PejuangStensil
Semprot Kecil
- Daftar
- 22 Oct 2019
- Post
- 84
- Like diterima
- 1.763
Sepetak Rumah di Tambora Bab 3
Malam itu menghancurkanku. Bang Riko menjadi lebih diam. Pagi itu tatapannya menjadi kosong lalu menatapku sejenak. Aku teringat bau alkohol di mulutnya. Kurasa malam itu Ia sedang mabuk. Tapi apapun itu, mabuk tak akan membuat seseorang menjadi iblis dalam semalam, itu hanya membangkitkan iblis yang ada dalam dirinya. Dendam ku membara, ingin ku adukan perbuatannya. Tetapi melihat kakakku yang begitu senang dengan kehamilannya mengurungkan niatku. Ibuku juga begitu senang menyambut cucu pertamanya. Pada akhirnya perasaan ini kusimpan sendiri, Aku mulai membenci diriku sendiri yang sempat menikmati kejadian semalam. Aku bahkan tak pernah pacaran dan tak pernah main - main dengan lelaki seumur hidupku. Hal yang kulakukan untuk menghormati kesucianku sebagai wanita walau sekarang keperawanan sudah tak begitu berarti. Tapi itu ideologiku, dan itu hancur dalam semalam.
"Maafin abang ya Ta, " Bang Riko memecah keheningan. Angin jalan menerpa samping tubuhku. Aku duduk berjauhan. Jijik rasanya bersentuhan dengan orang yang memperkosaku.
"Lupain, anggep gak pernah kejadian. Jangan pernah diungkit lagi. Jangan ajak gue ngomong lagi," Tegasku.
Itu adalah hal terkahir yang ku ucapkan kepada bang Riko. Selanjutnya Aku tak pernah bicara lagi. Profesionalitasku tetap terjaga, tetapi Aku mulai menjadi lebih tertutup mulai hari itu. Beberapa minggu kemudian Aku jatuh sakit, badanku lemas dan mual. Aku enggan berobat, hanya minum obat yang ku minta beli di warung. Aku takut jika berobat dan menemukan diriku sedang hamil. Itu akan menambah beban stres. Aku akan tes kehamilan jika ku siap. Selama seminggu ini Aku irit bicara, Ibu dan kakakku tak merasakan hal aneh, hanya berpikiran Aku sedang sakit.
Zrrt... Zrrtt... Zrrt... , malam ponsel ku bergetar, di layar tertulis Kak Rindu
"Mak, Shinta angkat telpon dulu ya" masih dengan baju tidur dan kepala pusing, Aku memaksakan diri keluar rumah sebentar mengangkat telpon
"Halo Ta."
"Iya kak, kenapa."
"Gimana keadaan kamu, udah dua hari lho kamu gak masuk."
"Baik kok... Kak."
"Baik apanya, ini aja masih lemes suaranya, terus udah beberapa minggu ini kamu murung banget, "
"Tunggu bentar, Aku udah mau sampe rumah mu nih. Kakak anter berobat ya," Lanjutnya.
"Eh. k.. " Telpon di putus.
Kak Rindu adalah orang keras kepala yang selalu perhatian denganku, Aku sudah seperti adiknya sendiri. Walau Aku juga sering mengobrol dengan kak Bening, tapi Kak Rindu adalah yang paling perhatian. Tak lama motor Scoopy putih datang, ditunggangi sesosok wanita ramping dengan kemeja pink ketat dan celana bahan hitam longgarnya. Ia membuka helmnya dan memburuku. Lalu meminta izin ke Ibu untuk untuk membawaku berobat. Ibu mendukung penuh ide itu, dan kini Aku dipaksa duduk diatas jok motor busa berbalut kulit coklat muda. Tak terasa tahu - tahu sudah di depan sebuah klink. Tak begitu antri jadi Aku mendapat giliran awal.
"Saya periksa ya," dokter wanita itu mulai memeriksaku melalui stetoskopnya. Senter kecil di arahkan kedalam mulutku, matanya sibuk memeriksa, lalu ia mencoret - coret di catatan kecilnya seperti seorang ahli. Kak Rindu fokus menyaksikannya.
"Selama ini apa yang dirasa, bilang aja semua yang kamu rasain sakitnya gimana ?"
"Hmm saya kurang nafsu makan, terus badan kerasa lemes abis itu sering mual dok."
"Hmm sampe muntah gak ?" Ia menulis catatannya lagi.
"Engga dok."
"Batuk pilek ?"
"Engga juga."
Dokter itu lalu menyuruhku berbaring di tempat tidur pasien. Lalu mulai menekan nekan perutku. Lalu ia juga menekan nekan dadaku, tepatnya bagian payudara, Aku merasa tidak nyaman.
"Saya ambil sampel darah kamu ya" Ini keliatan mulai serius. Seorang suster menyuntikku dan mengambil darah, lalu ia membawanya keluar lagi
"Kenapa dok kok tes darah segala" kak Rindu keheranan
"Untuk memastikan aja kok bu, silahkan di tunggu hasilnya sebentar ya diluar. "
Aku menunggu cemas, Aku takut hal itu benar - benar terjadi. Kak Rindu mengelus ngelus pundakku, mencoba menenangkanku. Tak lama namaku dipanggil dan di arahkan masuk ke ruang periksa kembali.
"Iyak, mbaknya selamat yah atas kehamilannya," Dokter mengucapkannya dengan wajah berseri.
Kata - kata itu meruntuhkan duniaku seketika. Kak Rindu menatapku terkejut. Tapi berusaha tetap menenangkanku. Aku tak kuasa menangis. Dokter itu kebingungan.
"Wah selamat yahh," kak Rindu memelukku, berpura - pura bahagia. Hamil di luar nikah adalah hal tabu, bahkan di kota metropolitan Jakarta.
"Iya, jagain adeknya, ini saya resepkan obat ya bu buat adeknya," Dokter itu tak lagi kebingungan. Ia mencoret coret secarik kertas lalu memberinya ke kak Rindu untuk diserahkan kebagian apoteker.
Air mataku tak berhenti keluar seperti air terjun di musim hujan. Tangan kak Rindu sibuk menyeka mataku dengan tisu. Ia melihat tatapanku kosong dan milai merasa khawatir. Setiba di parkiran, tangan kak rindu menampar pipiku bersamaan, cukup kencang untuk membangunkanku. Aku menatapnya, masih diam.
"Ta! Udah. Nih pake helm," Ia memakaikan heln itu ke kepalAku yang menpayudarak pusing
"Pegangan sama Kakak," Motor scoopy itu menembus malam yang terasa semakin dingin menyentuh kulitku.
Kak Rindu memacu motornya kencang. Aku menundukan kepalaku menyandar pada punggung kak Rindu. Aku membasahi penggungnya dengan air mataku. Sekilas ku melihat jalanan yang asing. Bukan ke arah rumahku. Tak lama kak Rindu menghentikan motornya di parkiran sebuah taman yang tak begitu ramai, hanya ada beberapa sejoli yang bermesraan di pojok taman yang tak memikirkan konsekuensi sebuah hubungan setipis benang kapas. Kak Rindu meninggalkanku, lalu tak lama kembali dengan langkah tergesa membawa dua botol air mineral dingin, menyodorkan salah satunya kepadaku.
"Minum dulu Ta" Ia menenggak bagiannya, dan memaksaku meminumnya juga, Aku meminumnya sedikit, meredakan tenggorokanku yang kering karena menangis.
Tatapanku masih terasa kosong, otakku sibuk memikirkan segala kemungkinan yang akan kuambil setelah ini. Kak Rindu hanya diam duduk menyamping di jok depan motor. Ia tak berkata apa - apa, Ia bahkan tak menatapku. Hanya hening.
"Arrrgghhhhh!!!!!!" Keheningan itu pecah karena teriakanku. Kak Rindu tersenyum, Aku juga melihat matanya berkaca. Sejoli sejoli yang dimabuk asmara ditaman itu juga menengok aneh kearahku.
"Maaf kak,"lanjutku, menyadari kelakuan memalukan itu.
"Yaudah yuk, pake helmnya lagi, kita makan dulu sebelum Aku anter kamu pulang," Teriakanku tadi berhasil mengusir pikiran pikiran yang mengganggu, Kak Rindu memacu motornya lagi, lalu memarkirnya di sebuah tempat makan yang sepi pengunjung. Ia memilih tempat di pojokkan dan menyuruhku dudukmembelakangi kasir. Ia memesan beberapa makanan yang tak lama datang. Aku masih tak nafsu makan.
"Udah ilang semua pikiran pikiran kacau nya ?"
"E-eh.. Iya kak"
"Sekarang kasih tau Aku kenapa ?"
Aku menceritakan semua hal yang terjadi yang menyebabkan ku seperti ini. Kak Rindu mendengarkan dengan setia semua detail ceritaku, matanya kembali berkaca, mengutuk pria yang menghamiliku, memberi kata kata penguat. Makanan di depan kita tak tersentuh. Setelah ku menyelesaikan cerita, kak Rindu mengelus rambutku. Rasanya nyaman dan lega.
"Kamu harus kuat yah Ta. Kakak tau beratnya posisi kamu kayak apa. Kamu harus kuat" Ia terus menyeka air mataku, tetapi membiarkan air matanya membasahi pipinya.
".. I-iya kak"
"Terus sekarang gimana ?"
Aku hanya tersenyum, kak Rindu balik tersenyum. Lalu Aku melahap makanan yang dipesankan kak Rindu. Beberapa bulan berikutnya Aku pamit dari rumah, Ibuku melepasku dengan mata berkaca, Kakakku tersenyum duduk lemah sambil menggendong bayinya yang masih merah, disampingnya bang Riko memaksa senyum lalu berusaha menghindari bertatapan denganku. Penampilanku kuubah, Aku memotong rambutku, berhijab dan berharap suatu akan lebih baik untukku mulai sekarang.
[End]
Akan dilanjutkan dengan cerita berbeda