pujangga2000
Tukang Semprot
Cerita ini hanya fiktif belaka, walau nama nama yang tersebut real, namun itu hanyalah pelengkap cerita, murni ini hanya imajinasi penulis, tak ada niat bagi penulis untuk menjelekkan pihak tertentu, cerita ini hanya untuk hiburan semata, tidak menggambarkan fakta sesungguhnya.
Semoga bisa menikmati..
Minyambouw
Semoga bisa menikmati..
Minyambouw
“Kamu jadi mendaftar sebagai relawan ke sana mah?” tanya Dokter Fandi pada istrinya, saat mereka sarapan pagi itu.
“Jadi pah, kalau kata suster theresia namaku sudah dimasukkan dalam manifest ke pihak militer.” Jawab dr frieska.
“Papah gak ngelarang aku kan?” tanya Dokter Frieska.
“Ngelarangpun juga gak bakal pengaruh toh? Aku Cuma khawatir saja, Lihat saja di media, bagaimana situasi disana.” Ucap Dokter Fandi sambil menyeruput kopinya.
Dokter Frieska memandang suami yang sudah dinikahinya selama 15 tahun ini, sebenarnya dia suprise dengan sikap suaminya ini, biasanya suaminya tak peduli dengan apa yang dilakukannya, kok kini tiba-tiba dia peduli?
15 tahun lalu, Dokter Frieska baru saja lulus dari kedokteran, sungguh terkejut saat tiba-tiba ayahnya mengatakan kalau ada salah satu pihak kerabat ayahnya ingin menjadikannya sebagai menantu.
Calon suaminya adalah seorang dokter lulusan luar negeri, putera seorang dokter orthopedi terkenal di negeri ini, siapa yang tak kenal Prof Wijaya? Dia adalah dokter yang sangat dihormati oleh negeri ini, berbagai bintang jasa dari pemerintah telah menjadi koleksinya, dulu dia adalah kepala dokter kepresidenan saat mantan presiden kedua berkuasa.
Singkat kata, Dokter Frieska tak punya kuasa untuk nenolak perjodohan itu, bahkan sebenarnya banyak yang iri dengan keberuntungannya, menjadi bagian keluarga wijaya adalah impian bagi setiap keluarga dokter di negeri ini.
Kepribadian Dokter Frieska dan Suaminya sungguh sangat bertolak belakang, Dokter Frieska adalah pribadi yang supel gemar bertualang, dan spontan, sedangkan suaminya sangat terorganisir, tak pernah ada kata spontan dalam kamus dokter affandi, semua harus terukur dan terencana, bahkan memiliki anakpun mereka telah berencana sejak awal.
Setelah menikah tak ada bulan madu yang romantis bagi pasangan baru itu, pada awalnya Dokter Frieska sungguh tak tahan dengan sikap suaminya, namun lambat laun Dokter Frieska mulai bisa memaklumi dan terbiasa, apalagi dokter affandi dan juga mertuanya telah menepati janji tak akan melarang kegiatan yg disukai oleh Dokter Frieska.
Setahun lalu Dokter Fandi digosipkan memiliki istri muda, yaitu perempuan muda yang selama ini menjadi asisten pribadinya, dan memang itu adalah kenyataan bukan rumor, Dokter Frieska tahu langsung dari suaminya sendiri, dan anehnya tak ada rasa sakit hati atau kecewa di hati Dokter Frieska.
Jika ditanya apakah Dokter Frieska mencintai suaminya, dia pasti akan bingung menjawab, Bertahun-tahun hidup bersama suaminya tak pernah sekalipun suaminya bersikap romantis, walau setiap annyversary atau ulang-tahun mereka masing-masing dirayakan meriah, namun itu hanyalah simbolisme saja untuk menunjukkan ke publik kalau mereka adalah keluarga impian negeri ini.
Sebagai suami istri mereka sudah lama tidak berhubungan seks, bahkan dikamarpun mereka tidur di ranjang masing-masing, satu-satunya alasan mereka tak bercerai adalah Michele Wijaya, putri semata wayang mereka yang beranjak remaja.
Mereka berpikir perceraian akan membuat keluarga mereka menjadi bulan-bulanan media, mereka tahu posisi mereka di negeri ini, kehidupan mereka bukanlah kehidupan keluarga biasa, mereka adalah selebriti yang selama ini menjadi tauladan setiap pasangan suami istri di negara ini, simbol harmonis suatu keluarga, selama ini mereka adalah media darling, sang istri yang aktif di organisasi sosial, dan menjadi relawan nomor satu di berbagai daerah konflik atau bencana, sang suami yang dikenal sebagai salah satu dari sedikit orang Asia yang mampu lulus dengan nilai memuaskan dari sekolah kedokteran Inggris, perceraian akan membuat mereka menjadi musuh utama negeri ini, dan imbasnya akan merugikan bagi perkembangan mental putri mereka.
Ya itulah yang menjadi pertimbangan mereka hingga mampu bertahan selama 15 Tahun hidup dalam ikatan suami istri, namun mereka juga sepakat untuk bercerai saat puteri mereka sudah berkuliah, mereka menganggap saat itu Michelle telah dewasa, dan mampu memahami keadaan yang terjadi pada orangtuanya.
Namun sebulan belakangan ini, Dokter Frieska menyadari ada yang berubah dari suaminya, soal kaku, suaminya masih sekaku kanebo kering, tidak ada sedikitpun yang berubah, namun belakangan suaminya sering marah jika Dokter Frieska pulang larut tanpa memberi kabar, padahal sudah bertahun-tahun Dokter Frieska tidak pernah memberi kabar pada suaminya tentang aktifitas yang dilakukannya, lalu mengapa baru sekarang dia begitu kesal dan marah.
Begitu juga soal keberangkatan Dokter Friska ke Papua sebagai sukarelawan, suaminya itu setiap hari bertanya terus tentang jadi atau tidaknya dia berangkat, sambil memberi beberapa kabar tentang situasi yang mencekam di papua, bahkan belakangan ini seringkali suaminya mengirimkan tautan berita tentang kondisi papua yang kacau melalui pesan Whatsapp.
Bagi Dokter Frieska yang telah berpengalaman sebagai sukarelawan, berita media terkadang terlalu bombastis sehingga kurang valid dengan kondisi sesungguhnya di lapangan, saat dia menjadi relawan di poso, media selalu memberitakan berbagai berita penculikan dari kelompok teroris, namun di lapangan tempat Dokter Frieska bertugas sama sekali tak terjadi apa-apa, kehidupan masyarakat disana normal-normal saja, Dokter Frieska menganggap media menggeneralisir suatu bagian kawasan yang kacau menjadi keseluruhan kawasan.
Perubahan sikap suaminya itu membuat Dokter Frieska bingung, apakah suaminya mulai memperhatikan istrinya ini? Atau apakah dia sudah mulai sayang pada istrinya ini? Hello kemana saja kamu selama ini? Sudah setua ini baru kamu melihat sosok aku?
Tua? Tidak, Dokter Frieska di usianya yang 40 an masih terlihat cantik, penampilannya tak kalah dengan mahasiswi-mahasiswinya di fakultas kedokteran tempatnya mengajar sebagai dosen tidak tetap, sikapnya yang supel membuat kecantikannya glowing bagi orang-orang yang mengenalnya, dimanapun dia berada, aura positif selalu terpancar dari bahasa tubuhnya, tubuhnya ramping proporsional, Dokter Frieska aktif mengikuti zumba, filates dan yoga setiap dua minggu sekali, klinik kecantikan terkenal menjadi langganannya merawat wajah dan kulitnya, sehingga tak heran Dokter Frieska terlihat cantik luar dalam.
Dokter Frieska sangat yakin, tidak sulit bagi wanita manapun untuk mencintai suaminya itu, statusnya sebagai dokter terkenal, kaya raya, wanita mana yang akan menolak? Namun itulah masalahnya, Dokter Frieska tidak tahu apakah dia mencintai suaminya atau tidak, kalau sekedar sayang sudah pasti dia sayang, mustahil tak sayang dengan orang yang sudah hidup bersama dengannya selama 15 tahun.
Perceraian merupakan jalan terbaik bagi keduanya, paling tidak itulah yang dipikirkan Dokter Frieska, dengan perceraian maka suaminya bisa menemukan kebahagiaan yang selama ini tak dia dapatkan darinya. Ya itulah jalan yang terbaik.
***
3 Hari kemudian
Tepat pukul 09.00 pagi, sekumpulan relawan yang akan dikirim ke papua telah berkumpul bersama di sebuah ruangan di kawasan pangkalan Udara TNI AU Halim Perdana kusuma, mereka menunggu kedatangan Kapten Bambang yang akan memberikan briefing terakhir sebelum mereka take off
Tak berapa lama Kapten Bambang datang, pria simpatik itu tampil dengan pakaian loreng yang membuatnya semakin gagah, dengan ramah Kapten Bambang menyapa dan menyalami satu persatu para relawan.
Relawan yang bertugas berjumlah 11 orang, terdiri dari 5 orang perempuan dan 6 orang laki-laki, 4 orang relawan berasal dari Persatuan Gereja Indonesia, dan 7 lainnya berasal dari relawan muslim yang tergabung dalam Mer-C, terlihat harmonisasi dan solidaritas antar agama disana, dan yang lebih uniknya relawan-relawan itu juga mewakili bhineka tunggal Ika semboyan negeri ini, ada Dokter Frieska yang keturunan chinese, suster theresia yang berasal dari ambon, Ratna gadis muda yang mengenakan hijab berasal dari Jawa, Anton pardede pemuda ngocol dari tanah samosir, Markus pemuda NTT, Dalius yang kerap dipanggil buyung anak muda dari solok, lalu Santi dan Rahman dari bandung. Made pemuda Bali yang sangat sopan, Darman pemuda Solo yang pendiam dan yang terakhir ada Sekar gadis periang asal yogya.
Kapten Bambang memberikan briefing tentang kondisi lapangan tempat mereka bertugas, rencananya para relawan itu akan bertugas selama 15 hari, dengan tugas utama melaksanakan kegiatan pengobatan termasuk juga vaksinasi bagi para masyarakat di kawasan terpencil. Kapten Bambang juga memastikan bahwa TNI akan melindungi kegiatan para relawan tersebut selama berada disana, dan tak lupa Kapten Bambang meminta para relawan tidak menelan informasi yang belum valid selama berada disana.
Setelah selesai Briefing, dengan dipimpin oleh Kapten Bambang, rombongan relawan kemudian masuk ke perut pesawat hercules yang akan membawa mereka ke Papua, Rute pertama perjalanan hercules ini menuju Lanud Hasanuddin untuk menjemput satu pleton pasukan yang akan menggantikan pasukan lama di Papua, setelah itu pesawat akan melanjutkan perjalanan ke Lanud Pattimura Ambon untuk mengisi logistik keperluan operasional TNI, Pendaratan terakhir adalah Bandara Domine Eduard Osok, Sorong, Papua Barat.
Para relawan tersebut telah terbiasa dengan kondisi di pesawat hercules, bahkan Anton Pardede langsung aja menggeser sebuah logistik yang bertuliskan makanan sebagai tempat bersender, jangan harap ada kursi empuk di pesawat jenis ini, hanya ada sebuah kursi mirip tandu yang diikat semacam tali, bahkan Kapten Bambang tak sungkan untuk duduk ngemper di lantai pesawat, punggungnya bersender pada sebuah kotak kayu bertuliskan Amunisi, jumlah kru pesawat ini ada 5 orang, dua orang pilot, satu orang teknisi, satu pengarah navigasi atau navigator, dan satu orang lagi adalah load master yang bertugas mengatur arus logistik yang naik-turun pesawat.
***
Seorang pria bertubuh tegap, menggunakan kaos loreng tengah menikmati pemandangan pegunungan Arfak yang begitu indah, pria itu adalah Mayor Pramana Yudha, yang akrab dipanggil Mayor Pram, dia adalah Komandan Satgas Pamrahwan Grup 3 di distrik Menyambouw.
Setiap kali hatinya rindu dengan keluarga di rumah, Mayor Pram selalu pergi ke tempat ini, dengan memandang pegunungan dan danau yang tenang membuat rindu dalam hatinya sedikit terobati, apalagi jaringan komunikasi seluler belum sempurna di tempat ini, sangat sulit baginya menghubungi keluarganya di Solo melalu media seluler.
Sudah hampir 15 bulan dia bertugas disini, selama itu pula dia tak bertemu dengan keluarganya, untung saja selama bertugas tidak ada insiden fatal yang membuatnya terbunuh, para pemberontak sesekali melakukan penyerangan minor yang mudah diatasi, 21 hari lagi masa tugasnya di Papua berakhir, dan pangkat Letkol akan segera terpasang di pundaknya.
Seorang pria berkaos loreng mendekatinya, Mayor Pram menoleh sebentar, pria yang baru datang itu berdiri disamping Mayor Pram, dia adalah Lettu Anton Sihombing,
“Kucari kemana-mana tak tahunya disini rupanya komandan, Pasti lagi kangen dengan yang dirumah ya Ndan.” Ujar Lettu Anton, Mayor Pram tak menjawab, pandangannya tetap lurus ke pegunungan Arfak yang mulai diselimuti kabut.
“Ada apa Ton, kenapa mencari saya.” Tanya Mayor Yudha.
“Mengenai para relawan itu ndan, rasanya awak ni punya usul, bagaimana kita buat penyambutan kecil-kecilan untuk mereka.” Jawab Lettu Anton.
“Ada-ada saja kau ini Ton, apa usulmu, penyambutan macam apa yang mau maksud.” Tanya Mayor Pram.
“Itulah yang awak bingung ndan, ah sudahlah tak perlu kali ya..” jawab Lettu Anton menggaruk kepalanya yang sedikit botak.
“Jam berapa mereka tiba Ton.” Tanya Mayor Yudha lagi.
“Kalau tak ada halangan mungkin jam 4 sore ini mereka sudah tiba.” Jawab Lettu Anton.
“Eh coba Komandan lihat artikel ini, awak bingung, kenapa perempuan secantik ini, kaya raya pulak, kok mau jadi relawan, apa yang dia cari, sungguh bingung awak.” Ucap Lettu Anton sambil menunjukkan sebuah artikel majalah pada Mayor Pram.
Mayor Pram memperhatikan foto Dokter Frieska yang menjadi artikel disana, Mayor Pram juga banyak mendengar cerita tentang dokter satu ini, walau dia tak pernah berjumpa, namun melihat aktivitasnya yang tak biasa, membuat Mayor Pram cukup kagum dengan dokter tersebut.
“Jujur saja Ndan, awak sebenarnya ngefans dengan beliau, bukan hanya karena cantik, tapi itu hatinya sangat baik sekali ndan, dan sekarang awak beruntung bertemu dengan dia sekarang, tak apalah tugas diperpanjang 2 bulan kalau akhirnya bisa bertemu dengan idola hahah..” Kelakar Anton
Mayor Pram tersenyum pada anak buahnya itu, dia menyerahkan artikelnya kembali pada Lettu Anton. “sudah mandi kau Ton? Mau bertemu idola badanmu bau tikus gitu..” ucap Mayor Pram
Lettu Anton langsung mencium kaosnya dan lipatan ketiaknya, “apa ya badanku bau tikus?”
Mayor Pram tertawa dan berjalan kembali ke kendaraannya, dibelakangnya Lettu Anton masih menciumi kaos yang dipakainya, “Tak adalah awak bau tikus, Ndan tunggu apa benar badan awak bau tikus , ndan…” Lettu Anto berlari mengejar komandannya yang telah jauh meninggalkannya.
***
Suara menderu dan terpaan angin kencang dari baling-baling heli MI-17 menemani para relawan itu turun dari heli, mereka menundukkan kepala sambil bergeas menjauhi heli. Di belakang mereka, Kapten Infanteri Bambang, berlari menghampiri Mayor Pram yang telah menunggu kedatangan mereka.
“Lapor, pengantaran dan pengawalan para relawan telah selesai dilaksanakan, laporan selesai.” Kapten Bambang dengan sikap sempurna melapor ke Mayor Pram.
“Kembali ke tempat.” Balas Mayor Pram singkat, Kapten Bambang Mengulang ucapan Mayor Pram, lalu balik badan dan melangkah kedepan, dua langkah kemudian dia kembali menghampiri Mayor Pram.
“Ini Ndan, data para nakes yang datang.” Kapten Bambang memberikan sebuah amplop Coklat pada Mayor Pram.
“Kau kembali ke Jawa Bang?” tanya Mayor Pram.
“Aku ditugaskan ke Timika Ndan, persiapan kedatangan RI 1.” Jawab Kapten Bambang.
“Mau kirim suratkah Ndan?” tanya Kapten Bambang kemudian.
“Ho oh, tak kira sampeyan balik ke Jawa.” Jawab Mayor Pram.
“Sini kubawa, kayaknya grup 4 akan ganti shift, biar kuberikan pada Mayor Budiman suratnya.” Ucap Kapten Bambang.
“Walah iyo toh, oke ini suratnya Bang, jo lali yo..” Mayor Pram memberikan sebuah amplop coklat ke Kapten Bambang, surat untuk keluarganya di rumah.
“86 Ndan, yo wes aku balik dulu Ndan, sudah sore, jarak pandang heli terbatas nanti.” Kapten Bambang memberi hormat pada Mayor Pram, lalu berlari menuju heli yang masih siaga.
Para relawan tadi telah masuk ke dalam markas, mereka diantar ke salah satu ruangan dalam markas, biasanya ruangan itu berfungsi sebagai ruangan briefing satgas grup 3. Beberapa ibu-ibu dari desa setempat membantu menyediakan hidangan dan minuman sederhana sebagai penyambutan para relawan tersebut.
Mayor Pram masuk ke ruangan diikuti Letnan Anton, Mayor Pram duduk di Dekat Suster Theresa dan Dokter Frieska, Letnan Anton juga duduk disana mendampingi komandannya.
“Silahkan dicicipi, maaf kalau terlalu sederhana, mohon dimaklumi ya..” ucap Mayor Pram
“Ah ini juga sudah lebih dari cukup pak, lihat tuh mereka sepertinya kelaparan sekali.” Jawab Suster Theresa sambil tersenyum melihat rekan-rekan relawan begitu lahap menyantap hidangan.
“Silahkan, bapak dan ibu jangan malu-malu ya..” ujar Mayor Pram.pada para nakes.
“Tak mungkin lah awak malu-malu Ndan, yang ada kita-kita ini malah memalukan, tolong dimaklum ya Ndan, sudah berteriak-teriak cacing di perut saya ini sejak tadi.” Sahut si ngocol Anton
Serempak semua tertawa mendengar logat bicara yang lucu dari Anton, ibu-ibu warga lokal ikut tertawa sambil menutup mulutnya.
Suasana di Ruangan itu cukup riuh, para Relawan makan dengan lahap, mereka makan sambil bercerita pengalaman menempuh perjalanan selama 8 jam tadi..
***
“Selamat sore para ibu dan bapak sekalian, suatu kebanggaan bagi kami atas kedatangan bapak-ibu sekalian disini, perkenalkan nama saya adalah Pramana Yudha, saya adalah komandan satgas Pamrahwan grup 3, ini adalah rekan saya Letnan Anton Sihombing, yang berdiri didekat pintu adalah Sersan Rahman, dan ada sekitar 60 orang prajurit TNI disini, yang mungkin nanti bisa bapak-ibu kenalan sendiri.” Sapa Mayor Pram setelah mereka selesai makan.
“Kalau dari CV yang saya terima, ternyata bapak-ibu sekalian sudah berpengalaman menjadi relawan di daerah konflik, jadi rasanya tak perlu panjang lebar menceritakan situasi yang bakalan bapak-ibu hadapi, seperti halnya di daerah konflik, situasi mungkin gak bisa dibilang stabil, walau terlihat tenang, selalu waspada adalah kunci dari keselamatan kita saat bertugas. SOP yang perlu diperhatikan adalah selalu melapor kepada kami jika ada panggilan darurat ke suatu wilayah, jangan pergi sendiri-sendiri, saya yakin semua paham kan.” Lanjut Mayor Pram, terlihat para relawan itu menganggukan kepalanya.
“Untuk Akomodasi, kami telah menyiapkan dua buah rumah bersebelahan, yang berjarak kurang lebih 100 meter dari pusat kesehatan, mohon dimaklumi keadaan Akomodasi pasti gak senyaman di rumah masing-masing, ehhmm…mungkin ada pertanyaan, silahkan, atau mungkin saya akan kasih kesempatan kepada Bu Theresia selaku koordinator untuk memperkenalkan rombongannya, silahkan bu.” Ujar Mayor Pram kepada Suster Theresia.
“Selamat sore, pertama-tama saya selaku koordinator relawan, mengucapkan banyak terima kasih kepada Dan Satgas Mayor Pramana Yudha dan rekan-rekan disini, terutama atas jamuannya yang sungguh lezat, apalagi perut kami sudah kelaparan hehehe.., Walau saya biarawati Gereja, namun kami hadir disini tidak membawa embel-embel Agama, kami murni demi kemanusiaan, kami datang dari berbagai lintas Agama, ada Rekan-rekan dari Palang Merah Mer-C, rekan-rekan nakes dari komunitas gereja, dan juga Rekan-rekan Nakes yang datang dari Departemen Kesehatan, dan untuk akomodasi, jangan khawatir Pak, selama gak kehujanan dan terlindung dari terik matahari, bagi kami sudah lebih dari cukup pak.” Ujar Suster Theresia sambil terus menebarkan senyum simpatiknya.
“Saya akan memperkenalkan singkat para Relawan yang ada di rombongan ini, wanita cantik yang mengenakan kacamata itu adalah Dokter Frieska, yang tadi yang bilang cacing perutnya sudah berdemo namanya Anton Pardede, lalu gadis manis yang mengenakan hijab adalah perawat Ratna, ….” Suster Theresia memperkenalkan satu persatu anggota relawan yang datang bersamanya.
Setelah selesai acara ramah tamah, mereka saling berbincang sejenak, terlihat Anton Pardede sedang berbincang dengan Letnan Anton Sihombing, di dekat mereka, Mayor Pram terlihat menjelaskan sesuatu pada beberapa relawan yang mengelilinginya, Tak lama para rombongan diantar menuju ke tempat akomodasi mereka masing-masing.
“**
Pagi itu, setelah apel dan briefing rutin pagi hari, Mayor Pram bermaksud untuk memantau situasi di pusat kesehatan, dengan mengendarai motor, Mayor Pram menuju ke lokasi Pusat kesehatan yang berjarak 500 meter dari markas.
Mayor Pram melihat, pusat kesehatan itu cukup antusias di datangi warga yang hendak berobat, walau tidak terlalu ramai, namun Mayor Pram terlihat cukup senang dengan antusias warga yang begitu cepat menerima kehadiran para relawan itu, Mayor Pram memperhatikan Dokter Frieska yang sedang memberikan pelayanan kepada seorang Lansia, merasa seseorang memperhatikan, Dokter Frieska menoleh ke arah Mayor Pram, dia mengangguk dan tersenyum pada Mayor Pram, dan dibalas dengan anggukan juga oleh Mayor Pram.
Pagi ini cuaca terlihat cerah, dari laporan prajurit yang memantau pos luar, tidak ada gerakan mencurigakan dari kelompok separatis bersenjata, wilayah ini memang relatif aman dan terkendali jika dibandingkan dengan wilayah lain di bumi papua ini.
Mayor Pram kembali mendatangi bukit untuk melihat gunung Arfak yang indah dengan lapisan salju, 21 hari dari sekarang, Mayor Pram akan pulang bertemu dengan keluarganya yang telah ditinggalkan hampir 2 tahun ini, sungguh 21 hari itu terasa begitu panjang dan lama, oleh sebab itu Mayor Pram rutin mendatangi bukit ini, karena dengan cara ini dia bisa melewati hari-hari yang terasa membosankan.
Mayor Pram mengeluarkan Hpnya berharap keberuntungan mendapat sinyal, namun sepertinya sinyal jaringan seluler tidak stabil kembali.
“Susah ya pak sinyal disini.” Suara merdu seorang wanita mengejutkannya, Mayor Pram menoleh ke arah suara.
“Dokter Frieska? “ Ucap Mayor Pram.
“Maaf kalau saya membuat Pak Mayor Kaget, tadi saya mencari pak Mayor, lalu diantar kesini oleh pak letnan Anton.” Ujar Dokter Frieska tersenyum, sesaat Mayor Pram cukup terpana melihat senyuman manis dokter cantik didepannya ini, faktor kerinduan pada istri yang membuatnya seperti itu.
“Oh, ada apa bu mencari saya?” Tanya Mayor Pram.
“Soal stok obat-obatan di pusat kesehatan sepertinya sudah banyak yang kurang.” Ucap Dokter Frieska.
“Ohh ya bu, nanti siang akan ada kiriman dari pusat bu, mungkin setelah makan siang supply akan tiba.” Ujar Mayor Pram.
“Syukurlah pak, wah..disini indah sekali ya pak, apa bapak sering kesini?” Dokter Frieska mendekati lereng tebing untuk melihat lebih dekat ke pemandangan spektakuler didepannya.
Tiba-tiba tanah yang diinjak Dokter Frieska sedikit longsor, dengan sigap Mayor Pram meraih pinggang dokter cantik itu, kalau saja Mayor Pram tidak sigap, mungkin Dokter Frieska telah terjatuh ke Jurang.
“Ughhh terima Kasih pak..” Ada perasangan hangat menjalar di sekujur tubuh Dokter Frieska saat berada dipelukan Mayor gagah itu, Begitupun Mayor Pram, hatinya bedebar keras saat mencium aroma harum tubuh perempuan yang berada dipelukannya ini.
Ehem…
Suara deheman seseorang mengejutkan mereka berdua, Mayor Pram melepaskan pelukannya dan bersikap salah tingkah. Matanya memandang berusaha menjelaskan apa yang terjadi pada Letnan Anton.
“Saya gak nanya apa-apa kok Ndan.” Ucap Letnan Anton tersenyum pada komandannya yang terlihat merona karena malu.
“Lapor Ndan, di markas ada wikipedia rahasia tiba…” Ucap Letnan Anton sambil memberi hormat.
“wikipedia? Dari Pangkoops? “ Tanya Mayor Pram.
“Siap, Benar Ndan.” Jawab Letnan Anton.
Mereka bertiga kemudian turun menuju markas, Dokter Frieska menumpang di motor Letnan Anton, entahlah apa yang ada dibenak dokter itu memilih untuk di gonceng Oleh Letnan Anton daripada Mayor Pram.’
Mereka mengantar Dokter Frieska hingga di depan Puskes, “Nanti siang kalau stock perlengkapan medis tiba, kami akan drop ke sini dok.” Ujar Mayor Pram, Dokter Frieska hanya tersenyum mengangguk, Kedua tentara itu kemudian memacu motor mereka ke Markas.
***
“Pangkoops meminta kita menyiapkan sepertiga jumlah prajurit disini untuk di drop ke Timika, sebagai bantuan pengamanan kunjungan RI 1, itu isi wikipedianya Ton.” Ucap Mayor Pram.
“Wow sepertiga Ndan, apa karena dianggap daerah ini relatif terkendali jadi mereka meminta pasukan kita? Tapi kita punya tamu sekarang, bagaimana kalau para relawan itu akan mengunjungi desa-desa?” Letnan Anton terlihat tidak senang dengan perintah atasan mereka itu.
“Its an order Elte..suka atau tidak suka kita harus jalani perintah ini, sudahlah soal itu pasti mereka telah mempertimbangkan baik-baik, hanya 3 hari saja, sekarang tugasmu menyiapkan pasukan untuk dikirim ke sana, kabarnya nanti jam 14 kosong-kosong ,heli pengangkut pasukan akan tiba untuk menjemput, sekalian mendrop keperluan medis.” Ucap Mayor Pram kembali.
“Siap Ndan.” Letnan Anton memberi Hormat pada komandannya itu, Lalu Letnan Anton berbalik keluar dari ruangan Mayor Pram, sebelum menutup pintu, Letnan Anton diam memandang Komandannya, “Ndan, be carefull,” sambil menunjuk dadanya sendiri, Mayor Pram hanya terdiam, alisnya terangkat karena tak paham maksud ucapan anak buahnya itu.
Letnan Anton memandang pintu ruangan atasannya itu, 15 bulan bertugas bersama membuat hubungannya dengan Mayor Pram cukup akrab, bagi Letnan Anton, Mayor Pram bukan hanya komandannya, tapi sudah dianggap abangnya sendiri, teringat saat Mayor Pram curhat mengenai keluarganya, Mayor Pram cerita kalau istrinya minta untuk diceraikan, karena tidak tahan setiap saat was-was menunggu kabar buruk mengenai Mayor Pram, Letnan Anton melihat jelas betapa bingungnya perasaan Mayor Pram saat itu, dan kini kejadian saat dibukit membuat Letnan Anton menjadi khawatir, “Hati-hati abangku, jangan sampai kau kebingungan karena perasaan kesepianmu..”
Siang Hari terasa begitu cepat di bumi Papua ini, malam gulita pun semakin cepat menjemput menggantikan hari yang terang, langkah kaki Mayor Pram menghantarkannya kini didepan akomodasi para relawan, dilihatnya rumah panggung yang dihuni para relawan sudah temaram, sepertinya para relawan itu telah pulas memacu mimpi, “Belum tidur pak Mayor.” Suara merdu yang sama terdengar lagi.
Mayor Pramn menoleh, dilihatnya sosok semampai mengenakan jaket kaos berwarna pink tengah berdiri di pintu rumah yang menjadi akomodasi para nakes. “Bu Dokter juga kenapa belum tidur.” Mayor Pram mendekati sosok semampai itu, Mayor Pram duduk di anak tangga di bawah tempat Dokter Frieska berdiri.
“Sebentar pak Mayor.” Dokter Frieska masuk kembali ke rumah, tak lama dia keluar membawa dua buah mug berisi coklat hangat.
“Ini buat hangatin badan.” Mayor Pram menerima mug yang mengeluarkan asap tipis. “Terima Kasih bu.”
Dokter Frieska duduk di samping Mayor Pram, dipandangi wajah tampan maskulin di sampingnya, “Kelihatannya pak Mayor suka sekali menyendiri ya, tadi siang memandangi pegunungan, sekarang jalan-jalan sendiri juga.”
“Benarkah? Mungkin ya kali bu..” Mayor Pram tersenyum, entahlah sejak pertemuannya dengan dokter cantik ini tadi siang, Mayor Pram merasa ingin selalu menemui dokter ini
Malam semakin larut, namun bukan halangan bagi dua orang itu, mereka terlihat asik berbincang, sesekali mereka tertawa bersama, tawa mereka begitu lepas, keakraban mereka sungguh terlihat seolah mereka sudah lama saling mengenal.
Dari Baraknya Letnan Anton menghisap rokoknya dalam-dalam sambil memperhatikan Komandannya yang sedang asik berbincang dengan Dokter Frieska, Letnan Anton tersenyum melihat tawa komandannya itu terdengar lepas, sepertinya kehadiran dokter cantik itu, membuat hati komandannya sedikit terobati.
“Mudah-mudahan Abang, paham apa yang sedang abang lakukan, jangan sampai abang nanti kebingungan dan malah membuat luka baru..” Letnan Anton melemparkan puntung rokoknya ke jalan, dia kemudian masuk ke dalam barak untuk beristirahat.
***
Hari Ketiga para relawan berada di Minyambouw, semuanya hingga saat ini terlihat aman dan terkendali, kunjungan para relawan ke desa-desa untuk memberi pengobatan berjalan aman tanpa gangguan berarti, sepertinya pengurangan sepertiga pasukan tidak terlalu signifikan bagi keamanan yang terkendali di seluruh distrik
Letnan Anton telah berada di balik kemudi jeepnya, dia akan berangkat ke distrik sebelah untuk mengambil stok logistik untuk keperluan pasukan, Letnan Anton berangkat bersama 3 orang prajurit TNI yang akan membantunya mengangkut logistik
Beberapa relawan juga dijadwalkan mengunjungi desa untuk melakukan penyuluhan dan pengobatan kepada masyarakat disana, 5 orang prajurit ditugaskan untuk mengawal para relawan
Dokter Frieska dan relawan yang tersisa bertugas di Puskes, Masyarakat yang mengunjungi puskes memang lebih banyak dari hari sebelumnya, hal itu tak terlepas dari pendekatan yang dilakukan suster Theresia, Masyarakat kini mulai merasa nyaman dan percaya mengunjungi Pusat Kesehatan, tidak ada keluhan penyakit yang serius dari masyarakat yang mendatangi Pusat Kesehatan, hanya keluhan seputar Ispa, gangguan pecernaan, dan beberapa penyakit kulit, Dokter Frieska dengan ramah dan sabar melayani keluhan mereka satu persatu.
Mayor Pram tengah sibuk menerima Laporan rutin dari prajuritnya yang bertugas di pos pengintaian, sama seperti hari sebelumnya tak ada gerakan yang berarti dari kelompok pemberontak bersenjata, melalui jendela kayu ruangannya, Mayor Pram memeperhatikan beberapa prajurit sedang berlaari menjaga kebugaran tubuh mereka, beberapa parjurit lain sedang membersihkan senjata, rutinitas yang setiap hari terjadi di sini, Mayor Pram menatap kalender kecil di mejanya, 19 hari lagi dia akan pulang, namun entahlah, saat ini Mayor Pram berharap hari akan berlalu dengan lambat.
Suara Kopral Yudha melalui Ht di mejanya terdengar ingin bicara dengannya, Mayor Pram mengangkat Htnya, “silahkan Kopral..”
“Ndan ada situasi yang rumit, apa bisa komandan merapat..” Ucap Kopral Yudha
“Dimengerti, saya segera merapat..” sahut Mayor Pram, dirapihkan pakaian seragamnya, Mayor Pram bergegas menuju Pusat Kesehatan.
***
“Ini ndan, bapak itu mengatakan kalau istrinya sedang hamil dan sekarang kondisi istrinya sedang mengkhawatirkan , sejak tadi menurut beliau, istrinya mengeluh dengan keadaan perutnya, dan bu dokter ingin memeriksa keadaan istri bapak ini, cuma kan kita kekurangan personil Ndan untuk mengawal.” Kopral Yudha menjelaskan situasi yang terjadi.
“Saya harus memeriksa ke tempat bapak itu pak mayor, hal seperti ini adalah tujuan saya menjadi relawan.” Ujar Dokter Frieska penuh semangat.
“Ya saya paham bu, tapi keselamatan bu dokter dan para relawan adalah tanggung jawab kami, khususnya saya, dan sekarang kondisi kita sedang kekurangan personil, mungkin nanti saya coba kontak desa terdekat..” Ucap Mayor Pram berusaha menjelaskan pada Dokter Frieska.
“Desa terdekat? setau saya desa terdekat butuh waktu 2 jam ke sana, apakah kita akan membiarkan istri bapak ini menjadi parah atau bahkan meninggal!” Suara Dokter Frieska meninggi.
Mayor Pram mendekati Kopral Yudha, “Apakah orang ini bisa bahasa indonesia?”.
“Negatif Ndan, itu yang bikin saya curiga.” Bisik kopral Yudha.
Mayor Pram memperhatikan sosok pria yang datang meminta pertolongan itu, sekilas penampilannya tak ada yang berbeda dengan kebanyakan warga lokal disini, rupanya pria ini datang bersama dengan seorang pemuda yang lumayan mengerti bahasa indonesia, “Torang hanya mengantar pak tua ini bapak..” Ucap pemuda itu saat melihat tatapan tajam penuh curiga dari Mayor Pram.
“Gimana pak Mayor, kalau pak Mayor tidak bersedia, biar saya saja dan pak Anton Pardede berangkat ke rumah bapak itu, keselamatan dan nyawa saya adalah tanggung jawab saya sendiri pak mayor, bukan tanggung jawab bapak, saya lebih baik mengambil resiko daripada menyesal tak bisa membantu seseorang yang menjadi tugas saya.” Ucap Dokter Frieska menatap tajam Mayor Pram.
Mayor Pram melihat sinar kesungguhan dan perasaan tak gentar dari mata cantik itu, tekad perempuan yang ada di hadapannya ini sungguh kuat, rasanya hanya membuang waktu bagi Mayor Pram menjelaskan segala standar prosedur yang baku kepada dokter yang telah bulat tekadnya itu.
“Bu Dokter ikut saya.” Mayor Pram naik kembali ke sepeda motornya, “Ayo cepat, jangan buang waktu.” Suara Mayor Pram terdengar sedikit membentak kepada Dokter Frieska, walau bingung, Dokter Frieska naik membonceng Mayor Pram, yang segera memacu kendaraannya menuju markas.
Setengah berlari, Dokter Frieska mengikuti langkah cepat Mayor Pram, langkah mereka menuju ruangan perlengkapan, Dokter Frieska dengan bingung hanya mengikuti saja langkah Mayor Pram. Di sebuah ruangan, Mayor Pram mengambil dua buah rompi, yang satu dilemparkannya ke Dokter Frieska, “Pakai itu!” tanpa banyak bicara Dokter Frieska mengenakan rompi itu ditubuhnya, Dokter Frieska tahu ini adalah rompi anti peluru.
Mayor Pram kemudian mendekati Dokter Frieska, kini keduanya saling berhadapan cukup dekat, entah kenapa ada perasaan berdebar di hati Dokter Frieska berhadapan dengan Mayor gagah dihadapannya itu, wajah Dokter Frieska tertunduk sambil mengenakan rompinya tadi, tiba-tiba dia terkejut saat sebuah benda diletakkan di kepalanya, sebuah helm baja tentara dikenakan Mayor Pram di kepala wanita cantik itu.
“Jika kita mau menolong, maka kita perlu persiapan untuk menghadapi situasi yang tak kita inginkan, ini bukan Jakarta bu, ini daerah konflik, walaupun nyawa ibu memang milik ibu, namun negara memberikan saya tugas untuk menjaga nyawa ibu juga, begitu juga perasaan saya..” ucap Mayor Pram sambil mengikat tali pengaman helm.
Dokter Frieska bertambah berdebar hatinya, walau ucapan Mayor Pram tak terlalu jelas terdengar, namun entah kenapa membuatnya sesaat terlena, apalagi saat Mayor Pram membantu mengencangkan tali helm yang dikenakannya, rasanya jantung Dokter Frieska ingin melompat keluar, untuk pertama kalinya Dokter Frieska merasakan sesuatu yang belum pernah dia rasakan, bahkan saat pubernya sekalipun.
“Ayo bu..kenapa malah diam.” Rupanya Dokter Frieska tak menyadari kalau Mayor Pram sudah tak berada di hadapannya, dia menoleh dan melihat Mayor Pram yang terlihat semakin gagah tengah menunggunya, Dokter Frieska menundukkan wajahnya sambil tersenyum tersipu, dia merasakan kehangatan menjalar di setiap pembuluh darahnya, diikutinya langkah pria gagah di depannya itu.
***
“Tunggu 1 jam, jika gak ada kontak dari saya, langsung susul, paham!” Mayor Pram memberikan instruksi kepada Kopral Yudha.
“Siap ndan! Tapi ndan.” Ujar kopral Yudha cemas.
“Nanti jika Letnan Anton pulang, jelaskan situasinya pada dia, mengerti.” Kembali Mayor Pram memberikan instruksi pada anak buahnya itu.
“Ayo Pak!” Seru Mayor Pram pada dua orang lokal yang datang meminta bantuan itu, kedua orang itu segera naik ke motor mereka.
Kopral Yudha memandangi kedua motor yang semakin menjauh, hatinya berdebar keras, perasaan Kopral Yudha sungguh tidak enak dengan situasi ini.
Sementara itu…
Mayor Pram juga memiliki perasaan yang tidak enak dengan situasi ini, dia mencurigai orang yang meminta bantuan tadi, namun di satu sisi dia melihat kesungguhan tekad dari Dokter Frieska, Mayor Pram yakin kalau dokter itu akan berangkat sendiri tanpa dirinya, dan itu malah akan membuat situasi makin kacau.
Dengan waktu yang teramat singkat Mayor Pram harus memutuskan sesuatu, ya dia memilih untuk mengantarkan dokter itu sendirian, mungkin ini merupakan tindakan yang bodoh dan tak masuk akal, tapi sungguh dengan melihat parameter yang ada yaitu kondisi yang relatif stabil, Mayor Pram mengambil perjudian untuk mengantarkan Dokter Frieska sendirian.
Oleh sebab itu, Mayor Pram kembali ke markas untuk mengambil dan memakai peralatan tempur yang ada, entahlah naluri Mayor Pram sebagai tentara menyuruhnya untuk bersiap dengan situasi yang buruk, dan Mayor Pram memutuskan untuk tidak meminta beberapa prajurit ikut mengantarkannya, jika terjadi sesuatu maka dia sendiri yang akan menanggung resikonya, karena ini pihan yang dia harus ambil.
Atau mungkin Hatinya telah terpaut dengan dokter cantik itu, sungguh dia sendiri tidak tahu kenapa dia melakukan ini, atau mungkin kondisi keamanan yang relatif stabil membuat dirinya lengah dan memutuskan melakukan ini, dibalik kemudi motornya, Mayor Pram mulai menyesali keputusannya ini.
Motor yang ditumpangi dua orang lokal itu semakin cepat didepan, Mayor Pram agak keteteran mengikutinya, motor itu terus melaju melewati beberapa rumah penduduk, menuju jalan setapak yang terlihat sepi, hati Mayor Pram mulai berdetak kencang, perasaannya semakin tak enak, jalan setapak ini terlihat semakin dalam menuju hutan, “Kemana motor itu!” Mayor Pram menghentikan motornya, matanya celingukan mencari dua orang lokal tadi yang menghilang.
Samar-samar telinga Mayor Pram mendengar suara riuh motor datang mendekat, “Ada apa pak Mayor?” Tanya Dokter Frieska saat melihat wajah Mayor Pram terlihat tegang.
Mayor Pram meletakkan telunjuk di bibirnya, dia turun dari motor dan membantu Dokter Frieska turun, Mayor Pram mengendap menyelinap ke balik semak yang menjulang tinggi, disana dia mengendap menunggu suara riuh yang terdengar semakin jelas mendekat.
“Ada apa Mas..” tanya Dokter Frieska, Mayor Pram menatap dokter cantik itu, entah kenapa hatinya sedikit berdesir mendengar Dokter Frieska memanggilnya mas, “sepertinya kita dijebak oleh dua orang tadi.” Jawab Mayor Pram setengah berbisik.
“Dijebak?” Tanya Dokter Frieska terkejut, refleks jari telunjuk Mayor Pram menyentuh bibir dokter cantik itu, “jangan bersuara.” Ucap Mayor Pram, Keduanya serentak menoleh, beberapa motor datang mendekat, Mayor Pram mengajak Dokter Frieska untuk sedikit mundur, Mayor Pram perlahan mengambil pistol di pinggangnya, Dokter Frieska menatap Mayor Pram , sedikit terkejut Mayor Pram melihat tak ada raut ketakutan di wajah cantik itu.
Sekitar 9 sampai 10 orang berwajah garang dengan berbagai senjata tajam dan panah turun dari motor, “Dimana mereka, cepat cari mereka!” ucap seorang bertubuh gempal dengan rambut gimbal yang kusut, sepertinya dia adalah pimpinan dari kelompok tersebut.
Mayor Pram menarik tubuh Dokter Frieska hingga telungkup sejajar dengan Tanah, “Tetap tenang, jangan bersuara.” Bisik Mayor Pram lirih, dari tempat persembunyiannya, Mayor Pram melihat salah seorang diantara kelompok itu mendekati posisinya, orang itu mengibaskan parang memotong semak dan semakin mendekat, Mayor Pram membidikkan pistolnya dengan siaga, sesaat kemudian letusan senjata terdengar memekakan telinga, kelompok yang baru datang itu serentak menoleh ke arah suara tembakan, mereka bergegas berlari menuju ke sana, sesosok tubuh tergeletak mengucurkan darah, “Timo..!” ujar salah seorang diantara mereka.
“Bangsat! Lekas cari mereka..” si gimbal pimpinan kelompok itu berteriak menyuruh anak buahnya mencari buruan mereka, “Itu mereka..” salah seorang kemudian menunjuk ke kesuatu arah, terlihat bayangan dua orang berlari menjauhi tempat mereka berada.
Mayor Pram menarik Tangan Dokter Frieska sambil berlari membelah hutan, Mayor Pram sungguh tak tahu kemana arah mereka berlari saat ini, yang dia tahu, bahwa dia harus segera meninggalkan tempat tadi sejauh mungkin.
Suara riuh para orang-orang yang mengejar mereka berdua terdengar menyeramkan, Mayor Pram terus berlari, tiba-tiba tangan Dokter Frieska terlepas dari genggamannya, Dokter Frieska terjatuh tersungkur ditanah, kakinya tersandung akar pohon yang menyembul, Mayor Pram menghentikan larinya, dia bergegas menuju Dokter Frieska yang meringis, “bu dokter!...apa bu dokter baik-baik saja?” tanya Mayor Pram terlihat khawatir, Dokter Frieska tersenyum, “saya gak apa-apa mas, bantu saya berdiri.” Dokter Frieska menjulurkan tangannya ke Mayor Pram.
“Bu dokter yakin? Masih kuat berlari?” Tanya Mayor Pram kembali, Dokter cantik itu mengangguk sambil tersenyum, suara riuh orang-orang yang mengejar mereka semakin terdengar dekat, Mayor Pram kembali berlari sambil memegang tangan Dokter Frieska, baru beberapa saat berlari Dokter Frieska menjerit “Ahhh kakiku mas sakitt..” Mayor Pram menghentikan langkahnya, dilihatnya dokter cantik itu meringis menahan sakit, kaki kiri dokter itu terangkat, kemudian Dokter Frieska terduduk sambil meringis menahan sakit.
“Mas Pram cepat pergi dari sini…cepat mas, mereka semakin dekat, aku tak bisa lagi berlari, cepat mas pergi…ini semua salahku, tinggalkan aku disini mas gak apa-apa..pliss cepat pergi..” suara Dokter Frieska terdengar bergetar menahan sakit dan juga tangis.
Mayor Pram kemudian berjongkok memegang bahu Dokter Frieska, “Jangan konyol, kalau saya meninggalkan bu dokter disini, kenapa juga saya perlu repot mengantar bu dokter dari awal!”
“Jika perlu saya akan menggendong bu Dokter, saya tidak akan kemana-mana tanpa bu dokter paham! Jadi jangan nyuruh saya melakukan hal konyol.” Tiba-tiba telunjuk Mayor Pram diletakkan kembali dibibirnya, Telinganya yang tajam mendengar suara semak-semak diterabas, langkah beberapa orang berlari terdengar semakin dekat, Mayor Pram melihat tak jauh dibelakang posisi Dokter Frieska ada sebuah pohon besar dengan batangnya menjuntai kearah bawah, sepertinya tak jauh dari tempatnya beradam, ada sebuah palung atau ngarai, dengan cepat muncul pemikiran baru dari Mayor Pram. Digesernya ransel punggungnya ke depan, Mayor Pram menatap tajam dokter cantik didepannya.
“Dengarkan perkataan saya baik-baik, jangan membantah, ikuti saja ok, no jangan bertanya, gada waktu untuk itu, sekarang saya akan berbalik, naik segera ke punggung saya, dan selama dipunggung saya, tolong tutup mata bu dokter hingga nanti saya suruh buka kembali, paham!” walau tak paham apa yang dibicarakan pria gagah ini, namun tatapan pria itu sungguh membuat dirinya tak punya keberanian bicara, Dokter Frieska mengangguk.
Mayor Pram jongkok membelakangi Dokter Frieska, langkah-langkah kaki para pemburunya semakin jelas terdengar, dengan bersusah payah Dokter Frieska akhirnya bisa naik kepunggung Mayor Pram, tiba-tiba ketakutan yang mulai menjalar di setiap aliran darahnya berganti menjadi rasa aman dan terlindungi, Dokter Frieska melingkarkan tangannya dengan erat ke pundak Mayor Pram.
“Apapun yang terjadi nanti, percayalah pada saya, jangan pernah lepaskan pegangan bu dokter dari saya, dan saya mohon jangan buka mata hingga saya suruh, paham bu!” bisik Mayor Pram sambil menoleh, dilihatnya kepala Dokter Frieska mengangguk lemah, Mayor Pram melihat ketakutan di raut wajah cantik perempuan yang ada digendongannya ini.
Dengan secepat kilat Mayor Pram bangkit dan berlari, berbarengan dengan kedatangan para pemburunya, salah seorang pemburu itu melihat keberadaan Mayor Pram, “Itu mereka, kejar mereka.”
Salah seorang pemburu itu melepaskan anak panah beracun ke arah tubuh Dokter Frieska bertepatan dengan tindakan nekat Mayor Pram melompat ke dalam ngarai, anak panah itu menggores celana panjang yang dikenakan Dokter Frieska, terdengar jeritan kesakitan dari dokter cantik itu.
Tubuh Mayor Pram dan Dokter Frieska bergulingan turun cepat kebawah, pelukan Dokter Frieska terlepas, tubuhnya terlempar bergulingan didepan Mayor Pram, Ngarai itu teryata cukup dalam dan curam, Mayor Pram menahan sakit dan perih saat bebatuan dan ranting menggores tubuhnya.
Sementara itu
Diatas ngarai, para pemburu melihat kearah bawah, mereka terkejut dengan aksi nekat tentara yang tengah mereka kejar, “Bagaimana bos, apa kita turun juga kesana?” salah seorang diantara mereka bertanya pada si rambut gimbal
“Gila lu..kalo lu mau kejar, sana turun sendiri, sudah kita kembali saja, kita laporkan bahwa mereka telah mati jatuh ke jurang.” Si rambut gimbal melihat kebawah ngarai yang di tumbuhi rerimbunan pohon.
***
Terakhir diubah: