“Menurut gambar di katalog, motongnya dari sini terus ke sini,” ujarnya sambil melihat buku katalog yang memperlihatkan foto telanjang dadaku yang disertai garis-garis putus penanda bagian itu yang nantinya akan dipotong.
“Kita tidak hanya dapat payudara saja, tapi beberapa ruas cangkang tulang rusuknya, Pa,” sahut istrinya dengan menunjuk foto di katalog yang telah di-edit itu.
Betul yang dikatakannya. Aku sudah membaca katalog itu. Awalnya aku terkejut, tapi di sisi lain aku sangat penasaran. Bagi siapapun yang memenangkan lelang, akan mendapatkan payudara yang masih melekat pada tulang rusuk. Jadi yang nanti dipotong itu dari bawah payudara, lalu memotong tulang rusuk samping menuju ke atas, kemudian memutar di bawah tulang selangka, lalu turun memotong tulang dada. Dari tulang dada bagian bawah, di dekat ulu hati, potongan ke samping secara horizontal ke potongan di bawah payudara di awal tadi.
Aku tak tahu nanti mekanismenya seperti apa. Yang jelas, susuku laku di antara manusia-manusia kanibal itu.
“Fix ya, Ma. Kita nanti all out ke payudara ini.”
“Iya, Pah. Nanti kalau gak dapat yang kanan, kita ngejar yang kiri.” Wanita itu kemudian duduk diikuti suaminya yang duduk disampingnya. “Pokoknya harus dapat.”
“Siap mamaku sayang. Sukur-sukur bisa dapat dua-duanya.”
Pada akhirnya mereka memutuskan untuk memilih susu sebelah kananku.
“Sudah selesai, Om, Tante? Tidak ngincar yang lain?” tanyaku menawarkan kembali sambil memasang senyum manis di wajahku.
“Tidak.”
“Ya semoga berhasil ya? terima kasih karena sudah memilih, semoga bisa memenangkan buah dadaku.”
Aku meninggalkan pasangan kekasih ini, lalu lanjut ke peserta berikutnya yang bersebelahan dengan wanita pengidam tetek.
“Silakan dilihat dan dipilih, bapak mau yang mana?” kataku dengan berdiri kemudian memutar badan sekali. Si bapak itu kemudian menegak minuman, lalu meletakkannya.
“Putar badan kamu,” perintahnya yang segera kuturuti. “Cukup.”
Aku berdiri membelakangi tubuhnya. Terasa kedua pantatku menerima sentuhan. Awalnya pantat sebelah kiri dipencet-pencet sampai kurasakan jarinya menekan tulang, lalu bergeser ke pantat sebelah kanan. Beberapa detik kemudian, kedua gundukan pantatku dibuka saling berjauhan.
“Hmmm, anusmu lumayan menarik. Pernah disodomi?”
“Belum pernah, Pak.”
“Sesuai ekspektasiku.”
Terasa lubang anusku yang menguncup rapat itu disentuh secara memutar searah jarum jam.
“Ehmmm!” desahku lirih menerima rangsangannya. Otot-otot anusku berkedut-kedut akibat sentuhan itu.
“Okay, cukup.”
Aku membalikkan badan dan menatapnya sembari tersenyum. “Terima kasih. Jadi bapak ngincar anus siska?”
“Itu bukan urusan kamu.”
Widih, galak bener orang ini. Ya sudahlah, itu hak dia mau beli bagian yang mana dari tubuh aku. “Terima kasih, Bapak. Semoga beruntung.”
Sekarang, aku menuju ke orang sebelahnya. Pria dan seusia dengan laki-laki yang galak.
“Bapak mau pilih yang mana?”
“Sini, tangan kamu.” Ia menggapai tangan kananku, lalu menyentuh permukaan telapak tangan, jemari, dan punggung tangan. Pria berumur 30 tahunan itu juga melakukan hal yang sama di tangan kiriku. Ia juga meraba pergelangan tangan sampai ke lenganku.
“Sudah.”
“Baik, Om. Terima kasih, semoga beruntung.”
Aku tak bertanya lagi apakah dia mengincar tangan kanan atau kiriku. Setidaknya pria sebelumnya telah memberikan pelajaran, bahwa hal itu tidak patut dipertanyakan. Tapi aku juga penasaran sih. Hihihi.
Sisa tiga orang lagi. Kali ini sepasang kekasih. Dia sedari tadi memperhatikan dadaku. Apakah dia ngincar buah dadaku?
“Om, Tante. Silakan.”
Tante itu kemudian menyentuh ulu hatiku, lalu meraba ke atas di tulang dada. “Kamu perokok dan minum-minuman keras?”
“Bukan perokok, Tante. Aku juga jarang terpapar asap rokok,” kataku membiarkan tangannya menekan perutku. “Kalau minuman beralkohol, baru beberapa jam yang lalu minum.”
Dia mengangguk-anggukkan kepala, lalu berbisik-bisik dengan kekasihnya.
“Ya, cukup.”
“Terima kasih, Om dan Tante. Semoga beruntung.”
Tinggal dua orang lagi. Aku pun mendekatinya. Kulihat dua orang pria ini saling bercakap-cakap. Dari percakapan itu, diketahui mereka berdua adalah saudara. Umurnya kisaran tiga puluh tahun.
Mereka berdiri, lalu berjongkok di depanku. Tangannya mengelus-ngelus pahaku. Satu di paha kiri, satunya di paha kanan. Tangannya meremas-remas paha bawah di balik lutut, kemudian berjalan ke atas.
“Buka sedikit kakimu.”
“Siap.”
Setelah membukakan kaki, mereka senantiasa meraba sekujur permukaan kulit kaki atasku itu. Bahkan, saat tangannya melingkar, tangannya bergesekan dengan permukaan kemaluanku. Perbuatannya membuat darahku berdesir dan putingku mengeras. Tak ayal, aku sesekali mendesah.
Sekitar tiga menit mereka meraba pahaku, akhirnya mereka kembali ke tempat duduknya.
“Sudah.”
“Terima kasih.”
Akhirnya meja pertama selesai, sekarang aku berjalan melanjutkan ke meja berikutnya. Di meja yang kutuju berkumpul orang-orang punk dengan rambut jabrik dan berwarna warni, wajah bertato dan bertindik. Mayoritas mereka mengenakan jaket kulit tanpa lengan, juga memakai gelang berduri dan kalung motif rantai.
Kakiku melangkah beberapa meter, dan aku pun telah sampai ke meja itu. Orang yang aku tawari yang pertama adalah pria muda berpostur gemuk, mungkin umurnya kisaran tiga puluh tahunan.
"Om mau pilih yang mana?" Tanyaku.
“Jangan panggil om, kami semua di sini masih seusia dengan kamu. Panggil kakak saja.”
“Eh, maaf. Iya, kakak. Silakan dipilih, Kak.”
“Boleh tanya, nggak?” tanyanya sopan.
“Boleh, Kak.”
“Orang-orang di sana tadi ada yang ngincer memek kamu?” tanyanya membisik lirih.
Bukan hanya si penanya, teman-teman semejanya bahkan mendekat dan menunggu jawabanku. Mereka tampak penasaran.
“Hmmm, kalau itu …. tidak ada, Kak.”
“Aseeeeek,” seloroh salah satu rekan di sampingnya.
Di antara mereka, ada yang kemudian maju mendekat lalu berjongkok di depanku. “Buka kakinya, dong. Mau lihat dari dekat kayak apa.”
“Siap, Kak.” Aku membuka kedua kakiku lebih lebar sambil tetap berdiri. Kepalanya dia posisinya sejajar dengan kemaluanku. Jadi dia bisa ngelihat kelaminku yang jaraknya dekat itu.
“Kata di buku ini, dia masih perawan,” seloroh rekannya.
“Gue lihat dulu, beneran apa enggak, hehehe.”
Kepala pemuda di depanku bergerak mendekati kemaluanku. Kedua tangannya turut serta menuju ke arah yang sama. Aku menunduk melihat aksi dia. Sekilas, aku juga melihat mitra dia yang jumlahnya kurang dari sepuluh itu menatap ke selangkanganku.
Dua ibu jari pria di depanku ini dengan cepat hinggap di labia mayora, lalu menyibaknya hingga sepasang labiaku itu saling berjauhan dan tentu saja memperlihatkan sesuatu yang ada di dalam lempitan itu. Aku dapat melihat sorot matanya yang menjurus pada organ kewanitaanku itu. Mulutnya sedikit membuka dan tampaknya terkagum-kagum.
“Gak begitu terlihat, tapi sepertinya sih sudah gak perawan,” ujarnya yang kemudian membuat rekan-rekannya bertanya-tanya.
“Wah, apa iya? Rugi dong kalau kita beli memeknya.”
“Bentar-bentar, sini gue coba dulu.”
Pria dengan tindik di kedua alis di hadapanku itu kemudian memasukkan jari tengah tangan kanannya ke dalam vaginaku dengan jari tangan kiri membuka labiaku.
“Aaah, sakit. Ja, jangan diteruskan. Tolong …” jeritku ketika jarinya mendorong masuk ke liang kawinku yang menyisakan cairan pelumas sisa-sisa horny di meja sebelumnya. Namun jarinya baru terhenti karena terganjal sesuatu. Ia memutar-mutar ke kiri dan ke kanan.
"Aiiiiihh, " jeritku lagi ketika jarinya mendorong lebih jauh dan hendak mendobrak selaput daraku. Dengan posisi seperti ini, aku tak mungkin melawan. Dia adalah pembeli, dan pembeli adalah raja. Meski cuma calon saja, tapi aku tak patut untuk menghindar. Aku tak tahu, bakal ada kejadian setidakmenyenangkan seperti ini.
“STOP!” pengawal wanita di belakangku sekarang ada di depanku dan memegangi tangan yang mencoba merusak hymen-ku. “Anda silakan keluar, Sekarang!”
Ditarik tangannya hingga jarinya tak lagi bersarang di kemaluanku. Sang pengawal dengan tegas menunjuk tangannya ke arah pintu keluar sembari menatap pria yang masih jongkok di depanku itu.
"Saya cuma…."
"Anda telah mencoba merusak keperawanan barang lelang kami. Tadi kami sudah memperingati, bahwasannya barang lelang ini tidak boleh dirusak," murka security cantik.
"Tapi … tapi, saya cuma ngecek saja," kilahnya.
“Anda telah berbuat lebih jauh. Kami sudah melakukan quality control terhadap barang kami, termasuk Siska. Anda tidak paham akan hal itu.”
Dapat kusaksikan para peserta lain melihat ke arah laki-laki kurang ajar itu. Di antara mereka ada yang saling berbisik. Wanita pengawal cantik di sebelahku pun kemudian menarik pemuda punk hingga berdiri kemudian menyeretnya menuju ke pintu keluar meninggalkan aula lelang ini.
"Silahkan dilanjutkan," ucap pembawa acara yang kemudian kujawab dengan sebuah anggukan.
Aku menatap ke teman-teman pria punk yang sudah diseret keluar. “Tuh, kan. Makanya jangan macam-macam, tahu sendiri kan akibatnya?”
Mereka terlihat tertunduk. Ini bagus buat pelajaran orang lain yang belum kebagian giliran. “Kakak-kakak mau lanjut, nggak? Nanti aku pindah dan gak mungkin aku balik lagi loh?”
Yah, mereka pada gak jawab. Aku pun berinisiatif mendekati mereka satu persatu. Awalnya mereka gak ada yang ngomong, tapi pada akhirnya dengan pancinganku, mereka akhirnya mau memilih. Di antaranya ada yang milih payudara, lengan, pantat, hati, paru-paru, bahkan organ reproduksiku secara lengkap. Meski nantinya akan dijual terpisah atau all in one, aku tetap mendoakannya agar bisa mendapatkannya. Entah itu memek, uterus, ovarium, atau keseluruhan organ reproduksiku. Setelahnya, aku pun pamit dan pergi ke meja selanjutnya.
Saat berjalan ke arah meja itu, pengawal cantik tadi sudah kembali menemaniku.
Kali ini, meja yang kutuju ini dipenuhi oleh ibu-ibu. Umur mereka antara dua puluh lima sampai empat puluh tahunan.
“Mau pilih yang mana, nyonya?” Aku menghampiri ibu muda yang mengenakan gaun ungu.
“Rendahin dada kamu,” perintahnya.
“Siap, nyonya.”
Dadaku kini lebih rendah sampai dadaku sejajar dengan kepalanya. Posisi tubuhku sedikit membungkuk. Namun, tanpa kusadari, salah satu tangannya sudah meremas-remas payudara kananku, bahkan telapak tangannya menampar lembut hingga kantung persusuanku yang menggantung ini berayun-ayun terhempas menggairahkan. Ia juga melakukan hal yang sama dengan buah dada sebelah kiriku.
“Sekarang saya percaya, tetek kamu original tanpa implant.”
Aku tersenyum mendengar ucapannya. “Terima kasih.”
Ia mengusap ujung payudara kananku di susul payudara kiriku. Areola dan putingku diusapi oleh tisu basah.
“Saya sudah baca peraturannya. Kalau seperti ini, tidak akan masalah.”
“Ssshhhh aaaaaahh ..,” desihku tiba-tiba puting kananku dicaplok oleh bibir calon pembeli.
Gila! Ini hal pertama di tempat umum payudaraku dikenyot dan dilumat sampai areolaku masuk ke mulutnya. Aku menoleh ke pengawal, dan dia tidak melarangnya. Kepalaku kembali menatap ke wanita yang sedang nenen. Lidahnya seperti memijat-mijat putingku seperti hendak menghisap sari putih yang bersarang jauh di dalamnya. Secara reflek, kedua tanganku memegang punggung kepalanya. Rambutnya terasa lembut sekali. Namun …
“Hei!!! Siapa suruh kamu pegang-pegang kepalanya?” protes salah satu ibu-ibu.
“Ssshh, Ma … maaf. Maafkan Siska. Siska … tidak se … ngaja … aaah.”
Jadinya aku lepaskan dan kubiarkan saja dia menghisapi putingku. Puting kiri beserta selangkanganku tutur tersengat listrik. Rasanya ada jalur saraf ketika salah satu putingku dirangsang, maka yang lainnya ikut terangsang.
Ia melakukannya cukup lama. Kira-kira lima menit. Ia pun menghisapi payudara kiriku. Jadi total sekitar sepuluh menit.
“Saya sudah memutuskan akan membeli tetek kamu ini,” ujarnya kemudian mengobrol dengan teman-temannya. Membiarkan putingku yang masih terlumasi saliva dan menegang maksimal.
Pengawal cantik bergaya rambut model bob side part ini menghampiri dengan menyerahkan tisu basah. Kuolesi puting dan areolaku dengan tisu ini. Rasanya dingin. Aku tahu tisu ini mengandung anti bakteri. Zat aktif yang terkandung sudah membasmi kuman dan bakteri yang menempel di permukaan buah dadaku.
Aku pun lanjut ke ibu-ibu sebelahnya. Ia juga melakukan hal yang sama, begitu pula dengan ibu-ibu yang lain. Mana saat mereka nenen ditampilkan di layar proyektor di samping panggung. Terlihat bibir mereka melebar membungkusi ujung buah dadaku. Uhhhh, benar-benar bikin aku horny.
Beberapa dari mereka ada yang lipstiknya menempel di payudaraku. Malah, kenyotannya ada yang kuat banget, sampai-sampai rasanya putingku kayak mau copot gitu. Tentu saja, tisu basah yang kupakai untuk mengelap sudah habis banyak. Untung saja ada staf yang datang untuk mengambil sampah-sampah tisu itu.
Meja ini sudah selesai, aku pun berpamitan, mengucapkan terima kasih, dan mendoakan agar mendapatkan apa yang mereka incar. Aku kemudian menuju ke meja selanjutnya. Di sana sudah ada calon pembeli yang sudah antusias atas kedatanganku.
“Selamat malam, tuan-tuan dan nyonya-nyonya.”
“Selamat malam juga nak Siska.” Mereka menjawab kompak.
Di meja ini, mereka semua golongan usia lanjut. Terlukis di wajahnya guratan kulit berkerut yang samar-samar tampak. Meski pada kaum hawa tidak begitu terlihat karena tertutupi oleh lapisan riasan make-up, namun bagiku masih terlihat tua.
“Tuan berjas biru mau pilih yang mana?” tanyaku bertanya ke kakek di arah jam sembilan.
“Saya ngincar paha kamu, cantik. Sepertinya gizinya banyak, hehehe.”
Aku mendekatinya lalu berdiri di sampingnya. Kuangkat kaki kananku kemudian kudekatkan paha ini ke depan wajahnya. Telapak kaki kananku menumpu pada sandaran tangan.
“Maaf ya, Tuan. Saya tidak sopan. Ini, Tuan. Silakan dipegang,” tawarku dengan ramah.
Disentuhnya dengan lembut kulit pahaku yang lembut ini dengan telapak tangannya yang keriput di ujung usia. Tangannya itu meraba tiap milimeter permukaan kulitku yang membungkusi otot-otot paha. Bahkan, jemarinya mengelus cekungan antara paha dan kemaluan sampai tangan itu menangkupi pantat sebelah kananku dari bawah. Kulit tangannya yang berkerut itu bersentuhan langsung dengan bibir kemaluanku. Logam pada jam tangan yang dikenakannya pun terasa dingin saat menyentuh kulit bawahku itu.
Ia tersenyum sambil meremas pantatku. “Pengen beli ini, tapi tidak dapat restu dari istri.”
“Pasti istri tuan baik. Beliau memperhatikan kesehatan tuan. Pantat Siska ini banyak mengandung lemak, jadi tidak baik untuk tubuh tuan.”
“Benar. Dia sungguh memperhatikannya.” Ia kemudian melepaskan tangan yang menghinggapi pantatku. “Saya rasa sudah cukup.”
Aku menurunkan kakiku kemudian berkata, “terima kasih, Tuan. Semoga beruntung.”
Kakek ini membalas dengan senyuman, lalu aku beranjak meninggalkannya dan beralih ke peserta selanjutnya. Kulakukan hal yang sama sebagai ucapan pembuka, kemudian aku menawarkan bagian mana dari tubuhku yang diincarnya seraya mendekatkan bagian tubuhku itu. Dia pun memilih lengan kiriku. Ketika kudekatkan, tangannya mengelus dan meraba lenganku. Aku pun menawarkan juga bagian kanan lenganku, namun dia tetap bertahan dengan incarannya. Aku sih tidak bisa memaksa untuk memilih yang lain, karena itu adalah hak dia dan kewajibanku adalah menawarkannya. Hihihi.
Ada satu hal yang bikin aku bikin terasa murahan. Saat salah satu peserta lelang meminta nyicip untuk nenen, aku dengan senang hati mendekatkan salah satu buah dadaku. Pada akhirnya, dia memilih ginjalku. Lebih dari setengah peserta di meja ini memilih organ dalam tubuhku. Hanya sebagian kecil saja yang memilih bagian luar. Itu pun yang dipilih bagian tubuh yang sedikit mengandung lemak. Meski tadi dua di antara mereka sudah nyusu ke toketku, mereka tidak berani membelinya. Payudaraku yang besar ini memang banyak mengandung lemak. Hihihi.
Dari meja-meja sebelumnya, meja ini orangnya ramah-ramah. Ya mungkin karena usia dan mereka sudah banyak pengalaman. Bisa juga karena faktor lain yang aku tak mengetahuinya.
Tak lupa, aku mengucapkan terima kasih ke orang hampir bau tanah ini, lalu meninggalkannya.
Meja yang akan kutuju kali ini adalah meja yang dipenuhi oleh orang-orang asing. Mereka berkulit putih dengan bercak kemerahan. Usianya rata-rata tiga puluh tahunan. Karena tahu dengan siapa aku berhadapan, maka kugunakan bahasa inggris sebagai alat komunikasi. Dari aksen, dapat kusimpulkan mereka dari benua eropa. Sepertinya sih mereka satu rombongan. Aku tak tahu pastinya mereka dari negara mana. Kebanyakan mereka mengincar alat kemaluan dan organ reproduksiku. Hanya satu orang yang memilih pantat.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun pergi menuju ke meja-meja selanjutnya. Di sana sepertinya telah menunggu orang-orang dari asia timur. Di antaranya ada meja yang dipenuhi orang-orang dari Thailand, Taiwan, China, Korea, dan Jepang. Tiap meja ada yang satu dari negara tertentu, ada pula yang dua meja. Selain itu, ada beberapa meja yang berisi saudara dari jazirah Arab, India, dan Afrika. Mayoritas di telinga mereka tersumpal earphone yang dikenakan di salah satu telinga yang kemungkinan suara dari penerjemah dari staf Pak Borgan.
Saat aku ke meja-meja mereka, aku menggunakan bahasa inggris. Meski demikian, ada tiga meja yang tak mampu berbahasa Inggris. Staf pun datang saat aku ke meja tersebut. Dia membantuku untuk menerjemahkan ke bahasa mereka. Itu pun tiap bahasa lain penerjemahnya. Ya, inilah pelayanan. Jadi harus totalitas, apalagi acara lelang ini tergolong langka dan peminatnya dari seluruh dunia.
***
Lebih dari tiga jam lamanya aku berjalan-jalan mengunjungi meja satu persatu. Tiap milimeter tubuhku sudah disentuh orang-orang yang tak kukenal. Capek sih, kakiku jadi pegel, tapi hal itu tidak menyurutkan niatku untuk melelangkan raga ini.
Sekarang aku baru saja menyelesaikan penawaran tubuhku ke meja terakhir dan sedang berjalan menuju ke panggung. Di sana sudah berdiri alat-alat yang nanti akan digunakan sebagai proses pelelangan bagian-bagian dari tubuhku. Setelah beberapa meter melangkah, aku kembali menaiki anak tangga menuju ke panggung, kemudian berjalan ke tengah panggung dan menghadap ke para calon pembeli tubuhku.
"Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara sekalian sudah melihat maupun menyentuh barang lelang kami. Anda tentu sudah memutuskan pilihan, bagian tubuh atau organ mana yang akan bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara makan," ucap pembawa acara. “Kini, saatnya yang kita nanti-natikan telah tiba. Pelelangan Siskaaaaaaaaa ….”
Gemuruh tepuk tangan menggema di segala penjuru ruangan bagaikan sebuah echo dan reverb. Di antara mereka ada yang bersuit-suit. Saatku perhatikan asal suitan itu, ternyata dari kelompok pemuda-pemudi punk. Saat aku menatapnya dan melempar senyum, salah satu ada yang salah tingkah, hihihi. Mungkin dia naksir buat memilik aku seutuhnya, namun sayangnya itu hal yang tak mungkin terjadi. Karena … karena, saat ini aku bersiap untuk mati, di malam ini. Aku merasa diriku sangat memesona yang diperebutkan banyak orang.
Pembawa acara kemudian datang mendekatiku. Ia berdiri di sampingku menghadap para hadirin yang sedang duduk di kursinya masing-masing.
“Aromamu masih terasa segar,” pujinya yang membuatku langsung senyum-senyum nggak jelas, hihihi. Padahal aku sedikit berkeringat. Mungkin kalau AC di ruangan ini mati, aku bisa mandi keringat. Mungkin karena dedaunan yang kugosok saat mandi tadi masih melekat di tubuhku, oleh sebab itu aromanya masih tercium.
“Mari kita mulai pelelangan ini,” kata pembawa acara sambil membuka lipatan kertas glossy dan berwarna itu. “Saya buka dengan lengan kiri dengan harga sepuluh juta rupiah. Adakah yang berminat?”
Salah satu peserta kemudian ada yang mengangkat tongkat papan berbentuk lingkaran itu. “Sebelas juta rupiah.”
Suara terdengar dari satu staf yang mendampingi orang-orang dari negara Thailand. Namun, hal itu tak berlangsung lama. Belum sempat menurunkan papan berbentuk lingkaran itu, muncul suara dari arah jam dua. “Dua puluh juta rupiah.”
Seorang wanita bergaun merah menawar lengan kiriku dengan harga dua digit. Ini adalah penawaran pertama dari kaum hawa.
“Dua puluh dua juta rupiah.”
Dari meja di depanku, di arah jam dua belas, seorang laki-laki menawarku lebih tinggi.
“Dua puluh dua juta delapan ratus ribu rupiah.”
“Dua puluh tiga juta rupiah.”
“Dua puluh lima juta rupiah.”
Sahut-menyahut para pemburu lenganku saling memperebutkan dan bersaing ketat hingga beberapa satu menit berlalu tanpa ada orang yang menawar dengan harga yang lebih tinggi.
“Tidak adakah yang berani menawarnya lagi? Kalau begitu, saya hitung mundur,” kata pembawa acara yang sedang berjalan dari arah sebelah kiri, ke sebelah kanan menuju ke sudut meja yang menawar dengan harga dua puluh lima juta itu.
“Lima … empat … tiga … dua …”
“Dua puluh delapan juta rupiah.”
Dari salah satu meja muncul suara, lalu disusul papan yang diangkat tinggi-tinggi. Orang yang mengangkat meja adalah seorang kakek-kakek yang tadi mengincar lenganku.
“Dua puluh delapan juta. Tidakkah ada yang berani lebih tinggi?” kata pembawa acara provokatif. “Kalau begitu, saya hitung mundur. Tiga … dua … satu.”
Aku bersyukur, dia mendapatkan incarannya.
TOK! TOK! TOK!
Suara ketukan palu kayu menandakan bahwa lengan kiriku laku di harga dua puluh delapan juta rupiah. Setelah memukul palu, pembawa acara itu kembali mendekatiku. Ia berdiri di samping kanan.
“Jangan khawatir. Bagi yang belum kebagian, masih ada satu,” ujarnya memberi harapan. Ia melirik ke lengan kananku.
“Kali ini kami lelangkan tangan kanan secara utuh. Dari lengan sampai ujung jari.”
Tangannya yang terbungkus sarung tangan itu memegang pergelangan tanganku, lalu membengtangkannya ke arah samping. “Kami buka di harga dua puluh juta rupiah.”
“Dua puluh lima juta rupiah.”
“Dua puluh delapan juta rupiah.”
“Tiga puluh juta rupiah.”
Banyak orang-orang yang berebut untuk mendapatkan tangan kananku ini. Namun, pada akhirnya terjual di harga tiga puluh sembilan juta. Orang yang berhasil memenangkannya adalah dari salah satu meja di sebelah kiri, meja yang pertama kali kudatangi untuk menawarkan diriku. Tak kusangka, mereka mengincar lenganku. Kukira dia mengincar toket dan memekku. Hihihi.
Orang yang mengincar susuku di meja pertama itu melemparkan air kiss kepadaku dan kubalas dengan senyuman. Aku yakin, orang-orang yang telah memenangkan lengan kiri dan tangan kananku tidak akan puas dengan incarannya. Pastinya mereka juga akan memburu yang lain. Apalagi, tidak ada peraturan yang menerangkan kalau sudah memenangkan barang A tidak boleh memenangkan barang B maupun C. Bebas. Entah dia mau borong semuanya juga boleh, asalkan dia punya duit banyak.
“Bagi yang memenangkan tangan kanan Siska, kami ucapkan selamat,” kata pembawa acara setelah memukul palu kayu. “Sekarang kita lanjutkan ke pelelangan selanjutnya.”
Dia membuka kertas di tangannya, kemudian menutupnya kembali. Pria yang di pipi kirinya terdapat microphone dan telinga kirinya tersumpal earphone itu mendekatiku dengan mata yang menyoroti sekujur tubuhku. “Saya mulai dengan kaki kiri.”
“Bapak-bapak, ibu-ibu, dan saudara-saudara sudah melihat sendiri paha ini. Kualitasnya bagaimana, kelembutannya seperti apa, dan teksturnya bagaimana. Kaki kiri utuh. Dari selangkangan sini dipotong sampai di dekat tulang pinggul,” jelasnya sambil memeragakan dengan tangan seolah jemarinya itu adalah pisau potong. Tentu saja tangannya itu menyentuh kulitku.
“Anda bisa mendapatkan paha atas sampai ujung jari kakinya. Kita buka di harga …,” terangnya memberi jedah menghirup napas. “ Enam puluh juta rupiah.”
“Delapan puluh juta rupiah.” Pria di sudut kiri paling belakang berteriak lantang. Dari suaranya, kemungkinan umurnya masih dua puluh tahunan. Namun, setelah aku menoleh ke kiri, ke layar lebar, ternyata dugaanku salah. Pria itu sekitar tiga puluh tahunan. Suara kadang bisa mengecoh ya. Hihihi, aku jadi malu.
“Sembilan puluh juta rupiah.”
Tak berselang lama, ada sahutan dari meja yang dikelilingi orang-orang lansia yang tadi memang mengincar pahaku.
“Sembilan puluh dua juta rupiah.” Orang pertama kembali menawar lebih tinggi.
“Sembilan puluh lima juta rupiah.” Kakek itu menawar di atas laki-laki tiga puluh tahunan itu.
“107 juta rupiah.”
“109 juta rupiah.”
“113 juta rupiah.”
Mereka berdua saling sahut menyahut dan saling berebut atas barang incarannya itu. Mereka tidak mau kalah dan sepertinya harganya bakal lebih menggila lagi. Orang-orang di sekitarnya pun sesekali bisa menawar, tapi hanya sekitar dua sampai tiga orang. Yang paling intens cuma kakek-kakek dan pria tiga puluh tahunan itu.
Sekitar lima belas menit mereka saling berebut dan tawar, pada akhirnya kaki sebelah kiriku. Aku bersyukur, pada akhirnya kakek itu yang memenangkannya. Aku yakin, dia tidak akan sanggup untuk mengonsumsi kakiku seorang diri. Aku menunduk dan melihat kaki kiriku sambil berkata dalam hati, “selamat ya, kamu bakal dikonsumsi kakek-kakek itu. Hihihi.”
“Saya ucapkan selamat kepada pemenang kaki kiri Siska. Bagi yang belum memenangkan, jangan berkecil hati. Tubuh Siska masih banyak yang belum terjual,” katanya setelah mengetok palu lalu berjalan mondar-mandir di atas panggung. “Baiklah, sekarang kami mulai ke bagian tubuh selanjutnya.”
Sang presenter itu membuka lipatan kertas, lalu menutupnya kembali. “Selanjutnya adalah … payudara sebelah kanan.”
Penonton tampak antusias mendengarkan kalimat-kalimat yang keluar dari si pembawa acara.
“Harga pembukaan … 150 juta rupiah.”
Seorang laki-laki di meja sebelah kiri, yang bersama istrinya mengidam payudaraku itu kemudian mengangkat papan seraya berteriak lantang, “400 juta rupiah!!”
Ooohh, aku tersentuh dengan tawaran yang dia berikan. Tak kusangka dia berani mengawali dengan harga setinggi itu. Aku pikir akan ada yang menawar di antara 150 sampai 200 jutaan. Dengan awal 400 juta, aku harap harganya akan melambung lebih tinggi lagi.
“400 jutaaaaaa!!! Adakah yang menawar lebih tinggi?” kata si presenter merangsang para pemburu daging manusia yang duduk di depan sana.
“430 juta rupiah.” Dari sudut belakang di arah jam 2 bersuara sambil mengangkat papan.
“433 juta rupiah.”
“440 juta rupiah.”
“500 juta rupiah.”
“505 juta rupiah.”
Suara-suara itu saling menyahut satu sama lain, menggema dalam suasana panas ingin menguasai bagian tubuhku yang menonjol berukuran besar yang di dalamnya dipenuhi kelenjar-kelenjar sebagai pabrik pembuatan asi yang sekarang masih pasif. Sebuah bongkahan yang sebagian besar diliputi lemak ini, mereka ingin dapatkan untuk santapan cacing-cacing di usus mereka. Kemudian, keluar sebagai feses dan terbuang di dalam septik tangki. Membusuk selamanya di sana.
Aku membayangkan bagaimana proses tersebut, lalu pada akhirnya menjadi tanah, membuatku merinding sekaligus terangsang. Hal itu nantinya berlaku untuk organ tubuhku yang lain. Kecuali, kepalaku.
Entah, aku melamun cukup panjang, tak kusangka sekarang angka tawaran untuk payudaraku ini sudah tembus ke 700 juta.
“Ayo .. ayo. 708 juta, tidak ada yang menginginkan payudara ini?” kata pembawa acara yang berdiri di sebelah kananku sambil telapak tangan yang tersarungi handscoon itu mengangkat-angkat toket kananku, lalu melepaskannya. Membuat gunung berlemak itu memantul-mantul. Ia lakukan terus sambil menawarkan, betapa kenyalnya payudaraku ini.
“Lima …”
“Empat …”
Hitungan mundur diucapkan sambil tetap memainkan payudaraku ini layaknya dumbbell. Aku sih tidak mempermasalahkannya. Lagian, hal itu tidaklah merusak struktur toketku ini. Beda dengan salah satu teman orang-orang punk tadi, yang secara sembrono memasukkan tangannya ke liang kawinku yang masih rapat ini.
“Tiga …”
“Dua …”
“800 juta rupiah!!!”
Laki-laki penawar pertama tadi akhirnya menawar lebih tinggi. Woow, hebat.
“Delapan ratus jutaaaa!!!! Adakah yang berani memberikan perlawanan?” tanyanya kemudian menoleh ke arah payudaraku ini dengan mengangkat dan membiarkan payudaraku tertopang di atas telapak tangan kirinya itu. “Payudara sebesar ini, dan kualitas yang bagus. Sayang kalau laku di harga 800 juta.”
Penonton tampak hening, tapi siapa sangka dari salah satu peserta di arah jam 12 ada yang menyahut.
“820 juta rupiah!!”
“Hebat. Ada yang berani lebih tinggi?”
“845 juta rupiah.”
Lelaki yang berjuang untuk istrinya yang ngidam itu tak mau kalah. Aku akui kegigihannya untuk membawa payudaraku ini untuk istrinya itu.
“Tidak ada lagi?”
Sekitar belasan detik tak ada yang menyahut.
“Empat … “
“Tiga …”
Presenter melepaskan tangannya dari payudaraku, lalu pergi menuju ke mimbar.
“Dua …”
“Satu …”
TOK!! TOK!! TOK!!
“Selamat kepada peserta nomor 86.”
Ketukan palu menandakan payudara kananku laku ke pria yang istrinya sedang mengidam. Aku bersukur, dia dapat apa yang diinginkannya. Juga, aku merasa senang karena payudaraku laku di harga yang tinggi.
“Bagi yang belum dapat, tak perlu berkecil hati, masih ada payudara kiri,” kata pembawa acara sambil berjalan mendekatiku lagi. “Tapi, untuk sekarang kami tawarkan tangan kiri. Dari siku sampai ujung jari. Kami buka di harga lima juta rupiah.”
“Lima juta dua ratus ribu rupiah.”
“Enam juta rupiah.”
“Enam juta tujuh ratus rupiah.”
Mereka saling bersahut-sahutan. Suara bermunculan dari kiri ke kanan, dari kanan ke kiri. Bahkan, ada yang dari orang yang duduk di meja di hadapanku, di arah jam 12. Sungguh, ini cukup membuatku terenyuh. Bagian tubuh yang dagingnya sedikit, mereka mau membeli di harga jutaan. Namun pada akhirnya, tangan kiriku ini laku di harga tujuh juta lima ratus ribu rupiah. Dan, lakunya pada tamu dari Thailand.
“Selanjutnya, kami tawarkan pantat kanan,” ujarnya. “Siska, tolong balik badan ya.”
Aku menurutinya dengan membalikkan badanku memunggungi penonton.
“Lihatlah dengan seksama, pantat ini. Bapak, ibu, dan saudara sekalian sudah melihatnya dari dekat. Ini kami buka di harga dua puluh lima juta rupiah. Silakan angkat papan nomor dan harga tawaran kalian.”
“30 juta rupiah!”
“33 juta rupiah!”
“40 juta rupiah!”
“70 juta rupiah!”
“88 juta rupiah!”
Setelah itu, cukup hening sampai akhirnya pembawa acara menghitung mundur.
“Lima…”
“Empat…”
“Tiga…”
“Dua…”
“Satu…”
TOK! TOK! TOK!
“Selamat kepada peserta nomor 11.” Host yang masih bersemangat dan tampak riang itu tak henti-hentinya berjalan di atas panggung dari sudut ke sudut, bolak balik mendekatiku lalu kembali ke ujung panggung mendekati para penonton.
“Tadi yang kecewa belum mendapatkan barang yang telah terjual, selanjutnya kami jual kembali. Hanya sisa satu ….” Ia memberi jedah sesaat. “Payudara kiriiiiii…..”
“Siska, tolong balik badan kamu,” pinta host itu yang langsung aku turuti.
Ia mendekat, berdiri di sebelah kiri sama-sama menghadap ke para penonton yang duduk manis sambil menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya.
“Ini yang produk payudara terakhir dan inilah kesempatan terakhir bagi bapak, ibu, dan saudara sekalian.” Ia memindahkan mikrofon ke tangan kiri, lalu telapak tangan kanannya menangkupi toket kiriku dari bagian bawah.
“Tidak akan ada lagi kesempatan mendapatkan payudara dengan kualitas sebagus ini. Ukurannya yang besar, dan tekstur kulit, puting, dan areola ini ….”
Aku cukup terkejut ketika jari-jarinya itu menyenggol putingku, juga menekan-nekannya seperti tombol pada mesin kontrol konsol gim. Tentu saja aku terangsang. Aku tau, dia menyadarinya kalau putingku sedang menegang.
“Tadi sebelah kanan laku di harga 845 juta rupiah. Sekarang, kami buka di harga 800 juta rupiah. Silakan tawarkan harga pembelian anda.”
“Satu miliar rupiah!!” Dari salah satu meja yang dikelilingi oleh orang-orang bersorban, lengkap dengan kuffiyah, dan pakaian thawb, staf penerjemah di meja itu mengangkat papan nomor.
Suasana senyap mendadak meliputi aula yang megah dan mewah ini. Hampir semua insan menoleh dan menatap ke meja yang dikelilingi pria berjengot lebat itu. Sisanya, hanya menunduk menghela napas, seolah-olah pasrah tak mampu menyaingi mengimbangi harga yang tertawar mahal. Aku pun mengerti, sebagian atau mungkin semua orang di sini sudah mendapatkan barang-barang yang dilelang sebelum aku. Dari perabotan rumah, senjata antik, sampai wayang dari kulit manusia yang kesemuanya laku sangat mahal. Alhasil, uang yang mereka miliki sekarang sudah jauh berkurang. Aku yakin, orang timur tengah yang menawar toketku ini sudah membeli barang-barang itu. Hanya saja, uang mereka masih tersisa banyak.
“Satu miliar. Woooow, fantastis.” Suara dari konduktor acara memecah keheningan. “Tidak adakah yang ingin menawar lebih tinggi?”
Dia mendekatiku, lalu tangannya mengangkat pelan payudara kiriku.
“Tidak adakah di antara bapak, ibu, dan saudara ingin memilikinya? Ini payudara terakhir.”
Manusia-manusia di hadapanku bergeming. Sepertinya mereka tak mampu untuk membeli di atas satu miliar. Tak mengapa, lagian payudara kiriku ini sudah laku lebih baik daripada yang sebelah kanan. Hihihi
“Lima…”
“Empat…”
“Tiga…”
“Dua…”
“Satu…”
TOK!! TOK! TOK!
Toket terakhir sudah laku. Aku bersukur, sampai sekarang jumlah penjualannya lebih dari dua miliar. Tinggal bagian lain dari tubuhku saja. Hihihi.
“Selamat kepada peserta nomor 603. Selanjutnya, kami akan menjual kemaluan Siska beserta dengan organ reproduksinya. Dari reproduksi luar sampai organ reproduksi dalam. Kami jual satu kesatuan. Dan …” Pembawa acara memberi jedah. “Bagi siapapun yang memenangkannya, berhak untuk menyutubuhinya. Jika pemenangnya perempuan, boleh menggunakan beberapa alat bantu yang sudah kami siapkan.”
Oh. Ini dia salah satu rencana Pak Borgan yang dibicarakan sebelumnya. Dia bilang kalau untuk menaikkan harga, pakai metode itu. Pasti anak-anak yatim piatu bisa makan enak dengan uang yang banyak.
“Tidak perlu berlama-lama. Bapak, ibu, dan saudara semua sudah melihatnya tadi. Bagaimana bentuk kemaluan Siska. Mari, kami mulai dan dibuka di harga satu miliar rupiah.”
Selang sedetik, dari arah jam sepuluh ada yang berteriak lantang. “1,2 miliar rupiah!”
“1,4 miliar rupiah!” kata staf yang duduk di meja bule dari China.
“1,5 miliar rupiah.” Kakek-kakek yang galak di meja sana ikut menawar.
“1,7 miliar rupiah.” Pemuda punk ikut menawar.
“3 miliar rupiah!!!”
Suara itu mengejutkanku, juga para penonton.
“Wooooow, sepertinya mulai seru. Ayo, adakah yang berani menawar lebih tinggi?” Host itu melenggang mendekatiku.
Ia membelai kemaluanku yang tak ditumbuhi rambut. Bibir vaginaku yang masih rapat dielus-elus oleh jari yang terbungkusi handscoon. Meski handscoon itu lembut, tetap saja terasa menggelitik di bagian pribadi dari tubuhku. Ditambah, ketika mengelus, lapisan handscoon berwarna putih itu bergesekan dengan organ mungil tak sebesar dari biji jagung itu. Rangsangan di titik yang ditinggali oleh lebih dari 8000 saraf itu membuatku kegelian. Rasa yang menjalar cepat ke otak membuat tubuhku menghangat dan liang kewanitaanku mensekresi cairan. Tanpa kuduga, otot-otot perutku berkedut dengan sendirinya. Ingin sekali aku mendesah, tapi aku menahannya dan bersikap profesional. Aku bukanlah Almah yang mudah mendesah dan terkesan amatiran.
Aku menatap ke orang yang menawar memekku di harga tiga miliar. Pandangan pertama dari pikiranku saat melihatnya adalah, black lives matter. Aku tak menyangka, jika nantinya perawanku jebol di kontol dari bangsanya. Namun, aku tak bisa membayangkan jika nantinya ukuran kontolnya besar seperti di film bokep bertemakan interracial itu membelah masuk ke lubang kawinku ini. Uhhhh… sial. Di saat begini aku malah mikir yang enggak-enggak. Jelas, mau tidak mau aku harus siap. Tidak peduli dari suku apapun, dari negara manapun, latar belakangnya seperti apa, dan bentuk dan warna kontol apapun, memekku ini harus siap dimasuki senjata tak bertulang itu.
Dan, orang yang menawar memek all in one-ku itu adalah orang dari berkulit gelap. Entah orang itu dari Melanesia, Afrika atau Amerika. Yang jelas, orang itu berkulit gelap. Karena ketika tadi kutanya, mereka adalah komunitas.
“Saya hitung mundur. Lima…”
“Empat…”
“Tiga…”
“Dua…”
“3,4 miliar rupiah!” Suara dari staf yang dikelilingi orang-orang Jepang itu terdengar.
“Waaah, menarik. Ada yang menawar yang lebih tinggi. Tidak adakah yang berani menawar lebih tinggi?
“3,5 miliar rupiah.” Selang beberapa detik, suara muncul dari staf yang di kelilingi orang berkulit gelap.
“4 miliar rupiah.” Orang dari negara produsen anime tak mau kalah.
“4,6 miliar rupiah,” balas orang berkulit gelap.
Sepertinya ini pertarungan antara orang kulit kuning dan gelap. Mereka saling menawar satu sama lain. Cukup seru pertarungan ini, sampai pada akhirnya…
“7 miliar rupiah.” Papan nomor terangkat dari meja anak-anak punk.
Aku tidak menyangka kalau pemuda punk itu memiliki kemampuan untuk membeli seperangkat alat reproduksiku. Sebagai barang lelang, aku tentu tak keberatan. Mungkin, ini lebih baik. Dengan postur tubuh seperti itu, aku kira ukuran kontolnya rata-rata seperti orang Indonesia. Daripada kena orang kulit gelap itu, wuih gak tau rasanya nanti saat dipenetrasi sakitnya kayak gimana.
“Hebat. 7 miliar rupiah!!” kata pembawa acara memberi sanjungan. “Saya hitung mundur.”
“Empat…”
“Tiga…”
“Dua…”
“Satu…”
TOK! TOK! TOK!
Akhirnya, pemuda punk yang rekannya diusir dari aula pelelangan ini yang mendapatkannya.
“Selamat, kepada peserta nomor 313.”
Suara tepuk tangan terdengar menggema. Pemuda punk itu senyum-senyum menandakan dia bahagia mendapatkan apa yang diinginkannya.,
***
Lebih dari satu jam berlalu. Organ-organ dalam dan sisa-sisa bagian tubuhku seperti pundak, punggung, kulit perut, telah laku terjual. Intinya, hanya kepala saja yang tak terjual. Aku pun merasa lelah berdiri lama di atas panggung ini. Untunglah suasananya sejuk. Kalau enggak, bisa-bisa aku keringatan dan aku gak mau kalau sampai mandi lagi.
“Terima kasih kepada seluruh pemenang dan sekarang kita masuk ke sesi selanjutnya. Sambil menunggu prosesnya, silakan bapak, ibu, dan saudara menikmati hidangan kami.”
Beberapa saat kemudian, para pramusaji datang ke dalam aula sambil membawa troli yang diatasnya tersaji makanan dengan porsi-porsi kecil. Satu meja bisa dikelilingi dua sampai tiga troli. Mereka memindahkan makanan dari troli ke meja.
Di sisi lain, dari arah belakang sebuah besi stainless silinder yang bentuknya melingkar berdiri tegak. Kira-kira diameternya tidak sampai dua meter. Benda itu kemudian didorong oleh dua petugas hingga berada di tengah panggung kemudian pergi.
“Hai, dik Siska. Kita ketemu lagi,” sapa dari seseorang yang suaranya familiar.
“Eh, cef Yongki,” kataku yang terkejut dengan keberadaannya.
Perawakan pria ini tetap sama, ganteng, hihihi. Badannya proporsional, dan berpostur tinggi. Pakaiannya yang dikenakan kali ini tetap menggunakan pakaian cef namun warnanya hitam. Ia depan tubuhnya sudah tertutupi oleh apron, dan di atas kepalanya juga berhiaskan topi cef.
“Sendirian aja, Cef?”
“Iya. Saya ditugaskan sendiri.”
“Berat nih. Apa enggak kewalahan nanti masaknya kayak apa?”
“Siap dong. Masak dik Siska, itu mudah. Tinggal potong-potong lalu masak.”
“Segampang itu?”
“Tentu. Bumbu dan bahan sudah saya siapkan sebelumnya.”
“Oh, bagus. Tapi, mereka semua makan. Apa nanti muat untuk makan tubuh Siska ini cef?”
“Makanan itu tidaklah mengenyangkan.”
Aku mengangguk-angguk tanda aku mengerti. Perbincangan kami berdua tidak sampai mengganggu orang-orang yang sedang menikmati hidangan di hadapannya. Mungkin tidak sampai terdengar oleh mereka semua.
“Kamu sudah siap, dik?”
“Siap, dong.”
“Ayo, ikut saya,” ajaknya menuju ke belakang panggung. Di balik panggung, kami menuju ke sebuah ruangan, di mana ruangannya cukup luas dan bersih. Saat pertama kali masuk, aku mencium aroma wangi. Banyak benda-benda antik dan lukisan yang tertata rapi. Di tengah-tengahnya, terdapat sebuah ranjang yang di atasnya terlambari sprei putih, taburan bunga mawar, dan sepasang handuk putih yang dibentuk sedemikian rupa membentuk sepasang angsa yang saling berhadap-hadapan. Leher dan kepala angsa membentuk lambang love.
“Silakan masuk, Tuan.”
Sesosok pria punk kemudian masuk ke ruangan.
“Kami beri waktu paling lama tiga puluh menit, silakan dinikmati,” kata Cef Yongki kemudian pergi meninggalkan kami berdua.
“Makasih mas,” jawab pemuda punk ini kemudian menutup pintu.
“Hehehe, kenapa bengong saja?”
“Enggak, Siska cuma kaget aja, Om”
“Jangan panggil Om dong, kan sudah gue bilang tadi.”
“Eh, iya Om, eh kak.”
Lelaki berambut jabrik dan bersemir ini kemudian menelanjangi diri. Melepaskan satu persatu pakaian yang melekat pada tubuhnya. Dari jaket kulit, hingga celana dalamnya. Ia juga melepaskan aksesoris, seperti gelang kulit yang dikelilingi metal tajam yang mengkilat. Sepertinya dia mengingat peraturan itu. Namun, siapa sangka, di perut dan dadanya terdapat bekas-bekas luka. Penisnya masih menggantung lemas dengan ujung yang masih tertutupi kulup.
Dia menghampiriku, lalu mendorongku hingga aku berjalan mundur, lalu jatuh telentang di atas ranjang. Dia sekarang ada di atasku. Napasnya memburu begitu cepat.
“Sayang waktunya sebentar, padahal gue pengen nikmati lo lebih banyak lagi.”
“Apa boleh buat, Kak. Mereka juga sudah menunggu untuk menyantap tubuh Siska.”
“Bener. Sekarang, lo sepongin gue. Bikin kontol gue ngaceng.”
“Siap, Kak.”
Segera, dia tidur teletang, lalu aku merangkak ke selangkangannya. Tangan kananku menggapai ekor depannya yang masih lemas. Lalu aku mendekatkan wajahku ke kelaminnya. Aromanya wangi. Sepertinya dia merawat dirinya dengan baik. Ibu jari dan jari telunjukku menjepit ujung kulup, lalu secara perlahan aku turunkan ke arah pangkal penisnya. Sedikit demi sedikit, kepala penis berwarna merah dengan lubang pipih mungil mulai memperlihatkan wujudnya. Pembungkus kulit yang menelungkupi kepala penis itu melorot hingga mempertontonkan gundukan glans yang masih basah dan mengkilap. Tidak ada smegma yang menempel di permukaannya. Saat kucium, tidak berbau. Malah harum sabun.
“Cepet buruan, lo mupeng sama kontol gue? Entar lo juga dapat enaknya juga.”
Huh, dasar gak sabaran. Padahal kontol dia ini nanti yang bakal merobek selaput daraku. Dengan cepat, aku pun mendekatkan mulutku, membuka bibirku lalu mencaplok penisnya yang masih loyo itu. Tangan kananku memegang pangkal penisnya, lalu kepalaku bergerak ke atas dan ke bawah dengan tempo yang pelan.
“Aaaahh, Anjing. Jangan sampai kena gigi loe!!” teriaknya.
“Hhhhmmmmhhm,” balasku yang suaranya keluar dari hidungku karena mulutku yang tersumpal kontol.
Gerakan kepalaku makin cepat mengulum penisnya hingga lambat laun benda yang di dalam mulutku makin membesar dan mengeras. Tangan kananku yang memegang pangkal penisnya pun memencet-mencet untuk merasakan kerasnya senjatanya dia. Urat-urat yang mengelilingi penis itu mulai timbul. Dapat kurasakan saat mulutku mengulum, denyutan dari urat yang menyalurkan darah dan makanan untuk sel-sel itu. Yang adinya aku bisa melahap seluruh penisnya, sekarang hanya separuhnya saja. Aku tidak memaksakan untuk mengulum terlalu dalam. Ini aja ujung penisnya sudah berada di belakang lidahku.
Aku mengulum penisnya sampai si empunya menghentikanku.
“Sekarang, lo tiduran telentang. Gue pengen jilmek meki lo.”
“I-iya, kak.”
Sesuai dengan permintaannya, aku kemudian tidur telentang. Dia kemudian bangkit, lalu membuka sepasang kakiku lebar-lebar. Dengan rakus, dia kemudian melahap area vulvaku. Lidahnya bergerak mulai dari perineum, naik sampai ke atas biji kelentitku. Sepasang tangannya memeluk kedua pahaku yang kakinya membuka dan membentuk huruf M sambil lidahnya menyapu labia mayora dan minoraku. Dapat kurasakan tiap usapan lidahnya seperti ada sengatan listrik ke otakku. Putingku turut tersengat juga yang sepertinya sekarang telah menegang. Mungkin saat ini kadar dopamin dalam tubuhku mulai meningkat. Rasa senang dan nyaman ini begitu menguasai diriku.
“Ehmmm…. Ohhhhh,” desahku yang keluar dari kerongkongan. Tanpa sadar, aku mengapitkan pahaku dan menjepit kepala laki-laki punk di bawah sana.
Rasanya aku dibuat melayang lebih tinggi ketika sepasang putingku tanpa kusadari dipilin oleh sepasang tangannya. Tiga titik sensitifku dirangsang. Aku tak dapat menjabarkan betapa nikmatnya rasa ini. Dadaku bergerak sendiri ke atas, membuat tubuhku melengkung.
Oh, ini dia … ini diaaaa.
“Aaaaaaaahhhhhh…,” desahku dibarengi sedikit kejang dan getaran sesaat di lututku. Lalu, aku pun lemas dan menyisakan rasa geli di kemaluanku.
“Aaahh… udah, kak. Udaaah …. Aaah… geli.”
Aku tidur telentang dan pasrah dengan kedua kaki yang tetap membuka. Tulang belulangku serasa tercabut dari tubuh, menyisakan seonggok daging yang tak mampu untuk bergerak. Hanya rasa geli di memeku dan putingku.
“Hehehe, seksi banget lo. Enak, kan?”
“He em. Makasih, kak. Ini pertama kalinya Siska bisa merasakan orgasme sama cowok,” kataku sambil menatap langit-langit ruangan ini.
“Oh, sebelumnya lo orgamesnya sama cewek?”
“Enggak, Siska colmek sendiri.”
“Ya udah, gue mau ngentotin memek lo yang harganya 7 m ini.”
“I-iya, kak. Silakan, kak, entotin memek Siska ini.”
Dia sudah duduk di depan selangkanganku. Kedua betis atas kakiku kemudian dipegang, lalu didorong hingga posisi lututku berada di samping tubuhku. Kedua betisku membujur di samping kepalaku, membuat selangkanganku terangkat lebih tinggi menghadap ke langit-langit dan lebih tinggi dari perutku. Kulihat ia hanya bertumpu pada lutut, sedangkan tangannya memegangi kakiku. Penisnya yang terhunus ke arah memekku sudah siap untuk mendobrak keperawananku.
Pinggulnya bergerak mendekat. Dapat kurasakan ujung penisnya sudah menyentuh memekku. Secara perlahan, ya menurunkan pinggulnya. Membelah labia labia minora dan membuat labia mayora kiri dan kanan saling berjauhan. Aku lihat kepala penisnya sudah masuk.
“Tidak perlu dilihat. Nikmatin saja,” sarannya.
Iya, betul. Tapi ini kan momen pertamaku, masak gak boleh dilihat.
“Sini, tatap gue saja,” sambungnya.
Sorot matanya menatap mataku. Namun, pikiranku fokus ke selangkanganku. Ada sesuatu yang mengganjal di sana. Aku yakin, itu selaput daraku. Meski sudah basah dan vaginaku sudah tersekresi, ia tak buru-buru untuk menusukkan senjatanya ke lobang kawinku. Ia mencabut perlahan, lalu kembali menusukkan. Begitulah yang ia lakukan. Mungkin sekitar empat atau lima kali.
“Aaaaaahhhhh!!” jeritku memekik saat hentakan terakhir ia menghunuskan kontolnya sampai keseluruhannya tertelan di dalam lorong mukosa vaginaku. Rasanya sungguh sangat perih. Sakitnya seperti tersayat oleh silet, namun itu hanya sesaat. Bagaikan jarum suntik yang menusuk kulit, awalnya terasa sakit, namun setelah itu sudah enggak meski jarum itu belum tercabut.
“Hehehe, seperti ini rasanya memek 7 m,” celetuknya kemudian mengecup bibirku.
Sepasang bibir kami saling berpagut, lidahnya membelit lidahku. Setelah itu, kurasakan pinggulnya mulai bergerak memaju-mundurkan penis yang tertanam di dalam vaginaku. Sungguh, rasanya nikmat sekali. Sensasi memekku ditumbuk benda asing, ditambah mulutku yang saling berpagut membuatku kembali melayang. Embusan napas lelaki di depanku sampai terhirup oleh hidungku. Aku tahu, organ paru-paruku juga laku ke seseorang. Mudah-mudahan saja dia tidak mengidap penyakit tuberkulosis atau penyakit menular lainnya.
“Ohh … Ohh .. oohhhh,” desahnya diiringi oleh desahanku juga.
“Ohhh .. gue mau minjem toket orang dulu … ohhh.”
“Ssshh .. iyah .. kak. Boleh .. kok. Aahh… asalkan … ja ... ngan dirusak … aaah.”
Ia melepaskan pegangan pada kaki kiriku, lalu hingga di toket kiriku. Sambil bersenggama, ia memainkan putingku. Puting dan toket yang telah laku satu miliar rupiah ini dimainkan oleh dia. Aku pun tidak mempermasalahkannya, karena menurutku ini masih dalam batas wajar. Dia tidak merusak properti milik orang lain. Properti dia adalah memek, organ di ujung lorong vaginaku, dan beberapa organ-organ lainnya.
Gesekan pada mukosa vaginaku membuatku kembali terbang melayang. Mataku memejam menikmati proses dimana aku dibawa terbang. Aku tak merasakan rasa sakit akibat robeknya selaput daraku. Yang kurasakan adalah birahi.
PLOK! PLOK! PLOK!
Sodokan tongkatnya makin intens. Kecepatan mulai meningkat dalam beberapa detik. Aku dapat merasakan gerakan di mana rahimku turut terdorong. Meski ukuran penisnya tak terlalu besar, tapi ujung penisnya seperti menyundul-nyundul area servikku.
Oh, aku mau mencapai puncak.
“Hmmmmm .. aaaaaaaaahh,” desahku kembali mencapai orgasme yang kedua kalinya. Tapi, lawan mainku sepertinya masih belum sampai ejakulasi. Ia masih terus memompa liang kawinku. Aku hanya lemas membiarkan dia melakukan apapun pada tubuhku ini.
Selang beberapa detik, dia tampak mengerang hebat.
“Ooooohhhhh,” erangannya sambil menekan dalam-dalam kontolknya di dalam mekiku. Kurasakan penisnya berkedut dan beberapa saat merasakan ada cairan yang menggenangi ujung vaginaku. Mungkin diantaranya masuk ke lubang servik hingga ke rongga di dalam rahimku.
Ia mendiamkan penisnya di dalam memeku. Paha dalamku menopang pinggulnya sampai penisnya di dalam liang kewanitaanku mengecil, lalu ia mencabutnya.
Aku menunduk melihat penisnya yang tercabut dalam memekku. Terdapat bercak merah di pangkal penisnya dan sebagian di jembutnya. Bercak merah itu juga menempel di sekitar vulvaku.
“Oh, bener-bener enak meki lo. Gak sabar pengen makan, rasanya seperti apa.”
“Pasti enak, kok. Tenang saja. Siska jamin itu,” kataku membalas ucapannya. “Tapi, nanti harus dihabisin, ya?”
“Itu pasti. Meki 7 miliar dan pasti habis kubagi-bagikan dengan teman-temanku, hehehe.”
Secara tiba-tiba, ia mengecup memekku sambil berkata, “Perut gue sudah menantikan lo.”
“Hihihi, iya-iya. Pokoknya memek Siska buat kakak.”
Ia pun bangkit lalu mengambil handuk yang sudah tak berbentuk angsa untuk mengelapi kemaluannya dan bercak-bercak cairan cinta dan noda darahku. Ia pun mengambil handuk yang satunya untuk mengelapi kemaluanku.
“Makasih.”
“Sama-sama. Buruan, lo duluan keluar,” pintanya.
Aku pun segera menuju kembali ke panggung meninggalkan lelaki punk yang masih telanjang.
Dalam puluhan detik, aku sudah berdiri di atas panggung disambut tepuk tangan para hadirin. Cef Yongki mendekatiku lalu menguncir rambutku gaya ponytail. Kedua tangannya yang sudah terbungkusi handscoon Itu cukup cekatan mengikat rambutku. Selanjutnya, ia membimbingku untuk menuju ke sebuah alat berbentuk silinder berbahan metal yang tertidur di lantai panggung.
“Dek Siska tidur di tengah sini,” pintanya yang segera aku turuti.
Aku tidur telentang di tengah besi, lalu tangan kiriku dipegang, diarahkan ke samping kiri atas, lalu dipakaikan sabuk gelang di pergelangan tangan kiri, lalu diikatkan ke sisi kiri besi. Begitu juga dengan tangan kanan, dan kedua pergelangan kakiku. Bentuk tubuhku ini seperti huruf X.
Suara derit dari rantai datang dari atas panggung. Kulihat Cef Yongki sedang melakukan sesuatu di atas kepalaku, hingga selanjutnya aku merasakan tubuhku kini terangkat beserta besi yang berbentuk lingkaran ini. Bahkan, kakiku maupun besi tak menyentuh lantai panggung. Pergelanganku sedikit sakit, begitu juga dengan pergelangan kakiku.
Penonton melihat tubuh telanjangku yang terangkat sekitar dua jengkal dari lantai. Cef Yongki bahkan memutar ke arah kiri, hingga bagian belakang tubuhku menghadap ke para hadirin. Ia memutar kembali lingkaran besi sampai aku menghadap ke arah penonton kembali. Kulihat Cef Yongki melakukan sesuatu di belakang sana. Seperti suara membuka botol, dan plastik.
Cessssss!!!
Terasa bagian punggung leherku dingin. Kulit leher belakangku diusapi sesuatu, lalu mendadak terasa nyeri. Punggung leherku seperti tertusuk jarum. Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali punggung leherku tertusuk jarum. Rasa sakit itu cuma sesaat, setelahnya bagian bawah leher sampai ke bawah terasa kebas.
“Apa yang dek Siska rasakan?” katanya yang berdiri di samping kiriku.
“Dingin.”
“Kalau ini?” tanyanya sambil menunjuk bagian lengan kiriku yang telah tertusuk jarum yang bagian pangkalnya terdapat papan berbentuk lingkaran plastik putih yang di tengahnya tertera angka. Setelah kusadari, angka itu adalah nomor peserta yang memenangkan lengan kiriku. Diameter jarumnya pun besar seukuran jarum suntik. Aku bahkan tak merasakan saat pin bernomor itu menusuk kulit lenganku.
“Siska tidak merasakannya, Cef. Tubuh Siska seperti bukan bagian dari milik Siska.”
“Ya memang badan dek Siska sudah milik orang lain.”
“Hihihi, iya sih.”
Cef Yongki menusukkan pin di tangan kiriku. Posisinya di dekat pergelangan tangan. Ia bergerak ke kiri, lalu menusukkan pin bernomor di lengan kananku. Tangannya kemudian bergerak menancapkan pin di toket kananku. Ia menancapkan dari atas. Pin itu berdiri tegak di atas toketku. Begitu juga dengan toket kiriku.
Lalu, ia menancapkan di bagian bawah tubuhku, yaitu paha kiri paha kanan. Bagian pantat, aku tak bisa melihatnya, karena ia berada di belakang tubuhku. Saat menancapkannya pun, aku tak merasakannya. Lagian, aku juga tak bisa melihat bagian pantatku dengan mata kepalaku sendiri.
Jadi seperti ini yang dirasakan oleh Angela. Pak Jono menusukkan jarum akupuntur di leher belakang Angela, lalu seluruh kulitnya dikuliti hingga lepas. Pantas saja tidak terasa sakit.
Ia kemudian ke belakang. Terdengar seperti suara api kompor gas yang habis dipantik. Cef Hilda tadi pakai kompor listrik, mungkin cef Yongki pakai kompor listrik juga. Aku baru dengar sih suaranya saat dihidupkan seperti ini.
Di belakang sana terdengar beberapa suara gesekan-gesekan besi. Entah itu pisau, atau apalah itu. Aku menduga, dapur untuk memasak ada di belakang tubuhku. Mungkin agar penonton bisa melihat jelas tubuhku ini yang sedikit demi sedikit mulai dipotong dan diambil organ tubuhnya.
Sebagai gambaran, posisiku yang tergantung ini sekitar dua meter dari ujung depan panggung. Selain itu, beberapa sorot cahaya juga menerangi tubuhku yang telanjang ini.
Beberapa menit kemudian, Cef Yongki datang dari arah sebelah kanan. Ia berdiri di depanku, lalu diangkat tangannya yang memegang sebuah suntikan dengan tabung yang cukup besar. Ia kemudian menusukkan jarum suntik itu di areola bawah toket kananku. Cukup dalam ia menusukkan, lalu tuas plunger hingga carian berwarna abu-abu itu itu masuk ke jarum, lalu menyebar ke dalam toketku. Di sini, aku sedikit merasa geli. Bagian dalam toketku seperti digelitik. Ia cabut, lalu ditusukkan ke sebelah kiri dari toket kananku, juga dari sebelah kanan toketku. Sisanya, ia tusukkkan ke payudara kananku dari arah bawah.
Suntikan dicabut, lalu ia pergi ke belakang. Beberapa detik kemudian, Cef Yongki kembali datang. Ia berdiri di samping kananku sambil membawa pisau dan loyang aluminium berbentuk persegi empat. Loyang, itu ada pengait yang kemudian ia kaitkan di besi yang membentangkan tubuhku. Puting kananku dipegang tangan kirinya, lalu tangan kanannya yang memegang pisau itu mengarahkan mata pisau ke arah atas di samping bawah buah dadaku. Dengan cepat, ia menusukkan lalu mengiris tulang rusuk sebelah kanan di pinggang menuju ke atas, lalu sampai di dekat ketiak kanan, memutar hingga pisau itu memotong horizontal di bawah tulang selangka lalu berhenti di bawah leherku. Setelahnya, ia memotong vertikal ke arah bawah. Pisau itu memotong dan berada di tengah di antara kedua payudaraku. Lalu, sampai di ulu hati, pisau itu memotong ke arah kanan menuju pinggang. Sambil putingku ditarik, sebagian tulang rusuk tempat toketku nempel ikut tertarik. Dapat kulihat paru-paruku masih mengembang-ngempis. Pisau cef Yongki memisahkan jaringan dibalik tulang rusuk yang menempel di jaringan dalam, hingga dalam belasan detik, payudaraku kini sudah lepas dan menyisakan luka menganga. Ia mengangkat tinggi-tinggi ke hadapan penonton bongkahan toketku itu yang kemudian disambut tepuk tangan. Ia memegang bongkahan itu pada tulang rusuk atas. Jadi bagian dalam tulang rusuk itu menghadap ke aku. Ruas-ruas tulang rusuk dan otot di sela-sela tulang rusuk itu dapat kulihat jelas.
Persis seperti yang ditulis dalam katalog, kalau toketku ini dijual beserta dengan tulang rusuk sebatas di mana tempat payudara ini nempel saja.
“Cef, boleh Siska nyicipi toket itu?” kataku ketika ia hendak pergi ke belakang.
“Maksudnya nyusu?” tanyanya yang mengerti dan paham maksudku yang kemudian kujawab dengan anggukan. “Saya tanyakan dulu ke pemiliknya dulu.”
“Kepada peserta nomor 86, bolehkah Siska merasakan payudara ini untuk terakhir kalinya?” tanyanya menggunakan pengeras suara.
“Boleh, silakan saja,” jawab lelaki yang di ujung sebelah kiri. Lelaki yang istrinya sedang ngidam toket.
Cef Yongki mengarahkan gundukan besar yang telah tertancap pin ke wajahku. Mengarahkan mantan puting kananku ke mulutku yang telah membuka.
Hap!!!
Aku mengenyot puting dan areolaku untuk terakhir kalinya. Oh, begini rasanya nenen ke toket. Ditambah toket yang tadinya melekat pada tubuhku. Toket yang kini bukan lagi milikku.
“Tahan dan gigit dulu ya, jangan sampai jatuh,” kata Cef Yongki melepaskan pegangan pada payudara ini hingga gundukan besar ini menggantung pada mulutku. Bahkan, ujung tulang rusuk yang terpotong mengenai kulit leherku. Cukup berat sih.
Sekarang aku menahan mantan toket kananku ini di mulutku sendiri. Bukan dengan menggigit pakai gigi seperti perintah Cef Yongki, melainkan dengan menjepit rapat-rapat buah dada ini dengan bibirku. Keseluruhan areola dan puting masuk ke dalam mulutku, sehingga areola di dekat puting yang berada dalam rongga mulut aku jepit dengan ujung lidah dan kudorong ke langit-langit di dekat gigi seri bagian dalam. Mungkin lebih tepatnya gusi gigi. Selain itu, aku juga menghisap sebagai bantuan agar seonggok daging yang dipenuhi kelenjar persusuan ini tidak terlepas dan jatuh. Karena hisapanku yang cukup kuat, aku dapat merasakan cairan bumbu yang tadi disuntikkan Cef Yongki. Salah satu yang disuntikkan tadi ada di sekitar areola. Rasanya ada campuran pedas, gurih, manis, dan asin. Darah yang keluar dari bekas suntikan itu juga terasa meski tersamarkan oleh bumbu tadi.
Oh, seperti inikah rasanya menyusu itu? Ada sensasi tersendiri ketika menyusu ke payudara sendiri yang telah terpotong. Andaikan masih merasakan selangkanganku, pasti liang kewanitaanku basah. Nenen ke toket yang padat dan kulitnya bersih, membuatku terlena. Aku coba gigit kecil dengan gigi seriku, seketika itu sensasinya sungguh meningkat. Ah, kalau normal, memekku pasti banjir parah. Siapa sangka, beberapa menit yang lalu, toket ini bersarang di dadaku. Hidup bersama lebih dari dua puluh tahun. Terawat sejak dilahirkan. Dan, kini berpisah dan nemplok di mulutku. Hihhi, emang udah nasib kamu, ket.
Di depan pipi kiriku, pin yang tertancap di payudara juga terlihat jelas. Terdapat nomor 86 di papan plastik putih berbentuk lingkaran itu. Pin itu tertancap dengan posisi ada di depan pipi kiri, berarti kulit buah dada di depan hidungku ini sebelumnya bagian yang berhadapan dengan payudara sebelah kiri. Ibaratnya aku nyusu ke toket kanan cewek yang tidur telentang dari samping kanan. Hanya saja, karena posisiku yang berdiri dan adanya gaya gravitasi, bentuk buah dada yang kukenyot ini menggantung dengan bagian luka potong menghadap ke bawah. Aku rasa beberapa tetes darah dan bumbu berceceran di lantai bawah sana. Aku tak bisa melihat karena pandangan kedua mataku terhalangi bongkahan payudara.
Terdengar langkah dari belakang. Cef Yongki kemudian datang dari sebelah kiri. Ia memandangiku sejenak.
“Sudah cukup?”
Aku mengangguk pelan, lalu ia mengambil loyang yang tergantung di besi sebelah kananku. Loyang itu kemudian disodorkan di depan dadaku hingga wadah alumunium itu menyentuh kulit payudara kiri atasku. Meski aku tak bisa merasakannya, tapi dorongan wadah itu sedikit membuat tubuhku sedikit mundur.
“Sekarang lepaskan.”
Mulutku membuka. Seketika itu payudara itu jatuh dan terdengar suara benturan yang dihasilkan antara onggokan buah dada dengan wadah. Saking beratnya, wadah itu sedikit terdorong ke bawah. Pegangan Cef Yongki kuat. Wajar lah cowok, karena itu wadah itu tidak sampai terlepas dari pegangannya. Saat terjauh, posisi payudaranya menyamping gitu. Karena, ketika terlepas dari mulutku, toket itu sempat berputar hampir 180 derajat ke arah depan. Yang tadinya puting menghadap ke arahku, karena aku kenyot, sekarang menghadap ke arah Cef Yongki yang berdiri di hadapanku.
Di sini, aku melihat bentuk toketku yang sedikit pipih. Wajar sih, namanya toket original tanpa implan. Sama halnya, ketika tidur, meski ukurannya besar dan padat, tetap saja agak pipih. Ya emang dasarnya toket itu tak punya tulang. Kecuali posisinya lagi doggy gitu, kelihatan agak lonjong.
Bekas potongan di dekat payudara itu, terlihat lemak berwarna kuning, darah, dan daging berwarna merah. Beberapa ruas tulang rusukku juga terlihat jelas. Warna putih dengan noda darah.
Puting itu terlihat lebih panjang. Mungkin karena berlama-lama aku kenyot. Warnanya pun lebih pucat dan pastinya berair. Air liurku masih menempel di permukaan puting dan areola itu. Bekas gigitan juga ada. Terlihat cekungan-cekungan dari gigi seriku. Bentuk cekungan itu tidak kembali rata.
Tak lama kemudian, Cef Yongki pun pergi ke belakang. Sebenarnya saat toket itu jatuh dari mulutku, ia hanya sebentar mendiamkan loyang di depan dadaku. Cuma akunya aja nyeritainnya panjang lebar, hihihi.
Terdengar suara air yang mendidih dan juga suara-suara lainnya. Cef Yongki benar-benar sibuk memasak toket itu.
Aku menunduk melihat luka menganga di dada kananku. Beberapa ruas tulang rusukku yang berwarna putih itu kini berlubang. Di dalam lubang itu, organ pernapasanku sedang bergerak mengembangkan lalu mengempis. Paru-paruku di dalam sana masih bekerja dengan baik. Dari luka itu, beberapa kucuran darah merambat turun melalui kulit perutku sampai pada akhirnya jatuh berceceran di lantai panggung. Di antara ceceran darah itu, ada yang sudah mengering, ada pula yang masih segar. Luka yang menganga ini cukup lebar. Untuk sebelah kanan, hampir di pinggang atas dan mendekati ketiakku. Untuk di sisi kiri, tepat di tengah-tengah tulang dada. Sebagian tulang dadaku juga terlihat. Untuk sisi atas, beberapa centi di bawah tulang selangka sebelah kanan. Untuk sisi bawah, beberapa centi dari bagian paling bawah gundukan payudaraku. Bahkan, aku dapat melihat sebagian organ hatiku itu.
Belasan menit kemudian, pelayan wanita dari belakang berjalan menuruni panggung menuju ke sosok lelaki beristri itu dengan tangan kanan mengangkat nampan yang di atasnya terdapat makanan yang tertutup sebesar ukuran nampan dan cukup tinggi. Ia mengangkat nampan di sebelah kanan kepalanya dan sejajar sedikit di atas pundak.
Ia berjalan melewati beberapa meja, lalu pada akhirnya dia sampai di meja yang dituju. Dengan perlahan, ia menurunkan nampan. Dia menempatkan dua piring, garpu, sendok, dan pisau pemotong di hadapan lelaki itu. Lalu, dibuka penutup yang dibarengi dengan kepulan uap panas.
Sebuah mangkuk kaca besar yang di dalamnya terdapat sebongkah benda yang tentu sangat familiar. Warnanya putih pucat. Bahkan, puting dan areola juga warnanya pucat. Sangat berbeda dari warna saat masih menempel di dadaku. Sebagian buah dada itu mengambang di cairan berwarna kuning kecoklatan disertai dedaunan dan potongan cabai hijau yang besar. Sebagian toket itu tenggelam, mungkin tidak sampai separuhnya saja yang timbul. Areola dan puting yang ada di puncak gundukan itu samar-samar terlihat dibalik kepulan uap panas. Selain itu, pin dengan nomor 86 itu tertancap dan berdiri di puting. Bahkan, puting itu sedikit lebih panjang dari yang tadi kukenyot.
Aku dapat melihat bayang-bayang seseorang di depanku. Tapi karena aku fokus menoleh ke arah jam 10, aku benar-benar tak memperhatikan sosok ini. Aku fokus melihat lelaki yang sedang menikmati mantan payudara kananku itu. Tangan kiri lelaki itu tampak memegang garpu yang memiliki empat tine, lalu dengan garpu itu ia arahkan ujung garpu ke jarum pin yang menancap di puting hingga jarum itu berada di root garpu, yaitu bagian cekungan di antara tine. Ia diamkan tangan kirinya di posisi itu, lalu tangan kanannya memegang papan nomor berbentuk lingkaran pipih itu. Ditarik dan dicabutnya pin itu hingga lepas dari puting, lalu diletakkan di samping piring. Mungkin kalau tidak dihalangi garpu, puting itu bisa mulur. Ada yang menarik dan membuatku terkejut. Saat dicabut, seketika ada cairan yang keluar dari bekas lubang pin yang menancap tadi. Warnanya coklat kekuningan, lebih pekat dari kuah yang menggenangi buah dada itu.
Dengan menggunakan dua garpu, payudara yang telah masak itu ditusuk di sisi samping. Tusukan itu cukup dalam sampai keempat tine garpu tertanam di dalamnya. Dia kemudian mengangkat secara perlahan dari mangkuk besar. Saat di angkat, terlihat benar besarnya payudara beserta tulang rusuknya itu. Diameter luka di dada kananku aja sebesar ini, tentu saja yang di sana juga lebar. Sebagian sisi lambaran kulit di bagian ujung bawah yang menggantung itu sampai menggelambir dan menetes-neteskan kuah.
Diletakkannya gundukan persusuan itu di atas piring yang cukup lebar dengan posisi telentang. Posisi payudara itu mirip seperti aku tidur telentang yang bentuknya sedikit pipih. Namun, untuk yang di atas piring itu cukup besar dan menggembung. Mungkin karena dimasak, jadi bagian dalamnya ikut mengembang. Dipastikan kelenjar susuku, atau mammary duct dan lemak di dalamnya ikut mengembang dan matang.
Setelah ditaruh di piring, kedua garpu itu kemudian dicabut. Tangan kanannya pria tadi berganti mengambil pisau. Garpu di tangan kiri ditusukkan di areola hingga ujung garpu itu terlihat tembus di sisi satunya. Kemudian, ia mengangkatnya sedikit ke atas. Dari sini, bentuk payudara itu mulur dan sedikit mengerucut. Tak lama kemudian, pisau di tangan kanannya memotong secara horizontal. Dengan beberapa gesekan, bagian areola dan puting terlepas dari seonggok payudara. Garpu yang di ujungnya terdapat areola itu tampak mengepulkan uap panas. Bahkan, bekas potongan di payudara itu juga mengeluarkan uap saat dipotong. Cairan kental pun keluar dari bekas potongan itu.
Areola dan puting di garpu itu dicelupkan ke kuah di dalam mangkuk, lalu diarahkan ke samping kirinya di mana istrinya duduk memperhatikan. Saat di depan mulut istrinya, wanita itu meniup lembut daging itu lalu dilahapnya. Tampak rahang wanita itu bergerak-gerak. Pipinya turut ngembang-kempis, menandakan gigi-gigi di dalamnya sedang menggerus dan mencacah-cacah puting dan areola. Uuhh, membayangkan bagaimana bentuk wujud mantan puting dan areolaku itu dihancurkan oleh gigi-giginya, membuatku jadi sange. Meski di tubuh bawahku yang mati rasa, sepertinya dopamin di dalam darahku ini menguasai otakku. Aku tak tahu, dengan mati rasa, apakah di selangkanganku turut basah atau tidak.
“Dek Siskaaaaaaa,” kata sosok di hadapanku. “Dek Siskaaaaa …”
Seketika aku dikejutkan dengan buah dada yang menggantung tepat di depan wajahku dan buah dada ini menghantamkan secara lembut ke mukaku hingga membuat mataku berkedit beberapa kali.
“Eh, ini…?”
“Ini payudara adek. Ngelamunin apa, sampai tidak sadar kalau sedari tadi payudara kiri dek Siska sudah saya potong?”
Terdengar beberapa penonton tertawa kecil.
Ah sial, aku tidak melihat wanita itu menelan puting dan areolaku. Saking seriusnya, aku bahkan tak menyadari Cef Yongki yang sudah memotong payudara kiriku.
“Mau nyusu untuk terakhir kalinya, enggak?” tanyanya dengan posisi puting ada di depan hidungku.
“Hmmm… nggak usah deh, Cef. Buruan dimasak aja, kasian mereka nunggu toket Siska itu, hihihi.”
“Yakin?”
“Iya.”
“Ya sudah, aku masak dulu.”
“Silakan, Cef.”
Setelah memotong, satu-satunya payudara yang telah kuberi nutrisi untuk terakhir kalinya diletakkan loyang, lalu dibawa pergi ke belakang. Terdengar suara kocokan seperti telur yang dikocok dengan garpu untuk membuat telur dadar, beberapa benda benturan alumunium, dan lain sebagainya. Kali ini aku tak mendengar suara suara pantikan api, melainkan suara seperti gesekan antar alumunium atau benda metal. Selain itu, suara langkah kaki juga menambah betapa sibuknya Cef Yongki di belakang sana.
Ah, andaikan aku menghadap ke belakang, aku bisa melihat jelas apa yang dilakukan Cef Yongki pada mantan payudara kiriku itu.
Kira-kira puluhan menit, aku melihat waiter pria yang membawa nampan yang di atasnya terdapat makanan yang tertutup itu berjalan di samping kananku menuruni tangga berundak dari panggung menuju ke pembeli toketku. Saat lewat tadi, tertinggal aroma yang enak sekali tercium oleh hidungku.
Di seberang meja sana, seseorang yang telah menantikan payudaraku itu kemudian mendapatkan hidangannya. Piring tertutup di atas nampan yang ditunggu-tunggu itu kemudian dipindahkan ke hadapannya. Dengan rama, waiter mempersilahkan untuk menikmatinya. Dibuka penutup itu, lalu tampaklah gundukan payudaraku yang warnanya kecoklatan. Areola dan putingnya lebih coklat tua. Dia pun memotong dan membelah tengah payudara itu menjadi dua bagian dengan puting berada di salah satu bagian.
“Serius gitu melihatnya, dek?” tanya Cef Yongki yang berdiri di hadapanku.
“Eh, iya. Cef Yongki mau motong lagi?”
“Tentu. Saya mau motong kaki kiri kamu.”
“Silakan, Cef.”
Dia terlebih dahulu melepaskan sabuk di pergelangan kakiku, lalu dia mengambil gergaji listrik. Mesin pemotong itu dihidupkan. Diletakkan bagian yang tajam itu di selangkanganku, lalu digerakkan benda tajam itu memotong paha atas bagian dalam. Terasa sekali getarannya sampai kepalaku. Kucuran darah muncrat sampai menodai baju dan tangan Cef Yongki. Beberapa cipratan itu mengenai wajahnya. Ia menyeka dengan bahu kanannya.
Aku dapat merasakan getarannya semakin tinggi. Pasti, sekarang sedang memotong tulang pahaku. Tentu bukan hal yang sulit bagi mesin itu. Hingga pada akhirnya gergaji listrik itu telah memisahkan paha dari tempatnya. Letak potongannya persis berada di bawah tulang pinggul kiriku. Pahaku dipotong rapi dari lipatan selangkangan. Pahaku itu kemudian terjatuh dengan telapak kaki menyentuh lantai yang dipenuhi tetesan darah yang tak jua mengering. Sebelum pahaku jatuh, Cef Yongki segera merespon dan dengan sigap menangkap paha itu. Diangkatnya paha itu dengan tangan kanan, lalu tangan kiri membawa gergaji ke belakang.
Aku menunduk melihat tetesan darah segar dari potongan paha di pinggul kiriku. Banyak sekali darah yang jatuh di sana. Aku pun merasakan sedikit lemah. Mungkin wajahku sekarang pucat sekali. Luka lebar di dada berbentuk elips secara horizontal ini sudah banyak mengeluarkan darah, ditambah luka baru di bawah sana. Aku pun dapat melihat gerak berdenyut di antara paru-paruku itu. Jantungku masih bekerja dengan baik. Sepasang paru-paruku juga masih segar dan tak ada flek-flek di permukaannya. Oh, seperti ini kah sepasang paru-paruku?
Puluhan menit berlalu, kali ini dua waiter pria yang membawa nampan yang ukurannya cukup panjang. Mungkin bukan cuma pahaku saja yang berat, bahan-bahan pelengkapnya pun pasti banyak. Mereka membawanya ke pemenang lelang di depan sana.
Cef yongki kembali di depanku ketika waiter baru saja sampai di meja pemenang.
“Saya mau potong, paha dek Siska yang satunya.”
“I-Iya, Cef.”
Dia pun memotong paha kananku. Digunakan gergaji listrik untuk memotong area selangkanganku itu. Dari lipatan selangkangan sebelah kanan, sampai ke bawah tulang pinggul. Tangannya menangkap pahaku yang terhuyung jatuh ke arahnya, lalu dibuka dan dilepaskan sabuk di pergelangan kaki kananku. Selesainya, ia membawa sebongkah kaki kanan ke belakang.
Tetesan darah baru kembali mengucur membasahi lantai. Bahkan, luka di pinggul kiri masih menetes meski tak sederas yang sebelah kanan.
Di belakangku, suara-suara desis minyak yang menggoreng sesuatu. Sesekali penonton bertepuk tangan melihat sesuatu di belakangku. Mungkin Cef Yongki memasak sambil beratraksi. Memang, aku belum pernah melihat Cef Yongki memasaknya bagaimana, tapi yang kutahu, dia profesional.
Dua waiter pria membawa satu-satunya kaki kanan itu, yang beberapa menit yang lalu menempel di pinggulku.
Entah sudah berapa menit berlalu sejak pemotongan bagian-bagian tubuhku, saat ini yang kurasakan adalah hawa dingin di seluruh kepalaku. Mungkin jantungku melemah karena aku sudah kehilangan banyak darah. Sepasang mataku sudah mulai kehilangan fokus. Suaraku melemah. Meski demikian, napasku masih tetap bekerja, tapi aku tak bisa merasakan sakit di bawah sana. Dengan segenap usaha, aku pun memastikan hal itu. Benar, denyut di antara paru-paruku melemah. Napas di paru-paruku bergerak lamban untuk bekerja menghirup udara dan mengeluarkannya.
Aku merasa tubuhku bagian bawah perutku bergerak-gerak. Dari gerakan-gerakan itu, kepalaku turut merasakan gerakan itu.
Tiba-tiba, Cef Yongku berdiri di depanku.
“Dek Siska, lihat nih apa yang saya pegang,” katanya sambil kedua tangannya menenteng sesuatu.
“A … apa i .. tu, Ceeeef?” tanyaku yang suaranya terputus-putus dan melemah.
“Ini sepasang pantat Dek Siska.”
“Hehehe, pa … nntat, ya.” Aku memandangi sepasang pantat itu dengan mengamati bongkahan di kedua tangannya. Perlahan, aku dapat fokus melihatnya. Tangan kanannya menenteng pantat yang ukurannya besar. Darah menetes-netes dari bagian bawah bongkahan pantat itu. Di tangan kirinya, pantat itu sedikit diputar hingga aku dapat melihat bagian yang terpotong itu. Jaringan lemak, otot, dan kulit terlihat jelas. Aku baru sadar, ternyata lemak di pantatku lumayan mendominasi. Corak dan tekstur kulit pantatku juga terlihat jelas. Beberapa garis stretch marks yang samar berwarna lebih cerah itu terukir jelas. Hal itu wajar, karena itu pasti dialami oleh setiap orang.
“Saya masak dulu ya, Dek.”
“I … ya.”
Dia pun pergi ke belakang untuk memasak sepasang pantat itu. Aku tak tahu akan dimasak dengan cara dan bakal jadi apa. Aku hanya bisa merasakan aroma enak yang terendus oleh saraf pembau di dalam rongga hidungku. Tiap bagian tubuhku aromanya berbeda-beda. Itu karena dimasak dengan cara yang berbeda dan bumbunya juga beda.
Cef Yongki berjongkok di depanku. Tangan kanannya memegang pisau kecil dan panjang. Ujung pisau itu kemudian diarahkan ke selangkanganku. Pisau yang bagian bilah terlihat seluruhnya, kini tampaknya sudah masuk ke dalam tubuhku. Gerakan tangannya bergerak maju mundur. Tangan kirinya turut membantu dengan memegang sesuatu. Sepasang mata Cef Yongki fokus tertuju ke selangkanganku.
Kucuran darah menetes-netes hingga tangan Cef Yongki yang terbungkusi handscoon putih yang terdapat noda darah lama turut terbaluri juga. Sampai-sampai, darah di selangkanganku muncrat kecil mengenai bahu dan lengannya.
Sampai sini, aku melihat tangan kirinya menarik sesuatu. Aku yakin, itu adalah memekku. Sambil tangan kiri menarik, tangan kanannya tampak masuk ke dalam rongga di bawah sana. Beberapa gerakan tangan yang memegang pisau itu terlihat olehku. Sampai pada momen, daging yang mulur di bawah sana makin panjang dan aku dapat melihat bongkahan kecil berbentuk bulat pipih yang di samping kiri dan kanannya terdapat daging kecil seukuran kelereng yang tertaut ke bulatan besar di tengahnya. Itu adalah rahimku beserta ovariumku.
Cef Yongki berdiri. Sambil menghadap ke penonton, tangan kirinya menenteng organ reproduksiku. Tepuk tangan dari penonton terdengar. Ia membungkukkan badan atas apresiasi dari para manusia di depan sana.
Setelahnya, ia balik badan menghadap ke arahku dengan tangan kiri yang menenteng organ yang beberapa jam yang lalu telah kehilangan keperawanannya. Ibu jari dan jari telunjuknya memegang bagian atas dari memekku, yaitu lembaran kulit tepat di atas kelentit. Vulvaku terlihat masih segar. Warnanya bersih dengan beberapa noda darah menghiasi vulvaku itu. Aku dapat melihat jelas labia mayora dan labia minora. Lubang memekku yang rapat itu hanya dapat terlihat bagian terluarnya. Cef Yongki memotongnya rapi. Potongannya berbentuk oval. Bahkan lubang anusnya tak ikut terpotong. Ia memotong di perineum.
Onggokan dari vulva yang memanjang itu pastilah jalur vaginaku. Panjang dari area kemaluan terluarku sampai rahimku itu kira-kira sepuluh centimeter. Rahimku menggantung bebas di ujung bawah diapit oleh sepasang ovarium berwarna putih pucat.
“Ceeef … tolong de… katkan me … mek Siska.”
Permintaanku disetujui. Kemaluanku kemudian didekatkan di depan hidungku. Di sini aku dapat merasakan aroma anyir campuran darah dan tentu saja sperma dari lelaki pemilik memekku itu.
“Cukup?”
“I .. ya.”
Sang pemasak handal itu pun pergi. Ia memasak mantan organ reproduksi. Dalam puluhan menit, waiter wanita membawa masakan itu.
Cef Yongki kembali di depanku. Ia membetulkan rambutku dan sepertinya mengikat rambutku dengan tali. Aku tak bisa mendongak, karena tali ini mengikat kuat rambutku dan membuatku seperti dijambak. Rasanya sakit. Kulit kepalaku seperti ditarik-tarik seakan mau lepas dari tengkorak kepala.
Cef Yongki kemudian memotong lengan kiri dengan pisau. Karena jaraknya yang dekat dengan indera pendengaran, aku dapat mendengar jelas suara gesekan pisau yang memotong kulit, serta memotong tulang selangka di atas bahu dan sebagian tulang belikat. Setelahnya, ia pun memotong lengan kananku. Ia memotong tepat dari bahu sampai ketiak. Sisa-sisa bagian tubuhku ini menggantung pada ribuan helai rambut. Mungkin tak seberat ketika kaki, tangan, dan payudaraku masih menempel. Tapi tetap saja kulit kepalaku terasa sakit.
Aku tak tahu bentuk tubuhku yang tanpa sepasang lengan dan kaki ini dari depan seperti apa. Mungkin mirip boneka barbie yang tangan dan kakinya dilepas. Bisa juga mirip bantal. Hihihi.
Luka menganga di beberapa bagian tubuhku telah menguras banyak darah dan membuat suplai oksigen dan nutrisi bagi otak berkurang. Penonton di depan sana sedang asik menikmati hidangan di depan mereka. Bagi yang tidak memenangkan bagian tubuhku, mereka menikmati makanan dari daging hewan. Lalu bagi yang memenangkannya, selain mendapatkan hidangan daging tubuhku, mereka juga mendapatkan makanan seperti penonton yang tidak memenangkan lelang.
Terlihat beberapa waiter turun dari panggung menuju ke para pemenang bagian tubuhku ini. Sekelompok pemuda punk di sana pun tampak asik menikmati organ reproduksiku. Bahkan, lelaki yang tadi menyetubuhiku dengan bangga menunjukkan ke arahku selembar potongan kemaluan luar wanita yang tertusuk garpu. Warna vulvaku lebih putih pucat, mungkin kemaluanku itu telah direbus. Dengan provokatif, ia menjulurkan lidah dan ujung lidahnya menjilati kelentit itu. Setelahnya, dia membalik lembaran memekku lalu lidahnya dijulurkan hingga sebagian lidahnya keluar dari lubang vaginaku. Lidahnya dia diapit labia minora dan di atasnya bertengger kelentit yang telah matang. Rekan-rekannya tertawa saat pria yang menguasai lembaran mekiku itu memaju-mundurkan lidahnya, membuat lidahnya keluar lalu masuk tertelan memekku.
Rekan di sampingnya juga terlihat sedang menikmati bagian dari rahimku yang telah terpotong. Ujung garpunya menunjukkan bagian leher rahim dengan lubang servik yang ukuran lubangnya mungil dan pipih.
Di depanku, Cef Yongki membawa baskom yang di dalamnya dipenuhi oleh usus besar, usus kecil, lambung, ginjal, serta bagian kulit perutku. Aku tidak sadar, kalau dia sudah memotong dan mengeluarkan organ dalamku.
“Saya bawa dulu, Dek Siska.”
“I … yah,” jawabku lirih.
Aku tak tahu, dia mendengar suaraku yang tanpa tenaga ini atau tidak. Dia pun pergi ke belakang.
Rasa sakit di kulit kepalaku ini telah berkurang sedikit, karena organ-organ tubuhku telah dikeluarkan dan membuat beratnya makin berkurang. Aku rasa, saat ini yang tersisa di bawah tubuhku itu ialah jantung, paru-paru, dan hati.
Entah sudah berapa lama, Cef Yongki kembali dan dia mengarahkan pisau di leherku. Dengan sepasang mataku yang mulai kehilangan daya tangkap, kulihat ia membawa seonggok bagian bagian atas tubuhku, yaitu dada yang minus payudara dan sebagian bawah tubuhku yang dari bawah cangkang tulang rusukku menyisakan tulang belulang. Dari tulang belakang sampai di bawahnya menggantung tulang panggul. Bercak darah di tulang dan bagian tubuhku masih terlihat jelas. Potongan di leher di dekat tulang selangkanya pun tampak rapi.
Cef Yongki pergi sambil berpamitan. Aku yakin, dengan kondisiku sekarang, aku hanyalah sebongkah kepala. Rasa nyeri di kulit kepalaku yang seperti dijambak telah sirna.
DOR! DOR! DOR!
PYAAR!!
Tiba-tiba kaca pembatas di lantai VVIP terdengar suara tembakan dan samar-samar dua orang terlempar dari kaca dan terjatuh. Seingatku, dua orang itu adalah pengawalnya Pak Borgan. Meski dengan kondisiku sekarang yang rabun, aku mengetahuinya.
Orang-orang yang sedang menikmati makanan tampak berhamburan ke mana-mana. Suara orang-orang berteriak di sana-sini.
Ada apa ini? Mataku mulai rabun lebih dari sebelumnya, seperti menggunakan kacamata dari kaca es yang berlapis-lapis.
“Menyerahlah dan angkat tangan kalian!!!”
Suara itu sepertinya tidak asing. Aku pernah mendengarkan karakter suara itu. Setelahnya, terdengar suara orang yang sedang baku hantam dan suara-suara tembakan. Aku tak tahu berapa lama itu terjadi, indera pendengaranku makin melemah. Aku juga tak paham, mengapa aku tak segera mati ketika leherku telah terpenggal.
“Ke mana si tua bangka itu?”
“Kami sedang memburunya.”
“Cepat kejar. Dia pasti masih di sekitar sini.”
“Siap!!!”
“Apa yang harus kita lakukan terhadap wanita ini, komandan Agil?”
“Biarkan saja, kita tak bisa melakukan apa-apa ke wanita ini.”
Itulah suara percakapan yang kudengar sebelum pandanganku menjadi gelap dan telingaku menjadi sunyi.
*
***
*****
***
*
Eh? Apa yang terjadi?
Sebuah aula besar dengan atap yang berlubang, menyebabkan cahaya mentari dari atas sana menerangi aula yang lantainya ditumbuhi lumut dan tumbuhan. Meja dan kursi lapuk di mana-mana. Kulihat di tengah panggung, sebuah pipa besi berbentuk melingkar yang tergantung, lalu bawahnya, di antara tetumbuhan liar itu, terdapat tengkorak kepala.
“I .. ini. Bukankah ini?” tanyaku sambil menunduk dan melihat diriku sendiri.
Tubuhku utuh telanjang namun transparan. Beberapa detik kemudian ….
“AAAAAHH!!!!” jeritku. Tiba-tiba di leherku terkalungi sebuah rantai besi.
“Hahaha. Sekarang kamu jadi milikku!!” Ucap sosok yang tiba-tiba muncul dari kegelapan di sebelah kiri.
“Lepaskan!!!!” teriakku sambil memegang rantai dan mencoba melepaskannya, namun apa daya, aku tak bisa melepaskannya. Semakin mencoba, rantai ini seperti mencekek leherku.
“Percuma, Nona. Hahahaha!!”
Dia kemudian mendekatiku, lalu jemarnya yang berjumlah tiga itu hinggap di payudara kiriku. Ujung jari berkuku hitam dan panjang itu menerkam pangkal toketku sampai aku meringis.
“Aauufff!!” jeritku ketika kuku-kukunya itu menusuk pangkal susu di dekat tulang rusukku.
“Agh... Aghh… aghh!”
Jarinya yang kasar itu memelintir payudara kiriku, memutarnya hampir 180 derajat.
“AAIIIHHH!!” jeritku memekik merasakan sakit. Tiba-tiba ia menarik tangannya kuat-kuat hingga payudara kiriku itu terlepas dari cangkang tulang rusukku. Saat mencabut toketku, tubuhku sampai ikut tertarik ke depan.
Karena ulahnya, kulihat luka dada kiri yang menganga namun beberapa kulitku menggelambir. Dia sih tidak pakai pisau, jadinya jelek begini.
Sosok berkepala kerbau bertanduk dengan badan lelaki kekar berbulu hitam itu menenteng sepasang payudaraku. Jarinya menjepit salah satu tepian payudara yang menggantung dan menghadapkan area puting ke wajah buruk rupanya itu. Dia tampak memencet-mencet jepitan di potongan susuku itu, namun anehnya aku masih bisa merasakannya.
“Ssshhh aahh,” desahku saat puting itu disentil oleh jari kuku tangan sebelahnya.
“Hahahahahaha,” tawanya yang menyeramkan itu mengetahui keadaanku yang mendesah.
Sosok itu kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, lalu melempar seonggok toketku ke arah mulutnya.
“Aaaahhhh!!!” jeritku saat merasakan buah dada di mulutnya dikunyah. Rasa sakitnya luar biasa, namun entah mengapa selangkanganku jadi basah. Kedua tanganku sampai memegang dada kiriku yang tanpa payudara, merasakan sakitnya digerus dan dikunyah seolah-olah payudara itu masih menyatu dengan tubuhku.
“Heeemmm … dagingmu enak juga. Saya suka arwah gentayangan seperti kamu” celotehnya sambil setelah menelan payudaraku itu. Bahkan, aku merasakan panas dan sakit setelah payudaraku ditelan.
“Nambah satu lagi,” katanya seraya menggapai buah dada kananku. Dengan cepat ia mencengkeram lalu mencabut payudaraku ini diikuti oleh jeritanku.
Dia lemparkan ke atas onggokan payudaraku itu, lalu di tangan kirinya muncul tombak. Saat payudaraku jatuh ke bawah, tombak itu ditusukkan ke toketku itu.
SLEEEB!!!
“AAAAAAGGH!”
Sakit sekali. Ujung tombak itu menusuk dan menembus payudaraku. Sedetik kemudian ia lentikkan jari kanannya, lalu di hadapannya muncul api. Ujung tombak yang terdapat potongan payudara kananku itu kemudian dipanggang di atas api.
“AAAAAH Panaassss!!!!! Aduuuuhh!!”
Ia tak menghiraukannya jeritan dan rontaanku. Kedua tanganku menekan dada kananku yang tanpa payudara ini.
Aku pun mencoba mendekatinya, tapi aku tak bisa.
Kulihat perubahan warna kulit payudara itu. Warnanya lebih cokelat. Saat putingku tersengat api, rasa sakitnya menjalar ke selangkanganku.
“Aaaaaahhh,” desahku saat kuku jarinya menyentuh payudaraku yang telah matang itu.
Ia pun mendekatkan ujung tombak di tangan kirinya ke mulutnya. Kali ini, ia menggigit sebagian payudaraku itu disertai jeritanku. Gila, rasa sakitnya bukan main.
“Ini, kamu coba sendiri.” Ia menarik potongan payudara dari ujung tombak.
Uhhh … rasa nyerinya terasa saat payudara itu lepas dan bergesekan dari tombak itu. Ia menyodorkan sisa bagian payudara kananku itu ke depan wajahku. Aku pun menerimanya. Aku amati potongan payudara berwarna cokelat tua yang telah digigitnya sebagian dan menyisakan bagian separuhnya beserta puting dan areola. Tangan kiriku memegang payudara ini, lalu tangan kananku mencoba mencubit putingku.
“Aaawww!!”
Gila, ini benar-benar seperti hidup.
“Itulah perbedaan alam ini dengan alam sebelumnya,” ujarnya. “Sekarang, cobalah kamu makan sendiri.”
“Tapi…,” kataku ragu.
“MAKAAAAAAAN!!!” perintahnya dengan suara yang menakutkan.
“I-iya .. iya.” Aku coba memakannya. Aku makan dari puting dan areola, lalu ke bagian terdalamnya. Benar apa yang diucapkannya, saat kugigit, aku juga merasakan sakit. Akhirnya dengan terpaksa, aku gigi-gigit payudaraku ini lalu aku telan sambil meringis kesakitan. Aku seperti menggigit toketku hidup-hidup.
“Hahahahaha, bagus! Bagus!”
Aku tak menyangka dapat memakan payudaraku sendiri.
“Saya tahu, kamu suka dengan hal itu. Kamu bisa menjadi budakku untuk aku makan kapan saja, seperti mereka berdua.”
“Mereka?” tanyaku dalam hati.
Tiba-tiba dari sudut ruangan gelap di sana, muncul dua wanita telanjang yang berlari kecil ke arahku.
“Angela? Cef Jessica?”
“Haaaaiii…” sapa mereka berdua.
“Kak Siska, nggak nyangka kita ketemu lagi.”
“Eh, iya. Maksudnya apa ini?”
“Kita berdua sudah jadi budaknya Ki Bahuwirya, penguasa lelembut di hutan seberang sana. Kita bisa menjadi makanan beliau dan rekan-rekannya kapan aja yang dikehendakinya. Kakak mau gabung, enggak?”
“Wah sepertinya seru, Siska ikut deh.”
“Selamat, Ki. Kita ada teman baru,” kata Cef Jessica setelah aku menyetujuinya.
“Hahahaha. Sekarang kamu adalah salah satu budakku.”
“Tapi …,” kataku sambil menunduk ke bawah. Kulihat dadaku tumbuh sepasang payudara lagi, seolah-olah aku kembali normal.
Gila, aku tak menyangka hal ini benar-benar nyata. Aku selamanya bakal jadi makanannya. Uhhh, aku jadi horny membayangkannya.
“Benarkan kamu bersedia?” tanya sosok jelek yang cuma menggunakan kolor itu.
“I .. iya. Siska bersediah, Ki …”
“Ki Bahuwirya,” sambung Angela.
“Ucapkan sekali lagi,” pinta si kepala kerbau bermata merah itu.
“Saya Siska. Saya menyatakan bahwa saya bersedia menjadi budak Ki Bahuwirya.”
“Bagus. Dengan begitu, sampai hari penghakiman tiba, kamu akan jadi budak saya.”
“Iya, Ki. Ke neraka pun, saya akan ikut kok.”
“Hahahaahahahaha!”
Tiba-tiba di tengah dada, di atas sepasang payudaraku, terdapat simbol berwarna merah. Rasanya nyeri saat simbol itu muncul. Rasanya seperti terbakar. Setelah itu rantai kalung yang membelenggu di leherku lenyap.
Ternyata, simbol itu ada di tubuh Angela dan Cef Jessica. Hanya saja simbol itu bukan di dada seperti milikku. Angela memiliki simbol di paha kiri, sedangkan Cef Jessica di pinggang sebelah kanan.
“Selain dimakan, kamu bisa saya hamili, juga dihamili oleh makhluk yang saya kehendaki.”
“Dihamili? Maksudnya ngentot gitu?”
“Hihihi, iya kak. Ini aja aku abis ngelahirin dua siluman buaya. Dan, Cef Jessica lagi hamil juga,” kata Angela.
“Eh, hamil? Kok gak keliatan besar?” tanyaku penasaran.
“Saya baru, kemarin berhubungan badan. Belum tentu hamil sih, tapi moga aja jadi.”
“Amiin,” seloroh Angela.
“Nggak nyangka ya, jadi arwah bisa hamil.”
“Bangsanya Ki Bahuwirya memang begitu. Mereka juga bisa beranak pinak seperti manusia,” jelas Cef Jessica.
“Nanti kak Siska bisa ngelihat jelas kaum Ki Bahuwirya di hutan sana bagaimana.” Angela menambahkan
“Wah, boleh tuh,” jawabku.
“Kamu mau ke kerajaan saya?” tanya Ki Bahuwirya dan langsung kujawab dengan anggukan kepala.
“Bagus. Tapi sebelum pulang, kita pergi ke tempat yang dulu menjadi wilayah kekuasaan saya di pulau seberang sana.”
“Siap, Ki. Pokoknya, nyawa Siska ini milik Ki Bahuwirya.”
“Hahahahahaha,” tawanya senang seraya mengeluskan tiga jari kirinya yang kasar, berkuku panjang, dan besar itu ke rambutku. Aku pun sudah menyatakan menjadi budak kepadanya. Sampai kiamat tiba, aku bisa menikmati bagaimana diriku dimakan dan dihamili oleh bangsa lelembut sepertinya, selamanya …
SELESAI