Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

TERLANJUR NYEBUR (TAMAT)

~ TERLANJUR NYEBUR ~

IV - FINAL



Membuat ibunya hamil!

Ya, ide menghamili ibunya sendiri itu samasekali tidak terpikir olehnya. Padahal setiap dia menyetubuhi ibunya, semua air maninya tak ada yang tertumpah sia-sia. Semuanya tertumpah di dalam vagina tembem itu.

Otaknya yang dangkal, cuma bisa berpikiran sederhana. Bahwa air maninya tidak akan bisa membuat hamil ibunya, karena hanya kenikmatan sepihak saja. Mana bbisa hamil? Oleh karenanya, dia tidak khawatir setiap cairan maninya menyembur di dalam vagina ibunya.

Dan pikiran simpelnya itu menjadi buah tertawaan habis-habisan si ‘Oedipus’!

“Bego! Makanya kalo gugling sekali-kali mah tambah wawasan, jangan cuma nyari bokep doang!” kata ‘Oedipus’ diikuti deretan emo terbahak-bahak.

Said cuma bisa nyengir saja.

***

MASA KINI


Bu Ani terduduk lemas di kursi. Ia masih tidak habis pikir, tidak mengerti. Ia hamil oleh siapa?!

Ia masih yakin bahwa klinik itu telah salah diagnosa. Mana mungkin ia bisa hamil, karena merasa yakin seyakin-yakinnya, ia tidak pernah bermain gila dengan laki-laki manapun.

“Masih ga enak badan, Mak? Sini, Said pijitin!” kata Said sambil duduk di samping ibunya.

Bu Ani tersenyum pahit. Kalua saja Said tahu hasil pemeriksaan dari klinik tadi. Mana mungkin anak ini bisa sebaik itu, bisa jadi dia akan meludah jijik. Pikir Bu Ani dengan hati sedih.

Bagaimana ini? Keluh hatinya kebingungan. Tidak menyadari binar Bahagia dari sorot mata Said, anaknya.

Ya, Said tentulah merasa harus bahagia. Siasatnya berhasil. Saran ‘Oedipus’ sukses serratus persen. Tadi di klinik, dirinya mencuri dengar hasil pemeriksaan ibunya! Hampir saja dia berteriak kegirangan. Ibunya sudah menjadi miliknya seutuhnya.

“Ouh, makasih, Nak!” kata Bu Ani sambil memejamkan matanya, merasakan jari-jari anak itu memijat-mijat tengkuknya. Agar lebih enak, Bu Ani menggeser tubuhnya agar Said lebih leluasa memijatnya.

Kalau saja, Bu Ani tidak sedang dalam keadaan kacau pikirannya, tentu ia akan merasakan hembusan panas penuh birahi dari si Anak Mesum itu.

Said merasa tersiksa oleh amukan birahinya sendiri yang tak terlampiaskan. Karena kalua menuruti nafsunya, sudah dari tadi-tadi dia menyerbu untuk mengganyang tubuh montok yang sedang dipijatnya tersebut.

“Mak istirahat deh, minum obatnya. Nanti malam, Said bikinin ramuan herbal yang bagus buat tubuh,” kata Said beberapa saat kemudian.

Bu Ani hanya menjawab dengan anggukan, sambil beranjak menuju ke kamarnya dengan langkah lunglai. Ia merasa sangat lelah sekali. Sementara dari arah belakangnya, Said menatap ayunan pinggulnya sambil menelan ludah. Betapa nikmatnya digoyang pinggul bulat emak. Oh, Mak, kapan Said bisa ngewe emak dalam keadaan sadar dan pasrah? Kata hati Si Mesum.

Said sudah tidak sabar untuk menunggu malam. Dia ingin penisnya segera menengok calon anaknya di rahim emaknya. Kata orang, ngewe perempuan yang sedang hamil muda, nikmatnya berlipat-lipat, begitulah yang dia dengar.

Malam yang ditunggu pun tiba.

Selewat jam 9 malam. Cuaca seakan mendukung keinginan anak durhaka itu untuk menuntaskan angan-anganna. Wilayah tempat Said dan emaknya mengontrak diterpa hujan badai. Membuat aktivitas di daerah itu seakan terhenti. Semuanya memilih untuk berada di dalam rumah. Praktis, begitu jam menunjukkan pukul 10 malam. Suasana sudah sangat sepi, kecuali, sesekali ada motor yang melintas di gang tempat kontrakan Said. Hanya petir dan geledek yang memekakkan telinga, berdentum saling susul-menyusul.

Ramuan herbal yang dijanjikan Said terhidang dalam cangkir muk besar. Masih mengepulkan uap panas. Sementara Said, sembari menunggu emaknya menghabiskan ramuan bercampur obat biusnya, dia ke kamar mandi, berlama-lama di sana.

Ada satu hal yang Said tidak ketahui.

Tubuh manusia secara alami selalu beradaptasi dengan kebiasaan segala hal yang masuk ke tubuhnya. Begitu juga dengan Bu Ani. Setahun dicekoki obat bius, lama kelamaan tubuhnya membangun kekebalannya sendiri. Sehingga dosis yang biasanya 2 tetes saja bisa membuat manusia tidak sadar selama 4 jam. Perlahan-lahan durasinya terkikis. Mungkin sekarang, Bu Ani bisa pulih kembali kesadarannya bisa dalam waktu kurang dari 2 jam saja!

Ramuan di muk besar itu baru 3 tegukan ketika tanpa sengaja, saat meletakkan cangkir tersebut di meja kecil, tersenggol sikunya ketika hendak meraih remote televisi. Muk itu terguling menumpahkan semua cairannya. Untung hanya terguling di meja tanpa jatuh. Kalau sampai jatuh ke lantai, tentulah suaranya akan sampai ke kamar mandi. Dimana Said sedang melamun sambil berak.

Dengan sedikit umpatan sekedarnya, Bu Ani bangkit mengambil lap. Membersihkan cairan yang tumpah. Selesai melap dan mengepel lantai. Kepalanya makin terasa pusing. Mungkin karena bawaan badannya yang sedang tidak fit. Lalu, setelah meletakkan muk itu kembali di meja. Dengan langkah sedikit terhuyung, Bu Ani masuk ke dalam kamar. Membaringkan tubuhnya di atas kasur, mencoba untuk mengistirahatkan matanya.

Rasanya baru sekejap ia terlelap. Entah kenapa, dalam buaian mimpinya, tiba-tiba ia mendapati dirinya tengah diamuk birahi. Dalam mimpi yang seakan sangat nyata itu. Ia merasakan sentuhan-sentuhan erotis di semua bagian sensitifnya. Merasakan vaginanya penuh sesak oleh sebatang tongkat pejal, sementara di bagian dadanya ia merasakan remasan sangat kuat, yang membuat dirinya seakan melayang-layang dalam awan nafsu yang membadai.belum termasuk gigitan-gigitan panas di tengkuk dan pundaknya.

“Enghhsh, Akaaang …,” Bu Ani merintih dalam lelapnya.

Mendadak, ia merasakan serbuan birahi dari, Arsyad – suaminya yang dipikirnya tengah menyetubuhinya – berhenti! Tubuh berkeringat yang tengah mendekap erat dari belakangnya itu seperti tersentak.

“Akaaang …,” Bu Ani merengek manja. Pinggulnya mengayun lembut namun penuh tekanan, menguatkan otot-otot vaginanya agar bisa mencengkram batang pejal tersebut, ingin merasakan gesekan-gesekan panas dari penis suaminya itu yang dirasakannya kini lebih luar biasa. Lebih dari biasanya.

Penis pejal itu dirasakannya berdenyut-denyut keras. Dinding vaginanya terasa geli dan ngilu tak tertahankan. Bu Ani merintih dan mengerang. Vagina berkedut tak tertahankan. Dan akhirnya jebol juga.

Tubuh molek yang sudah berkeringat itu mengejang. Otot perutnya terasa kaku, menahan semburan dahsyat dari rahimnya. Dan batang pejal yang tadi berdenyut-denyut itu pun terasa menyemburkan cairan birahi yang panas.

“Hrrrhsh!” terasa dengus panas dari arah belakangnya. Berhembus ke kupingnya.

Bu Ani yang sudah orgasme. Pikirannya menjadi terang. Dengusan itu jelas bukan dengusan Arsyad, suaminya.

Dengusan siapa?

Dengan cepat ia menoleh.

Ada seraut wajah lelah namun penuh rasa puas. Begitu dekat, sehingga deru napasnya terasa menghembus hangat ke wajahnya. Seraut wajah yang sangat dikenalnya.

“Said?” jerit Bu Ani dengan mata terbelalak. Jantungnya serasa berhenti berdetak mendadak.

Said! Si Anak Mesum. Melonjak kaget. Penisnya yang masih tenggelam di dalam vagina ibunya, tercabut. Lelehan lahar panas, mengalir dari lubang vagina yang sedikit terbuka tersebut.

Dua tubuh tersentak. Yang satu meloncat dari atas tempat tidur, berdiri gemetaran di samping ranjang. Yang satu menarik seprai kemudian meringkuk. Sama-sama pucat, sama-sama gemetar!

“A-apa-apaan kk-kamu?” jerit Bu Ani terbata-bata.

Said menunduk. Kakinya terasa lemas. Dia terhuyung ke belakang, tertahan oleh dinding kamar.

“Tega kamu! Anak gila! Anak laknat! Jadi … jadi, selama ini? Ya Tuhaaan, Gustiii!” Bu Ani menjerit-jerit dengan hati sangat kecewa. Untunglah, jeritannya tertutupi oleh suara gelegar guntur dari hujan badai di luar sana.

Kalau saja boleh memilih, saat itu Bu Ani ingin rasanya semaput, atau tidak sadar saja sekalian seperti yang lalu-lalu. Agar dirinya tidak mengetahui perbuatan bejat anaknya ini.

Tapi apa mau dikata. Dirinya hanya bisa meringkuk gemetar dari balik seprai untuk menutupi tubuhnya. Menangis terisak-isak.

Said mati kutu! Dan sialnya, penisnya seakan tidak tahu keadaan. Malah kembali kaku tegak dengan perkasa.

“Mm-mak…,” Said mencoba berbicara sambil tangannya mencoba menutupi penis kurang ajarnya.

“Pergi kamu! Pergiiii, Setaaan!” jerit Bu Ani kembali sambil menangis.

Diusir ibunya, Said setengah berlari keluar kamar. Masuk ke dalam kamarnya dengan pikiran kusut.

Sialan! Kenapa emaknya bisa tersadar secepat itu? Rasanya belum lama, perhitungannya baru kurang dari 1 jam, kata Said dengan pikiran bingung tidak mengerti.

Tadi, dia seperti biasanya ketika ingin menyetubuhi ibunya. Melepaskan seluruh pakaian tidurnya, kemudian mengelus, menjilat, mengusap sekujur tubuh molek itu. Bahkan, karena tahu bahwa ibunya tengah hamil, agak lama mulutnya bermain-main di vagina gemuk itu.

Baru teringat olehnya. Ketika lidahnya mengeskplor ke dalam lubangnya, terasa ada kedutan, tidak pasif seperti yang lalu-lalu, dan juga vagina itu cepat sekali menjadi basah. Dan … ah yaaa. Dia sempet sayup-sayup mendengar rintihan. Diabaikannya suara tersebut karena disangkanya hanya berupa fantasinya saja.

Pikiran Said makin terbuka. Ketika penisnya menyodok ke dalam vagina ibunya itu, dia merasakan sensasi lebih dari biasanya. Penisnya serasa dicengkram ketat sekali. Dinding-dinding vagina itu seperti menghisap dan memijit penisnya. Tidak pasif seperti biasanya. Dan … dan tubuh montok ibunya itu seperti bereaksi ketika penisnya tenggelam ditelan vaginanya. Seperti mengejang dan mengikuti ritme genjotannya.

Sialan! Sialan!

Said mengeplak jidatnya berkali-kali.

Hanya karena dia dibuai pengalaman nikmat baru sehingga otaknya tidak berpikir lebih jauh. Dia benar-benar dibuai oleh legitnya goyangan pinggul ibunya sampai lupa daratan. Sekilas dia merasa keanehan tersebut, hanya karena merasa bahwa itu adalah kenikmatan dari menyetubuhi Wanita hamil, maka kembali keanehan tersebut diabaikannya.

Lalu apa yang harus dilakukannya sekarang? Dia sudah tertangkap basah! Rasa takut dan malu, berkecamuk di otaknya. Masih dalam keadaan telanjang. Anak itu duduk di pinggir kasur di kamarnya sambil memeluk lutut.

Sementara itu, di dalam kamar yang lain. Di atas tempat tidur. Bu Ani menangis menggerung-gerung. Sakit hati, sedih, bingung, kaget dan semua rasa ditumpahkannya menjadi tangisan.

Ia hamil! Oleh Said?! Lalu bagaimana? Apa kata orang-orang?

Tubuh molek di dalam selimut itu gemetar hebat.

Hujan badai di luar sana, persis seperti yang ada di dalam hati Bu Ani sekarang. Ia seakan merasakan kiamat. Begitu gelap dan mengerikan.

“M-mak … Mak, maafin Said!”

Sayup-sayup ia mendengar suara anaknya.

Bu Ani melihat ke arah suara tersebut!

Said berdiri dengan wajah tertunduk.

“Pergi kau anak laknat! Pergi! Pergiiii!” teriak Bu Ani dengan suara penuh kebencian. Tangannya meraih apa saja yang dapat dijangkaunya. Dilemparkannya ke arah Said yang tidak menghindar samasekali.

Bletak! Prang!

Sebuah benda pecah belah melayang ke jidat Said. Hasilnya, jidatnya sobek mengucurkan darah. Tapi anak itu seperti tidak merasakannya. Tetap tertunduk lesu.

“Mak, ampuuun, Mak! Maafkan Said!” gumamnya dengan suara hampir tidak terdengar.

Bu Ani tersedu-sedu menutup mukanya. Bantal, guling, dan pecahan beling berserakan di lantai.

“Pergi kamu! Pergi!” teriak Bu Ani disela isaknya.

“Maafin Said, Mak! Tapi … tapi semuanya sudah terlanjur! Said … Said siap bertanggung jawab!” kata anak itu sesaat kemudian. Mengumpulkan keberaniannya.

Mata lentik yang basah oleh air mata itu terbelalak, “Anak gila! Tanggung jawab apa? Aku akan gugurkan anak jadah ini!” serunya sambil kembali terguguk dengan hati sakit, “pergi! Jangan pernah kemari lagi!”

Mata Bu Ani mendadak terbeliak buas. Seakan kesurupan, tubuhnya yang masih telanjang itu melompat menerjang. Jelaslah bahwa, saking kusutnya pikiran dan hati perempuan ini dengan kenyataan menyakitkan. Membuatnya mendadak hilang kewarasannya!

Said yang tidak menyangka akan diterjang ibunya, terjengkang.

Bu Ani berteriak-teriak seperti kesetanan, memukul, mencakar anaknya itu.

Tubuh keduanya bergumul seru.

Tapi tidak lama, beberapa saar kemudian. Tubuh montok tanpa tertutupi sehelai benang itu pun terkulai lemas. Pingsan di atas tubuh Said.

Dengan napas terengah-engah menahan berbagai perasaan, Said bangkit. dengan susah payah, membaringkan tubuh emaknya itu kembali ke atas kasur. Lupa akan jidatnya yang bocor, dia merapihkan kembali kamar orangtuanya yang seperti kapal pecah itu ke keadaan semula.

Lalu setelahnya, dia kembali memakaikan pakaian tidur emaknya itu, diselimutinya dengan penuh kasih sayang. Kemudian duduk melamun dengan hati bingung. Berharap, emaknya bangun dan lupa kejadian barusan.

Menjelang subuh. Hujan badai sudah berhenti.

Mendadak, tubuh Bu Ani menggeliat.

“Air … minum … haus,” bisik Bu Ani dengan suara lemah. Tangannya menggapai-gapai.

Said terlonjak kaget. Dengan buru-buru dia kelaur kamar, masuk lagi dengan membawa segelas air putih. Segera diminumkannya ke ibunya itu.

“Kamu siapa?” Bu Ani bertanya ke Said yang terbengong-bengong.

“I-ini … ini Said, Mak!” sahut Said bingung.

“Said? Kenapa kau masih di sini anak setan!” bentak Bu Ani tiba-tiba. Matanya melotot namun kosong. “Said siapa?” lanjutnya dengan kata-kata tidak jelas.

Mulut anak itu ternganga tanpa bisa berkata-kata.

“Mak … Mak! Sadar!” Said meraih tangan ibunya dengan suara khawatir.

“Hi hi hi …,” Bu Ani malah tertawa-tawa. Merenggut tangannya kemudian:

“Plak!”

Menampar pipi Said yang masih melongo.

Jelas. Otak Bu Ani sudah terganggu. Kejadian semalam telah membuat hati dan pikirannya tergoncang hebat.

Said meloncat berdiri. Bingung dan takut. Tingkah laku ibunya menjadi aneh.

*​

Begitulah yang terjadi kemudian. Bu Ani hilang akalnya. Untunglah Said bisa berpikir cepat.

Dua hari kemudian, dengan beralasan bahwa Bu Ani sakit kepada para tetangganya yang bertanya-tanya. Said pamit hendak membawa ibunya itu beristirahat ke kampung halamannya. Saran tetangga agar Bu Ani dirawat di rumah sakit, ditolak Said dengan alas an bahwa saran dari dokter, Bu Ani harus beristirahat di tempat yang tenang.

Hari ke tiga. Di malam yang sunyi. Diam-diam Said menyewa mobil untuk membawa ibunya pergi ke Garut. Dia sudah mempunyai tujuan yang pasti.

Tujuan setelah mendapat petunjuk dari karibnya si ‘Oedipus’ itu.

Si ‘Oedipus’ itu ternyata orang berada. Dia mempunyai villa pribadi di daerah Karacak. Dengan baik hati, dia menyuruh Said untuk menempati vila tersebut yang memang tidak ada yang mengurus. Said dipersilahkan untuk tinggal di sebuah pondok yang menjadi bagian dari vila tersebut.

Pondok tersebut merupakan pondok panggung sederhana dari kayu jati. Mempunyai dua kamar serta sudah ada perabotannya. Sungguh tempat yang sempurna sebagai tempat tetirah.

Tidak terasa, sudah 2 bulan Said tinggal di pondok vila tersebut. Sesuai arahan si ‘Oedipus’, Said bekerja menjadi pengurus vila. Pernah sekali ‘Oedipus’ itu datant berkunjung. Sendirian, membawa mobil Alphard.

Baru kali itu mereka bersua. ‘Oedipus’ itu bernama Andrian. Seorang pemuda gagah dan tampan juga sudah barang tentu orang kaya. Dan si Andrian ini sangat baik sekali dan royal. Bukan main rasa terima kasih Said terhadap sahabatnya ini. Bahkan Andrian, menghubungkan Said ke seorang ahli jiwa untuk berkonsultasi tentang penyakit Bu Ani, yang tentulah, segala biayanya ditanggung Andiran sendiri.

Bu Ani, sesungguhnya tidak hilang akal sepenuhnya. Kadang-kadang, di saat-saat tertentu ia tersadar. Dan di saar sadar itulah, ia hanya bisa menangis meratapi nasibnya. Namun saat kambuh, ia hanya terdiam dengan tatapan kosong.

Dan di saat-saat sadar, Said berusaha sebaik mungkin membuat nyaman ibunya. Dia khawatir akan anaknya yang dikandung ibunya itu.

Saat usia kandungan Bu Ani sudah menginjak bulan ke tujuh. Perutnya sudah membuncit besar. Di suatu pagi. Seperti biasa, Bu Ani sedang duduk di sebuah kursi di halaman pondok kayu sambil berjemur. Ditemani Said yang sedang menganyam sebuah kerai dari bambu. Suasana sejuk dan hangat, membuat pikiran perempuan itu menjadi jernih.

Diam-diam, ia mengawasi Said yang tengah asik menganyam bambu.

“Said …,” pangggil Bu Ani dengan suara ragu-ragu.

“Mak …,” sahut Said menoleh dengan cepat.

Bu Ani menangkap sorot mata penuh cinta dari anak itu. Membuat tengkuknya terasa dingin seperti diguyur air.

Bu Ani melengos, mengalihkan pandangannya ke hutan lebat yang mengelilingi vila itu.

Said menghela napas sedih. Di suasana pegunungan yang terdengar hanya suara burung-burung, helaan napas Said jelas terdengar oleh Bu Ani.

“Said …,” panggil Bu Ani kembali.

Said menoleh, menatap wajah ibunya.

Dan oh, dia sangat terpesona oleh wajah ibunya saat itu.

Wajah bulat yang beberapa bulan yang lalu itu masih pucat, kurus dan hampa itu. Tanpa disadarinya, dalam perawatannya yang penuh kasih sayang, kini kembali berisi. Pipi yang kemerah-merahan disertai mata bersinar lembut dengan bulu mata yang lentik itu, termasuk bibir yang merah basah alami. Sedikit tersenyum.

Said beringsut mendekat.

“Jangan mendekat! Di situ saja!” kata Bu Ani sedikit berseru dengan nada tajam.

Said berhenti. Terduduk di halaman dengan wajah sedih.

Kesedihan yang terbaca oleh ibunya. Hatinya yang pada dasarnya memang lemah lembut, sedikit terhanyut. Betapa ia teringat, kasih sayang anak itu selama merawatnya beberapa bulan berlalu.

“Kamu … kamu kenapa tega sama emak, Nak,” kata bu Ani kemudian dengan mata berkaca-kaca.

Said mengangkat wajahnya, menatap wajah emaknya dengan penuh rasa cinta.

“Karena Said sayang sama emak, Said cinta emak,” kata Said dengan suara tegas.

“Tapi bukan … bukan begitu caranya, Nak,” kata Bu Ani tersedu-sedu. “Bagaimana kalua ayahmu tau?”

Said nekat beringsut maju, meraih tangan ibunya yang sedikit meronta lemah, namun Said sudah bertekad untuk membuat ibunya mengerti akan perasaannya.

“Said tau salah dan berdosa, Mak. Tapi Said tidak mampu bertahan. Said tidak tahan. Apalagi setelah Said tau bapak telah menghianati emak!”

“A-apa maksudmu?” seru Bu Ani sambil menarik tangannya dari genggaman Said.

“Emak tentu tidak tau karena memang Said tidak bilang. Setahun yang lalu, bapak sudah nikah lagi dengan si Emi, TKI yang menjadi pembantu di rumah majikan bapak!”

“Bohong! Dusta kamu!” bentak Bu Ani dengan hati marah.

“Mana Said berdusta, Mak. Said mendapat kabar waktu menelepon Pak Rahmat temannya bapak yang bekerja di sana, Mak tentu ingat, 2 bulan bapak tidak mengirim kita uang. Dan bapak tidak bisa dihubungi, terpaksa Said menelepon Pak Rahmat. Kabar itulah yang Said dengar!” kata Said dengan berapi-api.

Bu Ani menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan anaknya itu. Hatinya kembali tergoncang. Namun entah kenapa, peristiwa tersebut tidak mengganggu kewarasannya.

“Duh, Gustiii! Kenapa hamba mengalami kejadian seperti ini. Apa dosa hamba, Gustiii!” kata Bu Ani dengan suara sangat sedih.

Said kembali meraih tangan ibunya, “tenang, Mak. Ada Said, Said mencintai emak dengan sepenuh hati!”

“Tidak, Nak! Tidak boleh! Berdosa!” kata Bu Ani dengan suara lemah.

“Apanya yang salah dan tidak boleh? Apa hanya karena Said lahir dari rahim emak? Said tidak peduli. Said hanya ingin hidup Bersama emak!”

“Kenapa harus emak, Said? Banyak perempuan lain. Tidak boleh sama ibu sendiri!”

“Entahlah, Mak. Said tidak tau. Yang Said tau pasti, Sadi cinta emak. Demi cinta Said ke emak, Said sampai nekad itu … euh, anu … Mak,” kata Said dengan wajah sedikit malu.

Wajah Bu Ani sedikit kemerahan, “ itu dosa besar, Said!” gumamnya.

“Masa bodoh dengan dosa! Sekarang Said sudah sangat bahagia bisa merawat dan melayani emak tanpa takut ketauan orang lain. Tapi walau pun ketauan, demi emak, Said akan menghadapi resikonya!” ujar Said tegas.

“Kamu gila, Nak!” bisik Bu Ani sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak apa-apa. Said memang gila, tergila-gila sama emak!”

“Dasar!” Bu Ani sedikit tersenyum di saat matanya berkaca-kaca.

“Namun apa kata orang nanti! Lalu anak yang kukandung ini?” Bu Ani melihat kea rah perutnya yang menggembung besar. Merasakan Gerakan halus di dlamanya.

“Itu anak Said, Mak! Anak kita,” ujar Said dengan lembut, tangannya yang menggenggam tangan ibunya diletakan dengan hati-hati di perut itu, keduanya merasakan Gerakan halus. Kemudian mereka berpandangan. Said tersenyum bahagia, sementara Bu Ani membuang pandangannya ke arah lain dengan malu-malu.

“Di tempat ini tidak ada yang tau status kita, Mak. Ke orang-orang yang di sekitar vila ini, Mak sudah saya akui sebagai istri Said,” lanjutnya dengan percaya diri.

“Dasar anak sedeng!” Bu Ani reflek mencubit telapak tangan Said yang masih menggenggamnya.

“Said Cuma memohon agar emak memberi waktu ke Said. Waktu yang akan menunjukan bahwa Said benar-benar sayang dan cinta emak!” kata Said sambil menarik tangan Bu Ani ke dadanya.

“Tapi … tapi, yang punya vila ini bagaimana kalau tau status kita, Nak?”

“Beliau tau, Mak!”

“Hah? Kita tidak diusir?” seru Bu Ani dengan mata terbelalak.

“Tidak mungkin. Karena beliau juga seperti kita, Mak,” sahut Said tersenyum.

“Maksudmu?”

“Beliau juga sama kaya Said. Beliau sudah menikahi mamanya sendiri!”

“Astagfirulloh!” Bu Ani berseru sambil menutup mulutnya dengan mata terbelalak tidak percaya.

“Iya, Mak! Kita berada di sini juga karena bantuan beliau,” Said menganggukan kepalanya, meyakinkan.

“Sungguh gila! Kalian …ah, entahlah. Mak bingung!” kata Bu Ani kemudian. Ia telah kehabisan kata-kata dan tidak habis pikir oleh peristiwa aneh yang bahkan pernah terlintas di pikirannya yang paling liar pun tidak pernah terpikir ada kejadian seperti ini.

“Tidak apa-apa, Mak. Yang penting Said sudah lega sekarang. Sangat bahagia melihat emak sudah kembali ke kondisi seperti dulu. Mak tidak usah berpikiran macam-macam. Demi anak … demi anak kita!” kata Said dengan suara bahagia.

Bu Ani hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung.

*​

Waktu terus berlalu. Said makin mencurahkan segala kasih sayangnya yang sudah tidak terhalang oleh Batasan apa pun kepada ibunya sendiri. Bu Ani perlahan-lahan mulai menerima semua kejadian yang menimpa dirinya dengan pasrah.

Hingga pada suatu ketika. Andrian, si pemilik vila, datang menjenguk sambil membawa ibunya yang sekaligus sudah diperistrinya.

Bu Astri Namanya. Cantik jelita dan ramah. Sekilas terlihat serasi dengan Andrian. Usia yang sesungguhnya tidak terlihat di penampilan perempuan cantik itu. Setidaknya orang menyangka adik kakak terhadap mereka.

Saat bertemu, hampir saja Bu Ani kabur bersembunyi karena malu. Namun pengertian yang diberikan oleh Bu Astri seakan membuka kebebasan berpikirnya. Walau pun, otaknya yang dari dulu memang dicekoki oleh omong kosong moral tetap tidak mampu menerima kejadian abnormal tersebut.

“Besok, akan kusuruh orang mengantarkan mobil kolbak kemari. Kalau-kalau nanti ibumu …eh, istrimu sudah siap melahirkan, kamu tidak repot-repot mencari kendaraan lain!” kata Andrian sambil tersenyum simpul, melihat Bu Ani menundukkan wajahnya dengan malu sekali.

“Terima kasih, Andri! Entah bagaimana aku membalas semua kebaikanmu ini,” sahut Said dengan gembira.

“Tidak usah basa-basi. Balasannya cukuplah kamu bantu mengurus vila ini sebaik-baiknya, ha-ha-ha,” sahut Andrian tertawa terbahak-bahak.

*​

Selama berbulan-bulan tinggal di pondok tersebut. Tidak sekali pun Said memperlihatkan sikap kurang ajar kepada ibunya. Bahkan tidur pun masing-masing menempati kamar berlainan di pondok itu. Membuat Bu Ani tenang dan berterima kasih. Sebelumnya ia takut bahwa Said kembali akan berusaha melakukan hal-hal bejat, seperti yang diakui anak itu ketika didesak cara bagaimana anak itu bisa berbuat tak senonoh tanpa diketahuinya. Anak itu dengan jujur menggunakan obat bius. Pengakuan yang membuat Said mendapat ganjaran di gampar bolak-balik oleh ibunya itu.

Di bulan Februari. Bu Ani dibantu oleh dukun beranak setempat, telah melahirkan seorang bayi perempuan yang lucu dan montok melalui persalinan normal. Anak itu dinamai Maya Febrianti (Maya = sedikit mengingatkan akan cerbung berjudul ‘Ancama yang Sempurna’ – he he)

Andrian dan Bu Astri datang menengok dengan membawa beberapa hadiah.

Bu Ani yang sudah sembuh seutuhnya dari sakit jiwanya yang memang tidak parah. Mempunyai kesibukan baru. Mengurus bayinya, anak sekaligus cucu. Sebutan yang membuatnya bingung sendiri, yang buat Said sendiri kadang menjadi candaan yang membuat dirinya jadi sasaran cubitan dari ibunya itu.

Pada suatu malam. Hujan badai disertai petir melanda tempat itu.

“Said! Said!” terdengar seruan dari Bu Ani dari kamarnya.

Said bergegas masuk ke dalam kamar.

“Mak takut! Maya juga gelisah!” kata Bu Ani dengan wajah pucat.

Said segera mengambil Maya dari keranjang bayi, hadiah dari Andrian. Menggendongnya sambil bernyanyi kacau.

Mendengar nyanyian Said, Bu Ani dalam ketakutannya oleh suara gelegar guntur sampai tertawa geli.

“Maya sepertinya lebih baik mendengar suara guntur daripada mendengar nyanyianmu,” kata Bu Ani tertawa.

Said nyengir sambil duduk di tepi pembaringan di samping Bu Ani yang segera mengambil Maya yang tengah merengek-rengek dari gendongan Said.

Ia segera membuka kancing atasannya, menarik payudaranya memberikan putting untuk Maya menetek. Mata Said mengerjap silau.

“Hmmm, matamu nakal,” Bu Ani melirik sambil mencibirkan bibirnya.

“Mmm … mmm,” sahut Said dengan suara tidak jelas. Tapi dia segera menormalkan hatinya yang sempat bergejolak melihat sembulan sekal tersebut.

Cukup mengagumkan ketahanan dari pemuda itu. Berbulanb-bulan sanggup menahan Hasrat birahinya terhadap ibunya itu. Padahal, pada saat ibunya sedang sakit jiwa, kesempatan menyetubuhi ibunya terbuka lebar. Namun entah kenapa, dia tidak ingin memanfaatkan kesempatan tersebut. Mungkin dikarenakan rasa bersalah dan rasa cintanya yang sanggup menekan birahinya.

Takut dirinya tidak kuat. Said berdiri.

“Mau kemana?” tanya Bu Ani.

“Said keluar dulu, Mak. Takut anu …,” sahut pemuda itu sambil garuk-garuk kepala, cengar-cengir.

“Jangan pergi. Mak takut. Di sini aja!” Bu Ani melarang.

“I-iya deh,” kata Said sedikit tergagap. Lalu duduk di kursi kecil tempat meja rias.

Bu Ani menggigit bibirnya menahan kata-kata. Menurut hatinya, ingin menyuruh Said tetap duduk di sampingnya agar ia merasa nyaman dan aman. Namun agaknya anak itu menjaga dirinya agar tidak berbuat macam-macam terhadapnya. Hatinya yang sesungguhnya sudah mulai menerima kehadiran Said di hatinya, makin luluh.

Bu Ani merubah posisi duduknya, dengan bersandar ke kepala pembaringan dengan Maya menetek di pangkuannya. Ia sempat terlelap sebelum dikejutkan oleh ledakan guntur yang menggelegar. Ia membuak matanya dengan terkejut. Melihat ke bayinya, ternyata sudah terlelap tidak terganggu oleh suara guntur barusan.

Melirik ke meja rias, tampak Said tengah memejamkan mata sambil bersandar ke dinding kayu di samping meja rias.

“Said!” panggil Bu Ani setengah berbisik, takut membangunkan bayinya.

Said membuka matanya, “ya, Mak?” sahut Said meluruskan punggungnya.

“Kamu … kamu di sini aja,” kata Bu Ani dengan suara perlahan. Pipinya merona kemerahan, malu-malu.

“Boleh?” Said membuka matanya dengan penuh harapan.

Bu Ani hanya mengangguk, dengan perlahan-lahan ia bangkit, meletakan Maya ke keranjang bayi. Kemudian setelahnya, ia membaringkan dirinya di atas kasur di sisi jauh. Seakan isyarat untuk Said turut membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Dengan hati deg-degan Said bangkit, kemudian dengan hati-hati dia turut membaringkan tubuhnya di samping tubuh ibunya yang berselimut. Suhu udara di tempat itu memang sangat dingin sekali.

Tanpa berkata-kata, Bu Ani membagi selimutnya ke tubuh Said.

Tubuh mereka bergetar menahan berbagai perasaan.

‘Jlegerrr’

Tiba-tiba terdengar gelgera guntur kembali. Tubuh Bu Ani sedikit tersentak, tubuhnya merapat ke tubuh Said yang merasa tersetrum ketika tubuh mereka rapat di dalam selimut.

“Maaak,” bisik Said dengan suara pelan.

“Hmmm,” sahut Bu Ani membalikan tubuhnya memunggungi Said, sedikit meringkuk. Namun tambah rapat.

“Boleh?” bisik Said kembali.

“Kenapa malu-malu? Dulu waktu emak tidak sadar, kamu tidak ada malu-malunya,” sindir Bu Ani tanpa menoleh.

“He-heh,” Said nyengir. Tangannya perlahan memeluk tubuh montok itu tanpa ada reaksi apa-apa.

Tubuh montok impiannya itu kini berada dalam pelukannya. Begitu hangat, empuk dan menggairahkan.

Hati Bu Ani berdebar-debar merasakan ada yang mengganjal kaku menekan pantatnya. Seluruh bulu-bulunya meremang, tubuhnya gelisah.

Tangan Said sudah berada di gundukan payudaranya, menggesek perlahan di sana. Kancing bajunya yang bekas tadi menetek bayinya masih belum terkancingkan. Alhasil, tangan Said merasakan halusnya gundukan sekal tersebut.

“Enggh!” Bu Ani sedikit merintih ketika jari-jari Said mulai nakal.

“Jangan dulu ya, Nak! Belum 40 hari. Dan berjanjilah …,” desah Bu Ani menahan hasratnya.

“Berjanji apa?” bisik Said dengan suara serak.

“Halalkan dulu aku!” kata Bu Ani, merubah panggilan ‘emak’ menjadi ‘aku’.

“Oh, tentu aja, Mak. Andrian sudah berjanji membawa penghulu untuk menikahkan kita, saat emak sudah mau menerima cinta Said!” sahut Said sambil mencium tengkuk Bu Ani yang segera menggelinjang kegelian.

“Berarti selanjutnya jangan panggil mak lagi. Risih,” kata Bu Ani memejamkan mata menikmati cumbuan anaknya.

“Baiklah, Sayangku, cintaku,” kata Said dengan mesra. Menarik wajah Bu Ani agar menghadap ke arahnya. Mencium keningnya, pipinya, kemudian memagut bibirnya. Begitu empuk, lembut, basah dan hangat.

“Ahhh,” Bu Ani mendesah lembut, tapi ia segera bereaksi ketika jari-jari nakal Said merayap ke balik celana dalamnya, “jangaaan. Belum 40 hari, belum halal juga.”

Said mengerang kecewa. Menarik jari-jarinya kembali ke dua gundukan bukit sekal. Meremas dan menggaruk.

“Sabar yaaa,” hibur Bu Ani sambil mengecup bibir Said. Mereka berpagutan dengan bergelora.

“Said sih sabar, tapi ujang otong yang bawah takut ga sabar,” kata Said kemudian, ketika mereka berdua melepaskan ciuman sejenak demi mengambil napas, “bantuin atuh,” lanjut Said sambil menarik tangan Bu Ani ke balik kolornya.

“Said?” Bu Ani membelalakan matanya, saat jari-jarinya menggenggam sebatang tongkat pejal berurat. Batang yang hampir tidak muat dalam genggamannya.

“Kenapa, Sayang?” tanya Said sambil menarik tubuh ibunya agar menghadap ke arahnya.

“Itu, anu kk-kamu …,” Bu Ani tidak berani melanjutkan. Masih malu mengatakannya. Tapi jari-jarinya bergerak mengocok perlahan batang pejal yang berdenyut-denyut panas itu. Ia merasakan ada yang merembes di vaginanya membasahi celana dalamnya. Ia menguatkan hatinya agar tidak khilaf.

Payudara Bu Ani yang diremas-remas gemas oleh Said, meneteskan air susu yang segera disambar oleh jilatan dan hisapan anak muda yang sedang kasmaran itu.

“Tolong jaga ya, Nak,” pesan Bu Ani sambil memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan dan cumbuan anaknya.

Walau pun sangat ingin, Said berusaha keras sekuat tenaga agar tidak menyerang melewati batas yang sudah ditetapkan oleh ibunya. Dia tidak ingin kehilangan kepercayaan lagi dari ibunya itu, siapa tahu bahwa ibunya tersebut, saat itu sedang memberikan ujian, apakah bisa atau tidak.

Tapi, nafsu anak muda tentu saja sedang tinggi-tingginya. Oleh karenanya, dia segera bangkit, melepaskan celana pendeknya.

“Auwh!” Bu Ani menahan napas sambil memejamkan matanya. Malu dan takjub oleh sebatang tongkat pejal berurat yang mengacung kaku menggodanya.

“Bantu Said, Mak … eh, Sayang,” kata Said dengan napas terengah-engah menahan desakan birahinya.

“Bantu gimana?” tanya Bu Ani sambil menghindari kepala penis Said yang teracung tepat di mukanya. Sungguh anak kurang ajar, seru hati Bu Ani gemas.

“Ini, pegel kalo ga dikeluarin,” kata Said kembali, sambil menggesek-gesekan penis kekarnya ke sepasang payudara ibunya yang masih meneteskan air susunya. Air susu itu menetes tanpa diapa-apakan. Mungkin karena desakan birahinya juga.

“Lha terus aku harus gimana?” tanya Bu Ani kebingungan.

“Maaf, Sayang,” kata Said sambil menaiki tubuh ibunya, menjepit batang penisnya oleh duad aging kenyal yang membusung milik Bu Ani. Dengan ditekan oleh kedua tangannya, dua bukit itu menjepit keras batang penisnya.

“Owh, nikmattt, Maaak,” desis Said, sambil mengayun pantatnya maju mundur.

Bu Ani yang juga sedang dilanda birahi, melihat dengan rasa kepingin, ketika kepala helm besar milik anaknya itu timbul tenggelam dari belahan kedua payudaranya. Kadang helm besar itu menyentuh dagunya. Bahkan sesekali menyentuh bibirnya.

“Jilat, Mak. Hisaaap. Ohhh!” erang Said.

“Hush. Ga mau ah. Jorok,” kata Bu Ani tapi tetap lidahnya menjilati bibirnya dengan sorot mata kepingin. Dan tepat di saat jilatan lidahnya membasahi bibirnya, helm besar kurang ajar itu menyodok ke bibirnya.

“Ouwgh!” Bu Ani berseru kaget. Justru karena berseru itu, helm besar penis anaknya malah masuk ke dalam mulutnya. Perempuan itu gelagapan, mencoba melepaskan mulutnya dari hunjaman penis kurang ajar tersebut.

Tapi Said seperti sengaja menahan dan menekan. Walhasil, mau tidak mau kepala penis Said terkulum di dalam mulutnya. Hampir saja Bu Ani muntah. Namun didorong oleh birahinya yang meninggi, lidahnya mencoba-coba menelusuri cincin dari helm penis anaknya tersebut.

“Auhhhh!” Said mengerang. Dia seperti tersetrum listrik merasakan jilatan hangat dan basah dari lidah ibunya tersebut.

“Enaaak, Maaak!” Dengus Said sambil mengayun perlahan pantatnya.

Mulut Bu Ani menggembung seperti sedang meniup balon. Ia keasikan seperti anak kecil mendapat mainan baru. Mulutnya berdecap-decap mencium, menjilat dan menghisap batang kaku nan perkasa milik anaknya itu. Lupa rasa malu hatinya bahwa bari kali ini ia mendapati batang penis berada di dalam mulutnya. Ternyata begitu menggairahkan. Persis seperti keinginan laki-laki mempermainkan payudara atau vagina lawan jenisnya.

Bu Ani merasakan rasa asin kesat ketika cairan dari lubang penis anaknya itu terjilat. Entah air kencing atau air mani.

“Said ga tahan, Maaak!” Said menjengking. Dia segera mencabut batang penisnya. Tidak menginginkan air maninya menyembur di dalam mulut ibunya yang dia sayangi. Dengan setengah berjongkok, kepala penisnya di tekan ke belahan payudara ibunya.

‘Berrrr’

Semburan dahsyat air mani Said, menyembur ke dada Bu Ani. Tertampung di belahan dadanya, Sebagian meleleh ke samping.

“Ughhhh, nikmaaat,” Said terguling ke samping tubuh montok itu sambil menghembuskan napas lega.

“Terima kasih, Sayang! Tidak sabar rasanya menunggu lewat 40 hari,” bisik Said sambil mengecup dan memagut bibir merah basah itu dengan penuh cinta. Tidak memperdulikan air maninya yang lengket, turut menempel di badannya yang merangkul erat tubuh ibunya.

Begitulah, hari-hari selanjutnya. Sepasang manusia yang sedang dimabuk kasmaran itu, saling menumpahkan birahinya tanpa berani melewati batas yang telah ditetapkan.

Hingga tiba saatnya.

Pada sore itu. Bu Ani tampak cantik dan molek menggiurkan, memakai kebaya syar’I lengkap dengan kerudung yang sewarna dengan kebayanya. Sementara Said, tampak gagah memakai setelan jas pelapis kemeja putih dengan peci hitam.

Keduanya dengan khidmat duduk di depan penghulu yang sengaja didatangkan oleh Andrian dan ibunya yang sekalian menjadi saksi pernikahan sedarah yang tabu itu.

“Sah?” penghulu menengok ke Andrian dan Bu Astri yang segera koor menyetujui keabsahan pernikahan tersebut.

“Selamat!” kata penghulu menjabat ke dua pengantin sedarah itu sambil tersenyum, mendo’akan sejenak, lalu berpamitan, setelah menerima selipan amplop dari Andrian dengan hati senang.

“Selamat, Kawan! Selamat bergabung dengan kami!” Seru Andrian sambil tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk Pundak sahabatnya dengan penuh kegembiraan.

“Terima kasih, Saudaraku,” sahut Said dengan hati sangat terharu. Merangkul Andrian dengan penuh kebahagiaan.

Sementara Bu Ani tersenyum malu-malu, berangkulan dengan Bu Astri yang juga turut berbahagia.

Setelah bercakap-cakap sejenak, Andrian dan BU Astri berpamitan untuk memberi kesempatan sepasang pengantin tabu itu berbulan madu.

Sepeninggal dewa penolongnya itu, dengan penuh kebahagiaan, Said menarik Bu Ani ke atas pangkuannya. Bu Ani menjerit manja tapi tidak meronta.

“Sabari h. masih sore,” bisik Bu Ani mengusap pipi Said dengan penuh kasih sayang. Ketika anak mud aitu menciuminya bertubi-tubi.

“Udah kaku nih, pegel,” ujar Said sambil menunjuk ke celananya yang menggembung.

“Hush, dasar. Makan dulu yuk,” kata Bu Ani sambil menggeliat bangkit dari pangkuan Said.

Begitulah akhirnya. Keduanya bersenda gurau dan bermanja-manja, benar-benar seperti pengantin baru. Sambil menunggu malam tiba, mereka menikmati makanan yang sudah terhidang, makan saling suapin, saling gelitik dan saling mmenggoda. Bahkan ketika senja telah lenyap, baju Bu Ani sudah terbuka disetiap bagian. Begitu juga dengan celana Said sudah melorot jatuh.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam, Bu Ani berdiri, kemudian dengan langkah perlahan dan pinggul bergoyang menggiurkan, ia melangkah ke dalam kamar sambil melirik Said dengan pandangan menggoda.

Said bangkit sambil menggeram, berlari mengejar macan betina yang menggodanya barusan.

“Aduh!” Bu Ani menjerit kaget ketika tubuhnya tiba-tiba diterkam dari belakang. Dua tubuh terhuyung ke atas kasur. Bluk. Keduanya terjatuh saling tindih. Said menatap wajah cantik pujaannya itu, kemudian menyerbunya dengan ciuman dan gigitan.

“Said!” rintih Bu Ani ketika merasakan tangan Said mulai nakal. Hati kecilnya ingin sekali memberontak melepaskan diri, namun hasrat yang lebih besar, yang mendambakan sentuhan-sentuhan mesra dari seorang pria membuatnya mendiamkan saja, jari-jari nakal pemuda itu yang mengelus-elus payudaranya.

Bu Ani menggelinjang geli, ketika bibir Said yang mulai dihiasi kumis tipis mencium pipinya. Bulu-bulu di sekujur tubuhnya meremang saat jari-jari nakal pemuda itu mulai menggaruk dan meremas payudaranya.

“Ahhh, nakal kamu, Said,” desah Bu Ani sambil memejamkan matanya. Menikmati setiap sentuhan dan elusan Said.

Tiba-tiba ia merasakan bibirnya disentuh sesuatu yang hangat dan basah, begitu ia membuka matanya, ternyata mulut Said telah menempel di bibirnya. Tentu saja Bu Ani sedikit gelagapan. Namun dengan lembut, bahu Said menahan kepala Bu Ani yang hendak menjauh. Lidahnya menjilat bibir tipis yang lunak dan mulai basah itu.

“Mmmhhh,” Bu Ani menggumam dengan suara tak jelas. Menikmati sentuhan-sentuhan lidah Said yang menelusuri gigi serta langit-langit mulutnya. Dan lidah mereka pun akhirnya saling bertautan, saling jilat dan saling hisap. Tubuh Bu Ani menggelinjang ketika jari-jari Said menyelip ke balik bajunya yang sudah terbuka lebar dari tadi, menelusuri bukit membusung itu hingga setelah menemui puncaknya yang sudah mulai mengeras, jari-jari tersebut menggaruk-garuk perlahan.

Sepasang manusia yang sedang di mabuk birahi itu berpagutan dengan dengan penuh gairah, perlahan tubuh Bu Ani direbahkan di atas kasur. Bu Ani benar-benar sudah sangat pasrah oleh badai gairah yang meletup-letup menggelegak sampai ke ubun-ubunnya.

Dengan penuh rasa cinta, bibr Said menelusuri leher jenjang perempuan yang disayanginya itu yang sudah tergolek dengan napas memburu. Menikmati setiap remasan dan ciuman dari Said yang jari-jarinya segera menelusuri setiap lekuk tubuh molek itu.

“Enghhh!” erang Bu Ani ketika satu remasan kuat dari Said meremas payudaranya disertai lidah yang menari dan menghisap putingnya yang sudah mengeras.

“Owwhh ..., Naaak!” rintih perempuan itu merasakan gigitan dan garukan gigi Said yang menjelajahi setiap senti bongkahan padat nan kenyal bukit mulus tersebut.

“Ahhhsssh!” ubun-ubunnya terasa menggelegak oleh birahi yang sudah memuncak. Punggungnya melengkung ketika ujung lidah pemuda itu menyentuh pusarnya lalu turun dan makin turun.

Kain bawahan yang dikenakan Bu Ani telah tersibak lebar. Sebuah bukit rimbun dengan bulu-bulu halus, membusung terjepit paha sekal dan mulus.

“Ugghhh!” pinggul Bu Ani tersentak ketika jari-jari pemuda itu membelai lalu membelah dua bibir vagina gemuk yang mulai basah. Said tentu sudah lihai dengan hal-hal membangkitkan birahi seorang perempuan. Namun bagi Bu Ani itu adalah pengalaman yang baru dialaminya, yang tentu sensasinya juga lebih dahsyat dari biasanya. Selama lebih dari dua puluh tahun menikah dengan Arsyad, belum pernah ia diperlakukan seperti ini. Setiap sentuhan dan jilatan di daerah paling sensitifnya, tentulah membuat birahinya makin meningkat, bergejolak liar menuntut penuntasan.

Wajah Said seakan tenggelam di belahan vagina Bu Ani yang terus merembeskan cairan birahinya tanpa henti. Pinggul padat itu tak henti bergerak memutar mengimbangi jilatan dan hisapan mulut Said di daerah paling sensitifnya.

“Ouhkkkh, Nhaaaksss!” tangan Bu Ani menjambak rambut pemuda itu, wajahnya mendongak dengan punggung melengkung. Otot perutnya berkontraksi melepaskan desakan puncak birahinya.

Mulut Said penuh dengan cairan orgasme dari puncak birahi perempuan itu. Pinggulnya menyentak ke atas dengan otot-otot vagina yang mengencang.

Beberapa saat, Said mendiamkan Bu Ani menikmati puncak orgasmenya, sebelum akhirnya dia bangkit duduk dengan kedua lutut mengganjal paha mulus nan montok perempuan itu. Dengan penuh kasih sayang, cairan sisa orgasme tersebut dilapnya memakai celananya yang sudah terlepas.

Bu Ani tergolek pasrah, matanya menatap sayu ketika Said bangkit setengah berjongkok.

“Hati-hati, Naaak,” desah Bu Ani sedikit khawatir ketika melihat ukuran penis pemuda itu yang mengerikan. Penis panjang dan besar, dengan urat-urat yang melingkar batangnya. Berkilat dan kelihatannya berdenyut-denyut.

Perempuan itu memejamkan matanya saat Said menggesek-gesekkan kepala penisnya membelah bibir-bibir vagina gemuk yang telah merekah merah.

Dibantu dengan jempolnya, Said menekan helm besar penisnya ke dalam lubang berlendir yang seperti sedang kembang kempis.

“Ohhh,” rintih Bu Ani dengan hati berdebar-debar, kedua tangannya menekan akar pohon di atas kepalanya demi menahan desakan kepala penis besar Said. Reflek ia merenggangkan pahanya selebar mungkin untuk memberi ruang kepada Said menekan lebih dalam penisnya.

“Ugh!” Bu Ani melenguh pendek, ketika helm besar itu telah menerobos masuk vaginanya yang mengempot.

Said mendongakkan wajahnya, merasakan ngilu saat mulut vagina Bu Ani seperti mencekik leher di bawah cincin penisnya.

Perlahan tapi pasti, penis pemuda itu terus mendesak semakin dalam, diurut dan diremas oleh dinding-dinding kenyal dan ulet.

“Ohhh-hhooohssh!” Bu Ani menggigil dengan mata sangat sayu, menggigit bibirnya merasakan geli dari urat-urat batang penis Said yang seperti sedang menggaruk dan menggelitiknya. Kedua tangannya meraih sisi bantal, meremasnya kuat-kuat seiring cumbuan Said yang makin menggelora.

Said mulai menggenjot perlahan, kedua tangannya menekan dan meremas payudara Bu Ani yang membusung montok. Dua deru napas berpacu panas di keheningan suasana pegunungan yang sepi. Rasa nikmat yang teramat sangat dari dua kelamin yang memadu birahi, membuat keduanya seakan tengah dilambungkan ke lautan kapas yang empuk, hangat, basah dan menghanyutkan.

Rintihan, erangan serta geraman saling bersahutan. Tubuh sintal Bu Ani telah banjir peluh, sering ia sampai harus menggigit bibirnya merasakan ngilu ketika penis besar Said sampai menyentuh dasar rahimnya. Birahinya menggeletar setiap pinggulnya memutar untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar, mengimbangi genjotan pemuda itu yang terus membombardir rahimnya.

Bau birahi menguar tajam menghampar ke segala arah.

Said begitu menikmati persetubuhan tersebut, di mana ibunya sedang dalam kesadaran sepenuhnya, melayani dirinya dengan segala kepasrahannya. Tidak seperti saat memperkosa Bu Ani yang selalu dalam keadaan tidak sadar. Namun kini, persetubuhan dengan kesadaran penuh yang dimilikinya, seluruh panca indranya turut merasakan geletar nikmat yang luar biasa, yang baru pertama kali dirasakannya.

Dua bongkah bukit padat dan mulus milik Bu Ani dilahapnya dengan rakus. Lidah dan giginya bermain-main sesukanya mengeksplorasi semuanya.

Beberapa saat kemudian, dia merasakan pinggul Bu Ani mulai menghentak-hentak liar disertai rintihan-rintihan lirih yang panjang. Penisnya terasa diremas dan dipilin oleh daging kenyal yang terus menghisapnya kuat-kuat. Terasa ngilu luar biasa.

Bu Ani merasakan desakan nikmat dari dalam rahimmnya, seluruh buku-buku jari kakinya terasa kebas, matanya berputar-putar liar disertai dengus napas yang dalam dan berat.

“Ohhhhsssh! Enghhh!” erangnya dengan suara berat. Kedua tangannya mendekap punggung berotot Said dengan kuku-kuku jari tenggelam dalam kulit punggung pemuda itu. Pinggul padatnya melambung, dengan ke dua paha mengunci pantat Said. Disertai dengus napas yang memburu, bibir tipis Bu Ani mencari-cari mulut Said yang juga sedang meram melek merasakan ngilu bercampur nikmat dari penisnya yang serasa dipelintir di dalam vagina perempuan itu.

“Hmmmfffhhh!” dengus Bu Ani dalam pagutan liarnya, bersamaan dengan tubuhnya yang meregang.

“Akkkhhh ..., hossssh!” lenguh Bu Ani sambil menghembuskan napas yang panjang.

Tubuh montok yang sudah banjir keringat itu akhirnya terkapar lunglai setelah menyemburkan lendir birahi untuk keduakalinya.

Said yang belum mencapai puncak kepuasan dari birahinya mendiamkan sejenak Bu Ani yang sedang memejamkan matanya.

Penis Said masih tenggelam dalam vagina Bu Ani yang bibir-bibir tebalnya yang merah merekah seperti sedang meletup-letup, merembeskan lendir orgasmenya.

Dengan penuh cinta, Said menjilat bibir merah basah itu kemudian menggigitnya dengan lembut, selanjutnya dia mengecupi kedua mata beebulu lentik itu. Setelahnya dengan dia mengagumi kecantikan khas alami seorang perempuan yang sudah mencapai puncak kenikmatannya. Kedua belah pipinya bersemu merah matang, dengan bibir tipis yang menggeletar seperti menggigil.

Tiba-tiba sepasang mata lebar itu terbuka, menatap Said sambil tersipu malu, “Kamu ..., belum?” bisik Bu Ani sambil mengelus rambut Said yang segera balas tersenyum sambil mengangguk.

Dari sepasang mata itu terpancar sinar kekaguman. Kekuatan pemuda itu telah membuatnya kewalahan.

“Lakukanlah ...!” bisik Bu Ani sambil memejamkan matanya kembali. Mencoba mengumpulkan kekuatannya untuk mengimbangi pertempuran birahi untuk yang kesekian kalinya.

“Emh!” Bu Ani mengeluh pendek, ketika Said mengangkat pantatnya, mencabut penisnya yang sudah basah oleh cairan putih. Penis yang masih kaku seperti batang kayu berulir. Pemuda itu kemudian mengambil celananya untuk mengelap lendir yang masih mengalir dari bukit rimbun yang kini dua lembahnya sudah merekah. Dengan telaten sekali.

Bu Ani menikmati perlakuan dari Said itu dengan penuh kebahagiaan dan rasa cinta. Kemarin-kemarin ia membenci anaknya itu dengan segenap hatinya. Namun beberapa hari kemudian. Setiap bayangan wajah pemuda itu melintas dalam benaknya, dadanya bergetar oleh rasa rindu. Ahhh ..., apa ini sebenarnya? Bisik Bu Ani dalam hatinya.

Bu Ani segera membuka matanya memandang Said yang sedang tersenyum dengan tatapan bertanya, ketika pemuda itu membalikan tubuhnya yang sedang tergolek di atas kasur.

Mendapat tatapan penuh tanya dari perempuan yang ddikasihinya itu, Said tak menjelaskan apa-apa. Dia menjawabnya dengan tindakan, membalikkan tubuh montok itu sehingga menelungkup. Walau pun bingung, Bu Ani pasrah saja, namun ketika pinggulnya ditarik dalam keadaan menungging, perempuan itu menengok, “A ..., apa?”

Said kembali tersenyum, kedua paha padat itu direnggangkan, sehingga kedua belah bibir vagina gemuk merah basah Bu Ani tampak merekah.

“Mm-mau a-apa?” tanya Bu Ani dengan wajah bingung.

Tapi Said malah menunduk mencium bongkahan padat nan bulat bokong perempuan itu, daging sekal itu digigit-gigit kecil.

“Kamu nakal sekali,” Bu Ani terkikik lirih, kegelian. Namun mendadak pinggul itu mengerut tiba-tiba. Wajah manis itu kembali menengok dengan wajah memerah. Heran hatinya, anusnya seperti mendapat jilatan yang membuatnya berkedut kaget dan geli.

“Ih ...,” jeritnya sedikit jijik. Namun leher jenjangnya segera menegang ketika ada gesekan dari batang berkulit kasar menggesek dan membelah vaginanya.

“Augh!” erangnya tak tertahankan. Pipinya makin bersemu merah. Merasakan sensasi baru dari posisi senggama yang seumur hidupnya baru mengalaminya saat itu. Yang ia tahu, ia hanya cukup telentang kemudian suaminya menindih tubuhnya, mencelupkan kelamin ke kelaminnya. Tanpa kata-kata, hanya dengusan dan sedikit rintihan. Tidak seperti sekarang, posisi asing dan aneh yang sedikit membuatnya agak malu hati. Posisi senggama yang ia tahu seperti kelakuan anjing!

Dan yang baru itu memang selalu lebih nikmat, lebih lezat juga lebih memuaskan.

Birahinya naik secepat gesekan-gesekan batang penis Said yang juga sudah tak tahan ingin meraih kenikmatan yang memuaskan dengan perempuan pujaannya itu. Jari-jari tangannya sengaja digaruk-garukkan dari tengkuk terus sampai ke belahan pinggul Bu Ani. Lalu;

“Krep!” dia mencengkram dua bongkahan pinggul itu, dicengkramnya erat-erat sambil penisnya yang sudah dalam posisi menekan lubang vagina Bu Ani didorongkan secara tiba-tiba.

“Hekh!” tubuh Bu Ani tersentak sambil mengeluarkan suara seperti tercekik.

Tusukan penis besar Said yang tanpa aba-aba itu membuat sesak ulu hatinya. Dan berbeda dengan tadi ketika persetubuhan yang pertama, Said begitu lemah lembut. Namun dalam posisi baru yang aneh ini, pemuda itu mendadak menjadi kasar dan liar. Keliaran yang memberinya sensasi lain dari yang lain.

Vaginanya seperti diaduk-aduk batang alu yang biasa untuk menumbuk pagi. cepat dan menyakitkan. Gesekan-gesekan batang kaku berulir itu seperti hendak membuat lecet dinding-dinding vaginanya. Tapi rasa sakit itu tak sebanding kelezatan birahi yang dirasakannya. Begitu lezat, liar dan nikmat!

Bu Ani terpaksa harus menggigit bibirnya kuat-kuat, agar tidak berteriak-teriak seperti orang gila. Hatinya masih mempunyai harga diri untuk tidak mengeluarkan suara macam kucing kawin.

Bluk! Bluk! Bluk!

Terdengar suara lumayan keras ketika selangkangan Said menumbuk berulang-ulang pinggul bulat padat itu, yang terayun-ayun seirama genjotan sepasang manusia yang sedang dimabuk birahi tersebut.

Lidah Bu Ani terbelit erat digiginya, menahan agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor atas kelezatan birahi yang tengah dirasakannya, walau pun sesungguhnya ia ingin meneriakkannya sekeras mungkin.

Entah berapa kali sodokan dan genjotan penis Said membombardir vagina yang sudah sangat becek itu. Kedua tangannya sejak dari tadi meremas kuat-kuat payudara Bu Ani yang menggantung terayun gerakan tubuhnya dalam posisi merangkak.

“Ohhh, amphuuun,” Bu Ani akhirnya mengeluarkan suara erangan sambil tubuhnya ambruk.

“Hossh! Hosssh! Hosssh!” Said mendesis-desis sambil matanya meram.

Hingga suatu ketika;

“Sa-iiid! Amphuuunsssh!” Bu Ani menjerit sambil pinggulnya memutar limbung. Dinding-dinding vaginanya berdenyut-denyut keras.

“Hrrrhhhhsh!” Said menggeram sambil wajahnya mendongak.

Serrrr!

Dua semburan lahar panas menyembur tak tertahankan. Saling-siram dan menghanyutkan.

“Akh!” keduanya berseru bersamaan sambil ambruk saling-tindih dengan badan lemas kehabisan tenaga.

Hari-hari selanjutnya, diarungi pasangan tabu itu dengan penuh kebahagiaan. Dengan dimodali oleh Andrian, Said membuka warung kecil-kecilan di perkampungan sekitar vila. Sungguh ahir yang bahagia dari sebuah cerita tabu!***

 T-A-M-AT

Demikianlah cerita singkat ini ane sajikan. Cerita sederhana yang tentu banyak lubang kelemahannya untuk diserang. Terutama dari logika. Tapi apa mau dikata, Namanya juga cerita singkat, tentu ada banyak hal-hal yang terpaksa ane abaikan. Baydewey, ini hanya sebuah cerita hiburan sajah buat, Aggan dan Suhu sekalian. Sebagai bacaan ringan mengisi malam minggunya.

Dan boleh nanya dong. Untuk cerita-cerita yang belum selesai namun udah dikunci oleh Om Momod, apakah bisa dibuka lagi, atau terpaksa di posting ulang?

Mohon pencerahannya, Suhu.


:beer:

:ampun: :ampun: :ampun:
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd