Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT METEOR AZKA

Bimabet
CHAPTER 12


Mobil terus melaju, membelah jalanan yang memang sangat lenggang, jauh dari kata aktivitas manusia. Entah sudah berapa lama aku berada semobil dengan Pak Kades, aku tidak menghitungnya. Tak terasa mobil Pak Kades memasuki halaman sebuah gudang yang sudah lama tidak terpakai. Pak Kades menghentikan mobilnya tepat di depan pintu gudang dan kami pun segera keluar dari mobil. Aku dan Pak Kades segera ke gudang. Pastinya tempat adik Pak Kades disekap. Kebetulan pintu gudang sedikit terbuka dan kami masuk ke dalamnya.

Ah! Diujung sana terlihat lima orang berbadan tegap dan satu orang wanita yang terikat di kursi kayu dengan mulut tersumpal kain. Si wanita yang kuyakini dia adalah adik Pak Kades meronta-ronta ingin melepaskan diri, namun rontaannya terhenti saat salah seorang pria di dekatnya menekan kursi kayu dengan tangannya yang kekar. Aku dan Pak Kades berjalan mendekati mereka. Aku pun meningkatkan kewaspadaanku.

“Selamat datang di tempat kami.” Salah seorang kelima pria tegap tersebut bersuara.

“Kenapa kalian melibatkan kami yang tidak tahu menahu urusan kalian dengan Si Jafar. Kenapa kalian tidak tidak mencarinya sendiri?” Pak Kades berkata dengan suara tegas.

“Ha ha ha ... Kami sudah mencarinya kemana-mana. Si Jafar pandai bersembunyi. Ya, kami akan menangkap kalian untuk mengundang Si Jafar datang.” Ujar orang yang aku kira dia adalah pemimpin dari kelima orang di depanku.

“Kalian telah salah berurusan dengan orang, saudara-saudara. Kalian terlalu percaya diri dan itu yang akan mencelakai kalian.” Kataku sembari menyuruh otakku agar kelima orang itu tidak bisa menggerakan badannya. Mereka hanya bisa menggerakan kepala dan berbicara saja.

“Ha ha ha ... Songong juga nih bocah! Hajar dia!!!” Perintah si pemimpin pada anak buahnya.

Level kewaspadaan ditingkatkan, aku bahkan sudah siap-siap dengan kekuatanku yang lain. Namun yang kusaksikan sungguh ajaib, tak seorang pun bisa bergerak. Mereka pun tampak terkejut, hanya wajah mereka yang bergerak-gerak tak percaya. Aku pun tersenyum dan merasa lega, karena kekuatan pikiran yang diberikan Pet berjalan dengan sempurna.

“Bos ... Aku gak bisa gerak.”

“Aku juga bos ... Badanku gak bisa digerakin.”

“Aku juga bos ... Aneh sekali badanku gak bisa gerak.”

“Eh! Kok aneh! Ini kenapa?” Ujar si pemimpin panik.

Mereka pun mulai mengoceh tentang tubuhnya yang tak bisa digerakan. Aku langsung saja menghampiri wanita yang sedang terikat dan mulut tersumpal. Aku melepaskan ikatannya lalu membawa si wanita pada Pak Kades. Aku minta Pak Kades untuk membawa adiknya segera meninggalkan tempat ini.

“Lah kamu gimana?” Tanya Pak Kades.

“Saya akan membawa mereka ke kantor polisi. Sekarang Pak Kades pergi saja.” Pintaku.

“Hei bajingan! Kau apakan kami? Hah!” Teriak salah seorang berandal yang masih tak bergerak.

Aku pun melirik padanya, “Sabar mas ... Aku akan mengurus ini dulu. Baru kalian.”

“Kubunuh kau!!!” Kini si pemimpin berteriak dan aku hanya tersenyum dan geleng-geleng kepala.

“Cepat Pak Kades! Sebelum mereka bisa menangkap kita! Kalau kita tertangkap, kita akan dibunuhnya.” Kataku setengah menakut-nakuti.

“Baik ... Jaga dirimu ...” Ujar Pak Kades sambil merangkul adiknya yang masih menangis dan trauma.

Setelah Pak Kades dan adiknya keluar gudang, barulah aku membalikkan badan dan menatap kelima berandal di hadapanku. Mereka pun kini tampaknya sadar dengan siapa mereka berhadapan. Aku menatap wajah mereka satu persatu. Aku memberikan tatapan penuh intimidasi pada mereka. Wajah sangar mereka berubah menjadi memelas saat sadar kalau mereka kini ada dalam penguasaanku.

“Aku kasih tau pada kalian ... Kalian telah mengacau di daerah ini, dan aku sangat tidak senang dengan tingkah kalian yang sok jagoan. Bertindak sewenang-wenang, seakan-akan kalian adalah penguasa di daerah ini. Sebenarnya kalian itu kecoa yang sekali injak mati. Apakah kalian ingin mati seperti kecoa?” Aku berkata dengan ucapan mengintimidasi agar orang-orang di depanku ketakutan.

“Ka..kau apakan ka..kami?” Sang pemimpin bersuara dan terdengar sangat bergetar.

“Aku ingin memperlihatkan kekuatanku pada kalian supaya kalian tidak lagi merasa jagoan di daerahku. Kataku tadi, kalian telah berurusan dengan orang yang salah. Ya, kalian telah berurusan denganku.” Ujarku sambil tertawa miring.

“Le..lepaskan kami. Ka..kami berjanji tidak akan meng.***nggu wilayanmu la..lagi ...” Pinta sang pemimpin memelas.

“Ha ha ha ... Sekarang baru merasa ketakutan. Seharusnya kalian itu takut sebelum melakukan aksi kalian mengganggu daerahku. Sayang, aku sudah berniat memberi kalian pelajaran supaya kalian jera menginjakan kaki lagi ke daerahku.” Kataku setelah tertawa terbahak-bahak.

“Maafkan kami.” Salah seorang kelima dari mereka bersuara.

Sudah tidak ada kata maaf lagi buat mereka. Mereka bukan seperti anak kecil yang memecahkan gelas lalu aku langsung memberikan maaf. Mereka sudah terlalu jauh merusak kenyamanan dan kedamaian wilayah ini. Tetap, aku akan memberi mereka pelajaran sehingga jera membuat kerusuhan di tempatku ini. Dengan otakku yang super, aku akhirnya menyuruh tubuh mereka saling memukul satu sama lain. Sungguh luar biasa, aku sekarang seperti sutradara yang mengarahkan kelima orang itu saling menyerang.

Mereka berteriak, mereka menolak, tetapi tubuh mereka tetap bergerak sesuai dengan perintah otakku. Sambil mengoceh tak karuan, mereka saling pukul juga tendang, saling menyerang juga tersudutkan. Mereka semua memohonku untuk menghentikan, namun aku belum puas jika mereka belum benar-benar terluka parah. Darah mulai bercucuran di mana-mana jatuh ke lantai gudang yang kotor, teriakan dan pekikan kesakitan terus terdengar di dalam ruangan. Aku akhirnya menghentikan ‘perkelahian’ mereka setelah berlangsung setengah jam tanpa henti dan melihat bayak luka dan lebam-lebam di sekujur tubuh mereka, bahkan sudut bibir mereka terlihat sobek. Kelima pria itu ambruk, selain kesakitan semuanya tentunya kelelahan dan kehabisan tenaga.

“Gimana teman-teman? Asik kan? Ha ha ha ...” Aku tertawa terbahak-bahak.

“Ammppuuunnn ... Jangan laagghhiii ...” Suara sang pemimpin lemah dan terengah-engah. Tubuhnya terlentang di lantai kotor dengan tangan terbentang.

“Oke ... Aku akan menghentikan kalian bertarung, tapi aku minta alamat bos besar kalian dan nomor kontaknya.” Kataku.

Sang pemimpin pun bergerak lemah mengambil sesuatu dalam saku celana jeans yang ia kenakan. Kemudian dia melemparkan smartphone ke depanku lalu berkata, “Namanya Reno, kau bisa cari sendiri nomor kontaknya.”

Aku mengambil smartphone milik orang itu. Aku simpan di saku celana sebelah kiri dan berkata, “Untuk saat ini kalian aku maafkan, tapi jika kalian datang lagi ke sini, aku jamin, aku akan menjadikan kalian mayat.”

Setelah mengatakan demikian, aku pun berbalik dan berjalan ke arah pintu gudang. Baru saja lima langkah, tiba-tiba aku mendengar suara Pet, “Awas! Mereka bersenjata api!” Sontak aku terperanjat hebat, tetapi entah kenapa otakku langsung bereaksi sangat cepat. Otakku memerintahkan kelima orang di belakangku membeku lagi sambil meloncat ke samping bermaksud menghindari tembakan yang bisa saja sudah mereka lontarkan. Saat mataku melihat ke arah mereka, memang moncong senjata telah terarah ke tempat asal aku sebelum melompat. Si pemimpin memegang pistol yang telah terangkat.

“Hah! Kalian memang tidak bisa dipercaya!” Aku berteriak murka. Dan kumerasa dadaku bergejolak dengan berbagai emosi.

“A..aku ... Tidak ...” Salah seorang yang berposisi berjongkok berkata.

“Aku tidak akan mengampuni kalian. Kalian harus lenyap dari muka bumi ini!” Kataku sambil berdiri dan menghampiri mereka lagi.

“Tidak ... Jangan ...!” Salah satu yang lain bersuara.

“Di selatan ada Gunung Kawi. Kalian pergi ke sana dan cari sawah gunung itu. Setelah sampai, kalian meloncatlah ke dalam kawah.” Kataku sembari menghayal kelima pria di depanku loncat satu persatu ke dalam kawah Gunung Kawi.

Kali ini aku menggunakan kekuatan hayalan sehingga kelima pria itu tidak menjawab atau berkata apa-apa. Mereka lantas berdiri setelah kulepas kekuatan otakku yang membekukan badan mereka. Kelimanya bergerak terseok-seok ke samping gudang dan aku mengikuti mereka. Ternyata di samping gudang terdapat Jeep Wilis yang kemudian pria-pria tersebut menaikinya lalu pergi dari gudang. Tak usah lagi aku menebak kemana mereka pergi. Aku pastikan kelimanya akan meloncat masuk ke dalam kawah Gunung Kawi.

“Terima kasih Pet.” Aku bermonolog.

Sama-sama Azka. Hati-hatilah lain kali.” Terdengar suara Pet di telingaku.

“Ya ...” Jawabku sambil tersenyum.

Aku kemudian mengambil smartphone si pemimpin berandal dari saku celana. Aku cari nama Reno di kotak kontak. Tak lama aku menemukannya lalu kusalin ke dalam smartphoneku. Setelah itu, aku pergi meninggalkan gudang kosong dan mencari pangkalan ojeg. Sekitar 10 menit berselang, aku menemukan pangkalan ojeg dan kembali ke kantor desaku. Sepanjang perjalanan kembali, aku berpikir tentang keputusanku melenyapkan para berandal tadi. Ada sedikit perasaan menyesal yang hinggap di hati karena sudah membunuh mereka. Namun aku pikir juga, mereka layak dilenyapkan karena tidak ada jaminan mereka sadar dan bertobat, bahkan mungkin akan menjadi sumber malapetaka bagiku.

Tak terasa, aku sampai di kantor desa. Pak Kades ternyata belum datang ke kantor. Aku langsung saja ke ruanganku dan menjalankan rutinitasku sehari-hari. Di mejaku sudah banyak sekali dokumen yang harus kutandatangani. Tentu aku memeriksa dokumen terlebih dahulu sebelum membubuhi tanda tangan. Ternyata kebanyakan dokumen berisikan surat keterangan pengajuan kredit ke bank. Aku tanda tangani saja dengan harapan masyarakat akan terbantu dengan adanya kredit usaha ini.

Aku lanjutkan dengan pekerjaan yang lain hingga waktu kerja usai. Jam di lenganku menunjukkan pukul 16.30 sore. Saat aku hendak menaiki Si Black, tiba-tiba smartphoneku berbunyi. Aku mulai tersenyum miris menatap nama Windi di layar ponsel pintarku. Sempat aku ragu mengangkat teleponnya, namun akhirnya aku menggeser bulatan hijau di layar dan segera saja aku menyapanya.

“Hallo ...” Sapaku.

Hallo mas ... Lagi sibuk gak?” Windi langsung bertanya.

“Ini aku baru mau pulang.” Jawabku.

Mas ... Aku ingin ketemu ...” Pintanya memelas.

“Kamu ini gimana? Aku gak berani. Takut suami dan orangtuamu marah.” Aku pun berkilah.

Mereka sedang tidak ada di rumah, mas ... Mereka sedang melancong ke Jakarta.” Jawabnya.

“Lah ... Kok kamu gak ikut?” Tanyaku heran.

Sengaja mas ... Karena aku ingin bertemu dengan mas ...” Jawabnya lagi yang membuatku semakin keheranan.

“Ada apa sih dek?” Tanyaku ingin tahu.

Pokoknya aku ingin ketemu mas. Datang aja ke rumah.” Katanya memaksa.

“Baiklah. Tunggu saja di rumahmu.” Akhirnya aku menyetujui permintaannya.

“Aku tunggu ya mas.” Suaranya terdengar senang.

“Ya.” Jawabku singkat lalu sambungan telepon terputus.

Aku langsung menaiki Si Black dan langsung membesutnya ke rumah. Sesampainya di rumah, aku langsung saja mandi dan berpakaian bersih. Setelah berpamitan pada kakek, aku secepatnya membesut Si Black menuju rumah Windi. Aku tak habis pikir, kenapa Windi ingin bertemu denganku. Seharusnya dia sudah bahagia dengan pernikahannya. Bukankah dia menyukai suaminya. Ah, daripada memikirkan bayangan yang tak jelas, lebih baik aku memastikan, sebenarnya ada apa dengannya?

Sekitar pukul 17.45 sore, aku sampai di rumah Windi dan aku disambut oleh Windi dengan wajah sumringah seakan baru bebas dari tahanan yang membuat ia merasa menderita di dalamnya. Kami duduk di ruang tengah dengan sajian buah-buahan segar dan makanan yang banyak tersaji di atas meja, seperti Windi ingin memberikan kejutan padaku. Aku pun mencicipi beberapa makanan dan buah-buahan sambil berbincang-bincang santai dengan wanita yang pernah aku sukai dan yang kini telah menjadi istri orang.

“Sekarang katakan, kenapa kamu ingin bertemu dengan mas?” Tiba-tiba aku berkata pada tema utama setelah beberapa menit ngobrol tak tentu arah.

“Hi hi hi ... Kok gitu banget sih nanyanya? Gak boleh kalau aku kangen sama mas?” Ucapnya dan tentu aku merasa heran. Kok, bisa-bisanya Windi mengatakan hal itu padaku.

“Dek ... Mas sangat tersanjung kalau kamu masih merasa kangen sama mas. Tapi mas pikir, sudah bukan saatnya kamu merasa itu lagi. Seharusnya rasa kangen itu kamu curahkan pada suamimu.” Kataku mencoba meluruskan isi hati Windi.

“Mas ... Maafkan aku ya ...” Windi berbicara lirih sambil menundukkan wajah.

“Maaf buat apa?” Tanyaku tidak mengerti.

“Mas ... Aku cemburu sama calon istri mas ...” Ucapnya yang aku sambut dengan tawaku yang tak bisa aku tahan.

“Ha ha ha ...” Aku tertawa, lucu mendengar penuturannya. Aku sengaja tidak memberitahukan kejadian yang sebenarnya tentang hubunganku dengan Sri pada Windi. Untuk saat ini aku pikir tidak perlu.

“Kenapa tertawa?” Windi bertanya dengan wajah masih menunduk.

“Cemburu adalah tanda bahwa cinta harus saling memiliki. Kita pernah saling memperdulikan tapi tak pernah saling mengungkapkan. Jika tidak saling memiliki, cukuplah untuk saling mengerti.” Kataku sambil menggeser duduk lalu mengambil tangan Windi yang duduk di sofa tunggal.

Windi mengangkat wajahnya. Windi menatapku dengan mata sayunya dan berkata, “Mas ... Aku tahu mas memiliki perasaan yang sama seperti diriku, biarkan kita saling mencintai tapi tidak bisa memiliki. Biarkan seperti ini, dan berharap kita selalu mendapatkan sesuatu yang terbaik.”

“Kamu sudah mendapatkan sesuatu yang terbaikmu. Kamu sudah menikahi lelaki yang kamu sukai. Tinggal aku yang harus menemukan sesuatu yang terbaik itu.” Kataku.

“Tidak seperti itu, mas ...” Sanggah Windi dan aku pun terkejut.

“Maksudmu?” Tanyaku kebingungan.

“A..aku ... Em.. Itu mas ...” Windi tergagap tampaknya ada sesuatu yang malu untuk diungkapkan.

“Kamu ini kenapa? Gak jelas banget. He he he ...” Kataku sambil terkekeh.

“Ternyata ... A..aku ... Gak bahagia mas ...” Suaranya begitu pelan namun untung aku masih bisa menangkapnya. Kali ini aku renggangkan genggaman.

“Boleh aku tahu sebabnya?” Tanyaku coba-coba karena sebenarnya aku tidak pantas menanyakan itu padanya.

“Suamiku ternyata keras kepala dan kasar, mas ... Aku sering dibentak tanpa perasaan. Berbeda sekali dengan mas, Meskipun aku sudah menyakiti hati mas tapi mas tetap lemah lembut dan baik sama aku.” Ungkap Windi sambil menahan tangis.

“Benarkah? Bukankah dulu kamu pernah bilang kalau suamimu itu penuh kasih sayang, pengertain dan baik padamu?” Sungguh aku tak percaya.

“Aku berbohong waktu itu, supaya mas legowo dan tidak memikirkan aku lagi. Kenyataannya suamiku itu sombong, keras kepala dan mau menang sendiri. Aku menerimanya karena ingin membahagiakan orangtuaku saja mas.” Jawabnya dan mulai terdengar isakannya.

“Kenapa kamu tidak jujur padaku. Padahal kalau kamu jujur saat itu, aku bisa bicara dengan orangtuamu, dan mungkin aku akan melamarmu.” Kataku penuh dramatisasi.

“Mas???” Windi mendesah dengan mata membulat. Windi menunjukan mimik terkejutnya.

“Ah ... Sudahlah ... Kita tidak perlu lagi membahas itu. Yang berlalu biarlah berlalu. Yang lalu kita jadikan lembaran baru. Untuk membuka dan menulis kenangan terindah kembali.” Kataku sambil menangkup kedua pipinya.

“Mas ... Seharusnya aku memilihmu ...” Windi mendesah sambil bangkit dan tiba-tiba duduk menyamping di pangkuanku.

Belum habis rasa terkejutku, Windi tiba-tiba menciumku. Dia bahkan memperdalam ciumannya, dan aku berusaha untuk keluar dari kurungannya tetapi nihil. Alhasil Windi malah meraih tengkukku dan memperdalam ciuman kami. Sungguh aku terbuai dibuatnya. Windi menciumku dengan sangat lembut dan penuh tuntutan. Dan yang membuatku bingung sekarang adalah sejak kapan aku membalas ciumannya dan tanganku tepat melingkari perutnya. Dia melumat bibir bawahku begitu dalam bagaikan sebuah permen. Dia menggeram di dalam ciuman kami. Satu yang membuatku terpaku. Matanya sangat indah dan penuh hasrat. Mata hitam legam dengan bulu mata yang lentik dipenuhi dengan gairah. Matanya begitu dalam, dia begitu menikmati apa yang ada di dalam mataku. Mata kami saling meresapi di bawah cahaya lampu. Windi melepas ciuman, namun hanya satu detik dia mencium kembali, lalu melepas lagi dan mencium lagi. Aktivitas manis juga panas. Ah, semakin lama semakin liar maksudku.

“Windi ...” Panggilku saat dia melepas ciumannya.

“Apa?” Tanyanya dengan hidung kami yang bersentuhan.

“Kita gak boleh melakukan ini.” Kataku benar-benar jaim.

“Aku akan mengambil lagi apa yang aku buang mas ... Aku menyesal telah membuangmu mas ... Aku sangat mencintaimu ...” Desahnya.

“Ta..tapi ...” Sejujurnya aku sangat ragu dengan hal ini. Memang aku pernah mencintainya dan mungkin rasa itu masih ada, tetapi situasinya sudah sangat berbeda. Kali ini aku hanya ingin melihat Windi bahagia dengan keluarganya.

“Tidak ada tapi-tapi lagi mas ... Aku ingin hamil anakmu mas ...” Katanya dan aku terkejut seketika. Ucapannya seakan aku tersambar petir di siang bolong.

“Bagaimana bisa?” Tanyaku sambil mendorong pelan tubuhnya hingga kami berjarak.

“Sejak malam pertama dengan suamiku, aku diam-diam meminum pil KB mas. Suamiku tidak tahu kalau aku menahan kehamilan dengannya. Aku memang tidak berniat memiliki anak darinya. Aku sudah merencanakan sebelum pernikahanku, kalau aku ingin mengandung anakmu.” Jelas Windi tak masuk akal.

“Kenapa kamu melakukan itu?” Tanyaku lagi. Aku menatap Windi seakan mencari kebenaran dari sorot matanya.

“Mas ... Aku tak sudi mengandung anak dari orang yang sombong dan angkuh, apalagi keras kepala dan berperangai kasar. Aku takut anakku memiliki sifat-sifat itu. Aku ingin anakku kelak seperti mas yang pengasih dan penyayang.” Tutur Windi.

Aku terharu mendengar kata-kata Windi. Sebegitu berartikah diriku baginya. Aku bahagia sekali mengetahui hal itu. Tanpa menunggu lagi aku langsung memeluknya, aku sambar bibirnya hingga terjadi pergulatan bibir dan lidah. Kali ini bukan hanya sekedar nafsu namun aku tumpahkan kasih sayangku yang paling murni padanya, dengan lembut kami berciuman dengan penuh kasih dan cinta. Setiap hari, bahkan sampai detik ini aku masih mencintainya. Aku akui, aku memang bodoh karena terlalu mencintai Windi.

“Mas ... Kita pindah ke kamar ...” Ajak Windi yang tak mungkin lagi aku tolak.

Aku langsung menggendongnya dengan gaya bridal. Windi cekikikan sambil melingkarkan lengannya ke leherku. Tak lama, kami sudah berada di kamar pengantinnya dan kali ini aku menjadi pasangan pengantinnya. Tanpa pikir panjang kami pun melepaskan pakaian hingga tubuh kami sama-sama telanjang. Aku dan Windi bergumul di atas ranjang, berpelukan erat dan berpagutan mesra. Kedua pasang tangan kami pun tidak kalah liar, saling mengeksplorasi tubuh pasangan kami. Entah berapa lama, aku merasakan jika vagina Windi sudah basah dan kejantananku sudah siap bersarang. Kami menyudahi foreplay ini dan masuk ke inti permainan.

“Kamu mau posisi seperti apa?” Candaku saat aku sudah berada di atas tubuh Windi dengan penisku yang sudah berada di pintu liang surgawinya.

“Seperti ini saja mas ... Biar benih mas masuk sempurna.” Lirih Windi dengan kuluman senyumnya. Aku tahu ini sesuatu yang terlarang. Tapi justru itulah yang membuat hasratku semakin bergejolak.

“Mas masuk ya ...” Candaku lagi yang dibalas senyuman dan anggukan. Setelanya, aku mulai menekan pinggulku.

“Oooohhh ... Maaasss ...” Windi mendesah saat penisku masuk, batang penisku yang besar dan penuh guratan otot mestimuli dinding vaginanya.

“Enak sekali punyamu sayang ...” Kataku. Penisku yang sudah tenggelam di dalam vaginanya terasa seperti dijepit dan tersedot vagina.

“Aaaahh ... Gerakin mas ...” Rintih Windi memelas.

Dan aku mulai menggerakan pinggul perlahan, maju mundur dengan tempo yang beraturan. Windi tersenyum menatapku, kemudian diraihnya kepalaku lalu bibirku dilumat dan disedot. Lidahnya menari di dalam rongga mulutku. Beberapa menit berselang, aku percepat gerakan penisku sedangkan Windi juga makin mantap memutar pinggulnya. Kakinya kini melingkar di pinggangku, sementara telapak kakinya yang ada di atas pantatku menghentak-hentakkan pinggulku hingga makin dalam tusukkan penisku di vaginanya. Windi terlihat sangat menikmati persetubuhan ini. Berkali-kali dia mendesah dan mengerang karena nikmat. Matanya kadang menatapku sambil tersenyum lalu terpejam menikmati tusukkan penisku di vaginanya.

Aku juga sangat menikmati goyangan pantat Windi. Vaginanya terasa sempit dan licin, sehingga menambah rasa nikmat yang muncul di batang penisku. Vagina Windi seperti mempunyai jari yang meremas penisku. Remasan vagina Windi makin nikmat ketika dia memutar pinggulnya. Penisku serasa disedot dan dipijit vagina Windi. Kaki Windi makin erat menjepit pinggangku dari sisi kanan dan kiri, sementara telapak kakinya makin kencang menghentakkan pantatku.

“Oooh maass ... Aaahh ... Aaahh ... Terruusss maasss ...” Windi mulai meracau karena kenikmatan yang aku berikan.

Kemudian aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan tanganku yang bertumpu di tempat tidur. Kembali aku pompa vagina Windi sambil bertumpu dengan jari kakiku seperti orang push up. Akibatnya, tusukkan penisku makin mantap dan makin dalam. Windi berkali-kali menjerit dan mengerang karena keluar masuknya penisku. Tangan Windi berusaha menggapai kepalaku. setelah didapatkan, kepalaku ditarik. Aku menjatuhkan diri perlahan sambil bibirku mengulum putingnya, lalu Windi memelukku dengan erat sambil meraih kepalaku kemudian menciumi wajahku. Bibirnya dengan ganas dan liar melumat dan menyedot bibirku, sementara goyangan pinggul Windi dan hentakan penisku di vaginanya makin cepat, bibir Windi dengan cepat mengulum telingaku hingga aku menggelinjang nikmat. Lidahnya menyusup di dalam daun telingaku dan mengkorek-korek lubang telingaku. Kurasakan vagina Windi sudah sangat basah dan semakin licin sehingga penisku makin mudah keluar masuk di dalamnya.

Kurasakan kaitan kaki Windi makin erat, hentakan telapak kakinya dipantatku makin keras, tetapi tidak langsung dilepas seperti tadi, melainkan waktu penisku menghujam di vaginanya, Windi menekan pinggulku agak lama dan tentu saja penis agak lama juga berdiam diri di dalam vagina Windi. Yang kurasakan saat penisku berdiam di dalam vagina Windi beberpa detik, terasa vaginanya makin hangat dan makin basah, hingga sampai suatu saat Windi memekik sambil mengangkat pantatnya tinggi-tinggi. Penisku amblas seluruhnya di dalam vagina Windi. Apalagi ditambah tekanan telapak kaki Windi di pinggulku juga makin kencang. Pelukan Windi makin erat. Tiba-tiba kuku tangan kanannya yang tajam mencengkeram pundak kiriku sementara tangan kirinya mengkait erat leherku.

“Maasss… Ssshh… Nikmat sekali maasss… Aku pingin pipiiiissss …” Teriak Windi disela-sela orgasmenya. Bersamaan dengan itu, dapat kurasakan kejantananku tersiram cairan yang begitu hangat dari dalam tubuhnya. Aku percepat kocokan penisku untuk menyempurnakan orgasme Windi. Mulutku mencari-cari putingnya lalu menghisapnya dengan kuat. Windi melenguh panjang lalu diam lemas tak bergerak.

“Kita istirahat dulu ya, Sayang …” Kataku sambil menciumi wajahnya lalu berhenti dengan membiarkan penisku tetap di dalam vagina Windi.

“Lanjutkan saja mas …” Jawab Windi manja.

Di tengah kelelahannya, tangan Windi kembali memelukku dengan kencang. Bibir dan lidahnya menyusuri muka dan leherku, sedangkankan kedua kakinya kembali melingkar pinggangku dengan erat. Rupanya Windi tak ingin aku berhenti mempompakan penisku di vaginanya. Kembali aku ayunkan pantatku untuk memompa vagina Windi.

“Mas belum apa-apa, kan?” Katanya lagi.

Penisku yang belum tercabut dari vaginanya digoyang dan dikocok vagina Windi. Gerakan pinggul Windi tak seganas tadi, kini lebih lembut dan pelan tetapi terasa sangat nikmat. Dengan semangat dan bergairah aku pompakan penisku ke dalam vaginanya, dan kembali Windi mengerang sambil meremas rambutku. Berkali-kali bibirnya mencari bibirku kemudian melumat dan menyedot. Lidahnya mengait lidahku. Kami saling hisap dan saling menggoyangkan pinggul. Kejantananku keluar masuk di kewanitaan Windi seolah tak ingin berhenti apalagi diiring desahan Windi yang pelan tetapi sangat membuatku bernafsu.

Kembali aku mengambil posisi agak tegak dengan meluruskan kedua lenganku. Lalu aku raih kaki Windi satu per satu dan aku angkat ke depan dadaku lalu kurapatkan kedua kakinya kemudian aku tekuk lututnya kemudian kutekan kakinya hingga lututnya menyentuh dadanya. Dengan posisi ini, vagina Windi menyempit dan terasa lebih menjepit penisku. Demikian pula gesekan penisku di vagina Windi lebih terasa. Aku tujah vaginanya dari arah atas ke bawah. Terlihat bibir vagina Windi membungkus ketat penisku. Saat penisku menekan masuk, bibir vaginanya ikut masuk. Dan saat penisku di tarik keluar, bibir vaginanya terlihat keluar. Windi berkali-kali mengerang dan menjerit.

“Nikmat sekali… Sssshh… Aaaaahhh…” Kata Windi di sela desahannya.

Aku memompa vagina Windi dengan cara cepat dan pelan berganti-ganti. Kadang aku mengujamkan dengan keras penisku, kadang aku tarik dengan cepat tapi tidak sampai lepas kemudian aku hujamkan lagi dengan cepat dan keras. Erangan, teriakan dan desahan Windi makin sering dan makin keras terdengar. Hal ini membuat aku makin bergairan menusuk-nusukkan penisku. Apalagi kemudian badan Windi meliuk-liuk ke kakan dan ke kiri seperti ular yang mengejar mangsanya. Aku percepat gerakan pinggulku memompa Windi lalu aku pelankan lagi.

“Ssshhh … Mas nakal … Aaaahhh…”

“Tapi kamu suka kan…?”

“Suka mas … Nikmat sekali mas … Aaaaahh ...” Sahut Windi.

Gerakan bercinta seperti ini membuat klitoris Windi terus bergesekan dengan batang kemaluanku. Reaksi Windi sungguh luar biasa ketika batang ereksiku menggesek-gesek klitorisnya yang tegang dan licin terkena cairan yang terus-menerus merembes keluar dari vaginanya. Erangannya makin keras. Pinggulnya bergoyang makin hebat. Tiba-tiba dengan kuat kedua tangannya mencengkeram kedua lenganku sampai kuku-kuku tangannya menghujam ke dalam kulit lenganku. Penisku terus menggesek klitoris dan dinding vaginanya dengan cepat.

Tubuh Windi meliuk-liuk tak karuan, kadang ke kanan dan ke kiri, lalu melengkung ke belakang, lalu membungkuk ke depan, lalu ke belakang lagi, ke depan lagi dan seterusnya. Akhirnya terdengar jeritan Windi yang sangat keras disertai gerakan tubuhnya yang mengejang dengan kuat sambil melengkung ke belakang. Kepalanya mendongkak, pinggulnya bergetar hebat sampai aku dapat merasakan penisku seperti dipijat dan digetarkan, lalu vagina Windi terasa sangat basah dan hangat. Selanjutnya aku melepas kedua kaki Windi yang tertekuk dan rapat di depan dadanya. Kaki Windi kembali membelit pinggangku. Selanjutnya aku peluk Windi sambil menggeser tubuhku sehingga pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya.

Ini aku maksudkan agar pangkal penisku berada di bagian atas vaginanya sehingga klitoris Windi makin merasakan tekanan penisku. Genjotanku makin aku perkuat dan percepat. Jeritan Windi makin menjadi, gerakannya makin liar, sementara vaginanya makin kuat mencengkeram dan menggetarkan penisku. Vaginanya seolah memijat dan menghisap penisku. Penisku serasa diremas kemudian dipilin dengan benda yang sangat kenyal, licin dan hangat. Akibatnya penisku pun berdenyut-denyut. Rasa nikmat yang luar biasa mulai aku rasakan di ujung penisku, lalu perlahan menjalar menuju pangkalnya. Rasa nikmat itu kembali mengalir dari pangkal penisku dan dengan cepat menuju ujungnya.

“Saayyannghh… Ssshhhh… Aku mau keluarrrr…” Kataku mengeksperesikan kenikmatan yang aku rasakan.

Windi menjawab dengan mengaitkan kakinya kembali ke pinggangku kemudian menariknya sehingga penisku menghujam makin dalam. Aku tekan vagina Windi dengan penisku dalam-dalam kemudian aku peluk Windi sambil kucari bibirnya lalu melumat dan menghisapnya kuat-kuat saat spermaku muncrat di dalam vaginanya. Windi memekik kecil karena semprotan spermaku mengenai dinding liang vaginanya.

“Oh… Nikmat sekali…”

“Iya sayang… nikmat sekali…”

Kemudian kami terkulai dengan posisi aku menindih tubuh Windi. Windi masih berusaha menciumi wajahku dan menghisap bibirku. Kubuka mataku dan menatap mata Windi. Kami tersenyum puas lalu kembali Windi mencium bibirku.

“Aku cabut ya…?” Kataku

“Jangan dulu mas… Aku masih ingin penismu ada di dalam.” Jawab Windi. Maka aku biarkan sejenak penisku sampai mengendur dan mengecil di dalam vagina Windi. Beberapa saat kemudian aku berguling ke samping kiri Windi.

“Mas puas?” Tanya Windi samil memelukku.

“Puas sekali, Sayang…” Jawabku. Aku balas pekukan Windi dengan meletakkan tangan kiriku sebagai bantal kepala Windi sedangkan tanganku membelai wajahnya. Windi menelusupkan wajahnya di dadaku.

“Kenapa kita tidak melakukannya sejak dulu?” Ucap Windi yang sepertinya ia tujukan untuk dirinya sendiri.

“Jangan suka menyalahkan takdir. Gak baik.” Kataku.

“Sungguh mas ... Aku menyesal ...” Katanya yang langsung aku potong.

“Sssssttt ... Berhenti mengeluh ... Lebih baik kita nikmati saja ...” Kataku.

“Iya ...” Jawab Windi dan tiba-tiba penisku diremas-remas tangannya.

“Kita lanjutkan nanti. Sekarang aku lapar.” Bisikku di telinganya.

“Aih ... Aku lupa ... Aku sudah memasak buat mas ...” Windi pun bangkit lalu duduk bersila dan tersenyum padaku.

“Ya udah. Kita makan dulu.” Ajakku yang dijawab anggukan dan senyumannya.

Kami pun makan malam bersama-sama sambil bercerita tentang kegiatan masing-masing. Windi yang hanya mengenakan gaun tidur tipis tanpa daleman membuat kejantananku terus mengeras. Windi memang memiliki tubuh yang begitu sempurna. Kaki jenjang yang indah, ukuran pinggang yang kecil dengan pinggul yang penuh, muka yang begitu elok, payudaranya proporsional sesuai dengan kerangka tubuhnya yang pipih dan jenjang, kulitnya putih langsat tanpa cacat.

Sudah tentu, malam ini kami gunakan untuk bercinta. Kami seperti pengantin baru yang tidak puas mereguk madu kemesraan. Kami seperti pengantin baru yang tengah menikmati indahnya bulan madu. Kami terus bercinta sampai tak tahu kami jatuh tertidur karena kelelahan. Akibatnya penyatuan kami pun berlum terlepaskan. Kejantananku masih anteng berada di dalam vagina Windi seolah vaginanya memang dibuat khusus untuk diriku seorang. Hingga pagi menjelang, kami pun melakukannya lagi, tak bosan-bosannya sampai tiga kali. Belum lagi di kamar mandi saat kami bersama-sama membersihkan badan. Setelah sarapan, aku pun berpamitan.

“Mas ... Nanti malam mas ke sini lagi ya ...” Pinta Windi malu-malu.

“Ya, sayang ... Aku akan ke sini lagi, supaya kamu cepat hamil.” Kataku.

“Hi hi hi ... Aku gak sabar hamil anakmu mas ...” Windi merangkul leherku.

“Kamu memang nakal.” Kataku sambil mengecup bibirnya. “Mas sudah telat. Mas harus segera ke kantor.” Lanjutku.

“Oh ya ... Hati-hati ya mas ...” Akhirnya Windi melepas aku pergi.

Aku segera menunggangi Si Black dan membesutnya dengan kecepatan tinggi. Aku sudah dipastikan terlambat, tapi aku yakin tidak akan lebih satu jam. Dua puluh menit berselang, aku sampai di rumah dan secepat-cepatnya berganti pakaian dinas. Saat aku sedang menyisir di depan cermin, tiba-tiba Pet mengajakku ngobrol.

Semalam itu luar biasa.” Kata Pet.

“Maksdunya?” Tanyaku.

Tehoa yang kau hasilkan luar biasa besar.” Jawab Pet.

“Ya wajarlah ... Aku main lebih dari 10 kali sampai pagi tadi.” Jawabku enteng.

Bukan itu saja ... Tehoa yang kamu kirimkan jumlahnya melebihi dari sebelumnya. Sekali kau klimaks besar tehoanya berlipat-lipat kali dari malam-malam sebelumnya.” Ungkap Pet yang sukses membuatku terkejut.

“Kok bisa?” Tanyaku.

Kau bercinta bukan hanya sekedar nafsu. Kau bercinta dengan pasanganmu semalam membawa hatimu. Itu yang membuatnya beda.” Jelas Pet.

“Wow! Kalau begitu, aku akan bercinta sebanyak mungkin dengan Windi.” Kataku bersemangat.

Kamu harus tetap membawa perasaanmu saat bercinta dengannya.” Pet seperti sedang memperingatiku.

“Jangan khawatir kawan ... Aku mencintainya dan memang sangat berbeda dengan yang lain. Dengan Windi aku merasa tidak pernah puas dan ingin terus melakukannya.” Ujarku.

Kalau kau bisa melakukan itu. Aku akan segera bebas.” Ungkap Pet.

“Ya, Pet ... Aku juga ingin sekali kau bebas. Aku merasakan juga kesengsaraanmu.” Kataku.

Terima kasih ... Kau memang teman sejatiku.” Baru kali ini aku mendengar pujiannya.

“Aku harus kerja dulu ... Aku tinggal ya ...” Kataku.

Ya ...” Jawabnya.

Langsung saja aku berangkat kerja setelah berpamitan pada kakek yang juga sudah bersiap-siap ke ladang. Sekali lagi aku membesut Si Black dengan kecepatan tinggi. Hanya 15 menit aku pun sampai di kantor. Stafku memberitahuku kalau aku ditunggu Pak Kades di ruangannya. Tanpa berlama-lama, aku secepatnya menemui Pak Kades.

“Maaf, pak ... Saya terlambat karena ada yang harus saya urus dulu di rumah.” Kataku berbohong sambil duduk di kursi depan meja kerjanya.

“Tak apa-apa ...” Sahut Pak Kades sembari menarik kursinya agak ke depan lalu mencondongkan badannya, “Azka ... Apa yang kamu lakukan kepada orang-orang yang menyekap adikku?” Tanya Pak Kades berbisik-bisik.

“Aku menyuruhnya pulang.” Jawabku santai.

“Apa kamu tahu kalau mereka itu tewas di kawah Gunung Kawi?” Tanya Pak Kades yang rupa-rupanya sudah ada kabar tentang kematian kelima berandal yang kusuruh menyeburkan diri ke kawah Gunung Kawi.

“Belum pak ... Aku baru tahu dari bapak.” Jawabku pura-pura tidak tahu.

“Aku tanya padamu ... Apakah kamu yang membuat mereka senekat itu?” Pertanyaan Pak Kades terkesan menuduh.

“Bagaimana aku bisa pak? Kenapa bapak berpikiran seperti itu?” Aku coba berkelit.

“Kamu itu cucu dari orang tersakti di desa ini, bahkan mungkin sekecamatan ini. Aku mengira kamu mempunyai ilmu gaib yang bisa menyuruh orang bunuh diri yang diturunkan kakekmu.” Ucap Pak Kades.

“Ha ha ha ... Kakek tidak pernah mengajarkanku ilmunya. Diminta pun tak memberinya. Percayalah pak, aku tidak mempunyai ilmu seperti itu.” Jawabku sungguh-sungguh.

“Oh ya sudah ... Aku berpikir kita tidak usah melapor kejadian kemarin ke polisi. Kita harus tutup mulut seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Aku juga sudah meminta adikku dan semua keluarga untuk tutup mulut.” Kata Pak Kades. Aku mengerti alasan Pak Kades untuk menutup-nutupi kasus penculikan karena dia tidak ingin menjadi tersangka kematian orang-orang yang telah menculik adiknya.

“Baik.” Jawabku singkat.

“Ya sudah, kembali ke ruanganmu.” Ucap Pak Kades.

Aku bangkit lalu membungkuk badan memberinya hormat, kemudian keluar dari ruangannya. Sesampai di ruanganku, sejenak aku merenung. Sebenarnya yang harus aku berantas adalah gembongnya, bukan anak buahnya. Ya, rasa penyesalan itu kembali hadir. Namun, semuanya telah terjadi dan tidak dapat dikembalikan. Banyak hal yang kadang tidak aku mengerti dari pilihan-pilihan yang aku jalani, sering mengundang penyesalan. Tetapi bagiku, setiap kesalahan pasti punya nilai pembelajaran. Maka, ada ungkapan, ‘hal yang sudah berlalu tak perlu disesali’. Sudah sepatutnya kata-kata bijak itu aku jadikan pegangan hidup. Jangan sesali yang sudah berlalu, jangan pula takut pada masa depan.
Bersambung

Chapter 13 di halaman 84 atau klik di sini.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd