Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Menurut pembaca siapa tokoh yang bakal MATI di episode akhir cerita 'Astaga Bapak' ?

  • Suhardi

    Votes: 92 16,4%
  • Dahlia

    Votes: 24 4,3%
  • Yuda

    Votes: 27 4,8%
  • Bayu

    Votes: 23 4,1%
  • Mang Ujang

    Votes: 394 70,4%

  • Total voters
    560
Status
Please reply by conversation.
suhu doubleo ceritamu kok tak update update... :(

ane lg KKN ama skripsi hu.
dan sejujurnya flasdisk ane yg berisi 2 chapter berikutnya ilang, rasanya sayang banget kan (nangis)
mo nulis lagi juga butuh waktu (ane tau kok berhutang banyak ama pembaca)
ini ane mampir buat refreshing aja hehe
 
:pandajahat: bakal di-update gak yah malam ini. Gak sabar nih kejutan apa yg bakal diberikan suhu Gee di update ini.
Yang panjang ya suhu :haha:
 


Jam 10 pagi di bawah sinar matahari yang hangat, para petani sedang sibuk di sawahnya, yang kebanyakan bukan kepunyaan mereka pribadi. Mau bagaimana lagi, cuma dengan ini mereka bisa melanjutkan hidup yang lama makin menghimpit perut, jiwa, dan pikiran. Meski begitu, mungkin hanya pak ujang yang merasa tampak berbeda dari yang lainnya. Ia beranggapan bahwasanya keluarga adalah harta sesungguhnya, rido. Memang, pasca ditinggal wafat sang istri, cuma rido keluarga satu-satunya yang ia miliki. Cuma rido pula alasan ia untuk tetap hidup.

Padahal, sebetulnya dahulu pak ujang menolak mentah-mentah keinginan istrinya untuk memungut rido, yang waktu itu masih bayi. Terlebih, yang ingin dipungut sri itu seorang bayi yang ditelantarkan kedua orang tuanya. Bagi pak ujang, usia keduanya saat itu terbilang tua untuk memungut dan memiliki anak, apalagi yang mau dipungut sang istri ialah seorang bayi. Pak ujang bersikukuh kalaulah nanti anak tersebut cuma menyusahkan. Kebutuhan mereka berdua saja tidak tercukupi, bagaimana punya anak nanti, yang masih bayi lagi. Pak ujang juga menegaskan kekhawatirannya yang berlebih. Ia takut ketika bayi yang dipungut sri itu orang tuanya yang dahulu menelantarkan ingin mengambil kembali ketika sudah besar. Menurut pak ujang, kita yang susah, orang lain yang memetik hasil.

Namun tidak halnya dengan sri saat itu. Bagi istri pak ujang, bayi yang dipungutnya akan menjadi kebahagian tersendiri suatu saat nanti. Sri mengesampingkan hal negatif yang pak ujang sampaikan. Menurut sri, apa yang suaminya katakan terlalu berlebihan. Lagipula, memang sang suami saja yang belum memahami arti seorang anak dalam keluarga. Tapi, dalam hatinya, sri yakin lambat laun pak ujang suatu saat akan menyadari arti kehadiran seorang anak.

Nyatanya, benarlah adanya ucapan sri. Pada akhirnya pak ujang membenarkan ucapan sang istri belakangan hari ketika sang istri tiada. Ketiadaan sang istri membuat Pak ujang banyak menghabiskan waktunya dengan bayi yang dirawat sang istri, rido, yang usianya sudah 5 tahun saat itu. Kesedihan mendalam yang sempat pak ujang rasakan, enyah dengan kehadiran Rido, seolah ia warisan yang ditinggalkan sri untuk sang suami tercinta. Rido bagi pak ujang adalah pelampiasan di kala rindu istrinya. Rido pula teman mengobrol pak ujang kala di rumah.

"Abaaahhhhhh!....", teriak keras rido yang memekau dari kejauhan, memanggil pak ujang yang sedang sibuk mencangkul di sawah.

Mendengar suara nyaring yang sampai ke gendang telinganya, Pak ujang menghentikan pekerjaannya sejenak, melepaskan genggaman pacul yang terhunjam ke tanah. Tatapan kedua bola matanya yang semenjak tadi selalu mengarah ke bidang lahan, mencari sumber suara tersebut berasal. Sempat clingak-clinguk sebentar, Pandangan pak ujang lantas terpancak kepada rido yang sedang berdiri menatap. Sambil menyapu keringat yang sudah banjir membasahi dahi, lelaki paruh baya itu menyahut balas, "rido...!! Ada apa atuh manggil abah?!"

Namun, Rido tak menyambut balik. Anak itu malah mengambil langkah cepat menghampiri pak ujang seraya menelusuri area persawahan. Ada yang ingin disampaikan oleh rido di balik hatinya yang tampak bahagia pagi ini. Entah apa yang membuatnya demikian, langkah cepat rido tersebut ternyata disusul oleh firman dengan jalan tergopoh-gopoh, tak biasa lelaki itu berjalan di area persawahan. "Rido!! Jangan cepet-cepet jalannya... Tungguin mamang!".

"Ayo mang firman! buruan!", seru rido yang menunggu sebentar.

Karena firman dan rido berusaha menghampiri, Pak ujang lekas mengangkat pijakan kakinya di atas tanah yang gembur. Pacul yang ia gunakan, ditinggal begitu saja, hanya kaos putih lusuh dan caping (topi petani) yang ia bawa. Lantas kemudian ia berjalan menuju gubuk dekat tempatnya memacul, sembari membimbing firman dan rido agar ke sana pula.

Sambil berjalan, Pak ujang sedikit bingung karena tak biasanya rido menghampirinya yang sedang bekerja di sawah. Pikir pak ujang, ada yang hendak rido sampaikan, sepertinya penting. Di lain hal, dia juga keheranan mengapa pula firman sampai harus mengikuti langkah rido. Tak kalah cepat pula langkahnya. Sesampainya di depan gubuk, Pak ujang tiba-tiba berjongkok sedikit, ternyata ia menyambut rido yang tampak akan datang memeluk.

Setibanya, rido langsung memeluk pak ujang, "baahhh....".

"Aduh rido, Ada apa atuh nyamperin abah panas-panas gini?".
"Sampai ngajak mang firman segala, kumaha atuh"
"Abah teh kan jadinya gak enak...".

Rido tak menggubris kata-kata pak ujang saat pak ujang lantas mengangkat dan menggendongnya dengan penuh ketulusan. Ia malah memandang lurus ke arah firman yang tak lama lagi sampai di tempat kini ia bersama abahnya. Terlihat, anak itu sudah tak sabar menanti firman.

"Huhh.. huh..huh"
"Rido, Kamu jalannya cepet banget"
"Mamang jadinya ketinggalan kan...", ucap firman yang masih sempat tersenyum walau letih dan dibuat terengah-engah nafasnya.

Melihat wajah firman yang terlihat lelah usai menyusul rido, pak ujang jadi merasa bersalah. Bagaimana tidak, firman adalah adik dahlia, teman istrinya yang telah mewujudkan mimpi sang istri untuk memiliki anak, rido. Tak berkata banyak, ia langsung meminta maaf. Begitu pula rido, dalam gendongan pak ujang, anak itu disuruh meminta maaf ke firman.

"Maaf yaa mas firman"
"Gara-gara rido, mas firman jadi cape begini".
"Rido... ayo cepet teh minta maaf sama mamang..",

Belum rido merespon, firman lekas menimpali ucapan pak ujang.
"Rido gak salah kok pak ujang".
"Memang saya yang minta dia untuk anterin ketempat pak ujang", timpal firman menjelaskan sambil mengelus kepala rido.

"Ohh begitu...".
"Eh, ayo mas firman.. mangga.. duduk dulu di sini"
"Maaf ya, di sini teh gak ada apa-apa", ucap pak ujang memberi senyum sekaligus mempersilahkan firman duduk di gubuknya.

"Ohh yaa, gapapa kok pak ujang", balas firman memaklumi.

Di gubuk yang nampak rapuh dan tak terurus itu duduklah pak ujang, firman, dan rido bersama. Sembari meletakkan caping dari kepalanyaa, Pak ujang yang terduduk santai, diselimuti tanda tanya, kiranya ada apa firman ingin bertemu, sampai-sampai meminta rido mengantarkan ke sawah. Sementara firman tampak menggeser-geser posisi duduknya, seakan-akan tidak ada yang pas. Padahal, jantungnya sedang berdegup kencang.

Ya, di gubuk tersebut tak lama lagi firman akan mengutarakan niat baiknya, membawa rido ke Jakarta. Pada mulanya hal itu sudah ia katakan kepada dahlia, dan rido pagi ini, saat mereka duduk berpangkuan di ruang tamu. Namun, Di sana firman tak bilang kalau ia adalah ayah kandung rido selama ini. Ia hanya bilang kalau hari ini dirinya akan pulang ke Jakarta. Selain itu ia juga mengatakan niatnya mau mengajak rido ke jakarta. Awalnya rido menolak. Namun, karena diimingi-imingi banyak mainan dan janji bakal diajak jalan-jalan ke tempat bermain di sana, anak itu akhirnya menurut.

Di sisi lain, mengetahui iming janji dan kepulangan firman hari ini, rido jadi tak sabar. Rido lekas ingin segera memberi tahu pak ujang yang masih sibuk mencangkul di sawah. Sebetulnya firman sempat memgingatkan rido agar memberitahukannya usai pak ujang pulang dari sawah saja. Akan tetapi, rido abaikan. pangkuan firman langsung ia tinggalkan, bergerak cepat ia menghampiri pak ujang yang sedang bekerja di sawah. Firman berusaha mencegat, khawatir pak ujang terkejut, dan lantas menolak karena belum siap mendengar niatnya. Namun, sia-sia. Rido sudah jalan lebih dulu seolah berlari.. Mau tak mau, firman terpaksa mengejar.

"Maaf, Ada apa ya mas firman mau menemui saya?"
"Sampai-sampai harus ke sawah gini hehe.."
"Kan di rumah nanti bisa mas", senyum pak ujang.

"Hehe iya nih pak.. maaf"
"Rencananya sih memang mau ngomongnya nunggu bapak pulang".
"Tapi, karena rido tahu apa yang mau saya omongin,"
"Dia langsung minta saya ketemu bapak aja di sawah",
"Yaudah saya coba...", jawab firman sambil memegang pundak rido.

"Oohh.."
"Kalau boleh tahu apa ya mas, yang mau diomongin?".

Firman menghela nafas sejenak bersiap mengucap basmallah terlebih dahulu. Padahal, solat saja dia masih bolong-bolong. Ia geser sekali lagi posisi duduknya. Jantungnya makin berdebar, khawatir pak ujang bakal lekas naik pitam dengan apa yang firman akan niatkan. Tak buang waktu lagi, firman lantas bicarakan niatnya tersebut.

"Gini pak, saya hari ini kan mau balik ke jakarta".
"Hmm... berhubung rido baik banget sama saya, dan saya sama dia udah akrab, saya berniat mau ngajak rido ke jakarta juga, pak"
"Yaa ngajak dia jalan-jalan gitu..."

Belum selesai firman menjelaskan, pak ujang lantas menyelak, tanda tidak setuju.
"Apa?!Rido mau ke jakarta?!"
"Enggak boleh..!."
"Mau ngapain atuh?!"
"Yang ada teh rido nyusahin mang firman nanti", terkejut pak ujang mendengar apa yang firman sampaikan.

"Ahh enggak kok bah..."
"Rido gak bakal nyusahin mang firman kok", timpal tiba-tiba suara bocah rido.

"Enggak boleh rido!!"
"Kalau abah bilang enggak boleh, enggak boleh!", larang pak ujang dengan nada agak keras.

Namun, karena sudah amat kuat keinginannya, rido merengek seakan memaksa,
"aahh abah maahhh gitu..."
"Rido kan pengen banget punya banyak mainan.."
"Terus jalan-jalan...terus apalagi, pokoknya banyak deh"
"Rido bosen di sini mulu atuh bahh...", rengek rido sambil menarik-narik kaos lusuh pak ujang.

Pak ujang terhenyak mendengarkan ucapan rido. Perasaaan penolakan sedang menguasai dirinya. Sungguh Dia tidak siap jika rido harus pergi apalagi tak ada seorang anggota keluarga yang ia miliki kini. Pikir dia, Ia bakal banyak terhanyut dalam lamunan memikirkan sang istri yang sudah tak lagi di sisinya, sebagai pelampiasan dari sebuah perasaan kesepian atau kegalauan di kala hasil panen padi tak memihak, rugi. Justru, karena rido selama ini rasa kekhawatiran itu nyaris sirna, tak dirasakan. Namun, situasi tampaknya akan segera berbeda karena sekarang rido berkeinginan pergi darinya.

Di lain hal, pak ujang memang tak bisa memungkiri kalau ia tak bisa membahagiakan rido. Rido selama ini hanya bermain bersama anak-anak tetangga yang kerap dibelikan mainan oleh orang tuanya. Di sana rido hanya menumpang bermain seraya berharap dipinjamkan mainan. Pernah suatu hari rido minta dibelikan mainan, namun pak ujang hanya bisa berjanji, berjanji hingga rido lupa akan janji tersebut. Oleh karena itu, pak ujang memaklumi pula rengek rido yang memaksa agar dirinya mengizinkan rido ke Jakarta. Apalagi... pak ujang baru teringat, firman yang meminta, Ayah kandung rido langsung, yang baru pak ujang ketahui setelah menguping pembicaraan dahlia dan firman berdua semalam.

"Tenang aja kok pak".
"Nanti, kalau rido udah puas main-main dan jalan-jalannya di jakarta, dia saya anterin pulang kok", ucap firman mencoba menenangkan.

Rido tak diam. Ia coba bujuk manis lagi pak ujang.
"Iya bah".
"Kalau rido udah selesai, rido bakal pulang kok"..
"Abah tenang aja...".
"Nanti rido juga bakal bawain oleh-oleh untuk abahh...".

Tetiba Semilir angin lewat, menanti jawaban pak ujang yang sedang dibuat galau oleh dua manusia yang menghampirinya. Dalam hati pak ujang, ia sungguh sangat berat melepas anak itu. Di sisi lain, rido merengek jika tidak diperbolehkan. Kondisi demikian membuat pak ujang menjadi serba salah. Lantas, ia berpikir sejenak kiranya bagaimana solusi yang pas.

"Emm..Bolehh deh"
"tapi ada satu syarat....", tersenyum pak ujang.

"Yeeey...."
"apa syaratnya bah?"
"Buruan dong bilang...", tanya rido yang tampak sudah bergembira

"Hmn..Rido di sana jangan jadi anak nakal dan... jangan sampai lupa sama abah yaaa....", ucap pak ujang dengan tersenyum.

"Oohh itu"
"Itu maahh rido bakal jamin..bahh."
"Tenangnya aja deh pokoknya"
"rido janji kok gak bakal nakal dan lupa sama abah..."
"Makasih yaaa bahh", senang hati rido yang lalu ia lampiaskan dengan memeluk abahnya lagi.

Tak hanya rido yang bergembira dengan keputusan pak ujang, tetapi juga firman yang sebentar lagi akan kembali berkumpul bersama putra kandungnya. Sambil tersenyum, firman menatap ke arah rido yang sedang memeluk sayang pak ujang. Kini, sambil menatap rido, firman bersiap memulai lembaran baru dalam kehidupannya bersama sang anak.

"Makasih yaa pak ujang, udah ngerawat rido selama ini", batin firman terharu.

Suasana hangat sedang menyelimuti gubuk yang berdiri di bawah sinar matahari. Meski sedikit terasa panas, itu tak begitu dirasakan oleh rido yang meluapkan rasa senangnya. Pikir rido, ia sebentar lagi akan ke jakarta bersama firman, bersama besar harapannya pula. Hanya saja, rido tak tahu bahwa firman adalah ayah kandungnya, tak tahu apa yang terjadi di masa lalu.

Selain itu, rido dan firman yang sudah kelewat bahagia, belum mengetahui bahwasanya pak ujang belum sepenuhnya mengizinkan. Ia bilang begitu pada rido semata-mata supaya anak tersebut berhenti merengek. Selanjutnya, pak ujang yang masih dipenuhi rasa berat hati, berencana membicarakan lagi hal ini dengan firman berdua nanti di rumah. Sayangnya firman belum mengetahui rencana pak ujang ini. Coba saja dia tahu, mungkin situasinya akan berbeda. Di lain hal, timbul penyesalan dari dalam hati pak ujang. Mendadak batin laki-laki tersebut membenarkan pernyataan masa lalunya kepada sang istri. Ia ingin menyalahkan sang istri yang sudah berpulang walau tiada guna.

"Benarkan kataku sri..."
"Sekarang anak yang kamu rawat itu teh mau dibawa sama orang tuanya.."
"Coba aja kamu denger atuh kata akang dulu, gak perlu cape-cape kita teh ngerawat dan ngurus itu anak", sesal dan geram batin pak ujang

###​

"Gimana, seneng gak pulang bareng tante lisa?"

"Seneng dong, tapi sayangnya aku pake seragam"
"Coba enggak, kan jadinya sama orang aku kelihatan pacaran sama tante lisa..."

"Ihh gr kamu"

"Hehe...", canda diriku.

Baru berharap, impianku satu sudah tercapai, yakni pulang sekolah bersama tante idolaku, tante lisa. Memang, usai peristiwa pagi tadi di sekolah, aku dinasehati tante lisa sekaligus guru bp baruku. Semua nasehat tante lisa kutelan seperti vitamin yang bisa menambah semangat dan motivasiku untuk belajar di sekolah. Tak hanya itu, awalnya kujelaskan dulu mengapa aku tak fokus saat pelajaran pak bambang. Aku bilang kalau semalam rela begadang demi tugas yang pak bambang berikan. Tante lisa pun tertegun, sedangkan aku baru saja berbohong padanya. Wajarlah, Aku berharap pujian dari tante lisa sekaligus supaya ia kagum padaku. Namun, hanya roman muka tertegun yang kudapat.."heem...".

Sepanjang perjalanan pulang dari sekolah aku dan tante lisa saling bertukar cerita,.baik itu masa lalu ataupun sekarang. Aku bercerita padanya bagaimana situasi rumah pasca tante lisa tidak lagi tinggal di sana. Ada kehadiran om firman dan istrinya, tante linda. Selain itu, Kuceriterakan pula kabar ibu dan bapak. Ibu masih tetap sayang dan bela diriku kala bermasalah dengan bapak. Sementara bapak sepertinya sudah berubah, yang amat sulit kusampaikan perubahannya.
Tak melulu bercerita, aku juga bertanya mengapa tante lisa bisa memgajar di sekolahku. Ia menjawab bahwasanya menjadi guru honor adalah salah satu alasan di tengah pekerjaan sulit didapat. Selain itu, tante lisa juga bercerita mengenai masa-masanya saat kuliah yang bisa menjadi gambaran bagiku bagaimana kuliah nanti. Hanya itu yang ia ceritakan. Tak begitu banyak cerita yang kudengar dari tante lisa karena di penghujung jalan kami harus berpisah, lain arah...

"Tante lisa rumahnya di mana sih sekarang?"
"Kok gak pernah ngasih tahu..."
"Kali aja aku sama ibu bisa main ke sana sewaktu-waktu...".

"Ada dehh"
"Mau tahu aja kamu yud".
"Yaudah sana pulang gihhh....", ucap tante lisa seolah mengusirku.

Sungguh, kecewa aku memdengar jawabannya. Coba ia beritahu alamatnya, pasti akan kuapeli tiap hari.
"Ihh pelitt banget.."
"Eh iya, tante gak mampir dulu ke rumah?"
"Ibu nanyain mulu tuh.."

"Lain kali ajaa..."
"Salamm aja buat ibu yaa", ucap tante lisa yang hendak berpisah.

"Iya, tapi percuma juga ibu lagi gak ada.."
"Lagi nengok anak om firman di tasikmalaya...", aku keceplosan.

Tante lisa yang tadinya hendak pergi, terhenti sejenak. Namun, tak begitu terlalu lama, kali ini ia benar pergi meninggalkanku. "Anak om firman?!"
"Hhmmm... oh yaudah salam aja buat ibu..."
"Tunggu pulang dari sana, baru disalamin..."
"Gimana sih kamu..".

"Oke deh"
"Hati-hati yaa tante lisa!", salam perpisahan dariku melihatnya pergi.

"Iyaa...kamu juga yuda".

Setelah ditinggal pergi tante lisa, Aku masih penasaran dimana alamat tanteku tersebut. Aku berjanji pada diriku akan mencari tahunya, bahkan kalau bisa aku menguntit sekarang! Hmm... terlalu malas untuk saat ini, karena aku sudah tak sabar bertemu ibu dan om firman di rumah. Barangkali mereka membawa oleh-oleh. Yeay! Aku lekas buru-buru pulang. Tiap tikungan jalanan aku lewati, lelahnya berjalan kaki tak kurasakan karena saking berkhayal ada oleh-oleh dari ibu yang siap aku santap di rumah. Begitu besar harapanku hingga ketika sudah di dekat rumah, sapaan dan senyuman tetangga tidak lagi kuperhatikan.

"Huuhh, Akhirnyaa..... sampai rumah..". Ucapku sembari menghela nafas.

Tak buang waktu lagi, lantas aku masuk ke dalam.. "Eh? tapi,,, kok pintu masih dikunci?"
"Yaaahhh belum pulang ternyata", lemas tubuhku ini tiba-tiba.

Lekas Kuambil duplikat kunci pintu rumah yang kusimpan di ransel. Hhmm..Jadi tak bersemangat lagi diriku ini masuk ke rumah. Berkhayal, kali aja ada tante linda di dalam, terus semangatku muncul tiba-tiba. Pas masuk, langsung aku sergap tante linda dari belakang. Kemudian dienjot-enjot deh,... Duh "******", tante linda bisa masuk darimana. Dia aja kerja. Gak punya kunci duplikat lagi. "Masuk dari genteng kali yak..".

"Aduhhh, mending tidur aja deh....", ucapku pusing dan lelah sesampainya di dalam rumah.

###​

Tasikmalaya, saat hari memasuki siang, dan matahari mulai bergeser dari titik puncak ke arah barat, terlihat firman tengah bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Dia sedang memasukkan pakaian kotornya ke dalam ransel yang ia bawa. Tak hanya itu, ia juga sempat mengecek kembali barangkali ada sesuatu yang tertinggal di kamar yang kini ditempati sang kakak. Di balik itu semua, hati firman sedang bahagia. Sang anak, rido, yang dulu ia telantarkan telah kembali ke pangkuannya. Kukuh hatinya kali ini untuk menjaga dan merawat rido. Selain itu, Sang istri, linda, yang tak mungkin ia beri tahu bahwa rido anak kandungnya, juga pasti turut bahagia. Tak perlu lagi firman dipusingkan akan tuntutan linda yang amat menantikan kehadiran anak. Sekarang, firman kan membawa rido ke linda. Mengaku, bahwa rido ialah anak angkat. Tak masalah memang. Tapi segala hal yang sudah ditutupi firman akan menjadi bom waktu suatu saat nanti.

"Akhirnya kamu kembali ke pangkuan bapakmu nak..", tersenyum firman sembari memasukkan pakaiannya satu per satu.

Di lain hal, rido sudah bersiap-siap. Ia mandi dan rapi lebih dulu daripada firman. Saking tak sabarnya anak itu tiba di jakarta, menagih janji manis yang diucapkan firman kepadanya. Sampai-sampai ia lupa kalau pak ujang yang selama ini membesarkannya sedang gundah di kamar yang dulu rido juga tempati saat masih bayi. Mungkin rido tak tahu atau terlalu senang membuatnya tak sadar akan hal itu. Tapi, memang dasar anak-anak, belum tahu apa-apa. Kini, Rido sedang duduk menunggu firman di ruang tamu yang tikarnya makin usang saja. Ia asyik sendiri, berkhayal bagaimana nanti kalau sudah tiba di jakarta.

"Mang firman mana sih? Kok lama banget....", keluh rido yang sudah lelah mengkhayal.

Lain halnya dengan dahlia, ia masih belum bersiap-siap seolah tak mau meninggalkan tempat ini. Pakaian yang ia kenakan saja masih pakaian rumah, pakaian lengan panjang yang mengetat pas di lengannya yang padat. Bila lelaki dewasa melihatnya, bakal tergoda. Saat ini, Dahlia tengah kecewa karena ia belum jalan-jalan kemanapun, terlalu dibuat sibuk dengan urusan firman. Akan tetapi, Dia bisa memakluminya karena memang tujuannya ke tasikmalaya ialah mengenai firman. Tak bisa berbuat apa-apa dia. Kini, Yang bisa ia lakukan untuk menghibur hatinya cuma mengelilingi lingkungan rumah pak ujang, yang belum ia jelajahi seluruhnya.

Dahlia berjalan keliling tak jauh dari rumah pak ujang. Ia lihat beberapa ibu yang lewat usai berbelanja, hilir mudik angkutan pedesaan yang membawa hasil panen, dan beberapa petani yang pulang untuk beristirahat. Memang, cuma suasana pedesaan berupa sawah yang bisa dilihat, selain bentangan alam yang dapat dipandang dengan mata telanjang. Akan tetapi, bagi dahlia itu sudah lebih dari cukup. Wanita itu menyudahi perjalanannya menghibur mata dengan kembali ke rumah pak ujang. Di sekitar rumah pak ujang sempat ia lihat lelaki seumur pak ujang amat memperhatikannya. Namun, dahlia tidak mempedulikan, merasa tidak kenal.

Sesampai di rumah pak ujang, dahlia tertarik ingin melihat seisi rumah yang kecil ini. Ternyata, tak ada yang istimewa dari rumah yang hampir rubuh itu. Temboknya yang keropos. Genteng yang pecah. Atap tripleknya yang mulai terbuka satu per satu. Dapur yang jarang dibersiihkan. Kamar mandi yang berlumut. Dan, lantai yang berdebu. Dahlia jadi prihatin melihatnya. Begitu juga dengan nasib pak ujang yang bertahan hidup di usia senja sebagai petani miskin, yang mengerjakan sawah orang lain. Apalagi lelaki itu kini kan ditinggal rido seusai ditinggal mati istrinya. Sebatang kara dia.."Huumm..", dahlia terdiam menghela nafas. Saat sedang melamun usai berkeliling kecil di dalam rumah pak ujang, tiba-tiba dahlia mendengar suara kecil dari sebuah kamar, yang dahlia duga kamar pak ujang. Karena penasaran, dahlia mencoba mencari tahu dengan menghampirinya.

"Sri... bagaimana ini?"
"kini anak kita, rido, yang kamu besarkan mau meninggalkan rumah ini. Tapi, kamu tahu kan sri.."
"Hidupku ini sudah sendiri setelah kamu pergi selamanya meninggalkanku".
"Sempat aku terpuruk, namun rido yang kamu besarkan dan kamu wariskan kepadaku, buat aku bangkit"
"Karenamu, karena rido, itulah alasan aku tetap hidup dan tak pernah lelah menafkahi..sri",
ucap pak ujang yang sedang duduk bersedih sembari memperhatikan foto almarhumah istrinya.

Dahlia hanya mendengarkan apa yang pak ujang ucapkan. Kata-kata pak ujang tersebut telah buat dahlia melamun sejenak kalau dahulu ia amat kesulitan mencari orang tua yang mau mengurusi anaknya firman. Beruntung ada sri, istri pak ujang. Dahlia mengenal sri melalui kawan wanitanya, marni, ibunya rina, ibu dari teman yuda. Melalui marni, dahlia diberitahu bahwa sri berniat mengurusi seorang bayi, yang mana sri siap menjadi orang tuanya. Lagipula, saat itu, memasuki usia renta, sri masih amat menantikan kehadiran seorang anak, namun tuhan tak kunjung memberi.

Dahlia terhenyak betapa cuma ibu sri yang mau mengurusi anak firman, meski kehidupan wanita tersebut amat kekurangan. Sempat dahlia meragukan. Namun, keinginan ibu sri yang hampir frustasi membuat hati dahlia luluh, sehingga jadi yakin dirinya untuk menyerahkan anak firman pada ibu sri. Sempat terpikir pula oleh dahlia pada saat itu bahwa firman begitu bodoh mau menyerahkan darah dagingnya sendiri saat orang lain susah payah menantikan kehadiran seorang anak... Hingga sekarang, firman baru menyadari apa yang ibu sri rasakan.

"Mbak! ngapain masih di sini?" sapa firman tiba-tiba, yang sudah berpakaian rapi, sedang mencari kakaknya.

"Adduh ngagettin.."
"Ssssttt..."
"Pelen-pelen ngomongnya..."
"Lagian mbak begini juga mau siap-siap, man", terkejut dahlia dengan kehadiran firman.

Apa yang terjadi di luar antara firman dan dahlia membuat pak ujang yang berada di dalam kamar mendengar gaduh kecil. Lekas pria tua beruban tersebut keluar dari dalam kamarnya. Sempat terperangah pak ujang, kiranya ada apa firman dan dahlia berada di depan kamar.

"Eh mas firman dan mbak dahlia.."
"Ada apa teh sampai berdiri di depan kamar pak ujang?".

Dahlia dan firman terpergoki. Mata keduanya saling melirik, memberi kode siapa yang harus menjawab pertanyaan pak ujang.

"Eng,,Enggak ada apa-apa kok pak"
"Kita cuma pengen ngobrol berdua aja di sini....", timpal dahlia sembari tersenyum menatap pak ujang

"Ohhh begitu"...
"Kirain ada apa atuh...".

Pak ujang lekas terdiam mendengar jawaban dahlia seraya menatap sesuatu yang telah membuatnya tergoda lagi. Dia lihat dua pasang daging kenyal wanita itu,.. melotot seakan terkagum. Padahal, gairah nafsunya mendadak naik. Tak percaya, pak ujang kembali melihat belahan buah dada dahlia, setelah pertama kali ia melihatnya ketika dahlia datang. Tak hanya itu, muncul niat busuk pak ujang. Entah apa yang dipikirkannya....



"Yaudah..."
"Yukk pak, kita tinggal dulu"
"mau mengobrol berdua sama firman nih...".

"Ehh?!"
"Iya... mangga..., mangga, mbak dahlia..", tersenyum manis pak ujang yang tadi melamun. Padahal, memperhatikan dahlia...

"Yuk man, kita ngobrol di kamar aja", ajak dahlia ke firman sembari meninggalkan pak ujang. Namun, ketika keduanya baru berjalan sedikit, pak ujang memanggil firman,

"Mas firmaann! nanti bapak mau ngomong sebentar yaa!", teriak pak ujang.

"Iya pak, gampang kok..", sahut firman menengok sebentar ke arah pak ujang.

Dahlia bersama firman yang sempat terhenti lantas meninggalkan pak ujang sendirian. Keduanya berjalan ke arah kamar dimana dahlia tidur, hendak berbicara empat mata. Entah apa yang akan mereka bicarakan hingga membuat rido yang melihatnya bingung saat melihat firman dan dahlia melintas. Wajah Rido nampak lesu karena sudah lama ia menunggu firman berangkat, membawanya ke jakarta. Dia sudah lelah mengkhayal sembari menunggu firman.

"Mang firman, mang.."
"Jadi gak?".

"Iya, jadi dong..".
"Tunggu sebentar yaa...", ucap firman yang tahu rido sudah menunggunya dari tadi..

Sesampainya di dalam kamar, dahlia memulai pembicaraannya sambil berdiri bersama firman. Firman tegap serius menyimak, membuka telinganya lebar-lebar,menatap wajah cantik kakaknya, terlihat seperti ada hal penting yang ingin sang kakak katakan.

"Man,.. Kayaknya kamu duluan aja yang balik ke jakarta..."

"Loh? Kenapa gitu mbak?", alis firman berkerenyit

Dahlia menghela nafas sebentar, sebelum melanjutkan lagi ucapannya.
"Mbak masih pengen di sini..."
"Gak enak sama pak ujang...apalagi sama almarhumah ibu sri, mereka berdua kan udah berjasa banget"
"Apalagi tadi mbak denger suara pak ujang di kamarnya, Kayaknya sih dia sedih banget, si rido kamu ajak ke jakarta", terang dahlia menjelaskan.

"Hhmmm..."
"Terus, rencana mbak apa?".

"Mbak bakal bantu-bantu sedikit pak ujang di sini"
"Rapiin rumahnyalah...kayak nyapu gitu".
"Kamu lihat sendiri kan, lusuh keadaan di sini..".

"Serius mbak?"
"Kalau aku sih gak ada masalah"
"Terserah mbak aja..", balas firman yang kurang respek pengorbanan kakaknya selama ini

"Oke deh kalo gitu..."
"Nanti pas sampai rumah kamu bilang sama mas suhar, kalau mbak pulang dua hari lagi..."
"Kalau mas suhar nanya kenapa, bilang aja mba masih ada urusan sama ibu sri..",...

Firman mendadak bingung, "lah kok bilang begitu mbak?"
"Ibu sri kan udah meninggal..."

"Udah bilang aja begitu"
"Kalo gak gitu, mas suhar mencak-mencak sama mbak nanti di rumah", balas dahlia menimpali.

"Yaudah sekarang mendingan kamu siap siap berangkat deh...", lanjut dahlia.

Mendengar ucapan kakaknya barusan, firman lekas keluar kamar sembari membawa barang yang akan ia bawa pulang. Barang bawaanya tidak begitu banyak, sama halnya dengan ia bawa ketika tiba. Sesampainya di luar, Di sana rido sudah menyambutnya dengan sukacita. Anak itu tak sabaran lagi karena lelah menunggu. Nyatanya, baru firman meletakkan barang bawaan di dekat rido, pak ujang tiba-tiba memanggil.

"Mas firman, kemari...", panggil pak ujang memberi isyarat dari depan kamarnya.

"Iya pak..", teringat firman akan janji bicara dengan pak ujang. Lekas ia mendatangi.

"Aduh.. sii abah teh bikin lama"
"Rido kan mau berangkat bah...!", teriak kesal rido yang lagi-lagi dibuat menunggu.

"Katanya teh gak bakal lupa sama abah"
"Ini Abah pinjem sebentar mang firmannya udah kesel sama abah",
"Gimana sih", sahut pak ujang

"Bukan begitu maksud aku bah..", sangkal rido.

Pak ujang tak begitu menanggapi kekesalan rido. Ia lebih memilih menyambut firman yang mendatanginya. Tak sungkan kemudian lelaki paruh baya itu langsung mempersilahkan firman masuk ke kamarnya. Firman agak heran mengapa pembicaraannya yang dijanjikan harus sampai di kamar pak ujang segala, seakan mirip dengan apa yang ia lakukan dengan sang kakak. Mungkin sama pentingnya pikir firman.

Ketika sudah di dalam, pak ujang lantas duduk di di ranjangnya. Sementara Firman duduk di sebuah kursi kayu kecil yang sudah disediakan pak ujang. Mereka duduk saling menatap. Firman yang sudah terduduk lebih dulu hanya menunggu apa yang hendak pak ujang katakan. Sementara pak ujang berpikir sebentar, menyusun kata-kata yang ia akan sampaikan.

"Mas firman..."
"Gini atuh mas... mas firman kan jadi ngajak rido ke jakarta..."
"Karena jadi, teh pak ujang sebenernya masih gak rela rido ikut sama mas firman"..
"Tapi apa boleh buat ya mas, bapak juga gak bisa apa-apa karena nyatanya mas firman itu bapak kandungnya rido...", tersenyum tiba-tiba pak ujang mengutarakan.

Firman terkejut bukan main, ia heran bagaimana bisa pak ujang tahu hal yang sifatnya rahasia bagi dia. Ia mengambil nafas dalam dalam untuk merespon balik

"Emm.. kok bapak bisa bilang kalau saya bapak kandungnya rido?"
"Bapak tahu darimana?"

"Masalah itu teh mas gak perlu tahu kenapa saya bisa bilang begitu..."
"Yang terpenting, saya cuma mau ngomong apa adanya"
"Gimana rasanya atuh ya mas jika seorang anak tahu dibuang sama bapak kandungnya waktu masih bayi.."
"Udah gitu... bapak kandungnya baru mau ngaku pas itu anak sudah tumbuh besar"... sindir pak ujang.

Firman mematung, mendengarkan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut pak ujang.

"Terus, apa rasanya orang tua yang mau ngerawat itu anak..."
"Saat anak itu dibuang, orang tua ini rela susah payah membesarkan. Tapi, pas udah gak bayi lagi mendadak muncul orang tua aslinya mau mengambil kembali...", lanjut pak ujang dengan bahasa sindiran.

Firman tertunduk mendengar kata-kata terakhir pak ujang. Ia terdiam tak bisa apa-apa ketika mengetahui pak ujang seolah membongkar rahasianya selama ini. Dia lemas dan pasrah terhadap apa yang pak ujang ucapkan, karena memang nyatanya firman menyadari dia yang salah. Pak ujang kemudian melanjutkan ucapannya.

"Gimana kalo rido tahu ya mas?"
"Kalo mas itu bapak kandungnya...."
"Yang udah nyia-nyiain dia waktu bayi?"

"Jangan! Jangan sampai rido tahu pak! Saya mohon!", cegat firman

Firman melarang pak ujang memberitahukan dosa masa lalunya ke rido. Ia tak rela hubungan harmonis yang sudah dibangun dalam waktu dekat ini rusak seketika. Apalagi sekarang ia sudah di depan mata membawa pulang rido ke pangkuan bapaknya, firman sendiri. Di sisi lain, firman juga memahami perasaan pak ujang. Ia tak bisa memungkiri semua kebaikan pak ujang terhadap putranya selama ini. Lantas, firman bertanya apa maksud pak ujang mengungkapkan semua hal barusan, terkesan membatasi firman untuk tidak membawa rido.

"Oke, saya tahu dan paham perasaan pak ujang sekarang".
"Tapi, saya kan bapak kandungnya pak?!"
"Saya berhak bawa dia dong..",..
"Sekarang maunya pak ujang apa sih ngomong gitu semua ke saya?!
"Bapak ngancam saya?!", naik nada bicara firman.

"Santai teh mas..santai..ckck"
"Hmm gini aja mas"
"Karena mas teh mau ngajak rido pulang ke jakarta"
"Gimana kalau mbak dahlianya di sini dulu?".

"Hhmm"
"Kakak saya memang gak ngikut kok pak"
"Dia katanya masih mau di sini"
"Memang kenapa ya?", tanya firman heran.

Pertanyaan firman membuat pak ujang tersenyum tak menyangka. Ia yang terduduk di ranjang, bangkit untuk membisiki firman.
Di dekat telinga firman, lalu ia berkata pelan.

"Kalo mas mau bawa rido teh silahkan..."
"Tapi mbak dahlia jangan yaa.."
"Soalnya Bapak teh kepengen bikin rido yang baru sama mbak dahlia hehee", tertawa mesum pak ujang.

Bisikan pak ujang tadi membuat firman terhentak untuk mendorong lelaki yang ia kira baik dan telah mengasuh anaknya cukup lama. Ia kaget dan tak mau mengabulkan keinginan pak ujang.

"Bapak jangan macem-macem sama kakak saya ya...!", ancam firman, bangkit berdiri.

"Kalo mas gak mau yasudah..."
"Apa memang mas firman teh udah berubah pikiran"
"gak jadi bawa ridonya..."
"Atau memang yang tadi mau pak ujang kasih tahu ke ridonya?!".
"Kalau sebenernya mas firman itu bapaknya rido, yang dulu nelantarin rido saat bayi...!"
"Anak mana atuh mas yang gak benci sama bapaknya kalau begitu kejadiannya, kayak mas ini", ancam balik pak ujang, melirik tajam ke arah firman.

Saat mereka berdialog tajam. Dahlia dan rido menghampiri. Keduanya berteriak memanggil, "pak ujang! Lagi sama firman ya?!" teriak dahlia
"Bah, buruan bah! Aku mau berangkat ke jakarta nih..", teriak rido yang ditemani dahlia.

Mendengar suara dahlia dan rido, pak ujang menyahut balas seraya melirik ke firman. Kemudian, buru-buru ia mendesak firman untuk mengambil keputusan. "Iyaa! Sebentar yaa!
"Bagaimana teh mas firman?"
"Mereka berdua udah menunggu kita tuh hehe".

Firman membisu sembari memikir cepat, harus ada yang ia korbankan. Dia tidak mungkin mengorbankan sang kakak yang sudah banyak berjasa pada dirinya. Tapi, di sisi lain, ia tak mau sang anak benci padanya, yang bisa mengenyahkan seketika mimpinya untuk membawa rido pulang ke pangkuannya tercinta. Firman tarik nafasnya dalam-dalam sebelum menyampaikan keputusannya. "maafkan aku mbak dahlia...", batin firman pasrah.

"Baik pak. Saya jadi bawa rido..."
"Tapi..."

Mimik wajah pak ujang terlihat puas sebentar.
"Gitu dong atuh mas..."
"Tapi apa?", tanya pak ujang.

"Tapi, kakak saya bakal pulangkan...ke jakarta?", tanya firman

"Ohhh tenang.. mba dahlia teh bakal pulang ke jakarta kok, ketemu mas lagi".
"Gak perlu khawatir sebegitunya juga atuh mas firman hehe"
"Yuk kita langsung keluar aja mas", sambut pak ujang wajahnya bahagia sekali.

Pak ujang dengan wajah cerahnya lekas keluar dari kamar menemani firman. Ia bimbing orang tua lelaki dari anak yang telah susah payah istrinya urus. Ketika membuka pintu, Di luar tampak rido dan dahlia sudah menunggu. Wajah keduanya heran dengan apa yang pak ujang bicarakan bersama firman, sampai-sampai harus berduaan di dalam kamar.

"Ngobrolin apa sih pak ujang sama firman?"
"Kayaknya rahasia banget".

"Iya nih abah, ngobrolin apa atuh"
"Sampai bikin rido mau berangkat ke jakarta teh jadi lama..", ucap rido menimpali pertanyaan dahlia.

"Aduhh rido...maaf"
"Bukannya maksud abah teh begitu"
"Tadi abah teh cuma ngasih nasehat ke firman...
supaya gimana atuh....".

Firman memotong ucapan pak ujang.
"Iya, pak ujang cuma ngasih wejangan aja buat saya kalau udah di jakarta, mbak"
"Buat ridolah terutama".

"Ohhh".
"Kirain apa", balas dahlia.

"Yaudah jadi berangkat gak ini?", tanya pak ujang sembari menatap kepada ketiganya.

"Jadi dong bah"
"Yuk, mang firman", ajak rido.

Keempatnya lalu menuju ruang dimana firman menaruh barang bawaanya. Di sana firman mencoba mengecek sekali lagi barangkali ada yang lupa ia bawa di dalam ranselnya. Tak hanya itu, ia juga menanyakan kepada rido apakah anak itu juga sudah lengkap barang yang hendak dibawa. Setelah semua beress, bersama rido, ditemani pak ujang dan dahlia, firman keluar rumah beserta ransel yang ia kaitkan dipunggung.

"Loh, mbak dahlia kok gak siap-siap?", tanya pak ujang yang pura-pura terkejut.

Firman melirik ke dahlia...
"Iya gini pak ujang"
"Saya masih kepengen di sini"
"Hitung-hitung liburanlah ya...", ucap dahlia.

"Ohh begitu.."
"Santai aja mbak"
"Nanti teh pak ujang anter mbak dahlia jalan-jalan".
"Pak ujang mah paling tahu tempat jalan-jalan di sini", pamer pak ujang seolah ia pernah liburan.

"Abah jangan bohong atuh.."
"Sama rido aja gak pernah jalan-jalan", canda rido dengan kepolosannya.

"Ihh jangan dibongkar atuh rido hehe", gelak tawa pak ujang disambut ketiganya.

Lantas setelah perbincangan di depan rumah pak ujang tersebut, firman segera berpamitan kepada pak ujang dan lebih utamanya lagi kepada sang kakak, dahlia. Begitu juga pak ujang, meski ada yang ia rencanakan di balik persetujuannya mengenai kepergian rido bersama firman, ia tetap sedih harus berpisah sementara dengan anak itu. Tak heran keduanya yang sudah amat dekat berpelukan.

"Jangan nakal yaa kamu disana nak"
"Dengerin teh apa kata mang firman nanti..."
"Jangan ngelawan...", pesan pak ujang.

"Iya bah.."

Kemudian setelah rido berpamitan sekaligus memeluk pak ujang, giliran Firman berpamitan kepada kakaknya, "hati-hati yaa mbak... maafin firman juga..", ucap firman seraya melirik kesal pada pak ujang.

"Iya kamu juga hati-hati di jalan"
"Jangan lupa pesan mbak tadi...".

"beres mba", firman mengangguk.

Setelah semuanya saling berpamitan. Firman menenteng tangan rido dan rido dengan senang hati menyambut tangan firman. Keduanya lekas memberi salam kepada pak ujang dan dahlia sebagai tanda perpisahan. Sesudah itu, tiba-tiba pak ujang berbisik di telinga firman,"tenang aja mas firman, mbak dahlianya bakal pak ujang jaga baik-baik kok"
"Tapi.., pas pulang ke jakarta.."
"Jangan kaget ya kalo tahu-tahu perut mbak dahlianya udah melendung hehe", tawa pak ujang menyudahi bisikannya.

Geram hati firman mendengarnya. Kalau bukan karena rido, sudah ia beri bogem mentah lelaki tua itu. Namun, memang kini firman tidak berdaya sama sekali. Ia bingung bagaimana nanti menceriterakannya kepada mas suhar walaupun tadi dahlia sudah berpesan. Kalau sampai mas suhar tahu tentang hal ini, habis sudah nasib firman.

"Ini abah apalagi teh yang diomongin"
"Gak selesai..selesai.."
"Mang firman, yuk berangkat yuk...", ucap rido menarik-narik tangan firman.

"Eh? Iyaa yuk kita berangkat".

Pada akhirnya firman dan rido jadi berangkat. Keduanya usai berpamitan lekas meninggalkan rumah pak ujang, meninggalkan pak ujang dan dahlia berdua. Firman dan rido sempat berjalan kaki sedikit karena memang tidak ada angkutan yang bisa mengantarkan mereka ke terminal bus. Selagi berjalan sempat firman lihat rumah pak ujang dari kejauhan. Tidak ada lagi penampakkan pak ujang dan kakaknya. Ia tidak bisa bayangkan apa yang akan terjadi pada kakaknya yang cuma berdua dengan pak ujang di rumah tersebut. Meski merasa amat bersalah, firman hanya bisa berharap kakaknya akan baik-baik saja di sana.

"Mang, nanti di rumah mang firman ada siapa?", tanya rido sambil berjalan kaki.

"Ada...hmm"
"Ada kakak yang bisa temenin kamu"
"Namanya mas yuda...", spontan firman menjawab.

###​

"Hadeehhh...jam segini kok belum ada juga yang pulang", keluhku sambil menekan tombol remot tv, sembari menggonta ganti chanel, seusai melirik ke arah jam di dinding.

Hari sudah sore. Usai bangun tidur, karena tidak ada kegiatan lain, aku memilih menonton tv walaupun tak ada program yang kusukai. Sesekali mengganti chanel, mungkin itu kegiatan yang bisa memgusir kebosananku. "Huhh" Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Aku heran mengapa ibu dan om firman belum juga pulang. Kata bapak, hari ini adalah kepulangan mereka. Apakah mereka menginap lagi? Mungkin belum selesai urusannya? Ah, tidak mungkin. Paling-paling tersendat di jalan. Atau, sebentar lagi tiba. Tak sabar aku menantikan oleh-oleh dari ibu.

"Ckk... ini acara tv gak ada yang bagus apa"
"Berita mulu kan pusing..."
"Ini juga sinetron.. gak ada yang bener..."
"Ngejar rating doang"
"Judulnya anak sekolahan, kok gak ada belajar-belajarnya..."
"Pacaran mulu..."
"Mending nonton bokep.."
"Yang udah jelas, pasti lagi...", kesalku.

Saat aku sedang kesal-kesalnya karena tak ada program tv yang menarik, tiba-tiba kudengar pintu rumah terbuka. Ada yang pulang. Apakah ibu? Yes, aku tak sabar melihat oleh-oleh yang dia bawa. Maka, lekas kutengok cepat. Namun ternyata, tante linda yang baru pulang dari kantor. Agak kecewa aku. Tapi, biarlah. Siapa tahu dapat yang plus-plus dari tantel linda. Pikirku mesum. Lagipula, jujur, aku masih nanggung. Meski penisku sudah orgasme dalam mulut tanteku tersebut dini hari tadi, aku masih belum merasakan hangat dan sempit vaginanya. Cuma bapak seorang yang sudah.

"Sabar yahh...", ucapku mengelus penis sambil terduduk melihat tante linda berdiri, seakan melecehkan tanteku tersebut.

"Yudaa...!"
"Ngapain kamu?!"
"Depan tante, megang-megang burung", seru tante linda sembari memperhatikanku yang sedang mengurut penis dari balik celana pendek.

"Iya nih..."
"Gara-gara tadi pagi nih, belum sempet masuk ke sarang tante linda", balasku cabul.

"Ihhh.."
"Udahh ahh.. tante juga lagi cape, gak mau juga", ucap tante linda yang selintas berjalan melewatiku.

"Tante linda, tunggu..."
"aku mau nanya dong"
"boleh gak?", panggilku menghentikan langkah tante linda

"Tanya apa?"
"Tapi, jangan yang aneh-aneh ya pertanyaannya..", ucap tante linda yang melirik ke arahku.

Aku berjalan mendekatinya, mencoba bertanya kiranya kenapa ia mau disetubuhi bapak dan aku. Sejujurnya pertanyaan tersebut selalu membelenggu pikiranku.
"Ih, siapa juga yang mau nanyanya aneh-aneh.."
"Gini, tante linda kok mau sih ditidurin sama aku dan bapak".
"Apalagi bapak, aku kira bapak udah lebih dari sekali kali ya nidurin tante linda...", ucapku amat polos.

Tante linda tersenyum,
"Mau tahu banget ya?"
"Tanya langsung dong sama bapak kamu"..
"Gimana sihh..."
"Jangan ke tante.."

"Gitu yaa?"

"Iya..."
"Yaudah deh, tante tinggal dulu ya.."
"Tante mau istirahat...", pamit tante linda masuk ke kamarnya.

Tanggapan tante linda barusan membuatku tambah penasaran. Humm Tapi, di sisi lain, pikiranku cepat teralihkan karena kondisiku cuma berdua dengan tante linda di rumah, aku berniat memperkosanya. Namun, aku khawatir tak kuasa. Tak ada bapak. Bisa-bisa tante linda teriak. Lalu warga sekitar yang mendengarnya masuk ke rumah untuk melihat. Bisa habis aku digelandang ke balai warga atau kantor polisi. Apa jadinya kalau sampai bapak tahu. Ibu dan om firman tahu. Apalagi keduanya pulang hari ini. Terpaksa kupendam niatku tersebut. Jadinya, Aku mau tak mau kembali menonton tv, sedangkan tante linda yang baru pulang langsung masuk ke kamar.

"Yudddaaa..!!!"
"Yudaaa..... sini!", teriak tante linda dari dalam kamarnya.

Awalnya aku sempat tak ngeh dengan suara tante linda. Mungkin, karena kantuk kembali, gara-gara program tv yang tak bagus dan menjenuhkan. Alhasil, aku yang baru mendengar lantas menyahut dan mendatanginya. Kira-kira ada apa dengan tante linda hingga ia harus berteriak keras di dalam rumah memanggilku. Setiba di depan kamar tante linda.. gillaaa! Tante linda sedang berdiri terlanjang seolah memamerkan keindahan tubuhnya padaku. Tak hanya itu, ia juga memegang buah dadanya seolah mengundangku untuk mendekat.

"Yudaaa...."
"Lihaat, susu tante gede gak?"
ucap tante linda menggodaku.

Sialan,penisku jadi tegak berdiri. Greget sekali rasanya aku mau buka celana dan pakaian. Lalu aku sergap tanteku yang sedang bugil tersebut. Namun, sekarang sudah sore. ..Aku sangat khawatir om firman dan ibu tiba di rumah. Jadwal kepulangan mereka yang tak pasti menghalangi keinginanku

"Yuuda...."
"Kok malah diem sih.....",ucap tante linda menatapku yang bingung.

"Iya gede kok.."
"Tapi percuma juga, gak bisa dirasain susunya sekarang".

"Cie ada yang ngarep....",
"Udah gih sana, keluar-keluar..", ledek tante linda di awal, selanjutnya ia mengusirku dari kamarnya.

Suara tante linda tadi tak kupedulikan. Aku terlanjur kesal padanya karena niatnya cuma membuat penisku tegak sesaaat. Ya, dia cuma menggodaku, sedangkan aku tak bisa apa-apa. Ujungnya aku meninggalkan tante linda seorang diri di kamarnya, kembali menatap layar televisi sebagai pelampiasan. "Fiuuhhh....".

Kesal aku. Ditambah kesal karena Ibu dan om firman belum juga sampai di rumah. Kemana sih mereka. Apa bakal nginep lagi. Mau ngapain lama-lama di sana. Lama-lama aku kasih tahu juga nih ke tante linda kalau om firman sudah punya anak. Biar rasain tuh om firman sudah bikin ibu pulang jadi lama. Biar rasain juga tante linda sudah buat diriku jengkel padanya.

"Assalamualaikum....",..

Kudengar seorang masuk mengucapkan salam. Lekas kulihat siapa kiranya. "Ini diaaa yang ditunggu-tunggu...". Om firman telah tiba di rumah sambil membawa beberapa barang. Ia lantas langsung duduk di kursi ruang tamu, nampak kelelahan. "Itu siapa yaaa?" ada seorang bocah mungil nan lugu bersama om firman. Aku sempat penasaran kiranya siapa bersama om firman itu. Namun, pikirku langsung tertuju bahwasanya anak itu adalah anak om firman. "Makin rame aja deh nih rumah...". Aku yang hanya melihat dari jauh lekas menghampiri.

"Eh om firman.."
"Dah nyampe om?", sapaku menyambut.

"Eh yuda...".
"Iya nih.. baru banget nyampenya", balas om firman yang tampak mengeluarkan beberapa barang dari ranselnya, hanya sekilas menatap pandangannya ke mataku.

Karena melihat om firman masih sibuk sendiri, aku lebih baik menyapa adik kecil yang bersama om firman ini, yang kuduga anak om firman. Bocah itu tampak malu-malu melihatku. Terus menempel dengan om firman tubuh mungilnya.

"Hei ade..."
"Siapa nama kamu?", sapaku ramah dan tersenyum lembut.

Namun, anak itu hanya diam. Malu atau takut menyelimuti pikirannya. Tak biasa ia berhadapan dengan orang yang baru dilihat.

"Namanya rido kak.."
"Ayo salaman dulu sama kak yuda...", timpal om firman sembari memperkenalkan

"Ohh namanya rido..."
"Yaudah.. gapapa om"
"Kalau dianya gak mau salaman..."
"Malu dianya kali...hehe", senyumku karena rido malu tak mau memberi salam padaku.

Kayaknya adik kecil bernama rido ini bakal jadi teman bermainku di rumah. "Bagus dehh.." tak lagi aku hanya menonton tv untuk mengusir suasana suntuk saat lagi menerpa. Ada adik kecil yang bisa diajak bermain bola sepertinya. Meski masih bocah, dia bisa menemaniku yang kalau main bola kerap seorang diri. Akan tetapi, aku merasa ada yang aneh dan kurang. Karena terlalu asyik memerhatikan rido, aku luput akan sesuatu. "Ah iya! Ibu! Ibu kemana?!" Aku tak melihat ibu bersama om firman. "Waduhhh....".

"Om, ibu kemana?", tanyaku heran.

"Eh iya, sampai lupa ngomong".
"Emmmmmm......"
"Ibu kamu masih nginep di sana, yud"
"Katanya sih sebentar....", ucap om firman dengan enteng, namun agak gelagapan cara bicaranya.

"Loh kok begitu?".

"Iya.."
"Emmm....Katanya sih ada urusan yang belum kelar", balas om firman kembali.

"Eleuh ..ck." kesal aku dengan om firman. Gara-gara dia, ibu pulang lebih lama. Mau saja ibu direpotkan sama om firman kalau begini jadinya. "Hhmmm" tapi mau bagaimana lagi. Ibu adalah kakaknya om firman, sudah sewajarnya begitu. "Huhhh" lebih baik aku menonton tv lagi. Biarlah jadi pelampiasan kekesalanku yang sudah memuncak. Ditambah om firman tak bawa sesuatu apapun, oleh-oleh. "Cuma bawa badan aja dia kesini", keluhku kembali menonton tv saat matahari mulai terbenam.

###​









.
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd