Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG (Copas) Ayu majikan yang menikahi pembantunya ( cuckold)

Bimabet
Duh mantab banget.. Semoga pak Danang juga install MOE TV.. 😍
 
BAB II : EKSPLORASI


Ayu Sofia Filayeti


Perasaan gugup, senang, dongkol, dan puas, bercampur aduk di dalam relung dadaku. Kuputar kunci kamarku dan kutarik sedikit knop pintu untuk memastikan bahwa pintunya terkunci sempurna sebelum melempar pakaianku ke rak cucian kotor dan berjalan menuju kamar mandi.

Beruntung dulu Mas Rian menuruti keinginanku buat renovasi agar bikin dua kamar mandi, satu kamar mandi utama dan satu lagi kamar mandi berukuran sedang yang menyatu dengan toilet. Biar pas lagi mager ngga usah naik turun tangga buat ke WC di bawah.

Aku yang sudah setengah bugil pun menanggalkan jilbab dan sisa pakaianku yang lain lalu melangkah ke kamar mandi—membasuh bekas-bekas seks virtualku bersama Pak Hadi.

Tanganku yang menyusuri lekuk-lekuk tubuhku sesekali bergetar saat menyentuh lembut selangkanganku. Kugosok pelan sabun pada bagian intimku dan mendesah lemah di bawah siraman shower.

Selesai dari kamar mandi, kukeringkan tubuhku dan rambutku, sebelum akhirnya mengenakan lagi gamis dan rok krem yang barusan kuambil dari dalam lemari. Lama waktu kuhabiskan untuk make-up demi menghilangkan jejak-jejak kebinalanku dan keluar lagi sebagai wanita syar'i yang bermartabat.

Saat aku menuruni tangga, nampak Pak Danang sudah selesai memasukkan mobil ke dalam garasi dan beliau pun melangkah masuk ke rumah.

"Pak, saya mau keluar dulu, pakai motor. Nanti kalau ada Mamang Sayur komplekan lewat, belikan daun bawang sama tomat ya, kemarin lupa nyetok." Kuserahkan selembar uang seratus ribu padanya, "Kembaliannya buat bapak makan aja sore sama malam, saya ngga masak malam ini, mungkin makan di luar."

"Baik, Non. Terima kasih banyak," ucapnya sambil membungkuk lalu berlalu melewatiku.

Namun, tak kusangka pria tua itu malah berhenti di dekat sofa lalu diam keheranan.

"Kenapa pak," tanyaku menyelidik.

"Oh, ngga ini Non. Ada timun di samping sofa," jawabnya menunjukkan sebuah timun yang dia temukan.

DEG!

Seketika jantungku berpacu cepat, sialan, aku lupa buang bekas tadi. Meski begitu aku berusaha sekuat tenaga agar air mukaku tidak sedikitpun berubah di hadapannya.

"Ngga tahu pak. Mungkin pas kemarin kali bapak buru-buru pas bawa belanjaan sayur terus jatoh. Udah kotor tuh pak, buang aja," perintahku.

Dia menggaruk kepalanya beberapa kali, "Baik Non. Saya buang dulu. Maaf Non."

Aku melengos keluar sesaat setelah Pak Danang memasukkan timun itu ke tempat sampah seolah tak terjadi apapun.

Dengan pikiran yang masih mumet kubiarkan saja arus jalan mau membawaku kemana, aku tak tahu apa yang saat ini kuinginkan, sensasi tegang ini adalah kali pertama aku merasakannya, bak lukisan hitam putih yang pertama kali menerima cat warna, hidupku serasa berubah menjadi sebuah petualangan. Sampai mana aku bisa melakukan hal ini tanpa ketahuan dan jika ketahuan hal apa saja yang akan menimpa wanita bermartabat sepertiku.

Letih rasanya aku melalui jalanan ini, saat kulihat sebuah Cafe di samping jalan aku pun reflek melambatkan lajuku dan berbelok.

Aku pun masuk dan memesan sebuah Red Velvet pada barista yang nampak seumuran denganku, lalu memilih sebuah tempat duduk di sudut meja.

Mataku melirik sekeliling, ada dua pemuda dan satu wanita yang kelihatannya sedang bersenda gurau jauh di meja dekat pintu, sementara satu lagi pria menyendiri dengan ponselnya di meja seberang kedua pemuda-pemudi itu.

"Silahkan, Mbak."

"Terima kasih."

Aku menyambut minuman itu dengan satu senyum manis, lalu kembali melihat sekeliling. Suasananya cukup cozy, tidak terlalu pengap, mungkin karena sedang jam sepi.

Kusandarkan daguku di punggung tanganku, sembari sesekali melirik sekitar. Tanganku mencari earphone dan masker di dalam tasku kemudian memasangnya.

Kuberanikan diri membuka aplikasi itu lagi di tengah-tengah publik.

Ya, seperti biasa, ngga bisa berharap wajah tampan nan rupawan yang pertama muncul di aplikasi MEO TV ini, kali ini nampak wajah anak SMA yang dekil penuh keringat sedang melongo menatap layar. Bodoh sekali pikirku, tanganku langsung bergerak menggeser layar ke kiri sebelum dia sempat mengatakan sepatah dua patah kata.

Kuli bangunan, skip.

Pekerja kantoran, skip.

Anak culun rumahan, skip.

Fuuuhhh~ Ya ampun, benar-benar tidak ada yang menarik minatku. Gelak tawa anak muda yang berada jauh di seberang meja menyadarkanku sesaat, sebelum kemudian kembali memainkan aplikasi live itu.

Bocah jamet, skip.

Om-om nyari simpanan, skip.

Bahkan ada yang nampak seperti pengamen, skip.

Ampun deh. Tanganku terus menscroll ke kiri sampai akhirnya kudapati sebuah layar kosong. Hanya ada paha dan kaki seorang pria berwarna coklat kehitaman muncul di layar.

Jemariku hampir melewatkan tontonan itu karena terlalu cepat menscroll.

"Nahhhh ini nihhh ...." teriak hatiku kegirangan, bak hewan buas yang telah lama menahan lapar lalu diberikan seonggok daging.

Kutarik pelan jariku ke kanan layar, batal skip, dan mencoba melihat apa kelanjutannya.

Pria itu diam, duduk tanpa suara, dia bahkan tampak ragu-ragu untuk bergerak.

Aku pun tak mampu untuk berbicara. Seolah-olah jika kukeluarkan suaraku sekarang, dia akan lari meninggalkanku.

Ampun, apasih yang kupikirkan. Kenapa aku malah ingin dilecehkan dengan cara seperti ini? Hawa nafsu dalam relung dadaku benar-benar menggebu, memompa darah panas ke seluruh tubuhku.

"Apaan tuh, buka dong!"

Aku malah memberanikan diri chat dia duluan, nafsuku sudah di ubun-ubun saat melihat siluet gundukan di selangkangannya. Duh, seorang wanita bergamis dan berjilbab syar'i yang berdiri dengan penuh martabat di depan orang-orang, saat ini tengah mengirim chat cabul agar dirinya dilecehkan.

Tangan keriputnya nampak ragu, namun perlahan tapi pasti bergerak menuju area selangkangannya.

Aku menelan air liurku, saat tangan itu terus menerus menggosok gundukan yang tersembunyi dari balik celana cargo miliknya.

"Keluarin dong!" chatku lagi, membuat tangannya terhenti.

Napasku perlahan berubah berat saat tangan itu bergerak membuka kancing celana cargo miliknya. Batang kejantanan berwarna coklat kehitaman itu pun menyembul keluar dari sarangnya.

"Slrph...." Reflek lidahku menyapu bibirku dan menggigit kecilnya menahan rangsangan yang kini ada di ponselku, beruntung masker menutupi wajahku sehingga sukar bagi orang lain melihat ekspresi sangeku saat ini.

Penis ini tidak sepanjang milik Pak Hadi namun diameternya nampak sedikit lebih lebar. Jika punya Pak Hadi kuperkirakan sekitar 16 senti, mungkin yang ini kisaran 15 atau 14,5 lah. Namun yang membuat api nafsu membara dalam kepalaku adalah keduanya sama-sama belum disunat.

Aku seorang akhwat yang suci, dilecehkan oleh penis yang belum disunat, benar-benar gila. Kenapa rasanya aku senang sekali direndahkan seperti ini? Rasanya alam bawah sadarku seperti sudah begitu lama menantikan diriku diperlakukan seperti ini.

Saat tangan itu berhenti mengocok, kepala kejantanannya pun keluar dari kulupnya dan menegak sempurna, nampak pria tua itu mendekatkan kameranya menyorot batang tegak sempurna itu bak menyiram minyak pada kobaran api nafsuku.

"Sssshhhhh .... hhaaahhhh ...." Aku mendesah sepelan mungkin, meski rasanya sudah ingin meronta-ronta minta dilecehkan lebih dari ini.

"Kocok terus sayang," pintaku via chat dan dia pun menurut lalu mulai mengocok pelan benda intim tersebut.

Tanpa sadar tanganku yang satu bergerak menuju dadaku, kuminimalisir semua gerakan tubuhku agar tak tampak mencurigakan dan lanjut meremas-remas pelan dadaku.

Meskipun pejantanku kali ini tak banyak bicara namun terdengar suaranya amat memburu di ujung sana, mencoba mencari puncak kenikmatan bermodalkan fotoku.

Kuperhatikan sekelilingku masih tampak begitu sibuk dengan diri mereka masing-masing. Tanganku bergerak perlahan melepas satu kancing atasku, dua, hingga tiga buah. Kusibak sedikit bajuku hingga menampilkan sekelebat belahan dadaku, tiga detik?ampun, hanya tiga detik namun waktu di sekitarku serasa melambat. Pejantanku di ujung sana melenguh keras melihat kenakalanku dari layar ponselnya sambil terus mempercepat kocokannya, membuat hatiku berbunga-bunga. Senang, dan bahagia rasanya, seolah-olah memiliki seorang budak pria yang bisa kupermainkan semauku.

Kukancing sempurna kembali pakaianku, saat dia melenguh panjang dan memuncratkan air mani ke tangan hingga celananya.

Selangkanganku terasa amat gatal, ingin rasanya cairan yang sudah keluar itu kuambil dan kumasukkan ke dalam tenggorokanku.

Ahhhh, sialan, Ayu, apasih yang kamu pikirkan? Kenapa kamu malah jadi binal begini? Ini bukan kamu, Yu! Ini jelas-jelas bukan kamu! Nuraniku berteriak keras mencoba melawan pikiran jorokku.

Benar, ketika aku dilecehkan seperti ini, sebuah perasaan baru muncul membentuk kepribadian baru. Mungkin inilah sebagian puber yang belum kualami saat masa kuliah dulu, sesuatu hal yang kulewatkan saat menolak tawaran kak Lidya.

Perasaan bahagia saat aku direndahkan ataupun saat aku merendahkan diriku sendiri.



Ayu Sofia Filayeti


Puas keluyuran kemana-kemana dan berbuat amoral secara sembunyi-sembunyi di tengah publik, aku pun beranjak pulang ke rumah.

Setibanya di depan gerbang, kuklakson motorku dua kali agar Pak Danang membukakan pintu. Namun lama kutunggu tak pula lelaki tua itu datang. Satu lagi klakson sedikit panjang baru akhirnya dari kejauhan kulihat dirinya terngopoh-ngopoh setengah berlari menuju gerbang.

"Maaf, Non. Saya tadi lagi nyuci di belakang, jadi ngga kedengeran. Saya kira Non Ayu hari ini keluarnya sampai malam," ucapnya dengan nada sesal.

"Ngga jadi pak, lagi ada pikiran aja kelamaan di luar," jawabku sambil memasukkan motorku menuju garasi.

"Masih ada cucian pak? Perasaan sudah semua?"

"Bukan, Non. Anu .... itu pakaian saya yang kotor."

"Ooohh."

Aku pun masuk ke rumah lalu duduk bersandar di sofa, kuhidupkan televisi dan lanjut membalas pesan WA dari Kak Lidya dan Mas Rian. Lama aku berkutat dengan ponselku hingga baru aku sadar Pak Danang kelihatannya masih mematung di depan pintu.

"Loh, Pak Danang? Ngapain bengong di situ? Nanti kesurupan saya ngga mau nolongin loh."

"E-Eh .... Engga Non. Saya tadi lupa yang mau dikerjakan apa. Anu, Non Ayu mau saya masakin? Kelihatannya Non belum makan habis dari luar."

"Oh iya nih, lupa tadi mau beli makanan, duh, masakin nasi goreng pak ya, ada 'kan masih bahan-bahannya."

"Masih ada, Non. Sebentar saya masakin dulu ya Non."

Entah mengapa hari ini Pak Danang terasa aneh di mataku. Suka melamun dan terlihat memandangiku lebih dari biasanya. Namun masih kutepis semua perasaan negatif itu dan mencoba beprasangka baik padanya.

"Apa dia mau ngutang ya?" pikirku, namanya orang susah mau minjam duit 'kan gelagatnya mirip-mirip semacam itu.

Aroma harum dari dapur tercium menandakan nasi goreng buatan Pak Danang sebentar lagi akan matang. Aku pun berjalan ke dapur menyiapkan beberapa piring, namun beliau lebih dulu mencegahku.

"Ngga usah Non, saya tadi udah makan."

"Loh terus gimana dong? Saya makan sendiri nih ceritanya?"

"Maaf, Non Ayu."

"Oh, yasudah lah kalau begitu."

Aku pun mengembalikan piring satunya dan menyisakan piringku seorag. Dengan telaten Pak Danang menyendokkan nasi goreng itu ke piringku lalu menyuguhkanku segelas air putih.

"Pelan-pelan makannya, Non Ayu. Masih Panas. Saya pamit dulu ya, Non. Mau ke Pos Ronda depan sebentar bareng Kang Dirman."

"Oh siap, jangan lama-lama ya pak. Saya sendirian nih di rumah, nanti kenapa-kenapa susah lagi mau minta tolong."

"Siap, Non."

Aku pun menyantap nasi goreng itu dengan lahap, lalu mendesah kecil, kadang pada saat seperti ini aku lebih ingin menjadi wanita karir ketimbang ibu rumah tangga. Keluar keluyuran, pulang ngga ada kerjaan.

Kutaruh bekas makanku di rak cucian piring. Sambil meneguk air putih aku berjalan ke sekitaran dapur melihat jemuran yang ada di halaman belakang.

Kelihatannya sebentar lagi mau hujan, mungkin sebaiknya kuambil saja pakaiannya sekarang.

Namun saat berjalan berkeliling jemuran mataku terpaku pada sebuah jemuran yang masih nampak baru. Sebuah celana cargo yang tampak begitu familiar di mataku terpampang basah di sana.

Lututku melemah, sesaat aku terperanjat saat melihat celana itu sama persis dengan celana pria asing yang kuajak bermasturbasi di cafe tadi.

Jantungku berdegup kencang, saat mengingat tangan Pak Danang yang menyuguhkan nasi goreng ke piringku, mengingatkanku dengan tangan yang sama dengan tangan pria itu.

"Ahh, ngga mungkin, pasti cuman kebetulan. Satu banding satu juta aku ketemu Pak Danang di aplikasi itu. Lagian 'kan yang main satu Indonesia, belum tentu kita bisa ketemu dalam satu server," lirihku mencoba menghibur diri.

Seketika itu pula kepalaku pusing, sebagian karena prasangka yang tidak-tidak, sebagian lagi mungkin karena kenyang.

Ingatanku kembali pada tatapan Pak Danang hari ini yang kelihatannya seperti ingin menyantap setiap lekuk-lekuk tubuhku.

"Ck, udah ngga usah dipikirin Yu. Cuman kebetulan kok. Pasti kebetulan," gumamku menghibur diri sendiri di depan televisi.

Rasa kantuk selepas makan pun datang menghampiriku, tanpa pikir panjang aku pun merebahkan kepalaku di sofa dan memejamkan mataku untuk menghilangkan sedikit pusing. Kubiarkan hingar bingar suara televisi sekedar untuk mengisi kesunyian rumah ini.

Gelap.
Hanya itulah perasaan yang kuingat.

Tak ada mimpi indah, ataupun mimpi buruk, hanya kekosongan.

Entah berapa lamanya kuhabiskan waktu.

Sayup-sayup suara pintu terbuka terdengar kembali, suara televisi masih terdengar tanda semua masih kutinggalkan sebagaimana mestinya.

Mataku mengintip Pak Danang baru saja datang lalu mengecilkan sedikit volume televisi. Aku lekas menutup mataku rapat-rapat kala dia berbalik ke arahku.

Hening.
Tak ada suara sedikitpun.

Namun aku yakin, dia masih berdiri di sana memandangiku yang terlelap lengkap dengan jilbab, gamis, dan rokku.

Apakah sebaiknya aku bangun sekarang?

Tetapi apa yang terjadi jika kudiamkan dia?

Apakah aku .... akan .....

Gara-gara keseringan main MOE TV, tiba-tiba jiwa binalku yang telah lama terkekang benar-benar ingin bereksplorasi. Apakah dia akan melakukannya? Apakah dia akan memerkosaku? Atau dia hanya meninggalkanku di sini.

"Non! Non Ayu! Bangun Non. Jangan tidur di sini, nanti masuk angin."

Dia menepuk pundakku beberapa kali namun kuhiraukan saja. Tubuhku benar-benar mendambakan sensasi apa lagi yang akan terjadi padaku jika ini kuteruskan lebih jauh.

"Non Ayu," panggilnya lembut seraya mengelus pipiku.

Ahhh, bulu kudukku merinding, ini adalah perdana kubiarkan lelaki lain menyentuh tubuhku selain Mas Rian.

Semakin kubiarkan, semakin pula pria tua ini menjadi-jadi, rupa-rupanya luarnya saja yang tua, nafsunya masih muda juga. Tangannya bergerilya dari pipi menuju kedua payudaraku yang masih terbungkus beha dan gamisku.

"Ahn," rintihku pelan terkejut saat tangan kasarnya meremas payudaraku. Tetapi rintihanku rupaya menumpulkan kenekatan Pak Danang sehingga lekas menarik tangannya.

Sialan, malah setengah jalan gini jadinya umpatku dalam hati.

"Pelan-pelan Mas Rian," ucapku pura-pura mengigau sehingga kini kurasakan lagi tangannya kembali menggerayangi tubuhku.

"Non .... hhhh .... udah lama banget bapak pengen kamu ...." bisiknya dengan napas berat.

Rupa-rupanya pria tua ini sudah lama mengincar tubuhku. Insting awalku yang sedari awal tidak menginginkan Pak Danang sebagai ART di rumah ini ternyata benar, kini kubiarkan predator ini tumbuh besar di rumahku dan siap untuk memangsa majikannya.

Tangannya terus meremas payudara kiriku, hingga kurasakan putingku pun mengeras. Keringat sedikit membanjiri wajahku karena panas tubuhku. Pria ini benar-benar berpengalaman, dia lanjut memilin putingku dari luar gamisku. Jika tidak kutahan tubuhku sudah melekuk dan meliuk-liuk saat ini. Namun terus kucoba untuk mengatur napasku agar tetap terlihat seperti orang yang pura-pura tidur.

"Ahhh, diluar doang kamu mah, Non. Kelihatannya alim, pake jilbab, gamis lebar, isinya juga lonte sangean, main MEO TV buat pamer bodi."

Aku terkejut sekaligus terangsang mendengar perkataan Pak Danang, ternyata memang benar takdir mempertemukan kami berdua dalam sebuah ikatan yang hina. Seketika itu pula jantungku berdegup kencang, dadaku naik turun tak beraturan, membayangkan aku sudah melihat batang kejantanan pembantuku ini sebelumnya, aku bahkan memperlihatkan sedikit dadaku padanya. Meski mengenakan masker, dia tetap mengenaliku yang notabene adalah majikannya sendiri.

Sial, tak terasa celana dalamku basah, aku menggeliat namun tangan itu tidak menyerah dan terus memilin putingku dari luar gamisku.

*CUP*

"Ahhhhhhh .... anjrittttt ...." teriakku dalam hati seraya menggigit bibir bawahku, Pak Danang mengecup putingku yang sudah mengeras dari luar gamisku, aku menggeliatkan wajahku ke samping mencoba menyembunyikan napasku yang amat memburu.

"Maasss...." gumamku, otakku ingin segera menghentikan semua ini dan menampar pria tua yang sudah merendahkanku ini, namun tubuhku menolak dan mendambakan apa lagi yang akan terjadi jika ini terus kubiarkan.

Lama kubiarkan dia menetek di luar bajuku, sampai akhirnya dia berhenti melakukannya dan meninggalkan tubuhku sendirian. Keringatku sudah membanjiri sekujur tubuhku, celana dalamku sudah dibasahi oleh lendir cintaku sendiri, namun aku masih belum juga mendapatkan kepuasan yang aku cari.

Kepalaku kembali menggeliat ke kiri mengisyaratkan bahwa aku masih ingin lagi dinodai olehnya.

*SREET*

Sayup-sayup kudengar suara retsleting terbuka, seketika itulah tubuhku dengan intens merespon predator ini akan melakukannya, jantungku serasa mau pecah—tegang saat merasakan sebuah benda hangat dengan berbau agak pesing menyentuh bibir bawahku.

Satu tangannya meremas payudara kananku, tangannya yang lain menelusup ke selangkanganku, sementara batang kejantanannya berada di depan mulutku.

Ahhhh, Mas Rian! Maafin aku, mas! Maafkan istrimu ini. Jujur aku ingin dilecehkan seperti ini, aku ingin direndahkan semacam ini, perlahan aku menyadari kodratku sebagai wanita seharusnya hanyalah menjadi alat pemuas bagi laki-laki. Namun aku malu mengakuinya, jilbabku, gamisku, seolah menjadi penghalang antara aku dengan kenikmatan tiada tara yang selama ini aku dambakan.

"Duhhh .... pengen banget rasanya disepong kamu Non. Memekmu rasanya pengen banget bapak kontolin pakai punya bapak .... shhhh ahhhhhh halusnya bibirmu Non Ayuuu .... uhhhh alus banget rasanya .... udah becek gini kamu nak .... kamu mimpi ngelonte ya? Dasar akhwat kardus. Lonte dikasih jilbab ya gini nih jadinya."

Wajahku terasa panas mendengar semua hinaan yang dia lontarkan padaku, namun tubuhku berteriak?terangsang berat saat kata-kata itu menghujami tubuhku. Ingin rasanya kubuka mulutku lebar-lebar dan kutelan bulat-bulat tongkat pejantanku ini, namun jika itu kulakukan semua sandiwara ini akan berakhir dan aku akan sepenuhnya kehilangan martabatku di depannya.

"Shhhh hahhh .... Non .... Saya izin mau jilatin lubang punya Non Ayu ...."

DEG!

Bak kena serangan jantung aku dibuatnya. Apakah dia selanjutnya akan memerkosaku di sini? Apakah dia tidak takut samasekali aku akan bangun kalau dia sampai melakukannya? Pria tua ini benar-benar hanya bermodalkan nekat.

Sayangnya, marahku hanya sebatas dalam hati saja, tubuhku sungguh menginginkan dia melakukannya. Jujur, seumur-umur kami menikah Mas Rian tidak pernah menjilati lubang milikku, dia bilang jijik dan tidak seharusnya melakukan itu, sehingga kadang ketika dia memaksaku untuk menyepong kontolnya aku pun menangguhkan alasan yang sama.

Lamunanku pun buyar saat tangan kasar itu bergerak masuk melalui bagian bawah rokku, dengan telaten Pak Danang menarik lepas celana dalamku perlahan, hingga mengeluarkannya dari pergelangan kakiku.

"Hmhhhhh ahhhhh .... harumnyaaaa bau memekmu, Non Ayu."

Bajingan, sempat-sempatnya orang ini mengendus celana dalamku, aku kan jadi makin terbakar dibuatnya.

Tangan itu menyingkap rokku hingga kurasakan kulit vaginaku terekspos jelas di hadapannya, dingin terkena sedikit angin dari AC.

Seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja, aku menunggu detik-detik Pak Danang menjilati bibir labia mayoraku.

"Akkkhhh ...." Tubuhku sedikit terangkat saat kurasakan napas dinginnya bersarang di selangkanganku.

Rasanya bagaikan ratusan kupu-kupu hinggap di atas perutku satu demi satu, terus menggelitik perutku, kenikmatan itulah yang kurasakan setiap kali lidahnya menyapu ruang ruang dalam lubang vaginaku.

Sial, kalau begini terus aku tak bisa lagi menahan lolongan kenikmatan akibat ulah Pak Danang. Kalau sampai aku bangun mampuslah sudah, hilanglah semua wibawaku selama ini di depannya.

"Masss Riannnhhhh ...." gumamku masih dengan sandiwaraku, berpura-pura bahwa semua yang dikerjakan Pak Danang saat ini hanyalah mimpi semata, dan bahwa di alam mimpi saat ini aku sedang bercinta dengan Mas Rian bukan Pak Danang.

Namun bukannya takut aku bangun saat mendengar suara desahanku, Pak Danang justru terasa semakin bersemangat memasukkan lidahnya sedalam mungkin ke dalam liang vaginaku, meski terpejam bola mataku rasanya berputar tegang ke atas meresapi semua kenikmatan yang saat ini tengah menerpa tubuhku.

Tubuhku menegang saat jilatannya sudah mulai membabi-buta, seolah-olah ratusan kupu-kupu yang tadinya hinggap di perutku terbang semua berhamburan ke angkasa.

Jiwaku meraung dengan keras mengekspresikan apa yang tidak bisa diucapkan oleh mulutku. Cairan kenikmatan mengalir deras melalui celah-celah vaginaku. Permainan lidah Pak Danang sukses mengantarku ke lantai pertama dari surga kenikmatan tiada tara.

"Masukin mas," lirihku yang masih memejamkan mata, mencoba memancing Pak Danang agar meneruskan perlakuannya padaku.

Kurasakan sebuah benda panas itu menempel di ujung lubang kenikmatanku, bulu kudukku merinding mengingat batang kontol yang tak bersunat itu sebentar lagi akan mendobrak masuk dalam lubang suci yang kujaga selama ini hanya untuk mahramku.

Maafin aku, Mas Rian. Aku ngga perlu kontol kamu. Aku perlu dia.

*BRTT BRRTT BRRTT BRRTT*

"Ssshhhh heduhhh, apaan sih."

Aku terdiam. Kudengar suara ponsel bergetar samar-samar. Batang panas yang sedari tadi bergesekan di depan vaginaku pun tiba-tiba hilang hawa keberadaannya.

"Siap Pak Rian, saya jemput sekarang juga, Pak."

Di momen krusial seperti ini, suamiku malah menelpon dan menghentikan semua eksplorasi seksualku pada Pak Danang. Aku mengigit bibir bawahku menahan ngilu. Dibiarkan terbakar di rumah ini sendirian dalam kubangan hawa nafsu.

Saat suara mobil menderu keluar rumah dan suara pagar rumah tertutup, aku masih menutupi wajahku dengan lengan, dan sedikit menangis. Kubiarkan lubang kenikmatanku terbuka di ruang bebas berharap mungkin ada sebuah keajaiban lain dimana Pak Danang kembali dan memerkosaku lagi. Memekku terus berkedut mengeluarkan cairan pelumas sementara pipiku basah—menangisi kepergian pejantanku.

Mas Rian.

Aku benci kamu, Mas.
.
.
.
To Be Continued
[No Quote]
 
Keren banget alur dan pemiliha bahasanya layaknya penulis novel profesional. Alurnya juga gak terburu-buru. Mantul suhu, pertahankan style anda. Skrg biar wkt yg menjawab apakah ini akan berlanjut atau macet tak berkabar spt cerita2 yg awalnya bagus di forum Ini
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd