Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Menurut pembaca siapa tokoh yang bakal MATI di episode akhir cerita 'Astaga Bapak' ?

  • Suhardi

    Votes: 92 16,4%
  • Dahlia

    Votes: 24 4,3%
  • Yuda

    Votes: 27 4,8%
  • Bayu

    Votes: 23 4,1%
  • Mang Ujang

    Votes: 394 70,4%

  • Total voters
    560
Status
Please reply by conversation.
Maaf telat

Update

"Bener-bener luar biasa keponakanmu ini teh jang mainnya..."
"Ketagihan aku....."
"kapan-kapan bisalah kita cobain lagi atuh ya hehe", ujar mang asep usai beristirahat pasca berhubungan badan dengan marni. Tampak pula ia sedang mengenakan pakaiannya.

"Iyalah atuh jang"
"Aku teh juga belum sempet cobain memeknya marni..."
"Sering-sering atuh ajakkin keponakanmu ini kesini", sahut mang dayat yang mengiyakan ajakan mesum mang asep.

Mendengar ucapan dua kawan baiknya, mang ujang tidak menggubris sama sekali, hanya tersenyum menatap marni yang sedang kerepotan. Marni, keponakannya itu sedang sibuk membersihkan sperma mang asep dan mang dayat, baik di lubang vagina-nya maupun di lubang tempat ia biasa membuang kotoran. Di dua lubang milik marni tersebut tampak mengendap sperma kental lelaki paruh baya yang rasanya lama tak bersebadan. Bersamaan dengan cairan kemaluan marni, cairan kemaluan manusia renta itu jatuh meluber mengotori kasur tempat mang ujang biasa tidur.

Bagi mang ujang, tak apalah tempat ia beristirahat menjadi medan pergumulan birahi dua sang kawan dan keponakannnya. Lagipula baru saja ia disuguhi pemandangan yang menakjubkan, yang membuat penisnya berdiri tegak dengan nafsunya yang kian menggebu-gebu. Ingin dirinya segera menunaikan kesepakatan yang telah ia buat dengan marni. Ya, perasaaan mang ujang makin tak sabar untuk kedua kalinya menyetubuhi dahlia. Wanita yang telah membuat nalurinya sebagai seorang lelaki sepuh merasa jantan lagi. Sekalian, ia ingin memastikan apakah benih yang ditanam kemarin hari di rahim dahlia sudah menjadi janin atau belum. Kalau belum, ini kesempatan mang ujang untuk membuntingi dahlia lagi. Kalaupun sudah, tentu bahagia 'kan dirasakan mang ujang karena pada akhirnya ia memiliki seorang anak sekaligus seorang bapak.

Di sisi lain, marni nampak kewalahan membersihkan sisa-sisa persetubuhan dengan dua kawan mamangnya. Nafasnya yang masih terengah-engah, tidak begitu ia hiraukan sembari membersihkan sperma mang asep yang masih meleleh keluar dari bibir kemaluannya. Dengan tisu ia menyeka sperma yang menempel di sela-sela liang kewanitaan. Kalau saja bukan karena kesepakatan dengan mamangnya, tentu ia mana mau melakukan hal yang terkesan menjijikkan tersebut. Apalagi lubang anusnya juga menjadi sasaran. Hanya saja beruntung bukan pertama kalinya marni dianal hingga tak begitu ia merasakan perih dan sakitnya dimasukki batang penis lelaki. Lagipula sebelumnya ia sudah pernah dianal oleh suami keduanya.

"Mang ujang, jangan lihatin doang..."
"Bantuin bersihin ini", ucap marni dengan wajah jengkel, ia ingin mang ujang membantunya membersihkan sisa sperma dua kawan mang ujang yang membasahi sprei kasur mang ujang sendiri.

"Iyaa marni...", tersenyum puas mang ujang yang kemudian menghampiri marni. Usai mendekat, mang ujang tak sengaja memperhatikan dua puting marni yang memerah. Ia menduga hal itu disebabkan saat mulut mang asep dan mang dayat secara bersamaan melumat payudara marni.

Saat mang ujang tengah beralih membantu dan memandangi marni, mang asep dan mang dayat malah sudah terlihat berpakaian lengkap. Keduanya yang tampak lelah hendak berpamit pulang. "Jang, kita balik ya...", ucap pamit mang dayat.
"Marni..., mang asep pulang dulu ya..."
"Kapan-kapan susuin lagi atuh mamang berdua ini hehe", goda bernada cabul mang asep berpamitan kepada marni.

Kalimat perpisahan yang diutarakan mang asep dan mang dayat dicuekki saja oleh marni, melengos wajahnya saat dua orang itu melangkah pergi. Ia juga tak mau memandangi wajah puas nan senyum melecehkan kedua lelaki yang baru saja orgasme bersamaan dengannya itu. Bagi marni, memang terpaksa ia melakukan hal tersebut demi memenuhi keinginan busuknya merebut suhardi dari tangan dahlia. Kini, bagi marni, giliran dia menagih janji mang ujang.

"Mang, jangan lupa yaa....", sembari mengingatkan marni melirik tajam ke arah mang ujang.

"Beres marni, tenang...", senyum santai mang ujang yang sebetulnya sudah pernah menyebani dahlia, namun marni tak mengetahui hal itu.

Tiba-tiba saat masih sibuk mengusap sisa liur yang menempel pada buah dadanya, marni mengeluh kesal seraya memamerkan kedua buah puting payudaranya, "stres ya kawannya mamang..."
"Puting marni sampai lecet begini..."

"Marni... marni..."
"kamu kan tahu sendiri,.."
"Mereka berdua itu teh penggemar berat buah dadamu..."
"Dari dulu kan mereka cuma bisa curi-curi pandang dari jauh"
"Pas udah kesampean, begini teh jadinya hehe"..., geleng-geleng mang ujang mendengar curahan sekilas hati marni.

"Udah tahu begitu kenapa mamang ngajakin dua orang tengik itu..."

"Lah..."
"Memang ada atuh kesepakatan kita tentang itu sebelumnya?", tanya mang ujang mencoba membuat marni bungkam.

"Tapi,...."
"yaudalah, udah terlanjur juga..."
"pokoknya inget ya gilirannya mamang nanti di Jakarta"
"jangan sampai lupa...",...

"Iya marni, iyaa....", balas mang ujang dengan nada meyakinkan.

Sembari mengobrol dengan marni, mang ujang menanti kiranya apa yang ia bakal perbuat kepada dahlia. Hasratnya, ia ingin persetubuhannya dengan dahlia kali ini berbeda. Sempat terbenak ingin melakukan hal yang sama, yakni ingin mengajak seseorang untuk membantunya mengerjai dahlia. Namun, ia sungkan. Bagi mang ujang kalau begitu ia tidak akan puas menikmati tubuh seorang wanita yang ia dambakan bisa menjadi istrinya tersebut. Mang ujang hendak menyetubuhi dahlia seorang diri, membuat dahlia segera takluk dalam pelukannya.

Lain halnya dengan mang ujang, marni masih menyusun rencana yang pas untuk merebut suhardi dari dahlia. Isi otaknya berkeinginan keras membuat suhardi lekas marah dan menuduh dahlia berselingkuh. Namun itu tak 'kan mudah. Dari dulu marni mengenal suhardi amat mencintai dahlia. Begitu juga sebaliknya. Oleh karena itu, kalau ia gagal sedikit, suhardi bukannya percaya. Malahan, suhardi bakal menuduh marni sebagai otak dari ini semua. Marni tahu dalam benak suhardi, dirinya selalu dipandang negatif. Itu merupakan bagian lain yang bakal merintangi marni dalam rangka merebut hati suhardi.

"Jadi bagaimana atuh rencana kamu marni?", tanya mang ujang penasaran.

Sembari berdiri dengan tubuh masih telanjang bulat, marni menjawab singkat,
"Marni masih mikir rencana yang pas, mang"
"Intinya, mamang ikut marni ke Jakarta aja dulu...".

###​

Sabtu menjelang senja, aku masih terbaring di ranjang rumah sakit. Dengan keadaan yang berangsur pulih, aku masih bersama bapakku. Aku heran. Entah mengapa bapak rela berlama-lama di sini bersamaku. Padahal, di rumah ia bisa mesra-mesraan lagi dengan ibu tanpa harus aku ganggu. Kalaulah demikian adanya, tampak kami akan bermalam minggu bersama. Malam minggu yang terkesan getir karena dinikmati di tempat yang penuh menanggung derita ini. Sebaliknya, aku juga khawatir apa ibu tidak marah dengan bapak yang belum pulang ke rumah sama sekali. Terlebih janjinya ibu tadi, ia ingin memasak makan siang untuk bapak dan dirinya. Tapi, masa iya sih ibu bakal marah kepada bapak yang sedang menunggui anaknya sendiri. Terlalu memeras rasanya otakku memikirkan hal tersebut. Lagipula kulihat bapak santai-santai saja seakan tidak akan terjadi apa-apa nantinya.

Selama berduaan dengan bapak, banyak hal yang kami obrolkan. Tentu yang paling menarik mengenai om firman dan tante lisa. Aku sangat tidak menduga bahwasanya rido adalah anak om firman dan tante lisa. Lagipula menurut bapak, mereka berdua sepupu yang lazimnya tidak mungkin menjadi suami-istri bagi kebanyakan orang. Namun, menurut pendirian bapak sendiri, tak masalah sesama sepupu itu menikah. Mungkin, kata bapak, keluarga ibu dan ibu sendiri yang bersikeras tidak menginginkan itu terjadi. Hal itu mengapa tante lisa rasanya tak perlu mengurus anak kandungnya. Biar om firman yang selayaknya bertanggung jawab atas kelakuannya pribadi. Alhasil, mendengar cerita bapak, jadi pusing kepalaku sekarang. Ditambah, bapak memohon bantuanku atas permintaannya yang tergolong sulit, menyatukan tante lisa dan rido, bahkan kalau bisa dengan om firman sekalian. Aku coba menyanggupinya walaupun itu berarti aku bakal berhadapan dengan ibu.

"Ohh ternyata dulu kata bapak, kedekatan hubungan sepupu antara om firman dan tante lisa ujungnya kebablasan...hmmm", hatiku rasanya plong setelah mengetahui bahwasanya tante lisa adalah ibu kandung dari rido. Kalau tidak mendengar cerita bapak, bakalan tidak tahu sama sekali diriku. Di sisi lain, ternyata ibunya tante lisa adalah adik kandung dari ibunya ibu.

"Yud, kamu dirawat jangan lama-lama ya.."
"Besok senin musti sekolah..'kan?"
"Bapak gak bisa nungguin kamu terus-terusan kalau masih dirawat sampai hari senin".

"Ishh si bapak!"
"Sapa juga yang mau lama-lama di rumah sakit, pak".
"Kita lihat aja deh nanti menurut dokter bagusnya bagaimana kondisiku sekarang"
"Lagian kalo bapak senin mau kerja, kerja aja pak"
"Aku 'kan bukan anak kecil lagi"
"Paling-paling ada ibu yang bakalan nungguin", ujarku ke bapak yang tampak berdiri sembari meluruskan kakinya karena terlampau lama duduk.

"Hmmm...yuda, yuda"
"Yaudah gini aja....."
"Kamu mending jujur deh, yud sekarang sama bapak"
"Kamu habis dipukulin orang 'kan?", tanya bapak dengan nada memaksa.

"Engg.. engga kok pak"
"si bapak mah curigaan aja..."
"Udah tahu bener gara-gara aku telat makan kemarin", aku mencoba menyanggah karena bagiku tak mungkin rasanya sekarang untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya ke bapak.

"Hmmm masih aja nutupin"
"jelas-jelas pipimu bengep begitu.,,"
"yuda... yuda..."...

Aku bukannya tidak mau berterus terang kepada bapak. Kalau saja aku ceritakan kejadian sebenarnya bapak pasti bakal keget. Selebihnya aku khawatir ia akan bertindak bukan-bukan seakan tidak mau terima anaknya dipukuli. Apalagi yang memukuli bapak tirinya rina. Suatu hal yang mungkin bapak belum ketahui. Akan tetapi, sejujurnya aku tidak bisa memendam hal ini sendirian. Kuharap rina menceritakan persoalan yang ia hadapi kepada bapak kandungnya, pak usman. Dengan demikian, tak harus aku terseret dalam urusan rumah tangga keluarga rina.

"Rina, rina..."
"Tidak kuduga, persoalan berat macam ini sedang dirimu hadapi.."
"Tak menyangka pula aku bahwa ia sudah tak perawan usai digagahi bapak tirinya"
"Ah...meskipun demikian, aku tetap teman baikmu..."
"Yang tidak akan membiarkan dirimu sendirian..."

Terlepas dari itu semua, entah mengapa persoalan yang sedang rina hadapi membuat aku khawatir berlebihan dengan kondisinya. Akhir-akhir ini pula aku selalu kepikiran tentang rina, kira-kira ia sedang apa sekarang bersama bapaknya di sana. Mungkinkah itu karena aku mulai jatuh cinta denganmu, rina? Saat aku sedang khusyuk memikirkan rina. Bapak tiba-tiba bertanya kepadaku.

"Yud, kalo bapak pulang sekarang, ibumu bakal ngomel gak ya..?"
"Soalnya bapak gak pulang tadi buat makan siang di rumah..",
"Apalagi ibumu udah cape masak lagi..", tanya bapak dengan wajah cemas.

"Lah si bapak, malah tanya ke aku"
"Salah bapak sendiri kenapa gak pulang"
"Udah pak santai aja kali.."
"Kayak baru hidup berumah tangga aja sama ibu..."
"Lagian, bukannya Ibu kan kalau udah bapak gempur langsung diem.. hehe", jawabku yang malah mencandai bapak.

"Hmmm...."
"Yaudah kalo kamu jawabnya gitu..."
"Bapak pulangnya malem aja kali yaa....."
"Biar ibu yang nantinya mau marah, malah gak jadi"
"Karena bakal bapak sumpel mulutnya pake penis ...", balas bapak nyeleneh mesum.

"Ishh si bapak, di rumah sakit ngomongnya begituan", senyumku menyindirnya

"Kamu duluan yang mulai, yud"
"Bapak udah tahu nanyanya serius...",...

Apa yang baru bapak tanyakan kepadaku, sebetulnya aku tidak bisa menjawab. Kukira ia yang santai-santai saja tadi sudah memiliki alasan. Aku saja selama ini tidak bisa berkilah kalau ibu marah, lalu bagaimana mungkin aku bisa
memberikannya solusi. Seharusnya bapak-lah yang menemukan solusi itu sendiri. Dia kan sudah berumah tangga cukup lama dengan ibu. Bagaimana mungkin ia tidak tahu cara menghadapi ibu yang sedang marah. Bukannya malah bertanya kepadaku, anaknya yang sedang tak berdaya ini.

Hmm, Ngomong-ngomong soal ibu, aku bingung kenapa ia lantas pergi saat pak usman datang. Aku kira bapak pasti menyadarinya juga sikap aneh ibu tadi yang langsung pamit buru-buru mau pulang. Daripada penasaran aku mencoba tanyakan hal tersebut ke bapak. Barangkali ia memiliki informasi yang tidak kuketahui tentang hal tersebut.

"Eh iya Pak"
"Tadi bapak ngerasa aneh gak sama ibu"
"Pas bapaknya rina dateng, eh ibu tiba-tiba buru-buru mau pulang gitu...", tanyaku menatap mata bapak. Kuharap ada sesuatu yang kudapat.

"Hmm... masa sih?"
"Biasa aja kalo bapak bilang..",
"Malah kamunya yang aneh, nanyanya kok begitu", jawab bapak seakan ingin menutupi.

"Mm..Ayolah pak"
"Aku tahu bapak pasti mempunyai sesuatu yang aku tidak tahu tentang itu.."
"Bukannya kita sekarang udah saling terbuka pak?", aku membujuk bapak agar lekas memberitahu.

Tak lekas menjawab, Bapak berpikir sejenak sebelum membalas ucapanku. "Oke, bapak bakal jawab"
"Tapi supaya adil"
"Kamu juga musti jawab pertanyaan bapak tadi ya"
"Kamu habis dipukul orang 'kan?"
"Baru nanti bapak jawab pertanyaan kamu, yud".

Pernyataan bapak barusan membuatku seakan terjebak. Mungkinkah aku harus memberitahu bapak kalau betul aku habis dipukuli. Kalau saja tidak aku beritahu, aku tidak mendapati suatu info apapun terkait sikap ibu tadi saat pak usman baru datang. Huuh, terpaksa berpikir keras diriku, menimbang-nimbang apakah selayaknya aku terangkan ke bapak mengenai rina yang memiliki bapak tiri? Dan, bapak tirinya tersebutlah yang memukuli diriku gara-gara kuganggu ia saat ingin menggumuli rina? Memang, itu satu-satunya jalan yang kukira bisa menghilangkan rasa penasaranku. Tak ada pilihan lain, kecuali berkata jujur.

"Oke deh pak", pintasku.

"Yaudah, kamu dulu yang jawab"
"Baru bapak.."

"Yee kok begitu, pak.."
"Bapak dulu dong yang jawab....", gerutu diriku yang tak mau memgungkapkan duluan.

"Yaudah kalo kamunya begitu"
"Mending gak usah aja sekalian....", balas bapak yang tak mau kalah dengan sikapku.

Rasa ingin tahu sudah menggerayangi pikiranku. Mau tak mau aku ungkapkan ke bapak. Sembari berbaring dan tak mau banyak bergerak, aku mengambil nafas dalam-dalam supaya kiranya bapak tidak emosional setelah mendengar apa yang akan kukatakan. Barulah setelah itu kuutarakan kepada bapak apa yang sebenarnya terjadi.
"Hmmmmmm...."
"Iya pak bener kata bapak kalo aku memang dipukulin".

"Emm bener kan..."
"Terus siapa yang berani mukul kamu sampai kamu masuk rumah sakit gini?", jawab dan tanya balik bapak seraya menatapku serius.

Tak mau bicara berputar-putar lantas kujawab saja pertanyaan bapak itu.
"Bapak tirinya rina, pak"

"Hah? Maksud kamu?"
"kamu ngomong apasih?", tanya bapak heran.

"Iya, bapak tirinya rina, pak"
"Jadi, ibunya rina itu ternyata udah nikah lagi sama orang lain"
"Aku aja juga baru tahu pak, pas main ke rumah rina kemarin".
"Cuma rina gak banyak cerita tentang itu..."

"Emm begitu"
"baru tahu juga bapak..."
"terus, kenapa kamu bisa sampe dipukulin gitu sama bapak tirinya rina?!"
"kamu berbuat macem-macem sama rina?!", kembali bapak bertanya, kali ini intonasi suaranya meninggi, emosinya naik seakan menuduhku sudah berbuat sesuatu yang buruk.

"Kebalik pak!"
"yang ada rina diapa-apain sama bapak tirinya".
"Jadi, aku waktu di rumah rina itu, aku mergokkin rina lagi diperkosa bapak tirinya"
"Tentu aku sebagai temen gak diem dong pak"
"aku coba lawan demi selamatkan rina..."
"Eh, ternyata aku yang malah babak belur", terangku secara singkat ke bapak yang sedang amat mengamati aku berbicara.

"Kurang ajar itu orang!"
"terus bapak tirinya rina itu kemana?!", tanya bapak lantang.

"Gak tahu pak"
"aku udah gak sadar pas habis dipukul"
"lagian yang bawa aku kesini rina dan tante lisa juga"
"mending tanya nanti sama mereka".

Jeda sejenak diriku sebelum berkata kembali.
"Yaudah pak"
"mending sekarang yang penting bapak jangan terlalu emosi nyikapin persoalan ini..."
"lagian kondisiku 'kan udah agak baikkan", ucapku dengan wajah memelas seraya mencoba menenangkan bapak.

"Yuda, yuda..."
"Anak kandung dipukulin sama orang, bapak mana yang bisa terima gitu aja, yud!", senyum bapak yang seolah mencoba meredam amarahnya yang sedang memuncak.

"Yaudahlah pak"
"mending bapak tenang aja..."
"lagian, rina udah sama om usman", kembali aku berusaha menenangkan bapak.

Bapak kemudian terdiam sejenak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Selanjutnya ia bertanya.
"oh iya, ibunya rina tahu masalah ini?"

"waktu kejadian, ibunya rina gak ada di rumah pak, kata rina".

"Ohh Yaudah, intinya pas kamu udah sehat kita bahas lagi masalah ini"
"sekarang, bapak mau fokus dulu sama kondisi kamu", lanjut bapak berucap.

Kalimat bapak terakhir melegakan perasaanku. Aku sudah was-was saja ketika amarah bapak mulai naik usai mendengar ceritaku. Tentu aku tidak tinggal diam. Apalagi sekarang bapak sedang di rumah sakit. Maka, Aku berusaha keras menenangkan hatinya. Kalau tidak, bisa-bisa ia mencari bapak tirinya rina untuk membalaskan dendam, karena tak terima aku dipukuli hingga tak sadarkan diri. Namun, masalah ini belum selesai buat bapak, termasuk buatku. Tindakkan bapak tirinya tentu tidak bisa direlakan begitu saja. Ia musti dipolisikan. Selayaknya pula orang macam itu dijebloskan ke penjara.

Tak terasa gelapnya malam perlahan mengusir lembayung senja. Tak lama setelah kubercerita, datang seorang suster ingin menyuntikkan obat dalam selang infusku. Kedatangannya tak sendiri berbarengan dengan petugas pengantar makanan yang biasa memgantar makanku, baik pagi, siang, dan malam. Saat tak sabar ingin menyantap makan malam, kulihat bapak malah berdiri termenung memghadap jendela tempatku dirawat. Seolah kepikiran dengan yang kuceritakan, dengan wajah kusut ia melihat pemandangan di luar yang ramai. Ya, banyak yang bermalam minggu dengan menjenguk sanak famili atau kerabat yang sedang berbaring sakit. Namun, entah mengapa mendadak ada sesuatu yang terlupakan olehku. Aku coba pikir sejenak.

"Eh iya, Pak!"
"Bapak belum cerita, pak!"
"yeee.....", keluhku padanya.

###​


Dahlia


Pak Usman

Sementara semenjak siang yuda asyik dengan bapaknya, rina juga tak mau kalah. Pasca pulang dari rumah sakit usai menengok sang kawan yang telah berkorban, rina dan bapaknya, pak usman, kerap bertukar cerita. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumah, tak ada cerita sedih yang keduanya sampaikan. Yang ada hanya cerita tentang kerinduan saat masih bersama-sama. Rina yang seharusnya menceritakan peristiwa kelam yang baru saja menimpa dirinya malah memilih diam. Ia mencoba menutupi hal tersebut. Menurut rina, jika hal itu disampaikan akan memperkeruh suasana saja. Lagipula sikap aneh dan keras kepalanya itu sudah ditentang oleh tante lisa. Namun, tetap saja rina yakin dengan apa yang dilakukannya. Dengan anggapan tidak mau membuat suasana runyam dulu, rina untuk sementara waktu tidak mau menceritakan atau melaporkan peristiwa cabulnya kepada siapapun, terutama polisi. Ditambah, ia juga tidak mau ibunya yang sedang berada di luar kota cerai lagi untuk yang kedua kalinya. Dalam pikiran rina, ia tidak mau merusak kebahagiaan yang baru diperoleh sang ibu.

Di sisi lain, sikap rina tersebut sepertinya berlawanan dengan sikap dirinya yang lain. Pasca peristiwa buruk yang tidak terjadi sekali itu, rina sudah memutuskan untuk tinggal bersama bapak kandungnya. Di rumah yang dulu banyak menyimpan cerita tentang kebahagiaan masa kecilnya, ia akan menetap, tidak lagi bersama ibunya. Ia akan memulai lembaran baru hidupnya yang pastinya menenangkan di sana. Mengetahui keputusan rina, sang bapak, pak usman, bukan main senangnya kala diberitahu rina mau tinggal bersama lagi. Tentu dia penasaran apa yang melatarbelakangi rina punya kemauan demikian. Ketika ditanya, rina seakan merahasiakan. Namun, pak usman tidak peduli. Yang terpenting kini ada keluarga lagi yang menemani hidupnya, hingga dia pun tidak terpikirkan apakah marni, mantan istrinya, rela begitu saja dengan keputusan rina yang sifatnya sepihak. Lagipula, dahulu pasca perceraian, hak asuh jatuh ke tangan marni, bukan pak usman.

Di tengah perjalanan, saat pak usman dan rina sudah memasuki daerah rumah mereka, keduanya terhenti sejenak seperti memperbincangkan sesuatu.

"Rina, gimana kita mampir dulu ke rumah tante dahlia?"

"Hah? mau ngapain pak kita ke rumahnya yuda?"
"Yudanya juga 'kan baru kita jenguk", tanya rina heran.

"Yaa main aja"
"Kita mampir sebentar"
"Bukannya tante dahlia seneng banget kalau udah ketemu kamu?", senyum pak usman merayu puterinya.

"Iyaa sih.."
"Tapi 'kan..."...

Belum rina melanjutkan ucapannya, sang bapak justru sudah menyeret dirinya begitu saja. Oleh karenanya,Rina pun tak bisa mengelak dari permintaan bapaknya. Terpaksa ia menuruti kemana sang bapak akan membawanya. Dalam batin rina, ada betulnya juga apa yang baru saja dikatakan sang bapak. Iya terkesan mengiyakan bahwasanya tante dahlia memang begitu dekat dengan dirinya. Seandainya boleh jujur, rina merasa lebih nyaman saat bersama tante dahlia ketimbang ibunya sendiri yang terkadang sukar dekat nan bersahabat, sebagai ibu dan anak. Sampai-sampai rina terkadang suka khawatir kalau bersama tante dahlia saat di depan yuda. Dalam pandangan rina, yuda terkesan dicuekki oleh ibunya sendiri, tante dahlia. Akan tetapi, rina mencoba membuang jauh-jauh pikiran macam itu.

Setibanya di rumah yuda, rina dan bapaknya lekas memberi salam. Tak lama kedatangan mereka disambut oleh ibunya yuda, dahlia, yang ternyata sudah sampai di rumahnya. Berbanding terbalik dengan sikapnya di rumah sakit yang terkesan judes, justru kali ini sikap dahlia ramah sekali. Dahlia yang tengah mengenakan pakaian santai, sebuah tanktop berwarna merah gelap dengan celana pendek berwarna hitam, tak sungkan mempersilahkan rina dan pak usman masuk. Saat diterima tante dahlia, rina agak heran dengan pakaian yang sedang dikenakan ibu kawannya itu. Terkesan seksi, memamerkan lengah putih gempal beserta belahan dada yang rina pikir cukup seronok. Tak biasanya rina melihat tante dahlia mengenakan pakaian model seperti itu. Janggal di matanya.

"ayo rina, mas.. silahkan masuk..."

"Iya tante, jawab rina", yang langsung mencium tangan tante dahlia. Sebaliknya dahlia membalas dengan mencium ubun-ubun rina.

"Wah sepi jadinya ini rumah ya...", sapa ramah pak usman setibanya di rumah dahlia. Ia juga cukup terkejut dengan penampilan seksi wanita itu.

"Ohh iya mas. Kan yuda sama mas suhar lagi di rumah sakit", senyum manis dahlia menatap pak usman. Tiba-tiba pula pak usman memeluk dan mencium pipinya. Rina pun hanya terdiam melihat.

Tak buang waktu, dahlia lekas membimbing pak usman dan rina masuk ke dalam rumahnya. Lalu, sesampainya di dalam keduanya dipersilahkan dahlia duduk terlebih dahulu di ruang depan. Dahlia hendak menuju dapur, menyiapkan secangkir teh manis hangat untuk kedua tamunya itu. Sementara dahlia sibuk di dapur, rina dan bapaknya sedang duduk menunggu. Keduanya kadang melirik ke arah ruang dalam rumah yang tampak lengang. Bosan menunggu, tiba-tiba pak usman tanpa sungkan berjalan leluasa melihat keadaan ruang dalam rumah dahlia. Bagi rina, hal itu tidaklah aneh karena dari dulu iya tahu hubungan kedua orang tua kandungnya dengan orang tua yuda terbilang cukup dekat.

Namun mendadak dugaan rina selama ini mulai keliru. Ia lihat dengan penuh tanda tanya saat bapaknya tengah mencopoti kemeja dan celana panjang yang dikenakan. Tanpa merasa malu, hanya dengan kutang putih dan celana pendek bermotif kotak-kotak sang bapam meletakkan pakaian yang baru dilepaskannya di kursi tempat ia tadi duduk.

"Pak, kok begitu sih...", tanya heran rina yang sedang duduk memandangi bapaknya yang tengah berdiri.

"Begitu apanya?", tanya balik pak usman.

"Itu,..."
"kok pakaiannya dilepass, sih?"
"gak sopan tahu, lagi di rumah orang juga..", tegur rina kepada bapaknya sembari pandangan matanya mengarah ke tubuh sang bapak.

"Emmhh, biarin"
"Gerahh juga....", jawab pak usman dengan nada santai memgabaikan teguran puterinya.

"Issh bapak aku kasih tahu.."
"gak enak sama tante dahlia pak...", tegur rina kembali, namun sang bapak tetap tak menggubris apa yang ia bilang.

Ketika rina dan bapaknya masih saling berdialog, dahlia datang sembari membawa penampan yang di atasnya terdapat tiga cangkir teh hangat yang baru saja dibuatnya. Dengan sukarela, pak usman yang melihat lekas menarik sebuah meja kecil di dekatnya supaya dahlia lebih mudah meletakkan. Rina yang memandang keduanya, agak bingung mengapa tante dahlia tidak terkejut sama sekali dengan penampilan bapaknya. Malahan keduanya saling mengumbar senyum manis.

Usai meletakkan tiga cangkir teh manis hangat, dahlia lantas duduk di dekat rina, tempat pak usman tadi duduk. Sementara pak usman sedang mengangkat sebuah kursi dari ruang makan yang kemudian diletakkannya berdekatan dengan tempat dahlia duduk. Tanpa pikir panjang, ia langsung duduk berdekaran dengan dahlia.

"Ayo diminum tehnya...",
"gak usah malu-malu..", ucap dahlia mempersilahkan sembari ia duluan yang meminum.

"Iya makasih tante..."
"jadi ngerepotin 'kan, nih", tersenyum rina sebelum meminum teh hangatnya.

"Gak kok, gak ngerepotin"
"masa sama rina ngerepotin sih", balas dahlia.

"Iya nih, masa ngerepotin..."
"ckck...", timpal pak usman sembari tangannya merangkul pundak dahlia yang terbentang bebas.

Rina tambah bingung memperhatikan apa yang sedang bapaknya lakukan. Sang bapak dengan polos merangkul pundak tante dahlia bak suami-istri. Dilihatnya tante dahlia menggoyangkan pundak, seakan memberi isyarat tak mau. Alhasil kedua mata rina memelototi sang bapak. Namun, lagi-lagi bapaknya tak menurut. Malahan, sembari merangkul, bapaknya tetap mengajak bicara. Ingin sekali rina menegur keras. Namun, kenyataannya sekarang ialah Tante dahlia sendiri tampak sudah menyerah dan merelakan begitu saja pundaknya disentuh. Padahal menurut rina, sang bapak bukanlah suami tante dahlia. Tak sepantasnya ia melakukan itu. Alhasil, timbul dalam benak rina sangkaan bahwasanya sang bapak dan tante dahlia telah berselingkuh. Apalagi ia tadi melihat bapaknya memeluk dan mencium pipi tante dahlia.

"Rina, tolong beliin bapak rokok dong..."

"Eh?"
"Iya pak", angguk rina dengan latah saat sang bapak memberinya sejumlah uang.

"Eh iya rina..."
"sekalian nih, tante boleh minta tolong gak?", tanya dahlia kepada rina yang hendak bergegas ke warung terdekat.

"Untuk tante dahlia, apa sih yang enggak", jawab rina tersenyum menimpali.

"Ini daftar belanjaannya. Tolong kamu beliin yaa...".
"Ini uangnya juga...", ucap dahlia seraya menyodorkan.

Sebelum berangkat untuk membeli, rina terheran-heran dengan daftar belanjaan yang diserahkan oleh tante dahlia, cukup banyak, kebanyakan barang kebutuhan pokok. Dalam hati rina, ia mulai curiga bahwa sebenarnya ia bukan disuruh membeli, tetap disuruh pergi. Rina yang sadar berjanji pada dirinya sendiri akan menyelidiki tentang hal ini. Tak berkomentar lagi, rina lantas pergi meninggalkan sang bapak dan tante dahlia berduaan. Sesaat setelah rina meninggalkan rumah kawannya yang sedang terbaring di rumah sakit, terjadi.....

"ohhh massss"
"pelen-pelen hssss....", desah dahlia karena kedua tangan pak usman sedang menggerayangi buah dadanya.

"Ohhhh sayang..."
"kamu juga sih, jutekkin mas usman mulu.."
"mas 'kan jadi gemes sama kamu....", ucap pak usman dengan penuh birahi.

"Hhhss kalo gak gitu hubungan kita bisa ketahuan, mas"....

"Hmmmm..."
"Buat apa kita tutupi lagi sayang..."
"Lagipula skenario kita udah berjalan...", makin liar pak usman menggerayangi dan mencumbu dahlia.

"Hhhhsssss....."
"aku kasian sama mas suhardi, mas", dahlia tak tahan dengan jamahan pak usman, ia mencoba menarik kuat kedua tangan lelaki itu. Namun, sia-sia.

Tak berdaya dahlia saat birahi pak usman perlahan naik. Ucapan dahlia yang seakan menolak barusan hanya membuat pak usman tambah beringas saja. Alhasil, pak usman dengan sekuat tenaganya memcoba merobek tanktop milik dahlia. "Sssreeeeekkkkk", nampak jelaslah payudara dahlia yang tidak tertutupi bra. Tentu perlakuan pak usman tadi membuat dahlia secara spontan menutupi kedua putingnya dengan tangan. Namun, tak hanya sampai disitu, dengan licik pak usman memeloroti celana pendek dahlia hingga terlepas. Maka, terpampang jelas rambut kemaluan wanita itu dihadapan wajah pak usman. Di sisi lain Dahlia yang tahu bahwa dirinya sudah ditelanjangi, tidak tinggal diam. Ia mencoba berlari ke kamarnya. Sementara pak usman hanya tersenyum saat melihat dahlia masuk ke kamar. Sembari menelanjangi dirinya sendiri, pak usman berkata.

"Suhardi, izinkan aku menikmati istrimu malam ini...."
"Tenang saja suhardi, dahliamu akan kuberi kepuasan seperti dulu.... hehe", tersenyum menang pak usman.
 
Tap tap tap NTAP ! Seneng kalo ada anal scene nya, apalagi ditambah ilustasinya makin keren
 
wanjreeeng!!!! yuda mau dibikinin adek lagi ternyata. :mantap:
apdetnya bikin merinding
 
Status
Please reply by conversation.

Similar threads

Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd