Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERPEN Tugas Kelompok [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
EPISODE 4 (A)



“nakal”
kata Ririn sambil menyentuh ujung hidungku dengan telunjuknya.

“so you are” jawabku sambil tersenyum kecil.

Ririn berdiri dari kasur lalu menghampiri cermin yang terpasang di lemari baju. Ririn membelekangiku tapi aku masih bisa melihat wajahnya dari pantulan cermin. Aku memperhatikannya sambil berbaring di kasur merasakan ‘ke-kentang-an’. Ririn merapihkan jilbabnya sambil memasukan beberapa helaian rambut yang keluar dari pinggir kerudung dan mengusap bibirnya. Aku menarik nafas panjang sambil memejamkan mata.

“jangan tiduurr. Anterin aku pulang” ucap Ririn sambil melihatku dari cermin.

“nanti atuh baru juga ‘ssselesai’ Ihihi” jawabku genit

Senyum kecil tersirat di bibir Ririn. Tapi matanya berkelit ‘jutek’ seperti menapikan kegenitanku. “Pasti abang pernah ya sebelumnya?” tanya Ririn.

“iya pernah” jawabku singkat

Ririn membalikan badan ke arahku, tangannya bertolak pinggang, matanya melotot. Jika ibu kost yang melakukannya itu pasti menyeramkan tapi Ririn tidak. Aku merasa justru gemas dan lucu. “Sama siapa???” tanya Ririn dengan nada yang agak keras.

“Sama kamu lah. Di kostan Ina kan waktu itu. Hahahaha. You are the first” jawabku

Ririn menurunkan tangannnya dan membalikan tubuhnya lagi menghadap cermin.

“How about me?” tanyaku balik

“ya pertama lah. Pacaran juga baru kali ini. Abang gak bohong kan?”

“enggak bohong atuh. Meni gak percayaan ih ke aku tuh”

“ya siapa juga yang bakal langsung percaya. Orang abang keliatan banget nakalnya”

“Lah aku nakal Cuma miras doang. Ke cewek dan narkoba mah enggak”

“Tapi tadi kayak yang udah biasa”

“Hahahahaaa” aku tertawa lucu. Sungguh Ririn sangat polos.

Ririn menatapku dengan pandangan yang tajam dari cermin.

“Emang harusnya gimana gitu, Sheyeeenngg?” tanyaku sambil bercanda

“ya kayak yang aneh aja kalo first time tapi gitu lidahnya”

“wkwkwkwk kocak ih kamu. Aku kan banyak referensi. Tuh ada di laptop”

“Ih parah”

“Mau nonton?”

“gak! Ngapain juga, gak penting.”

Aku berdiri menghampiri Ririn, memeluknya dari belakang, mengecup kepalanya, dan meyakinkan Ririn supaya percaya bahwa aku belum pernah berciuman dengan wanita lain sebelumnya. Setelah cukup yakin kalau Ririn mempercayai hal itu, aku ke kamar mandi untuk pipis kemudian aku keluar kamar, menyalakan rokok. Cigarettes after kissing is something special.

Belum juga habis satu batang, Ririn keluar kamar. Di dekat pintu kamar dia memanggilku dan aku pun menghampirinya masuk ke kamar setelah mematikan rokok.

“Ngerokok aja!” kata Ririn tegas.

“Ya lagian gak dirokok” celetukku.

Ririn tidak merespon seolah tidak paham, meskipun sebenarnya aku yakin Ririn pasti paham sebab istilah ‘dirokok’ adalah istilah yang umum digunakan untuk mengganti istilah Blowjob.

“ayok pulang” kata Ririn sambil duduk di kasur memakai kaos kaki. Aku memakai jaket, dan bercermin merapihkan rambutku. Di dekat pintu saat akan keluar kamar, Ririn memelukku dari belakang, kedua jari-jari tanganya mengikat di perutku. aku berhenti dan memegang punggung tangan Ririn. Sesaat kita saling terdiam

“kenapa? Katanya mau pulang” kataku sambil memegang punggung tangannya

“Aku sayang abang” ucap Ririn

Aku terdiam bahagia mendengar ucapan itu. Aku angkat tangan Ririn dari perutku agar pelukannya terlepas, lalu aku berputar menghadap Ririn. Aku pegang kedua pundak Ririn sambil aku setengah rukuk karena Ririn lebih pendek dariku. “Look at me” kataku dengan suara halus. Ririn melihat wajahku, lalu aku bilang padanya bahwa aku pun sayang padanya. Ririn tersenyum, muaccch aku mengecup bibirnya.
“bau rokok” kata Ririn sambil memonyongkan bibirnya yang tipis merah muda itu.
hehe” singkatku, lalu aku buka pintu kamar, kemudian mengantar Ririn pulang.



Antara citra dan cinta

Hari berlari-berganti, waktu berlalu-melaju. Aku dan Ririn banyak menghabiskan waktu bersama sebagaimana pasangan yang berpacaran pada umumnya. Peluk-cium bahkan menjadi hal yang biasa untukku. Benar apa yang dibicarakan oleh orang-orang bahwa segala sesuatu akan menjadi biasa saja. Lagi pula, di hari-hari sebelumnya kehidupan seks dengan Ririn pun tidak ada kemajuan yang berarti bagiku. Bahkan, aku belum pernah melihat Ririn tanpa kerudung padahal sudah berulang kali meminta atau melakukan sebuah modus namun tetap saja ia tak mau.



Hari-hari kemarin kita menghabiskan banyak waktu jika sedang berada di luar kampus. Di kampus, aku tidak pernah jalan berdua dengan Ririn bahkan mengobrol pun jarang. Ririn sangat menutupi dan sama sekali tidak ingin ada yang mengetahui bahwa aku adalah pacarnya. Sempat beberapa kali aku nekat menghampiri Ririn saat dia di kantin, tapi Ririn justru menghindar dengan berjalan mejauhiku, dan tak jarang ia mengirim chat padaku bahwasannya dia tak suka dengan apa yang telah aku lakukan.

Sebetulnya aku paham kenapa Ririn bersikap seperti itu, tapi aku tidak suka Ririn demikian. Perlahan-lahan aku banyak berbicara dengan Ririn tentang hal-hal prinsip. Sekali-duakali-tigakali terus aku lakukan. Tidak disepakati Ririn itu hal yang sudah biasa dan tidak membuat aku gentar.

Teman-teman Ririn tentu akan cukup kaget atau tidak menyangka bahwa Ririn akan berpacaran, sekalinyapun berpacaran pasti bukan dengan lelaki sepertiku yang kacrut. Mungkin citra Ririn akan terkesan ‘degradasi’, berbeda dengan citraku setelah mendapatkan Ririn. Aku yang urakan, tentu akan terkesan ‘hebat’ bisa mendapatkan Ririn. Ya, citra kita di kampus memang sangat bertolak belakang.



“mau sampai kapan kamu nutupin hubungan kita?”
aku menanyakan pada Ririn di sebuah kedai kopi dekat kampus.

“gatau” jawab Ririn singkat.

“Malu punya pacar kaya aku?” tanyaku

“bukan gitu”

“aku tau reputasi dan citra kamu yang dengan sendirinya itu terbentuk di lingkungan kamu. Tapi enggak gini. Kamu enggak boleh terbebani dengan apa yang mereka sangkakan padamu. Lagi pula, maaf. Maaf kalau kata-kataku ini menyakitimu. Lagi pula, ini bakal bikin kamu terlihat munafik gak sih?” ucapku dengan penuh keseriusan.



Ririn masih terdiam seperti memikirkan apa yang aku ucapkan.



“Gini, Rin. Sudah lazim jika lingkungan sosial mengkonstruk tentang diri kita dari apa yang mereka lihat dan kemudian mereka menafsirkan seperti apa kita.”
Lanjutku berkata pada Ririn.

“Terus abang pengennya gimana?” tanya Ririn melihat wajahku

“Aku gak menuntut apa-apa. Semua keputusan ada di kamu. Cuma aja aku gak mau kalau kamu justru terbebani oleh citra kamu di kampus. Bukan dalam artian kamu harus menunjukan kenakalan kamu. Bukan. Aku juga gak mau kalau kamu seekstream itu perubahannya. Tapi cukuplah kamu menjadi diri kamu yang sekarang. Kalau kamu pacaran sama aku, yaudah akui aja. Gak usah takut dan pikirin apa kata orang. Lagi pula pacaran hal yang wajar kok. Kalau aku cium kamu di depan mereka-mereka baru deh itu kelewatan karena ini menyangkut masalah moral dan budaya negara ketimuran”



Ririn seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi aku melanjutkan bacotanku yang so iye.



“Kamu takut gak ditemenin lagi sama temen-temen kamu yang nganggap kamu ‘degradasi’ karena pacaran? Yaudah. Gak apa-apa. Berarti emang kamu dan mereka-mereka itu udah enggak sejalan. Toh lagi pula dalam hubungan sosial kan gitu. Yang ngerokok temenan sama yang ngerokok juga. Kalau pun ada yang enggak ngerokok tapi masih temenan sama yang ngerokok ya itu kan berarti bicaranya soal prinsip. yang enggak ngerokok itu memandang perokok bukan hal yang harus dimusuhi. Jadi ini kembali lagi ke frekuensi pertemanan. Toh kamu harus berteman dengan yang sefrekuensi sama kamu tanpa akan membuat kamu terbebani”




Aku terus bacot tentang hal-hal yang entah benar atau salah tapi yang jelas aku ingin Ririn menjadi dirinya sendiri tanpa harus takut tentang citra yang melekat diantara teman-temannya yang justu itu akan membebani Ririn.

Aku dan Ririn pulang meninggalkan kedai kopi dengan banyak terdiam sepanjang jalan. Kita memikirkan hal-hal yang kompleks.



Lapang Putsal

Salah satu caraku supaya Ririn tidak terus menyembunyikan status hubungan kita yaitu dengan selalu mengajak Ririn ikut disaat aku mau main atau kumpul bareng temen-temen. Beberapa kali Ririn menolak. Hingga suatu saat dia mau.



“Sore aku ada putsal. Mau ikut?”
aku mengirim chat pada Ririn

“di mana?”

“itu di *******”

“suka ada siapa aja?”

“Senior-senior kamu banyaknya. Tapi ada si ###”

“Gamau ah malu. Enggak ada cewenya yah?”

“Biasanya sih ada si Gita dibawa sama si Burhan”

“Sekarang ada gak?”

“Ntar aku tanya Burhan dulu”



Setelah aku dapat kabar bahwa Burhan akan mengajak Gita ke tempat putsal, aku mengabari Ririn dan mengajaknya supaya dia ikut. Sebagai cowo yang punya pacar, sudah barang tentu ingin membawa pacarnya ke tempat putsal. Ini kan soal reputasi. Ehehehe.

Setelah membujuk rayu, akhirnya Ririn pun mau aku ajak ke tempat putsal.



(((Oh iya, si ### adalah laki-laki teman seangkatan Ririn yang suka bergaul dengan senior)))​



Setibanya di tempat putsal, respon anak-anak sangat berisik. Ada yang ngecie-ciein, ngeuhuy-uhuy, bilang aku bucin, minta PJ (pajak jadian), dll.
Aku bangga, Ririn malu. Hahaha.

“acieeee curiga cinlok di kelompok nih” kata Gita mencandai aku dan Ririn.

Aku merespon dengan senyum, Ririn entah bagaimana karena dia dibelakangku sedangkan aku menyalami teman-teman yang ada di sana.

“Git, ajak ngobrol Ririn yak. Biar dia gak bete dan ngajak pulang. Hahaha” kataku pada Gita

“apaan sih” balas Ririn sambil senyum-senyum malu.

Ririn pun berjalan menghampiri gita dan duduk bersebelahan. Aku dan anak-anak lain berganti stelan siap-siap main putsal.



Saat sedang tendang-tendang bola sambil pemanasan, si ### menghampiriku.

“Gilaaa gilaaaa bisa ya sama Ririn. Hahahaaa” ucap si ###

“Gak usah ember lu”

“Siap, bang. Santaaaaiii. Asal ada uang tutup mulut aja. Wkwkwk”

“Anjir gw dipajak ama junior. tai. Hahaa”

“Pantesan si anjing ini nanyain gw ngajak si Gita atau kagak. Ternyata. Haha” saut burhan

Kita pun ketawa-ketawa.

“Yakali kagak ada sebotol dua botol yoi gak ###???” kata burhan

“Nah itu sepakat gua bang” jawab ###

“Bangsat kalian” jawabku sambil senyum lebar.



Kami bermain putsal seperti biasa. Sesekali aku melihat Ririn dan Gita untuk memastikan mereka berdua sedang apa. Aku kira mereka pasti membicarakan aku, terlebih gita yang akan banyak nanya status kita dan alasan Ririn bisa sampai deket dan mau dibawa ke tempat putsal.

Semenjak hari itu, Ririn selalu aku bawa ke Sekre atau ke tempat dimana anak-anak kumpul. Karena itulah Ririn menjadi lebih akrab dengan Gita, Si ###, dan teman-temanku yang lain. Bahkan pernah beberapa kali kita double date bareng Burhan dan Gita. Ehehehe.





PULKAM
Pulang Kampung

Rabu. Sepulang observasi, seperti biasa aku, Ina, dan Ririn kerkol membicarakan data apa yang didapat dan target apa yang harus dicapai selanjutnya. Karena miras sisa waktu itu masih ada di kostan Ina, maka kostan Ina masih jadi tempat yang rawan didatangi Ririn. Akhirnya dengan segala alasan, kita kerkol di sebuah kedai kopi di Dago.

“Rin, coba deh buka grup angkatan” Kata Ina sambil memegang Hpnya. Ririn mengambil Hpnya, seketika “yessss” ucap Ririn senang.

Ternyata matkul di hari kamis diliburkan. Bagi Ina dan Ririn itu hal menyenangkan, tapi bagiku tidak. Tentu saja tidak, orang aku gak ngontrak matkulnya.

Sebagai mahasiswa semester 8, semester ini aku hanya mengontrak 1 mata kuliah saja. Hanya hari senin. Berbeda dengan Ina dan Ririn, mereka masih banyak kontrak matkul. Jadwal kuliahnya dari senin-kamis. Karena matkul di hari kamis diliburkan, Ina dan Ririn berencana untuk pulkam.

“besok aku pulkam aja ah.” Kata Ina

“Iya ah, aku juga mau. Udah lama enggak pulkam” balas Ririn.

“lebih lama aku. Kamu kan bulan kemarin sempet pulkam”

“ya biarin lagi juga. Wkwkwkk”


“sampe minggu dong? Buset long long long weekend” sambungku

“abang pulkam juga gak?” kata Ina

“enggak lah aku mah. Jarang pulang” kataku.

Meskipun jadwal kuliah hanya hari Senin, tapi untuk datang ke kampus aku tidak kalah sering dengan mahasiswa angkatan bawah. Secara, aku dan anak-anak (senior-senior Ina dan Ririn yang lain) masih gemar kuliah matkul eksistensialisme. Lagi pula teman-teman di lingkungan rumah yang seumuran sudah jarang kumpul karena kebanyakan mereka sudah nikah atau sibuk kerja.

Matkul eksistensialisme adalah sebuah istilah guyon dari anak-anak dimana mahasiswa yang telat lulus masih sering nongkrong di kantin atau di sekre buat ‘ceng-cengin’ adik-adik tingkat. Akibatnya kita (mahasiswa telat lulus) lebih ‘eksis’ dibandingkan teman-teman angkatan kita yang tidak telat. Bahkan dalam beberapa moment, kita sering menginap di kampus untuk sekedar Mabar PUBG, Nobar Champion, dll.

“Berangkatnya kapan kamu, na?” Tanya Ririn

“aku sih kayaknya malem jam 8an, beb” balas Ririn.

“Besok pagi – siang kerkol dulu atuh yuk, biar enggak pulkam bawa tugas dan nanti senin enggak terlalu hectic” Kata Ririn menyarankan

“Hayu aja aku mah, Abang gimana?”
Ucap Ina

“Kalau bangun pagi hayu” jawabku singkat.

“ih atuh bangun usahain” kata Ririn

“iya atuh usahain” tambah Ina

“Kerkol di perpus kampus aja yah, sekalian nyari buku-buku penunjang” Kata Ina

“oke sip” kata Ririn

Aku hanya mendengarkan mereka mengobrol tentang rencana pulkamnya. Benar-benar topik yang sangat tidak menarik untuk dibicarakan, ditambah entah kenapa aku merasa tidak mau kalau Ririn juga pulkam. Aku seperti merasakan keinginan untuk lebih banyak mengahabiskan waktu bersama Ririn. Iya aku tau, aku sedang bucin.

Kerja kelompok selesai sore pukul 4. Kita bertiga pulang. Ina dan Ririn menggunakan grab sedangkan aku sendiri membawa motor. Ina masih belum tau bahwa aku dan Ririn berpacaran. Ririn masih bersih kukuh tidak ingin ada orang lain yang mengetahuinya. Jujur, aku agak kurang nyaman dengan keinginan Ririn untuk menyembunyikan status kita, tapi di sisi lain aku paham kenapa Ririn menginginkannya. Makanya aku dengan Ririn berusaha untuk tidak membuat gelagat yang bisa membuat Ina curiga apalagi sampai membiarkan Ina pulang sendiri tanpa ada hal yang masuk akal.



Sesampainya di kostan, aku mengirim pesan pada Ririn;

“Asli pulkam juga besok kamu, yank?”

“wkwkwkwk geli ih pake ‘yank’. Knpa gtu?”
Balas Ririn cukup lama.

Hahahaha… abis maghrib pacaran dulu atuh kita” ajakku

“Ih udah tua alay segala ngajak pacaran dulu. Wkwkwkwk”

“anjir bawa-bawa umur”

“wkwkwkwk. Ngajakin kemana atuh pacarku ini? Aku gak bakal makan lagi ah. Kenyang banget tadi di kedai.”

“sumur (susu murni)?” tanyaku

iya deh boleh. Aku ikut yang katanya ngajak pacaran aja. Hahahaaa”

“cihuy… deket kampus atau yang di DU atau yang di kostan?”

“Hah kostan? Emang ada?”

“ehehe ‘susu murni’ di kostan.” Aku memberikan kode nakal ke Ririn.

“GAK!!!”

“ebuset galak. Wkwkwkk”

Sebetulnya aku mengajak pacaran dulu sebelum Ririn pulkam adalah bermaksud untuk mengajak mesum. Bukan sekali-dua kali aku basa-basi mengajak Ririn mesum, tapi bukan sekali-dua kali juga Ririn menolak tanpa basa-basi. Kecewa ada, tapi menyerah tidak. Lagi pula aku mencintai Ririn.

Di tempat sumur, aku membujuk Ririn untuk tidak pulkam. Aku menyampaikan kebucinanku pada Ririn. Setelah bicara panjang lebar, aku tau alasan Ririn pulang adalah karena dia tidak ada kegiatan/aktivitas yang mana dalam pikirannya itu akan membuat dirinya jenuh di Bandung.



Kemenangan Borussia Dortmund melawan PSG dengan skor 2-1 memberi keuntungan fInansial padaku. Ya, aku menang taruhan dari teman. Aku dan teman-teman memang suka melakukan taruhan bola, terutama di laga Champion atau Worldcup atau Euro. Tidak banyak nominalnya, tapi kalau menang cukup untuk modal ngajak pacar kencan, kalau kalah yaa harus siap makan indomie setiap hari minimal selama seminggu. Merasa sedang punya uang lebih, aku menjanjikan pada Ririn akan mengajaknya main mengelilingi kota Bandung kalau dia tidak jadi pulkam supaya tidak jenuh di Bandung.



SUNYODA

Hari ini aku bangun jam 11 siang dan tidak ikut kerja kelompok dari pagi. Banyak notifikasi pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Ina dan Ririn. Semalam sepulang mengantarkan Ririn pulang dari sumur, aku begadang main PES di kostan Burhan dan tidur subuh. Setelah tau bahwa Ina dan Ririn masih di perpus kampus, aku langsung mandi dan berangkat ke kampus.

“Huuu dasar udah mau selesai malah baru datang” Kata Ririn jutek

“Semalem begadang” jawabku.

Aku duduk di samping Ina dan mengambil salah satu buku yang menumpuk di meja agar bisa berpura-pura baca buku karena gatau mau ngapain. Sekitar jam 1 siang kita pun pulang dari Perpus. Ina dan Ririn ke kostannya masing-masing. Aku ke Sekre ketemu anak-anak.

“aku jadi pulang yaaa mentemen.” Chat Ina di grup kelompok menjelang maghrib hari Kamis.

“pake Travel?” tanya Ririn

“Iya, udah pesen. Berangkat dari Pasteur” balas Ina

“Mau dianter gak ke Pasteurnya?” Tanyaku pada Ina

“Ciyus bang? Boljug boleh juga” balas Ina.



Tiba-tiba Ririn memPCku

“Cieee baik banget ke Ina cieeee”

“Ups, are you jealous?”

“Nope”

“Tell me the truth, You are mine, I am yours. Jangan ada yang ditutupi, gak baik buat hubungan kitanya juga nanti”

“Cemburu juga percuma, Ina udah bilang mau di grup”

“Tinggal ngebatalin. Hal yang mudah buat aku ngebatalin begituan doang. Rin, jangan jadi marah. Aku batalin ya?”

“Gausaaahhhhhh. Seriusan gak usah. Aku bakal lebih marah kalau abang ngebatalin!”

“WTF, I love you but I hate this situation”

“I love you too and I hate this situation too”

“Hadeuh. Ok, last question. AKU HARUS BATALIN ATAU LANJUT NGANTER INA???”

“LANJUT AJA. UDAH AKU BILANG AKU BAKAL LEBIH MARAH KALAU KAMU BATALIN!!!! TAPI PULANGNYA KE AKU DULU. INI BAWA SPREI NIH BUAT KASUR DI KAMAR KAMU” balas Ina sambil mengirimkan foto sprei.

“Bhaaakkk… lawak anjir tiba-tiba ngasih sprei. Wkwkwk. Berasa posko bencana. Tapi oke ntar aku mampir ke sana beres nganter Ina.”

“I’ll be waiting, hati-hati di jalan, jangan lupa pake jaket, JANGAN GENIT….!!!”

“Laksanakan, nyonya.”

Sebetulnya aku mau mengambil minuman sisa malam minggu kemarin yang belum habis, makanya aku pengen ke kostan Ina. Tapi yaa ada juga sih motif esek-esek ke Ina seperti nanya-nanya yang mendetail tentang malam minggu waktu itu bareng Senior dan satu hal yang sudah pasti juga sudah diketahui para suhu-suhu di sini keuntungan ngebonceng Ina adalah SU NYO TO. Ehehehhee

“Seriusan mau nganter bang?” Ina mengirim PC padaku.

“Iya sekalian bawa botol-botol miras”

“Iya ih bawa. Dari kemarin2 disuruh bawa gajadi mulu”

“Gak sempet mulu. Mager juga kemaren-kemaren”

“Terus ke sini kapan? Aku jam 8 harus udah di Pasteur biar gak ketinggalan travel.”

“Yaudah sekarang aja. Bentar pake kolor dulu”

Aku sengaja ngechat gitu ke Ina buat ngetes ngasih kode-kode seks, padahal sebenarnya aku udah pake kolor. Pake jeans juga malahan.

“Hilih, penting banget sih segala dikasih tau ke aku -.- Buruan yah bang, sesuai titik lokasi penjemputan. Hahahaha”

“Anjir berasa ojol aing I. OTW”



Aku tiba di kostan Ina jam setengah 7 kurang. Ina berkemas siap-siap. Aku berkemas botol-botol.

“Gak ada totebag yang lebih gede? Segini doang mah masih keliatan bawa botolnya. Malu di jalan kalau ketauan.” Kataku sambil mengemasi botol.

“gak ada, bang. Lagian aku kira abang bawa ransel gitu”

“Nah justru aku tuh gak kepikiran”

Aku mencoba mengangkat bungkusan botol tapi ternyata masih terlihat ujung kepala botolnya. Belum lagi kalau ada guncangan pasti bebelentrangan suara botol. Aku menyimpan lagi bungkusan botol sambil memikirkan cara lain.

“Kenapa pake kerudung? Padahal udah aja kayak yang malam minggu with him. Ihihii” tanyaku sambil menoleh ke arah Ina melihat Ina sedang dandan.

“Ih amit-amit ih abang udah ah gamau ngobrolin itu” Ina yang sedang bercermin mendekatiku sambil ekspresi senyum-ketawa dan mendorong pelan punggungku.

“hahaha cerita atuh ih meni gak cerita” aku menatap Ina sambil mengangkat-ngangkat alis.

“Apaan sih abaaangg. Hahahah tau ah ih aku tuh suka jadi gak fokus dandan ah kalau gini tuh hahaha. Diem dulu bang ini aku mau pake lipstik ih ntar blepotan hayoh” ucap Ina sambil bibirnya sulit menahan tawa.

“Hahaha yaudah dandan dulu, ntar beres dandan ceritanya”

“Cerita apa coba. Cerita pas bareng abang****? Kan udah aku ceritain di chat dari hari minggu waktu itu juga”

“Ya masa gitu doang”

“Wkwkwkwk parah ih wartawan banget sih. Da udah emang gitu doang. Lah emangnya harus gimana lagi coba? Hahahaha dasar ih ampun da” Kata Ina sambil ketawa lagi.



Dilihat dari ekspresi wajah Ina saat aku menanyakan perihal dirinya dengan Senior, Ina selalu tawa bahagia, salting, dan bingung berkata-kata. Seolah Ina menyukainya, seolah Ina senang melakukan mesum bersama Senior. Aku penasaran, apakah karena Seniornya atau karena mesumnya. Damn, Si Gendut satu ini yang punya toket bisa nutupin muka Senior membuat aku penasaran.

Ina sudah selesai berdandan, dia melihat barang ransel sambil mengingat-ingat barang yang sudah masuk dan meyakinkan tidak ada barang yang perlu dibawanya tertinggal di kamar.

“Charger, dompet, HP,” aku mencoba mengingatkan Ina.

“Ada, ada, ada,” jawab Ina sambil memegang barang yang aku sebutkan.

“udah kali yah gak ada yang ketinggalan?” lanjut Ina bertanya sekaligus meyakinkan dirinya sendiri.

“udah siap?” tanyaku.

“udah deh kayaknya, Yuk ah udah.”

“Ayo atuh kalau udah siap” aku memegang sabuk seolah akan membuka celana. Aku membelokan makna ‘siap’ untuk pergi, menjadi ‘siap’ untuk ML.

Ina melotot kaget memandangku, dia paham aku membelokan makna kata ‘siap’ lalu dia berkata dengan intonasi cepat, nada kesal yang seperti akan menangis, “iiiihhh abang gasuka ah abang Ina gasuka. Kok abang jadi gitu sih? Lagian waktu (malam minggu) itu juga gara-gara abang awalnya kan. Gamau ah kalau abang becandanya jadi gini gamauuuu” Ina melepaskan tas ranselnya yang sudah dipegang seolah dia tidak ingin pergi denganku.

Aku merasa Ina benar-benar sedikit kesal dengan bercandaanku. Aku pun meminta maaf dengan cara sedikit modus. Aku berkata,

“Iya atuh iya maaf maaf maaf. Asli aku becanda. Tapi maaf kalau becandanya keterlaluan bikin Ina kesel. Sorry sorry I’m so Sorry about that” sambil aku merentangkan tangan seperti posisi akan memeluk sebagaimana yang pernah aku lakukan ke Ririn waktu itu. Bedanya, Ina tak menyilangkan tangan. Dia hanya diam saja menunduk melihat tas ranselnya.

“Maaf yaahh maaafin abang” kataku sambil berjalan mendekati Ina hingga aku berada di depan Ina, satu garis lurus antara aku, tas ransel, dan Ina. Posisiku masih merentangkan tangan.



Melihat Ina yang masih diam dengan ekspersi kecewa campur kesal sambil menunduk, aku memberanikan diri untuk memeluknya. Aku gerakkan tangan kanan dan kiri ke arah depan secara perlahan sampai tanganku menyentuh bahu Ina. Aku condongkan badanku kedepan dan secara otomatis tanganku maju menggesek bahu Ina, aku miringkan kepalaku ke samping kanan, lalu nyooooosssss SUNYOTO berubah jadi SUNYODA (Susu Nyodok Dada).



Sejak saat ini aku baru tau alasan kenapa ada film porno bergenre BBW. Payudara yang besar karena lemak, Payudara orang yang gendut, ternyata memang empuk dan sangat terasa kenyal. Memberikan sensasi yang sangat yahut. Saat aku memeluk Ina, dadaku benar-benar menempel dengan kedua payudara Ina yang besar. Aku coba perlahan menekan-nekan dadaku dan itu membuat terasa sekali kenyalnya payudara Ina. Benar-benar kenyal. Sensasi pertama yang berbeda buatku. Ingin Rasaya aku menempelkan bagian penisku juga saat berpelukan dengan Ina tapi ada ransel diantara kakiku dan kaki Ina. Ingin aku memeluk Ina sangat erat sekali agar payudara Ina benar-benar menekan dadaku, tapi aku takut Ina menyadari bahwa aku horny.

“maafin yah, Abang sadar abang becandanya keterlaluan, maafin” ucapku perlahan ke arah telingan kiri Ina.

Ina tidak menjawab sepatah katapun. Posisi Ina pun tidak berubah.

“udah mau jam delapan, takut Ina telat” kataku menambahkan.

“gasuka becandanya gitu” Jawab Ina yang masih aku peluk.

“Iya aku ngerti becandanya emang keterlaluan maaf maaf banget, gak mau aku kalau harus dibenci Ina. Apalagi Ina mau ke (nama kota asal Ina) nanti aku kepikiran banget. Ini juga aku pasti ngerasa bersalah banget. Maaf Ina maafin abang” ucapku perlahan dengan nada yang dalam.



Ingin rasanya aku mengecup Ina, atau membuat Ina horny karena aku pun sebetulnya lebih merasa horny dibanding merasa bersalah. Sunyoda ini benar-benar memberikan sensasi yahut. Tapi kalaupun Ina horny itu akan percuma karena dia harus pergi pulang dan kondisi ini tidak memungkinkan aku melakukan itu, khawatir malah semakin chaos.

“Udah yah, mudah-mudahan kamu bisa lebih tenang dan mau maafin aku” ucapku sambil melepaskan pelukan.

Aku berjalan menjauh dari Ina mengambil bungkusan botol-botol sambil melirik sedikit ke arah penisku yang ereksi, takut kalau menonjol dan Ina melihatnya. Tapi ternyata aman, tidak terlalu terlihat.



Treng treng suara benturan botol-botol saat aku angkat bungkusannya.

“Duh bersuara euy, Na. Takut ketauan” Ucapku pada Ina dengan nada sedikit riang agar Ina tidak bersedih dan kesal.

“Yaudah simpen aja di sini dulu, pulang dari pasteur abang bawa ke kostan abang. Kunci kamar aku Abang yang pegang aja selama aku di (nama daerah asal Ina).” Ucap Ina dengan suara yang agak serak seperti sudah menahan tangis sakit hati.

“Good Idea. Emang kamu tuh briliant” jawabku sambil memuji Ina berharap membuat Ina lebih senang.

Aku dan Ina keluar kamar, Ina mengunci pintu, aku memakai sepatu. Kita berjalan menuju parkiran motor setelah Ina memberikan kunci kamarnya padaku.

“Naaahhh sunyoto nih” ucapku dalam hati saat Ina sudah duduk di jok belakang.

Aku tarik gas perlahan menuju Pasteur.



Perasaan Ina yang masih kacau karena bercandaanku tadi membuatnya terdiam sepanjang perjalanan. Aku mau meminta maaf lagi tapi takut malah terkesan mengungkit-ungkitnya. Tapi di sisi lain aku sangat penasaran detail kisah malam minggu bareng Senior tapi dari versi Ina.

“Tukeran nomor WA sama bang*** pas waktu itu?” Tanyaku sedikit-sedikit

“Iya. Dia yang minta duluan. Follow-followan IG juga malah”

“beuh mantap.”

Ina tidak menjawab lagi, dia benar-benar lagi males banget ngobrol sama aku. Aku pun bingung bagaimana cara memancing Ina bercerita.

“Aa~da ci~nta yang ku~rasa~kan” aku menyanyikan sepenggal lirik lagu yang dipopulerkan Kahitna. Suaraku fals memang tapi yaa memancing Ina saja apa salahnya kan.

“Paan sih bang, jangan mulai-mulai deh ah” ucap Ina.

“Yakali aja kan jadi ada pake hati gitu”

Ina terdiam tidak menjawab. Ina tidak mempedulikanku.

“Jir teu diwaro (jir enggak digubris)”

“Tau ah males. Udah diem aja”

“Bete aih padiem-diem. Aku bawa motor gak ngobrol udah makin aja kek ojol.”

“Ya atuh gak usah bahas-bahas bang ****”

“Terakhir deh terakhir. Kahatean (baper) yah kamu ke bang ****?”

“enggak”

“kok enggak?”

“Bukan enggak sih tapi gimana cowonya juga. Kalau Bang **** gak pake hati, ngapain juga aku pake hati. Rugi.”

“Tapi kalau misalnya si Bang **** yang baper sama kamu gimana?”

“gak apa apa”

“Mau kamu LDRan sama si Bang ***?” tanyaku melanjutkan obrolan.

“why not? No need to worry.”

“Tapi kalau semisal gak pake hati, terus ngajakin main lagi. Mau?”

“Kalau enggak mau gara-gara kenapa?”

“Dih malah balik nanya. Ya gatau lah”

“Ya aku juga gatau makanya nanya ke abang”

“dih ngegantung gini obrolah I”

“dibilangin aku lagi males ngobrol”



Jujur, antara kaget dan takjub mendengar ucapan Ina seperti itu. “anjay mental pemaen nih si Ina” respon awal dalam pikiranku. Dia mau main sama orang meskipun gak pake hati. Gila sih. Buat aku itu gila. Pribadi Ina yang aku tau sebelumnya tapi ternyata ada mental kebinalan.

Aku berada di jurang dilematis antara selangkangan dan pikiran. Kalau aku berpedoman pada selangkangan, ingin dan bahkan sangat ingin mesum dengan Ina. Payudaranya, pantatnya, uh. Tapi kalau berpedoman dari fikiran, Ina tuh enggak banget. Bahkan aku tidak benar-benar bisa onani dengan membayangkan Ina. Mukanya yang B aja, singkayo di pinggang, lipatan kulit yang gerimbil-gerimbil, bulu ketek yang meskipun sudah dikonfirmasi oleh senior tidak ada, tetap saja nempel di fikiranku. Kampret emang. Damn.

Sepanjang perjalanan ke pasteur, aku dan Ina tidak banyak bicara karena Ina yang masih bete sama aku. Sampai di pasteur, Ina turun sambil mengucapkan terimakasih, aku jawab “sama-sama. Maaf yah”. “Iya udah lupain” ucap Ina.



Sebelum berangkat meninggalkan Ina, aku membuka watsap dan mengirim chat ke Ririn, “The person who loves you is on his way to you”.

Sesampainya di warteg dekat gang kostan Ririn, aku baru membaca balasan dari Ririn atas chatku sebelumnya, dia membalas “The person who loves you waits in her place”

Aku pun membalasnyanya lagi, “The person who loves you is near the Warteg”.



Mungkin akan banyak yang bilang alay, lebay, atau bucin. Tapi yaa aku tidak menghiraukan. ‘The person who loves you….kemudian disambung dengan keadaan/perasaan yang dirasakan’ adalah cara aku dan Ririn kalau lagi saling dan penuh cinta. Ehehehee



Tidak lama, Ririn menghampiriku dengan membawa gembolan yang terlihat besar tapi cukup ringan.

“Nih bawa” Ririn menyodorkan gembolan padaku

“Kok kayak yang keliatan banyak”

“Iya, bukan sprei doang”

“terus apa aja?”

“nanti aja liat di kostan”

“mau sekarang, penasaran.”

“Gaboleh.”

“Lagian kenapa sih tiba-tiba ngasih Sprei?”

“Ya lagian kasur kamu gak pake Sprei”

“Suka bolong-bolong kena api rokok”

“Eh awas aja kalau Sprei ini bolong-bolong yah! Jangan ngerokok coba!!!” Kata Ririn serius

“Iya enggak. Udah makan?” kataku mengalihkan pembicaraan Rokok. Sejak Ririn menjadi pacarku, dia lebih sering melarang aku merokok. Tapi aku lebih sering juga tidak menuruti perintahnya.

“Belum” jawab Ririn

“Makan yuk”

“Enggak ah, aku masak kok di kostan”

“Yaudah atuh aku aja yang makan, tuh di tukang nasgor itu. Kamu ikut liatin aku”

“Ih di dalem gembolan tuh ada makanan juga buat abang aku siapin di misting, malah mau beli nasgor. Halah aku niatnya ngasih kejutan malahan harus dikasih tau duluan”

“Hahahaa kocak. Yaudah aku gak jadi beli makan di luar. Makan makanan buatan kamu aja ntar di kostan. Hehehe. Makasih yah.”

“Iya, sama-sama. Maaf kalau enggak enak. Masih belajar masak”



Aku pun pulang ke kostan setelah sebelumnya mampir lagi ke kostan Ina membawa bungkusan botol-botol kemudian ke kostan Burhan memberikan bungkusan botol-botol seolah seperti aku memberikan PJ ke anak-anak. Setelah memberikannya pada Burhan, aku pun pulang.

Setibanya di kostan, aku membuka gembolan dari Ririn. Di dalamnya ada makanan, Sprei (sarung bantal dan guling), sejadah dan mukena. Aku makan makanan buatan Ririn, memasang sprei dan sarung bantal-guling, aku foto dan aku kirim ke Ririn. Kita saling chat seperti biasa sambil aku main PES di laptop.

“Buat apa ini ada mukena?” chatku pada Ririn

“Iya di simpen aja di sana buat kalau AKU ke sana lagi dan lupa bawa mukena. Inget yah itu BUAT AKU kalau aku di sana bukan buat cewe lain!!!”

“Punya banyak mukena? Hahaha iya iya siap. Sejadah dan mukena gabakal aku pake kecuali dipake sama kamu”

“Enggak banyak tapi itu tuh asalnya buat cadangan kalo mukena yang biasa dipake lagi dicuci. SEJADAHNYA BISA ABANG PAKE LAH BAAAANNNGGG”

“Wakakakakakkk iya iya ntar dipake. SIAP BU HAJI.”

Kami menghabiskan malam dengan berchating-ria hingga Ririn tidak membalasnya karena ketiduran.


Lanjut ke EPISODE 4 (B)
 
Terakhir diubah:
EPISODE 4 (B)

Celana untuk Ririn

Setelah jumatan, aku mengajak Ririn main hari ini. Panas terik siang hari tak menghalangi aku dan Ririn mengeliling kota Bandung. Sebagaimana aku yang lebih duluan menjadi mahasiswa di Bandung daripada Ririn, otomatis aku lebih tau jalan-jalan di Kota Bandung. Setelah mengisi tanki bensin full di SPBU Dago, aku ajak Ririn berkeliling ke Bandung daerah utara, menuju Cimahi, lalu ke Cibereum hingga Cibiru. Tak jarang Ririn memberitahuku bahwa dia punya teman yang kuliah di kampus-kampus yang kita lewati. Ririn banyak bicara membicarakan semua tentangnya, aku jadi tau benang merah Ririn dari dulu sampai sekarang.

SMA kelas 3 adalah awal Ririn mencoba menggunakan kerudung meskipun waktu itu masih buka-tutup, kadang berkerudung kadang tidak. Awal-awal menjadi mahasiswa, teman SMAnya yang berbeda kampus mengajak Ririn untuk ikut di komunitas yang berada di kampus temannya itu. Ririn mendapat prinsip-prinsip supaya berubah menjadi pribadi yang taat. Karena lingkungan dan teman-teman baru di komunitasnya itu kemudian ia mulai melebarkan kerudung hingga menutupi dada; anti terhadap pacaran; dan selalu menggunakan rok/gamis. Tentu saja aku sempat merasa menjadi ‘benalu’ untuk Ririn, tapi aku berfikir ini juga pilihan Ririn yang lebih memilih mau lebih kenal, dekat dan menjadi pacarku.

Hari itu juga adalah hari yang paling bikin pantat kesemutan karena kebanyakan motoran. Sampai di sebuah factory outlet, aku belokan motor dan berhenti parkir.

“Ngapain ke sini?”

“Mau beli kemeja ah”

Ririn pun turun dari motor, dan kami berdua masuk ke dalam toko.

Sambil melihat-lihat barang dagangan aku bertanya pada Ririn.

“Kenapa sih? Kok gak mau banget pake celana kalau ngampus?”

“Aku gak pede, lagian udah kebiasaan pake rok”

“ya kan ada yang potongannya lebar. Padahal aku tuh pengen banget da kalau ngebonceng kamu, kamu duduknya enggak miring terus. Biar bisa sambil meluk aku gitu. Ehehe”

“ih apaan sih”

Aku dan Ririn melihat-lihat kemeja. Aku mencobanya dan menanyakan apakah kemeja ini cocok aku pakai atau tidak pada Ririn. Akhirnya aku memilih kemeja warna coklat sesuai apa yang Ririn sarankan.



Sambil berjalan menuju ke kasir:

“Kalau aku beliin kamu celana, pake ke kampus yah pliiiisss”

“Aku bukan enggak punya celana buat ngampus. Tapi udah biasa pake rok/gamis.”

“Iya ini mah aku pengen aja beliin kamu”

“Punya banyak uang? Gak sekalian atasannya gitu? Hahaha”

“hahaha malah minta lebih. Sok atuh kamu pilih-pilih mau mana.”

Awalnya Ririn terus menolak untuk dibelikan celana, tapi aku terus memaksanya. Ririn mengeliling rak-rak mencari model yang disuka dan ukuran yang pas. Aku berjalan di belakangnya mengikuti ke mana arah Ririn berjalan.

Akhirnya kita keluar dari factory outlet dengan membawa kemeja untukku dan celana panjang berwarna hijau tosca untuk Ririn. Kami pun melanjutkan perjalanan. Makan, ngopi, jajan, semua dilalui dengan suka-tawa bahagia. Ririn tampak senang, terlihat dari ekspresinya. Dia mengulang-ulang ucapan terima kasih padaku. Aku senang melihat Ririn senang.



Jam 8 malam, aku mengantarkan Ririn pulang.

Makasih yah buat hari ini.” Kata Ririn sambil turun naik motor

“Makasih juga buat hari ini. Besok lagi yah.”

“Besok ke mana?”

“Tangkuban parahu. Pernah?”

“Di mana itu teh?

“Itu yang dari kampus *** tadi kelewatan, nah ke atas lagi.”

“Jauh?”

“Lumayan. Dari pagi oke? Jam 9an deh”

“Iya hayu”

“love you”

“love you more. Dadaaahh”

Aku pun pulang ke kostan setelah Ririn masuk ke gang kostannya.





Tangkuban Parahu

Jam 8 pagi aku sudah mandi dan bersiap-siap untuk menjemput Ririn di kostannya. Hari ini Aku dan Ririn akan pergi ke ke Tangkuban Parahu (TKP) sebagaimana yang telah direncanakan kemarin.

Ririn memakai gamis warna biru dongker dengan jilbab yang lebar. Aku mengomentari pakaiannya karena aku merasa tidak cocok pakai pakaian itu untuk main ke tempat yang lumayan jauh dan outdoor.

“Padahal pake celana yang kemarin dibeli” kataku

“Enggak ah, sayang kan celananya baru nanti kotor. Hehehe”

“Yakin mau begini? Gak bakal salah kostum?”

“yaaahhh gimana dong?” kata Ririn tampak murung.

“Yaudah gapapa kalau kamu maunya gini. Lagian tetep cantik kok”

Ririn pun naik motor setelah memakai helm yang aku berikan. Duduk menyamping seperti biasa.

Kampret emang. Jujur, aku sangat dongkol pada Ririn. Padahal bakal lebih enak kalau dia gak pakai rok/gamis supaya duduknya enggak nyamping. Tapi kalau aku tetep minta supaya dia ganti kostum, itu bakal celaka. Takut malah gak jadi main. Takut malah Ririn bete kemudian mainnya gak happy. Jadi aku mencoba menerima saja apa kemauan Ririn.

Sepanjang jalan, seperti biasa kita berbincang, berhenti sarapan, melanjutkan perjalanan, berhenti di indomaret untuk beli makanan ringan, minuman manis, dan beli rokok untuk persediaan di sana. Meskipun dilarang oleh Ririn untuk membeli rokok tapi aku tetap membelinya dengan alasan di sana cuacanya dingin.

Tiba di Tangkuban Parahu, membayar tiket masuk, parkirkan motor, dan berjalan-jalan di sekitar TKP.

“Jiah ternyata gini doang yah. Gak ada wahana apa gitu. Bete.” Ucapku mengeluh pada Ririn. Iya aku bete aja gitu karena ya emang bete. Liat kawah gunung doang. Belum juga 1 jam di sana, aku udah ngerasa bete. Enggak ada yang bisa dilakuin, yaa palingan foto-foto. Aku gasuka.

“Ih jangan gitu atuh. Kan bareng aku. Ini tuh ‘our time’ kita. Kalau kamu bilang gitu jadi kayak yang enggak seneng main sama aku” kata Ririn merespon keluhanku.

Ririn memang pandai mengambil sisi positif dari segala hal yang aku keluhkan. Anggap saja itu salah satu faktor yang bikin aku jatuh cinta pada Ririn.

Beruntungnya, ada sekelompok turis asing yang berjalan menuju sebuah posko di sekitaran sana. Ternyata posko itu adalah tempat tour guide. Aku dan Ririn mendatangi posko itu, di sana tersedia banyak brosur tentang gunung tangkuban parahu dan peta wilayah rekreasi gunung Tangkuban Parahu.

Saat aku melihat-lihat peta dan baca-baca brosur, tour guide menghampiriku. Dia seorang ibu-ibu.

“Mau didampingi juga?” Tour guide itu menawariku

“Emang ada lokasi apa aja sih bu?”

“Ada sumber air panas di sana” sambil menunjuk ke sebuah arah.

“Jauh?”

Lumayan. Harus di damping ke sananya

Aku berfikir ah itu hanya akal-akalannya saja. Masa iya harus pake tour guide. Tapi aku coba menanyakan informasi lebih

“Berapa harganya kalau didampingi?”

“Aa berapa orang?”

“Cuma berdua” kataku sambil menunjuk Ririn

“150 deh enggak apa-apa”

“Oooohh. Muhun atuh engkin upami bade ka ditu, abdi ka dieu deui (iya kalau mau ke sana [sumber air panas], nanti aku ke sini lagi)” ucapku.

Sengaja aku pakai bahasa sunda supaya menunjukan kalau aku warga jawa barat juga. Biar enggak dipaksa. Maklum, di tempat wisata nota bene para penyedia jasa selalu terkesan ‘memaksa’ kepada pengunjung. Apalagi kalau dari luar daerah.



Aku dan Ririn berjalan menjauh dari posko itu.

“yuk ah kita ke sumber air panasnya” kataku setelah cukup jauh dari posko

“didampingi?”

“gausah. Mahal ah 150 mending dipake buat kita makan”

“tau jalannya gitu?”

“lah gampang, nyasar juga masih di Indonesia ini” kataku.



Aku dan Ririn berjalan ke arah yang ditunjukan oleh tour guide dan ternyata iya. Aku melihat gapura yang sudah agak rusak dengan jalan setapak. Aku dan Ririn masuk menuju ke sana dengan sebelumnya menanyakan ke tukang kopi keliling untuk memastikan apakah benar gapura ini adalah jalan untuk menuju ke sumber air panas.

Aku berjalan berjalan berjalan jauuuuuhhhh ke dalam. Benar-benar jalan setapak bebatuan dan tanah. Tidak bisa dilewati motor (kecuali motor trail). Kurang lebih 2 KM dari gapura menuju tempat sumber air panas.

Ririn memakai gamis panjang ditambah lagi sepatu yang dipakai Ririn bukan sepatu outdoor sehingga membuatnya lebih kesusahan (licin) untuk melangkah dan berpijak. Beberapa kali terpeleset hampir jatuh beberapa kali juga dia reflek memegang tanganku.

Di sepanjang perjalanan yang benar-benar jalan kaki. Kita banyak berbicara. Saling menceritakan semuanya terutama kisah dimana kita masih belum saling mengenal. Kita menceritakan lagu, makanan, film kesukaan. Dan hal-hal lainnya termasuk aku menceritakan mantan-mantanku.

Ini adalah waktu paling lama kita bergandengan tangan. Tak hanya saling menggenggam jemari tangan, Ririn memeluk lenganku hingga siku tanganku yang dipeluk menyentuh bahkan menempel dengan payudara Ririn yang mungil.

Beberapa kali aku dan Ririn beristirahat saat berjalan. Duduk di bangku kayu yang sudah ada di pinggir jalan sambil membuka bekal makanan yang dibeli di Indomaret tadi dan ada 2 misting berisikan Nuget dan sosis goreng yang sudah dipotong-potong kecil lengkap dengan saosnya, di misting satunya lagi ada Nutrijel kotak-kotak rasa coklat. Kedua misting itu Ririn siapkan dari kostannya.

“Aku bikin Nutrijel ini semalem loh”

“Hebat. Sengaja?”

“Iya sengaja aku bikin sebelum tidur buat bekel ke sini. Hehehe. Suka gak?”

“Banget. Aku suka nutrijel” jawabku. Sebetulnya aku biasa aja sih makan nutrijel tapi yaa demi menyenangkan hati kekasih apa salahnya sedikit bohong. Ehhee

Entah karena kebetulan atau karena apa, ini hari sabtu. Biasanya tempat rekreasi ramai oleh pengunjung, tapi TKP hari ini tidak begitu ramai dan jalan menuju sumber air panas justru lebih sepi dibanding di sekitaran kawah gunung.

Semakin terus aku dan Ririn berjalan, semakin semerbak bau blerang yang kita hirup. Dan paraaaammmm…. Kita sampai di lokasi sumber air panas.

Lokasi sumber air panas sangat tidak mengecewakan buatku. Ini lebih asik daripada ngeliat kawah doang. Tidak terlalu banyak orang-orang di sini. Ada pedagang telur yang menawar-nawarkan. Awalnya aku heran kenapa jualan telur ayam, tapi ternyata selain kita bisa merendamkan kaki, kita juga bisa merendam telur ayam di sumber air panas. Aku dan Ririn membeli telur ayam itu dua butir meskipun harganya lebih mahal daripada di warung dekat kostan.

Aku membuka jaket, kaos kaki, sepatu, dan celana panjang (aku hanya menggunakan celana boxer dan kaos). Ririn hanya membuka kaos kaki dan sepatunya. Aku turun duluan ke air panas yang dalamnya kurang-lebih sebetis.

“wiiihhh enak, rin. Ayo sini turun.” Ajakku dengan tawa lebar merasakan keasyikan

“Panas banget gak?” tanya Ririn memastikan

“enggak lah. Kalau panas banget mah melepuh.”

Ririn mengangkat gamis bagian bawahnya, dan ternyata tidak seperti biasanya, Ririn tidak menggunakan celana panjang di dalam gamisnya. Sontak saja aku terperana melihat kakinya yang benar-benar putih, mulus tidak ada bekas luka, dan tidak ada bulu-bulu kaki.

Ririn berjalan perlahan turun memasukan kakinya yang mulus itu. Aku dan Ririn sempat bercanda menciprat-cipratkan air, menenggelamkan telur, menguburnya dengan lumpur juga bebatuan supaya telurnya tidak mengambang. Hingga sekitar 30 menit kemudian, aku dan Ririn mengambil telur yang tadi ditenggelamkan dan memakan telurnya yang sudah matang.

Sore hari, langit mendung, lokasi sumber air panas semakin sepi dari pengunjung, aku dan Ririn pun memutuskan kembali ke parkiran motor untuk pulang. Kita berjalan melewati jalan yang sama sebagaimana saat berangkat. Di tengah perjalanan menuju parkiran motor, hujan turun lumayan lebat. Aku dan Ririn berhenti berteduh di saung tua yang ada di pinggir jalan setapak.

Air hujan yang lumayan deras ditambah angin yang berhembus kencang membuat rintik hujan masih mengenai badan kami. Aku dan Ririn berdiri saling mendekatkan diri menjauhi cipratan air hujan, sesekali aku mencuri cium di saung itu setelah yakin tidak ada orang di sekitar. Beberapa kali kami berciuman di sana. Tapi ciuman sebentar, lagi pula aku takut ketauan terus nanti divideoin warga sekitar dan viral di medsos. Semakin lama kami berpacaran, dalam hal peluk-cium, aku menjadi lebih mudah mendapatkannya dari Ririn.

Merasa cukup ketakutan karena hari mulai semakin gelap, dan di jalan sudah sangat jarang sekali ada orang. Karena hujan tak kunjung reda, sedangkan waktu sudah menunjukan pukul 5 sore. Aku dan Ririn memutuskan untuk melanjutkan berjalan menuju parkiran motor. Aku berjalan di depan Ririn sambil tanganku tidak terlepas dari pegangan Ririn. Rasa khawatir lebih dominan dibanding merasa mesra dan senang. Aku dan Ririn terus berjalan tanpa banyak bicara.

Setelah keluar dari gapura, aku dan Ririn segera berlari-lari menuju parkiran motor. Kami berteduh di teras warung yang sudah tutup dekat parkiran. Di tempat berteduh, ada beberapa warga lokal, dan pengunjung lain yang sedang berteduh juga. Pakaian kami berdua tidak begitu basah kuyup, hanya lebab saja. Rimbun pepohonan di jalan setapak membantu menahan air hujan membasahi baju yang kami pakai.



“Aman?” aku memastikan kondisi Ririn.

“Iya.”

“Kaki enggak terkilir kan?” aku memastikan kondisi Ririn lagi karena tadi saat Ririn sempat beberapa kali terpeleset karena jalan setapak yang basah.

“Enggak kok. Makasih udah perhatian.” Ucap Ririn sambil melingkarkan kedua tangannya di tangan kananku.

“Enggak nyesel kan diajak main kayak gini?” tanyaku

“Enggak banget” jawab Ririn, lalu dia menyandarkan kepalanya di bahu kananku.

Hari semakin gelap. Hujan tidak benar-benar reda, tapi tidak begitu deras seperti tadi. Aku memutuskan untuk menerobosnya. “yuk ah pulang. Kalau nunggu bener-bener Reda bakal lama. Takut kemaleman” ajakku pada Ririn. Ririn menyetujuinya. Aku menyalakan motor, Ririn naik, dan motor pun melaju.

Hujan yang asalnya tidak terlalu deras, kembali menjadi deras saat aku dan Ririn di perjalanan pulang. Aku melihat ada Alfamart di pinggir jalan. Aku membelokan motor, berhenti dan memarkirkan motor, kemudian berteduh.

Karena tak kunjung reda. Aku masuk ke alfamart dan membeli jas hujan model kelelawar (ponco). Asalnya aku ingin membeli jas hujan yang ada atasan dan bawahan. Tapi harus beli dua untuk Ririn juga sehingga sudah barang tentu pasti harus ngeluarin uang lebih banyak. Jadi aku membeli jas hujan model kelelawar saja karena bisa dipake untuk menutupi Ririn yang dibonceng, meskipun Jas hujan kelelawar identik dengan tukang ojek, tapi siapa juga yang akan mempedulikan penampilan saat situasi seperti ini.

“Gak apa-apa yah pake ini? Biar cepet pulang nyampe kostan. Bete kalau harus berteduh lama” Ucapku pada Ririn

“Iya gak apa-apa.” Jawab Ririn.

Aku memakai jah hujan yang baru dibeli, “Nanti kamu masuk ke dalem sini yah. Kamu gak usah pakai helm biar enggak ribet” ucapku pada Ririn sambil memeragakan bagaimana Ririn menutup tubuhnya pake jas hujan ini.

“Iya tau. Aku juga pernah” Kata Ririn

Kemudian aku menaiki motor. Lalu Ririn duduk di motor sambil mengangkat bagian belakang jas hujan dan menutupi tubuhnya.

“Udah ketutupan?” tanyaku

“Udah.” Kata Ririn

Aku melihat ke belakang untuk memastikan Ririn sudah tertutup jas hujan. Lalu aku tancap gas.

Ririn masih duduk menyamping. Tapi tangan kanannya memelukku. Telapak tangan Ririn memegang perutku. Tubuhnya merapat ke punggungku. Aku merasakan sedikit bahwa payudara mungilnya mengenai punggungku juga. Ini baru pertama kalinya Ririn memelukku saat naik motor. Oh aku senang sekali.

Sambil motor melaju, sesekali badanku menggigil kedingInan, saat aku menggigil itu, tangan Ririn yang melingkar ke perutku mengeratkan pelukannya. Aku memahami sepertinya Ririn mencoba memberikanku kehangatan agar tidak terlalu dingin. Sesekali aku juga melepaskan tangan kiriku dari stang motor dan masuk ke dalam menggenggam telapak tangan kanan Ririn yang ada di perutku. Kita berpegangan tangan. Hujan deras, cuaca dingin, di dalam jas hujan pelukan Ririn dan genggaman tangannya memang tidak cukup menghangatkan badan, tapi ini cukup menghangatkan hatiku. Setiap beberapa saat, Ririn selalu menanyakan sudah sampai mana. Aku menjawab setauku. Iya Ririn di dalam tertutup bagian belakang jas hujan sehingga dia tidak bisa melihat jalan.

“Kalau sekarang udah di mana?”

“Setbud”

“Udah lewat termInal ledeng?”

“Bentar lagi”

“lumayan yah masih jauh nyampenya”

“Sabar yah.”

“Iya. Kamu hati-hati nyetirnya. Gak usah ngebut, jalanan licin”

“Oke. Mau makan dulu gak?”

“Iya mau. Aku laper”

“Oke aku cari tempat makan yah.”



Malam Mingguan

Aku berhenti di tukang pecel di pinggir jalan. Aku dan Ririn memesan makanan.



“Kamu mau apa?” tanya Ririn.

“Soto aja deh. Pengen yang kuah” jawabku sambil melepaskan jas

“Aku mau daging bebek yah. Agak mahal tapinya. Boleh?”

“Iya boleh.”

Makanan dihidangkan, kita makan lahap. Sehabis makan, kita duduk-duduk sambil menunggu hujan reda.

“Udah ngecilin hujannya.”

“Iya semoga sebentar lagi reda.”

“Basah kuyup gak kamu?”

“enggak”

“Ih iya enggak. Kok bagian bawah gamis kamu gak basah?”

“Iya kan aku angkat sedikit terus jasnya aku lebarin pake tangan kiri”

“Iya atuh tangan kiri, kan tangan kanan kamu mah tadi meluk aku. Ihihi”

“Ih apa sih” ucap Ririn sambil tersenyum dan menepuk pahaku.

“Ke kostan aku aja yuk.? Tidur disana aja. Nginep.”

Ririn melihat mataku, seperti membaca maksudku. Aku hanya mengangkat alis.

“Enggak apa-apa gitu? Nanti ada ibu kost gimana?”

“Gak apa-apa. Temen-temen kostan aku mah pada nyantai. Si Ibu kost juga rumahnya jauh dari kostan. Jarang ngontrol juga.”

Ririn hanya terdiam, meminum teh hangat. Ririn seperti kebingungan antara takut tapi nuansa romantis sudah sangat terbentuk diantara kita, sebab sejak tadi pagi bahkan kemarin, kita berbarengan terus.

“Rin, mau ke kostan aku aja? Malam minggu ini atuh.” Aku mencoba membujuk Ririn

Ririn masih tidak menjawab tapi dia terus melihat mataku saat aku menanyakan hal itu seperti mencoba membaca pikiranku.

“Btw, makasih loh buat hari ini. Hari ini, kita banyak pegangan tangan. Kamu juga ngebolehin aku ngerokok di deket kamu. Ehhehee. Aku jadi makin sayang” Ucapku mencoba memberi penguatan-penguatan supaya Ririn mau menginap di kostanku.

“Iiihhh itu kan gara-gara cuaca dingin aja di sana. Tapi kalau besok-besok mah tetep aja kamu enggak boleh ngerokok deket aku. Awas aja aku marah” Jawab Ririn dengan muka yang membuatku semakin ingin mengajaknya menginap.

Setelah habis sebatang rokok, aku mengajaknya pulang.

“Hayu ah pulang. Nih kamu yang bayar” ucapku sambil memberikan uang ke Ririn.

Ririn menghampiri mamang pecel untuk melakukan pembayaran, aku mengambil jas dan melipatnya. Hujan sudah reda. Jas sudah tidak perlu digunakan.

“Bang, ini kembaliannya” kata Ririn.

“Simpen dulu aja di kamu.”

“Jadi gimana?” tanya Ririn

“Apanya yang gimana?”

“Aku nginep atau pulang?”

“Ih malah nanya balik. Aku sih pengennya kamu nginep. Tapi aku gak ngajak lagi karena aku takut nanti kamu ngerasa dipaksa dan akhirnya kamu terpaksa untuk nginep. Aku mah gimana kamu. Kamu mau nginep di kostan aku, ya boleh aku sangat seneng, kamu mau pulang ke kostan kamu juga gapapa, aku tetep seneng. Pokoknya apa yang kamu pilih, asalkan itu emang kemauan kamu. Aku bakal seneng.”

Ririn diam seperti berfikir seolah ini soal yang sulit dia jawab.

“Coba deh tanya aku sekali lagi.” Kata Ririn

“hah?” aku heran

“Cobaaa abaaang tanya akuuuu sekali lagiii” ucap Ririn dengan intonasi yang lebih lambat dan nada yang manja menggemaskan

“The person who loves you is asking you, mau nginep atau pulang?”

Ririn tersenyum dan berkata “The person who loves you chooses to……. Nginep”

Aku pun tersenyum pada Ririn.

“Tapi ke kostan aku dulu yah sebentar”

“Mau ngapain?”

“ada deh, kepo banget sih. Wleee”

Motor kembali melaju, meneruskan perjalanan, Tiba di kostan Ririn, aku menunggu di motor dekat warteg, Ririn masuk ke kostannya. Sekitar 10 menitan, dia datang lagi dan kita pun berangkat ke kostanku. Sepanjang jalan aku kegirangan. Sulit menahan senyum bahagia ini. Jas hujan tidak sedang digunakan, tapi Ririn memelukku dari belakang dengan kedua tangannya dan tubuhnya merekat erat di punggungku sambil duduk yang masih menyamping sebagaimana biasanya.

Aku berhenti di alfamart sebelum ke kostan.

“Mau ngapain?”

“Beli rokok”

“udah abis lagi? Parah”

“Masih ada sih 4 batang. Tapi biarin beli lagi aja”



Ya, aku sengaja ke alfamart untuk membeli rokok class mild. Merk rokok yang menurutku lebih pas sebelum mesum dibandingkan garpit. Selain rokok, aku membeli beberapa cemilan untuk di kostan. Sempat ingin membeli kondom tapi aku berfikir tidak akan sampai berhubungan intim dengan Ririn, akhirnya aku hanya membeli rokok dan beberapa cemilan saja. Lalu melanjutkan perjalanan menuju kostan.

Sekitar jam 10 malam, aku dan Ririn tiba di kostan. Ririn terlebih dahulu masuk kamar sambil membawa bungkusan belanja setelah aku memberikan kunci kamarku. Aku memarkinkan motor terlebih dahulu.

Aku masuk ke kamar, Ririn sedang mengeluarkan misting dan beberapa cemilan yang belum habis saat di TKP dari totebagnya. Aku membuka sepatu, kaos kaki, jaket dan celana jeans panjang. Aku hanya menggunakan celana boxer dan kaos sebagaimana tadi berendam.



“Sepatu kamu aku masukin yah” ucapku sambil membawa sepatu Ririn yang basah ke dalam kamar dan aku simpan di balik pintu yang terbuka.

“Kaos kaki kamu mana?” tanyaku

“tuh, basah.” Kata Ririn sambil menunjuk ke arah toilet.

“oohh iya”

“Itu pas yah ukuran sprei aku sama ukuran kasur kamu” kata Ririn

“Iya. Pas juga yang punya spreinya mau tidur di sini. Ehehe”

Ririn hanya tersenyum sambil mengeluarkan barang-barang.

“Aku mau masak air panas buat mandi. Kamu mau mandi gak? Kalau mau, aku bikin air panasnya agak banyak biar cukup buat berdua”

“Anduknya?”

“Pake anduk aku aja. Gak ada panu atau kurap kok aku. Sumpah, nih liat” kataku sambil mengangkat kaos dan memperlihatkan punggungku pada Ririn.”

“Sikat giginya?”

“Ada dooonngg ada banyak masih baru” jawabku.

Untungnya beberapa bulan kemarin aku beli sikat gigi yang 1 bungkus ada 4, dan itu masih tersisa 3 lagi.

“Yaudah iya aku mandi.”

“oke. Aku bikin air panas dulu atuh yah” aku keluar kamar menuju dapur umum, mengisi panci dengan air, menyimpannya di kompor, menyalakan api, dan kembali ke kamar.

Sambil menunggu air panas, aku menyalakan rokok class mild, kemudian duduk di dekat pintu supaya kamar tidak pengap oleh asap dan mengobrol membicarakan hari tadi dengan Ririn. Sambil mengobrol Ririn mencuci misting bekas tempat nuget dan sosis dan nutrijel di toilet, membereskan sedikit kamar dan meja belajar, lalu dia rebahan di kasur sambil bermain HP.

“Hari ini gak banyak main hape” Kata Ririn, matanya fokus ke layar HP

“Ya bagus dong”

“Iya tapi jadi kudet. Hahahaa”

“dasar follower lambe turah hahahaa”

“biarin wleee”

Setelah beberapa menit, aku membawa air panas ke kamar dan menyimpannya di toilet.

“Mau siapa dulu yang mandi? Atau bareng? Yuk bareng aja yuk” kataku sambil aku bercanda menarik-narik tangan Ririn mengajaknya mandi bareng sambil mengkelitik pinggang Ririn.

“gamauuuu…. Ahahaa gamau abang ih ampuunnn” respon Ririn

Aku pun melepaskan tarikanku, lalu masuk ke toilet untuk mandi, setelah sebelumnya aku kecup kening dan kedua pipi Ririn.





Selesai aku mandi.

“Riiiinn, sorry dong ambilin celana boxer sama kaos di lemari”

“ini nih bang..” saut Ririn dari balik pintu toilet.



Aku membuka pintu toilet setengah, dan hanya menongolkan kepalaku saja. Ririn menutup matanya menggunakan telapak tangan.

“Lah ngapain nutup mata? Wkwkwk”

“Gamau takut jail nanti pintunya dibuka full”

“Hahahaha negatif thinking aja siah anaknya teh”

“Biarin. Waspada aku mah”



Aku mengambil kaos dan celana boxer yang diberikan Ririn. Memakainya dan keluar dari toilet.

“Udah, sok sanah giliran kamu”

Ririn bangun dari rebahannya, terdiam dan tampak ragu.

“Lah malah diem. Kenapa? Buruan ntar airnya keburu dingin”

“Ih abang keluar kamar dulu sanah. Aku mau buka kerudung.”

“masih gak mau buka kerudung depan aku? Botak yah? Wkwkwkwk”

“Iya botak, kenapa kalau botak? Hayoh.” Ucap Ririn agak nyolot


“Buset dah santai kali. Wkwkwk. Yaudah iya aku keluar kamar” kataku sambil aku mencari HP, rokok, dan korek untuk dibawa ke luar kamar.

Saat aku hendak keluar dan sudah berada di bibir pintu, Ririn memanggilku dari dekat.

“Bang…..”

Aku menoleh ke arah Ririn. Ririn menghampiriku dan menutupkan pintu.

“Dih malah ditutup, katanya nyuruh keluar” kataku

Ririn menatapku dalam. Aku menatap Ririn keheranan. “Bang, aku tuh udah janji ke diri aku sendiri untuk enggak lepas kerudung di depan lelaki. Tapi aku bakal ingkari janji itu sekarang. Ini semua karena aku sayang sama abang dan percaya ke abang.”

Aku tertegun mendengar ucapan itu dari mulut Ririn.

Aku pegang kedua pipinya sambil mengatakan “Kalau kamu merasa sangat berat melakukannya, aku enggak apa-apa kok kalau harus keluar. Beneran deh aku gapapa. Tapi kalau kamu memang benar ingin melakukannya, aku merasa menjadi lelaki yang sangat beruntung bisa mendapat kasih sayang san kepercayaan dari kamu.”

Ririn mendekatkan dirinya padaku, aku mundur hingga aku tersender tegak di pintu. Ririn mencoba mendekatkan wajahnya dengan wajahku, karena aku lebih tinggi dari Ririn, Bibir Ririn hanya lebih dekat dengan leherku, padahal dia sudah berjinjit.

“ciuuumm…” kata Ririn dengan nada manja dan ekspresi wajah menggemaskan dengan bibir yang dimoyongkan ke depan hendak mencium.

“hih malah minta cium, gamau ah bau belum mandi. Bau. Ihihi” jawabku sambil tersenyum kecil

“Ih dasaaarrr… awas loh kalau aku udah mandi, aku gamau dicium” Ucap Ririn mengancamku gemas.

Ririn membalikan badannya dan menghadap ke cermin. Aku masih berdiri tersandar di tembok. Perlahan dia melepaskan peniti yang ada di dada kirinya, dan melepaskan jarum pentul di kerudung yang berada di lehernya.

Ririn menengok melihatku. Aku masih di posisi yang tidak berubah memandanginya.

Ririn mengangkat kain kerudungnya, dan menyimpan di atas loker sebelah kanan dekat lemari baju. Dari belakang, aku melihat leher bagian belakang Ririn yang putih, rambut Ririn yang diikat dan ciput (daleman kerudung) yang masih melekat di kepalanya.

Dengan kedua tangannya, Ririn membuka ikatan tali ciput yang berada di bawah kuncirnya. Tali ciput terlepas, dia melepaskan ciputnya dan menyimpannya tepat di atas kain kerudungnya tadi. Ririn membalikan badannya ke arahku, dia melihatku, aku melihatnya dengan posisi dan tempat yang masih belum berubah.

Rambut-rambut depan yang mengalur ke belakang, sepasang telinga yang polos tanpa anting, leher yang putih dengan tahi lalat kecil di pangkal leher bawahnya, selaras dengan mata Ririn yang kontras putih-hitam, dengan bibir Ririn yang tipis merah muda.



“Cantik gak?”
tanya Ririn padaku

“jidat nong-nong. Ihihi” jawabku sambil tertawa kecil halus.

“iihhh nyebelin ih” ucap Ririn sambil menutup jidat dengan kedua telapak tangannya.

“ahahaha…. Cantik kok cantik cantik seriusan” aku tertawa dan berjalan mendekati kasur lalu duduk sila di atasnya.

“Kenapa sih abang tuh malah nyebelin disaat aku baper-bapernya. Aku minta kiss, malah dibilang bau. Aku buka kerudung pengen dibilang cantik malah bilang jidat nong-nong. Huh bete ah.” Kata Ririn memasang wajah cemberut yang menggemaskan, lalu dia berjalan masuk ke toilet, menutup pintunya, kemudian;

“awas kalau ngintip!!!!” Teriak Ririn dari dalam toilet.

Aku tersenyum lebar karena tingkahnya itu.
Sengaja aku menolak untuk menciumnya, Sengaja aku tidak mengatakan cantik padanya. Aku hanya memainkan ritme, suasana, dan perasaan dengan menarik-ulurnya saja. Agar Ririn terpikat dan terikat.

Ketika Ririn sedang mandi, aku keluar kamar untuk merokok. Habis dua batang, aku kembali masuk kamar. Menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam, menyalakan laptop, mamasukan colokan speaker ke laptop, membuka spotify, kemudian memutar playlist british pop 90’s. Aku duduk di depan laptop sambil sesekali membuka facebook dan twit**ter di Laptop.



Beberapa saat kemudian,

Pintu toilet terbuka, Ririn mengenakan gamis biru dongker yang dipakainya sejak pagi. Ada tiga kancing di bagian dadanya, dua kancing paling atas tidak dikancingkan, handuk melingkar di atas kepalanya. Ririn melangkah keluar toilet, menginjak-injak lap-kain di dekat pintu toilet, lalu duduk di sampingku yang sedang menghadap laptop, kemudian Ririn membuka handuk yang melingkar di kepalanya sambil menggosok-gosokan rambutnya yang masih agak basah.

“awas jangan cium aku” ucap ririn dengan mulut yang cemberut menggoda

“mau” jawabku

“gak boleh” ucap ririn masih sambil menggosokan rambut dengan anduk

“boleh”

“Ih gak boleh. Tadi aku minta cium, abang malah gamau” Ririn seperti menggodaku.

Aku pun hanya tersenyum saja. Beberapa saat kemudian;

“simpenin dong” Ririn menyimpan handuk di atas kepalaku.

“Ih gak sopan nyuruh-nyuruh ke senior” ucapku sambil aku membawa handuk itu ke toilet lalu mengantungkan handuk di rak gantung toilet. Aku melihat bungkusan kresek tergantung, aku pegang dari luar, ternyata bungkusan itu berisi tanktop, celana dalam, dan Bra milik Ririn. Hmmm aku tau, ternyata tadi sebelum ke kostanku, dia mengambil pakaian dalam baru untuk ganti. Aku semakin terangsang membayangkan betapa wanginya tubuh Ririn yang habis mandi dan pakaian dalam yang baru ganti.

Aku keluar toilet, menghampiri Ririn yang sedang melihat layar laptop, aku gendong dia di depanku sambil aku berucap “mmhh… udah berani nyuruh senior yah”. Tangan Ririn langsung melinkar ke pundak dan leherku. Tangan kananku menahan kedua sendi lutut kaki Ririn, dan tangan kiriku menahan punggungnya. Saat aku berdiri menggendongnya Ririn tertawa entah bahagia atau geli atau bahkan keduanya. Aku mengangkat bahu kiriku, kepala Ririn sedikit naik lebih tinggi, dan aku langsung mencium bibir Ririn yang merah muda itu.

“manis” kata Ririn sambil mengecap

“Iya, tadi abis ngerokok mild” Jawabku.

Aku menidurkan Ririn di atas kasur pelan-pelan. Ririn telentang di atas kasur kemudian ia menyamping membalakangiku. Aku membetulkan posisi penis supaya lebih leluasa saat penisku ereksi, kemudian aku menikam Ririn dengan peluk yang erat. Secara kebetulan, lagu Wonderwall-Oasis menjadi backsound yang sangat pas.



Keningku menempel di bagian belakang kepala Ririn, wangi sampo dove di rambut Ririn menambah gairahku. Tidak ada kata-kata terucap, kita hanya diam menghayati pelukan ini. Aku menghembuskan nafas secara perlahan dari mulutku ke arah tengkuk leher Ririn. Ririn menggerak-gerakan kepalanya.

Tangan kiri Ririn bergerak ke belakang meraih kepalaku, mengusap-usap rambutku, aku hembuskan nafasku lagi dari mulut mengenai tengkuk lehernya sambil tangan kiriku perlahan menelusuri pinggangnya, perut, hingga menyentuh payudara Ririn yang mungil; payudara sebelah kanannya yang lebih dekat ke kasur. Aku menggerak-gerakan tangan kiriku memutar mengeliling lingkar payudara mungilnya itu. Terasa payudara Ririn mulai mengembang, nafas Ririn semakin dalam, aku meremas payudaranya, Ririn menekuk kakinya, memundurkan pinggulnya mengenai penisku yang mulai ereksi.

Aku terus meremas payudaranya dari luar gamisnya, semakin kencang tanganku meremas payudara Ririn, semakin terasa pundak Ririn yang naik-turun karena Ririn menghirup nafas panjang. Ririn memegang punggung tanganku yang sedang meremas payudaranya dan meletakan tanganku di atas perutnya. Kemudian Ririn memutarkan badannya, dan sekarang ia menyamping ke arahku. Kita saling berhadapan. Keningku dan keningnya menempel, lalu disusul ujung hidung kita yang menempel, mata kita benar-benar berdekatan, aku mengusap punggung Ririn, membelai rambutnya, mengusap pungunggunya lagi lalu menelusuri ke bawah hingga aku bisa menyentuh pantatnya. Sambil mengusap dan meremas pantanya, bibirku menyambar bibir tipis Ririn, Kita berciuman lagi. Aku dan Ririn saling melumat bibir, memainkan lidah.



Sambil terus berciuman, aku mengusap kaki Ririn dengan kakiku, kita saling menggesekan kaki kita. Aku mengangkat ujung gamis Ririn bagian bawah hingga ke atas lutut dengan kakiku. Jempol kakiku secara perlahan menelusuri halus kaki Ririn. Dari mata-kaki ke lutut ke mata-kaki lagi, terus berulang. Ririn mengangkat kaki kananya, dan menjepit kaki kiriku dengan paha bagian dalam.

Aku tekuk kakiku hingga masuk ke dalam, mengenai vagina Ririn yang masih mengenakan celana dalam. Ririn melepaskan ciuman, “hhhh….” Menarik nafas dari mulutnya, matanya terbuka lebar kaget. Tangan kananya mendorong lututku ke bawah, lalu dia menurunkan ujung gamisnya ke bawah pula hingga menutupi betisnya.

Aku merubah posisi menjadi telentang, Ririn menaikan kepalanya ke atas dadaku, sisi kiri wajahnya menempel di dadaku.

“halus kaosnya” ucap Ririn sambil menggerakan pipinya merasakan benang-benang kaos yang aku pakai.



Beberapa saat kita saling terdiam, aku menarik pinggul Ririn dengan tangan kiri sehingga tubuhnya berada di atas tubuhku, kaki kita saling mengait. Penisku yang ereksi menempel dengan pinggangnya. Ririn melihat ke arahku. Dagunya menempel di dadaku.

Aku melihat wajahnya yang jelita tanpa kerudung yang biasa dipakainya. Tangan kiriku bergenggaman dengan tangan kanan Ririn. Tangan kananku mengusap lembut rambut Ririn, dari depan-belakang, ke tengkuk leher, dan menyamping mengelus telinga Ririn yang polos tanpa anting.

“ich liebe dich [bhs. German yg artinya I love you]Ucapku

“ich liebe auch sie [bhs. German yg artinya I love you too]ucap Ririn

Aku mengangkat ujung bagian bawah gamis Ririn supaya lutut dan pahanya terbuka, Ririn menurunkannya dengan tangan kirinya, aku melakukannya lagi, Ririn pun menurunkannya lagi.

“Ih jangan” Kata Ririn. Dagunya masih menempel di dadaku.

“Kenapa jangan?”

“malu” jawab Ririn

Aku meraba pantatnya, meremas-remas, Ririn mengangkat bahunya dari dadaku, mendekatkan wajahnya padaku, pinggulnya menggesek penisku yang keras, dia mencium keningku lalu mencoba bibirku lagi.

Aku memegang pinggang Ririn dengan kedua tanganku, menjatuhkannya perlahan ke samping kanan, Ririn telentang, kami masih berciuman, sambil memainkan lidah, aku menaiki tubuh Ririn, posisiku berada seperti sedang sujud yang beralasakan tubuh Ririn. Aku lepaskan bibirku dari lincahnya gerak bibir Ririn, aku kecup dagunya, bibir dan lidahku turun menelusur merasakan kulit halus leher Ririn, tahi lalat kecil yang menjadi pemanis di pangkal bawah lehernya aku kecup berkali-kali dan aku sentuh dengan ujung lidahku, Bibir dan lidahku masih belum juga berhenti menelusuri terus ke bawah hinggga kedua kancing gamis yang terbuka itu di berada di tepi samping bibirku, aku terus mengecup, membasahi dadanya. Aku mengulangi hal sama dari arah sebaliknya, dada, pangka leher, dagu dan kembali di bibir Ririn.

Ririn mendorong perlahan pundak kiriku dengan tangan kananya, aku terbaring menyamping di sebelah kiri Ririn menghadapnya.

“matiin lampunya, silau” ucap Ririn dengan suara yang pelan.

Aku berdiri dari ranjang memadamkan lampu kamar.

Karena pijar cahaya dari lampu toilet, layar laptop yang menyala, dan lampu di luar depan pintu, kamar menjadi temaram tidak begitu gelap. Aku masih cukup bisa melihat wajah manis Ririn dengan rambutnya yang tebal dan agak ikal.

“Sini berdiri” ajakku pada Ririn di pinggir ranjang.

“Gamau ah. Ngapain coba” kata Ririn sambil telentang

“ya berdiri aja, pelukan sambil berdiri”

Ririn menjulurkan tangan kirinya meminta aku menarik membantunya bangun dari kasur. Ririn bangun, berdiri di dekatku, kami berhadapan. Ranjang berada di samping kiri Ririn-di samping kananku.

“Do you want to say something?” tanyaku pada Ririn.

Ririn memelukku sambil mengatakan “Makasih ya bang, aku enggak nyesel aku gak pulkam kemarin lusa. Aku seneng bisa bareng abang terus”

Aku membalas peluk Ririn dengan erat.

“abang gak bakal ngomong sesuatu juga gitu ke aku?” Tanya Ririn.

“The person who loves you want to spend tonight with you” ucapku

“The person who loves you is shy to say ‘okay’”



Aku dan Ririn kembali begumul di ranjang. Aku berada di tepi sisi kasur, Ririn di sisi dekat tembok. Aku dan Ririn berbaring menyamping menghadap ke arah yang sama, dari belakang aku cium Ririn mulai dari tengkuk leher belakang, menelusur ke depan, ke pipi, ke mulut, sambil aku grayangi tubuhnya yang tertup gamis. Aku usap perutnya, naik ke atas ke payudaranya sebelah kanan yang lebih dekat ke kasur. Aku meremas perlahan-lahan hingga sampai benar-benar aku remas dengan tekanan.

Ririn menggelinjang, gerak badannya tak beraturan, nafasnya cepat, “ssshhhh….huuuuhhh….sssshhhh huuuuhhh”

Aku terus menggerayangi payudara mungilnya itu sambil bibirku tak henti membasahi tengkuk lehernya.



“ssshhhhh……..” Ririn memegang tangan kiriku yang aku pakai untuk meremas payudaranya, dia memindahkan tanganku ke payudara sebelah kirinya yang belum aku remas.

Aku meremas payudara kirinya.

“sssshhhh huuuuhhh” nafas Ririn cepat.

Aku menggesek-gesekan betisku dengan betis Ririn sambil aku angkat gamis bagian bawahnya hingga pahanya terbuka.

Ririn tidak menurunkan gamisnya, ia tidak berbuat apa-apa selain mengatur nafas.

Aku terus meremas payudara Ririn. Payudara kanan-kiri bergantian. Tangan kiri Ririn ke belakang memegang telinga kiriku, aku mengambil tangan itu dan aku arahkan ke penisku yang sudah ereksi.

Telapak tangan Ririn berada di atas penisku yang ereksi dan hanya ditutupi oleh celana boxer.

Sambil bibirku menelusuri kulit pipi Ririn yang halus, aku mengatakan dengan suara lembut, “masukin tangan kamunya, yang”

Ririn menggelengkan kepalanya.

“gerak-gerakin tangannya, yang”

Ririn mengusap-usap penisku dengan jemarinya dari luar celana boxer. Ririn tidak berkata apa-apa, ia masih mengatur nafas “ssshh huuuuhh”

Di bagian bawah, lututku sudah dijepit oleh kedua paha Ririn. Aku terus gerak-gerakan lututku menggesek paha Ririn bagian dalam. Sesekali lututku menyentuh vagina Ririn yang hanya menggunakan celana dalam saja.

Semakin kuat aku meremas payudara Ririn, semakin sering lututku menyentuh vagina Ririn, semakin tak beraturan dan cepat juga nafas dan tubuh Ririn menggelinjang.

Tangan Ririn yang semula hanya mengelus penisku, menggenggamnya dan sesekali menekan-meremas penisku.

“uuuhhhh” aku terperangah sambil melirik gerak tangan Ririn di penisku. “terus sayang mainin yang aku” pintaku pada Ririn dengan nada yang lembut. Tangan Ririn semakin cepat menekan-remas penisku.

Aku berhenti meremas payudara Ririn yang mungil, tangaku meraih ujung gamis bagian bawah, kemudian menariknya ke arah perut Ririn hingga celana dalam Ririn yang bermotif garis-garis dengan warna gradasi pastel terlihat olehku.

Aku sibak lagi ujung gamisnya semakin ke atas hingga pusar di perut Ririn terbuka,

“pegang kainnya, yang” ucapku sambil memberikan ujung gamis bagian bawah ke telapak tangan kanan Ririn. Ririn memegang ujung gamis agar tak turun menutupi perutnya.

Aku usap perut Ririn perlahan dengan punggung tanganku. Memutar disekitar perut naik perlahan menelusur ke ulu hati hingga BH Ririn dapat aku sentuh.

Aku selipkan tanganku ke dalam BH dari sela-sela diantara kedua payudara Ririn, aku usap tepi pinggir payudara sebelah kanan Ririn.

“sssshhh huuuuuhhhhh sssshhhhh huuuuuuhhh”

Karena pengait BH belum terlepas, membuat BH terlalu sempit untuk aku menyelipkan tangan.

Lalu kemudian aku menggerakan tangan kiriku beranjak dari sekitaran payudara Ririn menuju ke bawah, menelusur ke bagian ulu hati, perut, mengusap-usap memutari pusar, ke bawah, semakin ke bawah hingga karet celana dalam Ririn aku sentuh.

“angkat sedikit kepalanya, yang” Pintaku agar tangan kananku tidak lagi terhimpit antara sisi kanan kepala Ririn dan bantal.

Ririn mengangkat kepalanya, aku menggeser tangan kananku ke bagian dalam, menyentuh leher Ririn dari bawah. Aku gapai payudara Ririn dengan tangan kananku, aku remas pelan-pelan, semakin aku tekan dan remas payudara Ririn, semakin membuat tubuh Ririn menolak untuk diam.

“let me kiss you” Pintaku

Ririn menoleh hingga dagunya berada dekat dengan bahu kirinya, aku mendekatkan bibirku lalu mencium bibir perempuan yang aku sayangi itu.

Saat berciuman, tangan kananku meremas payudara Ririn, Tangan kiri Ririn meremas penisku yang tertutup celana boxer, disaat seperti itu; tangan kiriku yang sudah menyentuh karet celana dalam Ririn menyelinap masuk ke dalam celana-dalam.

Bulu-bulu halus yang tidak begitu lebat terasa di ujung jemari-jemari tanganku. Semakin aku masuk, mengusap bulu-bulu halus itu, semakin kencang Ririn menghisap lidah dan bibir bawahku.

Tanpa diminta, tangan kiri Ririn tiba-tiba masuk ke dalam boxer-ku, melewati bulu-bulu jembutku, kemudian jemarinya menekuk sesuai lingkar penisku. Lalu aku dorong lagi tangan kiriku yang berada di dalam celana-dalam Ririn, menyentuh daging tebal di selangkangan Ririn.



Ririn melepaskan ciumanku, “SSSSHHHHHHHHHHH……..bhaaaaannnggggg” suara Ririn merintih.

“abhang udah keras ssshh…huuuh” ucap Ririn sangat perlahan mendesah sambil menggenggam penisku di dalam celana boxer

“Ririn masih sempit” aku bisikan ke telinga kirinya.

Aku gerakan jari tengahku mengusap-mengoles-menelusuri belahan vagina Ririn yang masih sempit.

“sssshhhhh aaaahhhhhhhh, bhhhaaaang” Ririn menahan desahannya. Pinggulnya tak kunjung bisa diam. Ia melepaskan gengaman tangannya dari penisku, menariknya keluar dari dalam celana boxer, dan memegang tangan kiriku. Tangan kanan Ririn mengepal sambil masih menahan ujung bagian bawah gamisnya

Jari tengah terus aku gerak-gerakan. Sesekali pergelanganku diturunkan ke bawah hingga ujung jariku bisa menyentuh bulu-bulu di duburnya.

“aaaaaahhhhhh”

“sssshhhh… Huuuuuuuuhhhh”

“aaaahhhh”

“ssshhh…. Huuuuuuuuuuuuhhhhh”

“Aaaahhhh”

“Bhaaaannnggg… huuuuuhh sssshhh.”




Ririn menarik tangan kiriku keluar dari celana dalamnya, ia memutarkan badannya ke arahku. Kita berhadapan saling berbaring menyamping.

Wajah Ririn terlihat sedikit lelah dan gelisah, keringat-keringat kecil muncul dari keningnya. Beberapa helai rambutnya menempel di keningnya yang basah.

Ririn cantik dan menggoda malam ini, aku mencintainya, aku bergairah padanya.

Setelah kita saling mengecup pipi, hidung, dan kening, Ririn berbaring telentang sedangkan aku masih menyamping menghadap ke arah Ririn.



Tangan kiriku aku letakan di perutnya yang tidak tertutup gamis. Aku mengelus-ngelus perutnya lagi, Ririn memegang pergelangan tanganku kemudian menarik ke payudaranya seperti meminta untuk aku remas-remas lagi.

Aku merubah posisiku. Aku duduk di kasur, menyender di sisi tembok yang berada di atas kepalaku saat aku berbaring, kakiku berselonjor dan membuka selangkanganku. Lalu aku meminta Ririn duduk di depanku; diantara kaki kanan dan kiri, menyenderkan punggungnya di dadaku.

“yuk sini duduk” sambil aku menepuk kasur di dekat penis diantara kedua pahaku.

Ririn bangun dari telentangnya.

“Buka gamisnya?” tanyaku meminta

“gamau, malu.”

“Sini peluk dulu”

Ririn mencondongkan badannya ke arahku, ia bertumpu dengan lutunya, kemudian memelukku, sedang aku masih duduk selonjoran di atas kasur menyender pada tembok. Kita berpelukan; Ririn melingkarkan tangannya di pundakku, aku melingkarkan tanganku di pinggangnya.

Saat berpelukan, aku mencari pengait BH yang ada di punggung Ririn, setelah kudapati pengait BH itu, aku pegang masing-masing sisinya dengan kedua tangan, aku dorong bersamaan ke arah tengah.

Ririn melepaskan pelukan kemudian berdiri tegak dengan bertumpu pada lututnya di depanku, melihat ke arahku.

“iiihhh abang malah dilepas” ucap Ririn, matanya melebar kaget.

“sini sayang duduk di sini” aku menepuk kasur di area dekat penisku, diantara kedua pahaku. Aku tidak menghiraukan ucapan Ririn sebelumnya.

Dengan gestur malu-malu kucing, Ririn bergerak menyesuaikan posisi badannya dan duduk di tempat yang aku pinta.

Penisku menempel dengan pinggul bagian belakang Ririn, Punggung Ririn merekat erat di dadaku, kepala Ririn bersandar di pundakku sebelah kanan. Kita duduk dengan posisi seperti ini, sangat erat, dan aku merasakan hubungan yang begitu intim. Aku dan Ririn saling mencintai dan saling membirahi.

“Kalau aku bilang ‘aku sayang abang’ abang bosen gak dengernya?” ucap Ririn dengan suara yang pelan dan lembut dibarengi backsound lagu dari soptify yang entah berjudul apa.

“kalaupun semisal syarat ketemu kamu itu aku harus jalan kaki ngelewatin jalan setapak menuju sumber air panas di tangkuban parahu, setiap hari aku lakuin. Capek mungkin iya, tapi kalau bosen dan nyerah, kayaknya enggak bakalan” ucap bullshitku

“Aku sayang abang. Sayaaaang banget. Aku enggak nyesel sayang ke abang” kata Ririn.

Aku memegang kedua tangan Ririn sambil bilang, “semoga kamu percaya kalau aku punya rasa yang sama juga”



Aku mulai menggerayangi tubuh Ririn lagi. Dengan posisi seperti ini ditambah tali BH yang sudah tidak saling mengait semakin mempermudahku.

Aku mengecup leher Ririn. Ririn semakin menengadahkan kepalanya.

Aku remas kedua payudara Ririn dengan kedua tanganku dari luar gamis secara terus menerus, menekan-meremas-berulang.

Pinggul Ririn menggelinjang, bergerak tak beraturan, penisku tersentuh-tergesek oleh pinggulnya yang tak bisa diam itu.



Aku memasukan tangan kananku ke dalam gamis; naik menuju payudara, di saat bersamaan, aku masukan tangan kiriku ke dalam celana-dalam Ririn; turun menuju vagina.

Aku menyentuh vaginanya lagi, tapi kondisi vaginanya tidak sama seperti sebelumnya, sekarang vagina Ririn sudah basah. Sambil lehernya aku kecup, payudaranya aku remas-remas dengan tangan kanan, aku usap-usap klitorisnya dan kemudian

“EEEUUUU……..HHHHAAAAAAHHHHHH” desah Ririn terdengar jelas dari telinga kananku.

Jari tengahku masuk menembut selaput vaginanya.

Ririn mulai menggerakan pinggulnya berpola maju-mundur seirama dengan gerak jari tengahku yang keluar-masuk.

“eeeuuuhhhhh bhaaaannngg….. eeeuuuhhh bhaaaannngg….”
“Ssssshhhhh aaaaahhhhh”
Ririn mendesah basah sambil mencoba menahan desahannya sendiri.

Tangan kananya menggapai apapun yang bisa digenggamnya sambil mengepal, tangan kirinya merangkul ke belakang leherku dengan erat. Kepalanya menengadah, pandangan matanya tak terarah.

“eeeuuu….hhhhhh….eeeuuuuhhhhhh…”

“bhaaanngg…. Akhu…. ta….takut….kedeng…eran…suaranyaahhh…keluarh....bhaaaanngg”
ucap Ririn lambat, pelan, tersengal-sengal. Ia kerepotan mengatur antara keinginannya bicara dan nafas juga sensasi yang dirasa.

Aku mengajaknya berciuman untuk menahan desahannya agar tidak terlampau keras.

Tapi setiap kali jariku masuk ke dalam vaginanya, Ririn melepaskan ciuman dan mendesah menghebuskan nafas, “aaa~ahhh….”

“bhu….bukha bang… bhu….bukha bang…”
kata Ririn sambil tangan kiri yang merangkul di leherku menarik-narik kaos yang aku pakai.

Aku mengeluarkan kedua tanganku dari dalam gamis dan celana dalam. Aku lepaskan rangkulan Ririn, setelah punggung dan kepalanya tidak bersender ditubuhku, aku melepaskan kaos yang aku pakai. Kemudian aku jatuhkan ke lantai di pinggir ranjang.

Dengan suara yang lembut dan meminta, aku berbisik pada Ririn, take off your clothes, sayang”, sambil mengkat kedua tangannya lurus ke atas, Ririn menjawab dengan suara agak lemas, “do by you”.

Aku membuka kancing ketiga, aku pegang ujung bawah gamisnya, kemudian aku tarik ke atas. Ririn menurunkan tangannya melepaskan dari bagian lengannya, tangan kanan Ririn ke belakang memegang rambutnya, kepalanya menunduk. Kemudian gamis biru dongker itu lepas dari tubuh mungil Ririn. Aku menjatuhkan gamis itu di tempat yang sama dimana kaosku tergelatak.



Mataku tidak terlepas dari BH yang longgar karena tali pengaitnya sudah aku lepas, BH yang bermotif persis sama dengan celana dalam Ririn yang aku sudah lihat sebelumnya. Pola bergaris akan menjadi pola favoritku sejak malam ini. Warna gradasi pastel akan menjadi warna favoritku sejak malam ini. Aku mencintai malam ini dengan segala rupa yang tertangkap oleh mata; lekuk tubuh Ririn, garis pola, dan gradasi warna.



Ririn melepaskan tali BH yang melingkar di pundak kiri dengan tangan kananya, kemudian telapak tangan kanannya menutup payudara mungil sebelah kiri.

Ririn melepaskan tali BH yang melingkar di pundak kanan dengan tangan kirinya, kemudian telapak tangan kirinya menutup payudara sebelah kanan.

Sambil tangannya menyilang menutup payudara, Ririn memintaku mengambil BH miliknya dan menyimpannya bersamaan dengan tumpukan kaos milikku dan gamis miliknya.

Tanpa bicara apalagi bercanda, aku melakukan apa yang Ririn minta.

Ririn memelukku dengan cepat agar aku tak terus memperhatikannya,

Kedua tangan Ririn melingkar di dekat ketiakku, dagu Ririn menyentuh kulit pundakku, payudara Ririn yang mungil dan putingnya menyentuh dadaku. Aaaahhh ini jauh lebih baik dari SUNYODA yang dilakukan pada Ina.

Aku memeluk Ririn dengan sangat. Pinggangnya yang ramping, punggungnya yang halus, warna kulit dan warna pastel celana dalam yang dikenakannya sungguh enak dipandang. Aku memejamkan mata merasakan pelukan sehebat ini, pelukan tanpa ada helaian benang yang membatasi.



Setelah beberapa menit aku meresapi pelukan hebat ini,

“Sayang, nafas kamu kena leher aku bikin aku horny” ucapku pada Ririn

“sikap dan cara perhatian abang ke aku bikin aku sayang dan mau melakukan ini” Jawab Ririn.



Ririn memegang kedua pundakku, mendorongku perlahan ke arah samping hingga aku berbaring telentang dengan kaki (telapak-lutut) menjulur ke lantai.

Ririn menaiki tubuhku, kemudian seperti posisi sujud dimana aku di bawahnya, Ririn mencium Bibirku, lalu menuju leherku dan kemudian dia mengecup-ngecup dadaku, menyentuh putingku dengan lidahnya. Oooohhh aku sungguh sangat merasakan birahi yang membara.

Aku memegang kepala Ririn dengan kedua tangan agar Ririn berhenti melakukan itu karena aku sangat merasakan sensasi geli yang sulit aku tahan. Tanganku melingkar di bagian pantat Ririn. Aku bangun dari tidur dan mencoba berdiri menggendong Ririn. Lalu aku berputar dan menjatuhkan Ririn perlahan ke kasur hingga ia telentang.

Ririn mengambil bantal yang ada di samping kirinya dan menutupi payudaranya dengan bantal.

“jangan gini, aku malu” ucap Ririn memeluk bantal

“Enggak apa-apa gini, aku mau” ucapku sambil tersenyum genit.

Perlahan aku mengambil bantal yang dipeluk Ririn.

Payudara yang saat aku raba berukuran mungil itu ternyata memiliki warna yang bersih. Putingnya berwarna lebih gelap dibanding warna kulit tubuhnya. Aku turunkan tubuhku bertumpu pada tangan yang berada di pinggir kanan-kiri tubuh Ririn. Aku julurkan lidahku dimulai dari bawah pusar. Aku telusuri dengan lidahku naik ke atas, ke ulu hati, ke bagian pinggiran payudara aku berputar menjilati payudaranya.

Ririn menyentuh rambutku, mengusap-usap rambutku, dan mendorong kepalaku seperti meminta agar lidahku mengenai putting payudaranya.

Aku jilat dan aku sentuh-sentuh puttingnya dengan ujung lidahku sesekali aku hisap puttingnya. Ririn mendesah;

“ssssshhhhh,… hhuuuuhh”

“eeeuuuuhhh…haaaahh”


Ririn hanya mendesah. Saat mendesah, kepala Ririn bergerak tak terarah tak beraturan, sensasi ini tak bisa membuatnya bersikap tenang. Kedua tangannya memegang tanganku dengan kuat kemudian melepaskannya, menarik sprei kasur dan mengepalnya, kemudian melepaskannya. Sebagaimana kepalanya, Tangan Ririn seperti ingin menggenggam apa yang bisa digenggamnya dalam posisi seperti ini.



Aku meminta Ririn untuk memainkan penisku dengan mulutnya, tapi Ririn enggan melakukannya. Beberapa kali aku mencoba, sebanyak kali itulah Ririn menggelengkan kepalanya. Ia tetap enggan jika penisku masuk ke dalam mulutnya yang dihiasi bibir tipis dan merah muda itu.

Aku berdiri di lantai bertumbu dengan kedua lututku, aku memegang kedua pergelangan kaki Ririn yang menjulur ke lantai. Aku naikan ke atas ranjang kasur, kemudian aku dorong agar kakinya menekuk, lalu tangan kananku memegang lutut kiri Ririn, begitupun yang sebelahnya. Aku menahan agar Ririn tidak merapatkan selangkangannya.

Kedua tangan Ririn menutupi vaginanya, kepalanya menggeleng-geleng seperti memintaku untuk tidak melakukannya. Semakin kuat tekanan kedua lutut Ririn untuk saling mendekat-merapatkan selangkangannya, semakin kuat pula tanganku menahan lutut Ririn.

Aku menurunkan tubuhku, mencari posisi yang sesuai. Wajahku sudah berada tidak jauh dari vagina Ririn.

“jangan bang” Rintih Ririn memohon

Tanpa mempedulikan permohonan Ririn, aku mendekatkan mulutku ke vaginanya, menarik celana dalam yang dipakainya hingga naik ke paha, aku mencium aroma sirih dan sedikit amis.

Basah. Vagina Ririn sudah basah. Aku menjulurkan lidah dan menyentuhkan ujung lidahku di pangkal pahanya.

“eeuuhhh” desan Ririn sambil pinggulnya bergerak.

Lidahku berputar putar di sekitar vagina Ririn

“sssshhhh aaaaaahhhh…..

Ssshshhh uuuuuuhhhhh


Nafas Ririn semakin tidak beraturan. Tangannya mencoba menahan kepalaku, tapi tenaganya tak ada karena sensasi lidahku yang bergerak di selaput vaginanya membuatnya menggeliat-geliatkan badannya.

“aaaahhhh….aaaahhhhh” desah Ririn

Sambil aku menjilati vaginanya, tangan kiriku masuk memegang penisku. Aku menggenggam penisku dan menggerakan tanganku maju-mundur.

Tanpa berpikir panjang, aku berdiri, menyesuaikan mensejajarkan penisku dengan vagina Ririn dan mendekatkan penisku pada vagina Ririn yang basah itu.

Ririn terkejut, ia berusaha bangun tapi kesulitan karena lemas,

Aku tempelkan penisku di vaginanya yang masih sempit itu.

Aku gesek-gesekan penisku yang sudah sangat keras di vagina Ririn yang basah itu

Aku pegang penis dengan tangan kiri, aku arahkan ke lubang vagina Ririn

Vaginanya yang masih sempit, sulit ditembus oleh penisku

Aku dorong pinggulku ke depan sambil tangan kiriku mengarahkan penis ke lubangnya.

Ujung kepala penisku sudah lumayan masuk di bibir selaput vagina Ririn, lalu terdengar;

“sss….saaaa….saaa…kit… bhhhaaaannggg….aaaahhh ssshhh huuuuh” rintih Ririn

Aku melihat wajah Ririn yang kesakitan seperti menahan tangis.

Kedua tangan Ririn menutup wajahnya.

Aku menarik keluar penisku yang sudah setengah masuk itu.

Celana boxer aku naikkan ke atas, aku pakai lagi sebagai mana mestinya.

Lalu aku memegang kedua pergelangan tangan Ririn yang menutup wajahya, aku simpan di samping badannya sesuai sisi, aku cium bibirnya, dan aku peluk dia dengan rasa sayang dan sedikit rasa kasian karena Ririn kesakitan.

Ririn memeluk erat tubuhku, kemudian dengan suara sambil menangis dan nafas yang tak beraturan, Ririn membisik padaku; “engak bang.… don’t do that yet. Aku takut. Masih belum berani dan sakit banget bang”

“I love you. Do you still love me?” ucapku sambil memeluk Ririn erat.

“iyaaahhh… sshhh huuuuuhh” jawab Ririn sambil menarik nafas dalam dan menghebuskannya panjang.



Aku dan Ririn, berbaring telentang bersampingan. Tidak ada kata yang keluar dari mulut kita berdua, kita hanya sama-sama menatap atap yang sama, mengatur nafas, meredakan birahi yang sempat menjadi-jadi. Aku masih bertelanjang dada, Ririn masih menutup payudaranya dengan bantal yang dipeluknya. Sekitar 20 menit kita terdiam. Aku menyentuh tangan Ririn, Ririn merespon sentuhan tanganku. “Oh ternyata Ririn belum tidur” ucapku dalam benak.



“Sayang?Tanyaku

“Iya” jawab Ririn

“Nyalain yah lampunya?”

“Iya”.

Aku berdiri untuk menyalakan lampu kamar.

Sprei yang kusut; selimut yang terjatuh dari atas ranjang; kaos, gamis dan BH milik Ririn yang menumpuk di lantai; wajah Ririn yang cantik dengan mata yang lelah dan rambutnya yang acak-acakan, seketika terlihat jelas saat lampu kamar menyala. Mataku jeli melihat-lihat sekitar sprei khawatir ada darah yang menetes, tapi syukurnya tidak ada,



“Nih” aku memberikan BH pada Ririn.

“simpen aja di sana” Ririn menunjuk ke atas loker tempat kerudung dan ciputnya disimpan

“gabakal dipake?”

“enggak. Mau tidur braless aja”

Aku melempar BH nya dan untungnya BH mendarat pas di atas loker.

“kalau ini mau dipake?” tanyaku sambil memperlihatkan gamis Ririn

“iya atuh dipake, siniin” Aku memberikannya pada Ririn.

Aku memakai kaos; mematikan lagu di laptop; mengambil rokok, HP dan korek.

“aku keluar dulu yah”

“ngerokok?”

“iya. Jangan dikunci. Nanti aku malah tidur di luar” ucapku sambil senyum lebar

Ririn hanya membalas senyumku dengan senyumnya.



Aku tutup pintu kamar dari luar, lalu berjalan ke kursi panjang di teras kostan. Menyalakan rokok, menyalakan HP. Waktu menunjukan pukul 03.43 WIB. Aku scroling TL Instagram, melamun, sempat terpikir untuk onani di toilet kamar karena tadi kurang klimaks. Andai saja aku lebih tega memasukan penisku ke vagina Ririn, mungkin malam ini akan berakhir dengan penetrasi yang melegakan. Habis 2 batang, kembali masuk ke kamar. Ririn sudah tertidur dengan mengenakan selimut. Setelah mengunci pintu dari dalam, aku minum air putih, dan berbaring di pinggir Ririn berbagi selimut kemudian memeluknya hingga aku terlelap tidur.







SUNMORI
Sunday Morning with Ririn



“Bangun….. abang, bangun… udah siang” Ririn membangunkanku sambil mendorong-dorong pundak dan pinggangku.

“jam berapa?” tanyaku

“setengah sembilan. Ini ih makan dulu aku udah beli sarapan”

“di mana kamu beli? Kapan?” Tanyaku sambil aku melihat bungkusan kresek

“tadi ngegofood. Jam 8an”

“terus kamu ngambil ke luar gitu ke gerbang kostan?”

“iya. Emang kenapa?”

“ketemu sama penghuni kostan lain gak?”

“enggak”

“iya sih rata-rata di sini bangunnya pada siang”

“ayok ih sarapan dulu ini. Ketoprak.”

“Kamu udah makan?”

“belum. Pengen makan bareng”

“cium dulu dong”

“ih gak mau ah.”

“morning sex ai kamu. Sini give me hug and kiss”

“gamau bau jigong”

“emang kamu udah mandi?”

“eheheh belum sih, tapi aku udah cuci muka sikat gigi”

“sini peluk cium dulu biar hari mingguku menyenangkan sejak pagi”

“janji peluk cium aja yah?”

“emang gak mau sambil apa?”

“gak mau kayak semalem, tanganya masuk-masuk, sampe-sampe ‘itunya’ abang dikeluarin. Pokonya last night we almost did a dangerous thing”

“iya janji peluk cium doang”

“awas loh kalau lebih”

Ririn naik ke atas kasur menghampiriku, mencium pipi dan keningku, kemudian aku dan ririn saling mengikat lidah dipagi hari. Bau sih, terutama mulutku yang bau tapi yaa gapapa, lagi pula Ririn mau. Ehehehe

Kita saling memeluk erat. Aku merasakan payudara Ririn langsung tanpa ada cup BH

“eh, masih gak pake BH?

“Iyah. Kerasa?”

“Ho’oh”

“Tadi ngambil makanan gak pake BH?”
lanjutku bertanya

“Enggak.”

“Pake kerudung gak?”

“Pake atuh”

“Lah terus keliatan atuh nyetak putting kamu?”

“ih apaan sih. Ya enggak atuh, kan kerudungnya aku lebarin nutupin dada”

“ooohhh iya”

“Nih ulah abang nih semalem nih liat” Ririn menunjukkan tanda merah (cupang) di bagian dada dekat payudaranya dan bagian perut di samping pusar.

“ah gak begitu merah, besok-besok juga ilang. Leher gak ada?”

“enggak ada” kata Ririn

“hayu ih sarapan” Ririn kembali mengajak

“nanti atuh agak siangan. Jam 10 lah”

“ih aku lapeeerrr.. huhuhu” ririn memasang muka ingin dikasihani

“yaudah makan duluan”

“pengen bareeeennnggg”

“cuddle dulu sini”

“iiihhh malah ngajak cuddle”

Aku tarik tubuh Ririn, kita berbaring menyamping posisi spooning. Sepertinya posisi itu adalah posisi favorit kita. Aku memang benar-benar menyukainya karena merasa begitu intim dengan pasangan. Penisku yang mulai mengeras aku tempelkan ke pinggu Ririn yang berada di depanku.

“ih ‘itu’ abang kerasa” kata ririn sambil menggeser pinggulnya ke depan agar tidak mengani penisku

“semalem juga kena, kamu biasa aja”

“abang harus ngurang-ngurangin nonton video yang begituan”

“kenapa gitu?”

“Iya jadinya abangnya omes mulu, pake segala minta aku buat mainin ‘itu’ abang pake lidah aku. Ih wuek”

“iya kenapa sih gamau mulu?”

“ya atuh gak mau. Jorok bang. ‘itu’buat apa? Pipis kan. Kotor banyak kuman. Mulut aku buat apa? Makan. Ih wueeekkk nanti aku kalau makan ngebayanginnya ‘itu’ abang. Jorok, gamau ah. I never do that”

“bawel”

“biarin. Wleee”

“pake tangan kok mau?”

“yang kiri kan. Kalau yang kanan gak mau juga, buat makan juga.”

“Yaudah sekarang pake tangan kiri aja”

“GAK MAUUUUU…. Katanya janji Cuma peluk cium ih. Ayoooo sarapan, aku laper”



Aku melepas pelukanku. Ririn bangun dan duduk di lantai dekat meja laptop, membuka keresek dan bungkusan ketoprak. Aku duduk sejenak, kemudian berjalan menuju toilet, cuci muka. Keluar toilet, aku duduk di dekat Ririn, lalu kita makan bersama.





Selesai makan dan minum, aku merokok 1 batang, kembali ke kamar, membuka laptop menonton The Soleh Solehun Interview di Youtube. Sedangkan Ririn, membereskan tempat tidur, melipat selimut, membuang bungkus-bungkus cemilan yang habis, membersihkan kamar dan toilet.



Chat whatsApp masuk dari Ina:

“Bang kunci masih di abang?” tanya Ina

“iya masih. Pulang kapan?”

“Ini masih di jalan TOL. Sekitar jam 3 sorean kayaknya nyampe kostan. Nanti aku kabarin kalau udah ngelewat gasibu”

“Iya, takutnya aku telat, kamu nunggu di kedai kopi atau di mana dulu aja weh yah. Tapi aku usahain gak telat”

“iya, bang.”



Aku tidak memberitahu Ririn bahwa aku memegang kunci kostan Ina dan sore ini aku mau mengembalikannya.



Adzan dzuhur berkumandang.

“Mandi gih bang udah dzuhur”

“kamu juga belum mandi”

“ih malah ngebalik-balikin”

“kamu tadi solat subuh gak?” tanya kuk sambil senyum lebar

“enggak. Aku bangun jam setengah 7”

“padahal masih bisa kalau gitu, asal langsung aja. Katanya itu juga sih.”

“ya kan belum mandi besar, lagian emang agak males juga. Ehehe”

“kok jadi males sih? Biasanya paling rajin”

“Aku dari kemarin nih yah, dzuhur-ashar-maghrib-isya-terus tadi subuh, gak solat. Ih parah banget yah aku. Gara-gara bareng abang mulu kali yah? Ih abang bukannya nyontohin yang baik.”

“gausah nyalahin”



Jam 1 siang, Aku dan Ririn sudah makan, Ririn sudah selesai beres-beres kostan, Aku belum selesai menonton youtube.

“Bang anter pulang” pinta Ririn

“Gak bakal mandi dulu di sini?”

“nanti aja ah di kostan”

“kenapa gak mau mandi di sini?”

“baju dari kemarin. Aku gak bawa salin pakaian dalem lagi”

“ya gapapa mandi dulu aja, nanti nyampe kostan tinggal ganti daleman sama baju”

“enggak ah. Udah gak enak dipake ini juga dalemannya”



Kemudian aku mandi dan bersih-bersih. Saat mandi, terlintas dalam pikiran untuk onani melampiaskan adegan semalam, tapi aku urungkan karena lebih baik setelah mandi aku mesum dulu sama Ririn sebelum mengantarnya pulang. Barangkali bisa penetrasi meskipun cuma di HJ.



Aku keluar dari toilet dengan segar dan bugar. Aku masih memakai celana boxer tapi bukan yang semalam aku pakai. Ririn sedang duduk di lantai sambil bermain ular di HP, punggungnya menyender pada kayu yang menjadi ranjang kasur.

“Hayu atuh geura pake kerudung, siap-siap”

“Bentar, tanggung ini aku hampir sejuta.”

“lah baru hampir. Aku pernah nyampe 3jt 800an”



Karena game ular Ririn tak kunjung mati sedangkan waktu semakin mendekati jam 3 yang mana aku harus mengembalikan kunci kostan Ririn, akhirnya aku mengambil HP Ririn secara tiba-tiba dan menyimpannya di belakang punggungku.

“iiihhh abaaaannggg” Ririn kaget.

Aku hanya ketawa tanpa suara sambil mengangkat alis

“ih padahal udah sejuta itu, bisa lebih sampe sejuta setengah”

Aku masih tidak meresponnya dengan kata-kata

“Nyebelin ih, ayok pulang. Siniin Hpku” kata Ririn.

Aku mengacungkan jari telunjuk, kemudian menyentuh-nyentuhkannya ke pipi kananku sebagai isyarat bahwa aku ingin Ririn mencium pipiku.

“iihh cium mulu dari semalem. Gak bosen apa?” kata Ririn

Aku sempat berfikir iya juga yah. Kok aku doyan banget sih dicium dan cipokan sama Ririn. Tapi emang Ririn menggoda sih buat aku.

Aku berdiri untuk menyimpan HP Ririn di atas meja, di samping laptop. Ririn berdiri setelah aku melakukannya. Saat Ririn berdiri, aku langsung sergap tubuh mungil Ririn, dan aku jatuhkan lagi perlahan di kasur yang sudah dirapihkan Ririn.

Di atas kasur, aku duduk menahan dengan lutut dan ujung telapak kaki bagian depan, pantatku ditopang oleh kedua tumitku. Pinggul Ririn tepat berada di tengah antara paha kanan dan kiri.

“I caught you, little girl” ucapku pada Ririn

“OMG, bad wolf. Somebody help me” Kata Ririn berakting dengan nada orang berteriak tapi suaranya pelan.

Aku mengecup-ngecup, melumat, membasahi leher Ririn yang putih menggoda.

“Jangan dimerahin, bang” ucap Ririn pelan sambil menggerakan kepalanya memberikan ruang agar aku leluasa melakukannya.

“Iya enggak, sayang” ucapku dengan lembut, sambil mengangkat ujung bagian bawah gamis Ririn ke atas perutnya.

Celana dalam Ririn yang digunakannya semalam sudah terlihat, langsung aku menempelkan penisku yang masih tertutup boxer ke atas vagina Ririn yang ditutupi celana dalam.



Sambil aku mengemut telinga Ririn yang polos tanpa anting dan sesekali aku julurkan lidahku ke lubang telinga Ririn, aku menggesek-gesekan penisku perlahan dengan ritme yang konstan.

Ririn merasakan rangsangan yang dahsyat ketika lidahku bergerak-gerak membasahi bagian telinganya.

“mmmmhhhhh……” nafas Ririn mulai terdengar keras.

“fuuuuuhhhhh…..” balasku di dekat telinga ririn sambil aku menghembuskan nafas lembut perlahan ke telinganya.

Tangan Ririn meremas pundakku, mencari apapun yang bisa digenggamnya.

Ririn menggerak-gerakan vaginanya seirama dengan gerakan pinggulku sehingga penis dan vagina Ririn harmonis tergesek-gesek, terasa sangat merangsang jiwa kita berdua.

Aku menempelkan penisku dan berhenti menggerakan pinggangku, tapi pinggang ririn terus bergerak naik-turun, pinggulnya seolah tak bisa berhenti saat aku terus melumat telinganya.

“bhaaa….aaangg”

“aaaa~hhh”
desah Ririn mengeras, gerak pinggulnya seperti kejang menekan penisku.



Tubuhku aku tahan dengan tangan kanan saja, sedang tangan kiriku menggapai vagina Ririn. dan saat aku sentuh tepat di vaginanya, ooohh celana dalamnya basah lagi.

Aku masukan jari-jari tangan kiriku ke dalam celana-dalam, memutar-mutar di area klitoris Ririn

Gerakan pinggul Ririn yang naik-turun semakin cepat sesuai dengan desahannya yang ditahan karena takut ketauan tetangga kostan.

“aa…aaahh

“ah..aahh

“aaa~hh”




Aku tekan dengan cukup kuat jari tengahku agar bisa masuk ke dalam lubang vagina Ririn yang masih sempit

Tak lama ketika jari tengahku benar-benar masuk ke dalam lubangnya, aku gerakan keluar- masuk jariku dengan lebih cepat, semakin cepat gerak jariku, semakin lebar Ririn mengangkang, semakin lebar Ririn menganggkang, semakin kuat dan tak berarah cengkraman dan gerak tangan juga kepalanya.

4x-8x-12x-18x….terus hingga sekitar 25x jari tengahku bergerak cepat keluar-masuk lubang vagina Ririn, Ririn mendesah lebih keras dari desah-desah sebelumnya;

“AAAAAAAHHHHH, bhaaa~annnggg”

Aku menarik keluar jariku dari lubang vagina itu kemudian disusul cairan yang keluar menyiram membuat vagina Ririn, celana-dalam garis-garis berwarna merah pastel, dan Sprei kasur basah.

“Sssshhhh huuuuuhhhh…ssshhh..huuuuuh” Ririn mengatur nafasnya yang pendek dan tak beraturan. Kakinya yang mengangkang mulai diturunkan, menempel ke kasur, berselonjor. Matanya layu, keringat mengucur di lehernya. Tangan yang tadinya bergerak kesana-kemari mencengkram apa yang bisa dicengkram, menggenggam apa yang bisa digenggam, kini terkulai di samping tubuhnya.





Aku berdiri dari kasur, membelakangi Ririn, mengambil HP, dan membaca pesan masuk dari Ina “bang, udah di mana? Ini aku udah ngelewat Gasibu”. Saat aku mengetik untuk membalasnya, terdengar suara Ririn yang letih “Baanngg, kamu harus nikahin aku”.


Bersambung ke Episode 5

 
Terakhir diubah:
Wkwkwk anjirrrrrr alurnya mirip ama ane and gf, apalagi dibikinin nasgor juga donggg....persis bgt kyk ane sama gf.
 
first itu Ada yg terulangI

oh ya, btw .....
super deh gw nikmati banget ss nya, beneran beda dengan Yang lain.
pujian gw ke TS "yur de bes" romantic peting.

and "I lop it"
:mantap: :mantap: :mantap: :mantap: :mantap:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd