All day long, my emotions fluctuate like a daily temperature difference
My predictions always shove passed me
A passing car splashes water on me
With this kind of emotion, I spend the day and quickly forget
I keep forgetting things, it seems like the traffic light changed
It seems like there’s not enough time for me to cross back
Without having done this or that, I just go home
I hate the rain clouds that cover the sky
Make sure to close the window today
Because the wind outside is cold
So your frozen heart doesn’t get colder from thinking about me
Even if someone rings the doorbell outside, don’t open the door
So no one makes you cry like someone did
Raining, raining, raining, it’s pouring
In my eyes, in my memories, as if tears are flowing
Day by day by day, every day is wet with you
Without an umbrella, I wash you away, as if time flows over me
The wet city looks so cold
That’s why I thought about you
Just in case you don’t have your umbrella and you feel at loss
Or whether you’re under an umbrella with someone else
On these kinds of days, the dams under my eyes crumble
The string that perfectly tied up my sanity snaps
The emptiness in my heart deepens into ocean depths
I blame my endless gloom on the weather
Make sure to close the window today
Because the wind outside is cold
So your frozen heart doesn’t get colder from thinking about me
Even if someone rings the doorbell outside, don’t open the door
So no one makes you cry like someone did
Raining, raining, raining, it’s pouring
In my eyes, in my memories, as if tears are flowing
Day by day by day, every day is wet with you
Without an umbrella, I wash you away, as if time flows over me
When this rain stops, as if nothing happened,
Please walk on that mud-stained path alone again
Before the sun sets, quickly follow the footsteps I left behind
Even if your white shoes get dirty, please walk on that path
Raining, raining, raining, it’s pouring
In my eyes, in my memories, as if tears are flowing
Day by day by day, every day is wet with you
Without an umbrella, I wash you away, as if time flows over me
From the speaker, that song we often enjoyed together flow
Following the longing melody that mirrors my heart, rain, rain
As if the sky is leaking, every day, every day
The clear sky act as if nothing happened
You naturally flow to the basement of my memories, rain, rain
As if my heart is leaking, every day, every day
Raining, raining, raining, raining
Part 43: Raining
"Kutenangkan kau
Bahwa semua akan baik saja~
Tapi kau bilang
Bahwa kita akan berakhir~
Aku memejamkan mata
Lalu ku mengirimkan kenangan kita dalam air mata~
Akal ku tlah merelakan
Tapi hati tak membiarkan~
Meski kita kan berpisah
Ku tetap suka~
Meski ingin tinggalkan
Dan ingin lupakan~
Ku tetap suka~
Suka padamu~ Padamu~ Padamu~"
Oke, lanjut lagu ke-6.
Iya, lagu ke-6. Karena sebelumnya aku sudah menyanyikan 5 lagu termasuk lagu yang barusan.
"Kau tlah meninggalkanku
Dan ku tak bisa berbuat apapun~
Cinta meninggalkanku
Dan bodohnya ku hanya berdiam disini~
Melihatmu pergi dan semakin jauh saja~
Jadi titik kecil dan menghilang~~
Akankah berlalu begitu saja~
Ku mengingatnya,.. Yeah.. Ku mengingatmu~~
Bila..~ Saja...~
Bila semuanya tak terlambat
Mungkinkah kita masih bisa bersama~
Bila..~ Saja...~
Bila saja kau juga berjuang
Mungkinkah ini kan jadi lebih mudah~
Ku mohon kembali padaku...
Bagaimana denganmu?
Apa kau memang baik-baik saja?
Tak mudah lupakanmu~~
Perpisahan ini mungkin sudah takdirnya~~
Melihatmu pergi dan semakin jauh saja~
Jadi titik kecil dan menghilang~~
Akankah ku temukan yang lainnya~
Ku mengingatnya,.. Yeah.. Ku mengingatmu Yeaaahh~~
Bila..~ Saja...~
Bila semuanya tak terlambat
Mungkinkah kita masih bisa bersama~
Bila..~ Saja...~
Bila saja kau juga berjuang
Mungkinkah ini kan jadi lebih mudah~
Ku mohon kembali padaku...
Suatu ketika hujan turun seperti hari ini, ku melihat bayangan dirimu~
Kenangan kita yang tersimpan dalam hati, selalu membuatku merindukanmu~
Baru ku tahu betapa sedihnya ketika berpisah~~
Bila..~ Bila saja...~
Bila semuanya tak terlambat
Mungkinkah kita masih bisa bersama~
Bila..~ Bila saja...~
Bila saja kau juga berjuang
Mungkinkah ini kan jadi lebih mudah~
Ku mohon kembali padaku..."
Ya, kebiasaan lama memang..
Salah sendiri, orang lagi sedih, galau. Cuaca pake mendung segala juga. Ditambah sekarang punya gitar..
Kan paket komplit. Gitaran, nyanyiin lagu sedih, sambil liatin langit mendung dari balik jendela.
Dan ngomong-ngomong soal gitar,... Gitar yang diberikan oleh kakakku ini ternyata bukanlah gitar yang sebelumnya aku pakai disana. Waktu itu aku memakai gitar berwarna coklat dengan banyaknya stiker yang menempel disana.
Nah, sedangkan gitar ini tidak ada stikernya satupun. Bahkan warnanya juga jelas berbeda, gitar ini berwarna biru. Apa gitar ini sebenarnya sudah pernah aku lihat di flat miliknya itu, tapi aku tidak terlalu memperhatikan karena dominannya warna biru disana.
Akan tetapi gitar ini rasanya seperti gitar baru. Jadi ini gitar biru atau gitar baru? Gitar baru biru? Gitar biru baru?
Bodoamatlah..
Tapi ada satu hal yang sedikit menarik perhatianku dengan adanya sebuah catatan di dalam tas gitarnya yang bertuliskan,...
"Anggap saja ini untuk hadiah ulang tahunmu"
Itu tidak penting, karena yang menarik perhatianku adalah pesan dicoret yang ada dibaliknya,...
"Hola~~
Selamat ulang tahun.
Maaf ya,.. Aku tau kok warna kesukaan kamu itu merah sama hitam. Tapi hitam itu juga bukan termasuk warna, sama kayak waktu kamu bilang kalo warna putih kesukaan aku itu bukan termasuk warna..
Dan,.. Berhubung gitar yang warna merah itu keliatan jelek. Bagusan yang warna biru ini..
Bukan karena biru warna kesukaan aku ya, tapi... Ya gitu deh..
Sekali lagi selamat ulang tahun ya.."
Pembahasan tentang warna,.. Itu hampir sama persis seperti percakapanku di bilik handahake dengan...
Ditambah 'Hola' di depannya.
Ah, sudahlah.
Mungkin memang dia orangnya..
Dan jika memang begitu, satu hal bagus memiliki kakak seperti Eno karena aku akan mendapatkan kakak ipar yang kecantikannya melebihi Shani. Dua kali lipatnya. Kalau Shani adalah manusia yang sempurna, dia adalah bidadari yang sempurna.
Tapi awas aja, jika aku bertemu dengan Eno nanti, aku akan meminta penjelasan lagi. Dan sebelum itu, aku akan memukulnya terlebih dahulu. Mungkin 10 atau 20 kali, mungkin lebih.
Kita lanjut lagu ke-7...
"Aku tau memang sulit
Untuk kembali padaku~
Aku tau engkau takut
Kau tak mau terluka lagi~
Bahkan disaat engkau pergi
Ku masih membuatmu menangis~
Dan sekarang ku menyesal
Maaf..."
Sepertinya cukup..
"Shan,.. Kamu sebenernya mau ngapain?" tanyaku akhirnya. "Kenapa daritadi cuma diem aja di situ?"
Aku pun menoleh ke arahnya..
"Aku bingung.." jawabnya yang justru membuatku ikut bingung.
Dia yang daritadi hanya berdiri diam di depan kamarku akhirnya memilih untuk melangkahkan kakinya masuk kedalam kamarku dan kemudian duduk di pinggir ranjangku.
"Aku bisa aja manfaatin momen ini, biar kamu jadi milik aku seutuhnya.." ucap Shani.
Ya, memang Shani orangnya. Mau siapa lagi?
Dan begitu mendengar ucapannya itu, aku langsung meletakkan gitarku sebelum akhirnya berjalan menghampirinya. Aku duduk disebelahnya, lalu memegang kedua bahunya dan menatap matanya dalam-dalam, kemudian tanpa mengucapkan apapun, ku dorong pelan bahunya sampai dia berbaring di atas ranjangku.
Shani sendiri juga tanpa perlawanan sama sekali hanya menurut dan sekarang dia terbaring pasrah di atas ranjangku. Akupun juga ikut naik ke atas ranjang dan berposisi merangkak tepat di atas tubuh Shani yang sedang menatapku sayu.
"Kalo gitu manfaatin, Shan.. Buat aku jadi milik kamu seutuhnya..." ucapku.
"Ya, aku emang udah nunggu momen kayak gini.." balas Shani.
Kemudian aku mendekatkan wajahku ke wajahnya. Tapi ada yang aneh,.. Shani tidak memejamkan matanya, bahkan dia juga tidak berkedip sama sekali. Dan seperti tahu akan kebingunganku, Shani kembali berucap...
"Aku emang udah nunggu momen kayak gini kok, jadinya aku ga mau nutup mata aku, biar aku tau kalo ini beneran kejadian.. Bukan mimpi.."
Aku merasa kalau wajahku memerah karena mendengar penjelasan dari Shani yang jujur itu membuatku senang.
"Tapi, mas.." panggilnya tiba-tiba.
Aku menatapnya dalam.
"Aku ga tahan kalo harus ngeliat dua orang yang aku sayang bersedih.." Shani membelai pipiku lembut. "Keputusan yang kamu ambil kemaren itu beda sama apa yang udah kamu putusin sebelum berangkat... Yang kamu omongin ke aku.."
Aku terdiam. Sekali lagi aku bingung, aku tidak tahu harus menjawab apa.
Shani kemudian bangkit duduk sehingga aku juga ikut duduk dan kami akhirnya duduk berhadapan.
"Ceritain semuanya.." ucap Shani. "Apa yang sebenernya terjadi waktu kamu ke Belanda.."
Aku sudah tidak tahan lagi. Air mataku kembali menetes, aku menangis sekali lagi.
Padahal aku kira aku tidak akan menangis lagi setelah kemarin aku menangis sendirian di dalam kamar ini.
Tapi nyatanya...
Aku menangis lagi. Dan aku melakukannya di depan gadis yang paling aku cintai.
Aku seperti sedang menunjukkan sisi terlemahku di hadapannya. Aku menangis didepan gadis yang paling aku cintai karena gadis lain.
Betapa bodohnya diriku ini.
Dan betapa baiknya Shani karena begitu tahu kalau aku menangis, dia langsung menarik pelan kepalaku dan memeluknya lalu dia juga mengelus-elus kepalaku. Disaat aku menangisi gadis lain, Shani malah berusaha menenangkanku.
"Iya, gapapa.. Nangis aja... Biar kamu lega" ucapnya sambil masih tetap mengelus kepalaku. Rasanya sungguh nyaman. "Habis itu, baru kamu cerita ya.."
Tangisanku semakin menjadi mendengar ucapan Shani.
Dan setelah tangisanku reda atau mungkin karena air mataku sudah tidak mau keluar lagi, barulah aku menceritakan semuanya. Alasanku yang sebenarnya. Kenapa aku sampai memutuskan hububganku dengan Gracia.
Yaitu karena nasehat dari kakakku sebelum aku pulang dimana dia menyarankan agar aku memiliki komitmen dan komitmen itu hanya saru orang gadis saja, yang paling aku cintai.
"Dan itu kamu, Shan.." jelasku. "Kamulah gadis yang paling aku cintai..."
Begitulah. Jadi sebenernya ini bukan salah siapa-siapa.
Bukan salahku. Meskipun jika kalian menyalahkanku, aku tidak masalah.
Bukan salah Shani. Jelas bukan salah Shani. Aku dari awal memang sudah memilihnya. Ini bukan salahnya.
Bukan salah Gracia juga. Dia tidak bisa memilih kepada siapa kita akan jatuh cinta bukan. Kita semua begitu.
Bukan juga salah Eno. Dia hanya menginginkan yang terbaik untukku, adiknya. Dan itu juga agar aku tidak mendapatlan masalah kedepannya.
Bukan salah keadaan. Kenapa harus menyalahkan keadaan.
"Terus kalo kamu tanya kenapa aku mutusin hubungan sama Gracia... Ya, maksud aku, biar yang lain nyerah juga. Dan biar aku bisa fokus ke kamu..." jelasku lagi.
"Nasehat dari kakak kamu itu bener. Aku ngerti kok.. Maksud kamu juga bener, aku juga bisa ngerti,.. Tapi cara kamu itu salah" Shani menasehatiku.
Pada akhirnya tetap aku yang salah. Ya, sepertinya memang itu jalan terbaik.
"Tapi, yang diucapin sama kakak kamu itu nasehat kan.. Bisa dipake, bisa enggak..." tambahnya. "Adrian,... Kamu ga perlu jadi orang lain. Cukup jadi diri kamu sendiri.."
"Shan.."
"Dan juga,.. Aku lebih suka kamu yang jujur waktu itu, yang bilang kalo kamu ga mau misahin aku sama Gracia.."
"Bukan ga mau, Shan.. Tapi ga tega.." ralatku.
"Tuh.. Itu baru Adrian yang aku kenal..." sahut Shani sambil menunjuk wajahku.
"Tapi, Shan.. Kenapa kamu tiba-tiba baik lagi?" tanyaku akhirnya karena penasaran. "Kemaren kamu kayaknya marah banget sama aku.."
Iya, aku bingung akan perubahan sikap Shani. Kemarin dia marah karena tindakanku pada Gracia. Tapi sekarang dia sangat baik padaku bahkan dia tadi juga menyiapkanku makanan.
Awalnya aku tidak mau makan,.. Mana ada orang sedih yang bisa makan.
Tapi berhubung Shani kemudian mengancam akan marah besar kepadaku jika aku tidak mau makan, akhirnya aku habiskan juga makanannya itu. Lapar juga sih.
"Itu karena Stefi" jawab Shani. "Kamu harus makasih sama dia.."
"Maksudnya?"
"Kemaren, waktu aku sama yang lain berusaha ngejar Gracia.. Dia tiba-tiba muncul dan bisikkin aku,.. 'Ga adil rasanya kalo kita cuma peduli sama Gracia, karena yang sedih bukan cuma dia'. Gitu katanya" jelas Shani. "Ditambah Thacil juga nyeletuk,... 'Kak Ian pasti punya alasan'. Aku jadi keinget masalah kita dulu.. Dan akhirnya aku sadar"
Stefi.. Vanka... Makasih ya.
"Apalagi waktu aku liat di kamar kamu, kamu lagi ketiduran dan mata kamu keliatan sembab kayak habis nangis" jelas Shani lagi. "Harusnya aku ada disana.. Harusnya aku ada waktu kamu lagi sedih.. Iya, kan.."
"Kamu baik banget sih" ucapku lalu menempelkan keningku dengan keningnya.
"Eeehh... Ini mau apa nih? Nyium? Emang berani?" Shani malah seperti menantangku.
"Pengen sih. Tapi..."
"Ga bakal ada yang gangguin lho kalo sekarang.." sahut Shani.
"Justru aku kangen sama 'gangguannya' itu" jawabku sambil menahan tawa.
"Aku juga.." balas Shani yang ikut menahan tawa.
"Aku--"
"Tapi ga suka ya sama lagu-lagu yang kamu nyanyiin tadi.." ucap Shani tiba-tiba.
"Hah?!"
"Lagu yang pertama.. Itu maksudnya apa?" tanyanya. "Itu tentang hubungan kita? Tentang masalah kita waktu itu?!" tuduh Shani.
Memang jika tidak kujelaskan, mungkin terdengar seperti itu tapi sebenarnya bukan.
"Lagu yang kedua? Itu buat siapa??" tanyanya lagi. "Buat siapa? Ga mau jawab??"
"Eee..."
"Meskipun kamu ga mau jawab, aku tau kok.. Kamu tadi nyebutin nama anjingnya kan.." tuduh Shani lagi.
"Shan..."
"Lagu ketiga-"
"Itu buat kamu" potongku. "Inspirasinya dari pertemuan kita tahun lalu. Yang waktu kita ga sengaja ketemu dan akhirnya..."
"Kamu nganterin aku pulang" sambungnya.
Ya, satu rahasiaku dan Shani adalah... Dulu aku pernah mengantarkannya pulang.
Tapi,... Saat itu kami berdua masih belum tahu kalau sebenarnya kami ini sudah pernah bertemu dan saling mengenal sejak kecil.
Atau hanya aku? Apa jangan-jangan Shani sudah sadar.. Makanya dia mau untuk kuantarkan pulang.
"Tapi aku masih bingung.." ucap Shani lagi. "Kenapa waktu itu justru kamu yang bilang 'makasih' pas udah selesai nganterin aku? Kan harusnya aku yang ngomong kayak gitu.."
"Makasih ya.." sahutku.
"Iihhh... Makasih buat apa sih sebenernya..??"
"Rahasia.."
"Terus kalo kamu mau nanya lagi,.. Lagu keempat sampe yang terakhir tadi, itu semua buat.."
"Gracia kan.."
Aku langsung diam. Bingung harus menjawab apa.
"Aku boleh nanya sama kamu.." ucap Shani tiba-tiba.
"Mau nanya apa?"
"Kamu sebenernya sayang apa engga sama Gracia?"
"Aku... Sayang sama kamu, Shan.."
"Itu ga jawab pertanyaan aku"
"Gracia itu anaknya baik,.. Menyenangkan, terus-"
"Tetep ga jawab pertanyaan aku.." potongnya.
"Yaa... Kamu tau lah jawaban aku.." balasku akhirnya. "Terus... Sekarang aku harus gimana??" tanyaku kemudian dengan polosnya.
"Ya, temuin Gracia.. Terus minta maaf.. Kok pake nanya sih?"
"Sekarang?" tanyaku lagi.
"Ga usah. Besok aja.. Lagi mendung juga, udah gerimis lagi.." balas Shani sambil melihat keluar jendela kamarku.
"Ya, makanya aku tanya.. Sekarang aku harus gimana?" tanyaku lagi.
"Mau ngelakuinnya aja?" Shani bertanya balik.
"Ngelakuinnya?
"Yang tadi.."
"Eeehhh.... Engga deh, jangan sekarang.."
"Tapi tadi kayak yang semangat banget.."
"Khilaf, Shan.. Aku ga akan ngelakuinnya sama kamu sebelum kita udah bener-bener resmi nikah.." jelasku.
"Kalo sama Gracia udah sampe ngapain aja?"
"Hah?!"
"Bercanda.."
Aku yang awalnya kaget langsung lega begitu tahu kalau Shani hanya bercanda.
"Tapi seriusan lho ya,..." ucap Shani tiba-tiba. "Cuma aku sama Geacia kan.."
"Iya, Shan" jawabku mantap. "Mana ad...."
Tiba-tiba aku teringat akan sesuatu..
"Shan,.. Maaf.."
"Mas.. Ada lagi yang lain?!"
"Eee... Gini jadi.."
"Siapa?!! Shania?! Stefi?! Okta?! Thacil?!"
"Bu..Bukan"
"Anin?! Yupi?! Julie?!"
"Kok malah.."
"Atau yang lain lagi? Cindy?! Aya?! Jinan?! Ci Desy?! Feni?! Diani?! Amel?! Pucchi?!"
Itu cerita sebelah!!
"Bukan, Shan. Bukan member. Aku bahkan ga ta--"
"Oh, ex-member?!! Siapa?!!! Manda?!! Mantan kamu itu?!"
"Bukan.. Aku juga ga tau dia itu siapa.."
"Nadse?! Cesen?! Ande- Eh?! Gimana sih maksudnya?"
"Iya, aku ga tau dia siapa. Cuma dia ngasih tau kalo dia suka sama aku, lewat surat. Dia ngirimin surat.." jelasku akhirnya.
"Surat??"
"Iya, dulu aku pernah dapet surat..."
Akhirnya menceritakan tentang surat yang dulu pernah kudapat itu, surat yang kini berada di bawah meja rias Shani. Dan aku menjelaskan juga alasanku kenapa menaruh surat itu disana.
Tidak lupa, aku juga menjelaskan tentang isi surat itu yang berisikan ketulusan, kerendahan hati, kebaikan, kasih sayang, dan yang pasti kejujuran.
"Kamu mau aku jujur kan,.." ucapku kemudian. "Setelah kamu, selain kamu.. Ada satu orang gadis lagi yang aku cari-cari.."
"Sekarang surat itu ada di...?"
"Di kamar kamu.. Lebih tepatnya di bawah meja rias kamu" jawabku. "Kan tadi aku udah bilang.."
"Surat...."
"Sini aku tunjukkin.." aku lalu berdiri dan mengajak Shani untuk ke kamarnya.
Sesampainya di kamar Shani aku lalu bermaksud untuk langsung mengambil surat tersebut, tapi... Aku tidak menemukannya. Aku tidak bisa menemukannya.
"Shan,.. Udah kamu ambil?" tanyaku pada Shani. "Kamu udah tau suratnya"
Tapi Shani malah lebih seperti sedang sibuk memikirkan sesuatu.
Dimana surat itu?
Tunggu dulu, kapan terakhir kali aku memegang lagi surat itu?
Sebelum Shani menempati kamar ini, dan setelahnya aku tidak pernah lagi memegang surat itu lagi?
Apa surat itu hilang?
Tapi sejak kapan?
Atau ada yang mengambilnya?
Tapi siapa?
Stefi? Saat dia sendirian di kamar Shani kemarin?
Okta? Saat dia membersihkan kamar saat itu?
Vanka? Lalu saat dia ingin menyerahkannya padaku, sudah ketahuan terlebih dahulu oleh kakak kelasnya, Shania?
Gracia? Saat dia sering menginap disini?
Atau justru Shani sendiri?
Tapi dua nama terakhir sepertinya tidak mungkin melakukannya, mereka pasti akan langsung memberitahukannya padaku.
"Kamu harus nemuin Gracia sekarang.." tiba-tiba Shani berucap.
"Hah?!" aku kaget.
"Cepet!!"
"Tapi kata kamu tadi..... Diluar gerimis lho, Shan.." ucapku. "Nanti kalo baju aku basah, kedinginan, terus sak-"
"Kamu ga mungkin sakit!" potong Shani. "Dari kecil kamu ga pernah sakit kan.."
Kok...
"Lagian kalo masalah kedinginan, aku sendiri udah kedinginan daritadi, gara-gara kamu nangis, baju aku jadi basah nih.." tambahnya sambil menunjuk kaosnya yang basah.
Aku yang melihatnya langsung menelan ludah dan akhirnya aku sadar. Jadi tadi aku menangis sambil membenamkan wajahku tepat disana?
Pantas saja rasanya nyaman..
"Cepet!! Kok malah bengong.."
"I..Ini seriusan, Shan..?"
"Iya, setelah aku pikir lagi, lebih cepet lebih baik.."
Shani kemudian menarikku agar berdiri kemudian dia mendorong punggungku dari belakang.
"Ta..Tapi..."
"Ga pake tapi-tapian"
"Seenggaknya biarin aku ganti baju dulu dong, Shan.. Masa aku cuma pake kaos sama boxer..."
.
.
.
.
.
"Ya udah, aku berangkat ya.." ucapku begitu selesai memakai jaket lalu mengambil kunci motor.
Tapi Shani tidak menjawabku, dia malah menunduk dengan wajah yang memerah.
"Kamu kenapa, Shan? Demam lagi?" tanyaku kemudian.
"Hah?! E..Engga. Cuma.. I..Itu... Apa..."
Oh, aku mengerti.
"Gimana? Bagus ga?" tanyaku menggodanya.
"Hah?! A..Apa sih...??" Shani salah tingkah.
Ya, sesuai janjiku kemarin. Shani menjadi yang pertama melihatnya.
Itu dikarenakan Shani yang terus memperhatikanku disaat aku sedang ganti baju. Hehe...
"Bagus ga? Kamu suka ga?"
"Udah, ah.. Sana berangkat" malah diusir. "Pokoknya kamu harus minta maaf sama dia.."
"Iya, iya.. Pasti"
"Dan kamu ga boleh pulang sebelum bawa dia kesini sebagai bukti kalo kamu emang beneran udah minta maaf.." ditambah dengan ancaman.
"Kok gitu? Nanti kamu kesepian dong disini.."
"Makanya cepet berangkat, cepet balik juga!!"
.
.
.
.
.
.
.
•
Baby I just want you back
I want you back~
I want you back~
Baby I know it's just too late
It just too late~
It just too late~
Baby I just want you back
I want you back~
I want you back~
Baby I know it's just too late
It just too late~
It just too late~
•
Malah dikasih backsound. Kampret emang penulisnya ini..
Nah, sekarang aku sudah ada di depan rumahnya Gracia yang,... Kelihatan sepi.
•
Baby, I hate you (no, no, no, no, no, no)
Baby, I loved you (yes, yes, yes, yes, yes, yes)
Ma baby, hate you (no, no, no, no, no, no)
Baby, love you, du du du du du
Baby, who you?
•
Masih dilanjutin lagi..
Ah udahlah, bodoamat.
"Permisi... Gre... Gracia... Kamu ada di dalem?" teriakku. "Gre... Aku mau minta maaf, Gre.. Sekaligus jelasin masalah yang kemaren itu.."
Tidak ada jawaban.
Dan tidak ada pergerakan pula.
Apa tidak ada orang?
"Permisi... Spada... Anybody home? Om.. Tante... Aten.. Ecen... Gre..." teriakku sekali lagi. "Beneran ga ada orang apa?"
Sebentar,... Firasatku mengatakan apa?
Ada orang? Atau tidak ada orang?
Aku memejamkan mata dan mencoba untuk berkonsentrasi.
Ada.
Ada orang di dalam. Dan jika firasatku memang benar. Itu Gracia.
"Gre.. Aku tau kamu ada di dalem. Tolong keluar sebentar, Gre.. Aku kesini mau minta maaf..." aku tidak menyerah. Aku berteriak sekali lagi. "Aku akuin, kemaren aku emang udah egois. Kemaren aku emang salah, aku akuin itu.. Makanya sekarang aku--"
"Sampah!!" tiba-tiba ada yang berteriak memotong perkataanku.
"Lo yang sampah!!" bentakku balik pada orang yang berteriak tadi. "Mau cari gara-gara lo?!!"
"Bukan, mas.. Saya..."
"Pake oren-oren.. The Jak lo?!!"
"Emang seragam saya gini, mas. Saya cuma mau ngambil sampah doang..." dia memelas.
"Ga ada, ga ada.. Udah sana pergi.." usirku padanya.
"Iya, iya mas.." dia kembali memelas. "Susah emang urusan sama orang yang habis putus cinta.." celetuknya pelan.
"Bilang apa lo?!"
"Maaf, mas. Maaf..."
Dan setelah orang tadi pergi, aku berniat untuk kembali memanggil Gracia tapi,...
BUK..
Ternyata Gracia sudah keluar lalu melemparkan sebuah kantong plastik besar berwarna hitam ke arahku yang secara refleks langsung aku tangkap. Baunya tidak sedap.
Tunggu dulu, ini kantong sampah?!
Bukan itu permasalahannya.
"Gre... Bentar,... Aku mau ngomong"
Tapi Gracia hanya berekspreai datar, bahkan dia juga tidak berucap apapun. Dia langsung menutup kembali pagar rumahnya dan kembali masuk ke dalam rumahnya lagi.
Menurutku masih lebih baik kalau Gracia marah-marah dan membentakku. Kalau seperti ini,.. Aku seperti tidak dianggap ada olehnya.
Dan,... Ini kantong plastik baunya lama-lama ganggu..
"Woi, sampah!! Ada sampah nih!" teriakku pada tukang sampah tadi.
"Oh.. Mana, mas..? Mana?" kenapa semangat sekali.
"Nih,.. Udah sana.." langsung kuserahkan kantong plastik tersebut.
"Makasih ya, mas.." balasnya. "Tetep semangat, mas. Cewek emang suka gitu mas kalo lagi ngambek.."
"Udah deh,.. Ga usah ikut-ikutan.." usirku lagi.
Dan sekarang, aku sendirian lagi di depan rumahnya Gracia.
"Gre... Please,.. Keluar sebentar. Aku mau ngomong.." pintaku kali ini. "Aku ga akan pergi sebelum kamu mau nemuin aku dan dengerin penjelasan aku.."
Masih tidak ada pergerakan dari dalam rumahnya Gracia.
"Dan aku ga akan pergi dari sini, apapun yang terjadi!!!"
BLAAARR
Itu wajar, tadi mendung dan sekarang agak gerimis. Jadi wajar saja kalau barusan terdengar suara petir.
"Sekali lagi aku tegesin kalo ga akan pergi dari sini, Gre..."
Dan tepat setelah aku mengucapkan itu langsung turun hujan dengan derasnya.
Sinetron banget asli.
"Deres banget lagi, berasa kayak langsung disiram gue.." gumamku.
Kalau sudah seperti ini, biasanya kalau aku berbalik badan. Pasti akan..
PLAAASSTT
Benar kan, langsung terkena cipratan dari mobil yang lewat.
"Makasih lho!!" teriakku pada pengemudia mobil tadi. "Kebetulan saya emang belum mandi.."
Aku mendongakkan kepalaku seakan menantang langit.
"Ini gue beneran lagi diuji apa gimana sih..?" tanyaku. "Harus ya gini banget ujiannya??"
Aku sudah menyerahkan masa mudaku, aku berlari bertelanjang kaki selama bertahun-tahun.
Aku juga sudah mengucapkan selamat tinggal tak berperasaan padanya.
Hidup setiap hari, namun selalu gugup tentang hari esok.
Aku mengatakan padanya agar mempercayaiku, bahwa kami akan berhasil. Pasti.
Dengan berat, bukan hanya hidupku tapi 6 lainnya di pundakku, untuk saat ini.
Dan aku akan mempersempitnya dengan hanya menyisakan 2.
Aku selalu mencari kesempatan mengangkat mereka semua di pundakku.
Aku memiliki pilihan untuk tak melakukan semua itu, untuk membuang semua tekanan dan kegagalan.
Tapi sekarang aku ingin melihat cahaya, jadi aku meletakkan masa depanku di jalur ini.
Tuhan, jika aku tidak bisa memperbaikinya, memperbaiki masalah ini..
Aku tidak akan menyesal.
Tanpa ragu, aku akan menjawab kalau aku tidak menyesal.
Kenapa aku harus menyesal?
Ini pilihanku, ini bagian dari hidupku.
Kenapa aku harus menyesali kehidupanku, jadi aku akan lebih memilih untuk menikmatinya saja.
Apa yang tersisa di belakangku saat ini, adalah keberhasilan atau mungkin kegagalan.
Aku akan meletakkan segalanya pada baris dan waktu berikutnya..
Dan aku akan menentukan pilihanku sendiri
Jika memang harus berbeda dari orang lain, tak mengapa.
Tidak ada salahnya untuk menjadi berbeda.
Ini seriusan?
Aku sudah bermonolog sebagus itu, tapi tidak ada rewardnya?
Gracia masih tidak mau keluar??
Bahkan untuk mengintip dari balik jendela saja sepertinya tidak. Atau aku saja yang tidak sadar?
Dan,... Penulisnya tidak mau berinteraksi apa?
Sepertinya sudah lama aku tidak berinteraksi dengannya.
Kecuali tadi saat dia memberikan backsound.
Apa dia tidak mau memberikan backsound lagi untuk situasi seperti ini?
Cocok lho, hujan-hujan, suasananya sedang sedih. Jika diberi backsound, mungkin akan terlihat seperti sebuah video klip.
•
Hilang dari pandanganku
Semua kata kasar ini~
Ku ucap tanpa berfikir
Orang lain kan menganggap~
I was so fool~~
Meskipun ku minta maaf
Takkan ada yang berubah~ (I know)
Caci maki diriku meski itu membuang waktu
Ku hanya ingin dengar suaramu~
Aku bodoh dan tak dewasa
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Sangat bodoh dan tak berdaya
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Baby I was so fool~~
I was so fool~~
I said
Ku egois, tak mau mengalah, fokus pada diriku saja~
Dan kufikir, ku sudah gila, akulah yang mencampakkanmu~
Oh I was so fool~~
Baby I was so fool~~
Meskipun ku tlah menyesal
Takkan ada yang berubah~ (I know)
Hanya sebentar dan untuk terakhir kalinya
Ku ingin lihat dirimu lagi~
Aku bodoh dan tak dewasa
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Sangat bodoh dan tak berdaya
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Baby I was so fool~~
I was so fool~~
Dari jauh sinarmu pun terang benderang
Kan ku genggam menjadi sebuah kenangan~
Ku slalu rindukanmu
Yes, I know I'm late late
Tapi kembalilah seperti semula, baby~
Dari jauh sinarmu pun terang benderang
Kan ku genggam menjadi sebuah kenangan~
Ku slalu rindukanmu
Yes, I know I'm late late
Tapi kembalilah seperti semula, baby~
Aku bodoh dan tak dewasa
Kini ku sadar bahwa ku jahat~
Aku bodoh dan tak dewasa
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Sangat bodoh dan tak berdaya
Kini ku tahu bahwa ku salah~
Baby I was so fool~~
I was so fool~~
•
Beneran dikasih backsound dong.. Pas banget lagi, kan kampret ya.
Ya udahlah, sekarang manggilin Gracia lagi aja..
"Gre... Aku bakal tetep disini sampe kamu keluar.. Apapun yang terjadi!!"
CTAR!!!
Anj*ng!!
Itu tadi petir nyambernya deket banget sama tempatku berdiri. Hanya berjarak beberapa meter saja.
Bahkan, ada ranting pohon yang jatuh ke jalan gara-gara terkena sambaran petir tadi.
Eh, jatuh ke jalan??
Bisa bahaya, harus dipinggirkan..
Tapi... Aku tadi sudah bilang kalau aku tidak akan kemana-mana..
"Akkhh!!!"
Akhirnya aku memutuskan untuk meminggirkan ranting pohon itu terlebih dahulu setelah sebelumnya aku mencoba untuk memastikan apakah Gracia mengintip atau tidak terlebih dahulu. Aku melakukannya dengan cepat.
Aku juga sempat berfikir,... Apa lebih baik aku tetap berada di dekat pohon tadi saja ya?
Katanya petir tidak akan menyambar di tempat yang sama dua kali kan..
Atau malah jangan-jangan langsung 3 kali?
Tapi aku harus tetap berada di depan rumahnya Gracia, agar supaya dia tidak akan bingung mencariku di saat keluar nanti. Itupun jika dia keluar.
•
Bagai langit dan bumi yang beda
Aku dan kamu tak akan mungkin bisa bersama~
Aku meninggalkan dirimu
Karna diriku tak cukup baik bagi dirimu~
Memang aku yang pengecut dan sangat takut tak bisa bahagiakan kamu~
Di ujung jalan sepi inilah kisah cintaku berakhir~
Dulu saat bersamamu
Menjalin cinta yang semu
•
"Bisa berhenti ga?? Udah cukup backsound-nya, udah cukup"
Ga tau orang lagi kedinginan apa??
Backsound mulu, ajakin gue ngobrol kek, kayak yang sebelumnya gitu. Sombong banget kayaknya sekarang.
Entah sudah berapa lama aku berdiri disini.
Detik demi detik berlalu dan berganti dengan menit.
Menit berganti dengan jam.
Dan entah sudah berapa jam aku berdiri disini memandangi rumahnya. Mengharapkan agar Gracia keluar dan memaafkanku. Atau setidaknya mendengarkan penjelasanku.
Badanku mulai gemetaran, aku menggigil kedinginan. Aku tidak kuat dengan hawa dingin seperti ini.
Apa aku sudah pernah mengatakannya ya? Kalau begitu, maaf.
Aku sudah tidak kuat. Sepertinya aku akan mencobanya sekali lagi.
"Gre.."
Suaraku sepertinya mulai melemah karena berteriak daritadi kalah oleh suara derasnya hujan. Tapi aku tetap mencoba untuk memanggilnya.
"Gre... Aku tau kok. Kamu daritadi ngeliat kan. Kamu ngintip dari balik tirai jendela itu kan.." entah suaraku terdengar olehnya atau tidak. "Tuh.. Kamu baru aja nutup tirai jendelanya!!" teriakku sekali lagi begitu menyadari ada sedikit gerakan di tirai jendela rumah tersebut.
Yah... Setidaknya aku tidak benar-benar sendirian disini. Ada motorku juga.
Tunggu dulu,.. Itu dia.
"Kamu ga mau naik Phoenix-chan lagi apa?" aku bertanya dengan suara yang lirih.
Tapi sepertinya itu terlalu pelan untuk didengar olehnya. Apalagi ditambah dengan suara hujan yang semakin deras saja. Kepalaku juga sudah mulai pusing.
"Pingsan aja apa ya?" pikirku. "Drama banget tapi kayaknya.."
Dan sepertinya itu hal terakhir yang bisa aku lakukan. Aku lalu berbalik badan membelakangi rumah Gracia kemudian mendongakkan kepalaku lagi. Menantang langit sekali lagi.
"Aku tetap tidak merasa menyesal.." ucapku lirih.
Kemudian aku memejamkan mataku sehingga itu membuatku bisa merasakan dengan jelas setiap tetesan hujan yang jatuh di wajahku.
Beneran pingsan nih kayaknya,..
Tunggu sebentar..
Kenapa aku tidak lagi merasakan air hujan yang menetes di wajahku lagi?
Apakah hujannya sudah berhenti?
Tapi aku masih bisa mendengar kalau hujan masih turun..
Secara perlahan aku membuka mataku tapi,... Aku tidak bisa melihat langit. Aku justru melihat payung berwarna ungu.
Tunggu dulu,.. Payung berwarna ungu?
Apa jangan-jangan.. Aku sudah pingsan dan ini hanya mimpi ya?
"Kenapa sih, kak??" aku mendengar sebuah suara dari arah belakangku.
Dengan perlahan aku membalikkan badanku dan melihat sesosok gadis yang sangat ingin kutemui, yang sejak tadi kupanggil-panggil. Dan sekarang gadis itu sedang menunduk dengan tangan kanan yang memegang payung.
"Maunya apa sih?!!" Gracia mengangkat kepalanya. "Kenapa kesini?!"
Terlihat wajahnya yang cantik meskipun dengan mata yang sembab seperti habis menangis. Entah itu bekas tangisan kemarin atau barusan. Tapi aku bisa melihat ada air yang menetes dari matanya, atau itu hanya air hujan.
Ini benar-benar Gracia.. Atau aku sudah oingsan dan ini hanya mimpi??
"Gre.." panggilku.
Gracia tiba-tiba melemparkan payung yang melindungi kami dari tetesan air hujan dan kemudian dia langsung memelukku.
"Kenapa ga nyerah aja sih?!!" teriaknya disaat memelukku. "Padahal tadi juga udah aku cuekin.."
Aku sangat ingin membalas pelukannya. Tapi apa aku pantas untuk melakukannya?
Bahkan apa aku pantas untuk mendapatkan pelukan darinya?
"Maunya apa sih, kak?!!" bentak Gracia. "Kemaren katanya mau nyudahin hubungan kita. Terus kenapa sekarang dateng kesini?!!!"
"Gre..." panggilku. "Kenapa payungnya dibuang?" tanyaku kemudian.
"HUWAAAHH...." tangisannya semakin menjadi. "Mana aku tega ngeliat kakak kehujanan gini!!"
Hal itu membuatku tidak tahan lagi, akhirnya kuputuskan untuk membalas memeluknya dengan tujuan agar dia menjadi sedikit lebih tenang. Akhirnya kami berpelukan ditengah derasnya hujan.
Dan dengan pelan aku bisikkan padanya,... "Maaf ya, Gre.. Tapi aku sayang sama kamu"
-Bersambung-
