Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT RANJANG YANG TERNODA - REMASTERED

BAGIAN 10-B
NAMANYA LIDYA




.: HARI KETIGA :.

Hari ini hampir seharian Lidya menghabiskan waktu di kebun. Dimulai dari menikmati indahnya pagi dengan sarapan gurameh bakar kiriman Mbak Mirah, lalu mengagumi angin yang bersemilir sambil makan rujak buah – buahan buatan sendiri di siang hari dan akhirnya mengobrol dan bercanda dengan Mbak Mirah dan saudara – saudaranya di sore hari. Anak Mbak Mirah yang masih balita lucu sekali. Bersama dengan orang – orang ini, Lidya ingin melupakan kejadian sial yang terjadi kepadanya. Suasana Desa Kapukrandu yang tenang, asri dan bersahabat membuat Lidya sedikit demi sedikit merasa tenang dan nyaman, begitu nyamannya sehingga seandainya diminta, Lidya akan betah tinggal di sana. Bahkan jika dia harus tinggal di rumah pinjaman bersama dengan mertuanya yang bejat dan hanya memikirkan seks.

Itu pagi sampai sorenya. Tapi malamnya?

Malam ini sepertinya Lidya harus menepati janji pada Pak Hasan, janji apa? Janji melayani sang mertua di tempat tidur. Lihat saja pandangan buas Pak Hasan di meja makan hari ini, seperti hendak menelannya hidup – hidup. Setelah kemarin malam diancam akan dibuka rahasianya pada Andi, bisakah wanita cantik itu menolak?

“Malam ini, kamu tidur di kamarku.” Kata orang tua cabul itu dengan dingin sambil mengunyah nasi.

“Tidak.” Tolak Lidya.

“Kenapa?” tanyanya galak.

“Rumah Mbah Mirah tidak jauh dari rumah ini, kamar mereka juga dekat dengan kamar Bapak. Kalau sampai keluarga mereka mendengar jeritan…” wajah Lidya memerah ketika ia menyadari apa yang ia katakan. Ia segera meralat kata – katanya. “….kalau sampai keluarga Mbak Mirah mendengar suara mencurigakan, kita bisa digrebek. Aku tidak mau Mas Andi malu. Lagipula tadi malam Bapak sudah… sudah dapat.”

“Malu? Kenapa harus malu? Setelah apa yang kita lakukan di bus, di pasar atau di mal? Atau saat main kartu kemarin? Apanya yang bikin malu?” Pak Hasan tertawa renyah. “Tidak akan terjadi apa – apa. Malam ini kamu tidur di kamarku.”

Lidya meneguk ludah. Tiba – tiba saja nasi sayur yang ia makan terasa hambar. Ia tahu tidak ada gunanya menolak. Dengan gerakan kepala pelan, si jelita itu mengangguk.

Pak Hasan tersenyum puas, “habiskan makananmu, Nduk. Aku tidak mau Andi melihat istrinya kurus sepulang dari desa. Untuk nanti malam, pakai kaos tipis dan rok mini yang sekarang kamu pakai itu dan jangan memakai beha saat kamu masuk kamarku nanti.”

Lidya mengeluarkan nafas panjang, sudahlah, ia sudah letih melawan… ia menyerah. Si jelita itu kembali mengangguk.

Malam datang sangat cepat hari itu, detik demi detik yang biasa datang lambat justru berpacu dengan hening malam. Lidya sempat beristirahat sebentar usai mencuci piring, ia tahu ia harus masuk ke kamar sang mertua dan melayaninya bermain cinta. Bukan hal yang paling menyenangkan hari ini, tapi ia tahu dirinya tidak bisa mengelak. Cepat atau lambat, Pak Hasan pasti akan menikmati ranum tubuhnya.

Dengan langkah malas Lidya bangun dari pembaringan tempatnya bermalas – malasan sepanjang hari dan berjalan menuju kamar Pak Hasan. Walaupun kamar mereka hanya dibatasi oleh ruang keluarga, namun Lidya merasa dirinya bagaikan seorang narapidana yang berjalan melalui lorong penjara menuju hukuman mati. Ketika mendengar langkah kaki Lidya, Pak Hasan bergegas untuk membukakan pintu. Pria tua itu hanya mengenakan kaos oblong putih tipis dan sarung yang melilit. Dengan gerak langkah ringan, Lidya duduk di pembaringan. Tanpa bicara, tanpa kata. Lidya hanya diam dan menunggu.

Pak Hasan duduk di samping menantunya, lalu dengan lembut ia mencium bibir mungil Lidya. Sapuan lembut bibir sang mertua membuat gairah Lidya perlahan – lahan naik. Ini dia, seorang pria yang bukan suaminya mencium bibirnya dengan bebas. Tapi anehnya, hampir – hampir Lidya berharap Andi bisa menciumnya seperti yang dilakukan oleh Pak Hasan, begitu dominan, kuat dan jantan. Si cantik itu tentu saja tidak mau menikmati permainan kasar Pak Hasan dengan membayangkan suaminya. Ia tidak ingin menikmati ini, tapi… ketika bibir dengan bau tak sedap itu menyapu bibirnya dan menjelajah semua sisi rongga mulut dan bibir penuhnya, pagutan bibir mertuanya membuat Lidya menyeberang kenikmatan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

Tubuh gemuk Pak Hasan bertengger di atas tubuh Lidya yang ramping. Celananya sudah turun hingga lutut dan lidahnya yang cabul menjelajah mulut menantunya yang cantik sementara tangan nakalnya menjelajah seluruh lekuk tubuh Lidya. Tangan itu meremas – remas buah dada sang menantu yang kenyal dan sempurna yang masih ada di balik pakaian tipis. Bibirnya yang tebal terus saja menjajah bibir mungil Lidya, lidahnya menggeliat, memaksa sang menantu membuka mulut sedikit dan meneteskan air liur diantara bibir merah yang ranum.

“Haunnng…” Lidya mengerang sambil memejamkan mata keenakan ketika Pak Hasan menarik lidahnya yang nakal dan mulai menjilati sisi wajah dan dagu sang menantu sambil tak lupa sesekali mengecup bibir mungilnya yang menggemaskan.

Lidya memandang ke arah sang pencium dengan mata berkaca – kaca dan bibir yang menebal bahkan hampir luka karena ciuman kasar pria tua bejat yang kini sedang menciuminya penuh nafsu. Lidya berupaya mengangkat kepalanya, tapi bibir sang mertua yang bau itu mengejar bibirnya lagi, sekali lagi kepala Lidya terjerembab ke bawah.

“Ummmpphhhhh… glkkk… Ppaaakkk…” kepala Lidya bergerak tanpa henti karena kasarnya ciuman Pak Hasan. Bagaimana mungkin dia bisa menikmati ciuman buas seperti ini? Walaupun dalam hati menolak, tak urung Lidya merem melek juga dengan rangsangan hebat yang kini menderanya. Pak Hasan terus saja menumbuk bibir manis Lidya dengan bibirnya yang kasar dan mulutnya yang bau, belum lagi dengan air liur yang terus menetes dari mulut sang mertua membuat bibir Lidya benar – benar serasa dijajah. Lidya mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa mengatur kuasa tubuhnya. Bukannya merasa jijik, Lidya malah semakin menikmati ciuman menuju puncak orgasme. Orgasme, hanya dengan berciuman dengan Pak Hasan. Lidya malu sekali.

Penis Pak Hasan keras seperti kayu, menyembul dari sarungnya. Lidya bisa merasakan hawa nafsu yang menghangat keluar tiap kali tubuhnya bergesekan dengan kemaluan sang mertua. Bahkan ketika penis yang masih ada di balik sarung itu disandarkan dengan santai di perutnya yang rata. Lidya masih merem melek menerima serangan ciuman bertubi. Si cantik itu hampir tidak bisa bergerak dan berkonsentrasi untuk melakukan apapun karena intensitas serangan terus – menerus meningkat.

Tangan kasar sang mertua bergerak lincah dengan cepat, menyadari menantunya yang jelita kini ada dalam kuasanya, tangannya segera melucuti celana dalam pink mungil milik Lidya. Si cantik bahkan tak sadar bahwa bagian bawah tubuhnya kini telah telanjang.

“Sudah waktunya.” Kata Pak Hasan setelah melepas pagutannya yang liar pada mulut Lidya. Ia berdiri dan melepas sarungnya yang kumal.

Lidya tak menjawab, tapi matanya gelisah penuh penantian. Antara ingin dan jijik. Bola matanya yang indah memandang tubuh mertua yang tidak ada bagusnya, perut gembul berbulu dengan kemaluan yang keras menggantung di bawah, air cinta pelumas membasahi ujung gundul penis dan perlahan menetes membasahi roknya yang berantakan. Setelah mencopot pakaiannya sendiri, Pak Hasan menarik lepas celana dalam sang menantu yang tadi masih tergantung di kaki.

Ketika sedang melamun, Lidya dikagetkan oleh Pak Hasan yang tiba – tiba memegang paha mulusnya.

“Siap?” tanya Pak Hasan sambil menyeringai. “Hari ini sepertinya kamu juga menikmati.”

Lidya memandang geram ke arah mertuanya yang cabul. Tapi apa mau dikata, nafsunya sudah terlanjur naik, lagipula tidak ada gunanya lagi melawan seorang pria bertubuh gemuk yang kini berada di atas tubuhnya yang telanjang. Lidya mengangguk pasrah tanpa suara. Dengan kasar Pak Hasan merenggangkan kaki Lidya, lalu menarik pinggulnya dan mendekatkan tubuh si cantik itu kepadanya. Tak perlu waktu lama bagi Pak Hasan untuk melesakkan penisnya masuk ke dalam vagina si jelita yang telah basah.

“Ini dia, Nduk. Ini dia…. ini dia….!!! Hggghhhhhhh!!!” Pak Hasan memejamkan mata penuh kenikmatan saat penisnya berusaha menembus masuk ke vagina sempit bidadari yang jelita itu.

“Aaaaaauuuuhhhhhhh……. essssstttttt!!!!!” Lidya mendesis penuh nikmat ketika pria tua yang kini berada di atas tubuhnya melesakkan kemaluan ke dalam liang cintanya.

“Sudah berkali – kali aku menyetubuhimu, Nduk… tapi tetep sempit rasanyaaaa…”

Rasa sakit bercampur nikmat membuat Lidya tak bisa menahan diri, kepalanya berpaling kesana kemari dan mulutnya menghembuskan nafas berulang untuk mencoba menenangkan batin.

Sambil duduk bersimpuh dan memegang pinggang ramping Lidya, Pak Hasan memutar – mutar kemaluannya dan mengaduk isi liang cinta sang menantu. Bagian atas tubuh Lidya masih beralaskan kasur, namun pantatnya kini terangkat ke atas. Pak Hasan mulai menumbuk dengan kecepatan teratur, melesakkan barangnya yang hitam ke dalam liang cinta yang seharusnya hanya boleh dimasuki penis anak kandungnya. Lidya tak tahan lagi, rasa nikmat bercampur sakit membuatnya tak kuat, ia menggunakan punggung tangan untuk menghapus air mata yang kadang leleh keluar tanpa ia inginkan.

Dengan satu gerakan cepat Pak Hasan menggerakkan seluruh tubuhnya ke depan, hampir – hampir meremukkan tubuh mungil menantunya yang jelita dan melesakkan dalam – dalam kemaluannya hingga berbenturan dengan dinding dalam vagina Lidya. Pak tua bejat itu memejamkan mata keenakan, “hggghhh!!!”

“Eesssst!!!” Lidya meringis kesakitan ketika mertuanya menjejalkan penisnya.

Namun Pak Hasan tidak berhenti begitu saja. Sekali lagi dengan satu gerakan cepat, Pak Hasan menggulingkan tubuhnya dan merubah posisi mereka, kini justru Lidya yang berada di atas, duduk dan menunggangi kontol mertuanya.

“A… apa yang… oooooohhhhh!!! Esssttt!!” Lidya tak sempat mengeluarkan protes atau kata apapun karena kemaluan sang mertua mulai bergerak naik turun menikam liang cintanya yang sudah basah.

Melihat Lidya bergerak naik turun dengan erotis sambil mengendarai penisnya menuju puncak kenikmatan, tak urung Pak Hasan naik kembali nafsunya. Ia meremas – remas buah dada sentosa milik Lidya.

“Aaaaaahhhhh!!” desah Lidya, tangannya yang lentik bertumpu pada perut gembul sang mertua. Harga dirinya lenyap ditelan nafsu maut, Pak Hasan tidak hanya telah menyetubuhinya, tapi entah bagaimana kini Lidya justru berada di atas dan mengatur gerakannya sendiri. Mertuanya yang cabul telah membalik posisi mereka tanpa ia sadari.

Lidya masih belum melepas rok mininya yang kini menutup bagian selangkangan mereka berdua. Ia benci sekali posisi ini karena berkesan dialah yang sedang menyetubuhi Pak Hasan dan bukan sebaliknya. Entah kenapa Lidya terus menggerakkan pinggulnya, makin lama makin cepat. Si cantik itu ingin cepat memperoleh kepuasannya, dia ingin cepat, lebih cepat, semakin cepat, lebih cepat lagi… naik turun, naik turun, terus, terus… terus! Terus!!!

Saat itulah tiba – tiba smartphone Lidya berdering, mengeluarkan ringtone lagu cinta salah satu band lokal. Lidya kaget mendengarnya dan kehilangan fokus dengan cepat, bukankah di tempat ini sinyal sangat susah didapatkan? Kok bisa ada telpon bisa masuk? Ia mencoba menarik diri dari atas tubuh Pak Hasan dan melepas penisnya dari dalam vagina.

Namun satu tangan gemuk menahan pinggangnya.

“Jangan berhenti.” Kata Pak Hasan tegas. Lidya yang kebingungan melanjutkan gerakannya sesuai perintah, naik turun untuk memberikan kenikmatan pada penis keras sang mertua. Namun matanya tak lepas dari telepon genggam yang ternyata tak sengaja ia bawa ke kamar ini. Konsentrasi si molek itu sudah buyar.

Karena posisinya yang berada di bawah dan tangannya bebas, Pak Hasan meraih smartphone yang ada di atas meja di samping kasur, entah kapan Lidya meletakkannya di sana. Ia harus memicingkan mata untuk bisa melihat nama orang yang menelpon wanita jelita yang kini tengah mengendarai penisnya dengan penuh nafsu. “Ini Andi.”

Wajah Lidya pucat pasi, ia menggelengkan kepala. Tidak! Ia tidak mau! Ia tidak mau menerima telepon suaminya sementara penis sang mertua tengah menancap di dalam vaginanya. Si cantik itu terus menerus menggelengkan kepala, ia hampir menangis ketika Pak Hasan tidak mempedulikan gelengan kepala menantunya yang pucat pasi dan memencet tombol penerima telepon.

Lidya langsung merebut telepon genggamnya dari tangan sang mertua. Keringat dingin mengalir deras membasahi dahinya. Pak Hasan hanya tertawa kecil tanpa suara.

“Ha… halo?” tergagap Lidya berusaha menyesuaikan suaranya senormal mungkin.

“Halo sayang.” Suara mesra Andi menyambut istrinya.

“Ha – halo, mas…” Lidya berusaha mengeluarkan suara lembut tanpa ekspresi, sangat sulit mengingat penis Pak Hasan terus berdenyut di dalam liang cintanya.

“Gimana kabarmu? Aku susah sekali mencari waktu untuk menelpon. Baru bisa menelpon sekarang, pekerjaan banyak banget.”

“A… aku baik, Mas. Iya… di sini sinyal juga susah… jadi aku tidak bisa telepon dan… tidak pasti ada sinyal…. henghhh…”

“Sayang? Kamu kenapa?” sentakan nafas Lidya mengagetkan Andi. “Kamu tidak apa – apa kan?”

“Ti… tidak apa – apa… a… aku tersandung saja. Iya, tersandung.” Walaupun Andi tidak akan melihatnya, Lidya menganggukkan kepala, mencoba membenarkan kebohongannya. Pak Hasan tergelak melihat kepanikan menantunya, Lidya melotot galak melihat mertuanya itu.

“Suaranya kok tidak seperti tersandung? Seperti menahan sesuatu… memangnya kamu jalan kemana?”

“Beneran, Mas. Aku tersandung. Aku sedang… aku sedang mau ke dapur.” Lidya melirik ke arah mertuanya yang hampir – hampir tidak bisa menahan ketawa, ingin rasanya ia membungkam mulut mertuanya itu saat ini dan menghapus senyuman menghina dari wajahnya. “Ta… tadi tersandung… ta… tapi tidak apa – apa.”

Melihat Lidya memfokuskan perhatian kepada telepon genggam, Pak Hasan mulai nakal, ia menggerakkan pinggulnya dan menggoyang penisnya untuk menyengsarakan sang menantu. Lidya melotot kepada mertuanya, namun rasa enak yang ia rasakan di selangkangan tak bisa ia pungkiri. Tubuh Lidya bergetar hebat, rangsangan luar biasa yang ia rasakan dari sodokan penis Pak Hasan ditambah suara Andi yang sedang ia dengar di telepon membuat si cantik itu gelagapan tak tahu harus berbuat apa. Rangsangan hebat itu pula yang kini justru membuatnya menaiki puncak kenikmatan. Cairan cinta meleleh deras di dalam liang kewanitaannya, membuat sodokan Pak Hasan kian mudah.

“Hgnghh! Hgnghh…!!! Hgnghhhh…!!!” Pak Hasan menekan penisnya dalam – dalam dan pada tiap tusukannya ia berusaha melesakkan semakin dalam.

“Suara apa itu, sayang?” tanya Andi, ia mendengar dengusan teratur di belakang suara Lidya yang bergetar.

“Su… suara apa maksud kamu, mas?” Lidya bertanya balik, ia benci sekali melihat senyuman geli di bibir sang mertua. Ingin rasanya ia menampar wajah penuh kemenangan itu. Lidya memejamkan mata, ingin menangis rasanya.

“Seperti ada yang terengah – engah?” kata Andi bingung.

“Ti… tidak ada siapa – siapa di sini…” Lidya membuka mata dan menggemeretakkan gigi, menahan diri agar tidak mengeluarkan lenguhan yang mencurigakan atau menjerit tiba – tiba. Susah sekali rasanya menahan teriakan karena vaginanya terus menerus digempur. “Mu – mungkin ada gangguan di operator… sinyalnya susah banget...”

“Iya, mungkin saja. Kamu beneran tidak apa – apa kan?”

“Ti… henghhh… tidak apa – apa…” Lidya memejamkan mata. Tangannya berusaha menjauhkan tubuh Pak Hasan untuk sementara waktu, susah sekali rasanya menerima telpon dari suaminya kalau memeknya terus saja dihajar oleh sodokan penis mertuanya sendiri seperti ini. “ti… tidak apa – apa, hgnnngghhh!!!!!”

“Kok menggeram gitu? Aneh banget. Memangnya kamu sedang apa sekarang?” suara Andi mulai terdengar gelisah.

“Ti – tidak sedang apa – apa kok… beneran.. henghhh… a – akuu sedang memasak… ini sedang menumbuk… enghh… bum… bumbu…… bu-buat masak...”

“Memasak? Jam segini?”

“I… iya… Bapak belum makan…”

“Oooh gitu… kenapa kok sampai jam segini belum makan?”

“Ta – tadi Bapak keluar, barusan pulang dan katanya… katanya… minta dibuatin makanan….” Ah, dia memang bukan tukang bohong yang baik - batin Lidya pada dirinya sendiri.

“Oh gitu.” Suara Andi terdengar gamang, “baiklah, sehari lagi kamu pulang kan? Hati – hati di jalan ya, kabarin aku kalau kamu sudah mau pulang besok. SMS aja kalau pakai WhatsApp susah.”

“Iya mas…..”

Bye sayang. Love you.”

Bye.”

Klik.

Telpon ditutup. Tak terasa beberapa titik air mata menetes dari bola mata yang indah yang kini berkaca – kaca. Lidya baru saja berbohong kepada suaminya. Ia berbohong kepada orang yang paling ia cintai. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa saat ini tubuhnya yang indah sedang telanjang dan disetubuhi oleh Pak Hasan, ayah Andi sendiri!!!

Pak Hasan menyeringai puas.

“Kurang – ajar….!!!” Lidya mengumpat. Saat itu dia benci sekali laki – laki tua bejat yang kini tengah tertawa dengan penis tertancap dalam – dalam di lubang memeknya. Tapi umpatannya hilang ditelan gerakan maju mundurnya sendiri. Kemarahan yang dirasakan Lidya justru membuat nafsunya kian tak terkendali, ia bagaikan binatang yang tak bermoral dan menghamba pada nafsu. Tanpa dirasa, walaupun membenci mertuanya hingga ke ujung ubun – ubun, dia jugalah yang memberikan Lidya kenikmatan permainan cinta yang sesungguhnya.

Mereka tidak sedang bermain cinta, atau bahkan bergerak menekan satu sama lain. Pak Hasan hanya diam saja terbaring di atas kasur, penisnya yang menjijikkan bagi Lidya beraksi penuh kuasa di dalam liang cintanya. Selangkangan mereka masih bertaut ketika telepon genggam Lidya dilempar ke samping tempat tidur oleh si molek.

“Cium aku dulu, sayang…” Pak Hasan mengeluarkan seringai menjijikkan sambil meletakkan kedua tangannya di belakang kepala.

“Menjijik… keuuuuhhhhhhhhh!!! Aughhhh!!!” Lidya memejamkan mata ketika penis Pak Hasan membesar di dalam liangnya yang sempit.

Lidya mencondongkan tubuh ke depan, buah dadanya yang kenyal ia tekan ke dada sang mertua yang gemuk. Si cantik itu tidak percaya ia melakukan ini dengan kemauan sendiri tanpa diminta oleh Pak Hasan, sungguh gila. Tidak hanya ia membiarkan Pak Hasan menyetubuhinya tanpa perlawanan, kini ia malah bersedia memuaskan nafsu sang mertua yang bejat. Mertuanya yang arogan hanya terbaring di sana sementara Lidya mencium bibirnya dan menaikturunkan pinggulnya, sebisa mungkin ia melesakkan penis sang mertua dalam – dalam tiap kali diturunkan. Lidya membuka mulutnya, menanti lidah sang mertua menjelajah ke dalam mulutnya.

Pak Hasan menyapu bibirnya yang basah oleh liur Lidya yang bercampur dengan cairan lain dari mulut sang menantu. Lidya berusaha mengangkat bagian atas tubuhnya agar bisa bernafas sementara selangkangannya terus menerima sodokan dari bawah, ditusuk hingga ke dinding terujung. Penis gemuk yang menjelajah di liang terdalam kewanitaan Lidya berdenyut pelan seperti menikmati ditekan oleh dinding yang sempit.

Masih dengan mulut yang saling berpagut, Pak Hasan membalik tubuh Lidya dan membaringkan menantunya di atas kasur, memutar posisi mereka. Perut gemuknya ditekan hingga pipih di atas perut Lidya yang ramping. Pakaian si cantik itu sudah acak – acakan ketika Pak Hasan mulai memajumundurkan pinggang untuk menyetubuhi sang menantu. Menumbuk tubuh mungilnya di atas ranjang acak – acakan dan basah oleh keringat keduanya.

Kaki jenjang Lidya direntangkan lebar – lebar dan lututnya ditekuk. Wajahnya yang cantik acak – acakan oleh ulah Pak Hasan yang tak henti – hentinya mencium. Lidya berulang memejamkan mata merasakan batang kemaluan sang mertua keluar masuk di liangnya. Tubuh berat Pak Hasan membebani tubuh Lidya yang kecil dan ramping.

Pak Hasan melenguh keras, ia meremas payudara Lidya beberapa kali sebelum mengangkat bulat pantat si cantik itu dan menusukkan penisnya dalam – dalam. Makin lama makin cepat.

“A… aku ga kuat lagi…. haaaaarrrgghhhh!!!” teriak Pak Hasan yang akhirnya tak mampu bertahan dan menghamba menginginkan kepuasan.

Pria tua itu mengangkat kepalanya tinggi – tinggi ketika ujung gundul penisnya meledak di dalam kemaluan sempit sang menantu. Buah pelirnya bekerja dengan baik memberikan supply sperma yang berlebih dan membantunya memancarkan cairan kenikmatan di dalam liang kemaluan Lidya hingga penuh tanpa menghentikan gerakan maju mundur pinggulnya.

Lidya berteriak kencang sambil mencakar bahu sang mertua, si cantik itu rupanya juga mengalami orgasme yang telah ditunggu – tunggu. Ia mengejang sesaat dan kemudian terbanting lemas.

Saat kemudian ia sadar, Lidya hampir – hampir tak bisa bernafas karena tubuh gemuk Pak Hasan ambruk menimpanya. Lidya tak mampu menggerakkan tubuh karena terkunci pelukan sang mertua. Kakinya yang jenjang masih terbentang lebar, untuk memudahkan Pak Hasan melakukan penetrasi. Cairan cinta mereka yang beradu di dalam liang kemaluannya terasa berat dan kental, membuat ia merasa becek. Lama kelamaan Lidya megap – megap karena tak kuat lagi menahan beban.

“Kamu memang benar – benar kuda binal yang enak ditiduri, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil berguling turun dari tubuh si cantik yang masih tersengal – sengal, perlahan – lahan orang tua bejat itu menarik keluar penisnya dari dalam kemaluan sang menantu. Lidya sempat tersentak kecil ketika penis itu keluar dengan menimbulkan bunyi plop yang nyaring.

Karena tidak mampu berpikir dengan jernih Lidya hanya bisa mendesah tanpa arti. Ia juga tak bisa melakukan apa – apa ketika lengan gemuk Pak Hasan memeluk tubuhnya erat. Si cantik itu terlalu lelah untuk mengeluarkan kata. Dia hanya ingin tidur dengan nyenyak malam ini.




.::..::..::..::.




.: HARI KEEMPAT :.

Sejuk semilir angin membawa damai di hati ketika hembusannya yang nakal sesekali mengibarkan helai demi helai rambut Lidya yang indah. Untaian udara dingin malam yang tertinggal dalam dekapan pagi tersebar di seluruh Desa Kapukrandu, menyatu dalam kabut yang hanyut, memberikan nuansa syahdu dalam kesederhanaan yang bersahaja menyambut pagi yang ceria.

Langkah kaki jenjang Lidya yang menyusur jalanan desa tidaklah sendiri di pagi yang dingin ini. Si cantik itu menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala berapa kali saat bertemu anak – anak desa berpakaian sekolah yang asyik bersenda gurau dan mengayuh sepeda mereka agar tidak terlambat masuk sekolah. Di pengkolan di ujung kampung, ibu – ibu penjaja dagangan sudah membuka lapak bahkan sebelum sang surya hadir menyambut pagi. Sayur mayur dan bumbu dapur digelar untuk menarik minat pembeli. Ramainya ibu – ibu bersenda gurau dan bertukar berita hanya bisa disaingi oleh teriakan penjual mainan anak – anak.

Lidya sengaja berjalan pelan. Si molek itu tidak ingin sedikitpun kehilangan momen indah di Desa Kapukrandu karena hari ini adalah hari terakhirnya di desa yang sejuk ini. Lidya teringat, beberapa hari yang lalu ia malas sekali pergi ke tempat ini karena takut dengan perlakuan Pak Hasan. Kekhawatirannya beralasan dan apa yang ditakutkan benar terjadi bahkan lebih parah lagi, ia melakukan hal – hal yang sebelumnya tidak ia sangka akan ia lakukan. Pak Hasan telah memperlakukannya dengan kasar, mencabuli dan memperkosanya.

Tapi……

Desa Kapukrandu yang sejuk ini telah memberikannya pelajaran berharga, untuk tidak menilai seseorang hanya dari sisi buruknya saja. Tiap orang memiliki dua sisi kehidupan yang saling mendukung walaupun dasarnya bertolak belakang. Bisa juga setiap orang membutuhkan keduanya karena pada dasarnya manusia tidak ada yang sempurna. Jika hendak mengagumi seseorang karena sisi baiknya, persiapkan hati saat mengetahui sisi buruknya. Seorang pejabat tinggi yang terlihat santun, sopan dan berwibawa ternyata koruptor yang doyan tidur dengan gadis yang jauh lebih muda dan bukan istrinya. Bandingkan dengan orang yang kasar, kotor dan tidak berpendidikan tinggi namun rela membantu dan berkorban demi orang lain tanpa memungut biaya.

Siapa sangka dibalik wajahnya yang menjijikkan dan selalu membuat Lidya bergidik ketakutan, Pak Hasan adalah orang yang sering dimintai bantuan bahkan pernah menjadi teladan bagi rakyat Desa Kapukrandu? Bagaimana tidak, mertuanya itu dulu pernah bertugas sebagai kepala desa!

Hari ini Pak Hasan pergi ke kelurahan untuk berpamitan dengan teman – temannya di sana. Setelah bercinta habis – habisan semalam, rasanya asyik juga kalau hari ini Lidya pergi mandi ke sungai. Pak Hasan bilang kalau ada satu tempat di mana Lidya bisa mandi tanpa perlu khawatir ada orang yang mengintipnya, tempat itu sepi, tak diketahui banyak orang dan airnya jernih. Sepertinya menyenangkan membasuh tubuhnya yang terasa kotor karena semalam dihujani cairan cinta Pak Hasan.

Untuk sampai ke tempat itu Lidya harus melalui jalan yang agak susah dan hanya bisa dicapai dengan jalan kaki, tidak – apa – apa batin si cantik itu, hitung – hitung olahraga pagi. Dari ujung jalan di dekat pengkolan penjaja sayuran, Lidya berjalan lurus ke arah sungai. Tidak banyak yang pergi ke sungai karena hampir sebagian besar masyarakat desa sibuk dengan pekerjaan pagi mereka. Setelah sampai di tepian sungai Lidya menyusurinya hingga masuk jauh ke dalam rerimbunan pepohonan. Di tempat ini pohon – pohon rindang berbaris tak rapi melindungi jalan setapak yang menurun, suasana yang masih asli dan asri, tak akan bisa ditemui di kota. Pantas saja Pak Hasan bilang kalau malam minggu anak – anak muda Desa Kapukrandu sering berpacaran di sini sementara pada malam hari para dukun mencari wangsit juga di tempat rimbun ini.

Berbeda dengan wilayah lain di luar Desa Kapukrandu yang cenderung gersang dan kering, tempat ini seperti hutan oase di tengah padang pasir dengan sungai yang mengalir dari sisi pegunungan hingga turun untuk memberikan sumber penghidupan bagi rakyat desa.

Karena jauh dari jalan utama, tempat itu jarang dilewati orang. Sejak menyusuri sungai Lidya tidak melihat siapa – siapa lagi. Bahaya juga kalau – kalau dia tersesat. Untung saja Pak Hasan mengatakan asal dia menyusuri sungai, Lidya tidak akan tersesat. Si cantik itu berusaha menghapal lokasi tempatnya berjalan, mencoba menghapal beberapa pohon yang bisa membantunya pulang nanti.

Dinginnya air, sejuknya angin, nyamannya suasana. Semua mendukung Lidya untuk menikmati pagi. Bahkan mungkin ia terlalu menikmati… ketidakhadiran Pak Hasan membuat Lidya bebas melakukan apa saja hari ini. Apalagi setelah dari kelurahan, mertuanya itu akan mengurus penyelesaian beberapa hutang dengan teman – temannya yang lain, kalau tidak salah namanya Koh Liem atau siapa. Hari yang bebas.

Akhirnya Lidya sampai di sebuah tempat yang seperti Pak Hasan bilang, tersembunyi dan aman baginya untuk mandi. Lidya berhenti sejenak sebelum melangkah.

Yakinkah dia tempat ini aman?

Lidya melihat ke arah sekitar, rimbunnya pepohonan tinggi membuat tempat ini seperti hutan yang terlindung dari cahaya sang surya. Peralihan udara dari dingin ke hangat disambut kabut tipis yang mulai menghilang dan semilir angin menyejukkan. Udara pagi ini juga sangat cerah, hampir tidak ada awan bergantung di langit dan burung – burung mulai berkicau ramai menyenandungkan lagu ceria menyambut mentari.

Benar apa kata Pak Hasan. Tempat ini memang cukup tersembunyi, pepohonan rindang menutupi sisi dengan dahan saling berkait dan tumbuh – tumbuhan berduri menghalangi pandangan siapapun dari arah seberang. Sebaliknya tempat ini juga cukup baik untuk memantau seandainya ada orang yang datang karena tempatnya agak lebih tinggi dari jalan setapak dan sungai yang mengalir ke desa. Air yang mengalir begitu jernih dan bening sehingga nampak segar sekali.

Jadi… amankah tempat ini? Mungkin tidak, tapi dia tidak lagi peduli.

Lidya melepas pakaian yang ia kenakan, mulai dari kaos, celana selutut hingga pakaian dalamnya. Melihat suasana, Ia cukup merasa aman untuk mandi telanjang. Lidya geli dengan keberaniannya, mungkin karena sudah pernah melakukan hal – hal aneh di mal dan pasar, Lidya menjadi sedikit berani membuka pakaian.

Sedikit demi sedikit Lidya mencelupkan ujung kakinya yang jenjang ke dalam air, merasakan lembutnya sapuan air dingin yang menyentak dan menyegarkan. Sambil memejamkan mata, si jelita itu masuk ke air. Mulai dari ujung jari kaki, lalu betis, lutut, paha, pinggul, perut dan akhirnya dada serta kepala. Seluruh tubuh Lidya kini sudah masuk ke dalam dinginnya air di pagi hari. Untuk sesaat ia menggigil kedinginan, namun sinar mentari yang akhirnya berhasil menembus payung alami di atas rindang pepohonan membuat tempat di mana Lidya berendam jadi terasa hangat.

Lidya tidak menyukai apa yang ia alami di Desa Kapukrandu karena memberikan kenangan yang tak menyenangkan baginya. Namun tempat ini bagaikan mutiara dalam tiram. Penyejuk jiwa dan pemberi keseimbangan batin. Mengherankan, di tempat gersang seperti Desa Kapukrandu ada juga wilayah hijau seperti ini, indah, asri dan asli. Sejenak Lidya terdiam, lalu tersenyum sendiri, ia akan meralat kata – katanya barusan, ia menyukai apa yang ia alami Desa Kapukrandu.

Lidya segera membasuh bagian – bagian tubuhnya, menikmati deburan air menumbuk tubuhnya yang telanjang. Segar sekali rasanya, ia merasa bersih, merasa tenang dan pada akhirnya, ia merasa nyaman.

Setelah sekian lama berada di dalam air, si cantik itu naik kembali ke darat, menyeka seluruh tubuhnya dengan handuk kecil yang sudah ia siapkan sejak tadi. Ia menyeka buah dadanya, yang masih memiliki bercak merah bekas cupang bibir Pak Hasan. Sebenarnya, seluruh tubuhnya masih memiliki bekas cupang.

Lidya membersihkan tubuhnya dengan hati – hati sekali, merasakan kesegaran angin berhembus di tubuhnya yang basah. Begitu enaknya hingga si cantik itu memejamkan mata. Hembusan angin begitu sejuk hingga benak Lidya melayang jauh dan jauh dan semakin jauh. Ia seperti memilliki sayap yang terkembang dan terbang naik ke awan.

Dalam khayalnya, Lidya membayangkan ada alunan suara yang memintanya untuk merenggangkan kaki. Bisikan gaib yang menghipnotisnya untuk menuruti kehendak jiwanya. Suara yang datang entah dari mana namun meminta Lidya untuk menurut apa kata hatinya. Ia merenggangkan kaki selebar – lebarnya. Telunjuk jari tangan kanannya menyentuh bibir dengan lembut, merasakan gesekan antara jari dan bibir, merasakan sentuhan ringan yang membuatnya merasa nyaman. Tanpa ia sadari, handuk kecilnya telah terjatuh…

Lidya membuka bibir dan memasukkan jari ke dalam ke dalam mulutnya, suara gaib yang menuntunnya kini memintanya mengulum jarinya sendiri. Bagaikan kesurupan, Lidya patuh dan menghisap jari jemarinya sendiri seperti permen. Tapi ia tak melakukannya lama – lama…

Dengan tangan bergetar Lidya menyentuh selangkangannya, mencoba mencari bibir memeknya yang mungil. Tanpa sadar, Lidya mulai mengusap bibir kemaluannya dengan dua jari tangan kirinya. Kepuasan… dia menginginkan kepuasan… saat ini juga… segera… cepat… semakin cepat… segera…. Tangan kanan yang jarinya sempat ia kulum kini meraih bulat buah dadanya yang kenyal. Jemarinya menarik puting susunya sendiri, memilin dan memijatnya, memohon kepuasan. Lidya mulai menghamba pada nafsunya sendiri tanpa disadari…

Perlahan – lahan Lidya berbaring di rerumputan yang ada di samping sungai, ia tidak peduli lagi tempat itu kotor atau tidak. Bidadari molek itu mengangkat kakinya dan merenggangkannya lebar – lebar. Matanya yang indah dipejamkan bersamaan dengan keluarnya lenguhan nafsu dari bibirnya yang mungil. Ia seperti sedang kerasukan, mencari kepuasan dengan menikmati tubuhnya sendiri.

Jari jemari jenjang turun ke bawah, masuk di antara selangkangan. Dengan jari telunjuk dan jari manisnya sendiri, Lidya membuka lebar – lebar pintu cinta kewanitaannya, pintu cinta yang telah basah. Sudut ibu jari digesekkan ke bagian atas bibir memek untuk mencari kunci kenikmatan dan ketika ia menemukannya, Lidya melenguh pelan. Jari tengah dimasukkan ke dalam vagina, diputar untuk menjelajah dinding kemaluannya sendiri. Desahan demi desahan manja keluar dari mulutnya yang dahaga oleh nafsu.

Jemari Lidya yang lentik basah oleh cairan cinta yang meleleh dari dalam liang kewanitaannya. Jari jemari itu bergerak lincah keluar masuk sementara remasan tangan pada buah dada menjadi sumber kenikmatan lain. Ia terus menerus meremas, memilin dan meraba bagian membusungnya yang indah.

“Eessssttt….. hmmmm….” desah Lidya keenakan. “Aku… tidak mau… seperti ini…” entah siapa yang diajak bicara oleh Lidya, karena saat itu dia seorang diri. Dalam bayangannya ia sedang bergumul dengan seseorang yang tak terlihat, yang mencoba menyetubuhinya, yang berkuasa dan memaksanya, yang terus menerus menjamahnya.

Kepalanya berdenyut seakan ada bunyi genderang bertalu – talu yang memekakkan telinga. Semua rasa takut dan malunya sudah hilang ditelan nafsu, ia kian merenggangkan kaki dan mendesah tanpa bisa bertahan.

Gerakan jemari Lidya makin lama makin cepat, makin buas, berubah dari gerakan lembut menjadi gerakan liar yang penuh tuntutan. Lidya tidak peduli lagi dimana saat ini dia berada. Seandainya ada orang datang, mereka pasti akan melihat aksi si jelita itu membuka lebar – lebar bibir memeknya yang basah.

Tiba – tiba terdengar bunyi dedaunan disibakkan oleh seekor hewan yang melintas.

Suara gemeresek dedaunan yang muncul seharusnya membuatnya tersadar, tapi Lidya sudah terbang terlampau tinggi terkungkung awan kenikmatan sampai – sampai ia enggan turun. Bunyi yang muncul justru membuatnya makin seperti orang kesurupan, ingin sesegera mungkin merasakan kenikmatan.

Tubuh wanita cantik itu melejit ke atas lalu terbanting ke bawah dengan cepat, demikian berulang – ulang. Bayangan dalam batin akan adanya orang yang saat itu datang dan menyaksikannya memainkan vaginanya sendiri membuat Lidya makin memuncaki tangga nafsu.

Makin naik… makin cepat… tambah naik… tambah lagi… terus…

Dan akhirnya…

“Hnnghhhhh!!!” geram Lidya mencoba melepas kepuasan yang tertahan. Mata wanita jelita itu dipejamkan rapat – rapat, tubuhnya mengejang. Ia merasakan cairan hangat lepas di dalam liang cintanya, seperti ratusan burung yang dilepas dari sangkar dan terbang ke awan bebas.

Lidya membuka matanya.

Tetes cairan kenikmatan kental meleleh melalui sela – sela jari jemari di selangkangannya.

Si cantik itu terengah – engah. Ia menyandarkan siku di atas rerumputan untuk menopang tubuhnya yang bermandikan keringat. Ia baru saja memberikan kenikmatan pada dirinya sendiri. Sesuatu yang sebelumnya tidak ia perkirakan akan ia lakukan di tempat seperti ini. yah, Paling tidak ia telah puas…

Puas?

Benarkah ia telah puas?

Lidya mencoba menyerap pertanyaan itu dan ia tahu jawaban yang muncul sedikit menyakitkan jiwanya.

Tidak. Ia tidak puas sama sekali.

Ya, ia tidak puas.

Kenapa?

Kenapa rasanya lain? Kenapa seperti ada kekosongan dalam hatinya?

Kenapa ia tidak bisa mendapatkan kepuasan sederhana itu?

Lidya jatuh terduduk. Tanpa bisa ia tahan, tetes demi tetes air mata meluncur. Harusnya tidak begini… harusnya tidak seperti ini. Harusnya semua selesai, harusnya semua perasaan itu tidak muncul. Harusnya ia bisa puas hanya dengan… hanya dengan… harusnya ia bisa puas… kenapa tubuhnya mengingkari apa yang ia inginkan, kenapa batinnya menjerit penuh dahaga nafsu yang menggelegak tak terbayar?

Apakah ketakutannya menjadi nyata?

Apakah benar sudah terjadi hal yang paling ia takutkan? Ia takut seandainya Pak Hasan gencar melatih nafsunya agar terus menerus terlampiaskan ia akan menjadi maniak pemuja seks. Ia takut ia tidak bisa lagi merasakan nikmat bermain cinta dengan suaminya, dia takut dia hanya bisa dipuaskan oleh Pak Hasan! Itu ketakutan utamanya! Dan kini… kini sepertinya itu benar – benar terjadi!

Ia bahkan tak mampu memuaskan dirinya sendiri… tak sama, rasanya tak sama…..

Cairan cintanya memang mengalir, tapi rasa itu tidak hadir. Kosong rasanya.

Lidya masih mengeluarkan air mata untuk beberapa saat lamanya. Ia membasuh wajah dan membilas air mata yang terus meleleh.

Dia tidak ingin pulang dengan mata sembab.

Ini hari terakhirnya di Desa Kapukrandu dan dalam hatinya Lidya tahu pasti, dia akan pulang kembali ke kota sambil membawa kekosongan dalam hati karena ada sesuatu yang hilang dan mungkin tidak akan kembali padanya…

Sampai saat ia menemukan kembali apa yang hilang itu, Lidya mungkin tidak akan pernah lagi merasakan kepuasan.

Lidya tahu apa yang sebenarnya hilang darinya, tapi ia ingin mengingkari perasaannya.

Ia tidak boleh membiarkan perasaan itu berlanjut.

Ia tidak boleh menghamba pada nafsu semata.

Ia tidak boleh… tidak bisa… tidak mau… tidak akan pernah!

…tapi…

Ah sudahlah, pokoknya, dia tidak ingin pulang dengan mata sembab.



.::..::..::..::.




.: SEMINGGU KEMUDIAN :.



Seminggu telah berlalu sejak Lidya dan Pak Hasan pulang dari Desa Kapukrandu.

Tas berisi pakaian dan semua keperluan Pak Hasan sudah diletakkan di ruang tamu. Pria tua itupun sudah memesan taksi. Sekitar setengah jam lagi dia akan meninggalkan rumah Andi dan pergi menuju kontrakannya yang baru, jaraknya memang tidak jauh dari rumah ini, sekitar setengah jam perjalanan, namun segala sesuatunya pasti akan berubah.

Dengan santai Pak Hasan duduk di ruang tamu sambil menyeruput kopi susu yang dihidangkan sang menantu. Rokoknya yang masih mengepul ia letakkan di atas asbak.

Rencananya Pak Hasan akan pindah dan menempati rumah kotrakan baru mulai hari ini tapi karena Andi lagi – lagi ditugaskan keluar kota, Lidya yang akan melepas kepergian ayah mertuanya. Kadang Pak Hasan heran dengan anaknya itu…. dia sibuk sekali mencari uang dan tergila – gila dengan pekerjaan, bahkan sampai melupakan istrinya yang cantik dan seksi di rumah sendirian, seakan – akan tidak takut hal – hal buruk akan menimpa Lidya. Pak Hasan geleng – geleng kepala. Orang memang kadang tidak menyadari apa yang sesungguhnya telah ia miliki, sampai pada saat ia kehilangan.

Kepulan asap rokok menyeruak di ruang tamu rumah Andi, asap yang terbang mengendarai angin kecil dan kemudian lepas ke alam bebas melalui jendela berteralis yang dibuka lebar. Udara sejuk semilir berhembus sesekali ke dalam rumah, memberikan kenikmatan alami bagi Pak Hasan.

Langkah kaki ringan menghampiri sang lelaki tua. Harum wangi semerbak memenuhi ruangan, tanpa harus menengokpun Pak Hasan tahu siapa yang datang. Lidya duduk di kursi yang ada di hadapan Pak Hasan. Wajahnya yang cantik terlihat muram, kepalanya menunduk.

“Sudah saatnya kita bicara dari hati ke hati, Nduk.” Kata Pak Hasan sambil menebar senyum mesumnya yang khas.

Lidya terdiam tanpa ekspresi.

“Kamu pasti senang aku keluar dari rumah ini, kita tidak bisa bercinta lagi sesering biasanya. Aku akan sering berkunjung kalau kamu kangen… hmm…” tiba – tiba Pak Hasan menghentikan kallimatnya, untuk pertama kalinya di hadapan Lidya, pria tua itu gelisah. “Tidak. Tidak. Sudah cukup. Ya. Sudah cukup apa yang aku lakukan selama ini. Tapi… ah… tapi aku akan memberikanmu pilihan.”

Lidya masih terdiam.

“Aku rasa sudah cukup yang aku lakukan selama ini terhadapmu. Sejahat – jahatnya orang tua, aku ingin anakku juga bahagia. Aku ingin kamu membahagiakan Andi dan itu artinya aku harus melepaskanmu, urus anakku itu baik – baik. Walaupun tidak selamanya, tubuhmu terlalu indah untuk dilepaskan. Kalau aku butuh memekmu, ya kamu harus menyediakannya. Tapi untuk sementara waktu, biarlah Andi yang memenuhi nafsu liarmu…”

Lidya menatap mertuanya dengan tatapan tanpa ekspresi.

“Sebelum aku melangkahkan kaki keluar dari rumah ini, kamu harus memilih, Nduk.” Pria tua itu berdiri dengan tenang sambil meraih rokoknya. Ia menenteng tas yang sepertinya cukup berat. “Apapun permintaanmu, akan aku kabulkan. Jadi pilih dengan hatimu. Apapun yang kamu mau akan aku penuhi. Kali ini janji pasti aku tepati… termasuk jika kamu ingin bebas dariku.”

Lidya berdiri gamang dan menatap orang yang telah menghancurkan kesuciannya sebagai seorang istri setia itu dengan pandangan tak percaya. Lidya yang sudah sangat sering tidur dengan orang tua itu belum pernah melihat ekspresi wajah Pak Hasan yang sedemikian santai namun serius. Sosok lain Pak Hasan yang ini tidak pernah dilihat Lidya sebelumnya, mungkin pernah dulu.. sebelum dia berubah menjadi binatang pemerkosa yang menghancurkan statusnya sebagai istri setia dan menantu. Akankah dia bisa dipercaya untuk menepati janji?

“Aku ingin kamu memilih…” Pak Hasan melangkah menuju pintu.

Lidya masih tak bergeming, bola matanya yang tajam berkaca – kaca.

“…tetap menjadi budak seks… atau…”

“…atau?” desah suara Lidya pelan sekali, hampir berbisik. Seperti ada sesuatu yang mengganjal kerongkongan wanita molek itu.

“…bebas.”

Kata – kata yang diucapkan oleh Pak Hasan seperti tetes air di tengah padang pasir. Kata yang sudah lama sekali ia nantikan. Bebas. Betapa mahalnya harga kata – kata itu. Bebas. Lepas dari Pak Hasan, lepas dari eksibisionisme paksaan, lepas dari hubungan tak senonoh, lepas dari mertua cabul. Sejuk sekali di dalam hatinya mendengar kata – kata itu… ‘bebas’.

Tapi…

Tapi… apakah benar bebas adalah hal yang dia inginkan?

Keringat mulai menetes di dahi si cantik. Dia harus segera memutuskan. Dia harus bebas. Dia harus lepas dari pengaruh mertuanya yang cabul. Dia harus… harus…

“Jadi?” Pak Hasan mengulang pertanyaannya, “pilih menjadi budak atau bebas?”

Lidya tak menjawab, hatinya gamang. Si cantik itu bimbang dan bingung, walaupun ia sendiri masih tak tahu apa sebenarnya yang menyebabkannya kebingungan. Bisa dibilang Lidya bingung akan kebingungannya.

Bukankah sudah jelas pilihannya? Yaitu bebas? Lalu apa yang sebenarnya dia inginkan?

Apa suara yang bergejolak dalam hatinya?

Apa….?!

“Ini yang terakhir. Pilih… tetap jadi budak atau bebas?” kali ini Pak Hasan bertanya untuk yang terakhir kali, nada suaranya sudah terdengar lain. Ayah mertua Lidya itu sudah siap melangkah kaki keluar dari rumah. Tangannya telah membuka pintu dan menenteng tasnya keluar.

Lidya tahu dia harus menjawab pertanyaan itu sebelum Pak Hasan melangkahkan kaki keluar. Lidya tahu jawabannya, tapi lidahnya kelu dan bibirnya terkatup rapat. Jelas dia ingin bebas, dia tahu pasti dia ingin bebas, dia yakin sekali ingin bebas dari perangkap cabul Pak Hasan yang telah membuat dirinya kotor dan tak berharga. Tapi susah sekali bagi Lidya mengucapkan kata “bebas” itu. Ada yang menghalanginya, sesuatu yang berat dan nyeri sekaligus menghinggapi hatinya.

Dengan satu usaha terakhir, Lidya akhirnya mengucapkan apa yang benar – benar dia inginkan dalam hati sebelum Pak Hasan pergi.

“Aku memilih…” suara Lidya terdengar bergetar.

Pak Hasan terhenti dan menunggu.

“Budak…” Lidya mengucapkan sebisik kata dengan pelan dan gemetar.

Si cantik itupun luruh ke lantai dan menangis tersedu – sedu, Lidya menyadari konsekuensi pilihannya. Ia menyesali keputusan sekaligus mengutuk hatinya sendiri. Ia tak mengerti kenapa ia justru memilih hal yang terkutuk itu.

Kenapa?

Senyum tersungging di bibir Pak Hasan.

“Telpon aku kalau Andi tugas keluar kota, Nduk. Aku akan datang.”



.::..::..::..::.


.: EPILOG EPISODE INI :.

Sumarto menatap bosan pesawat televisi yang menyala. Tangannya bergerak malas memindah channel menggunakan remote yang sudah mulai kehabisan baterai. Ia harus menepuknya beberapa kali sebelum channelnya berpindah. Ia sebenarnya sudah mengusulkan pada majikannya untuk membeli baterai remote baru, tapi sampai saat ini sang majikan enggan menanggapi, mungkin karena mereka memiliki pesawat televisi sendiri di dalam kamar sehingga malas membeli baterai baru untuk televisi ruang tengah yang memang hanya dipakai oleh Marto. Majikannya sudah beberapa hari ini bepergian ke luar kota, meninggalkan Marto sendiri di rumah. Walaupun milik orang yang lumayan berada, rumah ini tidak begitu besar, sehingga Marto tidak kerepotan mengurusnya tanpa teman.

Ketika channel diganti, sinetron demi sinetron mengisi layar televisi. Tidak satupun yang memuaskan Marto. Bagi pembantu rumah tangga seperti dia, menonton sinetron adalah hiburan utama, walaupun begitu ia sudah bosan menonton cerita sinetron yang begitu – begitu saja, sinetron – sinetron yang menjual cerita usang dan mengandalkan bintang – bintang muda berwajah indo. Ia heran kenapa pembantu sebelah mengidolakan acara semacam ini, hanya menjual mimpi dan wajah cantik penuh polesan. Sesungguhnya Marto hanya tertarik pada satu hal di layar televisi yaitu pertandingan sepakbola. Sayang tidak ada pertandingan bola hari ini. Yah, paling tidak dia bisa dipuaskan melihat wajah cantik pemain sinetron, dada – dada mereka yang membusung, pantat mereka yang bulat dan kaki mereka yang jenjang, sosok – sosok impian yang menggiurkan.

Omong – omong soal wajah cantik, Marto jadi teringat pada satu sosok menarik yang ia lihat beberapa minggu yang lalu. Wajah yang tampil sangat mempesona tanpa noda dan tanpa polesan bedak tebal seperti para bintang sinetron itu. Wajah yang bisa dibilang sempurna namun sayang statusnya adalah istri orang kaya yang tidak mungkin bisa ia sandingi. Marto menarik nafas panjang dan kembali menonton acara televisi yang menurutnya sangat tidak menarik dan membosankan.

Siapa wanita cantik yang sangat memukau Marto itu?

Sebenarnya dia sedang teringat pada Bu Lidya, istri Pak Andi yang tinggal di sebelah rumah. Wajahnya cantik, tubuhnya indah, perangainya halus dan sopan, benar – benar tipe istri setia yang pasti asyik sekali dikeloni di tempat tidur.

Dulu ketika keluarga Andi baru saja pindah, ia pernah mendengar bapak – bapak yang sedang ronda membicarakan kemolekan Lidya, mereka iri dan mengatakan kalau Andi sangat beruntung bisa menikahi wanita seseksi Lidya. Saat itu ia sedang mengantar gorengan yang dipesan sang majikan yang sedang ronda. Bahkan majikannya sendiri mengatakan kalau dia tidak keberatan kalau Andi mau tukar tambah dengan istrinya sekarang, ia bersedia membayar berapapun untuk mendapatkan Lidya. Dasar majikannya memang tidak tahu malu…

Tapi Marto tak sepenuhnya menyalahkan majikannya yang hidung belang, tidak ada lelaki yang tidak meneguk ludah kalau ditawari sesosok makhluk cantik seperti Lidya. Hanya dalam waktu singkat, Lidya sudah menjadi warga yang dikagumi dan terkenal, tentunya karena semua orang ingin dekat dengan wanita seseksi dan semolek dia. Kecantikannya membuat Lidya punya banyak kawan, Bapak – bapak ingin menikmati keindahan tubuhnya sedangkan ibu – ibu sangat menyukai sikapnya yang ramah dan manis. Pak Andi memang sangat beruntung, pikir Marto.

Pembantu berkulit gelap itu mengeluh, entah kenapa sejak tinggal di rumah ini dia belum pernah sekalipun memiliki pacar. Sejak putus dengan Narti yang pulang ke desa, Marto tak pernah dekat lagi dengan wanita. Dulu ia punya istri dan anak, tapi istrinya memilih untuk pergi tanpa pamit dengan seorang juragan bawang di kota lain. Sampai hari ini Marto tak pernah berjumpa lagi dengan istri dan anaknya.

Tiba – tiba, bel rumah berbunyi, Marto beranjak dari duduknya dengan satu desahan malas yang sangat panjang, hancur sudah lamunannya. Dengan dengusan kesal ia membuka pintu depan.

Betapa kagetnya Marto ketika ia tahu siapa tamu yang datang. Matanya terbelalak dan lidahnya kelu, dia tidak tahu harus berkata apa. Ini di luar dugaan dan ada di batas impian.

“Selamat malam, Pak.”

“Se – selamat malam, Bu Lid… eh… ma… maksud saya, Bu…. Bu Andi…”

Memang benar, Marto sama sekali tak mengira Lidya akan datang berkunjung malam itu, inikah yang dinamakan pucuk dicinta ulam tiba? Belum lama Marto membayangkan kemolekan tubuh sang tetangga, eh… dianya datang! Benar – benar panjang umur! Sampai terbata – bata dia menyambut kedatangan si makhluk seksi satu ini. Mimpi apa dia semalam?

Tapi senyum lebar Marto berubah lemas ketika tahu ternyata Lidya tidak datang sendiri. Dia datang dengan seorang laki – laki tua yang senyumnya aneh. Kalau tidak salah, orang ini adalah Pak Hasan… ayah Pak Andi, mertua Lidya!

“Kami tidak menganggu, kan?” tanya Lidya lembut.

“Ti… tidak! Tidak kok! Tapi rumah baru kosong ini, Bu! Pak Toni sama keluarga kebetulan baru pergi keluar kota.” Jawab Marto kikuk. “Mungkin seminggu lagi baru pulang. Ada acara nikahan.”

“Oh, tidak apa – apa.” Kata Pak Hasan, “yang kami cari bukan Pak Toni sekeluarga, kami mencari anda.”

Marto tambah kebingungan, jangan – jangan ia sudah melakukan hal yang menyinggung keluarga Pak Andi ini. Orang kecil seperti Marto memang selalu khawatir jika menyinggung ‘kaum majikan’, karena nasib mereka tentunya ada di tangan kaum majikan. Tubuhnya jadi merinding karena ia takut sekali seandainya berbuat salah di luar kemauannya. “Saya? Memangnya ada perlu apa ya, Pak? Perasaan saya tidak berbuat salah kan, Pak?”

“Ha ha ha, tidak kok, Pak Marto. Anda tidak melakukan kesalahan apa – apa. Kami hanya ingin berbincang – bincang sejenak. Kami tahu Pak Toni sekeluarga baru pergi, jadi kami sengaja datang malam ini karena kebetulan hari ini saya menginap di rumah anak saya, si Andi kan baru pergi keluar kota.” Jawab Pak Hasan sambil tertawa terbahak – bahak. Ia suka sekali melihat orang seperti Pak Marto ini kebingungan.

“Boleh kami masuk dulu?” tanya Lidya dengan lembut.

Suaranya bagai biduan surga menyenandungkan lagu yang indah, enak sekali didengar. Suara yang menyejukkan.

“Bo… boleh… si… silahkan…”

Lidya dan Pak Hasan masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa di ruang tamu setelah dipersilahkan oleh Marto.

“Jadi, kira – kira apa yang mau dibicarakan ya, Pak?” tanya Marto dengan cemas. Dia tidak mau dipecat gara – gara kesalahan kecil yang ia sendiri tidak tahu apa yang telah ia perbuat… eh tunggu dulu… jangan – jangan ini gara – gara beberapa minggu yang lalu ia melihat Lidya menjemur pakaian hanya dengan mengenakan kemeja kedodoran yang membungkus tubuh seksinya. Jangan – jangan ia ketahuan mengintip???

Jantung Marto berdetak dan nafasnya naik turun ketakutan. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Keringatnya menetes deras dan membasahi wajah yang pucat pasi.

“Kalau tidak salah beberapa minggu yang lalu… Pak Marto mengamati menantu saya ini sedang menjemur pakaian?” tanya Pak Hasan pelan.

Mati dia! Jantung Marto makin keras berdetak bersamaan dengan bertambah derasnya keringat yang mengaliri jidatnya. “Su… sungguh, Pak! Saya tidak sengaja! Saya benar – benar menyesal melihat ke atas saat itu! Saya benar – benar tidak sengaja! Saya minta maaf… Pak… Bu…. saya minta maaf… saya…”

“Menurut Pak Marto, menantu saya ini cantik tidak?”

Kaget juga Marto mendengar pertanyaan lanjutan dari sang pria tua gemuk yang senyumnya aneh ini. “Ca… cantik.”

“Seberapa cantik?”

“Se… seperti bidadari…” gagap Marto mencoba mengeluarkan kata. Walaupun akan terdengar aneh, namun Marto berucap jujur.

Wajah Lidya bersemu merah mendengar pujian dari pembantu sebelah rumahnya. Ia tersipu – sipu, menambah manis wajahnya yang menggemaskan.

“Kalau tubuhnya? Seksi tidak?”

Marto benar – benar tercengang, kok pertanyaannya aneh – aneh begini? “Se…seksi, Pak.”

“Seberapa seksi?”

“Sa… saya takut menjawab pertanyaan ini, Pak… saya takut kalau – kalau saya jadi kurang ajar. Sungguh, Pak. Saya mohon ampun kalau kemarin saya berbuat salah… bukan maksud saya untuk…..”

“Seberapa seksi menantu saya ini, Pak Marto?”

Marto gelagapan, ia benar – benar takut menjawab pertanyaan yang diajukan itu. Ia bagaikan seorang tahanan perang yang sedang dimintai keterangan oleh pihak lawan, salah menjawab, kepalanya akan dipenggal. Keringat pembantu rumah tangga yang sederhana itu menetes deras, pakaian yang ia kenakan basah kuyup oleh keringat. “Bu – bu Andi… se… seperti bintang film… tubuhnya sek… seksi sekali…”

Mendengar jawaban itu Pak Hasan tertawa terbahak – bahak dan bertepuk tangan sementara wajah Lidya yang manis kembali memerah.

“Luar biasa. Luar biasa.” Kata Pak Hasan, “karena Pak Marto telah menjawab pertanyaan kami dengan jujur, maka menantu saya ini akan memenuhi satu keinginan Pak Marto sebagai hadiahnya. Apapun keinginan itu! …termasuk jika Pak Marto ingin menyentuh… atau memeras, atau mencium bagian dari tubuh menantu saya…” kata Pak Hasan sambil mengedipkan mata.

Samber geledek!! Marto sampai melompat dari duduknya.

Sumarto adalah pria desa yang sederhana, apa yang baru saja dikatakan Pak Hasan membuatnya kaget setengah mati. Ia mengira apa yang pernah dilakukannya akan menyebabkannya dihukum, ia tidak menyangka Pak Hasan dan Bu Lidya justru memberikannya hadiah. Yang lebih mengagetkan adalah hadiah yang diberikan oleh mereka adalah… pelayanan dari Bu Lidya!!!

“A… apapun?”

“Apapun.” Tegas Pak Hasan.

“I… ini main – main kan?”

“Tidak.”

“Tidak bohong?”

“Tidak.”

Marto meneguk ludah. “Ka… Kalau begitu saya ingin… saya ingin…”

“Apapun. Kecuali yang ‘itu’.” Pak Hasan terkekeh, ia tahu dengan pasti apa yang diinginkan Marto bahkan sebelum ia mengucapkannya. Pembantu rumah sebelah itu tersipu – sipu malu karena ketahuan.

“Yang ‘itu’ tidak boleh, ya?”

“Sayangnya tidak boleh. Mau diapakan saja boleh, asal jangan ada ‘sesuatu masuk ke ‘sesuatu’.” Kata Pak Hasan. “Baiklah, apa keinginan Pak Marto?”

Marto mencoba mengamati Lidya dari jempol kaki hingga ke ujung rambut. Seorang bidadari yang sempurna. Apa yang akan kamu minta seandainya kamu bisa meminta seorang bidadari untuk mewujudkan impian terliarmu?

“Boleh apa saja?” Marto mengulang pertanyaannya.

“Apa saja.” Pak Hasan mengulang jawabannya.

“Ka… kalau begitu, sa… saya ingin Bu Andi menari di pangkuan saya…” Marto meneguk ludah dengan nafsu. “…tanpa mengenakan celana dalam.”

Mendengar permintaan itu, Lidya sedikit panik, si cantik itu tahu ia tidak bisa menolak permintaan Marto. Pak Hasan akan marah dan hal – hal yang buruk bisa terjadi. Satu – satunya harapan bagi si cantik itu adalah dengan menuruti kemauan pembantu sebelah rumah yang sederhana ini, lagipula Lidya sudah sangat sering menari di pangkuan mertuanya yang cabul.

Kebetulan Lidya mengenakan rok model mini flare yang hanya menutup hingga di atas lutut. Dia bisa dengan mudah melepas celana dalamnya karena bagian bawah rok berbentuk mekar. Dengan hati – hati sekali Lidya mengangkat bagian bawah roknya, mengait karet di pinggir celana dalam dan menarik turun satu – satunya pelindung kemaluannya itu. Lidya melakukan ini dengan pelan – pelan sekali.

Justru karena Lidya melakukannya dengan perlahan, apa yang dilakukan si cantik itu ibarat pertunjukan striptease, langsung di depan mata Marto! Pembantu sebelah rumah itu langsung meneguk ludah dan belingsatan melihat aksi Lidya. Ia bisa melihat dengan jelas paha mulus istri Pak Andi, benar – benar tiada duanya! Ini benar – benar pucuk dicinta ulam tiba! Dengan mata kepala sendiri Marto bisa menikmati celana dalam Lidya menelusuri kakinya yang jenjang dan seputih pualam lalu lepas di ujung kaki tanpa halangan.

“Berikan padanya…” bisik Pak Hasan pada Lidya yang tadinya hendak meletakkan celana dalam di lantai.

Dengan langkah yang bagi Marto luar biasa seksi, Lidya maju perlahan sambil membawa celana dalam mungil berwarna merah muda yang baru saja dilepas dari dekapan kemaluannya yang harum. Ia memberikannya kepada Marto yang menerimanya dengan tangan bergetar. Lidya membungkukkan badan sedikit agar ia bisa mencapai telinga Marto.

“Simpan baik – baik.” Bisik Lidya dengan suara bergetar. Siapa bilang ia juga tidak takut?

Marto menerimanya dan memasukkannya ke dalam kantong celana. Ia meneguk ludah.

Berada di dekat Lidya sudah membuat Marto belingsatan. Ia tak mampu mengendalikan nafsunya lagi, kemaluannya menegak dengan cepat. Pembantu rumah tangga itu bisa melihat kerling mata Lidya menyapu selangkangannya dan melirik ke arah tonjolan yang muncul di sana. Entah ia harus malu… atau malah…

Marto hanya duduk saja, terdiam tak tahu harus berbuat apa. Tiba – tiba saja hari menjadi semakin gelap baginya. Lidya duduk di sampingnya, bahkan gerakan si jelita duduk pun membuat Marto jadi semakin tidak karuan. Lidya menautkan satu kaki ke paha Marto dan mulai mengambil posisi untuk duduk di pangkuannya. Melihat keringat Marto makin deras, Lidya mulai kasihan, namun tatapan mata tajam Pak Hasan memerintahkannya untuk menggoda. Ia mengangkat perlahan roknya untuk memperlihatkan kakinya yang panjang dan seksi dan sedikit mempertontonkan bulat pantatnya yang ranum.

Perlahan – lahan Lidya naik ke pangkuan Marto.

Marto meneguk ludah, tangannya tak berani digerakkan, terkungkung walau tak terikat. Matanya menatap tak lepas belahan indah di selangkangan perempuan cantik yang kini duduk di pangkuannya. Lidya meletakkan kakinya ke lantai dan tangannya di lutut Marto, si cantik itu duduk membelakanginya. Bidadari jelita itu bisa merasakan gesekan antara belahan pantatnya dengan gundukan pada selangkangan Marto. Gundukan yang cukup keras, Lidya mulai membayangkan seberapa besar sebenarnya barang milik Marto karena gundukan itu terus saja membesar.

Lidya memejamkan mata setelah melirik Pak Hasan, senyum kejam yang tersungging di bibir sang mertua jelas merupakan perintah baginya untuk memuaskan sang pembantu rumah sebelah. Si cantik itu mulai menggerakkan pantatnya yang seksi dan menggesek gundukan kemaluan Marto, mencoba meletakkan gundukan itu di tengah belahan pantatnya, mempertemukan celana Marto dengan selangkangannya yang kini sudah telanjang.

Tubuh Marto bergetar, ia bisa merasakan bibir kemaluan Lidya menggesek celananya. Bibir kemaluan yang sepertinya sudah basah. Marto sudah tak mampu lagi bertahan… jika ini terus berlanjut… dia bisa… dia bisa keluar…

Melihat Marto sudah mulai tak tahan lagi, Lidya mengubah posisi. Dia berbalik ke belakang, berhadapan langsung dengan Marto. Tubuh mereka begitu dekat, hembusan nafas Lidya bisa dirasakan hangat menyentuh wajah Marto. Si cantik itu melepas kaos ketat yang membelit bagian atas tubuhnya, menyembulkan buah dada sentosa yang membusung di dalam bra. Mata Marto hampir copot melihat keindahan tubuh wanita jelita yang kini duduk di pangkuannya.

“Lepas behamu, Nduk.” Kata Pak Hasan, pria tua itu memilih menonton Lidya dan Marto di belakang. “Biar Pak Marto bisa melihat susumu…”

Malu sekali rasanya Lidya mendengar mertuanya mengatakan hal itu kepada orang yang tidak pantas melihat tubuhnya telanjang. Dengan jantung berdebar Lidya melepas kait belakang penyangga payudaranya.

Bagaimana dengan Marto? Tubuh pria sederhana itu bergetar hebat ketika ia secara langsung bisa menikmati buah dada wanita cantik yang menjadi pujaan semua orang ini. Balon payudara Lidya memiliki ukuran yang pas, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil. Putingnya yang berwarna merah jambu gelap menjorok keluar seperti menunjuk ke arah dada Marto.

Marto tak kuat lagi, matanya terpejam dan iapun terpekik tertahan. Oh tidak! Tidak! Jangan! Jangaaaaan!!! Aaaahhh!!! Siaaaaal!!! Ia telah mencapai puncak!!! Dengan segenap kekuatan, Marto menembakkan air cintanya, sayang… masih di dalam celana. Habis bagaimana lagi? Dia sudah tidak kuat.

Ketika selesai, tubuh si pembantu itu melemas. Lidya bisa merasakan denyutan penis Marto yang menggesek selangkangannya. Penis yang tadinya kencang kini melemas selepas mengeluarkan cairan yang membasahi celananya sendiri. Lidya ikut kebingungan dan berulang kali menengok ke arah Pak Hasan.

Pak Hasan malah tertawa tergelak. Lidya masih duduk di pangkuan Marto dan payudaranya kini memantul – mantul di depan wajah pembantu sebelah rumah yang ketakutan setengah mati. Pria sederhana itu tak akan pernah mengira hal seperti ini akan terjadi dalam hidupnya. Pak Hasan baru saja menjadikan impian Marto menjadi kenyataan. Sayang Marto sudah… lemas.

Pria tua itu tersadar ketika Lidya memandangnya dengan pandangan takut. Pak Hasan tergelak lagi, ia mengatupkan jemari, membuat semacam lingkaran dengan menekuk ibu jari dan menemukan ujungnya dengan ujung telunjuk dan jari tengah. Pak Hasan menggerakkan tangannya itu naik turun. Lidya mengangguk mengerti.

Jemari Lidya meraba selangkangan Marto dengan gerakan pelan, tubuh si pembantu yang sudah lemas bergetar kembali. Untungnya penis pembantu itu belum sepenuhnya lemas, dengan rangsangan wanita semolek Lidya, gairah Marto pasti kembali naik.

Melalui gerakan pelan yang sepertinya sudah sangat terlatih, Lidya menurunkan celana Marto. Si cantik itu terpekik pelan melihat penis hitam besar menyentak keluar seperti seekor tikus meluncur lepas dari jebakan. Dengan jemari yang sama bergetarnya, Lidya meraih penis itu dan menggenggamnya. Marto merem melek merasakan barang berharganya digenggam oleh tangan halus seorang bidadari, ia tambah tak tahan ketika Lidya menaikturunkan tangannya untuk mengocok penis Marto.

Marto membalas dengan meremas buah dada Lidya, mencubit pentilnya yang menjulang dengan gemas dan menelusuri lekuk tubuh Lidya sebelum akhirnya meremas pantatnya yang bulat. Tidak berhenti di situ saja, tangan Marto makin berani dengan menyentuh paha Lidya dan mengelusnya. Telapak tangan yang kasar milik Marto meraba paha putih mulus Lidya, membuat si cantik itu bergetar menahan rasa. Walaupun tidak boleh memasukkan penisnya ke dalam memek Lidya, tapi bola yang ada di kantung kemaluan Marto sudah sejak tadi terantuk – antuk bibir liang cinta Lidya. Lidya yang keenakan menggesekkan kantung kemaluan Marto ke bibir memeknya seiring tangannya mengocok penis yang kembali mengeras.

Marto berbisik kepada Lidya, menyatakan betapa ia ingin memasukkan penis ke dalam memeknya, namun si cantik itu tersenyum dan menggeleng. Marto tahu ia tidak mungkin bisa menyetubuhi Lidya, tapi tak ada salahnya meminta ijin dan bertanya kan? Lidya yang merasa kasihan tahu kalau Marto sudah sangat terangsang, ia mengulum ujung telinga Marto dan meneruskan kocokannya agar lelaki sederhana itu bisa segera mengeluarkan cairan cintanya. Ia membiarkan Marto menjilati leher dan buah dadanya.

“Ouuughhhhh…. ssstttt….” desah Lidya manja ketika lidah Marto bergulat dengan puting susunya.

Mendengar desahan Lidya, Marto tak tahan lagi, ia berteriak kencang ketika kembali sampai di puncak kenikmatan… “Hraaaaghhhhh!!!!”

Cairan kental berwarna putih gading terlontar berulang dari kepala kemaluan Marto. Muncrat dari ujung gundulnya dan membasahi jemari lentik Lidya yang saat ini tersenyum, akhirnya selesai juga, ia bisa pulang dan…

“Bersihkan dong, Nduk.” Perintah Pak Hasan, “kasihan Pak Marto kalau barang – barangnya kotor.”

Lidya mengutuk mertuanya yang tidak punya perasaan. Dengan memejamkan mata Lidya pertama – tama membersihkan jemarinya dulu, ia jilat seluruh cairan cinta yang menempel di sana dan ditelannya dalam – dalam. Dengan hati – hati pula Lidya menjilati batang kemaluan Marto dan menelan seluruh pejuh yang tadi sempat keluar. Kasihan sekali pembantu itu sekarang, merem melek keenakan.

Pak Hasan terkekeh melihat menantunya menjilati penis milik pembantu tetangga dan menelan cairan cinta yang keluar dengan segenap perasaannya. Ini akan jadi pertunjukan yang lama dan menarik

Pak Hasan membuka tutup botol air mineral yang sudah ia siapkan dan meminumnya. Pertunjukan yang lama dan menarik, ulang batinnya. Pak Hasan bertepuk tangan ketika Marto menggenggam pinggiran kursi tempatnya duduk dan mengejang akibat menahan rangsangan hebat yang ditimbulkan oleh sepongan Lidya.

Benar sekali. Rasanya malam ini akan jadi malam panjang.

Pak Hasan tertawa.

Ini pasti akan menyenangkan!

“Ayo, Nduk! Bikin punya Pak Marto berdiri lagi!”

Benar – benar malam yang panjang.

Beruntung sekali Pak Hasan punya menantu satu ini.

Menantu, yang namanya Lidya.





BAGIAN 10-B SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 11
 
Ane pengagum suhu PB dan ini cerita favourit ane, setelah sekian lama baca treat ini ane jadi bingung yg diperbarui dimana. mohon penjelasannya suhu
 
gak nyangka om pb ada d sini. bab berikutnya moga ada perubahan. gak tega baca bab anisa asli nya. tetep semangat om.....
btw dulu pernah chat via YM dech. ngebahas bab akhir. tapi malah mendadak ngilang... moga skrg bisa finish... cemungudddd...
kangen penulis2 legend dulu... jaman2 di kbb
 
Akhirnya sebentar lagi Part 11 A, B, C Part-nya gadis Fav ane di RYT si Calon Pengantin Anissa Wibisono hehehe

Setelah itu part 12, part yg bikin penasaran para mupengers dari DS - - > KBB - - > semprot hehehe
 
ini kaya Stockholm Syndrome kali ya, atau emang Lidya nya doyan :)
........
ngomong2, kalaupun Lidya punya anak dari pak Hasan, semua ga bakalan curiga , pasti ada mirip2nya sama Andi :) , karna biangnya juga sama :D

Iya, mungkin semacam stockholm syndrome. Awalnya nolak, lama-lama jadi enak, hahaha.
Tapi secara garis besar cerita ini memang heavily influenced oleh JAV dengan cerita-cerita sejenis.

Ane pengagum suhu PB dan ini cerita favourit ane, setelah sekian lama baca treat ini ane jadi bingung yg diperbarui dimana. mohon penjelasannya suhu

Tidak ada pembaharuan besar, hanya perubahan sedikit kata dan merapikan kembali supaya enak dilihat di forum.

gak nyangka om pb ada d sini. bab berikutnya moga ada perubahan. gak tega baca bab anisa asli nya. tetep semangat om.....
btw dulu pernah chat via YM dech. ngebahas bab akhir. tapi malah mendadak ngilang... moga skrg bisa finish... cemungudddd...
kangen penulis2 legend dulu... jaman2 di kbb

Ini yang masih jadi bahan pertimbangan, apakah perlu di-tunedown atau tidak adegan hebohnya.
Konsep awalnya dulu memang bukan untuk dinikmati tapi untuk menggambarkan kebrutalan yang bikin merinding.
Sampe-sampe TS-nya aja ikutan merinding, heheh.
Dulu pernah chat? Wadidaw, masih jaman YM ya dulu.

Ini beneran pujangga binal?

Nickname yang itu sudah berdebu, kalo sekarang saya hanya sekedar tomat. Heheh.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd