Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Finding Reality ACT II

Ga jadi 2 minggu
Udah rilis kok
Yah doain aja biar ga ilang lagi
didoa'akan agar lancar terus dan tidak ilang kek kak Ads, eh tapi kak Ads cuma ngilang sehari kan yak? ci Shani pingsan, besok nya kak Ads udah balik (?)

Banyak pertanyaan?
Apa salah satunya?

Mungkin saya bisa langsung jawab...
Mungkin lho ya
nunggu epilog dulu deh hu, siapa tau ada yang terjawab nanti :Peace:
 
Di tunggu kelanjutannya hihihihihihihi
Oke, hihihihihihi
amiiin.,
semoga dipercepat ddek krispy & kak ayu jadi saudara iparnya.,
Oh, #TeamAyu
Bukan #TeamAya ?

Atau #TeamChikuy ?
Semoga diangkat dilayar JAV oleh studio Hunter.
Amiiiinnn...
*eh gimana
didoa'akan agar lancar terus dan tidak ilang kek kak Ads, eh tapi kak Ads cuma ngilang sehari kan yak? ci Shani pingsan, besok nya kak Ads udah balik (?)
yakin cuma sehari..?

nunggu epilog dulu deh hu, siapa tau ada yang terjawab nanti :Peace:
Yakin?
Nanti malah makin bingung..
Mari kita menunggu sodara sodaraaa
Menunggu atau Menanti?
Gracia, Kangen kangen kangen...!!!!!
Kongan kangen..
Theater kagak...
Beli tiket konser kagak...
Wah kak ads mulai
Mulai apa?
Rapsodi masuk alur ini
Mang iya?
 
Mic check 1 2

Udah nyala?
Bukan update. Tapi pengumuman
Tapi bukan pengumuman tentang update juga,..
Belum mau update dulu karena takooott....


Cuma mau ngasih tau,..
Jangan lupa nonton 'Pertunjukan Malam Ini' jam 21.00 di TV 10 (dibalik)

Kenapa Tapping?
Kalo Live, takutnya ada pertanyaan... 'Yang itu bukan model video klip cowoknya...' :pandaketawa:


Biasanya kalo pengumuman gini sama Gre. Tapi,...
Ya udah deh, kasih bonus foto aja..

Screenshot-20200209-182331-1.jpg


Alias

Hehe,...
 
Terakhir diubah:
Grasiyaaaaa
KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN! KANGEN!
 
Jaga dirimu
Jangan sampai kau terluka lagi seperti saat kau masih berada di sisiku​







Part 42: Goodbye Love, I'm Sorry...


"Welkom in Indonesia" ucap petugas bandara itu setelah selesai memeriksa pasporku dan mengembalikannya.

Aku hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum menanggapinya.

"Is het... Is het... Is het?" si petugas bandara itu terbata-bata. Entah dia ingin bicara apa.

"Hoe gaat het?" ucapku. "Ben je blij vandaag?" tambahku kemudian.

Petugas bandara itu hanya terdiam dan tidak menjawab. Atau mungkin lebih tepatnya dia tidak bisa menjawabnya. Karena tidak mengerti tentunya.

"Eee.... Yes.. Good... Very Nice.."

Aku tahu dia hanya asal menjawab, tapi sialnya kenapa bisa sesuai. Ya, itu jawaban yang bisa dianggap sesuai dengan pertanyaanku tadi.
Tapi ya sudahlah, sepertinya emang harus disudahi.

"Enjoy you time in Indonesia.."

"Saya bisa bahasa Indonesia kok, pak" ucapku akhirnya. "Saya besar disini.."

"Ga bilang daritadi aja, mas.. Saya kan jadi repot!!" tiba-tiba dia protes. "Ngapain pake sok-sokan ngomong kayak kompeni.."

Bukankah tadi dia yang memulainya terlebih dahulu?
Bodoamat lah.

Setelah selesai berurusan dengan petugas bandara tadi, aku langsung berjalan lagi menuju pintu keluar.

Akhirnya aku kembali juga kesini. Ibukota, Jakarta.
Kalau ibu kita? Ibu-ibu.

Oke, itu kalimat yang cukup aneh.
Lebih baik sekarang aku mulai menjelaskan beberapa hal saja.

Kita akan sedikit flashback untuk menjawab beberapa pertanyaan yang mungkin ada di kepala kalian. Ngomong-ngomong sudah cukup lama juga aku tidak memberi kalian flashback bukan. Baiklah, tidak perlu berlama-lama lagi, kita mulai flashbacknya.
.
.
.
.
.
.
.
.
*Flashback

Dasar kakak sialan!!
Setelah menceritakan masa lalunya, dan dia juga tahu bagaimana hubunganku dengan orang itu. Dia masih sempat-sempatnya memintaku untuk menyampaikan salamnya untuk si nenek lampir itu. Cih..

"Aduh.. Pake acara perut mules lagi" gerutuku.

Sebenernya ini hal wajar sih, 3 hari pingsan. Otomatis 3 hari itu juga aku tidak pergi ke kamar mandi. Kan pingsan.
Dan tadi begitu sudah sadar,... Aku langsung menemui kakekku dan hanya minta ijin untuk pulang. Tapi mandi kok, cuma byar byur sih..
Lebih seperti agar terlihat segar saja sih. Ganteng mah bebas. Sudah pakai parfum juga kok.
Aman. Tidak akan sampai mengganggu orang lain di penerbangan nanti.
Ya udahlah, bodoamat..

Sekarang masalahnya,... Aku ingin pergi ke toilet, tapi tidak bisa. Barang-barangku mau dititipkan pada siapa???

Untuk nasihat juga ya, saat kalian di bandara (tidak hanya di bandara saja sih), kalian jangan pernah menitipkan barang bawaan kalian pada sembarang orang. Karena belum tentu orang itu bersedia dan belum tentu juga orang itu adalah orang baik.

Jadi sekarang aku harus menitipkan barang-barang ini pada siapa?

"Hey, bocah manja!!"

Ah, suara ini..

Aku langsung menoleh ke belakang dan,...

"Aku tidak menyangka akan sesenang ini melihatmu" ucapku.

"Kenapa kau sudah merindu-"

"Titip!!" sahutku memotong ucapannya sambil menyerahkan barang-barangku dan langsung bergegas ke arah toilet.
.
.
.
.
.
.
.
"Kenapa kau kembali?" tanyaku begitu urusanku di kamar mandi -yang tidak perlu kuceritakan dengan detail- sudah selesai. Aku juga sudah kembali menemuinya.

"Kalau aku tidak kembali, kau tidak bisa pulang ke Indonesia" balasnya yang tidak aku mengerti. "Tiket pesawatmu dipesan lewat handphone-ku bukan"

"Oh" tanggapku singkat. Jadi begitu.

"Hanya itu responmu?" tanyanya seakan tidak percaya.

"Kau ingin aku merespon apa?" tanyaku balik.

"Ya sudahlah. Dasar merepotkan.."

Dasar kakak sialan!!
Aku jadi bingung apakah dia benar-benar pantas untuk kupanggil kakak?

Ya, jika kalian bingung siapa yang daritadi mengobrol denganku. Dia adalah kakakku. Adriano, anak dari... Ah, jangan deh. Bahaya.
Yang pasti dia dipanggilnya Eno.

Itu jadi membuatku penasaran.

"Ini.. Aku sudah mencetaknya, jadi kau tidak perlu merepotkanku lagi.." tambahnya sambil menyerahkan tiket pesawat untukku.

Oke, kutarik kata-kataku. Dia pantas untuk kusebut kakak.

Aku langsung menerimanya dan menyimpannya bersama dengan pasporku.

"Oh iya, aku sedikit penasaran.. Kenapa kau bisa dipanggil Eno? Dari yang awalnya Adriano?" tanyaku akhirnya. Itulah yang membuatku penasaran tadi.

"Awalnya dipanggil,.. 'Hey, No', lalu,.. 'Ei, No' kemudian,.. 'Eh, No', dan akhirnya menjadi 'Eno'..." jelasnya singkat.

Bodoh. Bodoh sekali.

"Tunggu sebentar,.. Kau tidak ingin mengucapkan 'Terimakasih', 'Thank You' atau semacamnya terlebih dahulu?" dia baru sadar. "Aku sudah kembali, lalu menjaga barang-barangmu dan juga mencetakkan tiket pesawat untukmu"

"Kenapa aku harus berterimakasih?" tanyaku balik. "Itu sudah menjadi kewajibanmu bukan"

"Baiklah,.. Kau menang. Melelahkan juga berdebat dengan orang menyebalkan sepertimu.."

"Terimakasih.."

"Nah, begitu. Harusnya kau-- Tunggu sebentar,.. Jangan bilang kau 'berterimakasih' karena..."

Eno tidak menyelasaikan kalimatnya begitu melihat senyuman di wajahku.

"Aku tadi tidak sedang memujimu!!"

"Hahaha..." aku tertawa puas. "Lalu kapan pesawatku berangkat?" tanyaku kemudian.

"Ditunda.." jawabnya singkat.

Ditunda?
Kena--

"Ada sebuah insiden. Nanti akan ku ceritakan" jawabnya sebelum aku benar-benar bertanya. "Kau memang adik yang merepotkan" tambahnya yang sebenarnya tidak perlu.

"Insiden apa?"

"Duduklah terlebih dahulu, baru aku akan menjelaskannya.."

Aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang sedang terjadi.
Kenapa dia tidak langsung menceritakannya saja

"Jadi begini.."

Akhirnya Eno menjelaskan tentang 'insiden' yang dia maksud.
Jadi tadi itu ada pesawat yang kecelakaan akibat gagal mesin. Pesawat itu adalah pesawat yang berangkat 20 menit lebih awal dari pesawatku.
Turut berduka kepada semua korban. Meskipun aku tidak kenal dengan mereka semua.

Wajar sih, tidak peduli itu pesawat maskapai ternama ataupun tidak, yang namanya musibah, kita tidak ada yang tahu.

"Jadi sial bagiku karena harus menemanimu lebih lama,.." ucap Eno tiba-tiba sambil menatapku sinis.

Kita persingkat saja ya. Setelah 1 jam penerbangan yang tertunda, akhirnya Eno mengusirku untuk segera check in. Alasannya agar dia bisa kembali dan tidak perlu menemaniku lagi.

Memangnya tadi aku ada memintanya untuk menemaniku?

"Ya sudah, aku berangkat" pamitku pada Eno.

"Oh, tunggu sebentar.." Eno dengan cepat mencegahku.

Tiba-tiba dia menarikku dan merangkulku. Yang menjengkelkan adalah, dia kemudian memotret diri kami berdua. Entah apa yang ada di pikirannya.

"Siapa tau ini terakhir kali aku melihatmu.." ucapnya dengan nada datar.

"Kau akan... Aku tidak menyangka umurmu akan sesingkat ini.." balasku. "Memangnya penyakit apa yang sedang kau derita"

"Hei, maksudku bukan diriku yang akan,.. Tapi..."

"Tapi..? Kau mendoakan hal buruk akan terjadi padaku?" tanyaku kemudian.

"Tidak. Bukan begitu,.. Maksudku.. Aku hanya bercanda. Kau tidak perlu...." kenapa dia panik. "Kau adikku. Tidak mungkin aku mengharapkan hal buruk akan terjadi padamu"

"Aku tidak menyangka,.." ucapku. "Kau mudah sekali untuk ditipu.. Hahaha... Aku juga sedang bercanda"

"Sialan.."

"Oh iya, apa kau ada rencana untuk ke Indonesia?" tanyaku penasaran. "Jika ada,.. Kapan?"

"Ketika urusanku disini sudah selesai, lebih tepatnya ketika aku sudah resmi lulus,.. Wisuda" jawabnya. "Mungkin aku akan tinggal disana.. Entahlah, lihat saja nanti"

"Kapan itu?" tanyaku lagi. "Kapan kau akan wisuda?"

"Awal tahun depan, mungkin bisa berubah"

"Oh.."

"Kenapa? Apa kau akan merindukanku?"

"Tentu tidak. Aku hanya ingin bermain dengan,... Siapa namanya? Jiwon? Jihwan? Jinan? Dilan? Saat kau ke Indonesia nanti, kau akan membawanya kan?" tanyaku. "Jika tidak, lebih baik kau tidak perlu kembali ke Indonesia"

"Kau tau,.." sahutnya tiba-tiba. "Meskipun sikapmu tidak sopan padaku, dan kata-katamu juga buruk.. Tapi aku akan tetap menyayangimu"

"Hah?!"

"Sebagai seorang kakak tentu saja"

Aku lega mendengarnya. Tapi,..

"Aku tidak bisa mengatakan seperti apa yang baru kau katakan padaku tadi,.. Kau tau, aku..."

"Ya, aku mengerti. Tidak seperti kau yang baru mengenalku atau bahkan mengetahui keberadaanku kurang dari seminggu ini, aku sudah mengenalmu sejak kau lahir.."

"Ya, aku memang terlahir untuk dicintai.."

"Jadi begitu,.."

"Apa maksudmu?"

"Aku akan mengatakannya sekali lagi,.. Cukup satu wanita saja untuk diajak berkomitmen. Satu wanita yang membuatmu bisa berkomitmen" ucapnya. "Itu nasehat yang bisa kuberikan untukmu.."

Aku tidak begitu mengerti apa maksudnya. Tapi ini sudah saatnya aku untuk naik ke pesawat jadi,..

"Aku berangkat dulu.." ucapku lalu berdiri dan membawa barang-barangku.

"Hati-hati"

"Tot ziens" balasku sambil mulai berjalan meninggalkannya.

"Tunggu, kau bisa bahasa Belanda?" tanyanya setengah berteriak.

"Memangnya ada yang mengatakan kalau aku tidak bisa?" aku membalasnya dengan berteriak juga.

*Flashback End
.
.
.
.
.
.
.
.
1 jam menunggu di bandara. Bosan? Hampir. Aku hampir bosan, tapi untungnya aku bisa menghabiskan waktu dengan men... Ah sudahlah.
Ditambah 14 jam lebih di pesawat. Padahal aku naik yang kelas bisnis, tapi kenapa tetap lama ya? Bukankah ada yang bilang kalau kelas bisnis itu bisa lebih cepat?

Ya udahlah, bodoamat.
Yang penting sekarang,...

"Sial,.. Aku kembali lagi ke negara ini.."

Samar-samar aku mendengar suara orang sedang menggerutu.
Suara itu,.. Aku seperti pernah mendengarnya di suatu tempat sebelumnya. Entah dimana.

Suara menggerutu yang cempreng dan tidak baik untuk didengar..

Aku mencoba melihat sekelilingku untuk mencari tahu sumber suara itu, tapi aku tidak bisa menemukannya. Tapi,...

"Apa memang dia??"
.
.
.
.
.
.
.
Astaga cobaan apa saja yang harus aku lewati?
Setelah penerbangan yang ditunda dan membuatku sedikit terlamabat. Sekarang saat sudah kembali di negara ini, pulang naik taksi, mogok juga..

Huft~
Aku sedikit menghela nafas.

Apa mungkin karena taksinya diendorse Naruto dan 'bintang film hehe'..


Habata itara modoranai to itte~
Mezashita no wa Aoi.. Aoi.. Aoi Sora~~


"Mau saya telfonin temen saya aja, mas?" si bapak sopir taksi itu menawarkan. "Biar mas-nya tetep ada yang nganterin.."

"Eee... Boleh deh, pak.." jawabku.

"Tenang aja, mas. Ongkos saya ga usah dibayar gapapa kok.." tambahnya.

"Jangan gitu, pak. Saya yang ga enak jadinya kan udah dianterin setengah perjalanan juga.." balasku. "Lagian kan bukan bapak yang salah, ini kan mogok. Dan yang namanya musibah, ga ada yang tau.."

"Tapi, mas-"

"Gapapa, pak.. Tetep saya bayar kok"

"Bukan gitu, mas. Tapi ini lho,.. Hape saya ternyata ga ada pulsanya.. Jadi saya ga bisa telfon temen saya"

Ya elah..
Ada aja cobaannya.
Ga tau orang lagi kangen apa??

Disaat aku tengah kebingungan. Tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di depanku. Seorang driver ojek online. Tidak akan aku sebut, karena iklan di cerita ini untuk ojek online adalah Gojek. Sedangkan ini bukanlah Gojek, melainkan saingannya.

Aku berfikir sejenak,.. Kenapa orang ini tiba-tiba berhenti disini?

Alu tidak bisa melihat wajahnya karena terhalang kaca helm-nya yang berwarna gelap. Sampai akhirnya,...

"Woi, mas!!!" ah... Ternyata dia. Aku tidak mengharapkan dia sama sekali.

IMG-20200213-085217.jpg

"Kenapa, mas? Taksinya mogok?" tanya si driver ojek online itu.

Jangan sok akrab!!

"Ya udah, saya anter aja, mas.." tawarnya kemudian.

Sepertinya memang sudah tidak ada pilihan lain lagi.

"Ya udah, bentar.." tanggapku.

Aku segera menghampiri sopir taksi yang kunaiki tadi dan mengeluarkan dompetku lalu memberinya sedikit uang. Sebelum akhirnya aku mengambil barang-barangku dari bagasi taksi dan bergegas pergi.

"Mas, ini.."

"Udah, pak.. Anggep aja buat tambahan biaya bengkel" potongku.

"Tapi ini kebanyakan, mas. Ini bahkan lebih banyak dari ongkos yang harusnya mas kasih.."

"Berarti itu rejekinya bapak.." sahutku yang sudah naik ke motor dan memakai helm.

"Ngasih kebanyakan gitu,.. Ada uang ga buat bayar saya" si driver ojek online ini merusak suasana.

"Udah, ga usah banyak omong.. Mulai jalan!!" balasku. "Duluan ya, pak..."

"Langsung ke rumah, mas?"

"Engga. Mampir ke 3 tempat dulu.. Udah cepetan saya buru-buru"
.
.
.
.
.
.
.
"Udah sampe, mas.."

"Udah tau!! Lah, ini saya turun!"

Lama ga ketemu, sekali ketemu makin ngeselin nih orang.

"Katanya buru-buru,.. Tapi sempet potong rambut dulu.."

"Banyak omong lo.." balasku.

Yang namanya orang mau bertemu dengan kekasihnya, wajar kan kalau tampil maksimal. Lagipula aku hanya merapikan potongan rambutku saja. Aku tidak terlalu suka dengan model rambutku yang sebelumnya.

Mungkin karena itu adalah model rambut pilihan kakakku?
Atau mungkin karena model rambut tersebut membuatku merasa sedikit geli di bagian belakang leher?
Entahlah, yang pasti model rambutku yang sekarang ini terlihat normal dan kurasa dia akan menyukainya, ah tidak.. Dia pasti menyukainya. Dia menyukai segala hal tentangku bukan, begitupun sebaliknya.

"Jadinya berapa nih? Gratis ya?" tanyaku kemudian. "Tadi kan katanya mau nganterin.."

"Eh, mas.. Maksudnya--"

"Iya, iya.. Dipikir tadi saya ke ATM ngapain?"

"Ngapain emang mas?"

"Numpang ngadem..."

"Oh,.."

"Ya ambil uang lah!!"

Dari sekian banyak orang, kenapa harus orang ini sih yang aku temui terlebih dahulu saat kembali ke Indonesia.

Mampir ke 3 tempat.
ATM, barber shop,... Lalu yang ketiga?
Kalian akan mengetahuinya nanti.

"Ngomong-ngomong,... Kenapa jaketnya..." aku sedikit ragu untuk melanjutkan pertanyaanku karena...

"Iya, dulu saya emang di Grab, mas.." pake disebut lagi.

Ya, kalau kalian masih bingung. Dia adalah si abang Gojek favorit kalian, yang selama ini kalian rindukan... The One and Only,... Please welcome... (Berlebihan deh kayaknya) Bastian... Alias,... BOY.

Yang anehnya sekarang adalah, si Boy ini tidak memakai jaket Gojek seperti biasanya, melainkan jaket ojek online yang lain, yang tadi sudah dia sebutkan.

Aku?
Kalian masih bingung siapa aku?
Panutan kalian semua,... Oke.

Oke, lanjut.

"Iya, kenapa pake jaket itu? Situ kan Gojek?" tanyaku akhirnya.

"Iya, mas. Jadi ceritanya gini.." kenapa dia malah bercerita. "Dulu saya awalnya emang Grab" sebutin aja terus. "Tapi habis itu saya keluar dan pindah ke Gojek. Nah, berhubung jaket Gojek saya masih dicuci, akhirnya saya pake jaket ini"

"Bukannya kalo keluar,... Jaketnya harus dikembaliin ya?" aku sedikit bingung.

"Emang, mas.. Ini saya beli di luar, belinya waktu saya masih di Grab. Buat gantian gitu... Jadi ini sebenernya KW"

Parah nih orang.

"Kalo boleh tau, kenapa keluar dari..." aku agak penasaran.

"Saya mau keluar dari zona nyaman aja,.. Bosen juga, tiap hari rutinitasnya sama. Nunggu orderan, nganter penumpang, nganter barang, nganter makanan. Gitu mulu tiap hari" curhatan si Boy, bukan catatan. "Belum lagi kena panas, debu, polusi segala macem.. Iuh..."

Oke, aku sudah mulai muak.

"Keluar dari Grab,... Masuk ke Gojek? Bukannya sama aja?"

"Iya sih, mas. Cari kerja di Jakarta ini susah, mas.. Ibukota keras. Dan saya juga sadar, passion saya itu disini" mulai sok asyik dia. "Tapi berhubung saya malu kalo balik lagi ke Grab, jadinya ngelamar di Gojek deh,..."

Penyesalan selalu datang di akhirnya. Dan sekarang, aku sedang menyesal. Menyesal karena telah menanyakan hal tidak penting itu.

Bilang aja dipecat sama yang sebelumnya!!
Susah amat.

"Ya udahlah, mas.. Saya masuk dulu.." usirku secara halus. Ya, aku sedang mengusirnya.

"Eh, mas.. Tunggu"

"Oh iya, saya belum bayar ya.."

"Bukan itu" potongnya. "Saya cuma mau nanya,... Situ habis dari mana emang ya? Kok bawaannya banyak banget kayaknya.."

"Tur konser.." jawabku singkat sambil sedikit mengangkat tas gitar yang kubawa.

"Ooohh..."

Kenapa dia mudah sekali percaya?

"Ya udah, mas.. Nih. Huuss huusss..."

"Waahh... Maksih ya, mas.." tidak perlu sampai terkagum-kagum seperti itu harusnya.

Akhirnya dia pergi juga setelah mendapat uang.

Dan sekarang,..

"Ini tidak ada yang mau menyambutku?" tanyaku bergumam sendiri.

Bahkan mereka juga tidak menjemputku di Bandara. Oh, itu sepertinya memang tidak bisa. Terlalu menarik perhatian.

"Tapi apa memang tidak ada yang mau menyambutku?" gumamku lagi. "Atau mereka sedang ada kegiatan"

Aku berjalan masuk ke halaman rumahku, kemudian masuk ke bagian terasnya. Dan tanpa basa-basi, aku langsung membuka pintu rumahku.

Ya iyalah, ini kan rumahku. Wajar saja bagiku untuk langsung masuk ke dalamnya.
Orang idiot mana yang kalau mau masuk ke dalam rumahnya sendiri harus membunyikan bel atau mengetuk pintu terlebih dahulu.

Lucu ya,.. Yang orang lain, meskipun itu saudara sendiri dan meskipun punya kunci cadangan juga. Tidak seharusnya dia main nyelonong masuk saja ke rumah orang.
Tapi si pemilik rumah malah harus membunyikan bel rumahnya terlebih dahulu.
#NYINDIR

Oke, cukup nyindirnya. Balik lagi ke cerita.

"Assalamualaikum.. Shan,.. Aku pulang" ucapku berbarengan dengan diriku yang langsung membuka pintu dan masuk kedalam karena pintunya memang tidak dikunci.

Tapi begitu aku sudah berada di dalam, aku tidak melihat orang yang paling ingin aku temui. Tapi aku merasakan hawa keberadaannya di rumah ini.
Dan aku justru melihat dua orang yang sekarang seperti sedang kebingungan saat melihatku.

Dua orang yang memiliki perawakan yang berbeda, yang satu tinggi kurus tapi tidak terlalu kurus karena aku tahu bagian yang membuatnya sedikit terlihat 'berisi'. Dan yang satu lagi pendek dan pastinya lebih 'berisi' daripada yang satunya, ya bisa dibilang,... Montok.

"HUUWWWAAAA!!!"

"AAAAHHHHH!!!!"

Berisik..
Tiba-tiba mereka berdua langsung berteriak sambil berlari ke arahku.

"Hei,.. Hei... Kalian berdua kenapa sih?" tentu aku jadi kebingungan dibuatnya.

Apalagi saat mereka memelukku sambil menangis seperti saat ini. Pelukan mereka berdua begitu erat di kiri dan kananku.

Apa mereka berdua kesal karena kutinggal pergi tanpa pamit sebelumnya?
Atau marah? Kecewa? Sedih?
Entahlah, yang pasti mereka berdua ini baper. Karena mereka berdua memang duo baper.

Dan tiba-tiba aku merasakan kalau...
Benar saja, ketika aku menoleh, aku langsung saling bertatapan dengannya karena dia juga sedang menatapku.
Orang yang juga sangat ingin kutemui. Orang kedua. Atau mungkin sebenarnya aku tidak ingin menemuinya sama sekali?
Karena,... Sudahlah, itu dipikirkan nanti saja.

"Gee... Dua temen kamu ini kenapa sih?" tanyaku akhirnya.

Bukannya langsung menjawabku, dia malah lebih memilih berlari ke arahku. Dan dia juga langsung berysaha melepaskan pelukannya kedua temannya lalu langsung berganti dia yang memelukku erat. Sangat erat. Seakan dia tidak ingin melepasnya lagi. Tidak ingin melepaskanku.

"Gre..!!" kedua temannya itu protes.

"Gee... Kamu kenapa?" aku bertanya basa-basi.

"AKU KANGEN!!!" dia menjawabnya dengan berteriak. Ya, tentu saja. Aku sebenernya sudah tahu jawabannya dari awal.

"Iya,.. Iya... Aku juga kok.." balasku sambil mengelus kepalanya. "Aku juga merindukanmu" tambahku tapi dalam hati.

Tapi ada satu hal yang masih mengangguku.

"Oh iya, Shani mana?" tanyaku akhirnya.

Kenapa dia tidak menjadi yang paling pertama berlari dan memelukku guna meluapkan segala kerinduannya?
Kenapa justru Vanka, Okta dan Gracia yang terlebuh dahulu melakukannya?

Tunggu dulu, jika ketiga orang ini disini, apakah... Dua yang lainnya itu juga ada disini?
Yang satu bukan masalah sih, akan tetapi yang satu lagi... Kalau sampai dia marah..

Ah, itu bisa dipikirkan nanti. Sekarang yang paling aku ingin tahu adalah keberadaan Shani. Dimana dia?

"Ci Shani lagi di kamarnya.." jawab Okta.

"Kok dia ga-"

"Ci Shani lagi sakit, kak. Kemaren pingsan, terus demam tinggi banget.." jelas Vanka.

Tunggu dulu,... Apa ini?
Apa maksudnya?

"Sh..Shani sakit?!!"

Ini suatu candaan?
Jika benar ini suatu candaan, ini sama sekali tidak lucu!!

Aku langsung melepaskan pelukan Gracia, melemparkan barang-barangku ke sofa dan langsung menaiki tangga, berlari ke lantai dua.

Begitu aku masuk ke kamar Shani,.. Pemandangan yang kulihat benar-benar membuatku terpukul. Shani yang sedang berbaring di ranjangnya dengan wajah yang tampak pucat dan pipinya yang terlihat lebih tirus dari saat sebelum aku berangkat seminggu yang lalu. Tapi,... Dia tetap terlihat cantik. Meskipun pastinya dia akan terlihat jauh lebih cantik saat bangun. Pasti itu.

"Kamu kenapa sih, Shan??" tanyaku yang sudah berada di samping tempat tidurnya. "Kok bisa gini?"

Aku mengenggam tangan kanannya dan menciumnya.

"Bangun dong,.. Aku udah pulang lho.."

Kusingkirkan kain dari dahinya yang digunakan sebagai kompres. Lalu kuperiksa suhu tubuhnya. Saat kurasa suhu tubuhnya itu termasuk normal, aku langsung mencium keningnya. Cukup lama.

"Kasihan banget sih keningnya, kena kain terus.." ucapku sesaat setelah mencium keningnya. Atau kainnya yang beruntung bisa ada di kening Shani?

Kubelai-belai dan kuelus-elus kepalanya. Aku kemudian menyandarkan daguku di ranjangnya sambil tetap menggegam tangannya dan menatap wajah cantiknya.

Sebenarnya aku tidak mau melakukannya, tapi rasa kantuk dan lelah karena perjalanan panjang yang baru aku lalui memaksaku untuk menutup mata secara perlahan hingga membuat pemandangan indah wajah Shani jadi menghilang. Ya, aku tertidur.
.
.
.
.
.
Aku rasa aku tidak tertidur terlalu lama. Aku terbangun karena merasakan adanya gerakan-gerakan kecil. Hal itu membuatku membuka mata secara perlahan.

Dan ketika aku membuka mata,... Kali ini pemandangan yang kulihat membuatku lebih bahagia sehingga diriku tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.

"M..Mas...." suaranya terdengar. "Ini beneran kamu?" dia melepaskan genggaman tanganku kemudian memegang pipiku.

Aku masih dengan tersenyum mengangguk mengiyakan pertanyaannya.

Setelah itu dia melakukan hal yang sudah sering dia lakukan terhadapku sebelumnya. Dia menusuk-nusuk pipiku dengan jari telunjuknya. Aku merindukan sentuhannya itu.

Lalu kutahan tangannya yang masih menusuk-nusuk pipiku, kemudian kuambil juga tangan dia yang satunya, dan barulah aku menempatkan kedua tangannya itu agar memegang kedua pipiku. Matanya langsung berkaca-kaca dan dia,...

"Mas...!!" dia langsung berteriak dan memelukku.

"Udah,.. Biarin mereka berdua dulu.." samar-samar terdengar suara Gracia dari luar kamar.

Sepertinya dia sedang menahan kedua temannya itu, si duo baper agar tidak mengangguku dan Shani. Makasih ya, Gre..

"Kamu kenapa bisa sampe pingsan sih?" tanyaku akhirnya sambil mengelus kepala Shani.

Dia tidak menjawabku tapi masih tetap memelukku.

"Kamu pasti belum makan ya,.. Kamu kurusan" ucapku lagi.

"Kamu juga jadi kurus!!" dia membalasnya dengan berteriak dan melepaskan pelukannya lalu memasang ekspresi cemberut di wajahnya.

"Ya,... Gimana ya.. Makanan terasa ga enak kalo aku jauh dari kamu.." aku memberi alasan.

"Sama" balasnya singkat.

"Bahkan tidur tanpa adanya kamu disisi aku,... Itu terasa berat bagi aku" ucapku lagi.

"Sama" balasnya lagi.

"Boong,... Kamu tadi tidur pules.." sindirku.

"Itu beda cerita!! Kan aku--"

"Udah,.. Udah. Iya, maaf ya.."

"Selalu gitu,.. Aku lebih sering dengan kata 'maaf' daripada kata-"

"Aku sayang kamu.." potongku.

Tunggu dulu, itu seperti sebuah Deja Vu.

Shani langsung terlihat seperti kaget dengan jawabanku tersebut sebelum akhirnya dia memicingkan matanya dan,...

"Bentar,.. Rambut kamu...."

"Iya, tadi aku potong rambut dulu sebelum-"

"Yang motong cewek apa cowok?!!"

"Astaga, Shan.. Ini cuma perkara-"

"Aku ga rela ya rambut kamu dipegang-pegang cewek lain.."

"Kalo aku-nya??"

"Mas..."

"Iya, iya... Bercanda. Bercanda doang.. Ya udah, mending sekarang kita makan aja ya,.. Pasti laper kan.."

Shani mengangguk cepat,.. "Banget" ucapnya.

"Ya udah aku beli makan du--"

"Engga!!" teriak Shani tiba-tiba. "Aku ga mau. Aku ga ijinin..." dia mengenggam tanganku untuk menahanku.

"Kok.."

"Aku masih kangen.." tambahnya. "Jangan pergi lagi... Aku ga mau kita jauh-jauh lagi.." pipinya memerah.

"Oohhh... Kangen ya.. Kangen ya..." godaku sehingga membuat pipinya semakin memerah. "Aku juga sama kok" tambahku kemudian.

"Aahh... Kamu mah.."

"Ya udah, kita pesen aja kalo gitu. Aku pinjem hape kamu ya..."

Shani mengangguk mengiyakan.

"Ini mau dipegang terus tangan akunya?" tanyaku pada Shani. "Ga bisa ambil hape kamu dong.."

Setelah aku bujuk-bujuk, akhirnya Shani mau juga melepaskan tanganku sebentar. Meskipun setelahnya Shani langsung memasang wajah cemberut agar supaya sehingga aku bisa cepat-cepat mengenggam tangannya lagi.

"Mau pesen apa?" tanyaku dengan tangan kanan memegang hape Shani dan tangan kiri digenggam olehnya.

"Terserah.."

Aku dan Shani sekarang duduk bersebelahan di atas ranjang dengan Shani yang menyandarkan kepalanya di pundakku dan tentunya seperti yang sudah kujelaskan tadi, tangan kiriku digenggam erat olehnya.

"Jangan terserah dong.. Kan kamu yang mau makan"

"Kan kamu juga.." balasnya.

"Gre.. Ta.. Cil.." panggilku kepada tiga orang yang aku tahu daritadi sedang menguping di luar kamar Shani.

Mereka bertiga langsung melongokkan kepalanya bersamaan.

"Kalian mau makan juga? Mau makan apa?" tanyaku kemudian.

Bukan menjawab, mereka bertiga malah saling bertukar pandang satu dengan yang lain.
.
.
.
.
.
.
.
"Perlu ya lo ceritain juga kemesraan lo sama Shani sedetail itu!!" Shania protes di tengah ceritaku.

"Lah, kan lo tadi yang minta diceritain.." balasku.

Ya, sekarang sudah lengkap semua. Shania dan Stefi tadi datang disaat aku menunggu makanan.
Makanannya apa? Mie ayam aja sih. Agar cepat dan,... Aku rindu makan mie ayam.

Dan sekarang kami sedang makan mie ayam di kamar Shani. Kecuali aku yang tidak makan karena sedang menyuapi Shani. Tapi bukan itu alasannya sebenarnya, melainkan jatah mie ayamku dimakan oleh Shania dan Stefi. Astaga.

"Aduduuh... Makin sakit nih tangan gue dengerin lo cerita.." keluh Shania sambil memegangi tangannya.

"Tauk nih, kamu jahat banget sih.." tambah Stefi.

"Heh?" aku bingung. Aku salah apa?

"Perut lo tuh! Kenapa keras banget sih!!" Shania masih menyalahkanku.

"Ya salah lo sendiri, dateng-dateng maen mukul perut orang.." balasku membela diri.

Ya, tadi begitu Shania datang bersama dengan Stefi... Dia langsung memukul perutku. Lucunya meskipun aku yang dipukul, akan tetapi yang merasa kesakitan justru Shania sendiri. Atau bushousoku haki milikku sekarang sudah berkembang. Wkwkwk...

Syukurlah, jadi tidak seperti saat terakhir kali Shania melakukannya dulu.

"Yah,... Kak Ian lah yang salah. Kenapa punya perut keras banget.."

"Udah. Makan, makan aja.."

Vanka langsung melanjutkan makannya begitu kubalas seperti itu.

Lagipula wajar saja kalau Shania kesakitan saat memukul perutku. Sit up 500 kali itu ada hasilnya memang.

Aku juga sudah menceritakan alasan kenapa aku ke Belanda, apa saja yang kulakukan disana, kegiatanku disana, fakta bahwa kakekku yang masih hidup dan aku yang memiliki kakak. Tapi aku menyamarkan karakter Shenny, Greisy dan kawan-kawannya tentunya. Dan aku juga tidak menceritakan tentang kakakku yang memiliki hubungan dengan beberapa member. Karena kurasa memang tidak perlu untuk diceritakan.

"Kenapa? Kalian mau liat??" tanyaku saat menyadari Shani dan yang lainnya sedang melihatku.

"Mas..." perutku dicubit.

"Aduuuhh... Kamu mau jadi yang pertama liat?" tanyaku pada Shani sambil kembali menyuapinya. Hehe..

"Perut kamu sekarang jadi kotak-kotak? Kayak roti sobek?" Stefi sepertinya menjadi yang paling penasaran.

"Ya ga kayak roti sobek juga sih.. Tapi,... Ya gitu deh.." jawabku dengan tidak jelas. Ya, aku akui memang jawabanku tadi memang tidak jelas. "Lagian males juga kalo sampe kayak roti sobek. Ga terlalu berguna kayaknya di hidup gue.."

Pernyataanku itu benar kan. Aku bukan atlet yang badannya harus atletis. Bagiku yang penting hidup sehat dan bahagia.

"Lo sih,.. Bikin khawatir.. Pergi ga pamit-"

"Gue pamit kok.. Ke Shani dong tali, wlee" potongku lalu meledeknya.

"Terus ada berita kalo pesawat lo-"

"Hei, gue kasih tau ya" sahutku lagi. "Pesawat yang penerbangannya dari Amsterdam ke Jakarta itu ga cuma satu. Maskapai penerbangan itu ga cuma satu.." jelasku kemudian. "Lagian kalo emang gue... Pasti orangtua gue udah kesini, ngabarin kalian, terutama Shani. Dan juga kalian bisa sampe percaya kalo itu pesawat gue yang..."

"Oh, nama penumpangnya mirip sama nama kamu,... Ardyan Mahesa" sahut Stefi yang saat ini sedang melihat layar hapenya. Mungkin sedang melihat berita tentang kecelakaan pesawat itu.

Siapa itu?!!
Tapi ya sudahlah, semoga dia tenang di sisinya.

Begitu mendengar penjelasan Stefi, semua mata langsung tertuju ke arah Gracia yang sedang menunduk diam.

"Ah,.. Maaf" ucap Gracia pelan. Sepertinya ada yang sedang dipikirkannya.

"Udah,.. Gapapa. Namanya juga waktu itu orang lagi panik. Gapapa" sahut Shani membela Gracia. Baik banget sih...

"Tapi seriusan kakek lo masih hidup..?" tanya Shania tiba-tiba.

"Iya.."

Shania langsung terlihat murung begitu mendengar jawabanku. Itu hal yang wajar. Yang Shania tahu, kakekku tidak terlalu suka dengan 'kisah cinta beda agama'. Seperti kisah cinta kedua orangtuaku.
Itulah yang menyebabkan hubungan antara ayahku dan kakekku menjadi tidak begitu baik.

Itu awalnya yang aku ketahui. Sampai aku bertemu lagi dengan kakekku dan akhirnya menemukan fakta bahwa buruknya hubungan antara ayahku dan kakekku adalah karena kakekku tidak suka dengan hubungan 'hubungan kisah cinta yang melewati batas', sehingga kakakku dibuat terlebih dahulu.

"Terus.. Terus.. Gimana perasaan kamu waktu ketemu sama kakak kamu?" kali ini Stefi yang bertanya.

"Gimana ya...? Gue juga bingung" jawabku. "Maksud gue,... Gue kan baru ketemu sama dia. Bahkan gue aja baru tau kalo dia itu ada.. Jadi ya waktu ketemu... Ya biasa aja, kayak ketemu orang asing biasa. Ga ada tuh momen kayak acara 'tali kasih' atau apa lah itu..."

Mereka semua langsung manggut-manggut tapi dengan memasang ekspresi bingung di wajahnya. Benar-benar paham atau tidak sih?

"Ada yang mau ditanyain lagi?" tanyaku seperti sedang dalam sesi wawancara.

"Lo habis dari Belanda ga bawa oleh-oleh nih?" Okta sekali bertanya menjengkelkan juga.

"Ada kok.. Dibawah tuh. Dikresek.."

Vanka dengan gerakan super cepat langsung menghilang ke bawah.

"Tolong sekalian bawain barang-barang gue ya.." aku setengah berteriak. Entah Vanka akan melakukannya atau tidak.

Tapi ada yang aneh,... Kenapa Gracia tidak melakukan hal yang sama. Biasanya dia paling cepat tanggap dengan hal-hal seperti ini. Dan... Perasaanku saja atau memang Gracia daritadi hanya diam saja semenjak Shania dan Stefi datang. Atau malah dari sebelumnya. Intinya, Gracia lebih pendiam sekarang.

"Yang ini kak?" tanya Vanka yang sudah kembali dengan membawa kantong kresek yang aku maksud.

Untungnya Vanka kembali dengan membawa barang-barangku yang lain juga. Terimakasih Ya Vanka, Hehe.

"Termasuk ini..?" tanya Vanka lagi berusaha memastikan sambil mengangkat tas gitar yang memang kubawa.

"Yap.." jawabku singkat. "Taruh aja disitu"

"Lo beli gitar? Kayak udah jago aja mainnya.." sindir Shania. "Gue ajarin aja sini..."

"Ga usah.. Gue udah bisa kok. Dan ini gue juga ga beli, tapi dikasih sama kakak gue..."

"Ba--"

"Engga. Gitar dia emang banyak aja..." potongku sebelum Stefi melontarkan pujian yang tidak perlu untuk kakakku.

"Terus itu yang di kresek.. Oleh-olehnya apa?"

"Roti. Khas Belanda.." jawabku.

"Ini mah.. Disini juga ada!!" Shania marah-marah. "Ga perlu jauh-jauh ke Belanda!"

"Ya,... Tapi gue bener kan.. Hehehe.."

Ya, selain ke tadi ke ATM dan barber shop. Tempat ketiga yang aku datangi sebelum pulang adalah, toko roti.
Pemiliknya si pemeran Spiderman lho, si Tom. Tom ******* Bakery. Hehehe...

"Kak Ads.." setelah cukup lama terdiam, akhirnya Gracia mulai berbicara juga.

"Ya, Gee... Kenapa?" balasku sambil meletakkan styrofoam yang sudah kosong. Shani makannya lahap juga.

"Sehari sebelum kakak berangkat..."

Gracia menggantungkan kalimatnya. Tapi aku sudah mengetahui ini akan mengarah kemana.

"Ada yang mau kakak omongin ke aku kan.." tambahnya.

Benar kan.

Huft~
Aku sedikit menghela nafas.

Aku sudah menduga hal ini akan terjadi tapi aku tidak menyangka kalau akan secepat ini. Aku belum menyiapkan kalimat yang tepat untuk situasi seperti ini. Mungkin aku akan mencoba berimprovisasi saja.

"Bisa diomongin sekarang aja engga?" tanya Gracia akhirnya.

"Harus sekarang banget?" tanyaku balik.

Aku memandang Shani sebentar yang kemudian dibalas dengan anggukan olehnya.

"Kak Ads~" panggil Gracia lirih.

"Oke, gue serius ya.." ucapku kemudian menarik nafas panjang sebelum menghembuskannya kembali.

"Tunggu dulu. Mau ngomongin apa sih ini?!" Shania terdengar panik. "Stefi,.. Okta.. Thacil!! Kalian tau sesuatu?"

Ketiga orang yang namanya disebutkan tadi kompak menggeleng.

"Shani...!! Ap-"

"Bisa diem ga sih.." ucapku memotong omelan Shania yang akan mengomeli Shani.

Hal itu ternyata cukup sukses untuk membuatnya benar-benar diam. Aku tidak menyangkanya.

"Cepet aja ya.." ucapku. "Kalian yang ada disini juga dengerin baik-baik.."

"Iya. Kalian dengerin baik-baik ya.." tambah Gracia sambil sedikit tersenyum.

Aku mencoba untuk tidak melihat senyumannya itu secara langsung.

Kutarik nafas panjang sebelum kuhembuskan kembali dan terdengar lebih seperti desahan.

"Gracia.." panggilku. "Lo mau ga.."

"Mau, kak. Mau. Aku mau!!" Gracia langsung menjawab mantap tanpa keraguan sedikitpun sambil tersenyum sumringah. Bahkan aku belum menyelesailan kalimatku.

"...kalo hubungan kita balik lagi kayak dulu" lanjutku.

"Iya, kak.. Aku mau,.. Eh?! Gimana, kak? Bisa diulang? Aku ga begitu paham.."

"Iya. Gue pengen hubungan kita balik kayak dulu aja. Hubungan antara fans dan idolanya. Ga kurang ga lebih" jelasku tanpa melihat ke arahnya.

"K..Kak...? K..Kenapa?"

"Karena gue tau,.. Satu-satunya wanita yang gue cintai cuma Shani seorang.." jawabku yang kemudian memeluk Shani. "Bukan yang lain.."

"A..Adrian,.. Ga gini yang kamu bilang waktu itu.." bisik Shani pelan.

"Aku berubah pikiran,.." balasku yang juga berbisik.

"Kak Ads... Kak Ads..." Gracia mencoba memanggilku. "Kak Adrian..!! Lihat aku,.. Dan jelasin sekali lagi. Coba bilang kayak gitu sekali lagi.."

Aku langsung menatap ke arah Gracia dengan wajah datar dan pandangan yang dingin,...

"Apa lagi yang perlu gue jelasin?" tanyaku kemudian dengan nada dingin.

Gracia seketika langsung memasang ekspresi kaget seakan tidak percaya dengan apa yang sedang terjadi. Tapi inilah kenyataannya. Selain itu, dia juga terlihat seperti berusaha menahan sesuatu.
Kemudian Gracia terlihat mencoba berfikir sejenak sebelum akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari kamar ini.

"Gracia.." panggilku sebelum dia benar-benar keluar kamar.

Meskipun dia menghentikan langkahnya, tapi Gracia tidak menengok ke arahku.

"Kayak yang udah sering gue bilang ke lo,... Jaga diri ya.." ucapku kemudian.

Akhirnya hal itu terjadi juga, akhirnya Gracia menoleh ke arahku setelah aku berucap seperti tadi. Dan tidak hanya itu,.. Karena apa yang terjadi selanjutnya juga cukup mengejutkan meskipun aku juga sudah menduga hal tersebut.

Sesuatu yang daritadi ditahan oleh Gracia akhirnya dia lepaskan juga. Dia menangis. Gracia menangis sambil berlari pergi.

"Kak Ian kok jahat sih?!!" Vanka langsung marah karena teman eee.. sahabat. Sahabat masa kecilnya aku buat menangis.

"Gue ga nyangka, Yan.. Lo tega banget" kali ini Okta yang mulai marah. Dia marah karena teman satu perjuangannya aku buat menangis.

Lalu kedua gadis tadi hendak keluar kamar juga yang pastinya untuk menyusul Gracia.

"Bukannya lebih baik biarin Gracia sendiri dulu ya.." ucapku mencoba menghentikan niatan mereka.

"Gracia.." tiba-tiba Shani yang tadi terdiam dalam pelukanku mulai ikut bersuara. "Kamu tadi manggil dia 'Gracia' kan,.."

Di detik berikutnya tiba-tiba Shani berontak dan berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku.

"Shan.."

"Kamu siapa?" tiba-tiba dia menanyakan hal yang aneh. "Kamu bukan Adrian yang aku kenal,..."

Aku langsung terdiam dan bingung harus menjawab apa.

"Okta!! Thacil!! Kenapa diem?! Cepet susulin Gracia!!" Shani memberi arahan kepada kedua temannya. "Nanti aku nyusul.."

Okta dan Vanka langsung melakukan persis seperti apa yang dikatakan Shani. Mereka keluar kamar dan berusaha menyusul Gracia.

"Apa Adrian yang aku kenal sebenernya belum pulang?" pertanyaan Shani membuatku benar-benar terpukul. "Mas-ku ga kayak gini.." tambahnya sebelum akhirnya keluar kamar juga.

Aku hanya diam. Aku memang tidak berhak untuk membela diri. Aku paham akan hal itu. Aku yang paling paham.

"Dasar pengecut lo!!" hanya itu yang keluar dari bibir Shania saat dia melangkahkan kakinya keluar kamar.

Sekarang tinggal aku dan Stefi di dalam kamar ini. Tapi kami sama-sama terdiam tanpa mrngucapkan sepatah katapun.

"Stef,.. Kamu mau ngomong sesuatu?" aku akhirnya buka suara.

"Aku.. Aku bingung mau ngomong apa..." balasnya.

Banyak, Stef..
Banyak hal yang bisa kau katakan untuk menghina diri ini.
Kata 'Pengecut' dari Shania itu belumlah cukup untuk menggambarkan diriku saat ini.

Pecundang.
Bajingan.
Bedebah.
Sampah.

Semua kata itu rasanya pantas untuk disematkan pada diriku saat ini.

Atau jika ada kata lain yang lebih buruk dari itu, aku juga akan menerimanya.

"Aku mau balik dulu ke kamarku. Kamu ga usah ngikutin.." ucapku pada Stefi sambil membawa barang-barangku -yang tadi dibawakan oleh Vanka- sebelum akhirnya aku keluar kamar dan masuk ke dalam kamarku.

Kulihat ranjangku sedikit berantakan yang artinya sebelumnya, selama aku pergi ada yang menempati kamar ini.

Aku langsung meletakkan barang-barangku yang berupa tas ransel dan tas gitar di atas ranjangku sebelum kemudian,...

DUUUGGHHH!!!!

Ternyata bunyinya cukup keras dan rasanya juga sakit saat aku benar-benar melakukannya.

"Stef,... Aku kan tadi udah bilang, jangan ngikutin.." ucapku karena merasakan hawa kehadiran Stefi di depan kamarku.

"Maaf.. Tadinya aku mau nyusulin yang lain, tapi tiba-tiba denger suara keras dan.."

"Stef.."

"Iya,.. Iya... Maaf.. Aku pergi dulu ya" Stefi pamit sekaligus meminta maaf sekali lagi. "Tapi jangan benturin kepala kamu ke tembok lagi ya.."

"Stefi..."

"Iya, aku pergi.."

Setelah Stefi benar-benar pergi, aku lalu merebahkan diriku ke atas ranjangku bersebelahan dengan tas ransel dan tas gitar. Tentunya hal itu membuatku sedikit menyenggol tas gitar tersebut karena lebih dekat.

"Oh ayolah.. Jangan!!" gumamku. "Jangan menggodaku disaat seperti ini.."

Kenapa juga aku harus mendapat inspirasi dari kejadian tadi. Secepat ini pula.

Aku langsung saja membalikkan badanku agar menghadap ke arah kanan, memunggungi tas gitar tersebut. Membuatku menghadap ke arah bantal dan seketika aku mencium aroma yang khas disana.

Aroma ini.. Aku tahu betul ini aroma apa, atau mungkin lebih tepatnya aroma siapa. Aku sering mencium aroma ini disaat aku memeluknya dulu.

Ini aroma shampoo yang sering dipakai Gracia. Yang artinya saat aku pergi Gracia seringkali tidur di kamarku, di atas ranjangku. Selama ini dia menungguku.

Mengingat-ingat momen dengan Gracia membuatku tidak bisa lagi membendung air mataku. Aku menangis sejadi-jadinya.


Shania Gracia,..

Jaga diri.
Jangan sampai kamu sakit, pastikan untuk makan dengan benar.

Jaga diri.
Hapuslah semua kenanganmu denganku.

Aku harus pergi saat ini juga.
Ini akan sulit karena kenangan ini begitu berharga.

Selamat tinggal dan,...

Maaf.




IMG-20200213-001137.jpg


Gura.jpg

-Bersambung-
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd