku sedikit tersenyum. Latarnya sebuah terminal kedatangan sebuah bandara, ditengah-tengahnya ada 2 orang manusia sedang berpelukan. Aku dan Pucchi. Saat itu, aku menjemput Pucchi bersama ayahnya, dan ternyata ayah Pucchi iseng mengambil foto saat kami berpelukan ditengah-tengah orang yang lalu lalang.
Air mataku menetes mengingat kejadian itu, lalu segera berpindah dari mode private menjadi mode public dengan menempelkan sidik jariku di sensor sidik jari handphoneku. Wallpaper berubah, menampilkan deretan beberapa motor yang tengah terparkir di depan sebuah warung di kawasan Lembang. Aku menghela nafas, lalu menengok kebelakang, melihat apakah Anin sudah bangun atau belum. Terlihat dia sedang mengucek-ngucek matanya. Rupanya, ia tidak sadar sudah tiba di depan rumahnya.
“Selamat subuh, putri tidur.” Sapaku dari kacanya. Anin tersenyum dengan mata terpejam.
“Dimana ini?” Anin belum sadar tengah berada dimana, aku tertawa kecil, lalu membukakan pintunya.
“Rumah siapa ini?” tanyaku sembari memutar badan Anin menghadap pintu rumahnya.
“Hehehe.”
Anin berpamitan, mengucapkan terimakasih, lalu memelukku erat. Lama sekali. Kurasakan kaos yang aku kenakan mulai basah.
Anin menangis.
“Please. Don’t go, kak.” Ucapnya ditengah tangisnya di dadaku. Aku mengelus kepalanya. Pandanganku kosong kedepan.
“I’m not good at promising.” Balasku. Anin melepas pelukannya, dan menyeka air matanya menggunakan kaosnya, lalu tersenyum.
“I know you won’t.” aku balas dengan tertawa. Anin segera melangkah masuk menuju rumahnya.
Kiss and make, kiss kiss and make up
Kiss and make, kiss kiss and make up~
Sesaat setelah memacu mobil meninggalkan rumah Anin, handphoneku berdering. Karena terhubung dengan bluetooth di mobil, aku tidak perlu repot merogoh saku.
Tap.
“Bli~” ucap sang penelfon. Aku tersenyum mendengar suaranya.
“Iya? Kenapa gek?” aku bertanya kepada sang penelfon, yang dari jawabannya membuatku memacu mobilku lebih cepat menuju apartemen.
-----
BRAK!
Aurel menutup pintu apartemenku dengan kencang, sementara bibirnya masih melumat bibirku dengan nafsunya. Tangannya berusaha melepas sabukku, sementara tanganku sibuk meremas pantatnya.
“Hmph..” desahan Aurel tertahan ciuman kami. Liur hasil percumbuan kami sudah belepotan kemana-mana. Ciumanku turun ke lehernya yang putih mulus itu, tanganku berusaha mengangkat kaosnya.
“AAhhh.. Kakk...”
Kami berhenti di meja dapurku yang kosong. Ku baringkan Aurel diatas meja dapur itu. Sesaat ia tersenyum kearahku, lalu berinisiatif melepas cardigan dan kaos yang sedang ia pakai. Terlihat toketnya yang menantang terbungkus bh berwarna biru. Aurel menarik kepalaku mendekat, lalu kembali menciumku. Tanganku yang menganggur ku gunakan untuk melepas hotpants yang ia pakai.
“Did you miss me?” bisik Aurel manja.
“Always.” Balasku berbisik. Aurel melepas bhnya dan melempar ke sembarang arah. Terlihat dua buah dadanya yang tidak terlalu besar namun juga tidak terlalu kecil. Segera kulahap dengan rakus toketnya.
“Ahh.. gelii.... AARRGHhhh...” racau Aurel. Tanganya bergerilya di dalam celana jeansku.
“Lepasin aja kali.” Tawarku padanya. Ia mengangkat badannya, lalu tangannya bergerak melepas celana jeansku beserta cdku. Penisku menegak dengan sempurna. Tangan Aurel bergerak mengocok penisku, sementara aku yang tidak mau kalah berusaha melepas cd yang masih Aurel kenakan.
“Langsung main course aja ya kak, aku gabisa lama-lama.” Kata Aurel dengan nafas memburu. Nafsunya sudah di ubun-ubun rupanya.
“Gak mau dijilat-jilatin dulu gitu?” tanyaku sembari menggerakan jari telunjukku ke bibir vaginanya yang sudah sangat basah. Ia menggeleng pelan lalu tersenyum manis sekali. Matanya sayu, pipinya memerah. Aku kembali menciumnya...
Bles
“HMMPPhhhh..” desahan Aurel tertahan ciumanku. Badannya sedikit menegang, namun segera melemas kembali. Aku mulai menggenjotnya pelan.
“Ahh... Ahhhh... Enak..... Ahhh..” desah Aurel seirama dengan genjotanku. Aku bergegas melahap toketnya, menjilatinya dengan penuh nafsu, sesekali menggigit kecil putingnya.
“AHH!!
Ci cegut lagi cang daar!” protes Aurel dengan logatnya yang khas.
“
Da lali nginem.” Balasku sembari menjulurkan lidah. Aurel yang ingin protes tidak sempat melontarkan makian nya karena genjotanku makin cepat.
“Ehmmmh... iiyaahhh.... aahhh..” racau Aurel tak karuan. Genjotanku yang semakin lama semakin cepat membuat Aurel menggeleng kanan-kiri.
"Ahh.. Kak... TamAAhh.. Enakk..."
Aku yang semakin bernafsu mendengar desahan Aurel, segera meremas toketnya yang sudah basah oleh keringatnya itu. Putingnya aku plintir dengan mudah, membuat Aurel sedikit meronta.
“Kakk... Ahhhh.. Aku..mau.....keluaaaARRRGGHHH....”
“Bareng... ahh.. aa...AUREELLLL”
“TAMAAAAA..”
Crot
Crot
Crot
Crot
Serr
Serrr
Serr
Serr
Kami orgasme berbarengan, sialnya aku lupa mencabut penisku. Aku sedikit panik mengetahui aku membuang spermaku didalam rahimnya. Tangan Aurel bergerak mengusap pipiku.
“Tenang aja, aku aman kok.” Jelasnya seperti mengetahui kekhawatiranku. Aku langsung merasa lega mendengarnya dan segera mencabut penisku. Aurel turun dari meja dan berjongkok di hadapanku lalu segera mengulum penisku.
“Biar bersih.” Katanya setelah selesai menjilati penisku sebentar. Ia langsung memunggut semua pakaiannya lalu segera menuju kamar mandi. Aku iseng mengikutinya, namun segera ditahan olehnya.
“No more for today.” Ucapnya singkat diiringi sebuah senyuman. Aku kembali mengenakan celanaku, dan mengambil beer kaleng favoritku dari kulkas. Selesai mandi dan memakai pakaiannya kembali, Aurel pamit untuk pulang dari apartemenku.
Ya, begitulah hubunganku dengan Aurel. Sebatas menjadi sex partner, tanpa menaruh perasaan didalamnya. Karena, diam-diam Aurel juga sudah punya pacar, pun ia tau kalo aku sudah bersama Pucchi.
Eh.
Emm,
Bukan seperti itu maksudnya.
Aurel juga tau kalo aku dekat dengan Pucchi.
Aku berjalan menuju kamar mandi, melepas celanaku, dan memutar shower air hangat untuk sekedar menyegarkan tubuh. Fikiranku menalar jauh. Dalam waktu singkat, aku bisa kenal dengan Anin, kembali bercinta dengan Aurel, menatap Manda yang dari matanya sudah jelas bahwa ia rindu kepadaku, dan....
Pucchi?
Ah, dia selalu punya tempat spesial di hatiku.
“Maafin aku ya, Anin.”
***
Intro Bangarang membangunkanku dari tidur lelapku. Sepulangnya Aurel kemarin, aku memutuskan untuk tidur karena hari juga sudah malam. Mataku perlahan kubuka. Dengan sedikit malas aku berjalan turun dari kasurku yang langsung disambut nyala monitor komputerku. Seperti biasa, ia hanya menampilkan apa yang harus aku kerjakan hari ini dan disambut dengan suara mesin cappucino pemberian
seseorang di masa lalu. Tanganku meraih gagang pintu kamar mandi, namun terkunci. Tandanya ada seseorang didalam. Aku yang kebingungan segera menoleh ke arah gantungan di dekat pintu, dan mendapati sebuah duplikat kartu akses yang aku kenali dari lanyard nya. Lanyard berwarna pink favoritnya. Disamping kartu akses duplikat itu, ada kartu aksesku yang diberi lanyard juga, namun dengan warna navy.
“Put, aku pingin pipis.” Aku berbicara dengan sedikit malas kepada seseorang yang ada di dalam kamar mandiku.
”Bentar!” teriaknya. Aku hanya menghela nafas. Sesaat kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Sosok itu tersenyum. Lucu sekali senyumnya.
“Hai, kak!” kata Puci. Aku balas dengan sebuah senyuman, lalu mencium pipinya sebentar. Puci menggeser badannya dan berjalan keluar, sementara aku menuntaskan hasrat ingin kencing di pagi hari. Setelah selesai kencing, mencuci muka, dan sikat gigi seadanya, aku berjalan keluar. Terlihat Puci sedang memainkan gitar hitam dengan tanda-tangan dari sebuah spidol berwarna silver.
Tanda tangannya.
“Nyanyi kak!” Puci mulai memetik gitar, memainkan sebuah intro dari lagu yang sempat naik daun.
I met you in the dark, you lit me up
You made me feel as though I was enough
We danced the night away, we drank too much
I held your hair back when
You were throwing up
Puci tersenyum memandangku yang sedang bernyanyi sembari mengoleskan selai di roti yang sudah aku bakar sebelumnya. Ia melanjutkan nyanyianku.
Then you smiled over your shoulder
For a minute, I was stone-cold sober
I pulled you closer to my chest
And you asked me to stay over
I said, I already told ya
I think that you should get some rest
Aku menaruh piring berisi 4 potong roti bakar dengan selai coklat favorit kami. Kami melanjutkan bernyanyi bersama.
I knew I loved you then, but you'd never know
'Cause I played it cool when I was scared of letting go
I know I needed you, but I never showed
But I wanna stay with you until we're grey and old
Just say you won't let go
Just say you won't let go
Kami tertawa. Iya. Kami.
I'll wake you up with some breakfast in bed
I'll bring you coffee with a kiss on your head
And I'll take the kids to school
Wave them goodbye
And I'll thank my lucky stars for that night
Senyum Puci merekah. Senyum yang selalu aku rindukan.
Ia yang berhasil membuatku jatuh cinta.
When you looked over your shoulder
For a minute, I forget that I'm older
I wanna dance with you right now
Oh, and you look as beautiful as ever
And I swear that everyday'll get better
You make me feel this way somehow
I'm so in love with you
And I hope you know
Darling your love is more than worth its weight in gold
We've come so far my dear
Look how we've grown
And I wanna stay with you until we're grey and old
Just say you won't let go
Just say you won't let go
I wanna live with you
Even when we're ghosts
'Cause you were always there for me when I needed you most
Petikan gitar Puci terhenti.
“Accapella ya!” katanya. Aku hanya tersenyum mengangguk.
I'm gonna love you till
My lungs give out
I promise till death we part like in our vows
So I wrote this song for you, now everybody knows
Finally it's just you and me till we're grey and old
Just say you won't let go
Just say you won't let go
Just say you won't let go
Oh, just say you won't let go
Puci menghambur ke pelukanku. Menangis. Aku yang sedang mengunyah roti kaget, namun berusaha membalas pelukannya. Tangisan Puci semakin keras saat aku mengelus puncak kepalanya.
“Please, don’t leave me, kak.” Katanya ditengah tangisannya. Aku terdiam. Sejenak terbayang wajah lucu Anin di benakku.
Anin, I’m sorry.
“No, I won’t leave you, Puti Nadhira Azalia.”
break;