Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT Rara

Setelah husna dan lily, sekarang ada rara. Nanta laleeee :D
 
Update 04

***

Aku sedang mencoba serius menyaksikan film, ketika pesan gambar dari pacarku kuterima. Beberapa hari ini pacarku sedang mengalami masa exhibisi, senang memamerkan diri.

Suhu sekalian, apa yang saat ini kita sebut sebagai narsisme pada remaja - yang ditunjukkan dengan perilaku senang berfoto diri - sesungguhnya tidak tepat dinamai begitu. Istilah yang tepat adalah exhibisi, dan dalam kadar foto wajah, perilaku itu masih normal.

Pada masa remaja, kepercayaan diri dapat ditumbuhkan dengan pengakuan dari pengamat umum. Dan kekaguman orang lain tentu sulit dibangun jika sang remaja tidak memahami eksistensi dirinya sendiri terlebih dahulu.

Namun masa exhibisi pada diri pacarku ini berbeda. Perilakunya sudah sedikit berlebih dari remaja kebanyakan pada masa itu. Ponselnya dipenuhi foto-foto dirinya tanpa busana, yang secara periodik dikirimkannya padaku. Terkadang yang dikirimnya bahkan hanya close up bagian tertentu tubuhnya. Dari dada dan leher hingga organ seks primer. Demikian berlangsung selama dua bulan, sejak malam di mana kami saling merenggut keperawanan.

Seperti yang dikirimkannya baru saja. Gambar vagina ditutup dua jari, dengan caption “Kalo ini minta lagi, Kak Nanta harus siaga, ya..”

Hara - yang sedang bersandar di bahuku - ikut melirik layar ponselku, terkikik menahan tawa,

“Pacar kamu horny-an yah.. hihi..”

Konsentrasiku pada layar lebar bioskop semakin terganggu. Yang kuingat hanya sebuah film tentang sekelompok pasukan khusus yang personilnya berkhianat. Kelak - ketika kunonton kembali dengan dvd sewaan - baru kuingat judulnya, S.W.A.T.

Semakin? Ya. Gangguan terhadap konsentrasiku ke film yang diputar, datang dari jari-jari lentik nan halus milik Hara, yang menyusup ke dalam celanaku dengan nakalnya. Duh, Puang.. Mengapa Kau menciptakan wanita-wanita dengan libido setinggi mereka?

***

Kehidupanku di kampus terasa berbeda dan terpisah dengan yang kujalani di lingkungan rumah. Ini disebabkan aku terlibat dengan dua wanita berbeda di masing-masingnya. Pacarku yang SMA di sana, dan kekasih-pura-pura-ku di sini.

Yang tidak berimbang adalah bagaimana Hara mengetahui semua, sedangkan pacarku tidak. Hara tahu aku punya pacar, dan dia tidak berkomentar. Hal ini membuatku lebih menghargainya sebagai wanita dewasa. Sikapnya yang tidak merecoki hubunganku dengan pacarku membuatku membalasnya dengan komitmen untuk tidak menggali apapun tentang kehidupan dan latar belakangnya.

Bahkan ketika Hara melihat pesan-pesan gambar dari pacarku, dan tahu bagaimana kami sulit mencari waktu untuk melampiaskan hasrat bercumbu, Hara dengan segera akan menawarkan diri untuk membantuku. Ya, suhu sekalian, “membantu”..

***

Hara kehabisan nama, hingga tak ada lagi yang bisa disebutnya dalam mantra.

“Aaaahh.. Oooouhhh.. Oooooooohhh..”

Hara menjerit sekeras-kerasnya. Debur ombak menyamarkan suara. Kakiku tenggelam dalam pasir berair, ditekan oleh bobot tubuh kami yang menyatu dalam massa, dalam kenikmatan yang berputar dengan harmoni inersia..


***

Pesan singkat Hara mengejutkanku,

“Aku di Pattunuang Inn, 202.”

Saat itu aku sedang mondar-mandir di Tanjung Bira. Sebuah kawasan wisata pantai di Kabupaten Bulukumba. Kota ini adalah daerah asal Perahu Phinisi; sebuah legenda maritim Indonesia dan dunia.

Aku ke tempat ini dalam rangkaian survay lokasi gathering tim sepakbolaku, PS Gadjamada, bersama dua orang teman satu tim. Beberapa teman akan menyusul ke sini pada hari berikutnya.

Bertiga, kami menyewa kamar di wisma sebuah pantai objek wisata bernama Tanjung Bira. Pantai berpasir putih yang kerennya tidak kalah dengan Kuta.

Kami bertiga tiba di lokasi siang hari sebelumnya. Meninjau beberapa venue, termasuk tempat makan, penginapan murah dengan kapasitas besar, dan sarana transportasi untuk menuju gugusan pulau Kambing.

Itinerary kami memang diketahui oleh Hara, sebab malam sebelumnya kami mengobrol lewat sms. Tak kusangka, dengan meminjam mobil kak Tirta, Hara menyusulku ke sini karena tahu aku akan menginap.

Sore hari, setelah memastikan semua data yang diperlukan sudah kami dapatkan, aku berpamitan kepada kedua temanku, dengan alasan ingin pulang lebih dulu ke Makassar. Tetapi tentu tidak, sebab tujuanku sebenarnya adalah penginapan lain yang berjarak 3 km dari situ, di mana Hara menungguku.

***

Tidak perlu kuceritakan apa yang terjadi pada malam itu, suhu sekalian. Tidak lain adalah kelanjutan dari semua yang biasanya kami lakukan di rumah Hara, di mobil kak Tirta dan di kursi bioskop yang remang-remang.

Hara menunggangiku sesorean, malam, dan berhenti saat dia sendiri mendapatkan kenikmatan yang dia inginkan. Aku? Bandingkan kismis dengan anggur, itulah aku, kuyu kehabisan tenaga didera orgasme berkali-kali tanpa jeda.

Hara begitu liat dan sulit dipuaskan. Tetapi yang membuatku takjub adalah bagaimana gadis seusianya - seusiaku - dapat menuntunku mempelajari begitu banyak trik bercinta. Dari mana Hara mendapatkannya? Benakku selalu bertanya-tanya.

Tetapi aku sudah berjanji pada Hara untuk tidak menggali. Sudah setuju untuk tidak mencari tahu. Jadi kunikmati saja apa yang Hara berikan ini selagi fisikku mampu memberi hal yang sama - atau berbeda? - yang dia cari.

***

“Besok aku pulang..”

Suara Hara seperti echo di belakang kepalaku. Kubuka mata, kulirik jam di dinding kamar wisma, 03:31.

“Besok? Atau sebentar lagi?”

“Hihi.. Iya, maksudku pagi ini..”

Kami selalu menertawakan mereka yang saat malam hari menyebut pagi dengan “besok,” tetapi pada pagi hari menyebut malam dengan “tadi”.

Aku menggeliat membelakangi Hara, mencoba kembali tertidur. Kurasakan Hara bergerak turun dari ranjang,

“Ikut aku yo’..” kudengar Hara berujar sambil mengenakan pakaiannya.

“Ke mana?”

Saat berbalik, kulihat Hara sudah siap dengan jaket bertudung dan celana pendek setengah paha.

“Ayo, ikut saja..”

Dengan malas aku bangkit, meraup air membasahi wajah, mengenakan pakaian lalu menyusulnya ke luar kamar.

Beberapa saat kemudian aku sudah di belakang kemudi, dengan Hara menunjukkan jalan. Melewati beberapa belokan. Ketika kami berhenti kemudian, waktu sudah berlalu setengah jam.

Kami tiba di sebuah kompleks rumah kayu. Hara menarikku melewati jalan setapak yang membelah pemukiman, melewati sekumpulan batu nisan, lalu memasuki area datar berpasir menuju sebuah bukaan. Beberapa langkah di depan, dataran terputus pada sebuah tebing curam. Laut dan batu-batu karang besar terhampar belasan meter di bawah.

“Keren, kan? Asyik, kan? “ kudengar suara Hara di belakangku kian mendekat.

“Gak kelihatan, masih gelap gini..”

“Justru asyiknya di situ, karena gelapnya.. Yuk ke bawah..” Hara menyunggingkan senyum asimetris.

Aku tahu ini akan berujung ke mana. Tapi di sini? Masak di sini?

Hara menarik tanganku dan setengah berlari berbelok ke kiri. Kami menuruni jalan setapak yang menurun terjal, lalu berhenti di sebuah ceruk dengan pasir basah. Air masih cukup tinggi, tetapi tentu akan surut beberapa saat lagi.

Aku baru tahu ada tempat seperti ini di sini. Jika suhu pernah menyaksikan The Beach (D’Caprio, 2000) maka bayangkan pantainya dengan lebih banyak ceruk dan tebing setengah melingkar.



Courtesy by another site

Aku dan Hara berhenti di sebuah dermaga kayu yang menjorok beberapa meter ke air. Hara melangkah ke ujung, menjatuhkan jaket, menampakkan semacam bra (kelak kutahu, itu top piece bikini).

Hara terus melangkah ke ujung dermaga, kali ini menjatuhkan celana. Dalam keremangan cahaya menjelang pagi, kusaksikan Hara mendekat ke tepi, berbalik mengedikkan bahu ke arahku, lalu melompat ke dalam air.

Hara berenang dengan luwesnya, sesekali mengangkat kepala dan berseru memanggilku. Aku tertawa menolak, lalu duduk mencelupkan kaki di ujung dermaga. Hara berenang mendekatiku,

“Ih, gak asyik.. Bentar pagi aku pulang lho.. Mungkin gak balik ke Makassar dalam waktu lama..”

“Asal bukan gak balik-balik lagi aja..” aku menjawab sekenanya.

“Haha.. Aku pasti balik, Nanta. Cuma gak tau kapan.”

Hara terus menggerakkan kaki, berenang dengan lincahnya. Kami harus berbicara agak keras, mengimbangi gemuruh angin dan air yang bergesekan dan terhempas.

“Dan gak tau, nanti pas aku balik apa semuanya masih sama kayak gini..”

Hara tersenyum, mengulurkan tangan berpegangan pada kedua kakiku. Aku menyerah, bukan pada tarikannya, tetapi pada sesuatu dalam kalimat yang baru dikatakannya.

Tubuhku meluncur ke dalam air menyusul Hara. Rasa dingin seketika mengiris, ketika suhu badanku beradaptasi cepat dengan terpaksa. Hara memelukku, menempelkan tubuhnya yang nyaris tidak tertutupi lekuknya oleh dua carik kain yang melekat di sana.

Kami berenang berdua. Saling menggoda, saling dorong dan berkejaran. Hara adalah perenang yang mahir. Dengan mudah dia mempermainkanku di dalam air. Menenggelamkan kepalaku berkali-kali, bahkan berhasil merenggut lepas kaosku, kubalas dengan menarik tali bikininya bagian atas.

Hara tertawa dan berenang menjauh. Kami berkejaran mendekati sebuah tebing yang agak terpisah. Ketika aku menyusulnya, aku dan Hara tiba pada sebuah ceruk dengan air setinggi perut.

Hara berbalik memandangiku mendekatinya. Dia tersenyum, berusaha mengikat kembali simpul bikini yang tadi kutarik lepas.

“Ra, kamu tahu kan, di sini bikini belum lazim dijumpai. Memakainya masih tergoIong tabu, kecuali bagi wisatawan asing. Kamu gak cocok tauk..” aku bicara sambil melangkah mendekat.

“Hoo.. gitu.. yaudah..”

Aku terbeliak menatap Hara, yang menjulurkan tangan ke bawah, menurunkan posisi bahu, meloloskan tali top bikininya, menampakkan sepasang payudaranya yang basah.

Aku seketika maju ke arahnya, menempelkan tubuhku ke tubuhnya.

“Apa-apaan sih.. Nanti diliat orang..” aku masih sedikit terkejut.

Hara tertawa, memeluk leherku. Bikini atasnya terlepas sepenuhnya, mengapung bersama bajuku di dekat kaki Hara. Kurasakan puting susunya mengeras di dadaku, menyentuh kulitku. Hara berkata dengan bibir menyentuh telingaku,

“Kan masih remang. Apalagi belum ada orang..”

“..apalagi kamu bakal bawa aku ke balik situ..” lanjutnya lagi, menunjuk sebuah batu besar.

Ugh, dia tahu sekali mempermainkan libidoku. Bisikannya barusan bagaikan tuas panggung, yang mengangkat tabir ragu. Kubalas pelukan Hara, menundukkan wajah, mencari bibirnya yang merekah basah.

Kami berciuman dengan liar. Saling pagut, saling lumat, seakan belum bercinta sekian lama. Kuturunkan tanganku ke pinggulnya, meremas bulatan pantatnya di dalam air.

“Mmmmmmhhhh.. Mmmmmhhh..”

Kurasakan sesuatu di dalam diriku setiap kali mengingat Hara akan berangkat pulang ke kotanya beberapa jam lagi. Apakah mungkin kita merindukan seseorang yang bahkan belum pergi?

Hara menarikku ke balik batu besar yang ditunjuknya tadi. Sensasi manis bibir kami yang berpagut, tidak terganggu oleh asinnya air laut. Kami terus berciuman, seolah tidak ada hal lain yang dapat dilakukan.

“Mmmmmmhhh.. Aladdin.. Mmmmmmhh..”

Ah, Hara mulai lagi dengan permainannya. Jika aku Aladdin, dia siapa? Aku lupa!

Kuremas pinggulnya dengan gerak berirama. Hara mengangkat sebelah kaki, melingkarkannya di pinggangku. Posisi air yang menggenang membantu bobot tubuh Hara menjadi lebih ringan.

Hara menciumi wajahku, mengigiti leherku. Jarinya mempermainkan tepian atas celanaku, mulai menyusup masuk dan membelai kulit pinggangku.

Dengan sebelah tangan, kutarik lepas kedua celanaku. Aku telanjang sepenuhnya. Batang kelelakianku mengacung keras, akumulasi rasa dingin, terangsang, dan pria memang selalu “bangun” pagi, kan?

Hara menepis tanganku yang berusaha melepas celana bikininya. Tapi gerakanku yang lebih cepat mematahkan perlawanannya.

“Kenapa? Aku liat kamu naked sepanjang waktu, kan?”

Hara tertawa,

“Kamu tuh gak ada sense of playing-nya yah.. haha..”

“Kamu mau playing?” balasku sambil tertawa.

Kuangkat tubuhnya, memposisikan glans penis-ku tepat di ambang vaginanya.

“Nih, kita main!”

“Akhhh! Nanta! Sakit tauk! Akkkhhh..”

Hara menjerit sekerasnya, ketika tiba-tiba kulesakkan batangku menghujam liangnya. Hara memeluk leherku, menggigit bahuku. Literally menggigit hingga memerah.

“Awww..”

“Rasain.. sakit tauk, Ta.. Akhh.. perih nih..”

Aku menatap matanya, baru tersadar, Hara bersungguh-sungguh dengan sakitnya. Matanya sedikit basah, membuatku merasa bersalah.

“Ng, maaf, kirain tadi sudah basah..” aku berbisik di lehernya.

“Itu basah air laut, tauk.. Ahhh..”

“Jadi kucabut nih?”

“Jangan.. Ahhh.. Goyangin pelan-pelan.. Ahhhh.. Iyah, begituu..hh.. Ahhhh..”

Kugerakkan pinggulku perlahan. Mataku menatap wajah Hara, siap berhenti kapanpun dia meminta. Tetapi senyum Hara yang mulai merekah membuatku hilang ragu. Kutundukkan wajah, kucucup puting susunya.

“Ouuuhh.. Kamu emang kalo dah nafsu gak bisa diajak main-main, ih.. Aahhhh.. Oouhhhh..” Hara melanjutkan.

Kedua kakinya menjepit pinggangku. Aku berdiri dalam air, memanfaatkan hukum volume dan tekanan, dalam hajat yang tidak akan pernah dibayangkan Archimedes.

“Ya udah, lanjutin main-mainnya. Aku tadi Aladdin, kan?” jawabku, terus menggoyangkan pinggul maju mundur.

Sebelah tanganku bepindah ke depan, meremas payudaranya yang bulat sebagai pegangan. Sebelah tanganku yang lain tetap menangkup pantatnya, meremasnya di bawah permukaan.

“Mmmmmmhh.. Gak.. Ahhh.. Gimana mau jadi, Aaahhh.. Jadi Aladdin..” Hara mulai menikmati, bibirnya mencari dan melumat bibirku sesekali.

“..kalau kamu gak tau nama pacarnya tuh, Jasmine.. Aaahhh.. Mmmmhhhh..”

Dalam prosesi penyatuan kelamin, Hara mengharapkanku mengingat nama Jasmine? Wtf!

Kugerakkan pinggulku maju mundur dengan irama konstan. Tanganku membantu menggerakkan pantat Hara, memberiku kendali atas variasi kedalaman tusukanku di liangnya.

Air memercik-mercik di pertemuan tubuh kami, meningkahi jerit kecil Hara yang semakin tidak terkendali.

“Oooohhh.. Ahhhhhh.. Aaaaaaaaahh.. Keras, yang keras.. Aaaaaahh..”

Kubagikan sebuah pelajaran, suhu sekalian. Jika wanitamu meminta “lebih keras,” yang dimaksudkannya adalah “dorongan yang lebih dalam” atau “hentakan yang lebih kuat.” Bukan “gerakan yang lebih cepat.” Salah menerjemahkan itu dapat membuatmu selalu ejakulasi lebih dulu.

“Aahhhh.. Terus.. Lebih keras.. Ouuhhh..”

Kuberi tekanan yang lebih dalam tanpa mengubah ritme gerakanku. Hara membenamkan wajahnya di leherku, meneriakkan kenikmatan dalam kata-kata tak berbentuk.

“Ooooohhh.. Aladdd.. Aaaaahh.. Aahhhhh..”

Hara kehabisan nama, hingga tak ada lagi yang bisa disebutnya dalam mantra.

“Aaaahh.. Oooouhhh.. Oooooooohhh..”

Hara menjerit sekeras-kerasnya. Debur ombak menyamarkan suara. Kakiku tenggelam dalam pasir berair, ditekan oleh bobot tubuh kami yang menyatu dalam massa. Melebur dalam kenikmatan yang berputar dengan harmoni inersia..

“Aaaaaaaaahhhh.. Aku samp.. Ahhhhhhh..”

Hara terengah-engah saat orgasmenya tidak kuberi jeda. Terus kugerakkan pinggulku memompa. Hara sudah tiba di puncaknya, maka kini giliranku menyusulnya.

“Aaaaaahh.. sudahh.. Aaaaahh..” Hara memintaku berhenti, suaranya mengiba, tetapi penuh gairah pada desah yang sama.

“Aaaaaaaaahhh, Raa.. Aaaaahhhhhh..” aku merintih, menengadahkan kepala ketika semburan kenikmatanku membasahi rongga kewanitaan Hara. Kami berpelukan, memejamkan mata, meresapi desah napas memburu yang berangsur mereda.

Dada Hara naik turun oleh engah. Kusingkirkan tanganku yang sedari tadi meremasnya, meninggakan jejak memerah. Kami terus berpelukan, seakan jika lepas, salah satu dari kami akan hilang.

Adalah cahaya terang yang kemudian menyadarkan kami untuk berhenti. Aku dan Hara memunguti pakaian kami yang mengapung. Aku bahkan harus berenang cukup jauh untuk mengambilkan bikini Hara yang terbawa riak ke tengah.

Kami berjalan mengitari tepi yang dangkal menuju dermaga. Kudapati beberapa orang pengunjung pantai sudah di sana, rombongan mahasiswa dan warga sekitar. Mereka memandangi kami dengan tatapan penuh arti. Terutama memandangi Hara dalam bikini.

Beberapa di antaranya bahkan tertawa dan saling berbisik. Apakah mereka tadi melihat kami di bawah sana? Duh..

Tetapi Hara nampak tidak peduli. Dia berjalan santai, memungut jaketnya di dermaga, lalu berbalik menarik tanganku ketika tidak menemukan celana pendeknya. Mungkin jatuh tertiup angin lalu terbawa ombak ke tengah. Tapi pantai memang sudah terlalu ramai untuk mencarinya.

Kurasakan belasan tatapan mata menembus punggungku dan Hara ketika kami berlari kecil, cekikikan dan basah menuju mobil kak Tirta.

Sesaat sebelum memasuki pintu mobil,

“Woi, Nanta!”

Aku terkejut. Sontak berbalik ke sumber suara. Hasrul (see 1st part of Husna dan Lily) berjalan ke arahku, bersama tiga orang yang semuanya kukenal. Hasrul dan dua orang yang lain, adalah teman-temanku di PS Gadjamada. Adapun satu orang lagi adalah pelatih tim sepakbolaku, pria yang kuhormati bukan hanya di situ.

Hasrul merangkul leherku,

“Anak-anak bilang kau sudah pulang duluan. Tau-tau ada di sini sama cewek cantik. Haha..”

Aku tersenyum malu-malu. Juga segan. Segan pada sosok pria yang menatapku dengan tatapan menegur. Hara yang tadinya tenang kini jadi kikuk. Tangannya menarik-narik ujung jaketnya ke bawah, berusaha dengan sia-sia menutupi pahanya yang terbuka.

Pelatihku memandangiku dan Hara dengan wajah datar. Aku terlalu mengenal mata itu untuk tahu, itu tatapan seorang kakak yang malu.

Dia adalah satu dari beberapa tokoh yang dihormati di lingkungan tempat tinggalku. Selain menjadi pelatih sepakbola, dia juga merupakan anggota dewan pembina Ikatan Pencak Silat tingkat Kota Makassar. Juga seorang guru agama yang disegani.

Perawakannya tinggi dan ramping. Wajahnya tampan, hampir cantik, menyamarkan usianya yang 11 tahun lebih tua dariku. Orang-orang bilang, wajahnya adalah versi lelaki dari ibuku.

Namanya Bauk Rosichan Mappatunru. Sapaannya Daeng Rosi. Ya, suhu sekalian, dia kakak sulungku (see the 8th part of Husna and Lily)

***

Rasa malu karena tertangkap basah - literally basah - hanyalah awal dari serangkaian peristiwa. Rangkaian kejadian yang membalikkan duniaku dan menjatuhkanku ke dalam lubang hitam karma yang merenggut semuanya; keluarga, cinta bahkan kewarasanku.

***

Semoga terhibur, suhu sekalian..

Maaf untuk delay-nya..

Semoga fan-service dalam update ini bisa memberi pelipur kecewa karena update yang lama..


:)
 
Terakhir diubah:
hmm...........enak dah dapet semaleman
 
Oh, aku tahu. Rara -> Ratna + Rara. :D
 
Rara itu,.. Sudira :benjol:

Thx update nya om :cendol:


:ngacir:
 
aahhh... emanng mantab alur cerita nya, gak kalah sama husna n lily.. :jempol:

tapi masih penasaran dengan masa lalu Rara
ato lebih tepat nya sedang di alami nya, ane malah kepikiran klo si Rara ini udah punya calon suami
tapi dia cinta juga sama si nanta
 
pertahankan gaya bahasanya bro..biar greget bacanya :)
 
Paaaaas...baca sambil dengerin lagu 'pure shores' makasih mas brooh..
:jempol:
as always...

Gak sia2 sampeyan bergaul ama kingkong di belantara...

:D

Aweeesoooome daaaaah....!
 
Thks for update. Misteri baru akan segera dimulai nih. Jd penasaran. Tetap pertahankan goresan suhu yg memang beda dr yg lain. Mantaf.
 
baru nyada ini kelanjutannya ya
asiikkk..lumayan jadi tau tempat baru
 
Aduhhhh suhu,,,,,z tw tempatx itu,,,,,dkat dermaga behhh,,,,,idul adha kmarin baru ke bira,,,,lumayan liat bule berbikini,,,tapi ini pribumi,,,bisa 100 kali tojo nya suhu,,,hehehehe makin pnasaran sama Rara,,,,
 
Cerita lanjutan yg gak kalah bagus
Ditunggu updatenya suhu :D
 
Bimabet
Telat :baca:
Tetapi tetap terima kasih untuk apdetnya suhu.

Ceritanya terlihat mulai ada konflik yang cukup berarti, semoga tidak banyak di skip lagi.
Kalau untuk SS biasa yg tidak berarti yg di skip, menurut ane ga masalah.
Contoh apdet ini SS yang tidak penting di awal, di-skip dengan cukup baik.
:jempol:

Terus semangat dan apdet suhu.
:semangat:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd