Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Reality ACT II

Bimabet
Hooh kasian, cuma yaa emang kurang disiplin aja selama di inter. Lagian udh ada Sensi sama Barella jelas tersingkir si Lae wkwk

Sensi kenapa ke Inter sih?
Kok gak ke Milan aja:sendirian:
Kalo udh nyenggol nyenggol Inter gini jadi pengen nimbrung aja bawaannya :malu: tapi emang paling epic Adrian sih, emang dasar ga pernah sejalan ama penulisnya :ha:

Adrian sama saya emang susah akurnya :pandaketawa:
Ya makanya kalu update ya langsung aja
Masa gue harus scroll ke page 35 dulu

Alias kondom bocor awkawkawk :ha:

Kan emang langsung
Harusnya page 36 sih tapi...
Bahaya nih ada antek antek mang ujang
Tapi emang mendingan Adrian sih daripada Mignolet
Dybala sama lukamu apakabar nyukk ngoahoahoa

Menurut saya, kalo Dybala gak mau, ya mendingan Lukaku dituker sama gelandangnya Juve aja. 2 Bentacur sama siapa gitu. Nambah uang gapapa
Gelandangnya Juve melimpah anjir, dan sebenernya mereka gak pantes kalo ada di cadangan. Istimewa
Kayaknya kakaknya beneran si.....

Si... Siapa?
Jangan sok tahu
Njirrr udah Dari kecil ternyata dijodohin

Cuma anda yang merhatiin bagian awal ya :pandaketawa:
 
Part 20: Brother


"Ok klas, dat is alles voor vandaag.
En tot volgende week" ucapku mengakhiri kelas ini lalu segera membereskan barang-barangku dan bersiap untuk pulang.


Tapi,... aku tidak bisa langsung pergi meninggalkan kelas begitu saja. Hal itu dikarenakan... aku masih harus meladeni beberapa mahasiswi yang 'sedikit' 'bertanya' tentang pelajaran yang kuberikan hari ini.
Ya, ada dua tanda kutip disana. Karena... sebenarnya pertanyaan mereka tidaklah sedikit,... dan mereka juga tidak benar-benar bertanya. Itu bisa diketahui dari saat aku menjawab pertanyaan mereka, mereka tidak menyimak jawabanku. Mereka lebih fokus pada hal lain.


"Umm... Ben je morgen bezig?" tanya salah seorang dari mereka tiba-tiba.


Pertanyaannya itu tentu membuatku kaget. Tapi aku berusaha untuk tetap tenang. Aku sudah menduga hal seperti ini akan terjadi. Aku sudah memiliki feeling tentang ini semenjak masuk kelas tadi.


"Ik weet het niet, ik moet eerst mijn schema nakijken" jawabku. "Welke dag is morgen" tanyaku kemudian.


"Donderdag" jawab mereka cepat.


"Ah.. sorry. Ik heb een afspraak met mijn geliefde. Het was zijn verjaardag vorige week, en we kunnen het alleen morgen vieren" ucapku beralasan.


"Wat dacht je van overmorgen?" tanya mereka lagi seperti tidak terpengaruh dengan jawabanku tadi.


"Nogmaals sorry, ik wil het weekend met mijn geliefde doorbrengen" jawabku lagi berusaha menekankan.


"Wanneer je kunt?" mereka masih berusaha.


"Sorry ik moet snel naar huis" ucapku lalu segera membereskan barang-barangku kemudian langsung pergi meninggalkan mereka.
.
.
.
Disaat aku sudah berada di luar kampus dan tengah mencari seseorang, aku malah melihat kerumunan orang tidak jauh dari tempatku berdiri.
Hal itu tentu membuatku penasaran sehingga aku berjalan mendekati kerumunan itu.
Dan saat aku sudah berada didekat kerumunan tersebut,...


"Ku tak bisa
Jauh...
Jauh darimu~"


Oh, ada yang bernyanyi.
Sebenarnya suaranya tidak merdu-merdu juga, tapi masih layak untuk didengarkan dan suaranya itu juga terdengar cukup unik. Mungkin itu alasannya kenapa banyak orang yang mengerumuninya.


Eh, aku baru sadar.
Orang itu menyanyikan lagu dari satu band yang berasal dari Indonesia. Aku jadi penasaran dengan orangnya. Apakah dia berasal dari Indonesia? Cukup jarang bertemu orang Indonesia di negara ini.


Dan ketika aku sudah bisa melihat orang tersebut, ada satu hal yang membuatku tertarik sampai-sampai aku tersenyum sendiri.
Satu hal yang paling menarik perhatianku itu adalah,...


Gitar yang dipakai oleh orang tersebut. Itu gitarku. Itu,... gitar lamaku. Artinya dialah orang yang kucari.


"Dank je wel" ucap orang tersebut setelah selesai bernyanyi.


Sepertinya lagu tadi adalah lagu terakhir yang dia nyanyikan karena berikutnya aku melihat dia seperti sedang membereskan barang-barangnya. Dan hal itu membuat beberapa orang yang tadi berkerumun mulai pergi satu persatu.


Apa mungkin dia sudah menunggu terlalu lama?


Akupun juga beranjak dari tempatku berdiri dan berjalan ke arah belakangnya.


Mungkin dengan begitu dia akan mengira kalau semua orang sudah pergi dari sini, batinku.


"Goede gitaar" ucapku berusaha ramah.


Dia hanya menoleh ke arahku. Tapi anehnya, tidak ada raut wajah yang menunjukkan kalau dia terkejut.


Ah, mungkin dia tidak terlalu mengerti bahasa Belanda ya, batinku.


Itu wajar sih. Tapi pasti dia mengerti bahasa Inggris kan.


"Hi, what's up" tanyaku berusaha menyapanya dengan bahasa Inggris.


Dia hanya diam dengan memandangku sesaat sebelum kembali membereskan barang-barangnya tanpa menanggapiku sedikitpun.


Aku mulai muak dengan reaksinya itu, dia sudah terlatih melakukan 'Poker Face' atau apa?


"Come on" ajakku padanya. "I know where to get good coffee" tambahnya lalu kemudian mulai melangkah pergi.
.
.
.
.
.
"Wil je gewoon stil zijn??" tanyaku pada seorang laki-laki di depanku.


Dia adalah adikku, Adrian. Adriansyah. Itu yang kuketahui tentangnya. Hanya itu.


Dialah orang yang tadi bernyanyi di tengah kerumunan orang-orang itu sambil membawa gitarku.
Setelah akhirnya aku bertatap muka dengannya, aku mengajaknya ke sebuah tempat untuk minum kopi dan sedikit berbincang.
Tapi yang ada, hanyalah aku yang berusaha mengajaknya bicara. Karena daritadi dia hanya diam sambil memain-mainkan pick gitar yang tadi dipakainya tanpa mengucapkan satu patah katapun.
Tidak mungkin dia tidak bisa berbicara bukan, aku tadi mendengarnya bernyanyi.


"You want me to speak with what languange, so you want to talk with me?" tanyaku masih berusaha mengajaknya bicara.


Dia masih diam. Dan,...


Benar juga, aku daritadi bahkan tidak melihat ekspresinya. Dia hanya berekspresi datar.


"Kurasa kau cocok untuk berada di Jerman" celetukku.


"HEH?!"


Akhirnya dia bereaksi. Mungkin memang harus menggunakan bahasa Indonesia, batinku.


"Apa hubungannya dengan Jerman?" tanyanya kemudian seperti terkaget.


Akhirnya juga aku bisa mendengar suaranya lagi, batinku.


"Kenapa tiba-tiba Jerman? Apa jangan-jangan kau punya kenalan di Jerman?" dia memberikan pertanyaan beruntun.


Oke, cukup.
Sudah terlalu banyak pertanyaan yang dia lontarkan.


"Kau tahu, orang-orang di Jerman itu jarang tersenyum" jelasku. "Bukan karena orang-orang Jerman itu tidak memiliki selera humor, tentu saja mereka punya selera humor. Hanya saja,... memberikan senyuman di Jerman, itu bisa berarti sebuah 'ajakan'. Kau mengerti?"


Dia hanya memandangku dengan ekspresi seperti orang kebingungan.


"Maksudku, sebagai orang yang besarnya di Indonesia,... Kenapa kau jarang tersenyum?" tanyaku kemudian.


Dia masih diam. Dia kembali diam.


"Sebegitu sulitnya kah tersenyum dihadapan orang yang baru pertama kali ini kau temui tapi ternyata dia adalah kakakmu?" tanyaku akhirnya.


Dia tetap diam.


Oke, cukup.


"Joost, kun je me helpen?" tanyaku pada seorang kenalanku yang tidak berada jauh dari tempatku.


"Wat?" tanyanya balik. Dia adalah Joost kenalanku yang bekerja di tempat ini.


"Kun je haar haar repareren?" ucapku sambil menunjuk Adrian, adikku. Laki-laki yang daritadi diam saat kuajak bicara.


Joost langsung meminta Adrian untuk berdiri kemudian memintanya lagi untuk duduk di sebuah kursi yang didepannya terdapat sebuah meja dan cermin.


"Hei, ada apa ini?" tanya Adrian kebingungan.


Saatnya aku memberinya pelajaran, batinku.


Sebenarnya, kami bukan berada di sebuah kedai kopi. Tempat ini adalah sebuah barber shop, tapi mereka juga menjual kopi untuk para customer mereka yang menunggu giliran. Dan Joost adalah salah satu barber disini.
Tapi sejujurnya, lebih baik mereka fokus menjual kopi saja.


"Hei, tunggu dulu. Apa yang ingin dia lakukan?" tanya Adrian panik.


"Sudahlah, kau diam saja" balasku berusaha menenangkannya. "Setelah ini, kau bisa menanyakan apapun yang ingin kau tanyakan padaku"


"Welk kapsel je wilt?" tanya Joost.


"Mullet" potongku sebelum Adrian menjawab. Karena kurasa dia sudah mengerti keadaannya.


"OK. Wil je ook de kleur van haar haar veranderen?" tanya Joost lagi.


"Er is hier nu zoiets?" tanyaku balik.


"Natuurlijk wel" jawab Joost. "Dus hij lijkt ook niet op jou"


Benar juga, batinku.


"OK, laat me erover nadenken" ucapku.


"Één persoon die er stom uitziet zoals jij, is genoeg" celetuk Joost.


"Hahahaha" aku sedikit tertawa mendengar celetukkan Joost. "Bruin. Verander de kleur van haar haar naar bruin" tambahku kemudian.


"OK. Oh ja, wie is hij?" ucap Joost.


Seharusnya kau menanyakan itu di awal, batinku.


"Mijn broer" jawabku singkat.
.
.
.
"WOW. Je kunt je nu goed scheren" pujiku begitu melihat hasil potongan rambut baru Adrian. "Ik dacht dat je het zou verpesten zoals je deed toen ik mijn haar voor het eerst schoor"


"Hahaha" Joost hanya tertawa menanggapinya. "Je denkt dat mijn scheervaardigheden zich niet ontwikkelen" tambahnya kemudian.


"Nee. Ik denk dat het alleen komt door de visuals van mijn broer, dus de resultaten zien er goed uit" balasku.


Adrian kulihat masih bercermin seperti memperhatikan rambut barunya. Jujur saja, aku tidak menyangka potongan itu akan terlihat bagus padanya. Dan jika rambutnya mulai tumbuh sedikit lebih panjang lagi, itu akan terlihat sempurna.


"Wil je je niet scheren?" tanya Joost tiba-tiba.


Kenapa tidak.
Lalu aku meminta Joost untuk merapikan ujung-ujung rambutku saja.
Dan hasilnya,...


"Verdomme. Het lijkt erop dat meer en meer meisjes je leuk zullen vinden" komentar Joost setelah selesai merapikan rambutku.


"Dat is mijn risico vanaf de geboorte" balasku sedikit bercanda.


"Wees nog niet arrogant. Om eerlijk te zijn, je broer ziet er beter uit dan jij" balas Joost kemudian menoleh kearah Adrian.


Adrian yang sepertinya merasa sedang diperhatikan, melirik kearah kami kemudian dia... tersenyum(?).
Dia akhirnya tersenyum?
Tapi senyumannya itu terlihat seperti mengejek.


Apa dia tahu apa yang baru saja kami bicarakan?
Apa dia mengerti?


"Betaal gewoon de volgende keer" ucap Joost.


"Ik betaal nu" balasku sambil menyerahkan uang untuk membayar kopi dan jasa merapikan rambutku dan Adrian.


"Ayo kita pergi" ajakku pada Adrian. "Pasti kau belum makan siang kan" tambahku lalu berjalan hendak keluar.


"Kita jalan kaki?" tanya Adrian tiba-tiba.


Huh...
Dasar anak manja, batinku.


"Joost, mag ik je fiets lenen?" tanyaku pada Joost meminta izin.


"Voor hoeveel dagen?" tanyanya balik.


"Haha ... rustig maar. Ik zal het in het weekend teruggeven" balasku.


"Oké, breng het gewoon" ucap Joost mengijinkan.
.
.
.
Bersepeda di Belanda itu sungguh menyenangkan. Alasannya sudah sangat jelas, pejalan kaki dan pesepeda di negara ini sangat dihormati oleh para pengguna jalan yang lain. Jika ada jalur sepeda, itu benar-benar jalur sepeda. Tidak boleh ada kendaraan lain yang berada disana.
Dan jarang juga sebenarnya orang-orang yang menggunakan mobil dan motor di negara ini.
Memang seperti itu kalau negara maju. Contoh sederhana, Jepang. Salah satu negara pembuat kendaraan bermotor terbesar di dunia. Tapi penduduk Jepang kemana-mana kebanyakan berjalan kaki bukan, atau menggunakan kereta jika sedikit lebih jauh. Strategi yang sangat cerdas menurutku.


Itu dari hasil pengamatanku saat berlibur ke Jepang dulu, dua tahun yang lalu. Saat aku bertemu dengannya.


Dan sekarang, aku sedang bersepeda membonceng adikku, Adrian.
Anehnya, dia menghadap kebelakang saat kubonceng. Jadi keadaan kami sekarang ini adalah saling memunggungi.


"Kita akan kemana?" tanya Adrian tiba-tiba.


Dia yang memulai pembicaraan?, batinku bertanya.


"Kudengar ada sebuah restoran kecil yang baru buka. Aku penasaran ingin mencoba makanan disana" terangku.


"Dimana tempatnya?" tanyanya lagi.


"Tenanglah, kita sudah dekat" jawabku.


"Baguslah" balasnya singkat.


Kenapa dia tiba-tiba jadi lebih reaktif?, batinku.


"Aku sudah lapar. Jika kau penasaran kenapa aku terus bertanya" tambahnya seperti mengerti kebingunganku.


Ternyata itu alasannya, batinku.


"Kenapa... Kenapa kau menghadap belakang?" tanyaku heran.


"Aku ingin melihat pemandangan" balasnya cepat.


"Apa kau-"


"Itu lebih baik daripada harus melihat punggungmu" potongnya cepat.


Jadi itu alasan sebenarnya, batinku.
.
.
.
.
.
"Aku ingin makan daging" sahutku saat melihat buku menu restoran yang tadi kumaksud. "Bagaimana denganmu? Daging juga" tanyaku pada Adrian.


"Tidak" jawabnya cepat. Terkesan cuek dan acuh tak acuh.


Ini lebih baik. Lebih baik daripada dia tidak menjawab sama sekali.


"Aku tidak terlalu suka makan daging" ucapnya lagi. "Bahkan jika disuruh memilih antara daging atau tahu, aku akan lebih memilih tahu" tambahnya menjelaskan.


Pemikiran macam apa itu?
Bagaimana cara ayah membesarkanmu?, batinku bertanya.


"Daging suka menyelip di gigi" tambahnya lagi.


Oh, sial.
Aku kira...


"Aku mungkin akan memesan pasta saja" ucapnya yang akhirnya memilih pesanannya.
.
.
.
"Jadi, kau adalah asisten dosen di universitas itu? Bukan mahasiswanya?" tanya Adrian begitu aku selesai menjelaskan kenapa diriku berada di Utrecht University.


"Sebenarnya aku dosen pengganti" ralatku. "Aku hanya menggantikan kenalanku yang merupakan dosen disana karena dia ada beberapa urusan"


Kami akhirnya bisa sedikit mengobrol, sembari menunggu pesanan kami. Meskipun kurasa masih ada beberapa hal lain yang ingin dia tanyakan, tapi dia seperti masih menyimpan pertanyaannya.
Apa yang menahannya?
Apa dia menunggu momen yang tepat?


"Lagipula aku berkuliah di universitas yang lebih bagus dari universitas itu" ucapku yang terkesan seperti menyombongkan diri.


"Oh ya? Dimana? Harvard? Oxford?" tanyanya yang sepertinya tertarik.


"Tidak keduanya" jawabku. "Aku kuliah S2 di Universiteit van Amsterdam"


"Oh.." tanggapnya singkat.


"Dan juga aku menjadi dosen pengganti, juga sekaligus untuk mengisi waktu luangku sebelum jadwal sidang skripsiku"


"Kapan?" tanyanya.


"Akhir tahun ini" jawabku. "Bagaimana denganmu? Bagaimana kul-"


Pertanyaanku terpotong karena makanan pesanan kami sudah tiba.
Tapi sepertinya ada yang salah.


"Aku memesan medium rare. Kenapa yang datang rare?" keluhku saat melihat steik pesananku yang tidak sesuai. "Bagaimana denganmu?" tanyaku kemudian.


"Aku memesan Fetucini,... tapi kenapa sausnya begini? Kenapa saus tomat?" celetuk Adrian. "Memangnya aku memesan kentang goreng"


"Sudahlah, lebih baik kita pindah saja" sahutku lalu meletakkan uang sebagai pembayaran makanan yang sudah kami pesan dan kemudian pergi dari restoran ini.
.
.
.
"Sekarang kita mau kemana?" tanya Adrian begitu kami berada diluar restoran.


"Tenang. Aku akan mengajakmu ketempat yang makanannya sudah jelas enak" jawabku.


"Makanan apa?" tanyanya lagi dengan nada seperti orang yang sedang curiga.


"Javanese salad with peanut sauce" sahutku.


"Apa itu? Gado-gado atau pecel? Kau tidak bisa membodohiku" balasnya dengan ekspresi kesal.


"Haha... Ketahuan ya?" celetukku dengan sedikit tertawa dengan tujuan mencairkan suasana.


"Aku jauh-jauh ke Belanda dan kau mengajakku untuk makan..." ucapannya sedikit menggantung.


Huft~
Dia menghelas nafas.


"Apa tidak ada sesuatu yang khas dari Belanda?" tanyanya kemudian.


"Kincir angin, bunga tulip" jawabku.


Meskipun bunga tulip sebenarnya bukan bunga asli Belanda. Melainkan berasal dari Turki.
Sejarahnya, dulu pokoknya ada seorang duta besar Habsburg (Austria) yang memberi bibit bunga kepada temannya yang merupakan dosen di Belanda, tepatnya di Leiden.


Nah, dari situ sang dosen mencoba menanam bibit bunga tulip tersebut, dan ternyata struktur tanah di Belanda cocok untuk bibit bunga tersebut. Bibit bunga itu adalah bibit bunga Tulip.
Maka dari itu di Leiden banyak taman bunga tulip.


"Maksudku makanan. Makanan khas Belanda" celetuk Adrian.


"Hutspot, Stampot, keju Edam, Herr-"


"Kalau itu aku tahu" potongnya. "Bagaimana dengan makanan seperti... Maksudku kalau di Jerman, terkenal dengan sosisnya. Dan Belgia dengan coklatnya. Bagaimana dengan Belanda?" tanyanya lagi.


Hmm... Benar juga. Apa ya?
Kenapa aku juga jadi ikut memikirkannya.


Belanda, Jerman, dan Belgia.
Aku jadi teringat dengan, three-country point. Perbatasan tiga negara.
Posisinya di ujung tenggara Belanda, sekitar 250 km dari Den Haag, persisnya di sebuah bukit bernama Vaalserberg yang terletak pada ketinggian 322,7 mdpl (puncak tertinggi di Belanda). Di situlah letak tugu pertemuan perbatasan tiga negara (Belanda-Jerman-Belgia), yang dalam bahasa Belanda disebut drienlandenpunt (three-country point).


Aku bingung, apa istimewanya perbatasan itu?
Memangnya ada apa disana sampai ada yang rela berjalan hampir 2 jam untuk sampai ke lokasi tersebut.


"Oh aku tahu, roti" sahutku. "Roti adalah makanan khas Belanda kan" terangku.


"Rot..." Adrian tidak melanjutkan kalimatnya. Sepertinya dia cepat sadar.


"Hahaha. Aku bercanda, aku bercanda" balasku. "Sudahlah, ayo kita cari makanan"


"Eno, kau bisa serius sedikit?" tanyanya lagi.


"Sudah kubilang kan, aku bercan..."


Tunggu sebentar.
Sepertinya ada aneh.
Ada yang janggal disini.


Kami belum benar-benar resmi berkenalan. Aku mengetahui kalau namanya adalah Adrian hanya karena aku diberitahu oleh orangtua kami. Maka dari itu aku tidak memanggilnya menggunakan nama, karena aku tidak tahu nama panggilannya.
Tapi dia... dia tahu nama panggilanku?
Apa- Tidak mungkin. Kalau orang itu pasti memanggilku dengan 'nama Belanda' pemberiannya.


"Bagaimana kau bisa..."


"Jadi benar namamu adalah 'Eno'?" tanyanya memastikan.


Aku mengangguk mengiyakan.


"Itu nama panggilanku" tambahku.


"Artinya..." ucapannya sedikit menggantung. "Artinya kau punya suatu hubungan dengan Yona?" tanyanya kemudian.


Yona?


"Tidak" bantahku. "Siapa itu Yona?" tanyanya balik.


Dia sepertinya kaget dengan jawabanku. Kemudian dia terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu sambil mengigit bibirnya sendiri.


"Kenapa kau-"


"Viviyona Apriyani" potongnya.


Huh?!
Viviyona Apriyani?


1565189429280.jpg
[/url]


"Vi..Vivi?"


"Terserah kau memanggilnya apa..." celetuk Adrian. "Tapi,.. itulah alasanku kesini, ke Belanda"


"Sebenarnya ada apa?" tanyaku kemudian.


"Beberapa waktu yang lalu, aku bertemu dengannya Yon- Vivi-mu. Padahal aku merasa tidak melakukan kesalahan apapun terhadapnya, tapi saat melihatku... dia tiba-tiba marah. Dan...." Adrian terlihat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.


"Dan apa?" tanyaku.


"Dan dia menamparku dua kali" lanjutnya.


"Hahahahaha" aku tidak bisa menahan tawaku.


"Tapi sesaat sebelum menamparku, dia sempat meneriakkan sebuah nama. 'Eno'. Namamu. Itu seingatku" tambah Adrian.


Sepertinya Vivi masih marah padaku. Lalu saat melihat Adrian yang mungkin penampilannya sekilas mirip denganku, dan mengira kalau itu adalah diriku. Dia langsung melampiaskan kekesalannya.


Maafkan aku, Vivi.


"Aahh.... Maafkan kakakmu ini" ucapku lirih.


"Kakak?" balas Adrian dengan nada dingin. "Bagaimana bisa aku memanggilmu 'kakak', padahal aku baru bertemu denganmu kurang dari dua jam yang lalu"


Dia ada benarnya.
Bagaimana bisa dia langsung menerima begitu saja orang yang baru dia lihat dan dia temui hanya beberapa jam ini adalah kakaknya.


"Aku bingung, kenapa dia begitu marah padaku.." celetuk Adrian. "Sampai beberapa hari yang lalu, aku menemukan sebuah foto. Dan didalam foto itu ada ayah dan ibu, yang sedang menggendong dua orang bayi. Aku dan kau"


"Oh, foto itu" sahutku. "Ya, hanya itu satu-satunya foto dimana kita terlihat bersama"


"Jadi sebenarnya, apa hubunganmu dengan Yona?" tanya Adrian pada akhirnya.


"Kita tidak bisa bicara disini" balasku. "Ayo kita ke flat milikku, kita bicarakan disana" tambahku kemudian.


Adrian terlihat ragu untuk mengiyakan.
Oh, mungkin...


"Tenang. Aku akan memasakkanmu sesuatu. Kau tidak perlu khawatir, kau bisa..."


Adrian masih terlihat ragu dan dia sekarang malah terlihat menatapku dengan tatapan jijik.


"Hei, aku tidak akan melakukan hal yang buruk kepadamu!"


"Tapi wajar kan jika aku curiga. Ini Belanda" balasnya.


"Lagipula aku juga sudah memiliki kekasih" ujarku.


"Ehh..."


"Aku normal. Kekasihku itu seorang wanita" ujarku lagi.


Huft~
Dia sedikit menghela nafas.


"Syukurlah" ucapnya kemudian dengan pelan.


"Sudahlah. Ayo" ajakku kemudian.


"Tunggu. Aku benar-benar bisa mempercayaimu kan?"
.
.
.
.
.
"Ini... Kau tidak mengenal warna lain?" tanya Adrian saat masuk ke dalam flat-ku.


"Ini karena kekasihku. Kurasa dia sangat menyukai warna biru. Maka dari itu seperti ini" jawabku menjelaskan kondisi flat ku yang barang-barangnya didominasi warna biru.


"Hmm... Lalu dimana dia?" tanyanya lagi.


"Mungkin sedang keluar. Jalan-jalan" jawabku lagi. "Duduklah, aku akan memasakkan sesuatu untukmu" tambahku.


"Kau sudah bisa mulai bercerita kan. Aku akan bosan jika hanya diam saja menunggumu" ucap Adrian begitu duduk di meja makan.


Padahal tadi saat kuajak bicara diawal, dia diam saja. Tapi sekarang dia cerewet sekali, batinku.


Efek lapar mungkin.


"OK. Tapi kuingatkan, cerita ini awalnya akan sedikit tidak enak" balasku mengingatkan.


"Sudahlah, mulai saja" balasnya seperti tidak sabar.


Aku menarik nafas panjang sebelum akhirnya mulai bercerita,..


"Semuanya berawal dari sebuah toilet umum"
.
.
.
.
.
.
.
.
.


*Flashback


Jakarta, Satu tahun yang lalu.


"Anj*ng!! Perut gue mules lagi" keluhku.


Aku melihat ada sebuah pom bensin di depanku, sekitar beberapa ratus meter lagi.


Terpaksa deh, gumamku.


Toilet pom bensin.
Toilet pom bensin tuh ya, gak tahu kenapa selalu jelek pasti. Padahal harga minyak dunia, harga BBM itu selalu naik tiap tahunnya.
Tapi kenapa toiletnya selalu jelek?
Padahal harga bensin selalu naik, kenapa gak dibenerin sih toiletnya?


Selain itu, toilet pom bensin itu. Udah jelek, kotor, bau, becek, bayar lagi ujungnya. Anj*ng!!


Sebisa mungkin gamau lho kalo harus pipis disitu, meskipun dibayar. Tapi ini malah kita yang disuruh bayar. Anj*ng lah!


Tapi sebenarnya, kita itu tidak pernah disuruh bayar.
Kalau kita keluar dari toiletnya, keluar pintu nih. Kan ada bapak-bapak pake baju ijo-ijo gitu. Dia itu diem aja, cuma duduk di sebelah pintu, didepannya ada meja, ada dua ribuan banyak gitu. Dan kita seperti terhipnotis untuk bayar. Kita keluar dari toilet, terus pas liat bapak itu,.. 'Oh, bayar nih. Bayar'. Selalu gitu kan. Padahal, saat kita keluar, dia diem aja dan saat kita udah ngasih uangpun, dia tetep diem. Gak ada 'makasih' atau apa gitu. Dieeemm terus.
Tapi entah kenapa kayak ada sesuatu dalam diri kita untuk bayar gitu, baru pergi.


Udah jelek, jeleknya jelek banget, bayar lagi. Itu udah untung kalo pintunya ada selotnya. Kadang ada yang selotnya itu selot 'Indonesian Style'.
Selot 'Indonesian Style' itu, bagi yang belum tahu. Itu ada paku miring di kusen pintu, terus ada paku lagi di pintu, dan ada benang kebawah, paku lagi diiket. Kita sangkutin di paku di pintu tuh. Mudah-mudahan aja gak kebuka, mudah-mudahan. Palingan cuma agak goyang-goyang dikit.


Masih untung ada selotnya, kalo gak ada selotnya caranya gimana?
Ada ember, kita isi penuh. Kalo udah penuh, geser taruh deket pintu.
Berharap kalo dibuka agak ketahan dikit. Tapi jangan lupa diisi penuh dulu embernya, kalo kosong percuma. Sama aja.
Dibuka,... Laaahh....


Kadang ada juga yang gak ada embernya. Itu adalah saat dimana kita harus multitasking, boker sambil nahan pintu.
Waktu ada yang buka, kita tahan.. 'Ada orang. Ada orang'. Susah loh itu.


Dan toilet yang ada baknya. Itu gue gak ngerti sama arsiteknya.
Kalo emang males bikin toilet, males desain toilet. Mending gak usah, daripada nyusahin orang.
Kan toiletnya itu jongkok kan ya, tapi baknya, itu tinggi. Tingginya itu setinggi mata kita, ya tinggi orang beda-beda sih. Tapi kalau aku, tingginya itu sekitar semata saat aku jongkok di toilet jongkoknya itu.
Mending kalo airnya penuh, ceboknya gampang. Tapi ada yang, tinggi baknya setinggi itu, airnya gak sampai setengah baknya. Berarti tangan kita kan harus masuk kedalam bak sampai posisi kita agak berdiri, ketek udah kena pinggiran bak, agak basah. Jadi kalo kita lagi ada di pom bensin, nungguin giliran ngisi bensin, terus ngeliat ada orang yang keluar dari toilet, keteknya agak basah. Nah, itu tuh. Habis cebok ketinggian tuh.


Bahkan ada yang gak cuma basah, ada yang sampai berdarah-darah juga. Itu kalo pinggiran baknya retak-retak tuh. Berdarah-darah jadinya tuh ketek.


Padahalah solusinya gampang lho. Waktu kita boker, nyalain dulu keran airnya biar baknya keisi penuh. Jadi nanti ceboknya enak, ketek aman.


Dan kenapa juga toilet umum itu selalu ngadep ke pintu. Kenapa dibikin ngadep ke pintu? Kalo kita lupa ngunci, ada orang yang ngebuka, langsung ngeliat muka kita. Jadi kayak,.. 'AAH!!'/'AAAHH!!!' gitu. Baru ditutup lagi. Tapi muka udah keliatan.
Kan jadi malu-maluin kalo kita keluar toilet, masih ada orang tadi lagi ngisi bensin.
'Oh, ini yang tadi nih.. Makanya mas, dikunci pintunya'. Kan malu ya.


Coba kalo dibikin, toiletnya itu ada disamping pintu. Atau ngebelakangin sekalian. Jadi kalo ada orang yang buka, ngeliatnya pantat. Kayak,.. 'Woo.. Pantat!!' gitu.
Boker jadi tenang, dia cuma ngeliat pantat kita.
Jadi kalo ketemu diluar, gak akan malu, 'Ini yang tadi bukan ya?', 'Coba liat pantatnya yang tadi bukan ya mas ya?'.


Dan kebanyakan toilet di Indonesia itu toilet jongkok. Gak cuma di Indonesia sih, dia Asia kebanyakan toilet umumnya itu toilet jongkok Kenapa coba?


Padahal kan lebih enak toilet duduk. Karena kita jadi gak perlu ngeliat 'lawan' kita kayak apa.
Kalo di toilet duduk kan begitu kita selesai boker, kita tinggal pencet tombol 'flush' kan. Berdiri udah gak ada tuh 'lawan' kita.


Kenapa orang Asia itu suka banget kayaknya ngeliat 'lawannya' itu kayak apa. Karena kalo toilet jongkok, mau gak mau kita harus ngeliat 'lawan' kita kayak apa.
Habis boker, kita berdiri baru kita liat,.. 'Ah, ini dia nih lawan gue nih. Yang keluarnya susah nih'. Baru kita siram gitu.
Tapi kadang ada yang ngelawan,.. 'Ayoloh.. Gue gak mau pergi dari sini'.
Kadang ada yang udah masuk, kita udah merasa tenang, malah nonggol lagi dianya,.. 'Masih ada...'.


Tapi toilet duduk juga ada anehnya, semakin berkembangnya jaman, semakin aneh toiletnya.
Karena gak cuma ada tombol flush, ada juga tombol-tombol yang lain gitu.
Ada tombol yang fungsinya untuk mengatur suhu dudukan toiletnya, biar anget. Kan kadang kalo dingin, kita kaget kan ya.. 'Eh, dingin!!'.
Bahkan di Jepang, ada juga tombol yang fungsinya untuk membuat suara. Suara flush. Cuma suara. Katanya biar gak kedengeran suaranya kalo lagi kencing. Biar gak malu katanya. Tapi kenapa harus suara flush gitu? Kenapa gak sekalian aja, suara pegunungan, suara suasana pantai, suara hutan, suara lalu lintas juga sekalian.
Ada juga tombol yang mengatur suhu air buat kita cebok. Mau dingin, biasa, anget, atau panas sekalian. Emang aneh-aneh Jepang itu. Kan kasihan kalo lagi buru-buru terus gak sengaja airnya air panas. Melepuh pantatnya.


Kalo toilet kayak gitu ada di Indonesia. Wah, pasti!!
Orang Indonesia kan kebanyakan norak ya, ke toilet bukan boker malah bikin 'Pop Mi*'. Mumpung ada air panas.


Gak cuma buat ngatur suhu, buat ngatur sudut tembakan air pas kita cebok juga ada. Mau yang nyerempet-nyerempet atau langsung to the point.
Tekanan airnya, juga bisa diatur. Mau yang pelan, sedengan, kenceng, atau kenceng banget. Itu yang kenceng banget, bener-bener kenceng banget, kayak dicebokin pake water canon. Cebok pake itu, pantat bukannya bersih malah tertib. Belum lagi kalo tembakannya itu pas kesitu, berasa jadi homo langsung. Kasihan.


Kalau dipikir, kenapa coba toilet pom bensin itu jelek-jelek. Karena kalau dipikirkan lagi, buat apa juga dibikin bagus.
Karena emang itu bukan pilihan pertama kita kan. Itu selalu jadi pilihan darurat. Kalo kita lagi dijalan kebelet, gak nahan. Baru ke pom bensin. Lagi macet, rumah masih jauh. Baru ke pom bensin.


Selalu jadi pilihan terakhir, gak pernah jadi pilihan pertama.


Emang pernah, lagi dirumah, lagi santai, lagi asyik nonton TV gitu, tiba-tiba kebelet... 'Duh, pengen pipis nih. Ke SPBU, ah'. Gak pernah kan.


Lah, gara-gara bahas toilet pom bensin, malah ilang sendiri mulesnya. Yaudah lah.



Sebuah janji terbentang di langit biru~
Janji yang datang bersama pelangi~



HP-ku berbunyi menandakan adanya panggilan masuk.


"Adit? Ngapain nih anak?" gumamku saat melihat layar HP-ku menunjukkan nama 'Adit', teman SMA-ku. "Halo. Apa'an, Dit?" sapaku setelah mengangkat panggilannya.


"Eh, No. Lo lagi dimana?" tanya Adit dari seberang telepon.


"Ini, lagi dijalan..." ucapanku sedikit menggantung. "Tauk nih, jalan apa'an"


"Maksud gue, lo lagi di Indonesia? Di Jakarta?" tanyanya lagi.


"Oh. Iya, kenapa emang?" tanyaku balik.


"Ikut reunian lah. Di Barbera Cafe, Kemang" ajak Adit tiba-tiba. "Itu cewek-cewek temen kelas dulu banyak yang nanyain lo"


"Emang iya?" sahutku seakan tidak percaya. "Siapa aja?" tanyaku kemudian.


"Santi, Ivana, Sandra, Mitha, Vina, Selvy, Rania, Sherin, Joane, Jesslyn, Ellen, Maria, Sabrina, Nadia, Nis-"


"Udah. Udah. Jangan lo sebutin satu kelas, anj*ng!!" potongku.


"Hahaha. Ya udah, pokoknya lo harus dateng lho ya. Awas aja kalo sampe gak dateng lo" ancamnya sebelum akhirnya menutup sambungan telepon.


"Anj*ng lah" umpatku. "Langsung ditutup aja. Anj*ng emang nih anak"


Tapi setelah kupikir lagi, gak ada salahnya juga buat kesana. Hari ini gak ada kegiatan juga.
.
.
.
.
.
Begitu sampai di tempat yang diberitahukan Adit tadi, aku langsung mencari-cari keberadaannya.


Dia yang ngajakin, dia malah belum dateng, batinku.


Akupun langsung mencari tempat duduk dan segera duduk dinmeja yang kosong.


"S-Sudah ada yang ingin dipesan, mas" tanya seorang pelayan wanita begitu aku duduk.


"Menunya aja belum dikasih, mbak" balasku kebingungan.


"Ah! Oh iya. I-Ini, mas" ucap pelayan tersebut sambil menyerahkan buku menu padaku.


Anak magang apa gimana kok gugup gitu, batinku.


"Minumnya dulu aja deh, mbak. Cappucino Shakerato" ucapku memesan menu.


Tapi yang kudapati adalah si pelayan wanita yang malah diam sambil senyum-senyum sendiri menatapku.


"Mbak! Mbak..!" aku melambaikan tanganku didepan wajahnya.


"Ah! Oh iya. P-Pesen apa, mas?" tanya si pelayan.


"Cappucino Shakerato" jawabku.


"I-Itu aja?" tanyanya.


"Iya. Itu dulu" jawabku lagi.


"Ditunggu ya, mas" ucap si pelayan wanita itu lagi yang hanya kubalas dengan anggukan kepala.
.
.
.
Aku meminum pesananku sembari menunggu Adit dan teman-temanku yang lain datang. Dan tidak jauh dari tempatku duduk ada segerombolan mbak-mbak. Ada sekitar 4-5 orang. Karena posisi yang tidak jauh itu, aku jadi bisa mendengar obrolan mereka.


Yang tidak aku mengerti adalah, jika ada perempuan ngumpul, lebih dari 3 orang, yang diomongin adalah temennya yang lain, temennya sendiri, sahabatnya sendiri.
Aku tidak sengaja mencuri dengar percakapan mereka, dan ternyata mereka lagi ngomongin Mona, temennya sendiri.


Sumpah, aku duduk disini dan mencuri dengar obrolan mereka, meskipun cuma sebentar, aku jadi hafal dengan dosa-dosa Mona. Jika aku ada kemauan, semua itu bisa kucatat, kemudian kutulis jadi sebuah buku. Entah berapa volume. Parah banget emang.


Yang mereka omongin juga ketus, aku gak tega, aku jadi pengen dengerin terus.
Mulai dari Mona yang katanya tidak becus jadi seorang ibu, sampai suaminya yang katanya miskin, bahkan anaknya yang tidak salah apa-apa, hanya karena anaknya itu sekolah di sekolah elit, tapi Mona, si ibu selalu mengeluh masalah biaya sekolah, kena juga. Kalo ngobrolnya satu hari penuh, kakek, nenek, buyutnya juga kena.


Tidak sampai disana, anjingnya yang baru ulang tahun dan di beri donat ada lilinnya, juga kena. Pokoknya semua aspek di kehidupan Mona kena gunjingan.


Dan yang paling kuingat, adalah Mona yang katanya tidak punya uang sehingga baju yang dia pakai selalu sama kalo lagi ngumpul. Pedih.


Tak terasa, sudah sekitar 30 menit aku duduk disini. Tapi teman-temanku belum juga datang. Akhirnya kuputuskan untuk menelfon Adit.


"Ha.."


"Woi, lo dimana?" tanyaku langsung.


"..lo" sapa Adit diujung telepon. "Santai dong, biarin gue nyapa dulu"


"Lo dimana, anj*ng" tanyaku lagi.


"Dirumah" jawab Adit cepat.


"Lah, katanya mau reunian di Kemang?" tanyaku bingung.


"Lusa reuniannya. Emang gue tadi gak ngomong ya? Hehe..." balasnya cengengesan.


"Anj*ng lo ya emang. Gak ngomong daritadi" ucapku memarahinya.


"Hehe. Lupa, No" balasnya tanpa merasa bersalah. "Lusa masih di Indonesia kan lo?" tanyanya kemudian.


"Masih" jawabku singkat.


"Ya udah, berar-"


TUT TUT TUT


Sebelum Adit menyelesaikan kalimatnya, aku sudah meutus sambungan telepon.


Huh~


Berikutnya aku memanggil pelayan guna memesan makanan. Aku memesan Village Fried Rice, nasi goreng yang masih polos, nasi goreng kampung. Karena dari kampung makanya masih polos.


Saat aku tengah makan, tiba-tiba dari depan cafe, dateng satu cewek. Dan dari gerombolan mbak-mbak tadi, ada satu cewek yang tadi pas ngomong, lidahnya paling tajem dan pake make up paling tebel. Dia berdiri duluan terus ngeliat kearah cewek yang baru dateng itu. Dia bilang,...


"Hei, Mona~"


Ternyata itu Mona, Monanya dateng. Mona langsung kearah mereka, terus mereka cipika cipiki.


"Kita baru aja ngomongin lo" tambah si mbak-mbak judes.


Persahabatan sadis macam apa ini, batinku.


Tapi yang terjadi berikutnya setelah Mona duduk dan aku melihat sebentar ke arahnya, aku jadi ikut membencinya. Dalam hati aku berkata,...


'MISKIN!!'
'Ini bajunya pasti masih yang kemaren nih!!'


Pelayan dateng,.. "Pesen apa, mbak?"


"Es teh satu" jawab si miskin eh, si Mona.


'Miskin, lo! Miskin Mona! Anak lo urusin!!!'


Kebencian itu ternyata bisa menular ya. Ya ampun.


Kemudian aku melanjutkan makanku. Tapi entah kenapa, aku merasa kalau sedang diperhatikan oleh seseorang. Dan ketika aku menoleh, ternyata benar. Ada seorang wanita yang memperhatikanku dari meja yang lain yang cukup jauh dari mejaku. Wanita itu langsung mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Awalnya aku tidak terlalu memerdulikannya, tapi beberapa saat berikutnya, dia masih saja melakukan hal yang sama.
Sebenarnya aku tidak masalah dan cuek-cuek saja karena itu adalah hal yang biasa aku alami. Tapi berhubung wanita itu terlihat cukup cantik dan dia sepertinya sendirian saja ditempat ini. Akhirnya akupun memutuskan untuk menghampirinya setelah menyelesaikan makananku dan membayarnya.


"Permisi, mbak. Tapi saya perhatikan dari tadi, mbak-nya ngeliatin saya terus. Ada apa ya?" tanyaku setelah berada di dekat meja wanita tersebut.


"Eh?! B-Bisa bahasa Indonesia?" tanyanya seperti kaget. "Aku kira orang luar"


"Saya bisa bahasa Indonesia kok" jawabku. "Emang ada keturunan eropanya sih tapi... Ya gitu deh"


"Oh.." tanggapku singkat. "Sendirian aja?" tanyaku.


"Iya nih, janjian ama temen tapi dianya malah gak jadi dateng. Padahal dia yang ngajakin" ujarnya menjelaskan.


"Mau ditemenin?" tawarku kemudian.


"Boleh deh" balasnya sambil tersenyum senang. "Eh iya. Duduk, duduk" ajaknya.


"Boleh..?" aku meminta ijin.


"Boleh lah" jawabnya.


"Jadi,.. Tadi kenapa merhatiin?" tanyaku yang masih penasaran.


"Enggak. Itu kamu mirip sama fa... Ya pokoknya mirip orang yang aku kenal lah, cuma lebih tinggi, warna rambutnya beda, sama gak pake kacamata aja" terangnya.


Hal berikutnya yang terjadi adalah kami yang mengobrol kesana kemari, mulai dari hal kecil sampai hal unik seperti dai yang mengeluh soal tinggi badannya yang tidak bertambah meskipun memiliki hobi bermain basket.


"Eh iya, daritadi ngobrol tapi belum kenalan. Namaku Naomi, Shinta Naomi" ucapnya memperkenalkan diri.





"Tapi jangan di search di internet ya" himbaunya. "Nanti kamu kaget, terus minder lagi gak mau deket sama aku"


"Kenapa emang?" tanyaku heran.


"Gapapa. Pokoknya jangan aja" jawabnya sambil tersenyum. Cantik sekali.


"Shinta Naomi? Kenapa gak dipanggil 'Shinta' aja?" tanyaku.


"Ya gapapa, bebas sih. Cuma temen-temen aku biasanya manggil aku Naomi"


"Aku kan bukan temen kamu" balasku.


"Eh, gak mau temenan?" tanyanya.


"Kalo aku maunya lebih?" tanyaku balik.


"Eh?!"


"Hehe,.. bercanda kok" ucapku. "Jadi boleh kan aku manggilnya 'Shinta'?"


"Boleh kok" jawabnya dengab sedikit sorot mata yang menandakan kalau dirinya kecewa.


"Emang mau?" tanyaku menggodanya. "Emang mau kalo lebih?"


"Eehhh... Itu... Oh iya, nama kamu siapa?" tanyanya seperti berusaha mengalihkan pembicaraan sambil mengulurkan tangannya.


"Adriano. Panggil aja Eno" balasku sambil menjabat tangannya.


Bersambung.jpg



-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Catatan Penulis:


Nah sekarang udah pada tau kan, siapa kakaknya Adrian.

Itu orang tua ngasih nama anak kenapa gak kreatif banget ya?



Makasih
• TTD H4N53N

*Kalo ada yang kenal sama si Mona, tolong titip salam ya.
Salamnya,...

"Miskin lo, miskin!! Anak lo urusin!!"
 
Terakhir diubah:
narasi tukang update sama tuan kok kerasa beda ya? suka keluar naratornya nyeritain ini itu tapi muncul juga di dalem ceritanya, eh gak dink, saia rasa, penyampaian dan penggambarannya agak berubah, tapi saia tetep suka kok, ibarat neng Frieska yang rambut panjang ganti style ke rambut pendek, saiya tetep suka.
 
Anda: "Namanya siapa, mas"

Saya: "Saya"

Anda: "Iya, masnya namanya siapa?"

Saya: "Saya"

Anda: "Iya, masnya namanya siapa?"

Akhirnya disiram air panas.


Lah, kocak :pandaketawa::pandaketawa:


Screenshot-20190807-051453-1.jpg


'Aku' ini saudara 'Saya'?
 
Makasih adrian, dijodohin tapi yg 7 laennya ngikut

Masiih penasaran yg ke 7🤔🤔🤔🤔
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd