Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANDAIKAN WAKTU ITU...

Mana tokoh yang paling Anda sukai dari kedua wanita Erik ini? (Boleh berubah jawaban)

  • Rini

  • Metta


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
Bimabet
Korea koreaan ga banget serius :Peace:

Buat pecinta drakor atau yg demam korea, bisa jadi nama nama korea & sisipan bahasa korea bakal seru. Tapi buat gw dan mungkin sebagian pria disini yg bukan penikmat drakor, penambahan ini malah bikin ribet & ga nyaman.
 
Pikiran terliarku saat iki adalah metta berhadil diselamatkan, tapi ternyata di alurnimi Rini yg terjebak ;(
 
Korea koreaan ga banget serius

Buat pecinta drakor atau yg demam korea, bisa jadi nama nama korea & sisipan bahasa korea bakal seru. Tapi buat gw dan mungkin sebagian pria disini yg bukan penikmat drakor, penambahan ini malah bikin ribet & ga nyaman.
samaan xixixi...

tapi kalau memang itu passionnya suhu @fleur_mirage hamba sih terima aja dengan senang hati, meski bagian tersebut sering di skip

yah susah sih kalau udah cinta, dan beran cinta sama cerita ini ada kurangnya dikit yg sesuai harapan sangat wajar sekali

tapi over all tetep cinta
 
Kok gue khawatir erik bisa jagain metta tapi gabakal bisa jagain rini ya
 
Chapter 23:

A Little Thing Called Marriage



1 November 2014
Kawasan Puncak
Pukul 22.30 WIB



Aku duduk menerawang di sebuah promenade ke hamparan lautan lampu berlatar hitam di bawah. Metta menggunakan sebuah selimut besar yang memang sengaja kubawa dalam mobil seandainya perlu tidur di sana. Kami menyaksikan pemandangan malam sambil menyesap kopi kalengan.


"Beb..."

"Hmm?"

"Kalau udah nikah nanti, kamu mau aku tetep kerja apa jadi ibu rumah tangga aja?"

"Hmm, aku serahin ke kamu aja enaknya gimana."

"You sure? Kalau aku milih tetep kerja gimana? Bukannya katanya cowok kalau udah nikah maunya istrinya tetep di rumah ya?"

"Ah, kata siapa? Enggak sih kalau aku. Kalau kamu mau tetep di rumah ya gak apa-apa, tapi misal kamu masih seneng kerja dan nggak mau berhenti dulu ya gak apa-apa. Rumah kita kan minimalis, masih bisa lah kita tanganin berdua, aku bersih-bersih kamu masak, atau aku masak kamu bersih-bersih."



Metta melihatku dengan tatapan mata kagum dan senyum tersungging.


"Tapi kayaknya aku mau resign aja deh, or kalau gak ya cari opsi biar bisa kerja secara remote."

"Lho, kenapa?"

"Entah, being a housewife seems a fun challenge for me."

"Jangan gitu, aku nggak mau kamu hanya terkurung di dalam rumah dan nggak bisa ke mana-mana. Aku mau kamu bisa tetep bebas, tetep produktif, tetep bisa punya kehidupan sosial yang sehat."



Aku agak gemetaran mengatakan itu, karena itu adalah hal yang ingin kuhindari berdasar pengalaman dari timeline originalku. Aku tak mau Metta mengalami nasib sama dengan Rini 2021 yang terjebak menjadi ibu rumah tangga tanpa ada saluran untuk melepas stres.


"Gak apa-apa, aku mau itu koq. Jadi gampang misal kita nanti punya anak atau gimana. Soal kejebak di rumah, ya kita bisa jalan-jalan tiap weekend, or aku bisa nyamperin kamu di kantor. Kita juga bisa tiap sebulan sekali liburan, or setahun 1-2 kali jalan-jalan ke luar negeri. Kamu cuman perlu urus cuti kamu seorang aja, soalnya sekarang ini kan kita nggak boleh cuti bareng mengingat posisi kita di kantor."


Aku terdiam, dan Metta pun menyandarkan kepalanya pada bahuku.


"I'm so lucky," kataku.

"Why?"

"I would marry a girl as great as you."



Metta tersenyum, kemudian dia mencium pipiku.


"Aku yang beruntung, bisa nikah ama cowok sehebat kamu. I'm counting my blessing everyday. Kamu ganteng, pekerja keras, penyayang keluarga, and good sex, hehehe."

"Ah, kamu yang tambah hebat. Tadi aja hampir aja kalah duluan aku soalnya kamu menggebu-gebu banget."



Metta tiba-tiba memberikan sebuah mimik muka seolah dia baru saja melakukan sebuah kenakalan.


"About that..."

"Hayo, kenapa lagi?"

"Aku mau ngaku... Tadi pas aku naik itu, ternyata ada motor baru menepi di deket mobil kita, yang naik orang pacaran juga, cowoknya nggrepe-grepe pacarnya gitu..."

"Hah??? Jadi dia lihat kamu telanjang dong??"

"Iya, hehehe. Lucu sih, dia nggrepe pacarnya tapi ngelihatinnya ke aku, jadi ya aku kasih tontonan sekalian aja, makanya aku pindah jadi reverse cowgirl. Rasanya beneran jadi kayak terangsang banget gitu, Beb... Hehehe."

"Ahhh... Dasar nakal kamu ya!!"

"Yess, Baby, I'm bad, I'm naughty, spank me please!"



Metta langsung menungging di depanku dan dengan gemas kutampar saja pantatnya sambil kami berdua tertawa geli.






13 Februari 2015
KSI Company

H minus 2



"You sure?"


Rini tampak bingung dengan apa yang aku katakan.


"Iya, kamu diundang buat ikut bachelor party on my side."

"Wait, kayaknya salah deh. Koq aku ikut bachelor party kamu sih, bukan Metta?"

"Metta yang nyuruh gitu, aku dibilang kalau mau adain bachelor party ajakin temen-temen kantor ASV, soalnya buat bachelorette party dia, dia mau undang Divisi 2."

"Agak aneh ya? Serius dia bilang gitu?"

"Mau ngomong ama dia? You can phone her now."

"Enggak deh, aku percaya. Lokasinya di mana?"



Aku lalu memberikan alamat sebuah suite hotel berbintang pada Rini. Tampaknya Rini merasa agak janggal dengan pemilihan tempatnya, tapi sebenarnya jamak saja mengadakan bachelor party di sebuah suite hotel untuk sekarang-sekarang ini.


"Oke, aku bakal ke sana. Jam berapa?"

"Aku udah pesen buat jam 7 malem sih, kita bisa ke sana bareng-bareng..."

"Nggak usah, aku pake motor aja, biar cepet nyampe."

"You sure? Jauh lho."

"Ya, gak apa-apa, sekalian jalan-jalan."

"Ah, ntar kamu malah nggak datang, alesannya macet."

"Ih, gitu amat ama temen sendiri... Don't worry, Erik, aku pasti bakal datang. Tomorrow is your big day, tentu saja aku nggak bakal ngelewatin ini, for anything in the world..."



Aku tersenyum agak kecut, kemudian kami terdiam.


"So this is it, right? Akhirnya hari ini datang juga."

"Iya... Sometimes I'm thinking why all these don't seem so real?"

"What not real? Your wedding day?"

"Iyaa... Kayak masih nggak percaya aja..."



Rini tersenyum dengan terkesan dipaksakan, kemudian menepuk pundakku.


"Erik, ini hari yang sudah lama kamu nantikan, hubungan pacaran kamu ama Metta udah 6 tahun berjalan, dan kalian udah ngalamin banyak pasang surut, maybe more than any other couples I know..."


Tangan Rini mengelus pipiku dan kurasakan begitu lembut dan nyaman. Aku memegangi tangan itu supaya tetap ada di pipiku karena aku amat enggan untuk melepasnya. Setelah besok, tangan lembut ini tak akan bisa lagi kurasakan mengelus pipiku sebagaimana saat ini. Namun dengan lembut, Rini menariknya seolah tahu bahwa sudah tak seharusnya lagi dia melakukan itu padaku. Aku menatap wajah Rini, berusaha untuk membaca pikirannya, namun bila dia sama sepertiku, mungkin dia sendiri merasakan campur aduk perasaan yang berkecamuk, dan masih harus tersenyum di depanku supaya aku tidak khawatir.


"I'll be there tonight, don't worry."

"Yes, you should."



Kulihat Rini celingukan sejenak sebelum curi-curi memberi kecupan pada pipiku. Dia tampak malu sekali dan gemetaran saat melakukannya, seperti pencuri yang baru saja melakukan kejahatan pertamanya. But I can relate, setelah hari ini, hal semacam itu akan tidak bisa lagi dia lakukan padaku, tidak dengan statusku nanti yang akan menjadi suami Metta, yang juga sudah dikenal oleh seluruh orang di KSI. Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Rini segera undur diri dan meninggalkan ruanganku, menyisakan hanya bekas bibirnya yang hangat pada pipiku. Bergejolaknya perasaan di dalam diriku ini kembali membuatku mempertanyakan benarkah langkah yang telah kuambil selama ini sejak tahun 2009? Apakah meninggalkan Rini pada 2009 dan beralih pada Metta adalah hal yang benar?


"Oh my God... What have I done..."


Aku mengusap mukaku sambil tanpa sadar air mata pun menetes. Namun aku tak bisa berlama-lama bersedih, karena hapeku berbunyi... Metta meneleponku. Saat ini Metta memang tengah cuti untuk mengurus segala sesuatu mengenai pernikahan bersama dengan Tante Melly, dan selama seminggu ini, dia tinggal di rumahnya bersama orang tuanya semacam dipingit, karena Om Darwin bilang supaya kami jangan bertemu dulu hingga hari pernikahan. Kuhapus segera air mataku kemudian mengangkat teleponnya.


Malamnya...

Sebuah Suite Eksekutif Hotel Mewah
Jakarta Selatan



"Rik, kamar 2007 kan?"

"Iya, masuk aja. Kuncinya ada di resepsionis, kan?"

"Udah dikasih tadi. Koq masih sepi-sepi aja ya? Belum pada datang kah?"

"Si Reyhan bilang lagi ada case tadi sore, jadi dia belum memastikan kapan bisa datang. Tapi besok sih dia bisa hadir."

"Iya, dia juga bilang gitu sih ke aku. Cuman..."

"Kenapa?"

"Yakin bakal ada party di sini? Koq dekorasinya malah macem kamar pengantin gini?"

"Oh iya ya? Salah kali ya."

"Yeee, gimana sih? Salah ama kamar bulan madu kali."

"Hahaha, enggak lah, aku ama Metta kan besok malam langsung ke Istanbul."

"Iya juga ya... Tapi cozy juga sih di kamar ini. Kamu di mana sekarang?"

"Aku? Udah sampai di hotel nih, baru mau naik."

"Kalau ke lobby pesenin makanan sekalian dong, kasihan ntar kalau pada datang makanannya belum ada."

"Iya, oke."



Hape kemudian kututup saat aku mengambil kunci cadangan dan pergi ke lift. Dalam hati aku merasa bimbang, haruskah aku melakukan ini? Karena sama saja aku sudah menipu Rini. Sesampainya aku di kamar, aku langsung membuka pintu setelah dua kali mengetuk. Rini langsung berdiri begitu aku datang, dia tampak tersenyum menyambutku.


"Belum pada datang?" tanyaku.

"Belum nih, aku yang pertama. Payah, padahal ASV kan mayan deket dari sini."

"Sama aja dari KSI ke sini ah."

"Oh? Aku nggak tahu lho... Eh, aku boleh ambil minuman di minibar kan?"

"Boleh, ambil aja. Aku udah pesen makanan koq."



Dengan riang, Rini pun menuju ke minibar sambil memilih-milih minuman. Aku sudah tidak tahan lagi, dan dengan segera kupeluk dia dari belakang hingga dia terkejut.


"Eh, Rik, kamu ngapain?? Lepasin nggak, LEPASIIINNN!!"

"Please, Rin, be with me for tonight..."

"ENGGAK! ENGGAKK!! LEPASIIIIIN!! Rik, kamu besok nikah, Rik... Lepasiiin... ERIIIK!!"



Rini kemudian memberontak dan menendang-nendang berusaha melepaskan diri dari pelukanku. Namun aku tidak melepaskannya sambil mengangkatnya dan setengah menyeretnya ke ranjang. Dia melawan sejadi-jadinya, berteriak, berusaha meraih apa pun untuk menghentikanku, namun gagal. Tangannya memukuliku berkali-kali, namun aku hanya menahan rasa sakitnya saja, karena bagi seseorang yang pernah merasakan pukulan Rini secara langsung, dia seperti setengah hati melakukannya.

Aku lalu membantingnya ke ranjang, kupastikan supaya dia mendarat di tempat terempuk. Begitu dia membal di kasur, aku langsung melompat dan memitingnya hingga dia tak bisa bergerak. Kurasakan kakinya memberontak namun kutahankan saja sambil kuciumi leher dan juga seluruh wajahnya...


"ENGGAK MAU, ERIIIKK!! LEPAAASS!! LEPAAAAASSSHHHH!!! Erik, jangaaannn... Huhuhu..."


Rini mulai terisak saat aku melepas satu demi satu kancing pada blusnya. Dia menangis tersedu-sedu dengan tangannya mengaku seolah tak ada daya untuk membalas. Aku tak begitu mempedulikan tangisannya, karena bagiku, hanya ada satu tujuan, yaitu menelanjangi Rini dan menikmati tubuhnya.


"Erik... Please... Not like this, please..."


Aku berhenti. Rini sudah tak lagi memberontak, namun dia kini menangis sejadi-jadinya. Selimut kucengkeram dengan erat kemudian aku berteriak.


"KENAPA!!? KENAPA!!? KENAPA!!?"


Ranjang kupukuli dengan keras hingga kasurnya terasa seolah akan jebol. Kali ini aku yang berteriak kesetanan sambil terus memukuli ranjang. Aku baru berhenti saat Rini memelukku, dan entah bagaimana, aku langsung menangis di pundaknya.


"It's okay, Erik... It's okay... It's okay..."

"Enggak! Aku udah salah ama kamu, Rin! I shouldn't force you... I'm evil..."

"Enggak, Erik, you're not evil... You just love me..."



Kami pun lalu menangis tersedu-sedu sambil berpelukan di ranjang hotel yang kini sudah hampir seperti kamar pecah ini. Entah berapa lama waktu berlalu, kami baru sadar ketika room service membawakan makanan yang aku pesan, sebuah set specialty untuk berdua. Rini melihat makanan yang dikirimkan itu dan dia pun paham apa yang tengah terjadi.


"Nggak ada bachelor party ya?"

"Iya..."

"Nggak ada orang lain atau orang ASV yang datang?"

"Enggak ada..."

"So it's only me?"

"Yes."

"Why?"



Aku terdiam sejenak.


"I want to spend this night with you."

"Why?"

"I love you."

"More than you love Metta?"

"I don't know..."



Rini mendengus, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada dadaku.


"I love you too, you know..."

"I know..."

"Tapi kamu bakal nikah ama Metta, besok."

"Iya..."

"I can love you forever, but you can only love me until tonight. How is that fair?"



Aku tak bisa menjawabnya, dan hanya memeluknya sambil mencium pipinya.


"Kita kabur aja yuk, Rik."

"Kabur ke mana?"

"Entahlah... Anywhere but here."



Aku diam.


"If you really love me..."

"I love you, Rin, tapi..."

"You love Metta too."



Rini hanya menghela nafas. Aku merasa dia mengharapkan bahwa aku akan menjawab secara berbeda, namun semua ini sudah diprediksikan olehnya. Dia menundukkan kepala, menempelkan dagu pada lututnya, seolah meratapi betapa malang nasibnya yang tidak bisa mendapatkan cintaku. Sepertinya Rini masih belum sadar bahwa pada suatu linimasa, dia pernah menjadi bagian yang amat penting dalam hidupku. Semakin aku mengenal dirinya dari sisi ini, semakin aku pun ingin bisa hidup bersamanya kembali, memulai kembali dari sisi yang lebih baik. Namun linimasa ini berbeda dengan sebelumnya. Pada linimasa ini ada Metta di sampingku, juga di dalam hatiku. Sebagaimana dr. Sara pernah bilang padaku, bersama Metta pun aku telah mengalami pasang surut sebagaimana bersama dengan Rini, dan ini membuatku terikat pula pada Metta. Hanya saja, ada satu alasan kenapa aku tidak bisa untuk bersama Rini... Alasan yang sebisa mungkin akan kusimpan dan kupendam rapat-rapat supaya tak ada orang yang tahu.

Saat itulah Rini mengambil hape dan memutar sesuatu. Sebuah awalan irama creepy pun mengalun, yang bisa kukenali sebagai lagu "Full Moon" dari SUNMI. Saat beat intro dimulai, Rini tiba-tiba berdiri dan menghadap diriku. Wajahnya tampak tegang, seolah seperti dia menguatkan sesuatu.


OK It's time to Leggo


Begitu bait itu selesai diucapkan, Rini pun membuka sisa kancing bajunya tepat di hadapanku mengikuti irama lagunya.


"Rin, kamu ngapain?"


Rini tidak menjawab, dia meneruskan membuka pakaiannya.


jigeum dangjang amu maldo pillyo eobseo
geudaewa naui nunbichi malhaejuneungeol
malhaji ma amu maldo pillyo eobseo
chokchogi jeojeun nae ipsure salmyeosi dagawa ip matchwojwo



Blazer, blouse, rok span, semua berguguran dan jatuh ke tanah. Rini memainkan kakinya sebagaimana yang dilakukan SUNMI pada MV lagu itu. Ini gila, aku seharusnya menghentikannya dari melakukan itu. Namun aku sendiri bukannya mencegah malah turut berdiri dan mengikuti tariannya bak terhipnotis. Kami melakukannya tanpa senyuman sekalipun, karena kami sama-sama tahu bahwa ini adalah malam terakhir, sehingga kami ingin memanfaatkan hingga setiap detiknya.

Dalam sekejap kami sudah tak lagi mengenakan pakaian luar, Rini dengan beha dan CD, sementara aku hanya memakai CD saja, menari secara kacau diiringi oleh lagu "Full Moon". Aroma tubuh Rini yang berkeringat membuatku mabuk, begitu pula Rini, karena berkali-kali kami seperti saling mengendus dan menciumi badan masing-masing.

geudaeyeo boreumdari tteuneun nal, nal boreowayo

Beha Rini terjatuh ke lantai...

i bami gagi jeone hae tteugi jeone seodulleojwoyo

CD Rini melorot sampai ke mata kakinya...

geudaeyeo boreumdari tteuneun nal, geudae sarangeul jwoyo

CD-ku pun akhirnya tak lagi melekat pada tubuhku.

i bami gagi jeone hae tteugi jeone nal boreo wayo

Kami yang sudah bertelanjang pun kini berciuman dengan amat panas, basah, dan lembap. Seolah aku ingin menarik semua aroma yang bisa kuambil dari Rini, begitu pula sebaliknya. Rini menggesekkan badannya pada badanku, membuatku merasakan kerasnya pentilnya menggosok dan saling menyentil dengan pentilku sendiri. Owh... This is so good. Kuambil pantatnya kemudian kuangkat dia dan menggendongnya di depan sambil masih menciuminya. Kontolku yang tegang tepat berada pada belahan mekinya dalam posisi ini. Kami berciuman sambil kubawa dia berputar di ruangan sebelum akhirnya kuhempaskan dengan lembut di ranjang.

Suara nafas Rini terdengar berat, parau, dan memburu dan desahan lirih pun muncul setiap kali aku melepas ciumanku dari bibirnya. Rini begitu agresif dalam menyambut gerakan lidahku yang gencar. Jujur saja, aku sebenarnya bukan penggemar olah lidah, dan bahkan dengan Metta pun aku tak pernah french kiss seagresif ini, namun kali ini... Entahlah...

Orang bilang bahwa hati nurani manusia tahu saat seseorang melakukan tindakan yang salah, ada semacam perasaan tak nyaman yang mengingatkan saat kita lakukan sesuatu yang tidak seharusnya. Namun kali ini berbeda, semakin aku mencumbui Rini, menciumi seluruh tubuhnya, memainkan putingnya dalam mulutku, menghirup aroma feromonnya, kesemuanya tak ada yang salah, kesemuanya terasa benar. Seolah, apa yang kulakukan pada Rini adalah apa yang seharusnya terjadi. Kami saling memuja, menghiba, mereguk kenikmatan dari raga masing-masing, saat kulit menempel dengan kulit, dan keringat kami melebur dan bercampur baur, membuka jalan yang berujung pada menyatunya kedua alat kelamin kami, bak mendapatkan restu dari langit dan bumi.

Rini langsung bergerak ke bawah dan melihat kontolku dalam jarak yang amat dekat. Dia memegangnya dengan jari yang gemetaran seolah menyentuh sesuatu yang amat berharga. Walau Rini sebelumnya pernah memegang kontolku, namun saat aku memperawaninya, dia dalam kondisi mabuk. Baru kali ini dia melakukannya secara agresif dalam posisi sadar. Ah, atau sebenarnya kami juga sedang mabuk, entah itu mabuk cinta atau mabuk birahi.

Dia lalu menciumi dan mencubiti semua bagian kontolku dengan bibirnya, bibir yang terasa hangat dan lembut. Bibir yang dahulu pernah menjelajahi semua bagian tubuhku dari bawah ke atas, yang kini akhirnya bertemu kembali dengan apa yang dia rindukan.

Lalu kurasakan hangat nafasnya menghembus lubang kontolku. Rini terdiam sejenak, dan tangannya mulai gemetaran saat menyentuh kontolku. Perlahan dan perlahan, dia mengelus kemudian menggenggam kontolku dengan mantap. Matanya fokus pada kepalanya yang menonjol dari ujung genggamannya. Sambil terisak, Rini mendekatkan kontolku pada bibirnya, menempelkannya, digosokkan dengan gemetar seolah dia memakai lipstik. Aku merasakan sengatan geli saat lidahnya dikeluarkan sedikit dan menggesek lubang kontolku. Kemudian ujungnya dimasukkan ke dalam bibir, dikenyot perlahan dan hati-hati supaya tidak kena gigi, yang membuatku ngilu tak karuan.

Rini melihat ke atas, menatap mataku, dengan pandangan menghiba seolah meminta izinku untuk memasukkannya. Aku mengangguk, dan mulut Rini langsung terbuka lebar dan menarik kontolku masuk ke dalamnya. Hggh... Rasa hangat, lembap, basah, dipadu dengan gerakan lidah Rini yang mengenyot kontolku di dalam mulutnya membuatku merasakan sengatan kenikmatan. Aku meringis, merasakan kontolku yang seolah tengah diperah oleh lidah Rini dengan amat lembut tapi dalam.

Lututku pun perlahan kehilangan kekuatan, namun Rini masih terus memerah kontolku dengan mulutnya. Satu tangannya dia gunakan untuk meremas perlahan kantung zakarku sementara tangan satunya menggelitiki lipatan pantatku, bermain pada lubang anusku. Gelinya luar biasa dan tak tertahankan, hingga aku hampir lemas dan jatuh sementara semacam setruman listrik terus menerus menyengat dari ujung lubang kontolku yang menyambar-nyambar ke seluruh tubuh bagian bawahku. Aku bahkan sampai bertumpu pada bahu Rini supaya tidak jauh.


"Rin... Please..."


Aku mencengkeram bahu Rini, memohon untuk menghentikan siksaannya, namun Rini tak menjawab dan terus memerah kontolku dalam mulutnnya. Detik demi detik pun terasa amat lama hingga kakiku semakin gemetaran bagai terkena gempa. Tepat saat aku merasa hampir tumbang, Rini pun berhenti. Dia mengeluarkan kontolku dan masih mengocoknya dengan tangan sambil tersenyum padaku. Aku balas tersenyum sambil mengumpulkan kembali tenagaku. Kontolku sudah menegang dengan sempurna di dalam genggaman tangan Rini, seolah sudah kembali pada pemiliknya yang sejati.

Saat itulah tiba-tiba Rini mendorongku dengan lembut hingga aku terjatuh ke atas ranjang. Pelan-pelan, dia pun menaiki ranjang dan bergerak merangkak di atas tubuhku. Aku bisa melihat susunya yang menggantung, namun dari semua keindahan fisik pada Rini, aku paling terpana dengan matanya, yang seolah menghipnotisku. Dia berhenti begitu wajah kami sejajar, dan mata kami saling bertatapan. Sinar mata itu terasa benar menusuk hingga membuat jantungku berdebar kencang. Nafasnya yang hangat bisa kurasakan menerpa wajahku. Apakah dia juga merasakan apa yang kurasakan? Apakah jantungnya juga tengah berdetak amat keras hingga bisa terdengar oleh telinga?

Aku berjengkit. Rini menurunkan tubuhnya hingga pentilnya menggesek pentilku, lalu menggosok-gosokkan dadanya pada dadaku. Kami pun kembali berciuman, sebuah french kiss yang basah dan agresif, seolah aku ingin menguasai bibirnya seutuhnya hanya untukku saja.


"Hhggghhh..."


Dengan sedikit tenaga, aku pun berubah posisi dari di bawah menjadi di atas, dan kali ini kulumat mulut Rini dengan amat brutal hingga liur kami banjir keluar dari mulut. Kaki Rini bergerak-gerak menahan rasa birahi, hingga menggesek-gesek kakiku. Pinggulnya tampak berusaha untuk mencari kontolku, namun kontol itu hanya sampai di pertengahan pahanya akibat beda pada tinggi badan kami. Kali ini aku bergerak ke bawah, memainkan susu 32B milik Rini yang membulat sempurna, tidak lembek atau menggantung seperti di timeline originalku. Rini mendesah saat aku memainkan pentilnya dengan agresif, hingga terasa amat kencang, baik pada jari maupun lidahku.


"Yess... Terus, Erik... Aahhh..."


Sambil mengenyot susunya, kali ini tanganku kuselipkan ke bawah pada meki Rini dan mengocoknya dengan jariku. Rini tampak menegang dan merapatkan pinggulnya, berusaha untuk menggencet tanganku yang memainkan mekinya. Kurasakan tonjolan klitoris yang seperti kacang berdaging itu mengeras pada ujung jari tengahku, malu-malu menonjolkan diri di puncak labia minoranya. Rini mendesah tertahan saat kumainkan klitoris itu, dan tubuhnya semakin menegang saat kenyotanku pada dadanya beserta gesekan pada klitorisnya semakin intens.


"Aaaaaahhhhhhh..."


Raungan merdu itu akhirnya terdengar juga, disertai jepitan kencang pinggul dan pahanya pada tanganku. Pinggulnya bergetar lembut disertai sedikit kejang, yang berubah menjadi gerakan seperti sedang menggenjot, dan beberapa detik kemudian, bau meki pun semerbak menyebar menyeruak hidungku. Tubuh Rini menegang sebentar sebelum akhirnya melemas kembali disertai lenguhan lirih yang amat merdu bagi telingaku. Kubiarkan sejenak dia untuk menikmati dan meresapi orgasmenya hingga stabil.

Aku berdiri berlutut di atas Rini sambil memainkan kontolku. Dia melihatku dengan mata nanar, dan mulut dibuka seolah ada yang ingin dia katakan namun tak ada kata yang terucap keluar. Aku menggosok-gosokkan kepala kontolku pada bibir mekinya, dan setiap kali menyentuh klitoris, dia langsung berjengkit dan kejang, sepertinya masih ada sisa orgasme tadi yang belum tuntas. Matanya tampak sayu, dan pada pelupuknya, mengalir air mata yang hangat. Tangannya mencengkeram tanganku yang bertumpu pada kasur, seolah mencari kekuatan. Ya, ini adalah untuk pertama kalinya aku akan menyetubuhinya, dalam kondisi dia tidak mabuk atau dipengaruhi minuman keras, dan tampaknya kesadaran itu menciptakan sedikit ketakutan dan rasa ragu pada dirinya, namun dia tak mau berhenti.


"Aku masukin ya?"


Rini tidak berkata apa-apa, hanya menganggukkan kepala sambil air matanya kembali mengalir deras. Tangannya yang mencengkeram tanganku kini semakin erat, dan Rini membuang muka seolah tak ingin melihatku, namun raut wajahnya seolah menyiratkan bahwa dia telah siap. Aku mencium pipinya untuk sedikit menenangkannya. Dia pun bernafas dengan tak karuan menghadapi detik-detik itu, terlebih saat kontolku kembali menggesek mekinya hingga labianya terbuka semakin melebar. Kemudian dengan sekali tarikan nafas, perlahan kugerakkan kontolku maju.


"Aaaaaagggggghhhh... Hggggghhhhh..."


Badan Rini menegang saat kontolku bergerak masuk melalui liang mekinya. Kukunya menancap mencengkeram tanganku, mungkin menahan rasa sakit saat liang yang sempit itu kembali dipaksa membuka oleh kontolku yang berukuran lebih besar. Isakannya semakin menjadi-jadi dan dia sesenggukan berusaha bertahan melewati proses ini, namun dia tak memintaku berhenti, bahkan untuk sebentar, berbeda dengan saat aku menjebol keperawanan Metta, di mana dia minta aku beberapa kali berhenti. Rini hanya diam saja dan mengeraskan pegangan, namun tak mau aku berhenti.

Senggukan Rini pun semakin keras menjadi seperti tangisan saat aku mulai menggenjot mekinya. Dia meraung, terisak, dan melenguh di balik air matanya yang mengalir keluar membasahi mukanya. Badannya mulai bergerak terguncang mengikuti irama genjotanku, dan susunya pun berguncang-guncang berputar-putar seperti panna cotta yang matang sempurna. Dia tidak berkata apa-apa, namun pegangannya pada tanganku semakin mengencang, dan aku pun beberapa kali menciumi pipi, bibir, dan lehernya agar dia tenang. Aku melakukannya dengan lembut karena tak ingin meninggalkan bekas berupa cupang, yang akan amat kentara saat besok Rini memakai gaun bridesmaid.


"Erikkk... Aahhh... Hggghhh... Ehrihhhkkk..."


Dia beberapa kali menyebut namaku, dan pada saat ini, bila dia adalah wanita lain dan waktunya bukan saat ini, aku pasti akan sudah berhenti, namun kali ini aku terus bergerak dan menggenjot seolah tak mempedulikan apakah itu adalah isyarat berhenti atau justru meminta terus. Kaki Rini lalu menggamit dan menahan paha belakangku, sepertinya dia tak ingin aku berhenti atau melepaskan kontolku. Bila aku berhenti sejenak untuk menarik nafas, Rini akan menggerakkan pinggulnya untuk mempertahankan momentum. Lambat laun gerakannya semakin lancar, dan tangisannya berubah menjadi lenguhan yang biasa terdengar saat seorang wanita tengah dilanda rasa nikmat birahi.


"Erik... have... me... tonight... Hggghh..."


Aku mencium bibirnya dan kami pun berciuman dengan ganas sembari aku terus menggenjotnya. Kakinya kini melingkari pinggangku saat aku memposisikan diri untuk menggenjot mekinya dengan lebih keras. Kami berciuman dengan kedua tangan kami saling memeluk dan kakinya melingkar. Kurasakan nafasnya memburu seirama dengan genjotanku. Tak ada lagi air mata, karena kami kini sudah dikuasai sepenuhnya oleh birahi dan hasrat untuk saling memuaskan karena ini adalah malam terakhir. Ini adalah gaya dan tempo yang baru pertama kali kugunakan, dan itu pada Rini, bukan pada Metta yang notabene adalah pasangan resmiku.

Rini terus melenguh sementara genjotanku semakin kencang. Entah, seharusnya bila kami ingin menikmati malam ini, kami melakukannya dengan slow dan tak terburu-buru. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, baik aku dan Rini langsung agresif semenjak awal seolah tak ingin melewatkan segalanya. Seolah kami berpacu untuk sebanyak-banyaknya mereguk kenikmatan klimaks birahi sebelum tengah malam tiba.

Kami tidak berbicara, juga tidak berkata-kata, dalam suasana yang lebih mirip seperti film bokep Amerika. Hanya menggenjot, menggenjot, dan menggenjot dengan lenguhan yang semakin keras karena Rini tak lagi malu-malu dalam melepas desahan birahinya. Aku tak menghitung berapa kali badannya bergetar tanda dia mengalami orgasme. Bila itu terjadi, aku biarkan sejenak hingga getaran itu mereda, lalu kembali menggenjotnya tanpa ampun. Hingga akhirnya, lama-lama pun kontolku menyerah pada build-up-nya. Kuturunkan tempo, namun dengan tekanan yang lebih besar hingga Rini merasa seperti perutnya tengah dipompa.


"Kamu... mau... keluar... ya... Erik..."

"Iyaa... Hgghhh... Hgghhh..."

"Let's... go... together... Aaahhhh... Hamili aku..."



Rini kutekan hingga punggungnya melekuk seperti udang, dan kuncian kakinya pun mengencang bersiap menerima orgasme besar dariku. Nafasnya semakin memburu dan pendek-pendek, begitu pula denganku, kontolku semakin menegang dan menegang dan pastinya merah menyala. Genjotan dari kontolku berpadu dengan cengkeraman dari mekinya, aroma feromon dari tubuhnya yang mengkilat oleh keringat, lenguhannya yang basah oleh uap air dari hidung, suasana memabukkan ini pun akhirnya mengantar pada pelepasan akbar birahi kami.

Tubuh Rini pun bergetar, diikuti oleh pinggulku yang bergerak mengejang. Kami sama-sama berteriak seperti hewan buas yang tengah kesakitan, berteriak dan melenguh saat ribuan bibit kutebarkan dalam rahim Rini. Aku tak peduli bahwa ini berisiko membuat Rini hamil, karena yang ada di kepalaku kali ini hanyalah bagaimana cara menuntaskan siksaan birahi ini dengan segera. Itu mungkin orgasme terpanjang kami, dan butuh hingga beberapa menit sebelum akhirnya badai itu berakhir dan aku pun tumbang di atas Rini.


"Thank you, Erik... Hhhh..."


Aku tak menjawab, hanya mencium kening Rini yang telah basah oleh keringat.


==========


Setelah pergumulan yang panas itu, aku dan Rini duduk di sofa, menghadap ke jendela yang terbuka ke arah pemandangan malam. Kami masih bertelanjang dan saling berpelukan, namun suasananya jauh dari suasana menyenangkan sebagaimana bila kami selesai bercinta. Seolah ada mendung yang menggelayut di ruangan ini, dan di hati kami berdua. Dari tadi bahkan Rini terus menerus menangis, meski tanpa suara. Kurasakan air matanya terus menerus jatuh di atas dadaku, dan Rini seolah tak ingin menghapusnya.

Alarm pun berbunyi, artinya waktu sudah menunjukkan pukul 00.00, waktu Cinderella kembali dari pesta dansa. Untuk kasusku, itu berarti saatnya bagiku dan Rini untuk berpisah. Namun baik aku dan Rini tak mau saling melepas, bahkan tidak untuk mematikan alarm itu. Kurasakan air mata Rini mengalir makin deras dan isakannya semakin terdengar jelas. Tanpa terasa, air mataku sendiri pun mengalir.

Aku memeluk Rini lebih erat lagi sambil mengelus kepalanya. Kami tidak berbicara, bahkan tidak bergerak, hanya ingin selama mungkin menikmati waktu kami yang semakin menipis.


"It's time..." kata Rini.

"No, masih ada beberapa jam."

"Erik, it's already tomorrow."

"Aku nggak mau..."



Rini terdiam memperhatikanku.


"I wish I can freeze this moment, or turn back time. Aku mau saat ini berlangsung selamanya, dan aku rela bila saat ini terus menerus berulang."

"Erik, that's impossible. Kita nggak bisa ngehentiin or muter balik waktu."



Aku terdiam berusaha menahan kata-kata yang hendak terucap. Ingin sekali aku berteriak bahwa aku sudah pernah memutar balik waktu, tapi lidahku seolah terkunci.

Rini kemudian mengubah posisinya hingga berada di depanku, kemudian dia menciumku dengan penuh kemesraan. Itu bukan ciuman yang menyenangkan, basah oleh air mata, dan terlalu sedih untuk dirasakan. Namun itu juga meninggalkan sebuah rasa yang sepertinya mustahil untuk bisa kulupakan. Setelah beberapa detik kami berciuman, Rini lalu memelukku erat, dan kurasakan tangis itu kembali lagi. Namun kali ini, Rini mengeraskan raut wajahnya dan mengusap air matanya.


"Ingatlah malam ini, Erik... Malam di mana cinta kita akhirnya tak bisa bersatu..."

"Aku tak mau malam ini berakhir..."

"Aku juga, tapi tak ada pilihan lain... I will always love you, Erik, forever and ever, walau kamu sudah menjadi milik wanita lain, menjadi milik Metta... Aku akan tetap mencintaimu walau pahit dan sakit rasanya... Tak akan kukubur walau terasa seperti bara api yang memakan tubuhku perlahan-lahan... Dan selamanya, hanya kamu yang akan selalu aku cintai, bukan pria lain, baik saat ini atau pun di masa depan, bahkan walau kehidupan kita berakhir, cintaku akan tetap abadi..."



Aku memeluk Rini dan menangis dengan sejadi-jadinya. Tak banyak keadaan yang bisa membuat seorang pria menangis, dan ini adalah salah satunya. Perpisahanku dengan Rini kali ini terasa amat berat daripada saat aku meninggalkannya pada tahun 2009 lalu, atau ketika aku kembali ke masa ini dari tahun 2021. Akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh dr. Sara, aku memang pada akhirnya akan tahu siapa yang sebenarnya aku cintai antara Rini dan Metta. Namun bukan hanya itu sebabnya kenapa perpisahan ini menjadi amat berat dan menyedihkan. Ini berat karena aku mencintai Rini dan dia mencintai aku, dan aku punya peluang untuk bisa mewujudkan cinta kami, namun tidak bisa kulakukan. Tidak bila mengingat apa yang pernah terjadi pada suatu masa yang mana dia sendiri tidak sadar. Aku melepasnya, karena bila kami tetap bersama, maka segala tragedi itu akan bisa terjadi kembali.


Satu jam kemudian, sudah tak lagi ada air mata yang tersisa pada wajah Rini. Dia kini tertidur di ranjang dengan dengkuran kecil, dan aku memeluknya dari belakang. Aku menarik nafas dengan berat, tak ingin rasanya aku melepas pelukanku ini hingga nanti matahari terbit, namun aku harus pergi sekarang. Pelan-pelan aku menarik tanganku dari Rini kemudian beranjak dari tempat tidur dan berpakaian. Sebelum pergi, aku pun mencium keningnya.


"Aku pergi dulu..."


Tidak ada jawaban dari Rini, seolah dia tertidur, namun saat aku melangkah, tiba-tiba terdengar lagi isakannya tanpa kata-kata. Hampir saja aku berbalik dan tidak jadi pergi, namun nasi telah menjadi bubur, dan kini saatnya aku pergi meski untuk itu aku harus membulatkan tekad yang membuatku serasa menelan makanan penuh duri. Langkahku terasa berat seolah kakiku tertanam di lantai, namun aku terus berjalan hingga akhirnya aku keluar dari kamar ini.

Aku terdiam sejenak di koridor hotel. Air mataku seolah berusaha untuk keluar dari pelupuk mata, namun kutahan, karena bila aku menangis di koridor ini, suaranya akan bisa terdengar oleh Rini. Aku tak mau dia melepasku dengan penuh rasa khawatir, hingga akhirnya kutelan dan kutahan semua rasa pahit ini di dada sambil terus berjalan menuju ke lift, namun aku tidak turun ke loby, justru naik satu lantai, dan menuju ke sebuah kamar dengan nomor 2109. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 pagi, dan aku mengetuk pelan pintu kamar itu.

Pintu terbuka...


Aku langsung jatuh bersimpuh dan air mata yang sedari tadi kutahan pun akhirnya tumpah di depan sosok wanita yang membukakan pintu itu. Ya, di hadapanku kini adalah Metta, yang sejak tadi sudah ada di kamar ini, di hotel yang sama dengan ketika aku berpisah dengan Rini untuk terakhir kalinya. Aku menangis tersedu-sedu dan bersujud sambil mencium telapak kaki Metta, kubenturkan dahiku di lantai sambil terus menangis. Metta sendiri hanya menarik nafas dalam dan tangannya yang memegang pintu tampak mencengkeramnya dengan erat seolah menahan sesuatu yang ada di dalam dirinya. Dari matanya yang merah dan agak bengkak, sepertinya Metta pun juga baru selesai menangis.


"PLAAK!!"

"PLAAK!!"


"PLAAK!!"


Tiga kali tamparan keras dari Metta mendarat di wajahku, dua di pipi kiri, dan satu di pipi kanan. Aku tidak membalas ataupun bereaksi, dan menantikan pukulan selanjutnya, karena aku tahu bahwa aku pantas mendapatkannya. Namun bukannya memukul, Metta justru menarikku untuk bangun, kemudian dia mengelus pipiku yang tadi dia tampar.


"Maaf... Sakit?"


Aku menggeleng. Metta mengelus bekas tamparannya yang masih terasa panas itu, dan sakitnya perlahan-lahan berkurang.


"Gimana? Sudah?"


Aku mengangguk, kemudian Metta pun langsung memelukku, dan tangisku pun pecah dalam pelukan Metta. Secara refleks, aku pun memeluk Metta, dan dia menepuk-nepuk pelan pundakku untuk menenangkanku, walau tanpa berkata apa-apa.


"Kamu nggak kasar kan, ama dia?"

"Aku sempet kasar di awal..."

"Oh, poor her. Tapi semua akhirnya beres?"



Aku mengangguk.


"Itu bakal jadi yang terakhir, kan?"

"Iya... Itu yang terakhir."

"Rik, aku nggak bakal ngelarang kamu ketemu ama Rini, juga aku bakal biarkan dia tetep sebagai daeri kamu di kantor, tapi mulai sekarang, tolong jalani hidup kamu bersama aku, ya? Please, love me the only one and always."



Perkataan Metta begitu lembut dan menenangkan, dan walau aku tahu dia pasti amat sedih menungguku yang sedang bercinta dengan Rini di hotel yang sama ini, dia tampak berusaha untuk tidak menunjukkannya padaku.


"Mulai hari ini, tidak akan ada lagi wanita lain, Met... Hanya kamu seorang..."


Metta tersenyum, kemudian mencium pipiku. Dia lalu dengan lembut menuntunku untuk masuk ke dalam kamar. Ya, semua ini sebenarnya adalah ide Metta, termasuk untuk mengajak Rini ke kamar hotel ini dengan alasan "bachelor party". Namun Metta tak melakukan ini untukku, melainkan untuk Rini, dan Metta ingin memberi sebuah hadiah perpisahan untukku dan Rini, hadiah perpisahan yang jujur terasa amat pahit, baik bagiku maupun Rini, juga Metta. Walau begitu kami sadar bahwa lebih baik pahit pada malam ini namun semuanya selesai daripada aku masih terus memendam cinta pada Rini yang tak habis-habis. Aku kemudian membenamkan diriku, meringkuk di atas pangkuan Metta, yang dengan lembut mengelus-elus rambutku. Ini berat, namun masa depanku adalah Metta, bukan Rini, karena bersama Rini, tak ada masa depan bagi kami berdua.






September 2014
Pukul 03.20 WIB

Rumah dr. Sara



"Kamu akan merasa relaks, relaks, relaks, dan pikiran kamu yang kacau akan semakin jernih dan semakin jernih, dan apa yang kamu alami dalam mimpi akan bisa kamu ingat kembali namun dengan tidak merasa tertekan... Dalam hitungan ketiga..."


Mataku semakin berat saat melihat liontin medali yang berayun di tangan dr. Sara. Aku sedikit tidak fokus karena teralihkan oleh desain liontin itu, yang sumpah sepertinya aku pernah melihatnya, liontin yang berbentuk seperti matahari bersinar itu. Namun aku tetap mengikuti arahan dari dr. Sara, dan semuanya terasa tenang, terasa nyaman, seolah aku sendiri tengah menonton sebuah televisi yang menayangkan mimpiku.


"Sekarang coba jawab sekali lagi, siapa orang yang kamu tusuk itu?"

"Rini."

"Rini? Kamu yakin?"

"Iya... Bentuk badan, wajah, pakaian, anak yang menangis, bahkan ruangan itu adalah rumahku. Ya, itu Rini, aku membunuhnya."

"Dia belum mati saat kamu pergi, bukan?"

"Mustahil orang dengan luka seperti itu bisa selamat, Ssaem. Tapi aku tak habis pikir, mengapa ingatan mengenai kejadian terakhirku di tahun 2021 adalah ketika aku meninggalkan Rini dan tak melukainya sama sekali??"



dr. Sara lalu memegang pipiku dan menenangkanku.


"Aku nggak bakal bilang kalau aku punya semua jawaban, Erik, tapi dari yang kulihat, setelah itu kamu juga mati, kan?"

"Entahlah, aku hanya ingat truk yang datang dengan kecepatan tinggi, lalu aku bangun."

"Beberapa kali hipnosis menunjukkan bahwa kamu selalu berhenti di sana, artinya jiwamu sudah tak lagi memiliki ingatan di luar batas itu."

"Jiwa? Ssaem, kamu bicara apa, sih? Jadi maksudmu aku sudah.."

"Ya, dan tidak."

"Maksudnya?"

"Perjalanan waktu secara fisik adalah hal yang mustahil, karena fisik kita hanya bergerak ke satu arah dalam waktu. Namun, jiwa tak terkurung oleh batasan-batasan fisik, so, jiwa yang sudah lepas dari badannya, secara teori, bisa melakukan apa yang tak bisa dilakukan oleh fisik akibat semua keterbatasan itu, termasuk salah satu di antaranya..."

"Kembali ke masa lalu."

"Ini hanya teori, tidak bisa dibuktikan kebenarannya, tapi mengingat pada saat itu kamu mati, maka bisa saja..."

"Jiwaku terlempar ke masa lalu?"



dr. Sara mengangguk.


"Tapi kenapa aku mengingat hal yang berbeda?"

"Well, teoriku, kematian itu adalah hal yang amat traumatik, so mungkin jiwa kamu membuat sebuah ingatan yang baru untuk melupakan bahwa dia pernah lepas dari badannya."

"Tidak masuk akal..."

"Memangnya bagian mananya dari perjalanan waktu yang masuk akal?"

"Jadi, ini seperti sebuah mimpi raksasa?"

"Entahlah, apa kamu merasa ini adalah mimpi?"



Aku menampar pipiku sendiri, dan sakit. Jadi, ini memang bukan mimpi. Kucoba menampar pipiku sekali lagi, namun dr. Sara menghentikan tanganku, kemudian tiba-tiba saja dia maju dan menciumku. Lidahnya terasa lembut dan hangat mengusap bagian dalam mulutku, dengan aroma mint yang terasa lembut menyenangkan.


"Apa itu mimpi?"


Aku menggeleng.

Aku hendak maju untuk mencium dr. Sara, namun dia menghentikanku, memberi isyarat bahwa itu hanya sekali saja dan satu-satunya.


"Yang saat ini ada dalam hatimu adalah Rini dan Metta, dan kamu harus memilih di antara keduanya. Jangan buang pertimbanganmu itu untuk wanita lain, apalagi wanita sepertiku."


Aku hanya bengong saja saat dr. Sara kembali ke tempat duduknya. Aku berusaha memastikan bahwa ciuman tadi adalah sebuah mimpi, sebagaimana biasanya, namun tidak, ciuman itu nyata, dan berarti seluruh dunia ini pun nyata. Kemudian dr. Sara menatapku dengan tajam.


"Sekarang, satu hal yang tak bisa kubantu, Erik, bagaimana keputusanmu mengenai Rini dan Metta, tapi kamu harus mengambil keputusan itu sendiri."

"Aku tahu... Sepertinya, aku sudah punya keputusannya."







14 Februari 2015
Pukul 09.00 WIB

The Wedding Day



Pernikahanku dengan Metta berjalan di sebuah anjungan di kawasan Taman Mini, berkonsep outdoor dengan nuansa dua warna biru dan dua warna putih yang saling melengkapi. Ide ini sebenarnya adalah ideku saat ingin menikah dengan Rini, namun karena pernikahan outdoor itu relatif lebih mahal daripada indoor, maka aku terpaksa mengurungkan niat itu. Tak disangka, setelah berpindah ke timeline lain, barulah apa yang menjadi mimpiku ini terwujudkan, namun bukan dengan Rini, melainkan Metta.

Kami tak mengundang banyak orang, maksimal mungkin hanya 200 orang saja, terdiri dari teman-teman kami di ASV dan KSI. Aku berdiri dengan agak gugup sambil membenahi jas dan dasiku. Astaga, sudah dua kali aku menjalani ini dan tetap saja aku merasa gugup. Reyhan pun membantu merapikan jasku.


"Tenang, Pak, jangan gugup, pokoknya."

"Gimana nggak gugup, Rey, this is the day, gitu."

"Iya, ini memang hari yang akan menjadi satu-satunya, tapi tolong dijalani saja dengan baik."

"Kamu bener, Rey."



Reyhan lalu memperbaiki dasiku yang agak longgar. Agak aneh saat yang melakukannya bukan Metta, Rini, atau Bella, karena hanya tiga orang itulah yang pernah membantuku memperbaiki dasi.


"Gimana semuanya lancar kan? Nggak ada masalah, kan?"

"Bapak sudah tenang saja. Kalau ada apa-apa biar saya sama teman-teman yang tangani. Bapak nikmati saja menjadi raja sehari, Pak, jangan mikir apa-apa, ini hari besar Bapak."

"Iya, kamu benar, Rey. Eh, kamu datang ama siapa?"

"Ama Gadiza, Pak, di barisan depan itu dia."

"Ciee, udah ngajakin kondangan ya."

"Doain saja saya cepat nyusul ya, Pak."

"Iyalah, cepetan nyusul, jangan lama-lama."



Aku dan Reyhan pun tertawa, dan itu sedikit menenangkan kegugupanku. Namun kemudian raut mukaku berubah menjadi agak sendu, dan sepertinya Reyhan tahu apa yang kupikirkan. Dia menepuk pundakku seolah menenangkanku.


"Sudahlah, Pak, jangan pikirin Rini. Dia udah milih sendiri jalan ini, dia tahu apa konsekuensinya."

"Ya, tapi aku ngerasa bersalah aja..."

"Jangan gitu, Bapak harus tegar, karena Bapak bakal mengarungi mahligai rumah tangga sama Mbak Metta, Pak. Kalau Bapak masih mikirin Rini juga, kasihan nanti Mbak Metta, Pak."

"Iya, kamu benar, Rey."



Pembicaraan kami terhenti karena musik "Eyes On Me" yang menjadi soundtrack game Final Fantasy VIII mengalun. Dari pintu masuk, dengan gaun putihnya yang anggun, Metta pun masuk sambil didampingi oleh Om Darwin. Dia tampak amat mempesona dengan senyumannya yang lebar dan indah, dengan buket bunga warna-warni pada tangannya, dan kecantikan, tata rias, serta busana yang dikenakannya membuat Metta menjadi sorot perhatian semua orang di sana. Aku tersenyum, ya itu adalah istriku, beberapa menit lagi.

Namun aku juga memperhatikan, tersembunyi di belakang Metta, berjalan sambil menundukkan kepala, dengan gaun warna biru dan perak, adalah Rini. Mungkin dia menjadi satu-satunya orang dalam pesta pernikahan ini yang tidak tersenyum, sehingga dia menundukkan kepala untuk menyembunyikannya. Metta sungguh kejam sekali memilih Rini sebagai bridesmaid-nya, namun bila dipikir-pikir, Metta memang tak punya banyak teman di KSI, dan Rini, apa pun hubungan antara mereka, adalah salah satu yang paling dekat. Semua orang bertepuk tangan meriah saat Metta berjalan menuju altar, dan bagaikan keajaiban, kelopak-kelopak bunga warna putih pun beterbangan bagaikan hujan salju. Aku berpikir bahwa penyelenggara pesta ini sungguh luar biasa dan maksimal. Hingga kemudian aku sadar bahwa suara tepuk tangan tak lagi terdengar.

Aku terkejut karena semua orang seperti berhenti seolah waktu tengah dihentikan. Awalnya kukira ini hanya mimpi, namun kelopak bunga masih berguguran bagai hujan yang membuatku sadar bahwa semua orang di sini, selain aku, tampak beku dalam waktu. Baru aku hendak menepuk Reyhan, tiba-tiba sesosok gelap tampak berjalan entah muncul dari mana menuju ke arahku. Aku melihat bahwa itu adalah sosok wanita tua yang memegang keranjang berisi bunga. Sambil bergerak dengan kecepatan jalan yang tidak normal, dia mengambil bunga dari keranjangnya dan menebarkannya ke angkasa, membuat hujan kelopak bunga. Semakin dia mendekat aku baru sadar bahwa wanita tua itu adalah sosok yang kutemui saat berpindah waktu pada tahun 2021. Dia bergerak dengan cepat ke arahku.


"Tidak! Tidak! Jangan sekarang!! Jangan..."


Kelopak bunga tiba-tiba berpusar mengelilingiku, dan dengan cepat aku seperti terbungkus di dalam pusaran tornado kelopak bunga yang berpusar semakin cepat dan semakin sempit. Aku berusaha menembus pusaran kelopak bunga itu, tapi tidak berhasil. Si Nenek terus bergerak ke arahku, dan entah bagaimana dia bisa dengan mudah menembus tornado kelopak bunga itu. Tunggu, wajahnya memang sama dengan si Nenek Penjual Kopi, namun si Nenek Pembawa Bunga ini memiliki wajah yang jauh lebih suram dan dingin, tak seperti raut wajah Nenek Penjual Kopi yang ramah dan hangat. Dia lalu memukul dahiku sembari berkata...


"Kembali!"


Pukulan itu sontak membuatku lumpuh seketika dan aku terjatuh terjengkang menghadap angkasa yang semakin lama semakin gelap karena tertutup kelopak bunga. Aku tak bisa bergerak, atau bicara, apalagi melawan saat semua kelopak bunga itu menutupiku.


"Tidak... Tidak... Tidaaaaakkkkk!!"


==========



Bagaikan bangkit dari tenggelam, aku pun segera menarik napas panjang. Ruangan ini gelap, dan aku melihat penataan yang sama sekali asing. Di mana ini? Terakhir kali aku ingat adalah aku berada pada pernikahan dengan Metta, lalu sekarang aku di mana? Apakah aku kembali lagi ke masa tahun 2021 bersama Rini? Tapi ini jelas bukan kamarku. Kamarku di rumah tahun 2021 itu kecil, tidak sebesar ini, dan barang-barangnya pun tidak semewah ini. Lalu di mana ini.

Baru saja aku ingin meraih tombol untuk menyalakan lampu saat seorang wanita tiba-tiba menghentikanku.


"PA! JANGAN DINYALAKAN!!"


Metta... Ya, itu suara Metta.


Aku pun menoleh ke sebelahku, dan meskipun dalam kegelapan samar-samar ini, aku masih bisa mengenali Metta yang terbaring di sana. Ada cincin yang berkilau yang ada pada jari manisku dan Metta, yang aku kenali sebagai cincin yang kubeli untuk pernikahan kami. Apakah ini berarti...


"Kamu mimpi buruk lagi, Pa?"


Metta sudah duduk dan mengelus-elus pundakku.


"Mimpi buruk?"

"Iya, Pa, kamu sering mimpi buruk akhir-akhir ini."

"Apa... Apa kita sudah menikah?"

"Hah? Memangnya Papa lupa? Kita udah 5 tahun menikah kali, Pa."

"Lima tahun? Jadi sekarang tahun..."

"Iya, sekarang tahun 2020, Pa."

"Koq kamu panggil aku Papa?"

"Lho? Papa lupa ya? Kan kemaren aku udah bilang..."



Dalam gelap, Metta kemudian berjalan seolah dia sudah amat menguasai layout kamar ini meski tanpa melihat. Dia memberikan sebuah benda kepadaku yang aku kenali sebagai sebuah strip testpack kehamilan. Ada dua garis jelas yang tergambar di sana.


"Kamu akan jadi Papa... Aku hamil 2 minggu."


Papa? Hamil? Tahun 2020? Metta sebagai istriku?? Astaga, apa yang sebenarnya terjadi???


Next >>> Truth
 
Terakhir diubah:
semakin penasaran,siapa 'nenek' tersebut. Apa selama ini erik koma karena efek dari makanan/minuman dari penjual 'nenek' tersebut? atau ini cerita seperti film back to the future? menarik untuk dinanti hu.
 
Pertama terimakasih udah cerita tentang Rini lagi, kedua terimakasih atas cerita yang luar biasa ini. Gelooo, makin seru makin penasaran
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd