Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Reality ACT II

Baru baca lagi, ini Vivi ternyata Viviyona...

Ane kira pindah haluan nih bikin cerita OP
 
akhirnya apdet juga, makasih hu 😁
kapan nih scene kak ads, kangen kak ads nih sama greshan 😂
Secepatnya adrian bakal muncul

Alias

Baru tadi saya sindir di update terbaru, ternyata tiba-tiba dia balik lagi
 
"Iiihhhh... Ibu. Lucu banget anaknya"

Terus nanyanya apa...?

"Kembar ya?"
Wkwkwk
Screenshot-20190921-181144-1.jpg
 
Entah kenapa kesel ama karakter Vivi di sini. Never liked this kind of woman. Btw ini karakter Eno sekilas mirip ama protagonisnya anime Seishun Buta Yarou, lol. Vivi nya kakak kelas pula:D

Ada film SPLIT. Gw jga pas kelar nonton dulu baru tahu kalo ini film sequel, wkwkwk.

Itu wotagrapher jadi cameo banget, wkkw.
 
Bimabet
Part 27: I came, I saw, I conquered



38008820-951247698415554-1509958463726288896-o.jpg



"Eno.. Kok bengong?" panggil seorang wanita menyadarkanku dari lamunan. "Ayo bantuin mama, bawain koper ini ke bawah ya" tambahnya meminta pertolonganku.


"Ee... I-iya, Ma" jawabku yang langsung membantunya membawakan koper.


"Mikirin apa sih anak mama ini? Pacarnya ya?" selidiknya tiba-tiba.


"Ah... E..Enggak" bantahku.


Iya, memang dia ibuku. Tapi aku memanggilnya 'mama'. Terkesan manja memang, tapi dia yang memintanya. Dan itu mungkin karena...


"Duh... Masa anak mama yang paling ngangenin ini gak punya pacar?" tanya ibuku kemudian sambil mengelus pipiku.


Aku tidak bilang kalau aku tidak memiliki kekasih kan, batinku.


Eh... Tunggu sebentar.


"Paling ngangenin? Bukan paling ganteng?" tanyaku kemudian.


"Ya... Gimana ya.." ibuku terlihat ragu. "Habisnya-"


"Ya memang jika dibandingkan dengan adikmu, kau kalah" sahut ayahku tiba-tiba.


Menohok sekali, batinku.


"Apalagi jika dia melepaskan kacamatanya, atau jika dia tetap membiarkan rambutnya dengan warna aslinya. Entah akan berapa banyak gadis yang mengejarnya" tambah ayahku menjelaskan.


"Makanya, ayah. Ibu kan mau kenalin dia ke anaknya si Heni" balas ibuku. "Biar Adrian itu gak kayak ayahnya waktu muda" tambah ibuku kemudian menyindir seseorang.


Hahaha, aku tertawa dalam hati.


"Ee.... Tapi bukannya Adrian itu udah punya pacar ya?" tanya ayahku seperti berusaha mengalihkan pembicaraan.


"Emang sih anaknya baik. Tapi kata Adrian, Shania itu cuma temen biasa kok" bantah ibuku. "Lagian udah punya pacar juga si Shania-nya"


Ini membicarakan apa?
Aku tidak paham.


Dan kudengar dari kakek katanya Adrian itu sudah dijodohkan dengan...


"Daripada itu, ayah mending bantuin juga. Nonton TV mulu" protes ibuku.


"Bentar, bu. Ini penting. Ayah kan nonton TV biar nambah informasi" jawab ayahku. "Lagian idolanya Adrian ini"


Iya memang benar yang dikatakannya barusan. Kalau yang dia lihat itu berita.
Tapi sekarang ini yang dia lihat adalah infotainment. Lebih tepatnya,...


"Setelah bergabung di JKT48 selama hampir 6 tahun, Jessica Veranda atau Ve mengumumkan untuk graduate atau lulus dari JKT48.


Pengumuman kelulusan Ve ini disampaikannya usai event handshake-"


Tunggu sebentar.
Idola Adrian?
Adrian mengidolakan JKT48?
Atau jangan-jangan dia mengidolakan,...


"Eno.. Ngelamun lagi?" panggil ibuku lagi.


"Ee... Enggak. Cuma itu, Adrian kemana ya?" tanyaku beralasan. "Daritadi gak kelihatan"


"Ya, kuliah lah" sahut ayahku. "Lagipula ini belum waktu yang tepat untuk kalian bertemu. Hari di saat kalian bertemu nanti,.. Pasti akan sangat menyenangkan"


Emangnya apa'an?!, batinku.


"Oh iya, kacamatanya Adrian itu rusak kan ya, pak?" tanya ibuku memastikan.


"Iya.." tanggap ayahku santai. "Patah..."


1 detik.
2 detik.
3 detik.
4 detik.


"Waduh, gawat!!" teriak ayahku akhirnya. "Kalau Adrian tidak memakai kacamatanya, dia bisa melakukan apapun yang dia mau"


Maksudnya gimana?, batinku bertanya.


"Apalagi dia nanti tinggal sendirian, bisa gawat" tambah ayahku panik. "Kita harus membelikannya kacamata baru, untuk menekan daya tarik visualnya. Berapa minusnya Adrian?"


"Ibu lupa, coba ayah periksa kacamatanya di kamarnya" balas ibuku.


"Tapi nanti dia pasti protes kalau ada yang masuk ke kamarnya gak ijin" sahut ayahku.


"Iya,.. Ibu juga heran kok dia bisa tahu ya kalau ada yang masuk ke kamarnya" tanya ibuku kebingungan.


Bukan itu masalahnya kan.


"Tunggu" potongku. "Adrian bakal tinggal sendirian?" tanyaku kemudian.


"Iya. Waktunya buat dia mulai belajar mandiri" jawab ayahku.


"Emang ayah mau ke Jogja juga?" tanyaku lagi. "Enggak kan"


Oh iya, aku belum memberitahu ya.
Ini adalah hari kepindahan. Ibuku akan pindah ke Jogja untuk merawat nenekku yang sakit.
Ayah tidak ikut pindah karena pekerjaannya ada di Jakarta.
Dan Adrian, dia sudah terlanjur kuliah di Jogja. Jadi... Ya begitulah.
Apa ini sudah pernah dijelaskan sebelumnya ya?
.
.
.
"Ibu di Jogja jangan nakal ya" ucap ayahku dengan nada manja.


"Harusnya ibu yang ngomong kayak gitu" balas ibuku dengan nada bicara yang tak kalah manjanya.


"Uuu... Ibu bikin gemesh"


Jangan bikin anak kalian malu, Woi!!, batinku.


Kenapa harus ada dialog seperti itu coba?
Ini kan masih di depan rumah.
Lagipula aku dan ayahku juga masih akan mengantarkan ibuku ke bandara kan.


"Oh iya, Eno. Kau bisa kembali ke apartemenmu sendiri kan" ucap ayahku tiba-tiba.


"Huh..? Tunggu, kenapa harus begitu? Aku kan bisa.."


"Setelah mengantarkan ibumu, ayah akan langsung ke kantor" sahut ayahku sebelum aku menyelesaikan protesku.


"Tapi,... Ayah kan punya mobil sendiri. Itu yang di garasi..."


"Biar mobil itu nanti dipakai Adrian. Mobil kamu ayah pakai" sahut ayahku lagi. "Lagipula sebentar lagi liburanmu selesai kan. Kau akan kembali ke Belanda. Daripada mobilmu ini tidak terpakai"


Terkesan mengusir ya, batinku.


"Ya sudah ya, kau hati-hati di jalan. Jangan lupa, kau yang mengurus kacamatanya Adrian kan" tambah ayahku.


"Iya.." jawabku singkat. "Tenang saja, aku tidak akan memberikannya langsung. Aku bisa mengirimkannya padanya kan"


"Bagus" tanggap ayahku lalu mulai menjalankan mobil menuju ke bandara meninggalkanku disini sendirian.


Sumpah, punya ayah kok ngeselin banget.
Aku benar-benar anaknya atau bukan sih?, batinku.


Aku diminta kesini untuk membantu ibu pindahan dengan membawa mobil, tapi setelahnya hanya ayahku yang mengantarkan ibu ke bandara dengan menggunakan mobil yang tadi kubawa.
Dan sekarang aku harus jalan kaki untuk kembali ke apartemenku?


Huh~
Aku menghela nafas.



Sebuah janji terbentang di langit biru~



Tiba-tiba HP-ku berbunyi, pertanda ada panggilan masuk.


"Kenapa dia tiba-tiba menghubungiku lagi?" gumamku saat melihat nomor yang menghubungiku.


Nomor itu memang tidak aku simpan di HP, karena memang sudah tidak terlalu penting menurutku.
Tapi otakku masih mengingat dengan jelas siapa pemilik nomor itu.


Tanpa berusaha menghindarinya, aku mengangkat panggilan telefon darinya dan,...


"Ha..lo... I..ni... Si..a..pa... Ya...?" sapaku dengan sengaja bicara terputus-putus.


Setelah itu barulah aku memutuskan sambungan telefon darinya.


Daripada gak diangkat kan, batinku.


Kenapa?
Kalian daritadi bingung karena mengharapkan di part ini akan ada kelanjutan cerita di villa?
Kuberitahu ya, tidak ada adegan di villa.


Bagaimana bisa?
Kalian malah makin penasaran?
Tapi bukankah kalian tidak suka dengan Flashback yang di Flashback dan di Flashback lagi.
Oke,... Kalau kalian memaksa
.
.
.
.
.
.
.
**Flashback Di Dalam *Flashback


Begitu bibir kami terlepas, aku langsung ingin bertanya,...


"Vi... Kenapa? Kenapa lo... Kenapa sekarang lo tiba-ti..."


"Ssstt..." potong Vivi memintaku untuk diam. "Sekali lagi. Cium gue sekali lagi. Baru nanti gue jelasin"


Dan sekali lagi kami pun berciuman. Terlihat sekilas Vivi memejamkan matanya, benar-benar menikmati momen ini.


Kembali aku merasakannya. Kembali aku merasakan betapa hangat, lembut, dan manisnya bibir Vivi saat bertemu dengan bibirku. Ciuman yang dipenuhi dengan perasaan, dipenuhi dengan kasih sayang. Ciuman yang begitu berkesan.


Aku tidak ingat berapa lama, tapi yang jelas ciuman kedua ini berlangsung cukup lama. Kami baru berhenti saat kami sama-sama merasa untuk mengambil nafas sebentar.


Tapi tidak seperti perkataan Vivi sebelumnya. Saat ciuman kedua ini selesai, aku dan Vivi saling bertukar pandang sejenak sebelum akhirnya kami kembali berciuman untuk yang ketiga kalinya. Ciuman yang ketiga ini sedikit berbeda dari dua ciuman sebelumnya.
Jika sebelumnya ciuman kami diliputi oleh perasaan penuh cinta kasih, ciuman kali ini Vivi sedikit 'nakal' dengan menggigit-gigit pelan bibirku. Bahkan dia juga berusaha mendorong lidahnya kedepan untuk ciuman yang lebih nakal lagi.


Tapi karena aku merasa ini bukan waktu yang tepat, bukan juga tempat yang tepat. Maka aku pun menarik kepalaku untuk menghentikan ciuman ini. Dan disaat Vivi tengah keheranan, mungkin karena aku yang tiba-tiba menghentikan ciuman kami secara mendadak. Aku langsung bertanya padanya, menagih janjinya. Menagih sebuah penjelasan.


"Vi, kenapa lo sekarang tiba-tiba mau gue cium?" tanyaku akhirnya. "Bahkan tadi lo juga minta dicium lagi"


"No,... Sebenernya.... Sebenernya gue... Sebenernya dari dulu gue suk-"



He's my only one
I give him all my love~



"Ck.. Siapa sih gangguin aja" keluh Vivi yang seperti merasa kesal karena HP-nya berbunyi ada panggilan masuk.


Tapi tiba-tiba wajahnya terlihat tegang saat melihat layar HP-nya.


"Halo, Shan.." Vivi kemudian mengangkat telfonnya.


Tanpa menunggunya selesai menelefon, aku langsung melajukan mobilku lagi.


Nada dering telfonnya itu,...
Apakah itu untuk Adit?
Apakah Vivi belum benar-benar melupakan Adit?


Kenapa feeling ku tidak baik tentang ini?
.
.
.
.
.
"Ya udah iya. Udah dulu ya, Shan" ucap Vivi yang kemudian mengakhiri sesi telfonnya.


Saat kulirik sedikit, terlihat Vivi yang menekuk wajahnya, pertanda dia tidak sedang dalam mood yang bagus.


Sebenarnya aku ingin menanyakan sesuatu, tapi jika melihat Vivi yang seperti ini,...


Nekat aja lah, batinku.


"Vi,.. Kenap-"


"Maaf ya, No" potong Vivi yang tiba-tiba meminta maaf.


Dia minta maaf lagi?


"Maaf ya, kita kayaknya gak bisa ke villa deh" ucap Vivi lagi.


"Hmm..." tanggapku santai.


"Lo bisa..." Vivi tidak melanjutkan kalimatnya. Dia melihat keluar jendela sebentar sebelum akhirnya kembali bicara. "Ini kita mau kemana?"


"Pulang" jawabku singkat.


"Kok lo..."


"Gue tau kok kalo lo pasti batalin buat ke villa gu... Gue tau lo gak bisa" balasku.


"Tapi kok.... Insting hewan liar lo ya" sahut Vivi.


"Feeling, Vi. Feeling" ucapku membenarkan.


"Iya, iya" balasnya. "Anterin gue pulang ya. Jangan dibawa kemana-mana lagi" pintanya kemudian.


"Iya,... iya, tuan putri" balasku. "Curigaan amat sih"


1538654181177.jpg



"Hihihi..." dia cengengesan. "Tapi bukan ke kost gue ya" ucap Vivi tiba-tiba. "Ke rumah gue, di Bogor. Lebih deket kan"


Selalu.
Suka seenaknya sendiri, batinku.


Tunggu sebentar.


"Tenang, gue tunjukkin nanti jalannya" sahutnya lagi.


Ya emang harus gitu, batinku.


Uh...
Itu artinya,...


"Tapi yang bener lho ya ngarahinnya" sahutku mengingatkan. "Jangan kayak waktu itu"


"Dih,... Gue selalu bener kok kalo ngarahin" balas Vivi.


"Terserahlah" sahutku malas.


Tunggu sebentar.
Sepertinya masih akan ada satu masalah lagi yang harus kuhadapi nanti.
.
.
.
.
.
.
.
"Jadi,... Udah berapa lama kenal sama anak saya?" tanya bapak-bapak itu dengan nada dingin.


Benar kan feeling ku.
Kena interogasi kan.


"Itu..." aku sedikit bingung.


"Terus kenapa malem-mal..."


"Pak, jangan gitu... Kalo mau ditanyain-tanyain, suruh masuk dulu anaknya. Jangan di depan pager gini" sahut seorang ibu-ibu yang kuyakin pastilah istri dari bapak-bapak tadi. "Nak... Siapa tadi namanya?" tanya si ibu-ibu kepadaku.


"Eno, tante" jawabku berusaha sesopan mungkin.


Siapa bapak-bapak dan ibu-ibu ini?
Tebak sendiri dong.


Nah iya, benar. Orangtua Vivi.


"Ya udah, kamu masuk dulu.. Sekalian makan, belum makan kan" ucap bapak-bapak itu lagi.


Aku menggeleng sebentar sebelum akhirnya,...


"Gak usah deh, om. Gak enak" balasku. "Saya langsung pulang aja" tolakku kemudian.


"Kamu belum masuk ke rumah saya, udah bilang rumah saya gak enak. Kurang ajar juga ya kamu" balasnya.


"Bu..Bukan gitu maksud saya,..." balasku berusaha menjelaskan.


Nih orang kenapa sih?, batinku.


"Rambut diwarna-warnain... Kayak berandalan gitu" dia semakin mencelaku.


"Rambut Eno emang pirang, Yah" sahut Vivi membelaku.


"Kamu sama ibu masuk dulu ke dalam" balas ayah Vivi.


"Tapi,..."


"Udah, turutin aja omongan ayah kamu" sahut ibu Vivi berusaha membujuk anaknya untuk masuk.


"Satenya, Vi. Jangan lupa. Lo bawa aja" sahutku. "Kan lo tadi yang minta dibeliin" tambahku.


"Oh,... Mau nyogok?" celetuk ayah Vivi dengan nada sinis.


Baiklah, sekarang aku tahu sifat menyebalkan Vivi berasal darimana, batinku.


"Kamu pikir bisa nyogok saya?" ucap ayah Vivi lagi.


"Ya kalo gitu ayah gak usah ikut makan" sahut Vivi.


"Kamu masuk!" perintah ayah Vivi lagi.


Dan ibu Vivi kembali membujuk anak gadisnya untuk menuruti ayahnya. Awalnya Vivi sempat ingin menolak lagi, tapi setelah aku memberi isyarat padanya untuk menuruti ibunya saja. Akhirnya Vivi mau juga untuk menurut.


"Sate apa? Kambing ya. Kamu mau bunuh saya? Saya ada kolesterol" tambah ayah Vivi tiba-tiba setelah anak dan istrinya masuk.


"Ayam kok, om. Sate ayam" balasku.


"Hmm..." balasnya.


Apa'an!!!, batinku.


"Ee... Om?"


"Kenapa masih disini? Katanya mau pulang" ucapnya tiba-tiba mengusir secara 'halus'.


Malah diusir. Kan gue nungguin dulu.
Kali aja dia masih ada yang mau diomongin.
Gak perlu ngusir juga dong, batinku.


"Kalo gitu saya permisi ya, om" aku berpamitan.


Dan aku juga masih berusaha untuk sopan, aku mengulurkan tanganku untuk salim. Tapi tidak ada tanggapan. Jadi kuputuskan untuk segera pergi saja dari tempat ini.


"Permisi ya, om.." ucapku lagi lalu berjalan menuju mobilku. Tapi,...


"Eno..." panggil sebuah suara yang entah kenapa terdengar begitu merdu setelah beberapa saat sebelumnya aku hanya mendengarkan suara bapak-bapak yang mengomeliku.


Sebenarnya aku tidak perlu menoleh untuk melihat siapa yang memanggilku. Tapi pada akhirnya aku tetap menoleh juga.


"Ayah dipanggil ibu masuk" ucap Vivi pada ayahnya.


"Kamu jangan bo-"


"Ayaaahh...." terdengar suara memanggil dari dalam rumah Vivi.


"Iya, bu.. Ayah datang" balas ayah Vivi yang langsung bergegas masuk ke dalam rumah.


"No..." panggil Vivi lirih sambil menatapku sendu.


"Iya" balasku. "Gue pulang ya" tambahku yang langsung pamit.


"Tunggu bentar,... Gue mau ngomong" cegah Vivi.


Jangan, Vi... Jangan!!
Gue bingung harus gimana nanti.
Gue bingung harus jawab apa, batinku.


Gue bingung gimana cara buat...


"Besok jemput gue disini ya" ucap Vivi tiba-tiba.


"Vi, sorry gue- Huh?! Gimana?" aku sedikit kebingungan.


"Jemput gue besok" balas Vivi dengan memasang wajah polos.


Huh~
Aku menghela nafas.


"Gue kirain..." gumamku pelan. "Ya udah, besok gue jemput" balasku akhirnya. "Sekarang gue pulang dulu ya" pamitku lagi.


"Eh, tunggu.." cegah Vivi lagi. "Gue mau bisikkin sesuatu. Sini.." tambahnya memintaku untuk mendekatkan.


"Tapi-"


"Sini..."


"Tapi, Vi.."


"Eno!!"


"Ta-"


"Please" kali ini Vivi memohon dengan


Akhirnya aku mendekatkan telingaku yang otomatis juga membuat wajah sampingku berada di hadapan Vivi. Dan,...


IMG-20180617-015651.jpg



"You know what,... You're My Only One" bisik Vivi di dekat telingaku.


"Maksu-"


Cup~


Belum selesai aku bertanya,... Vivi tiba-tiba mencium pipiku yang otomatis langsung membuatku terdiam bingung karena tidak menduga hal tersebut.
Dan ditengah kebingunganku itu, aku tidak sadar kalau Vivi sudah masuk ke dalam rumahnya.
Sepertinya dia langsung masuk sesaat setelah menciumku.


Astaga,... Sepertinya ini akan menjadi semakin sulit.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Begitulah,...
Tidak ada adegan di villa kan.
Karena memang aku dan Vivi tidak jadi kesana. Dan sekarang yang kulakukan adalah,... Berjalan.
Keluar dulu dari perumahan ini, lalu mencari taksi untuk pulang.


Jalan.. Jalan... Jalan.... Dan di kejauhan aku melihat satu orang memakai jaket berwarna hijau sedang berjongkok di samping sepeda motornya yang dia lihat saja daritadi.


"Motornya kenapa, mas?" tanyaku basa basi.


"Gak tau" jawabnya singkat.


Terus ngapain lo liatin doang?!!, batinku.


Kalau rusak, ya dibawa ke bengkel dong.


Akhirnya kuputuskan untuk pergi saja meninggalkannya.


"Kirain tadi-"


"Mas, mau kemana? Mau naik ojek gak?" tanyanya tiba-tiba.


Anjing!! Bikin kaget aja, batinku.


"Tukang ojek, mas?" tanyaku memastikan.


"Iya, ojek online" jawabnya cepat.


"Gak deh, mas. Lagian saya gak ada aplikasinya" balasku berusah menolak secara halus.


"Santai aja. Bisa offline kok" sahutnya.


TING~
HP-ku berbunyi.
Kali ini ada pesan.


"Gimana, mas?" tanya si abang ojek.


"Bentar" balasku memintanya untuk diam sejenak.


Kubuka HP-ku dan,...


"Kita bisa ketemuan sebentar gak? Ada yang pengen aku omongin. Please~" begitu isi pesan tersebut. Pengirimnya adalah orang yang sama yang menelfonku tadi.


Pake 'Please' lagi.
Nolaknya kan jadi susah, batinku.


Kubalas pesan itu untuk menyetujui permintaannya yang langsung dia balas dengan memberitahukan waktu dan lokasi untuk bertemu.


"Harus hari ini banget?" gumamku saat membaca balasan pesan darinya. "Beneran nih ngajak ketemuan disana?" gumamku lagi.


"Mas..."


"Ya udah, mas. Anterin saya ya deh" ucapku akhirnya pada si abang ojek.


"Siap!!" jawabnya sumringah.


"Tapi bisa anterin ke lebih dari satu tempat gak?" tanyaku mencoba memastikan.


"Asalkan bayarannya sesuai aja, mas"
.
.
.
.
.
.
.
Sebenarnya naik kendaraan online itu enak. Ini bukan pertama kalinya aku naik kendaraan online. Jangan pikir di Indonesia saja yang ada kendaraan online. Di Belanda juga ada.
Ya, intinya enak lah pake kendaraan online itu, kita tinggal pesen, nunggu, nanti dateng, kita tinggal naik, terus pergi. Gampang.


Tapi kita hanya bisa memilih mau motor atau mobil. Kita tidak bisa memilih mau dapet helm yang seperti apa.
Gak ada pilihannya, kita harus pasrah. Helm apapun yang kita dapet, ya itu yang harus kita pake. Mau gak mau.
Kadang ada yang kacanya itu engselnya kendor, jadi suka tiba-tiba jatuh gitu, terutama kalo lewat polisi tidur, tiba-tiba jatuh aja kacanya. Kan kaget ya.
Iya kalo kacanya itu bersih, bening gitu. Ini udah kotor, buluk juga. Bau lagi kadang-kadang. Ya masa sepanjang perjalanan harus nahan terus. Kan capek tangan.
Belum lagi ininya... Apa namanya,...?
Penggaitnya itu lho, sangkutannya, cetrekannya.


Orang Indonesia mah gampang.
Bunyinya gimana, 'cetrek'. Oh, cetrekan. Gak perlu dikasih nama aneh-aneh.
Kantong plastik digesek bunyi 'kresek-kresek'. Oh, kresek. Gampang aja kalo ngasih nama.


Cekrekan sepatu, itu juga punya nama lho.
Ada yang tahu?
Namanya itu Velcro kalo gak tahu, selengkapnya cari di Google aja.
Nambah ilmu kan.


Sampe mana tadi?
Cetrekan helm ya?


Ada cetrekan helm yang dipasang, gampang, dilepas juga gampang. Jadi begitu sampe, turun dari motor, tinggal lepas, kasih ke abang ojeknya.
Tapi ada yang susah juga dilepasnya. Ada yang pernah enggak?
Aku pernah, jadi untuk mengakalinya itu,.. Saat di perjalanan, di test dulu.. Gampang apa susah. Kalo gampang, nyampe, turun, baru copot... 'Ini, bang' (dengan pede-nya gitu).
Kalo susah, harus sekitar.. Kira-kira 200 meter lagi dari tempat tujuan, itu udah harus mulai berusaha nyopot helmnya. Jadi pas nyampe, mudah-mudahan.. Mudah-mudahan lho ya. Begitu nyampe pas copot helmnya.
Tapi kadang pernah juga, begitu nyampe, belum copot. Jadi pas nyampe, turun dari motor, itu masih berusaha nyopot helmnya, kayak,... 'Bentar ya, bang'. Itu gak enak tuh, karna akhirnya, kita akan dibantuin sama abang ojeknya. Kan masalahnya, gue cowok, abangnya juga cowok, itu bakal jadi momen paling awkward deh pokoknya. Mata itu bingung harus kemana, liat keatas, nungguin ada UFO lewat, atau harus tatap-tatapan sama abangnya, itu jadi bingung. Dalam hati kayak,... 'Cepetan, bang', padahal gue juga yakin kalau si abang ojeknya, dalam hati juga,... 'Sabar, mas. Ini susah banget'.


Dan dibonceng sama abang ojek itu,.. Mungkin kalian gak sadar, mungkin kita gak sadar.
Saat dibonceng abang ojek itu, kita pasti selalu ngasih jarak kan ya.
Pasti ada jaraknya, kalo sama temen kan santai. Tapi kalo sama abang ojek itu pasti ngasih jarak.
Intinya gak mau terlalu intim lah.
Dan biasanya, tangan kita itu kebelakang, pegangan sama besinya. Istilahnya bonceng GTA.


Di dalam perjalanan, tanpa kita sadari, jarak yang sudah kita buat saat naik ke motor tadi, lama kelamaan, semakin menipis.
Lama-lama jaraknya jadi makin deket, merk ojek online-nya itu jadi makin gede, kayak di zoom in gitu.
Lama-lama duduk kita jadi maju, tapi kita gak bisa tiba-tiba main mundur gitu aja, karna nanti pasti jadi oleng motornya.


Terus caranya gimana buat ngakalin?
Ambil momen polisi tidur. Iya kan.
Jadi pas polisi tidur, pas lagi naik, kita mundur.
Dijamin aman, gak akan goyang motornya, si abang ojeknya juga gak bakal ngerasa apa-apa.
Itu caranya. Asal jangan kejauhan aja mundurnya, nanti malah ketinggalan.


Satu hal lagi yang gak kita sadari saat dibonceng abang ojek adalah,...
Kita kan duduk, pahanya ngangkang ya. Kadang-kadang si abang ojeknya itu ngebut. Saat ngebut, kita gak mungkin pegangan sama abang ojeknya, pegangan ke besi di belakang.
Nah, tanpa kita sadari, saat ngebut itu, paha kita jepit abangnya, jepit pinggangnya. Lama-lama kenceng. Tapi kita gak sadar tuh.


Sadarnya saat apa?
Saat lampu merah, saat berhenti. Jadi paha yang daritadi udah ngejepit, pas lampu merah, kita baru sadar,.. 'Huh.. Kok ngejepit?'. 'Paha kok kenceng?', tapi gak sadar.
Atau jangan-jangan,... Abangnya ngebut, gara-gara kita jepit?
'Lah kok dijepit?', akhirnya ngebut.
Bingung juga.
.
.
.
.
.
"Udah, mas. Kiri, mas" ucapku memberhentikan si abang ojek dengan menepuk pundaknya. "Nih ya" ucapku lagi setelah turun dari motornya dan memberikan ongkos kepadanya. "Makasih ya"


"Oh udah, mas. Makasih juga ya, mas" balasnya sambil menerima ongkos dariku.


"Ee,... tapi..." aku sedikit ragu. "Bisa tungguin gak?" tanyaku kemudian. "Feeling saya kayaknya saya gak lama disini, mau pergi lagi"


"Berapa lama emang, mas?" tanyanya lagi.


"10-15 menit mungkin. Tapi tungguin 30 menit aja deh buat jaga-jaga" jawabku.


"Saya tungguin aja deh kalo gitu" balasku akhirnya.


"Ya udah. Kalo 30 menit saya gak balik, tinggal aja gapapa" ucapku akhirnya.


Kemudian aku berbalik badan dan hendak segera masuk ke gedung mall itu.


Oh iya, hampir lupa.
Aku kembali berbalik badan dan bertanya kepada si abang ojek itu,...


"Mas,.. Masnya sering nongkrong di situ? Di komplek perumahan itu tadi gak?" tanyaku penasaran.


"Hah? Kenapa mas?" tanya si abang ojek balik.


"Masnya sering nongkrong di komplek perumahan itu tadi?" tanyaku lagi. "Yang pas kita ketemu tadi"


"Oh.. Enggak, mas" jawabnya. "Kenapa emangnya" tanyanya kemudian.


"Gapapa. Tadinya kalo misal sering nongkrong disana, saya mau titip adik saya. Dia tinggal sendirian soalnya. Yah... Siapa tau dia bakal sering pesen makan lewat ojek online kan" jelasku kemudian.


"Adeknya yang mana, mas?" tanyanya bingung. "Yang tadi itu?"


"Yang tadi..?" aku berfikir sejenak. "Oh bukan" jawabku kemudian. "Kalo yang tadi itu,... Adik ipar. Doain aja" jelasku. "Lagian kalo yang tadi itu kan ketemunya di perumahan yang beda"


"Oh iya ya. Bener juga" ucapnya yang batu teraadar. "Eh, kita belum kenalan, mas" ucapnya tiba-tiba.


Ngapain sampe perlu kenalan?, batinku.


"Saya Bastian, tapi panggilan kesayangannya Yunior" ucapnya lagi menjelaskan.


Apa'an?!, batinku.


"Gak mau ganti nama, mas?" tanyaku. "Yang lebih pantes gitu"


"Apa saya harus dipanggil Oscar aja ya?" gumamnya.


Kok gue kesel ya dengernya, batinku.


"Emang nama lengkapnya siapa sih?" tanyaku sedikit penasaran.


Setelah dia menyebutkan nama lengkapnya, yang pastinya membuatku semakin jengkel. Aku pun akhirnya memberikannya 'nama panggilan' yang sekiranya sedikit lebih pantas untuknya.
.
.
.
.
.
Gara-gara si abang ojek tadi, aku jadi teringat kembali disaat aku datang kerumah 'dia' tapi bukannya bertemu dengannya, malah bertemu adiknya. Kalian ingin tahu bagaimana ceritanya?
Jadi,...
.
.
.
"Rumah siapa ini, mas?" tanya si abang ojek saat aku memintanya untuk berhenti di depan sebuah rumah.


Aku tidak menjawabnya, kurasa tidak perlu. Kulihat rumah itu, terlihat sepi, sepertinya tidak ada orang di dalamnya.


"Kak Eno.." panggil seseorang tiba-tiba dari arah belakangku.


Saat kutengok, ternyata seorang laki-laki yang sebenarnya masih berusia belasan tahun, tapi dia cukup tinggi, dan visualnya juga jauh lebih baik daripada si abang ojek ini. Dia adalah adik dari seseorang yang ingin kutemui.


"Hei,.. Darimana?" tanyaku basa-basi. "Tambah tinggi aja, gimana kuliah?" tanyaku lagi sambil mengusap-usap kepalanya.


"Pulang main" jawabnya. "Dan,.. Aku masih SMA, kak" tambahnya.


"Oh ya.."


"Ada perlu apa?" tanyanya lagi.


"Kakak mana?" tanyaku akhirnya.


"Kakak yang mana? Kokoh atau..." pertanyaannya menggantung.


"Yang mana lagi" balasku.


"Di Surabaya kan. Ada kegiatan" sahutnya. "Emang gak ngabarin?" tanyanya kemudian.


"Oh,.. Hari ini ya? Lupa"


"Ada perlu apa sih, kak?" tanyanya lagi.


"Enggak. Cuma ini,..." aku sedikit ragu. "Cuma mau minta ijin" jelasku akhirnya.


"Minta ijin?" tanyanya bingung.


"Mau ketemu mantan soalnya" jawabku langsung.


"Eeeh..."


"Tenang, kakak masih sayang sama kakak kamu kok" ucapku menenangkannya sambil mengusap-usap kepalanya.


"Kakak pasti ngijinin sih" gumamnya. "Emang mau apa sih kok harus..."


"Kakak cuma mau jelasin ke dia kalo kakak ini udah punya orang lain yang kakak sayang. Itu kakak kamu" sahutku.


Dia hanya tersenyum malu menanggapinya.


"Dan,... Mungkin kakak minta ijin juga gak bisa dateng ke graduation ceremony sama last show kakak kamu" tambahku.


"Lho...?" balasnya dengan nada kecewa.


"Kan emang bentar lagi liburan kakak habis. Maaf ya, kakak kecepetan ngambil jatah libur" ucapku lagi sambil kembali mengusap kepalanya. "Selamat ulang tahun ya"


Dia langsung menatapku dengan wajah bingung.


"Iya, masih 2 bulan lagi. Tapi daripada gak ngucapin kan" tambahku. "Ya udah gitu aja, kakak berangkat ya" ucapku lagi berpamitan.


"Hati-hati, kak" balasnya.


"Jangan nyusahin kakak kamu ya" sahutku. "Hadiahnya nyusul ya,.. Mau apa? Buku?"


"Boleh" balasnya sambil tersenyum malu-malu, seperti kakaknya. "Tapi jangan yang terlalu berat bacaannya ya. Kepala aku suka pusing"
.
.
.
.
.
Dasar,... Kakak adik sama aja.
Suka malu-malu.
Meskipun sekarang kakaknya lebih sering bikin malu dan malu-maluin sih, lamunku saat berada di dalam lift.


"Eno..." tiba-tiba ada suara yang memanggilku.


Saat aku menengok ke sumber suara ternyata,...


glzog2-Hp-o.jpg



"Shinta?" balasku.


Ternyata aku satu lift dengan Shinta. Akhirnya aku bertemu dengannya lagi.


"Ngapain?" tanya Shinta.


"Ada perlu. Kamu ngapain disini?" tanyaku balik.


"JKT itu punya theater di mall ini" jawab Shinta. "Jadi biasanya kami ngadain pertunjukan di theater itu" tambahnya.


"Oh" balasku polos seakan baru mengetahuinya. Padahal sebenarnya aku tahu sejak lama.


"Mau coba nonton?" tawarnya kemudian.


"Ah, enggak" tolakku. "Gak tau deh,.. Liat nanti aja" tambahku. "Oh iya, gimana kabar? Udah gak 'digangguin' lagi kan" aku mencoba berbasa-basi.


Shinta hanya menggeleng untuk memberikan jawaban.


"Hmm,... Maksud aku tadi tanya 'ngapain?' itu,... Kamu ngapain senyum-senyum sendiri?" tanya Shinta lagi.


"Oh,.. Enggak cuma itu..."


Aku malas kalau harus menjelaskan semuanya. Terlalu merepotkan.


"Kepikiran Yona ya?" tuduh Shinta tiba-tiba.


"Huh?!"


"Gimana? Gimana sama Yona? Udah nembak? Atau jangan-jangan malah belum?" tanya Shinta beruntun.


"Enggak" jawabku menggeleng. "Aku emang gak ada nia-"


"Padahal aku udah bantu lho biar Yona putus dari pacarnya" sahut tiba-tiba.


"Huh?! Maksudnya?" tanyaku bingung.


"Aku yang ngasih info ke Yona" tambah Shinta.


Kemudian Shinta menjelaskan kalau dia yang memberitahu pada Vivi soal bagaimana Adit yang sebenarnya. Shinta diam-diam mencari tahu tentang Adit. Jadi dia yang memberitahu pada Vivi tentang klub malam tempat dimana Adit biasanya 'berbuat nakal'.
Entah bagaimana dia bisa melakukannya. Tapi mungkin Shinta hanya secara kebetulan melihat Adit di tempat tersebut.
Pertanyaan sebenarnya adalah, kenapa Shinta bisa berada di tempat tersebut.


Dan puncaknya, pagi hari setelah malamnya aku dan Vivi memergoki Adit, pada saat akhirnya Vivi memutuskan hubungannya dengan Adit. Sebenarnya Vivi sempat curhat terlebih dahulu pada Shinta via telfon.
Vivi sebenarnya sempat ragu saat ingin memutuskan hubungannya dengan Adit, tapi setelah diyakinkan oleh Shinta ditambah 'sebuah pengakuan' dari Shinta, akhirnya Vivi memantapkan hatinya untuk putus dengan Adit.


Tunggu,...
Pengakuan apa?


"Dan aku juga lho yang nyuruh Vivi buat hubungin kamu aja kalo lagi sedih" tambah Shinta mengakhiri ceritanya.


Tapi kenapa?


"Kenapa kamu-"


"Simpel" sahut Vivi. "Aku rasa kamu sama Yona itu cocok. Lagipula,.. Kalian saling suka kan sebenernya"


"Aku-"


"Gak usah ngelak" sela Shinta dengan wajah serius.


"Kenapa kamu kemaren-kemaren itu ngehindarin aku" tanyaku akhirnya.


"Ya biar kamu sama Yona ada waktu" jawab Shinta enteng.


"Oh.. Aku kira kamu marah sama aku"


"Dikit sih" balas Shinta sambil tersenyum kecil.


Sial!, batinku.


Setelah itu Shinta keluar dari dalam lift karena sudah tiba di lantai tempat dia akan menyanyi dan menari.


Huh~
Aku menghela nafas.


Gara-gara perkataan Shinta, aku jadi kepikiran lagi...
Apa yang harus aku lakukan pada Vivi?


Dan juga aku baru tersadar, harusnya aku keluar dari lift di lantai sebelumnya.
.
.
.
.
.
Lama banget sih!!!, batinku.


Ah!
Akhirnya,...


"Maaf... Lama ya nunggunya.." ucap seorang gadis yang baru datang setelah dari tadi aku menunggunya.


Aku hanya diam tanpa mencoba untuk menanggapinya. Tapi yang ada di pikiranku saat itu adalah,... Dia masih saja cantik seperti dulu. Semakin cantik malah.


"Maaf.. Macet tadi.."


Kali ini aku menatapnya tajam.
Aku tidak suka jika ada orang yang sudah membuat kesalahan, lalu dia mencari-cari alasan untuk membela diri.


"Maaf..." sekali lagi dia meminta maaf.


"Ngajak ketemuan cuma buat minta maaf?" tanyaku yang akhirnya kembali bersuara.


Ya, gadis ini adalah orang yang menghubungiku tadi. Orang yang mengajakku untuk bertemu.
Siapa dia?
Nanti kalian juga akan tahu.


"Kita pesen minum aja dulu.." balasnya mencoba mencairkan suasana.


"Langsung ke intinya aja" balasku. "Kenapa ngajak ketemuan"


"Mm... Sebenernya aku..."


"Kalo mau ngajak balikan,.. Maaf aku gak bisa" potongku.


"Eh?!" dia terlihat kaget.


"Kenapa?" tanyaku. "Lagipula, dulu kan kamu yang minta putus"


"Aku nyesel.. Aku sekarang udah sadar,... Harusnya aku..."


"Kenapa? Kenapa tiba-tiba ngajak balikan?" tanyaku akhirnya.


"Aku punya perasaan gak enak sama pacar aku yang sekarang.." jawabnya.


Tunggu sebentar.
Dia masih punya kekasih?
Dia masih punya kekasih tapi memintaku untuk menjalin hubungan lagi?


"Kayaknya dia bakal bikin karir aku turun" tambahnya. "Kalo kata kamu apa? Feeling? Feeling aku bilang kayak gitu"


"Emang siapa? Masih sama?"


Dia hanya mengganguk.


"Kan aku udah pernah bilang dulu" ucapku. "Dan,... Kok kamu tau aku ada di Indonesia?" tanyaku kemudian.


"Beberapa hari lalu, aku lihat kamu dateng ke kampus aku" jawabnya. "Aku kira kamu nyariin aku... Aku kira kamu masih berharap sama aku... Makanya aku berani ngajak kamu balikan"


Kampusnya???
Kampusnya yang mana?


"Lagipula kita juga emang gak bisa kayak dulu lagi,.. Aku sekarang udah punya gadis lain yang bisa bikin aku nekan sisi ego-ku" ucapku lagi.


Dia tersentak kaget. Kemudian aku bisa melihat ada air yang mulai keluar mengalir membasahi pipinya. Dia menangis.


"Udah,... Jangan nangis" ucapku sambil mulai mengusap pipinya berusaha menghapus air matanya.


"Tapi,... Aku masih... Bagi aku aku masih...." dia tidak melanjutkan kalimatnya saat aku menggelengkan kepalaku.


"No. Not again" ucapku. "But, you still My Inspiration, Ratu"
.
.
.
.
.
.
.



Jangan kembali dan pergilah
Jangan temuiku, lanjutkan hidupmu~
Mencintaimu tak buatku menyesal
Simpanlah semua kenangan indah~


Aku akan tetap bertahan
Aku pasti bisa bertahan~
Kau juga harus hidup bahagia
Hari-hari pasti kan berlalu~


Oh, Girl
I cry, cry
You're My All
Say Goodbye



Kenapa tiba-tiba terngiang lagu itu?
Yang seperti ini pasti ulah dari si suara yang tiba-tiba muncul itu.


"Hey, Anin, Okta.. Fokus latihan!!" bentak seseorang kepada dua orang gadis yang tengah melamun sambil memandangiku.


"I-Iya, Kenzo-san" sahut kedua gadis tadi.


IMG-20190924-121404.jpg



"Tapi Kenzo-san, kan belum dateng semua..." tambah mereka mencari alasan.


Mereka kemudian seperti berusaha menghindar dari tatapan sinis dan tajam dari orang yang tadi membentaknya itu.


"Jadi,... Langsung ke intinya saja, kenapa kau kemari?" tanya orang itu.


"Mampir aja" balasku beralasan.


Diantara kedua gadis tadi,... Aku seperti pernah melihat salah satu diantara mereka.
Tapi kapan? Dan dimana?


"Dia ke Surabaya" sahut orang itu tiba-tiba.


"Aku sudah tahu" sahutku.


Oh, orang yang sedang berbicara denganku saat ini adalah teman lamaku, Kenzo namanya.


Setelah bertemu dengan 'mantanku' tadi, aku dimintainya untuk menemaninya sebentar ke tempat dia bekerja, ditempat yang sama dengan tempat Shinta dan Vivi bekerja. Mungkin itu permintaan terakhirnya dia, tapi entahlah. Feeling-ku saja yang mengatakan kalau sebaiknya aku memenuhi permintaannya itu.
Dan karena hal itu lah, akhirnya sekarang ini aku bertemu dengan Kenzo. Karena Kenzo ini juga bekerja disini. Tapi dia tidak menari dan menyanyi, dia yang berada di belakang layar.


"Oh, aku tahu. Kau ingin sedikit berbuat nakal saat dia sedang berada di Surabaya. Ya kan" tuduh Kenzo tiba-tiba.


Aku hanya diam karena malas untuk menanggapinya.


"Jadi yang mana?" tanya Kenzo lagi.


Ah itu dia!!
Aku ingat sekarang.
Aku ingat kapan dan dimana aku melihat gadis tadi.
Dan aku juga tahubapa yang harus kulakukan sekarang.


"Aku pulang dulu" ucapku berpamitan pada Kenzo kemudian berdiri dan hendak segara pergi.


"Kenapa buru-buru?"


"Ada yang harus aku lakukan" balasku singkat. "Oh iya, sepertinya beberapa hari ke depan akan terjadi hal yang akan mengejutkan. Jadi,... Persiapkan mental kalian"


"Maksudmu?"


"Aku pergi dulu, bye"


"Maaf.. Aku baru dat-"


Bruk..


Tapi tiba-tiba aku menabrak seseorang. Aku menabrak seorang gadis. Beruntung dia tidak sampai terjatuh.


"Tidak apa-apa. Rumahmu jauh, bisa dimaklumi" sahut Kenzo. "Banyak yang belum datang juga"


"Maaf, kak" ucap gadis itu meminta maaf padaku.


23594691-125134984848786-4533635630751547392-n.jpg



Dia...
Mungkin cuma mirip, batinku.


"Ya sudah aku pergi dulu"


Saat aku pergi, aku bisa merasakan kalau ada beberapa pasang mata yang memperhatikanku. Dan diantara itu semua, ada dua pasang mata yang sangat memperhatikanku dengan jelas.
Salah satunya adalah Shinta.
Dan satu lagi adalah dia, mantanku. Gadis Artistik-ku.


IMG-20191003-032524.jpg

.
.
.
.
.
.
.
Dimana dia?, batinku sambil menoleh kiri kanan.


"Ah! Itu dia.. Boy!!" panggilku kemudian sambil berjalan ke arahnya dengan sedikit cepat lalu menepuk pundaknya.


"Eh, mas-nya. Kaget saya" ucapnya. "Belum biasa saya dipanggil gitu. Kenapa mas?"


"Anterin saya" jawabku. "Helm,.. Helm.. Ke dua tempat ya"


"Kemana aja, mas?" tanyanya lagi.


"Apartemen saya. Nanti saya arahin" jawabku. "Habis itu ke perumahan yang tadi"


"Oh.."


"Udah, ayo cepetan!!"


"Iya, mas. Iya"


Sekarang aku sudah tahu apa yang harus kulakukan.
Aku tahu apa yang harus aku lakukuan pada benda itu.
Hardisk itu. Hardisk yang berisi file video dan foto 'bukti' itu.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Sebagai tambahan saja.
Aku akan bercerita tentang Vivi lagi.


Sesuai drngan permintaan Vivi, pagi harinya aku langsung menjemput Vivi di rumahnya yang berada di Bogor itu.
Dan itu artinya aku harus bertemu lagi dengan ayahnya Vivi.


"Jadi kemaren kamu ngasih sate itu gak ikhlas?" ucap ayah Vivi tiba-tiba.


"Ikhlas kok, om" balasku.


"Terus sekarang, kenapa kesini lagi? Minta sarapan?" tuduhnya lagi.


"Saya mau jemput anak om" jawabku. "Kemaren dia minta di jemput, tapi gak ngasih tahu tepatnya jam berapa. Jadi saya pagi-pagi aja langsung kesini" tambahku menjelaskan.


"Udah sarapan?" tanyaku kemudian.


"Belum" jawabku.


"Berarti kamu sekalian minta sarapan" tuduhnya lagi.


Terserahlah, batinku.


"Anak saya belum bangun" ucapnya lagi. "Nanti aja kamu balik lagi"


Diusir lagi kan, batinku.


"Udah, ayah.. Gapapa" sahut ibu Vivi. "Ayo sini, nak..."


"Eno, tante" balasku. "Makasih"


Masih gak inget juga,...


"Duduk dulu" tambahnya. "Bentar ya, tante bangunin dulu itu putri tidurnya" ucap ibu Vivi lalu menaiki tangga. Mungkin menuju ke kamar Vivi.

Ibunya Vivi kelihatannya baik. Tapi kok mau ya sama...
Tapi kalau tidak seperti itu, Vivi tidak akan ada di dunia ini.
Repot juga.


Ayo, Vi...
Jangan lama-lama..
Nanti ini sofa ada cap pantat gue kalo lo gak cepet keluar.
Dan gue juga gak enak kalo dilihatin terus sama bokap lo..., batinku.
.
.
.
.
.
"Mandi dulu!!" sahut ayah Vivi tepat sebelum Vivi turun dari tangga. "Baru sarapan"


"Iya, ayah..." jawab Vivi malas sambil mengucek matanya.


Terlihat dia masih mengantuk dan tingkahnya tadi itu juga terlihat menggemaskan.


"Hei, kamu. Ayo ke meja makan" ajak ayah Vivi tiba-tiba kepadaku.


"Ah! Oh,.. Iya, ayah" ucapku reflek. "M..M...Maksudnya 'om'. Iya, om. Maaf om"


Ayah Vivi awalnya yabg tampak terkejut kemudian diam saja tidak mengucapkan apapun. Tidak ptotes atau apa.


Dan tak lama setelah Vivi selesai mandi dan tampil cantik. Maksudnya tampil lebih cantik, karena sebenarnya tadi dia juga sudah terlihat cantik.
Kami pun mulai sarapan bersama.


"Jadi, Eno..." ucap ayah Vivi saat aku tengah mengunyah sarapan.


Eh,... Dia inget nama gue?, batinku bingung.


"Bisa kasih tahu rahasianya biar dicium sama cewek yang kamu anterin pulang?" tanya ayah Vivi tiba-tiba yang sontak membuatlu kaget dan tersedak.


"Uhuk.."


"A..Ayah!!" Vivi wajahnya memerah.


"Ya habisnya,.. Ayah sama ibu kayaknya gak pernah kamu cium" balas ayah Vivi.


Vivi terlihat bingung harus menjawab apa.


"Jadi hubungan kalian udah seserius apa?"


Aku hanya diam, daripada salah bicara dan malah membuat salah paham.
Aku serahkan semuanya pada Vivi untuk menjelaskan semuanya. Untuk menjelaskan kalau aku dan dia hanya sekedar teman saja.
.
.
.
"Ayah,.. Ibu... Aku berangkat dulu ya" pamit Vivi kepada kedua orangtuanya.


"Hati-hati ya,... Titip anak tante" balas ibu Vivi.


"Iya, tante" jawabku. "Saya pamit dulu ya,.. Om.. Tante" aku pun juga ikut berpamitan.


"Kok manggil 'om'? Tapi manggil 'ayah'" celetuk ayah Vivi tiba-tiba.


Vivi langsung menatap tajam ke arahku seperti meminta sebuah penjelasan.


Nih bapak-bapak maunya apa sih?!!
.
.
.
Di sepanjang perjalanan, Vivi masih saja menatapku menuntut penjelasan dariku. Tapi aku hanya diam saja berkonsentrasi menyetir.
Hari itu aku mengantarkan Vivi ke kampusnya, lalu juga menjemputnya pulang. Dan setelah itu dia tidak mau kemana-mana dan juga tidak mau pulang lagi, persis seperti kemarin.
Maka pada akhirnya aku membawanya ke apartemenku karena dia bilang kalau dia masih mau menghabiskan waktu bersamaku. Merepotkan.
.
.
.
.
.
.
.
IMG-20180625-014944.jpg



"Sorry gak mewah. Sorry juga agak berantakan" ucapku sembari mempersilahkan Vivi masuk.


Begitu masuk Vivi langsung melongo sambil melihat-lihat isi apartemenku.


"Kalo lo mau minum, ambil sendiri aja di dapur. Kalo makan, nanti dulu aja ya. Kita delivery aja" ucapku yang pada akhirnya tidak mendapat respon. "Vi..." panggilku lagi.


"Gak mewah kata lo?" tanya Vivi kemudian.


Ya kalo dibandingin sama villa gue yang ada di puncak, ya emang gak mewah, batinku.


"Gue mandi dulu ya" balasku yang langsung hendak ke kamar mandi.


"Gue duluan!" sela Vivi.


"Emang lo-"


"Gue bawa baju ganti kok" sela Vivi lagi.


Dia emang udah niat nginep apa gimana?, batinku.


Setelah itu Vivi pergi mandi.
.
.
.
.
.
"That is insane. Insane. You must watch it" ucapnya.


"All right, all right. July, right" balasku. "But... It's okay for you to give me lots of spoilers?"


"I trust to you. Umm... I gotta go. Bye"


"See you, Tom" balasku mengakhiri pembicaraan kami lewat Skype.


"Siapa?" tanya Vivi tiba-tiba yang baru selesai mandi.


"Umm..." aku bingung harus menjawab apa karena dia belum tentu akan percaya jika aku jujur, seperti waktu itu.


"Tom siapa?" tanya Vivi lagi.


"Yang biasanya kejar-kejaran sama Jerry" jawabku asal. "Udah, ah. Gue mau mandi" tambahku yang langsung bergegas menuju kamar mandi.


"Hah?!! Enooo...."
.
.
.
.
.
"Lo bisa main gitar?" tanya Vivi tiba-tiba saat aku baru keluar dari kamar mandi.


"Lo mau makan apa?" tanyaku tanpa mejawab pertanyaannya.


"Terserah mau lo pesenin apa" jawab Vivi. "Sambil nungguin makanan, lo nyanyiin lagu dong buat gue" tambahnya memohon.


"Lo yang nyanyi, gue iringin pake gitar gimana?" saranku setelah selesai memesan makan lalu mengambil gitarku.


Vivi tampak berfikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk tanda setuju.


"Mau nyanyi lagu apa?" tanyaku.


Bukannya menjawab, Vivi malah tiba-tiba mendekatkan wajahnya ke arahku. Secara reflek aku berusaha menghindarinya.


"Vi..?"


"Kenapa ngehindar sih? Mau gue bisikin"


"Oh, gue kira lo mau..."


"Nyium? PD banget lo" balas Vivi. "Lagian lo sebenernya seneng kan kalo gue cium"


Iya sih, batinku.


"Lagian kenapa harus dibisikin sih?" tanyaku balik.


"Ya udah"


Akhirnya Vivi mengatakan juga lagu yang ingin dia nyanyikan yang langsung ku mainkan intronya.


C Am Dm G
C Am Dm G


"On the night like this
There's so many things I want to tell you~
On the night like this
There's so many things I want to show you~


Cause when you're around
I feel safe and warm~
Cause when you're around
I can fall in love every day~


In the case like this
There are a thousand good reasons
I want you to stay..."


Apa, Vi?
Apa maksudnya?
Apa yang pengen lo ungkapin ke gue?
Apa yang pengen lo tunjukkin ke gue?
Apa, Vi? Apaaa???, batinku bertanya.


Selesai bernyanyi, Vivi menatapku sendu... Dan,...


IMG-20180625-014942.jpg



"Giliran lo. Sekarang lo yang nyanyi" ucap Vivi. "Nyanyiin lagu yang ngungkapin perasaan lo ke gue saat ini" tambahnya dengan suara pelan.


"Bentar, Vi..." balasku.


"Gue.."


TING~
Terdengar suara HP-ku yang berbunyi memotong perkataan Vivi.


Aku pun langsung mengambil HP-ku dan melihatnya.


"Tuh kan,.. Makanan kita udah dateng" ucapku lagi sambil menghadapkan layar HP-ku ke arah Vivi. "Gue "
.
.
.
.
.


"I've never looked at you the way
I did tonight and now your face,
Your lips, your eyes, you're stuck inside my head~
The thought of me and you together
I wish it'd last forever
Why am I here and not with you instead?


I, I don't want to mess this up
But you are all I'm thinking of~


Maybe I should stay, maybe I should go,
Maybe I should just leave this alone~
And if this isn't right, I'm OK with being wrong
Cause I don't want to miss you when you're gone~


We could be perfect or just a disaster~
We could be in love and never fight~
We could be sad or happy ever after~
It could be us instead of you and I
Maybe we should try
Ooh, ooh, woah~
Maybe we should try
Ooh, ooh, oooh~"


Yah... Mungkin, batinku tepat setelah selesai bernyanyi.


Mungkin jika aku tidak sempat bertemu dengannya saat itu, mungkin aku dan Vivi bisa...


Tapi tetap saja,... Kami sepertinya memang harus 'mencobanya'


Dan entah siapa yang memulainya, tapi aku dan Vivi sudah kembali berciuman.


Sepertinya ini akan jadi malam yang panjang.


IMG-20180625-194125.jpg




Bersambung.jpg



-Bersambung-
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd