Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Reality ACT II

Bimabet
Kemungkinan muncul. Kalo gitu nungguin michelle nya muncul deh hu wkwkw
 
Part 16: Coming Home




Takkan selamanya
Tanganku mendekapmu~
Takkan selamanya
Raga ini menjagamu~

Seperti alunan detak jantungku
Tak bertahan melawan waktu~
Dan semua keindahan yang memudar
Atau cinta yang tlah hilang~


Oh, hey. Apa kabar?
Apa yang sedang kulakukan saat ini?
Yang sedang kulakukan saat ini adalah,...
Menunggu Shani dan Gracia untuk pulang ke rumah. Mereka hari ini ada jadwal teater, tapi sudah selesai kok, maka dari itu aku sekarang menunggu mereka. Tadi aku juga menonton mereka perform.
Ya, kurasa aku sudah bisa menentukan perasaanku pada Gracia seperti apa. Atau aku hanya tidak kuat saja menahan rasa rindu saat jauh dari dirinya. Atau... malah karena aku lebih merindukan Shani(?) Entahlah.
Yang jelas sekarang aku sudah berada di parkiran, di dalam mobilku, mendengarkan radio sambil menunggu mereka. Tenang, mereka pasti kemari. Mereka menyadari kalau tadi aku datang dan menonton perform mereka kok. Dan juga pada saat sesi hi-touch aku juga membisikkan pada mereka kalau aku akan menunggu mereka di sini. Jadi pasti mereka datang.
Bagaimana aku bisa membawa mobilku?
Ya, aku pulang ke rumah dulu dong untuk mengambilnya.

Bagaimana ceritanya?
Memang penting?
Ya sudah kalau kalian memaksa, tapi kalian pasti akan menyesal nanti.

Jadi, diawali saat pagi harinya,...
.
.
.
.
.
.
.
"Kenapa gue harus ikut sih?" keluhku.

"Udah, gak usah banyak protes! Lo mau sarapan kan" balas Rafli.

"Iya, deh. Iya" jawabku pasrah.

"Yah, percuma gue bawa lo. Sepi ternyata" kata Rafli tiba-tiba.

"Lah, apa urusannya?" tanyaku.

"Kalo rame, siapa tau kan bisa dilayani duluan karna ada lo. Cewek-cewek abg aja klepek-klepek sama lo. Apalagi ini cuma emak-emak" terang Rafli. "Siapa tau juga bisa dapet tambahan lauk"

Enak aja, si kampret! Gue mau dijadiin tumbal gitu ceritanya?, batinku.

"Emang... ini enak, Raf?" tanyaku tidak yakin saat melihat tulisan di kaca rombong makanan tersebut.

"Enak kok, lo coba aja sendiri nanti. Lagian kenapa lo nanya gitu sih?" tanya Rafli balik.

"Ya, habisnya... Nasi uduk campur pecel itu... gimana rasanya?" tanyaku lagi.

"Wei, si kampret! Jangan digabung bacanya. Itu maksudnya, jual nasi uduk, nasi campur, sama nasi pecel" jawab Rafli. "Lo pagi-pagi jangan ngajak ribut deh"

"Dek, boleh saya duluan aja enggak?" tanya seorang ibu-ibu meminta untuk dia dilayani terlebih dahulu.

"Eee..." aku dan Rafli kebingungan harus menjawab apa.

"Saya dulu ya. Kasihan tuh, anak saya si Budi mau sekolah" pinta si ibu-ibu.

"Bukannya sekarang ini hari minggu ya, Raf" bisikku pada Rafli.

"Emang. Dan seinget gue, dia gak punya anak" balas Rafli yang juga berbisik.

"Ya, dek ya. Boleh ya" pinta si ibu-ibu lagi.

"Y-Ya udah deh, bu. Gapapa" kataku akhirnya.

Malas saja kalau pagi-pagi harus berdebat dengan ibu-ibu.

"Makasih ya. Saya pesennya gak banyak kok" balas ibu itu. "Nasi uduk 200 bungkus ya, bu" katanya lagi pada ibu-ibu penjual nasi mulai memesan.

Pesen katering aja, bu!!
Buset, 200 bungkus gak banyak katanya, batinku.

"Eh..." ibu-ibu penjual nasi juga tampak kaget sekaligus bingung.

"Bungkusnya aja" tambah si ibu-ibu.

Ngapain anjir. 200 bungkus, bungkusnya doang lagi. Itu buat apa?

"Enggak, enggak, bercanda saya. 2 bungkus ya" kata si ibu meralat pesanannya. "Gak pake... telor... gak pake... bawang goreng... Sama gak pake....."

Gak pake bayar aja sekalian, bu.
Banyak banget requestnya, batinku.

"Eh, dek baru pindahan kesini ya?" tanya si ibu-ibu tadi padaku.

"Ah, enggak, bu. Saya gak tinggal di sini, saya Cuma lagi main ke rumah temen saya. Semalem nginep" jawabku.

"Oh, pantesan... baru liat saya" kata si ibu menanggapi. "Kalo yang satu ini, juga sama? Nginep di rumah temennya juga?" tanyanya pada Rafli.

"B-Bukan, bu. S-Saya temennya dia. Dia nginep di rumah saya. Saya tinggal disini" jawab Rafli menjelaskan.

"Baru pindah?" tanya si ibu lagi.

"E-Enggak. Saya udah tinggal di sini udah lama. Udah hampir 4 tahun" jawab Rafli lagi.

"Oh ya, saya kok baru liat" kata si ibu tidak percaya. "Ya, bu ya" tanyanya mengkonfirmasi pada si ibu penjual nasi.

"Iya, saya juga baru liat. Emang namanya siapa, dek?" tanya si ibu penjual pada Rafli.

"Nama saya Rafli" jawab Rafli dengan ekspresi seperti orang bingung.

"Rafli?" si ibu tampak kebingungan. "Rumahnya yang di sebelah mana, dek?" tanya si ibu lagi.

"Di..."

"Anaknya pak Rahman" potongku. "Yang orangnya..."

"Sialan lo, Dri" balas Rafli berbisik memotong perkataanku yang baru ingin menyebutkan ciri-ciri ayahnya. "Kayak anak SMP aja lo ngeledekin pake nama orangtua"

"Lah, siapa yang ngeledek?" tanyaku tidak mengerti.

"Oalah... Anaknya pak Rahman toh" kata si ibu penjual.

"Eh?! K-Kok kayaknya lebih terkenal bokap gue ya, Dri?" tanya Rafli berbisik.

"Bokap lo duda sih" balasku sambil menahan tawa.

"Pantes ganteng kayak bapaknya" kata si ibu yang pesanannya sudah selesai dibuatkan. "Eh, gimana kabar bapak? Baik?" tanyanya kemudian.

"B-Baik" jawab Rafli gugup.

"Tuh, kan" celetukku masih dengan menahan tawa.

"Pesen apa? Berapa bungkus?" tanya si ibu penjual nasi pada kami.

"N-Nasi uduk dua bungkus, bu"

"Tiga" ralatku. "Gue gak lo beliin?" tanyaku.

"Lah, ini kan kita beli dua buat lo ama gue" jawab Rafli. "Lo mau makan dua bungkus? Serakah banget lo!"

"Lah, bokap lo gimana?" tanyaku lagi.

"Oh iya ya"

"Jadi tiga bungkus ya?" tanya si ibu penjual nasi.

"Iya, bu" jawabku cepat.

"Tenang. Lauknya saya kasih yang enak-enak kok. Saya tambahin malah" kata si ibu penjual nasi sambil membuatkan pesanan kami.

"Cie.. yang mau punya nyokap baru" ledekku.

Rafli langsung menyikutku pelan.

"Sering-sering aja beli sarapan disini, nak. Nanti ibu kasih diskon deh" kata si ibu penjual nasi lagi saat pesanan kami sudah selesai. "Salam buat bapak ya, nak" tambahnya.

"Pffftt..."

"Diem lo, Dri"
.
.
.
.
.
"Kalian darimana?" ayah Rafli langsung menyambut kami dengan pertanyaan begitu kami baru sampai di rumahnya.

"Oh, ini om. Tadi diajakin Rafli beli sarapan" jawabku. "Rafli juga beliin buat om lho" tambahku.

"R-Raf..?" ayah Rafli seperti tidak percaya dengan apa yang baru didengarnya. Bahkan matanya sampai terlihat berkaca-kaca karenanya, mungkin terharu.

"Udah, aku mau ngambil piring sama sendok dulu. Tunggu aja di meja makan" kata Rafli masih berusaha bersikap dingin.

"I-Iya" balas ayah Rafli lalu menarik salah satu kursi dan duduk.

"Oh iya, om. Tadi dapet salam dari-"

"Diem!!" potong Rafli.

"Hehehe.."
.
.
.
Saat tengah makan aku menyenggol Rafli pelan sebagai kode. Tapi Rafli malah membalasnya dengan memasang ekspresi bingung di wajahnya.

"Ngomong!" aku menggerakkan bibirku tanpa bersuara.

"Gue harus ngomong apa?" tanyanya balik yang juga melakukan hal yang sama.

Huft~
Aku sedikit menghela nafas.

"Om.." aku mulai bersuara.

"Ya?" balas ayah Rafli.

"Kalo akhir pekan gini,... toko rame, om?" tanyaku basa-basi.

"Yah,... lumayan. Tapi biasanya itu tergantung orderan juga" jawabnya menerangkan.

"Ooo... Kira-kira perlu bantuan tenaga enggak ya, om?" tanyaku lagi.

"Kenapa? Adrian mau bantu?" tanyanya balik.

"Oh, bukan, om" balasku sambil menggerakkan tanganku. "Kemaren Rafli curhat, katanya bosen kalo liburan di rumah terus" tambahku mulai mengarah. "Ya... Siapa tau kan,....."

"Eh.. Raf. K-Kamu mau bantu papa di toko?" tanya ayah Rafli memastikan

Informasi sedikit, ayah Rafli ini memiliki bisnis toko kue yang sekaligus ada cafe kecilnya juga. Toko kuenya itu menjual beraneka macam kue, contohnya ya donat semalam.

"Kalo ngerasa aku bakal ngehambat doang nantinya. Ya udah, gak usah" balas Rafli. "Gapapa juga kok, gak maksa"

"Gak. Papa yakin kamu bakal banyak bantu nanti disana. Habis ini kita langsung berangkat ya" kata ayah Rafli cepat.

"Hmm.." balas Rafli singkat.

Aku langsung menyenggol Rafli lagi dan begitu dia menengok ke arahku, aku langsung mengacungkan jempol padanya.

"Oh iya, kapan-kapan... Kenalin ke papa ya cewek yang sering kamu ajak nginep itu" kata ayah Rafli tiba-tiba.

Rafli langsung tersedak karenanya.

Yaaahh... tahu juga tenyata.
.
.
.
.
.
.
.
"Oi, kampret!! Anterin gue pulang dulu" kataku pada Rafli yang sedang sibuk mengelap salah satu meja di toko ayahnya. "Kenapa gue jadi harus ikutan ngelap meja juga?" tanyaku kemudian.

"Udah, gak usah banyak protes" balas Rafli. "Bantuin dulu ini, nanti baru gue-"

"Anterin?"

"Pesenin Ojol" sambungnya.

Kampret!
Ya udah lah. Turuti saja, aku juga tidak bisa memesan ojek online sendiri. Aku kan tidak membawa HP.
.
.
.
.
.
"Weeh?! Udah jam segini?" kataku saat melihat ke arah jam dinding.

"Itu jamnya kelebihan kok. Tenang aja" balas Rafli santai.

"Emang iya? Kelebihan berapa menit?" tanyaku.

"12 jam"

Aku langsung terdiam mendengar jawaban Rafli.

Gak dilebihi 24 jam aja sekalian, batinku.

"Bodo lah, Raf. Ya udah lah, gue ke depan aja" balasku. "Udah lo pesenin Gojek kan"

Rafli hanya mengangguk menanggapinya.

"Oh, bentar. Kalo lo ke depan, Gojek-nya gue telfon dulu. Gue kasih tau kalo nunggunya di depan, biar langsung" kata Rafli. "Sekalian gue kasih tau ciri-ciri lo, lo pake baju apa gitu. Suka nanyain soalnya"

"Hah? Kenapa dia nanya-nanya gitu?" tanyaku bingung. "Fashion gue ya fashion gue lah. Apa hak dia menilai gue dari baju?"

"Biar gak salah orang, kampret!!" balas Rafli.

"Ooo...."

"Ya udah, sono!" usir Rafli.

"Anjir, diusir gue"

Tapi,... Kenapa firasatku tidak enak ya?

Ah, kampret! Dia lagi, batinku saat sudah berada di depan dan ada satu Gojek yang datang.

Ini gak ada driver Gojek yang lain apa?

(Yang lebih mahal, banyak)

Anjir! Pake disahutin lagi sama penulisnya.

"Woi, mas" sapa si abang Gojek sok asyik.

Tanpa menjawab sapaannya dan tanpa berucap apa-apa, aku langsung menaiki motornya.

"Lho? Kok?" si abang Gojek kebingungan.

"Udah, anterin saya pulang sekarang" kataku.

"Saya udah ada orderan" balas si abang Gojek.

"Iya, itu saya" balasku.

"Tapi, mas..." lalu si abang Gojek melihat layar HP-nya seperti ingin memastikan sesuatu. "Situ salah kayaknya, mas"

"Gak mungkin. Orang gak ada driver Gojek lain kok disekitar sini" balasku. "Yang order namanya Rafli kan"

"Emang iya? Seinget saya Raffi" balasnya.

"Coba liat lagi" balasku.

Si abang Gojek langsung kembali melihat ke layar HP-nya.

"Iya!! Bener! Rafli" kata si abang Gojek akhirnya. "Eh, tapi situ kok tau? Situ Sakti?"

Gak gitu Bambang!!, batinku.

Nama dia bukan Bambang juga sih sebenernya.

"Rafli itu-"

"Eh, tapi tetep aja. Situ kan bukan Rafli" potongnya.

"Rafli itu nama temen saya. Dia pesenin Gojek buat saya lewat HP-nya dia" kataku lagi.

"Oalah... Temennya toh. Ngobrol dong" balasnya lalu cengengesan.

"Daritadi kan udah saya... Ya udah lah, cepetan berangkat sekarang!"

"Kemana ini kita, mas Ardian?" tanyanya lagi.

"Anterin saya pulang!!"

Perasaan tadi gue udah bilang deh.
Itu juga tadi apa? Nginget nama aja gak bisa, batinku.

Harus diberi catatan sepertinya agar bisa mengingat nama. Jadinya nanti nama catatannya adalah, catatan si BOY. Eh, jadi kayak...
Iya, memang si BOY yang muncul lagi. Nyesel kan jadinya. Udah dibilangin juga diawal tadi.

"Siap!" balasnya yang langsung mulai menjalankan motor.

"Helm!!"
.
.
.
.
.
.
.


Ooooo... Biarkan...
Aku bernafas sejenak
Sebelum hilang~

Takkan selamanya
Tanganku mendekapmu~
Takkan selamanya
Raga ini menjagamu~

Jiwa yang lama segera pergi
Bersiaplah para pengganti~


Ya, begitulah kira-kira tadi ceritanya. Setelah itu, aku diantar pulang, sampai rumah, masuk rumah ambil kunci mobil, ke theater naik mobil, nonton teater. Dan terakhirnya,... ini. Seperti yang sudah kalian baca.
Aku ada di parkiran menunggu Shani dan Gracia pulang.
Kenapa?
Bagaimana aku bisa membawa mobilku? Lah, ngulang dong. Muter-muter aja. Hehehe.
Mandi?
Ya udah lah, di rumah Rafli.

Oh iya, saat aku pulang ke rumah tadi, saat masuk ke dalam rumah, aku mendapati rumahku dalam keadaan sedikit 'berantakan' karena ada banyak balon disana. Seperti baru saja diadakan pesta untuk anak SD.
Apa mungkin itu,...

BLAM!
BLAM!

Dua orang gadis yang sedari tadi aku tunggu akhirnya datang juga. Dan sekarang mereka berdua sudah masuk ke dalam mobilku. Tapi,... mereka hanya diam tanpa mengatakan apapun.

"Shan,... Gre,... Aku juga kangen kalian kok" kataku membalas apa yang (mungkin) ada di dalam pikiran mereka.

Mereka masih hanya diam tanpa mengatakan apapun.

"K-Kalian jangan dua-duanya duduk di belakang dong, aku kan bukan supir" kataku lagi ditambah dengan ekspresi memelas saat melihat Shani dan Gracia duduk dikursi belakang dengan wajah sama-sama ditekuk cemberut.

BLAM!

"Eh?!" aku kaget saat ternyata ada seseorang lagi yang masuk ke mobilku dan duduk di kursi depan di sebelahku.

"Kak Adrian apa kabar?" sapanya.

"Baik" jawabku cepat. "Eh?! S-Sisca? Kok? Mau ikut nebeng? Minta dianterin?" tanyaku kemudian.

IMG-20181016-214345.jpg


Ya, Sisca. Fransisca Saraswati Puspa Dewi. Member JKT48 juga, team K3, yang ikut tergabung juga di dalam sub unit JKT Acoustic.

"Iya kak, anterin ke gereja ya" jawab Sisca kemudian. " Sama Gracia juga kok . Boleh kan"

"I-Iya, boleh" jawabku. "Jadi ini kita langsung ke gereja. Iya, Gre?" tanyaku memastikan sambil tetap berusaha agar membuat salah satu dari kedua gadis yang sedang cemberut di belakang sedikit berbicara.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Gracia malah membuang muka dan mendengus seperti sedang kesal.
Karena reaksi Gracia yang seperti itu, akhirnya aku beralih pada Shani dan mencoba untuk mengajaknya berbicara.

"Gapapa kan, nganterin mereka dulu, Shan"

Tapi apa yang terjadi. Sama seperti Gracia, Shani juga tidak menjawabku. Dia hanya melirikku sebentar sebelum kemudian kembali berkutat dengan HP-nya.

Fix. Mereka berdua ngambek.

"Ya udah, Sis. Tunjukkin jalannya ya nanti" pintaku pada Sisca.
.
.
.
42855838-998515837022073-2855086150035439616-o.jpg


Karena di sepanjang perjalanan Shani dan Gracia tidak bersuara, aku berinisiatif untuk mengajak Sisca mengobrol.
Tapi apa yang terjadi adalah,...

"Kak" panggil Sisca.

"Ya?"

Ternyata malah Sisca yang mengajakku mengobrol terlebih dahulu.

"Selamat ulang tahun ya" kata Sisca. "Walaupun udah telat sehari sih"

"SISCA!!" teriak Shani dan Gracia bersamaan.

"Kenapa?" tanya Sisca bingung. "Bener kan. Kan kak Adrian kemaren ulang tahun. Emang aku salah?"

"Tapi kan aku mau ngucapin duluan!!" kata Shani dan Gracia yang bersamaan lagi. Tapi setelah itu mereka seperti sama-sama tersadar kalau seharusnya mereka masih harus 'ngambek' padaku.

"Kalo emang mau ngucapin, kenapa daritadi diem aja?" tanyaku menyindir.

"Lagian kak Adrian juga sih, kenapa kemaren malah ilang?" tanya Sisca. "Padahal kan udah disipain pesta kejutan buat kakak"

Eh, sampai dibuat pesta kejutan juga?
Oh jadi itu alasannya kenapa tadi di rumahku ada beberapa balon.
Tapi,... sepertinya terlalu berlebihan deh. Kenapa harus dirayakan juga? Kan itu artinya jatah umurku berkurang.

"Makanya, kalo mau bikin kejutan itu... Pastiin dulu, orang yang mau dikasih kejutannya itu tau apa enggak soal kejutan itu" sindirku lagi.

"Eh?!" Gracia kaget.

"Dasar tukang nguping!" balas Shani yang berbalik menyindirku.

Padahal sih sebenarnya kan aku sendiri tidak tahu soal pesta kejutan itu. Yang aku tahu hanya mereka menyiapkan sesuatu di hari ulang tahunku. Itu saja. Dan sebenarnya aku juga tidak bermaksud untuk menghindar, itu kan hanya kebetulan saja. Tapi tunggu,...

"Sisca kok tau kalo mereka nyiapin pesta kejutan?" tanyaku akhirnya.

"Ya tau lah kak. Kan hampir semua member dateng ke rumahnya kakak kemaren buat ngerayain" jawab Sisca.

"HEH?!!"

Tunggu, itu artinya sekarang semua member tahu dimana aku tinggal dong.

"Iya kak, K3 dateng semua, team J juga dateng semua, cuma team T aja yang gak dateng semua, cuma beberapa yang dateng" terang Sisca.

Tunggu, K3 datang semua? Termasuk si nenek lampir itu?

"Ex-member juga ada yang dateng lho" tambah Sisca kemudian.

"Oh ya? Siapa siapa?" tanyaku penasaran.

"Kebanyakan sih dari gen 3, kayak ci Ilen, ci Sofia, Nadse, Cesen juga. Eh iya, Milen juga dateng lho" jawab Sisca.

Kampret! Sekarang gue nyesel gak pulang dari kemaren aja.

"Mantan oshinya kakak juga dateng lho" kata Sisca lagi.

"Heh? Yang bener?" tanyaku.

"Iya, kak Melody" jawab Sisca. "Ya karna GM sih, masa banyak member yang dateng. GM-nya gak dateng"

"Kak-"

"Kak Veranda gak dateng" Shani dan Gracia kompak memotong pertanyaanku.

"Yaaahh..." aku sedikit kecewa. Meskipun jika datang percuma juga, aku kan tidak ada di rumah kemarin.

"Tapi kok-"

"Shania yang ngerencanain" sahut Shani seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.

"Nyesel kan, kemaren pake ilang-ilangan sih" tambah Sisca kemudian tertawa. "Padahal kemaren JKT Acoustic mau nyanyiin lagu buat kakak lho"

"Ooo... Eh iya, gimana JKT Acoustic? Makin sibuk ya diundang Off Air?" tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan sebelum aku semakin menyesal.

"Iya, makin sibuk. Tapi sekarang sih sibuknya soalnya bakal ada event khusus, kak" balas Sisca. "Kan bentar lagi satu tahun terbentuknya JKT Acoustic, nah manajemen mau buatin kita berempat event khusus gitu"

"Oh, bagus dong" tanggapku.

"Iya, tapi kita berempat bingung. Masa satu tahun, tapi gak ngasih sesuatu yang special gitu" kata Sisca. "Kakak ada saran?"

"Apa ya? Gue juga bingung"

"Kita berempat sih udah punya ide, rencananya mau bikin lagu. Single gitu" kata Sisca lagi. "Kayak original song dari kita berempat, JKT Acoustic. Tapi takut..."

"Lho justru bagus dong. Kenapa takut?" tanyaku.

"Ya takut lah, kak. Takut gak diijinin nanti sama manajemen. Masa JKT-nya sendiri gak punya original song, tapi-"

"Pasti diijinin" potongku. "Lagian itu malah bagus, bisa buat sindiran juga buat JOT. Masa JKT-nya gak punya single ori tapi sub unit-nya udah punya" tambahku. "Gampang, nanti gue bantu ngomong ke manajemen"

Sok banget ya. Seakan gue ini siapa.

"Makasih ya, kak" balas Sisca kemudian tersenyum.

"Iya. Ini berikutnya ke arah mana? Lurus? Belok kanan? Belok kiri?" tanyaku.

"Lurus" jawab Sisca cepat.

"Seru banget kayaknya ngobrol sama Sisca" sindir Shani.

"He'em" Gracia mangut-manggut menanggapi.

"Makanya kalian berdua jangan diem aja" balasku sambil melirik ke kaca spion melihat mereka berdua yang ternyata juga sedang melihat ke kaca spion, jadi pandangan kami bertiga bertemu.

Tapi bukannya menjawabku, mereka berdua malah memalingkan wajah ke jendela di samping mereka masing-masing, melihat ke arah jalanan.

"Eh Sisca tau gak. Waktu itu, pernah ada orang yang bilang ke gue kalo dia itu gak bisa marah sama gue" kataku menyindir. "Tapi,... sekarang orangnya malah..."

"Kak Ads~~"

"Adrian~"

42833659-998515800355410-8786069311568478208-o.jpg

.
.
.
"Udah sampe. Perlu ditungguin?" tanyaku pada Sisca saat dirinya turun dari mobil.

Ya, hanya pada Sisca. Karena Gracia mungkin masih sok ngambek dan tidak akan menjawabku.

"Terserah" jawab Gracia judes.

"Gue nanya ke Sisca kok, wlee...." ledekku.

"Anterin aku pulang dulu!" kata Shani sambil langsung berpindah ke kursi depan tanpa turun dari mobil terlebih dahulu. Jadinya dia...

"Aku tinggal beberapa hari, sekarang kok banyak tingkahnya gini sih, Shan?" tanyaku.

"Cepet! Anterin!!"

"Iya. Iya, bu. Iya"
.
.
.
.
.
"Utututututu. Lucu banget sih" pujiku sambil tetap melanjutkan mengelus bagian yang membuatnya nyaman.

Sambil menunggu mereka berdua selesai, memang paling enak sepertinya melakukan hal ini.

"Malah mainan kucing!" ledek sebuah suara seorang gadis yang aku tahu kalau itu pasti adalah,...

"Biarin lah, Gre. Daripada mainin kamu" sahut gadis yang ada di sebelahnya sambil sedikit tertawa.

"Eh, t-tapi, Sis-"

"Yang penting gue beneran nungguin lo ibadah sampe selesai kan. Bukan malah pergi beli crepes" potongku menyindir.

"Aahhh... kak Ads~" rajuk gadis yang merasa tersindir.

Ya, memang Gracia dan Sisca lah dua gadis yang sedang kutunggu barusan. Bukannya sudah jelas ya.
Dan yang tadi kuelus-elus adalah,... kucing. Ya, udah disebut juga sih. Kucing liar.
Kenapa aku tahu kalau kucing ini kucing liar? Ya, karena kucing ini tidak memakai kalung nama.
Tapi kucing ini lucu lho, tidak seperti kucing liar kebanyakan yang mirip preman karena memiliki codet atau matanya yang teruka karena berlatih dengan Taka no Me Mihawk. Atau memang di dunia kucing, memang kucing-kucing seperti itulah premannya.
Tapi tunggu, mana kucing tadi?
Eh, sejak kapan dia ada di,...

"Akkhh... Lucu banget sih~" puji Sisca dengan mata yang berbinar.

"Iiihhhh.... kak Ads~ Gemes~~" tambah Gracia yang juga berbinar matanya.

"Apanya nih?" tanyaku tidak terima.

"Ya, itu. Kakak jadi makin gemesin kalo kepalanya ada kucingnya" balas Gracia sambil menunjuk-nunjuk diriku.

Kurang ajar banget nih kucing. Udah main naik-naik ke atas kepala orang aja, kaki depannya dia gunakan untuk memukul-mukul pelan kepalaku lagi.
Tapi tunggu, ada yang lebih penting dari itu sepertinya.

"Jadi lo udah gak ngambek lagi nih?" tanyaku.

"Eh?! Masih! Aku masih ngambek!!" balas Gracia tegas lalu melipat tangannya di depan dadanya.

"Yakin?" tanyaku sambil menurunkan kucing tadi dari kepalaku lalu membuka mobilku dan mengambil sesuatu yang kemudian kuberikan pada Gracia.

"Eh,.. Ini?" tanya Gracia berusaha memastikan sambil menerima apa yang sedang kuberikan padanya.

"Dijaga baik-baik ya, mahal lho itu" kataku. "Aku nyoba berkali-kali soalnya" tambahku.

"Yang baru ulang tahun siapa, yang dapet hadiah siapa" sindir Sisca.

"Makasih ya, kak" kata Gracia dengan air mata yang mulai menetes dari sudut matanya.

"Eh, kok malah nangis? Gak suka?" tanyaku.

"Iihhh... Aku terharu tau kak" jawab Gracia yang kemudian tersenyum.

Aku jadi ikut tersenyum karenanya.

"Hei, halooo... Bisa anterin aku pulang dulu gak baru lanjut pacarannya" kata Sisca.
.
.
.
.
.
.
.
Biasanya aku tidak suka dengan orang yang tidak nyambung kalau sedang diajak bicara. Ditanya apa, jawabnya apa. Tapi entah kenapa kalau itu dilakukan dengan Gracia, malah terasa menyenangkan. Contohnya seperti,....
Ah, kebetulan Gracia sedang menatapku. Baiklah, aku mulai.

"Apa?" tanyaku.

"Apa?" jawabnya.

Tuh Kan, ditanya apa, jawabnya apa.

IMG-20180818-221108.jpg


"Ini lo mau nginep di rumah jadi kan" tanyaku memastikan.

"E-Eh, jadian?" tanya Gracia balik. "K-Kalo mau nembak, yang agak romantisan dong, kak" pintanya kemudian.

"Kok jadian, sih. Lo mau nginep di rumah gue jadi kan" tanyaku lagi.

"Eh? I-Iya. J-Jadi" balas Gracia gugup.

"Ya udah" balasku.

Setelah mengantar Sisca pulang ke kost-an nya, dan memastikan kalau Gracia jadi menginap dirumahku, aku langsung menjalankan mobil ke arah jalan pulang menuju rumahku.
Di sepanjang perjalanan, Gracia hanya tersenyum-senyum sendiri sambil memeluk hadiah yang tadi kuberikan padanya. Sebenarnya hadiahnya sederhana, hanya sebuah boneka, tapi cara untuk mendapatkan itu yang cukup susah.

Kalian mau tau bagaimana?
Baiklah, akan aku ceritakan sedikit.
Jadi,...
.
.
.
.
.
Setelah mengantar Shani pulang dan berhasil membujuknya agar tidak lagi 'ngambek' padaku, aku langsung kembali menjalankan mobilku menuju gereja tempat Gracia dan Sisca beribadah tadi. Hitung-hitung gantian, waktu itu Gracia pernah 'menunggu' diriku saat aku sedang beribadah bukan. Nah, sekarang gantian aku yang akan menunggunya.
Tapi di perjalanan, aku jadi kepikiran bagaimana cara untuk membujuk Gracia agar tidak ngambek lagi. Kalau Shani,... dia sepertinya hanya pura-pura saja sih ngambeknya. Karena mudah sekali untuk membujuknya tadi, bahkan aku tidak hanya sekedar berhasil membujuknya, aku dan dia tadi juga sudah berhasil... Aahhh... Hahaha. Kami berhasil... hehehe. Penasaran ya?
Yah, pokoknya kami berhasil melakukan sesuatu yang biasanya gagal untuk kami lakukan karena gangguan 'Cek Cek Ehem' dari Gracia. Aku dan Shani berhasil... Yah, kalian tahu lah. Kalian kira-kira saja sendiri. Menyenangkan sekali rasanya meskipun hanya,... Hehehe.

Oh iya, kembali ke bagaimana cara agar Gracia tidak ngambek lagi.
Di sepanjang perjalanan, aku dipusingkan oleh hal tersebut. Sampai akhirnya aku teringat dengan momen-momen kebersamaanku dengan Gracia, sifatnya yang ceria dan selalu tersenyum, tingkahnya yang lucu sekaligus menyebalkan di saat yang bersamaan, tubuhnya yang sangat nyaman untuk dipeluk, kehangatan bibirnya saat- Eh, ini sepertinya agak melenceng ya.
Sampai akhirnya aku mengingat kembali momen dimana saat kami menghabiskan waktu berdua, saat kami jalan-jalan. Saat kami bermain di Zona Waktu, dimana aku tidak pernah mau mengalah padanya saat memaikan berbagai macam permainan, saat... Ah, itu dia!
Langsung kupacu mobilku menuju sebuah mall dimana saat itu aku dan Gracia menghabiskan waktu disana.
.
.
.
.
.
Oke, aku kembali lagi ke Zona Waktu.
Aku menggoyang-goyangkan telapak tanganku guna merilekskan pergelangan tangan dan jari-jemariku. Setelah itu aku menekan jariku satu persatu sampai berbunyi, kalau yang ini biar kelihatan keren aja. Gak ada maksud tertentu juga.
Kutatap sebuah benda berbentuk kotak kaca besar di hadapanku yang di dalamnya berisi banyak sekali boneka, dan uang koin tentu saja di bagian bawahnya, tapi tidak kelihatan. Kutatap mesin itu dengan penuh kepercayaan diri yang sangat tinggi.
Baiklah, kita mulai!

"Ma! Ma! Ma! Main ini ya!" kata seorang gadis kecil yang sedang menarik-narik lengan ibunya sambil menunjuk-nunjuk mesin tadi.

"Iya, nak. Iya" jawab si ibu mengijinkan anak perempuannya untuk bermain.

Eh, antri dulu ya.

Aku memperhatikan gadis kecil itu bermain dan,...

"Yaaahhh... Gagal.... " gadis kecil itu tampak kecewa. "Sekali lagi ya, ma. Boleh, kan " pintanya memelas.

"Iya, boleh" jawab si ibu lagi.

Bakal lama nih kayaknya.

Beberapa menit kemudian...

Gadis kecil tadi masih bermain. Dan aku... tentunya tidak mau hanya diam dan menunggu sambil memperhatikan saja. Aku berusaha menghilangkan rasa bosanku dengan bermain yang lain, seperti memainkan permainan melempar bola ke keranjang. Anggap saja permainan lempar bola, karena tidak bisa disebut permainan basket meskipun bolanya terlihat seperti bola basket tapi permainan ini intinya hanya melempar-lempar bola saja. Dan permainan ini adalah,... permainan yang... tidak terlalu menyenangkan menurutku.
Kenapa? Bukan. Bukan karena aku tidak bisa memainkannya, justru sebaliknya, setiap lemparanku selalu masuk ke dalam keranjang. Dan itu rasanya tidak menantang sama sekali bagiku. Ini bukannya aku sedang menyombongkan diri ya, tapi memang kenyataannya seperti itu. Mau bagaimana lagi?
Bukannya menghilangkan bosan, aku malah semakin bosan karena permainan ini.
Dan karena bosan, akhirnya aku kembali menunggu si gadis kecil tadi

"Udah, nak. Ayo pulang" ajak si ibu pada anaknya. "Mas-nya itu juga udah nungguin kamu selesai lho daritadi. Mau main juga" tambahnya sambil menunjuk ke arahku.

Aku hanya cengengesan dibuatnya.

"Gapap-"

Perkataanku terpotong oleh pelototan si ibu yang sepertinya sudah lelah dan ingin segera pulang ke rumah. Aku yang awalnya berniat tetap membiarkan si anak tetap bermain akhirnya mengurungkan niatku tersebut.

"Iya, dek. Gantian ya" pintaku pada si gadis kecil.

Aku awalnya takut gadis kecil ini akan menangis karena aku kesannya seperti merebut kesenangannya. Bisa-bisa dipelototi lagi oleh si ibu kalau aku membuat putrinya menangis. Jadi serba salah. Tapi ketakutanku itu menghilang karena akhirnya,...

"Iya, kakak ganteng. Gapapa kok" balas gadis kecil itu sambil tersenyum.

Woi! Woi! Aku tidak sedang ingin melakukan investasi masa depan lho. Terlalu jauh umurnya.
Tapi aku yakin sih, gadis kecil ini besarnya nanti pasti akan menjadi cantik. Eits! Sadar! Sadar!

Nanti udah agak besar ikut audisi jadi member JKT48 ya, dek.
Pasti diterima kok, batinku.

Tapi ikut generasi ke berapa ya? Generasi 17?
Itupun kalau JKT masih ada.

"Makasih ya, nak" kata si ibu yang tiba-tiba mencubit pipiku gemas.

Wei, apa ini?
Tapi ibunya boleh juga sih. Gak ada suaminya kan.
Hei, ini cerita apa sih?

Dan setelah ibu beranak tadi pergi, aku langsung memasukkan koin ke mesin tersebut dan mulai memainkan mesin tersebut.

Kita selesaikan urusan kita saat itu!!
.
.
.
Berkali-kali aku mencoba sampai akhirnya,... tetap gagal juga.
Hingga pada percobaan yang kesekian dan aku masih gagal. Akhirnya,...

"Payah!!" sebuah suara tiba-tiba terdengar.

Tunggu, aku seperti mengalami dejavu.

Aku menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang anak kecil yang sedang asyik memakan es krim di tangannya. Anak kecil ini kan...
Bukan. Bukan anak kecil yang sama dengan yang waktu itu meledekku saat aku bersama dengan Gracia.
Tapi anak kecil ini adalah,...

"Pa..." kata-kata anak kecil tersebut menggantung. "Papa!!" sambung anak kecil itu sambil tersenyum.

Popa!! Papa!! Lo anaknya siapa? Jangan ngaku-ngaku, batinku.

Nah, sekarang apa kalian sudah ingat dengan anak kecil yang suka memanggilku 'Papa' ini?
Kalau tidak ingat, coba diingat lagi saja.

Tidak kuperdulikan bocah itu dan kembali melanjutkan untuk memenangkan mesin ini.
Tapi berkali-kali aku mencobanya masih gagal juga.

"Pa, mau aku ajarin cara menangin mesin ini?" tawar bocah tadi sambil bergaya sok keren dengan bersandar di samping mesin yang sedang kumainkan dan memasukkan tangannya ke saku celananya.

Eh, tunggu. Es krimnya ke mana? Sudah habis?
Berapa lama aku di sini? Atau bocah ini yang memang makannya cepat?

"Ada rahasianya lho" tambah bocah dengan senyum menjengkelkan di wajahnya.

Aku hanya meliriknya sebentar sebelum kemudian kembali berkonsentrasi pada mesin di depanku.

"Beneran gak mau tau rahasianya?" tawarnya lagi.

"Jadi mesin kan" tebakku tanpa menengok ke arahnya.

"Eh?!! Kok tau?" tanyanya kaget dan kebingungan.

Anjir, beneran ternyata.

"Hei, bocah! Dengerin ya, gue udah pernah nyoba cara itu. Gagal. Lo udah pernah nyoba sendiri belum?" tanyaku balik.

"Pernah!" jawabnya cepat. "Aku pernah nyoba!" katanya menegaskan.

"Berhasil?" tanyaku lagi.

"Gagal sih" jawabnya lempeng.

Bocah tengik!!, batinku.

Aku kembali mencoba memainkan mesin ini dan akhirnya,...
Nyaris. Hampir. Itu tadi hampir saja. Bonekanya sudah terangkat, tapi malah jatuh lagi.

"Yaaahh.... Sayang banget. Nyaris tadi, pa" kata bocah itu yang sepertinya mulai terlalu terbawa suasana dan dengan serius memperhatikan apa yang sedang kulakukan.

Bodo amatlah, batinku.

"Kenapa pengen menangin mesin ini sih, pa?" tanya bocah itu lagi dengan wajah polos sok tidak berdosa.

Kenapa ingin?
Pada dasarnya, semua orang memang ingin yang namanya kemenangan bukan.
Tunggu, itu dia!
Mungkin itu alasan kenapa daritadi aku selalu gagal memenangkan mesin ini.
Aku melupakan tujuan awalku. Aku hanya ingin memenangkan mesin ini saja, aku lupa kalau aku harus memenangkannya agar aku bisa membujuk Gracia yang sedang ngambek, dengan cara memberikannya hadiah.

"Sekali lagi!" kataku menyemangati diri sendiri.

Sekali lagi. Dan aku pasti bisa melakukannya.

Demi Gracia. Demi Gracia. Demi Gracia. Dua kata itu yang terus kuulang-ulang di otakku, untuk menyadarkanku apa tujuanku melakukan ini daritadi.

"Gre, ini buat kamu" gumamku.

Akhirnya aku melakukannya sekali lagi, dan hasilnya,...

"HOREEE!!" teriak si bocah yang entah kenapa dia bisa kegirangan akan hal itu.

Aku juga ikut berteriak dan memeluknya.

Tunggu, kenapa aku harus memeluk dia?, pikirku.

Kemudian aku melepas pelukannya dan mendorong bocah itu menjauh.

Aku terduduk di lantai mall ini, menarik nafas dalam sebelum akhirnya kembali menghembuskannya.

"Akhirnya,..." gumamku pelan.

Kumasukkan tanganku ke sebuah kotak kecil pada mesin tersebut yang diatasnya bertuliskan 'TAKE HERE' di atasnya dengan tanda panah mengarah ke bawah. Aku mengambil sebuah boneka yang akhirnya berhasil kumenangkan dengan susah payah. Memang benar ya, usaha keras tidak akan mengkhianati.

"Wuhuhu,... Keren!! Kakkoii" puji si bocah lalu memelukku lagi. "Sugoii!! Sugoii!!"

Ngapain sih nih bocah, batinku.

Tunggu, sepertinya aku melupakan satu hal yang penting. Jika bocah ini ada disini, apa itu artinya,...

"Hei, bocah! Lo kesini sama siapa?" tanyaku akhirnya. "Gak mungkin sendirian kan"

Tidak terlalu penting juga sih ternyata.

"Jangan bilang kalo lo kesini sama Man-"

"Gak. Aku gak sama mama Manda kok" potong si bocah. "Kenapa? Kangen ya? Nanti kalo ketemu aku salamin deh" tambahnya menarik kesimpulan sendiri dan mengambil keputusan sendiri.

"HEH?!! ENGGAK!!" bantahku. "Terserahlah. Terus lo kesini sama siapa?" tanyaku lagi.

Jangan bilang kalau dengan si bedebah. Itu bahkan lebih buruk daripada Manda.

"Sama Onii-sama" jawabnya cepat.

"Heh?!"

Tunggu!! Onii-sama? 'Onii-sama' itu kan bahasa Jepang yang artinya...

"Si bedebah?" tanyaku memastikan.

Tunggu, memangnya dia mengerti?

"Enggak bukan Danial" jawabnya cepat.

Lah, ternyata dia mengerti.

"Tapi Nathan onii-sama" tambahnya menjelaskan.

Nathan?
Jadi si bedebah itu punya seorang saudara lagi selain si bocah tengik ini?
Jika aku terpaksa harus bertemu dengannya, kuharap si Nathan ini memiliki kepribadian yang lebih baik dari kedua saudaranya ini.
Tapi aku juga jadi penasaran dengan si Nathan ini, apakah dia adik dari si bedebah, atau malah kakaknya?
Mengingat umur si bedebah itu dan si bocah tengik ini sepertinya cukup jauh.

"Edgar!" terdengar sebuah suara memanggil sebuah nama.

Aku menengok ke sumber suara dan aku melihat seorang laki-laki yang berpenampilan rapi. Mungkin pegawai kantoran. Eksekutif muda?

"Nii-sama" balas si bocah tengik ini.

Oh, ternyata nama si bocah ini Edgar ya, batinku.

Tunggu, itu artinya laki-laki itu adalah Nathan?

Laki-laki rapi tadi kemudian berjalan ke arahku dan si bocah tengik yang diberi nama Edgar itu.

"Ayo pulang" ajak laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya pada bocah tengik bernama Edgar itu. "Makasih udah jagain adik saya ya, mas" katanya sambil sedikit membungkukkan badannya ke arahku.

"Dadah~ Eee.... Siapa namanya?" tanya Edgar kebingungan.

Kampret nih bocah, gak tahu nama gue ternyata.

"Adrian" jawabku malas sambil bangkit berdiri.

"Ooo..." balas Edgar.

'O' doang. Lo adeknya YangLek? 'O Aja Ya Kan'?

"Adrian?" laki-laki itu tampak bingung.

"Temennya Danial" sahut Edgar mencoba menjelaskan. "Eh?! Temenan enggak sih" tambahnya seperti tidak yakin.

"Oh, orang yang selalu dikeluhkan oleh Danial" kata si laki-laki rapi itu seperti ingin memastikan sesuatu. "Mahasiswa yang selalu dipuji oleh ayah?"

Heh? Keluarga macam apa mereka ini sebenarnya? Suka membicarakan orang lain?

"Perkenalkan saya Nathan, Nathaniel Fubuki " katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya mengajak bersalaman.

Formal banget, batinku.

Tapi dilihat dari sikapnya sekarang sepertinya kakak dari si bedebah ini tidak semenyebalkan saudara-saudaranya.

"Adrian. Adriansyah lengkapnya. Hehe. Pendek ya, mas" balasku cengengesan sambil menyambut uluran tangannya. "Repot gak punya dua adik kayak gitu?" tanyaku kemudian.

"Dua?" tanyanya balik.

"Iya. Si bed- Danial sama ini" balasku sambil menunjuk bocah tengik tadi. "Siapa tadi namanya...? Edgar?"

"Oh,.. Sebenernya adik saya-"

"Hoaaamm~ Nii-sama... aku ngantuk" keluh Edgar sambil menguap.

"Kalau begitu, saya dan adik saya permisi dulu" pamitnya sambil berlalu melewatiku.

Tiba-tiba aku merasakan hawa yang aneh saat orang itu berjalan melewatiku.
Apa itu tadi?
Dia seperti memiliki aura yang mengintimidasi seakan memaksa orang di sekitarnya untuk tunduk kepadanya?
Orang macam apa kakaknya Danial itu?
.
.
.
.
.
.
.
Jadi, begitulah ceritanya. Dan sekarang... aku sedang berada di mobil untuk pulang menuju rumahku.
Di sebelahku, hanya ada Gracia yang sedang asyik memeluk boneka yang kuberikan padanya.

"Suka?" tanyaku.

"Suka" jawab Gracia cepat. "Suka banget!! Kan aku udah pernah bilang" tambahnya.

"Maksud gue bonekanya. Suka sama bonekanya?" tanyaku lagi.

"O-Ooohh.. K-Kirain kak" balasnya tergagap. "Suka kok. Aku suka kok sama bonekanya"

Kalau masalah lo yang suka sama gue, itu gak perlu ditanyain lagi, Gre. Gue udah tau kok, batinku.

"Apalagi bonekanya bentuk tupai. Jadi ngingetin aku sama kakak. Hehehe" tambah Gracia sumringah.

"Lah, gue juga baru sadar kalo bentuknya gitu. Hehehe" balasku ikut cengengesan.

Aku mengincar boneka itu hanya karena mengingat kalau Gracia waktu itu sepertinya sangat menginginkan boneka tersebut. Tapi apa hubungannya bentuk bonekanya dengan diriku?

"Sengaja ya. Kakak kan playboy cap tupai" ledek Gracia.

"Eh, diajarin sama siapa ngasih julukan kayak gitu?" tanyaku.

"Kak Shania lah" jawab Gracia cepat. "Hampir semua member kenal kakak kayak gitu kok"

"H-Heh..?"
.
.
.
.
.
"Yeay..!! Udah nyampe!!"

Entah karena apa. Tapi yang jelas saat ini Gracia tampak sangat kegirangan saat kami sudah sampai di rumahku. Dan dengan cepat dia turun dari mobil dan berlari masuk ke dalam rumah sambil berteriak.

Dasar bocah, batinku.

"Ci Shan...!!"

Eh, jangan bilang kalau dia ingin...

Begitu selesai memarkirkan mobilku, aku langsung bergegas menyusul Gracia masuk.

"Hehe. Lucu kan, ci" kata Gracia memamerkan bonekanya di hadapan Shani.

Dan tentu saja begitu melihatku masuk ke dalam rumah, Shani langsung menyambutku dengan tatapan sinis.

Pake pamer segala lagi tuh bocah, batinku.

"Nanti. Kapan-kapan aku kasih buat kamu juga deh, Shan" kataku padanya.

Shani tidak menjawabku dan kembali menyibukkan dirinya sendiri di dapur. Sepertinya menyiapkan makan malam.

"Hehe. Kak Ads~" Gracia cengengesan tanpa merasa bersalah sudah pamer pada Shani sebelumnya.

Kemudian Gracia berjalan sambil memeluk bonekanya menuju ruang tengah yang disana ternyata sudah ada Vanka yang sedang asyik bermain PS.

Eh, tunggu. PS?

"Cil, itu PS punya siapa?" tanyaku bingung karena seingatku tidak ada PS dirumah ini.

"Eh?! Kak Ian~~" teriak Vanka yang kemudian berlari ke arahku dan langsung memelukku dengan erat.

Aduh, aduh. Makin empuk kayaknya itu, batinku.

Efek jauh dari semuanya beberapa hari, ya jadi gini nih.

IMG-20181006-123721.jpg


"Kemana aja sih? Kangen aku.." rengeknya manja.

"Gak kemana-mana kok" jawabku.

"Cil, ini nanti mati lho karakternya kalo ditinggal" sahut Gracia mengingatkan.

"Eh iya, game aku!!" teriak Vanka yang baru tersadar lalu melepaskan pelukannya dan kembali bermain PS.

"Wah, lebih penting main PS daripada gue nih ceritanya?" tanyaku menyindir.

"Eh! Bukan gitu, kak Ian. Masalahnya ini gak bisa di pause kalo lagi lawan boss-nya" balas Vanka memberi pembelaan.

Curang banget tuh game. Kalau ditengah permainan kebelet gimana?, pikirku.

"Jangan cemburu dong sama game doang" tambah Vanka.

Siapa juga yang cemburu, batinku.

Tapi aku masih penasaran. Tidak ada yang mau menjawab pertanyaanku apa?
Itu PS milik siapa? Kenapa bisa ada disini? PS 4 Pro lagi, PS 5 kapan rilisnya sih?
Eh, bukan itu permasalahannya.
Dan itu TV. Siapa yang merendamnya di minyak tanah? Kenapa jadi lebih lebar?
Tapi bagus sih, kalau buat nonton bola nanti jadi tetep kelihatan kalau ada iklannya yang suka tiba-tiba muncul. Iklan yang memperkecil tampilan layar acara utamanya.

Ya, aku tadi memang sempat pulang dan masuk ke dalam rumah. Tapi hanya untuk mengambil kunci mobil, tidak lebih.
Jadi aku masih tidak tahu kalau ada sedikit 'perubahan' pada rumahku.

"Kemaren waktu kamu ulang tahun, orangtua kamu kesini" kata Shani seperti ingin menjelaskan sesuatu.

"Shan..?"

"Biasanya cuma ngirim kado aja kan" tambah Shani.

Aku mengangguk. Memang biasanya seperti itu sih sejak aku tinggal sendiri. Sedih ya.

"Lah terus? Kenapa gak dikirim aja kayak biasanya?" tanyaku lagi.

"Kamunya di hubungin gak bisa. HP kamu kan kamu tinggal" jawab Shani. "Kata ayah kamu, kamu ditelfon berkali-kali gak diangkat. Dia mau nanyain kamu minta kado apa"

"Terus? Akhirnya dia nelfon kamu?" tebakku.

"Iya" jawab Shani cepat.

Aku tidak yakin kalau memang dia menelfonku berkali-kali. Palingan cuma nelfon sekali dua kali, tidak diangkat langsung menelfon Shani, pikirku.

"Ya, akhirnya dia inisiatif beliin kamu PS aja" sambung Shani.

Tunggu. Jadi PS itu untukku?
Dan aku belum memainkannya, tapi Vanka sudah memainkannya duluan? Sialan.

"Katanya dulu kamu pernah nangis-nangis gara-gara gak dibeliin PS" tambah Shani.

"Gak sampe nangis-nangis juga kali, Shan" balasku membela diri.

"Tapi mama Dian ceritanya kayak gitu" kata Shani lagi.

Ibuku memang selalu berlebihan jika bercerita. Sok drama. Kebanyakan nonton drama sih.

"Dateng ngasih kado terus pergi lagi gitu?" tanyaku.

"Iya, mama Dian buru-buru ngajak ayah kamu pergi" jawab Shani. "Lagian kamu nya kan gak ada juga"

Ya, pasti biar itu bapak-bapak gak genit.

"Terus TV-nya" tanyaku lagi.

"Itu katanya mama Dian yang ngusulin buat beliin TV baru" jelas Shani.

"Terus TV yang lama?" tanyaku lagi.

"Ada di kamar aku" jawab Shani pelan kemudian menunduk.

"Itu artinya kamu yang minta dibeliin TV, Shan" balasku.

"Soalnya kata ayah kamu kalo di taruh di kamar kamu percuma. Kamu kan jarang nonton TV" tambah Shani.

Ya, benar. Aku memang jarang menonton TV. Palingan hanya menonton bola, atau jika ada film yang benar-benar bagus saja baru aku menonton TV.
Tapi,... tunggu, tunggu.
Sepertinya kadonya terlalu berlebihan deh.
Apa mungkin karena aku sekarang tinggal bersama Shani jadi orangtua ku bersikap lebih baik lagi dari biasanya.

"Terus kalo aku mau nonton TV tapi males buat turun ke bawah..." aku sedikit mengantungkan kata-kataku kemudian sedikit melirik ke arah Gracia yang masih sibuk dengan bonekanya dan Vanka yang sibuk memainkan game-nya.

Aman, pikirku.

"Aku boleh kan ke kamar kamu aja ya" sambungku sedikit berbisik sambil sedikit tersenyum ke arah Shani. Tentunya aku hanya bermaksud untuk menggodanya saja.

"Adrian..." Shani sedikit melotot padaku.

"Hehe. Bercanda, Shan"

"Boleh kok" tambah Shani.

"Eh?!"

"Dateng aja ke kamar aku" tambah Shani lagi dengan senyuman di wajahnya. "Mama Dian juga nyuruh gitu"

Ibu, Nice Job! Makasih lho.

"Oh iya, ini gak ada sisa-sisa kue ulang tahun aku gitu, Shan?" tanyaku berharap.

"Gak ada" jawab Shani singkat. "Kan ada Gracia sama Thacil yang kalo bisa jadi pesulap kalo ada makanan. Kita kedip, makanannya langsung ilang"

B-Bener juga sih, batinku.

"Trus kamu? Gak ngasih kado buat aku?" tanyaku lagi.

"Kan udah kamu terima" jawab Shani.

"Hah?"

"Oh iya, mama Dian kemaren juga nanya ke aku" kata Shani yang tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Nanya apa?" tanyaku penasaran.

"Sini-sini" Shani mengajakku sedikit menjauh dari Gracia dan Vanka dan lebih mendekat padanya.

"Apa, Shan?" tanyaku yang sudah mendekat kepadanya.

"Kedeketan.." balas Shani sedikit tersenyum lalu mendorongku pelan.

Ya, aku tadi memang sengaja mendekat padanya hingga tidak ada jarak lagi Siantar kami.

"Mama Dian nanya,... Eee..." Shani seperti ragu untuk meneruskan kalimatnya. Tapi kalau dilihat lagi, wajahnya memerah. Artinya dia bukan ragu tapi malu.

"Shan.."

"Mama Dian nanya,... Kita udah nentuin tanggal baik belum?" kata Shani akhirnya.

"Tanggal baik? Bukannya semua tanggal baik ya?" balasku.

"Berarti kita bisa nikah kapan aja dong" Shani menyimpulkan.

Eh? Maksudnya tanggal baik itu,... Tanggal buat...
Tunggu, tunggu, tunggu.

"B-Bukan itu maksud aku, Shan" balasku berusaha meluruskan.

"Lho, kok? Kamu gak ma-"

"Bukannya aku gak mau nikah sama kamu. Mau. Aku mau. Pasti itu" potongku.

"Hmm... Aku juga" celetuk Shani pelan sambil sedikit senyum malu-malu.

Aku jadi ikut tersenyum sebentar dibuatnya.

"Tapi,.. Sekarang kamu kan masih sibuk di JKT. Kita ini juga masih harus kuliah, jadi..."

"Berarti setelah lulus kuliah kita langsung nikah?" tanya Shani lagi.

"Ya,... enggak juga" jawabku. "Aku harus cari kerja dulu. Ngumpulin uang dulu buat nikahin kamu. Paham?"

Shani dengan cepat langsung mengangguk senang.

"Terus Gracia?" tanya Shani tiba-tiba.

"Eehh... Itu...."

"Udah ngomong sama Gracia?" tanya Shani lagi.

Aku hanya menggeleng pelan.

"Panggil Gracia. Langsung ajak ngomong" pinta Shani.

"Sekarang?" tanyaku.

Shani langsung mengangguk mengiyakan.

"Iya. Kamu ngomong sama dia di depan aku, SE-KA-RANG!" tambah Shani tegas.

"Aah... Eeh...."

Aku bingung harus melakukan apa, tapi berhubung Shani terus menatap ke arahku. Jadinya aku akhirnya menurutinya.

"Gre.." panggilku dengan suara yang sengaja aku pelankan.

Dan tentu saja karena suara yang pelan itu, Gracia tidak mendengarnya.

"Dia gak denger, Shan" kataku beralasan.

"Panggil yang bener" kata Shani lagi.

"Ya, masa harus hari ini juga?" tanyaku ragu.

"Kalo nanti-nanti, kamu bisa berubah pikiran lagi" balas Shani.

"Ya udah, iya" kataku pasrah.

"Gre..!!" akhirnya malah Shani yang memanggil Gracia. "Sini bentar!" ajak Shani.

"Shan, kok..?"

"Daripada nanti kamu manggilnya gak bener lagi" balas Shani dengan sedikit melotot.

"Kenapa ci?" tanya Gracia polos sambil berjalan ke arahku dan Shani.

"Adrian mau ngomong" jawab Shani cepat. "Ayo ngomong!!" suruh Shani padaku.

"Mau ngomong apa, kak?" tanya Gracia dengan wajah polosnya.

"Ehmm... Gre..." aku sedikit bingung harus mulai darimana.

"Ayo, ngomong..." sahut Shani.

"Gre, lo tau planet mars kan?" tanyaku akhirnya.

Gracia hanya mengangguk pelan.

"Tau gak, kalo di planet mars itu gak ada gempa bumi" tambahku.

"Eh, emang iya?" tanya Gracia. "Emang iya, ci?" tambahnya yang juga bertanya pada Shani.

"Aku juga baru tau, emang iya gitu?" kemudian Shani balik bertanya padaku.

"Iya. Yang ada gempa mars" jawabku sambil menahan tawa.

*Info juga untuk kalian yang membaca cerita ini. Menambah ilmu bukan.

"Jadi aku dipanggil cuma mau dikasih tau itu doang?" tanya Gracia masih dengan memasang wajah polos.

"Adrian,... Ngomong yang Bener!" kata Shani dengan tegas.

"Ya, bentar dong, Shan" balasku. "Aku kan harus mikirin dulu kata-katanya, nyusun kalimat yang bener, narik napas sebelum ngomong, terus-"

"Kelamaan" potong Shani.

"Ini ada apa sih?" tanya Gracia dengan wajah polos yang masih belum mengerti dengan keadaan.

"Emang waktu kamu ngelamar aku 15 tahun lalu, kamu pake mikir?" tanya Shani tiba-tiba.

"Eh, Shan! Jangan disamain dong" balasku.

Lagian waktu itu aku mikir kok, batinku.

Ya, meskipun yang kupikirkan hanya 'Gadis ini harus jadi istriku di masa depan nanti!!'.
Ya, hanya itu saja yang kupikirkan saat pertama kali melihat Shani waktu itu dan aku juga langsung melamarnya detik itu juga.

"Hah? Ngelam... Eehhh... Jangan bilang kalo... Kak Ads~~" Gracia menatapku dengan mata yang berbinar-binar seperti mengharapkan sesuatu.

Entah apa yang dipikirkannya. Tapi jika dilihat dari ekspresinya, Gracia tampak sangat senang.

Huft~
Aku sedikit menghela nafas.

"Gre, lo tau kenapa dari jum'at kemaren gue 'ngilang'?" tanyaku.

Gracia langsung menggeleng cepat.

"Gue mau mastiin sesuatu dulu" lanjutku. "Sesuatu itu,... Soal perasaan gue yang sebenernya ke lo itu kayak gimana"

Gracia manggut-manggut. Tapi aku tidak yakin kalau dia benar-benar mengerti.
Ku genggam kedua bahunya dan menatap matanya dalam-dalam.

"Dan sekarang, kenapa gue balik lagi... Itu karna gue udah nemu jawabannya. Jadi sebenernya,..." tambahku. "Shan, jangan diliatin gitu dong" kataku memelas.

"Kenapa sih?" tanya Shani sambil memasang senyuman manis diwajahnya.

"Ya, aneh aja kalo sambil kamu liatin, Shan" jawabku. "Aku jadi ngerasa lagi dihakimi"

"Ayo, kak. Lanjutin dong..!!!" pinta Gracia dengan antusias. "Selesaiin...!!"

"Tuh, Gracia-nya minta dilanjutin, minta diselesaiin" balas Shani dengan menekankan ucapannya pada kata 'diselesaiin'. "Ayo dong, jangan buat dia nunggu" tambahnya masih dengan senyuman diwajahnya.

"Jadi, Gre... Selama ini gue itu ragu, soal perasaan gue ke lo itu kayak apa sebenernya. Jadi gue..." aku sedikit menggantungkan kalimatku.

Kalau berputar-putar terus seperti ini tidak akan selesai selesai. Lagipula Gracia juga belum tentu mengerti dengan yang kukatakan tadi.
Jadi...

Kulirik Vanka sebentar dan ternyata dia masih sibuk bermain game.

Aman, pikirku.

"Pokoknya,... Intinya, Gre... Gue itu-"

"Ci Shan!! Ci Shan! Ci Shan!!" teriak sebuah suara memanggil-manggil Shani berkali-kali.

Haduh, bahaya!!

Aku langsung melepaskan genggamanku pada bahu Gracia dan bersikap biasa saja seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Keep Calm and Stay Cool.

"Aaahhhh.... OKTA!!" teriak Gracia. "Jangan digangguin, dong. Kan kak Ads tadi udah hampir ngelam-"

Langsung kubungkam bibir Gracia dengan tanganku memotong perkataannya sebelum Okta salah paham.

IMG-20180912-WA0003.jpg


"Apa'an sih, ada ap- YAAAANNN!!" Okta langsung memelukku erat seperti tidak pernah mau untuk melepaskanku lagi. "Lo kemana aja sih? Gue kangen..!!"

"Gue juga" balasku santai sambil tersenyum.

"Eh?!" Okta kaget dan sepertinya tidak percaya dengan apa yang baru kukatakan.

"Gue juga kangen... Tapi sama Shani" lanjutku kemudian tertawa kecil.

Shani tersipu setelah mendengar perkataanku.

"Ah, lo mah" balas Okta lalu melepaskan pelukannya dan kemudian memukul lenganku pelan. "Muach.. Muach.. Muach.." tiba-tiba saja Okta menarikku dan menciumi pipiku berkali-kali.

"Eh? EH?? EHHH???"

"OKTA!!" teriak Shani. "Aku tau kamu kangen, tapi gak pake cium-cium segala" kata Shani mengingatkan.

"M-Maaf, ci..." Okta memelas.

"Ada apa?" tanya Shani kemudian.

"I-Itu,... tadi waktu aku bersih-bersih kamar..." kata Okta menggantung.

Okta bersih-bersih, Shani menyiapkan makan malam.
Itu bocah satu malah main PS?
Tunggu, bukan itu yang harus dipikirkan saat ini.
Tapi kenapa firasatku jadi tidak enak ya?

"Aku nemu sesuatu dikamar-"

"E-EHH... mmmhhhh.... B-Bisa tunjukin ke gue aja enggak?" potongku. "K-Kan gue yang punya rumah"

Okta menemukan sesuatu di kamar saat sedang bersih-bersih? Apa yang ditemukannya?
Apa jangan-jangan,...

"Eh! Yakin?" tanya Okta.

"Yakin" jawabku cepat. "Lagian kan Shani masih sibuk nyiapin makan malem. Ya kan, Shan"

"Terserah sih" jawab Shani.

"Emang berani?" tanya Okta lagi.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

"Berani masuk kamar itu? Gak trauma?" tanya Okta lagi sambil menunjuk ke suatu arah.

Aku menengok mengikuti arah yang ditunjuk Okta. Dan ternyata,... Okta menunjuk ke kamar di sebelah tangga.
Iya, kamar yang itu. Yang ada 'Mbak Kuns' di dalamnya.
Aku kira tadi Okta sedang membersihkan kamar yang lain. Kamar Shani mungkin(?)
Dan dia secara tidak sengaja menemukan sesuatu di bawah meja(?)
Tapi,... untunglah kalau tidak.

"Kenapa bersih-bersih kamar itu?" tanyaku akhirnya.

"Ya, biar..." Okta sedikit ragu ingin menjawab apa.

"Biar kalo nginep gak sempit-sempitan lagi, kak" sahut Vanka yang tiba-tiba ikut ke dalam obrolan. "Oh iya, aku sama Okta mau nginep!!" tambahnya dengan bersemangat.

Bodo amat, batinku.

"Lagian meskipun gak ada yang nempatin itu kamar, harusnya tetep kamu bersihin" sahut Shani menasehati.

"Ya, tapi kan..." aku berusaha mencari alasan untuk menjawab Shani, tapi tidak menemukan kalimat yang pas. "Udah selesai main PS-nya?" tanyaku pada Vanka kemudian mengalihkan permbicaraan.

"Udah dong, kan bentar lagi waktunya makan malem" jawab Vanka cepat.

"Jadi yang bisa ngalihin perhatian lo cuma makanan?" tanyaku menyindir.

Vanka langsung cemberut karena sindiranku.

"Dari dulu sampe sekarang masih sama aja" tambahku masih menyindir.

Vanka semakin cemberut karena aku terus menyindirnya.

"Kalau perasaan?" kali ini Okta yang bertanya pada Vanka. "Perasaan ke Adrian?"

Jangan mulai deh, batinku.

"Masih sama?" tanya Okta lagi.

"Berubah" jawab Vanka cepat.

Tuh, kan. Eh??!! Berubah?
Untunglah kalau begitu.

"Jadi makin sayang setiap harinya..!!!!" terang Vanka.

Haduh... Lebih parah ternyata.

"Ya udah, Ta. Lo tadi nemu apa di kamar itu?" tanyaku mengembalikan topik pembicaraan ke awal.

"Koper" jawab Okta cepat.

Jawaban dari Okta begitu singkat, padat, dan... kurang jelas.
Koper apa? Itu tidak menjelaskan apapun.

"Tapi gak bisa dibuka, dikunci pake sandi angka" tambah Okta menjelaskan.

Aku langsung melangkahkan kaki menuju ke kamar tersebut diikuti oleh Shani dan yang lainnya di belakangku. Masuk ke dalamnya, dan suasananya agak berbeda dengan saat aku pertama kali masuk ke dalam kamar ini dulu.

Mbak Kuns,... Tolong jangan tiba-tiba muncul ya.
Pacaran sama 'Mas Grans' dari komplek sebelah aja.

"Ini kopernya?" tanyaku sambil menyentuh koper yang berada di samping tempat tidur yang sepertinya selama ini berada di bawah kolong tempat tidur ini.

"Iya" jawab Okta sambil mengangguk.

Entah kenapa firasatku mengatakan kalau aku harus segera membuka koper ini.

"Udah, nanti aja dipikirinnya" kata Shani sambil memegang kedua tanganku. "Sekarang kita makan malam dulu ya" ajaknya kemudian.
.
.
.
.
.
Kira-kira apa isinya, pikirku sambil memandangi koper di hadapanku ini.

Kenapa? Makan malamnya?
Sudah selesai. Aku skip karena aku lebih penasaran dengan isi koper ini, lagipula makan malamnya hanya berlangsung seperti biasa, masih dihiasi oleh mereka berempat yang saling memperebutkan diriku.
Dan keempat gadis tadi sekarang sedang sibuk bersama. Ya, sibuk bersama. Entah sibuk apa. Aku hanya meminta mereka agar tidak melihatku membuka koper ini, mungkin saja isinya adalah hal yang privasi. Kalau tidak, tidak mungkin di beri sandi kan.
Awalnya mereka menolak, tapi aku beruntung karena memiliki Shani yang ikut menjelaskan situasinya pada ketiga gadis yang lainnya.
Gracia? Entahlah. Mungkin dia agak sedikit lupa kalau aku ingin mengatakan sesuatu padanya tadi. Tapi,...
Ya sudahlah, kembali ke koper.

Aku mengangkat koper itu sebentar. Sedikit berat, ada sesuatu di dalamnya.
Aku harus membukanya!

Ada 4 digit angka yang harus disusun dengan benar agar koper ini terbuka. Itu artinya ada 10000 kemungkinan. Iya dong 10000, kan 0000 juga termasuk. Jadi mulai dari 0000 - 9999. Coba hitung sendiri, pasti ada 10000.
4 digit. Mungkin mengindikasikan tentang sebuah tanggal.
Jika tanggal, mungkin... tanggal yang seharusnya kuingat.

Apa mungkin,...
1808. Mungkin saja kan, di coba dulu. Siapa tahu memang itu. Harusnya aku mengingatnya kan, dan kemarin aku sempat lupa dengan tanggal itu.
Tapi ternyata,... Salah. Bukan itu sandinya.
Atau mungkin dibalik!! Bulannya terlebih dahulu.
0818. Salah juga.
Jangan-jangan,...
Memang bukan tanggal ulang tahun ku? Aku saja yang terlalu PD.
Lalu tanggal apa? Tanggal pernikahan kedua orangtua ku?
Mungkin saja sih, mengingat kelakuan ayahku seperti itu saat di Jogja kemarin.
Eh, tunggu... Berapa ya?
Hei, kalian jangan marah dong. Ya, wajar saja kan kalau aku tidak tahu. Aku saja tidak datang ke pernikahan orangtua ku, bukan sombong, aku memang tidak diundang.
Kapan ya? 4 Mei? Atau 5 April? Atau... 18 Oktober?
Tunggu, 18 Oktober itu tanggal apa? Kenapa tiba-tiba muncul tanggal itu?
Ini pasti ulah penulisnya, penulisnya mulai seenaknya sendiri nih. Itu kan tanggal-

(Udah woi, udah!! Jangan diterusin! Nanti ketahuan...)

Kapan ya? 4 Mei? Atau 5 April? Atau...
20 Agustus? Eh..?!! Itu kan besok. Memangnya kenapa dengan besok?
7 Juni? Kenapa jadi 7 Juni?
20 Juni? Wah kalau itu sih,... tanggal... Tanggal apa hayo?

Dicoba satu persatu aja deh ya.
Tunggu, satu persatu?
Aku jadi ingat pesan ayah dulu, 'Jika kau sedang mengalami kesulitan dan bingung bagaimana cara keluar dari masalah tersebut. Coba lah setiap cara satu persatu'. Apa itu merupakan sebuah petunjuk? Untuk situasi seperti ini?
Yang benar saja. Coba saja dulu lah.

0405.
0504.
2018.
1820.
0706.
0607.
2006.
0620.

Salah. Salah semua!!
Sudah kucoba semuanya satu persatu, tapi masih salah semua.
Atau mungkin,... Oh yang benar saja. Mana mungkin maksudnya seperti itu?
Tapi,.... Coba saja dulu lah.

0001.

Tuh kan!!
Tidak terbuka.

0002.

Masih tidak terbuka.

0003.

Ternyata benar!! Yang ini,... masih salah juga.

0004.

Oh ayolah, aku seperti orang bodoh yang sedang berputus asa.

0005?

Baiklah ini yang terakhir.
Jika yang ini juga gagal, aku tidak akan pernah mau mencoba lagi setelah ini.

0005.

Klik!

Sial!
Apa ini?
Benar-benar terbuka hanya dengan cara ini?
Tapi tunggu, kenapa '0005'?
Apa alasannya?
Ah, sudah lah. Yang terpenting sekarang koper ini sudah terbuka. Dan apa yang ada di dalamnya adalah,... sebuah album foto. Hanya itu. Hanya sebuah album foto, tidak ada apa-apa lagi. Album foto yang sepertinya sudah lama. Lama sekali.

Kubuka album foto tersebut. Pada halaman pertama terlihat beberapa foto dua orang pasangan muda. Ya, muda. Muda pada jamannya. Itu kumpulan foto ayah dan ibuku yang lebih muda dari sekarang tentunya. Yang menarik perhatianku adalah,... ternyata ibuku cukup cantik saat muda dulu. Ya, bukan berarti sekarang sudah tidak. Bagaimanapun juga dia ibuku, dan sekarang aku juga mengerti kenapa sekarang penampilanku seperti ini, ayahku dulu juga bisa dibilang,... Ya... lumayan lah ya. Kombinasi yang pas dan seimbang hingga menghasilkan diriku yang sekarang ini.
Tapi ada yang lebih menarik perhatianku lagi, itu adalah... pemandangan di belakang mereka. Apa orangtua ku bertemu disana? Atau mereka memang sengaja pergi kesana? Tapi mengingat aku lahir disana, jadi sepertinya itu wajar.

Aku membuka lembar demi lembar album foto tersebut. Kebanyakan hanyalah berisi foto-foto dari kedua orangtua ku. Sampai akhirnya,... pada beberapa lembar menuju lembaran terakhir. Aku menemukan foto yang tidak hanya menampilkan ayah dan ibuku. Tapi juga seorang bayi laki-laki.
Itu aku? Sedikit berbeda ya sepertinya dengan sekarang.

Kuperhatikan setiap foto, yang seakan menceritakan bagaimana kedua orangtua ku membesarkan bayi laki-lakinya tersebut. Sampai pada beberapa foto yang memperlihatkan ayahku bermain dengan bayi laki-laki tadi yang sudah tumbuh menjadi bocah kecil yang tampan. Dan aku baru sadar, ibuku jarang terlihat pada beberapa foto terakhir ini. Mungkin ibuku yang sedang memotret.
Sepertinya ayahku sangat menyayangi bocah laki-laki itu. Tapi aku tidak ingat pernah menghabiskan masa kecilku dengan banyak bermain dengan ayahku. Tapi anak kecil memang biasanya tidak terlalu bisa mengingat ya.

Sekedar informasi, semua manusia tidak akan bisa mengingat kejadian apapun di saat dia berusia 4 tahun ke bawah. Ini ilmiah. Alasannya kenapa? Karena pada saat manusia berusia 3-4 tahun, otaknya akan mengalami perubahan.
Enak kan, baca cerita ini. Mendapat tambahan ilmu juga.
Baiklah, kembali ke album foto.

Foto terakhir pada halaman ini sebelum ke halaman selanjutnya, yaitu halaman terakhir memperlihatkan bocah laki-laki yang sedang menatap bingung ke dalam sebuah box bayi. Mungkin waktu itu aku sedang bingung. 'Dulu aku tidur di tempat kecil seperti ini?' Hehehe.

Dan akhirnya, sampai pada halaman terakhir dari album foto tersebut. Hanya ada satu lembar foto disana. Tapi satu lembar foto itu benar-benar membuatku bingung dan bertanya-tanya.

"Shan..! Shani..!" panggilku.

Tidak ada jawaban dari Shani.

"Sayangku~ Cintaku~ Malaikatku~ Wanitaku~ Bidadariku~ Gadisku~ Separuh nafasku~ Belahan jiwaku~ Sinar kehidupanku~ Warna dalam hidupku~ Aphro-"

"Adrian..!! Udah dong! Malu tauuu..." kata Shani yang memang sudah berada di sebelahku daritadi sejak aku meneriakkan 'Malaikatku'. "Didengerin Gracia sama yang lain lho"

"Hihihi... Gadisku~" ledek Vanka yang sedang berada di ambang pintu bersama dengan Gracia dan Okta.

"Belahan jiwaku~" tambah Okta.

"Sinar kehidupanku~ Hehehe..." Gracia berusaha menahan tawa.

IMG-20180905-005706.jpg


"Tuh kan, aku diketawain masa" rajuk Shani.

"Biarin, mereka cuma iri, Shan" balasku sambil tersenyum dan membelai pipinya.

Shani jadi tersenyum malu saat aku membelai pipinya yang langsung memerah.

"Kak Ian~~"

"Yan~~"

"Kak Ads~~"

"Ada apa sih?" tanya Shani kemudian tanpa memperdulikan Gracia dan yang lain.

"Boleh aku pinjem HP kamu enggak?" pintaku.

"Boleh nih" balas Shani cepat sambil memberikan HP-nya padaku.

"Aku pinjem dulu ya" kataku sambil menerima HP Shani lalu menyerahkan album foto tadi kepadanya kemudian menutup kembali koper tersebut. "Jangan biarin ketiga orang itu ngeliat isi album foto ini ya, Shan" tambahku sambil berdiri dan berjalan keluar kamar ini. "Kalo kamu gapapa" tambahku dengan berbisik.

"Eh.... Kenapa?" tanya mereka bertiga kompak.

"Diem. Kalian bocah-bocah jangan berisik, tidur sana. Gue mau nelfon dulu" balasku sambil berjalan menjauh.

Bukannya aku tidak mau mereka melihat foto-foto di dalam album tersebut. Tapi aku bingung bagaimana harus menjelaskan jika mereka bertanya tentang foto terakhir dalam album foto tersebut. Dan sekarang, aku harus menelfon seseorang. Memintanya untuk menjelaskan sesuatu.

Layar kunci HP-nya masih sama seperti dulu. Pola 'setengah hati'.

"Halo, Shani. Kenapa telfon? Kangen sama om ya? Kemaren kan baru ketemu, udah kangen aja" sapa suara berat khas om-om di seberang sana saat telfonku diangkat.

Dasaaarr!!, batinku.

"Aku udah buka koper yang di kamar bawah, aku udah liat isinya juga" kataku cepat. "Sampe halaman terakhir" tambahku menegaskan. "Aku butuh penjelasan ayah. Besok aku berangkat ke Jogja" begitu menyelesaikan kalimat terakhir itu, aku langsung memutus sambungan telfonnya.

Ya, aku memang menelfon ayahku menggunakan HP Shani. Seperti biasanya, jika menelfon menggunakan HP Shani, pasti akan langsung diangkat olehnya.

Selesai menelfon, aku langsung kembali pada Shani yang sedang duduk di ruang tengah sambil sibuk melihat-lihat foto-foto dalam album tersebut. Gracia dan yang lainnya sepertinya 'ngambek' setelah aku berkata seperti tadi pada mereka karena mereka sekarang tidak terlihat di sekitar sini.

"Yang lain kemana?" tanyaku pada Shani.

"Okta sama Thacil masuk ke kamar tadi. Kayaknya mereka mau langsung tidur. Kalo Gracia,... ke atas, mungkin ke kamar aku" jawab Shani menjelaskan.

Aku mendekat pada Shani dan langsung duduk di sebelahnya. Kemudian langsung kubalikkan beberapa halaman di album foto itu yang langsung menuju halaman terakhir dimana foto terakhir yang membuatku bingung tadi berada. Foto yang berisi sebuah keluarga, sepasang suami istri yang sedang menggendong kedua anak mereka yang masih lucu-lucu.

"Shan, kamu tau kan aku yang mana?" tanyaku ingin memastikan sesuatu.

"Yang ini kan" jawab Shani cepat sambil menunjuk salah satu objek di dalam foto terakhir itu. "Yang paling kecil, yang lagi digendong mama Dian" tambahnya menjelaskan.

Bahkan Shani saja tahu aku yang mana. Mungkin dia memang sangat mengingat bocah laki-laki yang 'melamar'nya dulu, bahkan foto bayi dari bocah tersebut dia mengenalinya. Padahal di foto tersebut mungkin bayi itu baru berumur beberapa bulan.

"Kamu dari kecil udah gemesin banget sih" komentar Shani sambil tersenyum melihat foto tersebut.

Ya ampun, Shan.. Bentar dulu dong, aku masih mau narasi ini.
Jangan bikin aku salting dulu dong, batinku.

Baiklah, kita narasi lagi.
Jika aku di dalam foto tersebut adalah bayi laki-laki yang sedang digendong ibuku.
Lalu siapa bocah laki-laki yang sedang digendong oleh ayahku?
Apa itu artinya,...
Kecurigaanku saat di Jogja waktu itu benar adanya?

Aku punya seorang kakak?

Bersambung.jpg


-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Catatan Penulis:


Pertama, maaf ya kalo alurnya agak sedikit lambat.
Semoga kalian gak bosen, karena saya waktu itu pernah bilang kalo timelinenya ini nanti mulai agustus tahun lalu sampai awal tahun ini, tapi sampe belasan part ceritanya masih di bulan agustus aja. Saya takut kalo nanti kalian bosen nantinya.
Dan,... mungkin....
Beberapa part berikutnya ini akan muncul flashback dulu.
Tapi,... Mungkin ini akan jadi update terakhir sebelum vakum karena bentar lagi bulan puasa. Tapi kalo update tanpa ada adegan ena-enanya boleh gak sih?

BTW, ada yang tahu tanggal 20 juni itu tanggal apa?

Makasih
• TTD H4N53N

Pesan moral dari part ini, tidak ada gempa bumi di planet lain. Yang ada, gempa (sesuai nama planet tersebut)
 
Jadi, apakah Danial adalah kakak Adrian yang bahkan Adrian sendiri tidak tahu? hmm hmm, bercanda hu.
 
Udah 16 part aja, belum baca satupun part dari cerita ini. Harus maraton ini mah.
 
Setelah baca maraton dari part 11 sampai part terbaru ini ane ingin bilang

Nice update suhu ean patut ditunggu kelanjutannya

Wah ini ortu si adrian ingin cepat punya cucu kayaknya kalau gitu semangat nulisnya hu biar cepet update

Nb:kalau update gak ada adegan ena-ena si kalau menurut ane si gak apa(tapi lihat rules forum fiksi dulu aja hu buat kepastian) tapi tergantung suhu sendiri sebagai author dan untuk alur cerita sih menurut ane sih masih oke meskipun masih sekitar bulan agustus
 
Tapi kalo update tanpa ada adegan ena-enanya boleh gak sih?

BTW, ada yang tahu tanggal 20 juni itu tanggal apa?
Tentu saja boleh, sejauh mata membaca trit mau di cerbung ataupun di sf fiksi ini, selalu aja ada updatean cerita yang tanpa SS. 20 jun ulang tahunnya Ayu ting ting. :pandapeace:
 
Jangan jangan danial kakaknya adrian? :bingung: btw gpp alur lambat kadang juga bisa dinikati juga cerita drama kayak gini alias nice update suhu :hore::hore:
 
alur ceritanya keren suhu
jd bikin penasaran dan nggk bosen di baca walaupun nggk ada adegan ena ena hahhahahah

lanjutkan hu semangattt
 
Nathan kali kakaknya :dansa:


Bikin tanpa cerita ena ena sih Gan, di cerbung juga ada yang bikin cerita udah lama gak pake adegan ena ena :baca:
 
Saking jarangnya adegan ena ena, gw sampe lupa terakhir di part berapa, kebanyakan kentang mulu, tapi ya gpp sih kalo gw wkwkw

Tapi kalo bisa dikasih lah, kasian ena ena lovers kena kentang mulu hahahaa
 
Sepertinya w tau kknya adrian dari semua hubungan cerita yg di forum ini wkkw *entah salah entah benar, w cmn cenayang belaka*

Terus suhu, selalu berikan yang terbaik pada cerita ini... Semangat~
 
Naisu mantap pisan, alur maju mundur makin rapih dan sekarang apa lagi ini adrian punya kembaran(?) ardiansyah(?) bentol(?) ehehe anjeeer lah coeeeg bingung gw wadoooh aowkowwkk

Mungkin ini akan jadi update terakhir sebelum vakum karena bentar lagi bulan puasa. Tapi kalo update tanpa ada adegan ena-enanya boleh gak sih?
Aman sepertinya huu, apalagi menambah ilmu dan moral dengan menjadikan adrian sebagai panutanq

Intinya mantap shani apdednua!
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd