Part 6 – #kembalikekeluarga
Langit Jakarta sudah berubah gelap. Rintik hujan menemani langit ibu kota malam ini. Sepasang manusia diatas sebuah Ducati Panigale 959 berbelok kedalam sebuah bangunan.
“Mas Tama!” seorang satpam menyapa kami. Aku mengaggukan kepala, bersama seseorang yang sedang aku bonceng ini. Kami turun dari motor, dan berjalan masuk. Sebuah ruangan besar menyambut kami. Beberapa kursi kayu yang ukurannya sedikit besar dengan jumlah banyak menjadi pemandangannya. Kami duduk di sebuah kursi ditengah. Tanganku bertumpu kepada sandaran kursi depanku.
“Sejak kapan kamu jadi religius begini?” bisik perempuan di sebelahku. Aku menengok, lalu tersenyum.
“Semenjak aku kehilangan.”
Ya, saat ini kami berada di dalam sebuah gereja di bilangan Sawah Besar, di sebrang landmark Masjid kebanggaan warga DKI, atau mungkin bangsa Indonesia. Kedua tanganku bertautan, perempuan disebelahku juga. Chaeyoung masih bersamaku. Kami memejamkan mata, lalu berdoa.
“Lakukan kebiasaan kita?”
“Tentu.” Suara pelan Chaeng terdengar.
“Tuhan, terimakasih atas kehidupan ini. Terimakasih engkau mempertemukan hamba kembali dengan Hirai Momo dan salah satu hambaMu yang dekat denganku, Katarina Son Chaeyoung. Terimakasih sudah membawa kebahagiaan yang lain didalam hidupku. Tolong, jangan ambil kebahagiaan hamba ya Tuhan.”
Sebuah tangan melingkar di tangan kananku. Tangan Chaeyoung. Sebuah suara senggukan terdengar pelan.
“Terimakasih Tuhan. Terimakasih mempertemukanku kembali dengan seorang Artama. Terimakasih membawa kebahagiaan Hamba kembali. Tolong, biarkan hamba bersamanya lebih lama ya Tuhan. Tidak ada yang membawa hamba pada tawa kecuali dia...”
Doa Chaeng tertahan. Kurasakan setitik air jatuh menimpa lenganku.
Chaeng menangis.
“Hamba tidak akan menjadi seseorang yang egois, namun jika memang harus, biarkan hamba yang membawa kebahagiaan untuknya, sebagaimana dia membawa kebahagiaan untuk hamba. Dengarkan doa kami, ya Tuhan. Amin.”
“Amin.”
Kami membuka mata. Chaeng langsung menyeka airmatanya.
“Kamu tidak berubah.” Aku membantunya menyeka dengan ibu jariku. Chaeng tersenyum.
“My Strawberry Princess.” Lanjutku, sebelum ia sempat berbicara. Tangisannya kembali pecah, lalu dengan segera memelukku. Ia menangis dengan kencang di pundakku.
“Kenan..” ucapnya ditengah senggukannya. Kedua tanganku mengeratkan dirinya di tubuh Chaeyoung, membiarkan semua kenangan kita kembali.
“Wah, asik sekali.” Sebuah suara yang sedikit berat mengagetkan kami. Reflek, pelukan kami terlepas.
“Bapa..” wajah Chaeng seperti terkejut, tetapi sebuah senyum yang membuat lesung pipinya terlihat itu langsung ia kembangkan.
“Halo, Katarina.”
Yap, seorang pendeta tiba-tiba duduk di sebelahku. Kaget sekali aku. Kami mengobrol banyak hal.
Tentang pembaptisan kami
Tentang diangkatnya aku oleh sebuah keluarga
Tentang masa lalu kami
Banyak hal.
Hingga sampailah kami di depan sebuah rumah, atau jika Chaeng menyebutnya, Vila. Aku mengantarkannya kembali pulang.
“Selalu senang bertemu seseorang yang menemani kita dari lahir hingga sampai saat ini.” Chaeng memelukku sebentar.
“Hahaha,
with my pleasure, nona Chaeyoung.” Aku tertawa dibalik helm yang aku kenakan. Ia melambai lalu berjalan masuk, membuatku kembali pulang menyambut Puci.
--
Kunci motorku kulempar keatas meja, membentur mouse komputerku. Layarnya menyala sesaat setelah mouse itu bergerak. Aku membanting tubuhku diatas kasur.
Basah?
Indra perasa dan penciumanku menangkap sesuatu yang aneh diatas kasur ini. Basah. Bau parfum Puci, dan yang lainnya adalah keringat. Aku bangkit dari kasurku, lalu menuju kamar mandi untuk mandi, sampai langkahku berhenti oleh sesuatu yang lengket.
Lakban?
Kok lengket?
Aku menghela nafas.
“Come on, Tama. Befikir positif.”
Aku berhenti didepan pintu kamar mandi, dan mengetuknya.
“Yang?”
Terdengar suara shower dimatikan dari dalam.
“Masih lama kah?”
“Iya, baru masuk nih. Tunggu bentar ya.”
Anak ini biasanya ngajak mandi bareng.
“Aku nyari makan dibawah ya.” aku mengganti celana jeans ku dengan boxer, lalu mengganti kaos dengan kaos yang lain, dan bergegas turun mencari makan di warung kaki lima sekitaran apartemenku.
Selesai mengisi perut, aku kembali ke kamarku.
“Malam mas, lagi ada kakaknya ya?” seorang satpam menyapaku saat aku tiba di lobby.
Sejak kapan gue punya kakak?
“Eh, pak. Kakak?”
“Loh, kata mbak Pucchi tadi, dia pulang dianter kakaknya mas Tama, tapi terus masnya itu pergi lagi sih.” Sang Satpam terlihat bingung.
Wah...
“Eh, iya pak, lagi ada perlu mungkin kesini hehe. Mari pak saya naik dulu.” Sang satpam membalasku dengan senyuman bingungnya.
Pintu terbuka. Puci terlihat sedang sibuk menata kasurku. Aku segera mengambil sebuah beer dari kulkas dan duduk di meja komputerku.
“Eh, kirain siapa anjir kag-“
“Seingetku, aku dulu anak tunggal.” Aku segera memotong ucapan Puci sesaat setelah mengenggak beer itu. Kursi yang aku duduki berputar, menghadap dirinya. Puci terlihat shock namun berusaha menutupinya.
“Eh, emm, i..iya..”
“Habis ada siapa?” wajah kaget Puci terlihat.
“Eh, emm, a.. anu...”
Gelagapan ya? mulutnya kembali terbuka lagi.
“k..kamu si..si...sibuk kan?”
“Alasan macam apa?”
“kamu... ga.. gapernah.. ada waktu buat aku!” Ia turun dari kasur. Wajahnya masih terlihat gugup, namun gerak-geriknya seperti ingin menyerangku. Aku masih tak bergerak dari tempatku ini.
“ka..kamu sibuk terus sama semua kegiatan kamu! Kamu ninggalin aku!”
“NINGGALIN?!” Emosiku tak terbendung. Puci kaget, lalu sedikit mundur. Kulihat ia ingin membela dirinya.
“KAMU SIBUK SKRIPSI! KAMU SIBUK SAMA KEPANITIAAN! SIBUK TERUS! PULANG MALEM REVISI! UDAH GITU TIDUR!” Puci meledak. Aku masih terdiam.
“KAMU SELALU MENTINGIN YANG LAIN DIBANDING AKU! KAPAN KAMU PUNYA WAKTU BUAT AKU?! HAH?! KAPAN?!!
KAMU EGOIS. SIBUK SAMA DIRI KAMU SENDIRI!”
“Terus kamu jatohin harga diri kamu dengan nyuruh orang dateng kesini, lalu ngentot? Apa alasan kamu buat wawancara client tadi cuman bohong?”
Nada bicara itu akhirnya keluar. Sebuah nada bicara dingin, tegas, dan dalam. Aku tidak pernah mengeluarkan nada bicara ini kecuali dalam emosi. Puci mundur. Ia kalah dalam sekali ucapanku.
“Aku terlalu sayang memang sama kamu, sampai aku gak pernah tau siapa kamu sebenarnya.” Pucchi menangis mendengar ucapanku. Ia terduduk di pinggir kasur, memeluk lututnya.
“Ma..hiks.. maafin.. aku..hiks... kak..”
Aku bangkit dari kasurku, lalu mengambil sebuah
pouch berisi dokumen perjalanan dan penunjang–amenities, kartu kredit simpanan, sebuah pengisi daya gawai. Kunci mobilku yang terletak didalam laci aku keluarkan.
“Kak.. hiks.. na.. nadhin gabisa sendiri... hiks.... jangan tinggalin....” Ia meraih tanganku, menahanku membuka pintu apartemenku.
“Kita butuh waktu sendiri-sendiri dulu. Aku pasti balik kesini, meski gatau kapan.”
Gagang pintu itu kuraih, aku melangkah keluar. Meninggalkan Pucchi sendirian di kamarku.
Tanganku menggulung layar, mencari kontak seseorang, lalu menghubunginya.
“Ne?”
“Sudah tidur?”
“Not yet, wae?”
“Aku mau pulang ke Bunda.”
“IKUT!”
“Yaudah, siap-siap. Jangan lupa bawa dokumen perjalanan.
Looks like I need some meditation.”
“Siap komandan!”
--
“Nona, aku sudah didepan.” Pesan singkatku terkirim ke nomornya. Segera, ia keluar dan masuk kedalam mobilku.
“Tumben, ada apa?” tanyanya heran setelah menaruh sebuah tas besar dibelakang. Di tangannya aku dapat melihat sebuah
pouch bening, dengan passport bertuliskan “Republic of Korea” didalamnya.
“Cuman ingin ketenangan aja.” Aku hanya memandang kosong kearah depan. Gadis itu kaget, lalu tersenyum.
“Ayo!”
Ia terlihat bersemangat menemaniku didalam perjalanan, hingga tiba di sebuah tempat di bilangan Pasirkaliki. Setelah memarkirkan mobilku, aku berjalan masuk.
Seorang gadis yang pernah kurawat sejak kecil menyambutku.
“Maaf, kak. Kami baru aja mau tu-“ ia terlihat kaget melihat kedatangan kami.
“KAK KENAN?! KAK CHAEYOUNG?!” ia segera berlari kearah kami, lalu memeluk kami berdua. Seorang wanita paruh baya menghampiri kami.
“Karin, kenapa? Eh?!” wanita tersebut juga ikut kaget melihat kami. Aku dan Chaeng berjalan menuju wanita tersebut, lalu menyalaminya.
“Apa kabar, Bunda?”
“Bunda sehat-sehat aja kan?”
Wanita yang kami panggil bunda tadi menangis, lalu memeluk kami.
“Puji Tuhan, sehat kok. Kalian gimana? Sudah lama sekali ya?” Bunda menyeka air matanya. Kulihat beberapa pasang mata memandangi kami.
“Kak Kenan, kak Chaeng, Karin kangen main rame-rame lagi.” Gadis yang menyambut kami tadi, Karin, berdri di samping bunda.
“Iya, besok pagi kita main kayak dulu, ya?” Chaeng mengelus puncak kepala Karin. Karin mengangguk senang.
“Bunda lagi masak di dapur nih, Kenan mau nemenin?”
Daster yang beliau kenakan tertutupi sebuah celemek dengan sebuah kalimat di tengahnya.
Panti Asuhan Putera Maranatha.
“Ayo, Bunda! Kenan kangen masakan bunda, hehehe.” Aku berjalan menuju dapur di bagian belakang. Setelah tiba, aku memakai celemek, dan mencuci tangan.
“Anak bunda ini gak mungkin kesini kalo gaada apa-apa.” Bunda yang tengah mengupas bawang itu tersenyum jahil.
“Hehehe, besok aku cerita ya bunda. Sekarang kita masak dulu aja.” Aku membantunya mengupas bawang. Bunda tersenyum.
“Kamu tetap seorang Kenan ya.”