Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Gerhana Merah

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Akhirnya selesai juga baca cerita agan maraton bacanya, ide cerita yg menarik, terakhir baca ide cerita seperti ini suhu archree. Ijin bangun pondok di mari gan..
 
PART 14:
Excitement and strangeness

Gerhana


Aulia


Azzura





POV GERHANA

Kalau banyak orang bilang tidak ada di dunia yang sempurna, memang benar adanya. Tetapi, sekarang aku merasa berada di keluarga yang sempurna. Hari ini aku memiliki ayah baru. Sepanjang yang aku tahu, ayah baruku ini sangat menyayangi ibu dan itu sudah cukup bagiku untuk menyebut dia dengan sebutan ‘ayah.’ Karena ibu adalah segalanya bagiku. Aku sangat menyayangi ibu malahan aku akan melakukan apa saja asalkan dapat membuatkan ibu bahagia. Oleh sebab itulah, walaupun berstatus ayah tiri, aku sangat menyukai dan menyayangi dia layaknya ayah kandungaku sendiri.

Hari ini juga, ibu dan aku diboyong ayah ke rumahnya. Segera pula aku kemasi barang-barang yang hendak kubawa ke rumah baruku. Tidak semua barang-barang di rumah di bawa oleh orangtuaku, bahkan sebagian besar di simpan, hanya perlengkapan sehari-harilah yang kami bawa. Sepanjang perjalanan, suasana begitu bahagia. Terlihat kedua orangtuaku menikmati hidup barunya. Sejenak aku berdoa pada Yang Maha Kuasa, memohon agar perkawinan orangtuaku ini membawa kebaikan yang lebih banyak.

Mataku terbuka sempurna, saat aku melihat bangunan yang akan menjadi rumah baruku. Tentu saja terdapat perbedaan yang sangat mencolok dengan rumah yang aku tinggali selama ini. Di hadapanku kini berdiri sebuah bangunan megah yang sangat mengagumkan. Desain teras rumah yang biasa disebut juga serambi ini dihiasi dengan dua buah tiang yang besar dan tinggi. Dilengkapi pula dengan pintu masuk di depan rumah yang menurutku sangat besar dengan kotak surat dan juga pot tanaman.

Tiba-tiba dari dalam rumah keluar anak perempuan yang sangat aku kenal menyerbu ayahnya, yang sekarang menjadi ayahku juga, dengan sebuah pelukan. Tangannya melingkar di pinggang ayah. Matanya langsung menyorot tajam padaku dengan kerutan kening yang menandakan bahwa ia sedang kebingungan.

“Sayang ... Ini mamah barumu dan itu kakakmu.” Ayah langsung memperkenalkan kami padanya.
“.......” Anak perempuan itu tidak merespon hanya saja wajahnya bergerak memandangi ibu dan aku secara bergantian.
“Aulia ... Sayang ... Salim sama ibu dan kakakmu.” Ayah menyuruh Aulia dengan sangat lembut.

Tanpa bicara, Aulia menghampiri ibu dan mencium tangannya, kemudian memeluk tangan ibuku sangat erat. Matanya tetap memandangku penuh curiga. Ayah dan ibu tertawa melihat tingkah lucu Aulia. Saat mata Aulia mengarah padaku, langsung saja aku mengejeknya dengan menjulurkan lidah. Seketika itu juga, Aulia membalasku dengan gerakan yang sama dengan maksud mengejekku juga. Semakin riuh tawa kedua orangtuaku beserta para pembantu di rumah ini.

Kami beriring memasuki rumah. Untuk sesaat aku merasakan kecanggungan sekaligus kekaguman berada di dalam rumah megah ini. Aku diantar seorang pembantu rumah tangga ke kamar tidurku. Ruangan ini jelas lebih besar dari kamar tidurku yang dulu ditambah lagi di dalamnya terdapat kamar mandi. Rasa ingin mencoba kamar mandi baru membuatku tidak sabar lagi untuk memakainya.

Saat tubuh terasa lebih segar dan fresh usai mandi, aku berniat berkeliling rumah baruku yang megah ini. Kususuri setiap sudut bangunan supaya aku tahu apa saja yang bisa kudatangi nanti kalau semisalnya ada yang kucari atau yang kubutuhkan. Saat melintas di daerah dapur, orangtua dan adikku sedang berkumpul lalu kuhampiri mereka.

“Kamu darimana saja, nak?” Tanya ibu.
“Habis keliling rumah, Bu ...” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Katanya ... Kamu yang mengajari Aulia silat ya Gerhana?” Kini ayahku yang bertanya.
“Ya, Pak.” Jawabku sambil melirik pada adikku yang sedari tadi senyam senyum gak jelas.
“Katanya juga ... Kamu suka godain Aulia ... Bener?” Tanya ayah lagi.
“Ih ... Gak ... Gak pernah, Pak ...!” Sanggahku keras. Mata tajamku menatap adikku.
“Hi hi hi ... sukurin ... We ...!” Kata Aulia dengan gaya meledeknya.
“Ih ... Kamu ...!” Ucapku kesal sambil melotot padanya.
“Sudah ... Mulai sekarang, kalian harus akur. Kalian sudah menjadi saudara.” Nasehat ayah pada kami.
“Jangan pernah bertengkar ya?” Sahut ibu sambil mengusap kepalaku.

Tiba-tiba Aulia berdiri dan menghampiriku. Tangannya dijulurkan, Aulia menyalami dan mengecup punggung tanganku. Aku jadi terenyuh diperlakukan seperti itu olehnya. Ini benar-benar kejutan yang amat sangat manis.

“Nah, begitu ... Gerhana, sekarang kamu juga harus melindungi adikmu. Jangan sampai tergores sedikit pun kulitnya.” Kata ibu seraya merangkul tubuh Aulia dan mendudukannya di pangkuan ibu.
“Ya, Bu ... Aku berjanji akan melindungi Aulia.” Kataku sangat tandas penuh keyakinan.
“Kak ... Sekarang latihan silatnya di rumah saja, ya?” Ucap Aulia dan kubalas dengan anggukan.

Suasana penuh tawa dan canda, serta senyuman lepas keluar dari mulut kami, yang tua berbagi pengalaman, yang muda berbagi cerita dan bertanya. Apalagi ketika Aulia mulai mengajakku bercanda, mana bisa aku mengabaikannya. Kubalas candaan Aulia dengan memiringkan satu jari telunjukku di dahi yang langsung dibalasnya dengan juluran lidahnya. Suasana semakin meriah, bersama-sama dengan anggota keluarga aku merasai kegembiraan yang tak terkatakan.

Malam semakin larut, cuaca dingin mulai terasa menusuk ke sekujur tubuh ini. Semuanya telah memasuki kamar tidur masing-masing. Aku terus berusaha untuk memejamkan mata ini agar bisa tertidur lelap. Tetapi sayang, semua usahaku itu sia-sia, mata ini tidak jua terlelap. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa rindu pada seseorang. Rasa rindu yang tidak diijinkan sebenarnya untuk anak seusiaku.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.40 malam, lelah sekali rasanya dan ingin segera tidur. Segera kumatikan lampu dan menuju ke alam mimpi diiringi dengan doaku sebelum tidur. Rindu ingin bertemu dengannya dan melakukan hal-hal yang menyenangkan dengannya membuat mimpiku terhiasi oleh dirinya. Begitu indah terasa bagiku. Terngiang hangat nafas segar tubuhnya walau hanya dalam mimpiku.

Suara adzan subuh membangunkan aku dari mimpi indahku. Terdengar suara burung bersahutan di antara pepohonan yang masih agak basah terkena embun yang jatuh tadi malam, seakan tak ada masalah di hidup mereka. Aku langsung bergegas untuk bangun meskipun rasa malas masih menyelimuti seluruh badan ini. Beres mandi aku langsung dandan memakai setelan baju olahraga. Ibu dan ayahku tersenyum melihatku yang sudah siap untuk melakukan olahraga pagi. Setelah berpamitan, aku langsung berlari menyusuri pinggiran jalan raya.

Satu jam sudah aku berlari kecil. Matahari pun sudah setinggi galah dari ufuk terbitnya. Langkahku terhenti. Aku mengernyit kala melihat kesibukan orang-orang di rumah Bulan. Dengan sedikit ragu, aku hampiri rumah Bulan.

“Maaf ... Pak ... Ada pindahan ya?” Tanyaku pada seseorang yang sedang mengatur perkakas rumah di atas truk besar.
“Oh ya Dek ... Pemilik rumah sudah pindah ... Dan barang-barangnya sudah dilelang ...” Jawab orang tersebut. Mendengar penuturannya, hatiku merasa tercekat.
“Bapak tau, kemana pindah keluarga ini?” Tanyaku lagi dengan nada suara memelas.
“Tidak tau ya, De ... Saya hanya mengambil barang-barang di rumah ini.” Jawabnya lagi.

Aku tidak bertanya lagi, hanya mampu berdiri melihat kenangan yang tertinggal di rumah itu. Bulanku telah pergi. Pergi entah kemana. Kuharap Bulan selalu mengingat di saat kami tersenyum bersama. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, “Kita pasti akan bertemu kembali mengulang hari-hari indah kita,” batinku yang sangat merana.

Aku kembali pulang dengan perasaan bertanya-tanya dalam hati. “Kemana Bulan? Kok gak bilang-bilang mau pindah?” Bulan, dia adalah sebuah misteri untukku. Aku tidak pernah tahu apa pun tentang rencana kepindahannya. Hatiku terus diselimuti pertanyaan itu. Di saat aku sedang dekat dengannya, namun tiba-tiba dia menghilang begitu saja. Hampa, kekosongan, kesepian, bahkan kesedihan melingkupi hatiku saat ini. Pikiran dan perasaanku melayang entah kemana, sampai tak terasa aku sudah sampai di rumah.

Di rumah sudah ditunggu Aulia yang selalu super heboh dan lagi hobby mencoba kesabaran ayah bundanya. Aku pun sudah disambut dengan kehebohan Aulia di depan pintu.
“Sini cepetan!” Pinta Aulia sembari melambaikan tangan padaku.
“Ada apa, Dek?” Tanyaku yang kini aku memanggil Aulia dengan sebutan kekeluargaan.
“Sekarang aku mau belajar silat, kak!” Pintanya lagi.
“Hhhmm ... Ya udah ... Ganti dulu pakaian kamu.” Sahutku walau agak malas.
“Asik ....! Tunggu ya kak ...!” Ucap Aulia sambil berlari menuju kamarnya.

Aku tidak hanya mengajarkan gerakan bela diri yang lentur dan lembut pada Aulia, tetapi juga pernapasan, kendali atau kontrol pikiran. Aku bukan hanya memberikan pendidikan fisik namun juga mental dan pikiran. Aulia terus latihan dengan tekun dan pada akhirnya dia mulai menguasai berbagai teknik dasar silat yang kuberikan. Kedua orang tuaku memperhatikan kami dengan riang di teras halaman belakang. Tak bosan-bosan mereka memberikan semangat serta dorongan buat Aulia yang terus serius mengikuti perintah-perintahku.

Setelah dua jam lebih, akhirnya aku akhiri latihan silat kami. Aulia terlihat kecapaian, namun tersirat kegembiraan di wajahnya. Aulia menggandeng tanganku sampai kami ke teras menghampiri kedua orangtuaku. Ayah dan ibu tersenyum melihat keakraban, adikku menyayangiku dan aku menyayangi adikku, sesederhana itu. Hingga tanpa kusadari aku telah memiliki tanggung jawab besar terhadapnya.

###

Siang ini, ayah mengajak makan siang bersama dalam satu meja di sebuah resto terkenal di kotaku. Aku senang karena ini adalah pengalaman pertamaku makan di restoran terkenal. Setelah kami duduk di restoran itu, kami terus dihidangkan dengan pelbagai jenis lauk pauk. Sebagiannya belum pernah aku lihat, termasuk hidangan kepala kakap masak lemak kuning dan beberapa hidangan lain yang agak aneh menurtuku. Aku terkejut karena begitu banyak lauk pauk terhidang di atas meja namun semua hidangan itu sangat mengundang selera makanku.

Kami pun mulai menikmati hidangan makan siang. Aku tidak banyak bicara. Hanya Aulia yang dari tadi berusaha meramaikan suasana bersama ibuku.

tertumbuk pada seraut wajah, wajah itu yang pernah aku tolong beberapa minggu yang lalu. Ya, dia adalah Kak Zura yang kini sedang menatapku sangat tajam. Melihat matanya itu aku menjadi susah menelan makanan, kerongkonganku seakan mengecil.

“Ada apa kamu, Gerhana?” Tanya ibu yang menyadari perubahan sikapku.
“Oh, tidak Bu ...” Kilahku sambil menunduk.
“Kakak seperti liat setan ...” Ucap Aulia yang mukanya diarahkan pada Kak Zura.
“Sudah ... Lanjutkan makan kalian.” Kata ayah yang juga mengarahkan pandangannya pada meja Kak Zura.

“Eh ... Ada temen ayah ...” Lanjut ayahku sambil berdiri dari duduknya dan menghampiri meja Kak Zura.

Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana bahagianya kedua orang laki-laki dewasa itu saling berpelukan dan bersalaman. Senyuman menghiasi wajah mereka sambil berbincang-bincang melepaskan kerinduan mereka. Tak lama kemudian, wajah ayah Kak Zura menengok ke arahku, tiba-tiba berubah riak matanya membulat dengan kening yang terangkat, nampak benar kalau ayahnya Kak Zura seperti terkejut. Dengan langkah perlahan ayahnya Kak Zura mendekatiku dan duduk persis di sampingku.

“Gerhana ... Ternyata kamu anak sahabat om ... Kenapa kamu tidak bilang kalau papahmu adalah Pak Benny ...” Sapanya sambil menepuk lembut bahuku.
“......” Aku terdiam dan tertunduk malu.
“Hey ... Kamu kenal dengan anakku?” Pekik ayah yang sudah duduk di tempatnya semula.
“Ben ... Ini anakmu yang menolong anakku ... Gerhana yang sudah menggagalkan penculikan anakku ...” Kata Pak Robert dengan suara gembiranya.
“Benarkah?” Tanya ayah keheranan.
“Ha ha ha ... Gak nyangka Ben ... Aku benar-benar surprise ... Azura sayang ... Ke sini, Nak!” Ucap Pak Robert memanggil anaknya. Kak Zura pun berjalan menghampiri kami.
“Gerhana ...” Ucap Kak Zura sambil menyodorkan tangannya.
“......” Aku terdiam, kusambut uluran tangannya. Kulit tangannya begitu lembut bagaikan sutra. Kak Zura duduk di sampingku tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“Istrimu gak diajak, Bert?” Tanya ayah pada Pak Robert.
“Istriku sedang gak enak badan, Ben ... Dia gak mau diajak, milih di rumah aja.” Jawab Pak Robert.

Aku tidak banyak bicara selama acara makan siang itu, demikian pula dengan Aulia dan Kak Zura yang lebih banyak berdiam. Walaupun aku terlihat biasa-biasa saja, sebenarnya aku merasa canggung berada di samping Kak Zura, terlebih saat dia menatapku seperti melihat bintang, berbinar-binar. Sesekali aku melihat Aulia dengan ekpresi wajahnya kesal dengan bibir yang ia cemberutkan.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam memperhatikan dua pria dewasa yang asik melakukan perbincangan yang menurutku cukup serius. Pak Robert tertawa terkekeh-kekeh ketika menceritakan tentang keantikan anaknya, tetapi kemudian wajahnya menjadi sendu ketika melanjutkan kisahnya.

“Aku harus menyelamatkan anakku, Ben ... Aku akan kirim Zura ke luar negeri.” Ucap Pak Robert di sela perbincangannya dengan ayahku.
“Aku pikir lebih baik begitu ... Zura harus disembunyikan dari orang-orang itu.” Jawab ayah yang membuat keningku berkerut.
“Bagaimana kalau anakmu ... Gerhana ... Aku pinjam untuk menemani Zura ke luar negeri?” Tanya Pak Robert sambil mengalihkan pandangannya padaku.
“Gak boleh ...!” Sekonyong-konyong Aulia menyambar pembicaraan kedua pria dewasa tersebut.

“Ih ... Aulia ... Gak boleh begitu, sayang ... Gak sopan ...” Ibu memperingati adikku.
“Aku tidak bisa, Bert ... Kami baru saja bersatu ... Maaf.” Ayah menjawab secara diplomatis.

Semakin lama mendengar perbincangan para ayah, aku semakin mengerti bahwa Kak Zura dan keluarganya sedang ada yang mengancam oleh orang yang menginginkan sesuatu milik Pak Robert. Dan rasanya ayahku mengetahui hal itu. Saat itu juga, perasaanku menjadi tidak enak. Dadaku terasa sesak sekali. Sesak karena ditekan, bukan sakit. Tubuhku membuat reaksi-reaksi aneh tanpa kuhendaki. Dan pada waktu aku mulai mengangakat kedua tangan, tiba-tiba kedua tanganku seperti ada yang menggerakan dengan halus, dan aku ikuti saja gerakannya. Tanganku terarah pada Kak Zura dan menggengam tangannya.

Semua terjadi tanpa kusadari, tanganku terus menggengam tangan Kak Zura. Batinku seakan berkata, “Jangan khawatir, mereka tidak bisa melukaimu.” Kulihat mata dan bibirnya membayangkan senyum yang memikat. Aku ingin sekali melepaskan genggamanku ini tetapi seperti tanganku tak mempunyai kekuatan untuk itu.

Akhirnya makan siang pun selesai. Tanganku tidak juga bisa kugerakan tetap berada di genggaman Kak Zura. Aku berkonsentrasi penuh. Aku bisa melakukannya. Aku harus bisa melepaskan genggamanku. Keringat di dahi mulai bercucuran, namun semua sia-sia bahkan terasa semakin kuat gengaman tanganku.

“Gerhana ...” Ucap Kak Zura. Aku pun terkejut dan sangat malu.
“Ada apa, Nak?” Ibuku melihat keganjilanku.
“Gak tau ... Gak tau ... Tanganku ...!” Aku jawab dengan kebingungan. Serentak semua memandang ke arahku.
“Kenapa dengan tanganmu, Nak?” Tanya ibuku lagi.
“Tanganku ... Tanganku tidak mau lepas ....” Jawabku sambil mengedarkan pandanganku pada semua orang.
“Kenapa ... Kenapa ...?” Ibu mulai khawatir dan bergerak ke arah tanganku dan berusaha melepaskan genggaman tanganku. Tenaga ibu ternyata tidak sekuat genggamanku.
“Gerhana ... Ada apa?” Kini ayah dan Pak Robert mendekat.
“Kak Zura dalam bahaya ...” Kata-kata itu bukan berasal dari otakku, tetapi meluncur begitu saja tanpa aku kehendaki.
“Apa??” Pekik Pak Robert serta merta.
“Bagaimana kamu bisa ....” Ayahku tak melanjutkan ucapannya hanya bengong menatapku.

Semua gerakan tubuhku kini tidak bisa kukontrol lagi, semuanya bergerak tanpa kehendakku. Aku berdiri dan menarik Kak Zura dan tanganku yang satu lagi menarik tangan Pak Robert. Aku menarik kedua orang ini keluar restoran, untungnya keduanya mengikuti saja tarikanku tanpa perlawanan. Aku sendiri tak tahu kemana akan membawa Kak Zura dengan ayahnya, tetapi beberapa menit berselang langkah kakiku terhenti di samping mobil mewah milik Pak Robert. Beberapa pengawal Pak Robert langsung menghampiri dan akhirnya tanganku terlepas begitu saja.


“Hati-hati, Pak ... Segera lah pulang ...!” Kata-kata itu pun bukan dari otakku meluncur begitu saja tanpa aku kehendaki. Pak Robert memegang bahuku dan setelah itu memasuki mobilnya. Kak Zura masih berdiri di depanku sambil menatapku sendu.
“Masuklah! Hati-hati ...” Kini aku berbicara sesuai dengan kata hatiku. Kak Zura mengangguk dan memasuki kendaraan ayahnya.

Mobil Pak Robert bergerak diikuti dengan kendaraan para pengawalnya. Aku terkejut, ayah dan ibu berdiri di dekatku, hanya berjarak satu jengkal. Ayah dan ibu memandangku dengan tatapan yang aneh. Jangankan mereka, aku pun merasa aneh dengan diriku sendiri. Semuanya tidak bisa kupikirkan dengan akalku sendiri. Rasanya ada kejanggalan-kejanggalan dalam jaringan syarafku.

Kami pun pulang. Di sepanjang perjalanan, aku diberondong seribu pertanyaan yang tidak bisa kujawab, karena memang aku juga bingung dengan keadaanku seperti itu. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar tidurku, duduk di atas kasur bersila dan mengkonsentrasikan diri untuk melakukan latihan gerak rasa.

Keadaanku sangat tenang dan rileks. Tiba-tiba dalam keadaan mata terpejam aku seperti melihat sebuah cahaya yang sangat terang sekali. Dan setelah itu masih dalam keadaan sedang meditasi, aku serasa melihat sosok wajah yang mirip sekali dengan diriku. Namun yang aku lihat sosok wajah itu yang terlihat hanya seputar wajahnya saja, lalu aku nikmati dan pandangi saja. Beberapa saat setelah itu, sosok wajah yang mirip sekali dengan diriku itu berubah menjadi monster kecil berbulu berwarna biru. Monster itu meloncat ke sana ke mari begitu lincahnya.

“KYO ... KYO ... Kamu berhasil ...!” Kata mahkluk itu yang masih berloncat-loncatan.
“Aku ingin tau ... Siapa dirimu?” Tanyaku.
“Aku utusan dari langit yang akan membimbingmu, KYO ...!” Jawabnya dengan tanpa hentinya berloncatan.
“Siapa namamu?” Tanyaku lagi.
“Namaku ... Tengu ... Tengu ...” Jawabnya.
“Ok ... Apakah Kamu lah yang menggerakan badanku tadi?” Tanyaku lagi beruntun.
“Bukan KYO ... Itu karena kekuatanmu ... Kekuatanmu yang menggerakannya.” Jawab Tengu.
“Tapi, aku tidak bisa mengontrolnya, Tengu ...” Keluhku.
“Kamu harus berlatih, KYO ... Berlatihlah mengendalikannya!” Seru Tengu.
“Bagaimana caranya?” Terus aku bertanya padanya.

Tengu, si monster biru, memberikan beberapa pengarahan. Kekuatanku bersumber dari mataku. Menguasai kekuatan mata adalah langkah awal yang harus kujalani. Dan aku terus melatih kekuatanku ini. Aku salurkan kekuatan mataku ke dalam hatiku. Kejernihan hatilah yang menjadi syarat agar aku bisa melihat kekuatan mata lahirku dengan ketajaman mata hatiku.

Singkat cerita, sudah tiga hari aku terus menerus melatih untuk mengendalikan kekuatanku ini. Tapi entahlah, mengapa susah sekali mengendalikan kekuatan ini, aku sempat bingung karena merasa tidak ada hasilnya.

“Itu karena kekuatanmu sangat hebat dan bermacam-macam, Kyo ... Kau harus terus menemukannya dan melatihnya satu persatu.” Kudengar suara ghaib di tengah meditasiku.

###

AUTHOR POV

Dhirga menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, kemudian menyalakan rokok tersebut. Namun pandangannya tidak terlepas dari mobil mewah yang meluncur meninggalkan restoran. Matanya tetap fokus pada anak perempuan yang menjadi targetnya. “Keadaan kurang memungkinkan, lain hari saja,” batinnya dalam hati.

“Bos ... Bagaiman?” Tiba-tiba salah satu anak buah Dhirga membuyarkan lamunannya.
“Tahan dulu ... Kita tidak bisa bergerak sekarang.” Jawab Dhirga sambil menggigit ujung rokoknya.
“Kenapa, Bos?” Anak buahnya gelisah.
“Anak itu ... Anak itu bukan tandingan kita ...” Sahut Dhirga sedikit was-was.
“Anak yang mana?” Tanya anak buahnya lagi.
“Tuh, bocah yang pake baju biru ...” Ucap Dhirga.
“Hhhhmm ... Terus apa rencana kita sekarang?” Si anak buah terus bertanya.
“Kita ke markas ...!” Kata Dhirga sambil berlalu dari tempat persembunyiannya.

Semua orang sudah pasti mengenalnya sebagai seorang preman yang sadis dan kejam. Sebutan Dhirga adalah sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat umum apalagi di kalangan sesama preman. Siapa pun pasti takut melihat perawakannya yang hitam legam, tinggi menjulang, seluruh tangannya dipenuhi dengan bulu dan begitu juga wajahnya. Selain mengelola sebuah rumah pelacuran yang didalamnya penuh minuman keras dan narkoba, pembalakan terhadap perusahaan-perusahaan setempat adalah kebiasaannya. Hal ini sudah dilakoninya hampir sepuluh tahun tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun.

Samurai yang selalu menjadi senjata andalannya dibawa dan digoreskan di setiap jalan yang ditempuhnya dan ini membuat lawan gentar untuk menghadapinya. Aparat sudah tidak bisa menahan amukan yang dilakukan oleh kelompok Dhirga. Dhirga memiliki ilmu hitam yang terkenal mematikan, juga memiliki ilmu kekebalan tubuh tidak mempan ditembus oleh peluru bahkan dikeroyok puluhan orang.
 
PART 14:
Excitement and strangeness

Gerhana


Aulia


Azzura





POV GERHANA

Kalau banyak orang bilang tidak ada di dunia yang sempurna, memang benar adanya. Tetapi, sekarang aku merasa berada di keluarga yang sempurna. Hari ini aku memiliki ayah baru. Sepanjang yang aku tahu, ayah baruku ini sangat menyayangi ibu dan itu sudah cukup bagiku untuk menyebut dia dengan sebutan ‘ayah.’ Karena ibu adalah segalanya bagiku. Aku sangat menyayangi ibu malahan aku akan melakukan apa saja asalkan dapat membuatkan ibu bahagia. Oleh sebab itulah, walaupun berstatus ayah tiri, aku sangat menyukai dan menyayangi dia layaknya ayah kandungaku sendiri.

Hari ini juga, ibu dan aku diboyong ayah ke rumahnya. Segera pula aku kemasi barang-barang yang hendak kubawa ke rumah baruku. Tidak semua barang-barang di rumah di bawa oleh orangtuaku, bahkan sebagian besar di simpan, hanya perlengkapan sehari-harilah yang kami bawa. Sepanjang perjalanan, suasana begitu bahagia. Terlihat kedua orangtuaku menikmati hidup barunya. Sejenak aku berdoa pada Yang Maha Kuasa, memohon agar perkawinan orangtuaku ini membawa kebaikan yang lebih banyak.

Mataku terbuka sempurna, saat aku melihat bangunan yang akan menjadi rumah baruku. Tentu saja terdapat perbedaan yang sangat mencolok dengan rumah yang aku tinggali selama ini. Di hadapanku kini berdiri sebuah bangunan megah yang sangat mengagumkan. Desain teras rumah yang biasa disebut juga serambi ini dihiasi dengan dua buah tiang yang besar dan tinggi. Dilengkapi pula dengan pintu masuk di depan rumah yang menurutku sangat besar dengan kotak surat dan juga pot tanaman.

Tiba-tiba dari dalam rumah keluar anak perempuan yang sangat aku kenal menyerbu ayahnya, yang sekarang menjadi ayahku juga, dengan sebuah pelukan. Tangannya melingkar di pinggang ayah. Matanya langsung menyorot tajam padaku dengan kerutan kening yang menandakan bahwa ia sedang kebingungan.

“Sayang ... Ini mamah barumu dan itu kakakmu.” Ayah langsung memperkenalkan kami padanya.
“.......” Anak perempuan itu tidak merespon hanya saja wajahnya bergerak memandangi ibu dan aku secara bergantian.
“Aulia ... Sayang ... Salim sama ibu dan kakakmu.” Ayah menyuruh Aulia dengan sangat lembut.

Tanpa bicara, Aulia menghampiri ibu dan mencium tangannya, kemudian memeluk tangan ibuku sangat erat. Matanya tetap memandangku penuh curiga. Ayah dan ibu tertawa melihat tingkah lucu Aulia. Saat mata Aulia mengarah padaku, langsung saja aku mengejeknya dengan menjulurkan lidah. Seketika itu juga, Aulia membalasku dengan gerakan yang sama dengan maksud mengejekku juga. Semakin riuh tawa kedua orangtuaku beserta para pembantu di rumah ini.

Kami beriring memasuki rumah. Untuk sesaat aku merasakan kecanggungan sekaligus kekaguman berada di dalam rumah megah ini. Aku diantar seorang pembantu rumah tangga ke kamar tidurku. Ruangan ini jelas lebih besar dari kamar tidurku yang dulu ditambah lagi di dalamnya terdapat kamar mandi. Rasa ingin mencoba kamar mandi baru membuatku tidak sabar lagi untuk memakainya.

Saat tubuh terasa lebih segar dan fresh usai mandi, aku berniat berkeliling rumah baruku yang megah ini. Kususuri setiap sudut bangunan supaya aku tahu apa saja yang bisa kudatangi nanti kalau semisalnya ada yang kucari atau yang kubutuhkan. Saat melintas di daerah dapur, orangtua dan adikku sedang berkumpul lalu kuhampiri mereka.

“Kamu darimana saja, nak?” Tanya ibu.
“Habis keliling rumah, Bu ...” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Katanya ... Kamu yang mengajari Aulia silat ya Gerhana?” Kini ayahku yang bertanya.
“Ya, Pak.” Jawabku sambil melirik pada adikku yang sedari tadi senyam senyum gak jelas.
“Katanya juga ... Kamu suka godain Aulia ... Bener?” Tanya ayah lagi.
“Ih ... Gak ... Gak pernah, Pak ...!” Sanggahku keras. Mata tajamku menatap adikku.
“Hi hi hi ... sukurin ... We ...!” Kata Aulia dengan gaya meledeknya.
“Ih ... Kamu ...!” Ucapku kesal sambil melotot padanya.
“Sudah ... Mulai sekarang, kalian harus akur. Kalian sudah menjadi saudara.” Nasehat ayah pada kami.
“Jangan pernah bertengkar ya?” Sahut ibu sambil mengusap kepalaku.

Tiba-tiba Aulia berdiri dan menghampiriku. Tangannya dijulurkan, Aulia menyalami dan mengecup punggung tanganku. Aku jadi terenyuh diperlakukan seperti itu olehnya. Ini benar-benar kejutan yang amat sangat manis.

“Nah, begitu ... Gerhana, sekarang kamu juga harus melindungi adikmu. Jangan sampai tergores sedikit pun kulitnya.” Kata ibu seraya merangkul tubuh Aulia dan mendudukannya di pangkuan ibu.
“Ya, Bu ... Aku berjanji akan melindungi Aulia.” Kataku sangat tandas penuh keyakinan.
“Kak ... Sekarang latihan silatnya di rumah saja, ya?” Ucap Aulia dan kubalas dengan anggukan.

Suasana penuh tawa dan canda, serta senyuman lepas keluar dari mulut kami, yang tua berbagi pengalaman, yang muda berbagi cerita dan bertanya. Apalagi ketika Aulia mulai mengajakku bercanda, mana bisa aku mengabaikannya. Kubalas candaan Aulia dengan memiringkan satu jari telunjukku di dahi yang langsung dibalasnya dengan juluran lidahnya. Suasana semakin meriah, bersama-sama dengan anggota keluarga aku merasai kegembiraan yang tak terkatakan.

Malam semakin larut, cuaca dingin mulai terasa menusuk ke sekujur tubuh ini. Semuanya telah memasuki kamar tidur masing-masing. Aku terus berusaha untuk memejamkan mata ini agar bisa tertidur lelap. Tetapi sayang, semua usahaku itu sia-sia, mata ini tidak jua terlelap. Pikiranku tiba-tiba melayang. Tiba-tiba aku merasa rindu pada seseorang. Rasa rindu yang tidak diijinkan sebenarnya untuk anak seusiaku.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 21.40 malam, lelah sekali rasanya dan ingin segera tidur. Segera kumatikan lampu dan menuju ke alam mimpi diiringi dengan doaku sebelum tidur. Rindu ingin bertemu dengannya dan melakukan hal-hal yang menyenangkan dengannya membuat mimpiku terhiasi oleh dirinya. Begitu indah terasa bagiku. Terngiang hangat nafas segar tubuhnya walau hanya dalam mimpiku.

Suara adzan subuh membangunkan aku dari mimpi indahku. Terdengar suara burung bersahutan di antara pepohonan yang masih agak basah terkena embun yang jatuh tadi malam, seakan tak ada masalah di hidup mereka. Aku langsung bergegas untuk bangun meskipun rasa malas masih menyelimuti seluruh badan ini. Beres mandi aku langsung dandan memakai setelan baju olahraga. Ibu dan ayahku tersenyum melihatku yang sudah siap untuk melakukan olahraga pagi. Setelah berpamitan, aku langsung berlari menyusuri pinggiran jalan raya.

Satu jam sudah aku berlari kecil. Matahari pun sudah setinggi galah dari ufuk terbitnya. Langkahku terhenti. Aku mengernyit kala melihat kesibukan orang-orang di rumah Bulan. Dengan sedikit ragu, aku hampiri rumah Bulan.

“Maaf ... Pak ... Ada pindahan ya?” Tanyaku pada seseorang yang sedang mengatur perkakas rumah di atas truk besar.
“Oh ya Dek ... Pemilik rumah sudah pindah ... Dan barang-barangnya sudah dilelang ...” Jawab orang tersebut. Mendengar penuturannya, hatiku merasa tercekat.
“Bapak tau, kemana pindah keluarga ini?” Tanyaku lagi dengan nada suara memelas.
“Tidak tau ya, De ... Saya hanya mengambil barang-barang di rumah ini.” Jawabnya lagi.

Aku tidak bertanya lagi, hanya mampu berdiri melihat kenangan yang tertinggal di rumah itu. Bulanku telah pergi. Pergi entah kemana. Kuharap Bulan selalu mengingat di saat kami tersenyum bersama. Perpisahan bukanlah akhir dari segalanya, “Kita pasti akan bertemu kembali mengulang hari-hari indah kita,” batinku yang sangat merana.

Aku kembali pulang dengan perasaan bertanya-tanya dalam hati. “Kemana Bulan? Kok gak bilang-bilang mau pindah?” Bulan, dia adalah sebuah misteri untukku. Aku tidak pernah tahu apa pun tentang rencana kepindahannya. Hatiku terus diselimuti pertanyaan itu. Di saat aku sedang dekat dengannya, namun tiba-tiba dia menghilang begitu saja. Hampa, kekosongan, kesepian, bahkan kesedihan melingkupi hatiku saat ini. Pikiran dan perasaanku melayang entah kemana, sampai tak terasa aku sudah sampai di rumah.

Di rumah sudah ditunggu Aulia yang selalu super heboh dan lagi hobby mencoba kesabaran ayah bundanya. Aku pun sudah disambut dengan kehebohan Aulia di depan pintu.
“Sini cepetan!” Pinta Aulia sembari melambaikan tangan padaku.
“Ada apa, Dek?” Tanyaku yang kini aku memanggil Aulia dengan sebutan kekeluargaan.
“Sekarang aku mau belajar silat, kak!” Pintanya lagi.
“Hhhmm ... Ya udah ... Ganti dulu pakaian kamu.” Sahutku walau agak malas.
“Asik ....! Tunggu ya kak ...!” Ucap Aulia sambil berlari menuju kamarnya.

Aku tidak hanya mengajarkan gerakan bela diri yang lentur dan lembut pada Aulia, tetapi juga pernapasan, kendali atau kontrol pikiran. Aku bukan hanya memberikan pendidikan fisik namun juga mental dan pikiran. Aulia terus latihan dengan tekun dan pada akhirnya dia mulai menguasai berbagai teknik dasar silat yang kuberikan. Kedua orang tuaku memperhatikan kami dengan riang di teras halaman belakang. Tak bosan-bosan mereka memberikan semangat serta dorongan buat Aulia yang terus serius mengikuti perintah-perintahku.

Setelah dua jam lebih, akhirnya aku akhiri latihan silat kami. Aulia terlihat kecapaian, namun tersirat kegembiraan di wajahnya. Aulia menggandeng tanganku sampai kami ke teras menghampiri kedua orangtuaku. Ayah dan ibu tersenyum melihat keakraban, adikku menyayangiku dan aku menyayangi adikku, sesederhana itu. Hingga tanpa kusadari aku telah memiliki tanggung jawab besar terhadapnya.

###

Siang ini, ayah mengajak makan siang bersama dalam satu meja di sebuah resto terkenal di kotaku. Aku senang karena ini adalah pengalaman pertamaku makan di restoran terkenal. Setelah kami duduk di restoran itu, kami terus dihidangkan dengan pelbagai jenis lauk pauk. Sebagiannya belum pernah aku lihat, termasuk hidangan kepala kakap masak lemak kuning dan beberapa hidangan lain yang agak aneh menurtuku. Aku terkejut karena begitu banyak lauk pauk terhidang di atas meja namun semua hidangan itu sangat mengundang selera makanku.

Kami pun mulai menikmati hidangan makan siang. Aku tidak banyak bicara. Hanya Aulia yang dari tadi berusaha meramaikan suasana bersama ibuku.

tertumbuk pada seraut wajah, wajah itu yang pernah aku tolong beberapa minggu yang lalu. Ya, dia adalah Kak Zura yang kini sedang menatapku sangat tajam. Melihat matanya itu aku menjadi susah menelan makanan, kerongkonganku seakan mengecil.

“Ada apa kamu, Gerhana?” Tanya ibu yang menyadari perubahan sikapku.
“Oh, tidak Bu ...” Kilahku sambil menunduk.
“Kakak seperti liat setan ...” Ucap Aulia yang mukanya diarahkan pada Kak Zura.
“Sudah ... Lanjutkan makan kalian.” Kata ayah yang juga mengarahkan pandangannya pada meja Kak Zura.

“Eh ... Ada temen ayah ...” Lanjut ayahku sambil berdiri dari duduknya dan menghampiri meja Kak Zura.

Aku dapat melihat dengan jelas bagaimana bahagianya kedua orang laki-laki dewasa itu saling berpelukan dan bersalaman. Senyuman menghiasi wajah mereka sambil berbincang-bincang melepaskan kerinduan mereka. Tak lama kemudian, wajah ayah Kak Zura menengok ke arahku, tiba-tiba berubah riak matanya membulat dengan kening yang terangkat, nampak benar kalau ayahnya Kak Zura seperti terkejut. Dengan langkah perlahan ayahnya Kak Zura mendekatiku dan duduk persis di sampingku.

“Gerhana ... Ternyata kamu anak sahabat om ... Kenapa kamu tidak bilang kalau papahmu adalah Pak Benny ...” Sapanya sambil menepuk lembut bahuku.
“......” Aku terdiam dan tertunduk malu.
“Hey ... Kamu kenal dengan anakku?” Pekik ayah yang sudah duduk di tempatnya semula.
“Ben ... Ini anakmu yang menolong anakku ... Gerhana yang sudah menggagalkan penculikan anakku ...” Kata Pak Robert dengan suara gembiranya.
“Benarkah?” Tanya ayah keheranan.
“Ha ha ha ... Gak nyangka Ben ... Aku benar-benar surprise ... Azura sayang ... Ke sini, Nak!” Ucap Pak Robert memanggil anaknya. Kak Zura pun berjalan menghampiri kami.
“Gerhana ...” Ucap Kak Zura sambil menyodorkan tangannya.
“......” Aku terdiam, kusambut uluran tangannya. Kulit tangannya begitu lembut bagaikan sutra. Kak Zura duduk di sampingku tanpa melepaskan genggaman tangannya.
“Istrimu gak diajak, Bert?” Tanya ayah pada Pak Robert.
“Istriku sedang gak enak badan, Ben ... Dia gak mau diajak, milih di rumah aja.” Jawab Pak Robert.

Aku tidak banyak bicara selama acara makan siang itu, demikian pula dengan Aulia dan Kak Zura yang lebih banyak berdiam. Walaupun aku terlihat biasa-biasa saja, sebenarnya aku merasa canggung berada di samping Kak Zura, terlebih saat dia menatapku seperti melihat bintang, berbinar-binar. Sesekali aku melihat Aulia dengan ekpresi wajahnya kesal dengan bibir yang ia cemberutkan.

Lagi-lagi aku hanya bisa terdiam memperhatikan dua pria dewasa yang asik melakukan perbincangan yang menurutku cukup serius. Pak Robert tertawa terkekeh-kekeh ketika menceritakan tentang keantikan anaknya, tetapi kemudian wajahnya menjadi sendu ketika melanjutkan kisahnya.

“Aku harus menyelamatkan anakku, Ben ... Aku akan kirim Zura ke luar negeri.” Ucap Pak Robert di sela perbincangannya dengan ayahku.
“Aku pikir lebih baik begitu ... Zura harus disembunyikan dari orang-orang itu.” Jawab ayah yang membuat keningku berkerut.
“Bagaimana kalau anakmu ... Gerhana ... Aku pinjam untuk menemani Zura ke luar negeri?” Tanya Pak Robert sambil mengalihkan pandangannya padaku.
“Gak boleh ...!” Sekonyong-konyong Aulia menyambar pembicaraan kedua pria dewasa tersebut.

“Ih ... Aulia ... Gak boleh begitu, sayang ... Gak sopan ...” Ibu memperingati adikku.
“Aku tidak bisa, Bert ... Kami baru saja bersatu ... Maaf.” Ayah menjawab secara diplomatis.

Semakin lama mendengar perbincangan para ayah, aku semakin mengerti bahwa Kak Zura dan keluarganya sedang ada yang mengancam oleh orang yang menginginkan sesuatu milik Pak Robert. Dan rasanya ayahku mengetahui hal itu. Saat itu juga, perasaanku menjadi tidak enak. Dadaku terasa sesak sekali. Sesak karena ditekan, bukan sakit. Tubuhku membuat reaksi-reaksi aneh tanpa kuhendaki. Dan pada waktu aku mulai mengangakat kedua tangan, tiba-tiba kedua tanganku seperti ada yang menggerakan dengan halus, dan aku ikuti saja gerakannya. Tanganku terarah pada Kak Zura dan menggengam tangannya.

Semua terjadi tanpa kusadari, tanganku terus menggengam tangan Kak Zura. Batinku seakan berkata, “Jangan khawatir, mereka tidak bisa melukaimu.” Kulihat mata dan bibirnya membayangkan senyum yang memikat. Aku ingin sekali melepaskan genggamanku ini tetapi seperti tanganku tak mempunyai kekuatan untuk itu.

Akhirnya makan siang pun selesai. Tanganku tidak juga bisa kugerakan tetap berada di genggaman Kak Zura. Aku berkonsentrasi penuh. Aku bisa melakukannya. Aku harus bisa melepaskan genggamanku. Keringat di dahi mulai bercucuran, namun semua sia-sia bahkan terasa semakin kuat gengaman tanganku.

“Gerhana ...” Ucap Kak Zura. Aku pun terkejut dan sangat malu.
“Ada apa, Nak?” Ibuku melihat keganjilanku.
“Gak tau ... Gak tau ... Tanganku ...!” Aku jawab dengan kebingungan. Serentak semua memandang ke arahku.
“Kenapa dengan tanganmu, Nak?” Tanya ibuku lagi.
“Tanganku ... Tanganku tidak mau lepas ....” Jawabku sambil mengedarkan pandanganku pada semua orang.
“Kenapa ... Kenapa ...?” Ibu mulai khawatir dan bergerak ke arah tanganku dan berusaha melepaskan genggaman tanganku. Tenaga ibu ternyata tidak sekuat genggamanku.
“Gerhana ... Ada apa?” Kini ayah dan Pak Robert mendekat.
“Kak Zura dalam bahaya ...” Kata-kata itu bukan berasal dari otakku, tetapi meluncur begitu saja tanpa aku kehendaki.
“Apa??” Pekik Pak Robert serta merta.
“Bagaimana kamu bisa ....” Ayahku tak melanjutkan ucapannya hanya bengong menatapku.

Semua gerakan tubuhku kini tidak bisa kukontrol lagi, semuanya bergerak tanpa kehendakku. Aku berdiri dan menarik Kak Zura dan tanganku yang satu lagi menarik tangan Pak Robert. Aku menarik kedua orang ini keluar restoran, untungnya keduanya mengikuti saja tarikanku tanpa perlawanan. Aku sendiri tak tahu kemana akan membawa Kak Zura dengan ayahnya, tetapi beberapa menit berselang langkah kakiku terhenti di samping mobil mewah milik Pak Robert. Beberapa pengawal Pak Robert langsung menghampiri dan akhirnya tanganku terlepas begitu saja.


“Hati-hati, Pak ... Segera lah pulang ...!” Kata-kata itu pun bukan dari otakku meluncur begitu saja tanpa aku kehendaki. Pak Robert memegang bahuku dan setelah itu memasuki mobilnya. Kak Zura masih berdiri di depanku sambil menatapku sendu.
“Masuklah! Hati-hati ...” Kini aku berbicara sesuai dengan kata hatiku. Kak Zura mengangguk dan memasuki kendaraan ayahnya.

Mobil Pak Robert bergerak diikuti dengan kendaraan para pengawalnya. Aku terkejut, ayah dan ibu berdiri di dekatku, hanya berjarak satu jengkal. Ayah dan ibu memandangku dengan tatapan yang aneh. Jangankan mereka, aku pun merasa aneh dengan diriku sendiri. Semuanya tidak bisa kupikirkan dengan akalku sendiri. Rasanya ada kejanggalan-kejanggalan dalam jaringan syarafku.

Kami pun pulang. Di sepanjang perjalanan, aku diberondong seribu pertanyaan yang tidak bisa kujawab, karena memang aku juga bingung dengan keadaanku seperti itu. Sesampainya di rumah, aku langsung masuk ke kamar tidurku, duduk di atas kasur bersila dan mengkonsentrasikan diri untuk melakukan latihan gerak rasa.

Keadaanku sangat tenang dan rileks. Tiba-tiba dalam keadaan mata terpejam aku seperti melihat sebuah cahaya yang sangat terang sekali. Dan setelah itu masih dalam keadaan sedang meditasi, aku serasa melihat sosok wajah yang mirip sekali dengan diriku. Namun yang aku lihat sosok wajah itu yang terlihat hanya seputar wajahnya saja, lalu aku nikmati dan pandangi saja. Beberapa saat setelah itu, sosok wajah yang mirip sekali dengan diriku itu berubah menjadi monster kecil berbulu berwarna biru. Monster itu meloncat ke sana ke mari begitu lincahnya.

“KYO ... KYO ... Kamu berhasil ...!” Kata mahkluk itu yang masih berloncat-loncatan.
“Aku ingin tau ... Siapa dirimu?” Tanyaku.
“Aku utusan dari langit yang akan membimbingmu, KYO ...!” Jawabnya dengan tanpa hentinya berloncatan.
“Siapa namamu?” Tanyaku lagi.
“Namaku ... Tengu ... Tengu ...” Jawabnya.
“Ok ... Apakah Kamu lah yang menggerakan badanku tadi?” Tanyaku lagi beruntun.
“Bukan KYO ... Itu karena kekuatanmu ... Kekuatanmu yang menggerakannya.” Jawab Tengu.
“Tapi, aku tidak bisa mengontrolnya, Tengu ...” Keluhku.
“Kamu harus berlatih, KYO ... Berlatihlah mengendalikannya!” Seru Tengu.
“Bagaimana caranya?” Terus aku bertanya padanya.

Tengu, si monster biru, memberikan beberapa pengarahan. Kekuatanku bersumber dari mataku. Menguasai kekuatan mata adalah langkah awal yang harus kujalani. Dan aku terus melatih kekuatanku ini. Aku salurkan kekuatan mataku ke dalam hatiku. Kejernihan hatilah yang menjadi syarat agar aku bisa melihat kekuatan mata lahirku dengan ketajaman mata hatiku.

Singkat cerita, sudah tiga hari aku terus menerus melatih untuk mengendalikan kekuatanku ini. Tapi entahlah, mengapa susah sekali mengendalikan kekuatan ini, aku sempat bingung karena merasa tidak ada hasilnya.

“Itu karena kekuatanmu sangat hebat dan bermacam-macam, Kyo ... Kau harus terus menemukannya dan melatihnya satu persatu.” Kudengar suara ghaib di tengah meditasiku.

###

AUTHOR POV

Dhirga menyelipkan sebatang rokok di bibirnya, kemudian menyalakan rokok tersebut. Namun pandangannya tidak terlepas dari mobil mewah yang meluncur meninggalkan restoran. Matanya tetap fokus pada anak perempuan yang menjadi targetnya. “Keadaan kurang memungkinkan, lain hari saja,” batinnya dalam hati.

“Bos ... Bagaiman?” Tiba-tiba salah satu anak buah Dhirga membuyarkan lamunannya.
“Tahan dulu ... Kita tidak bisa bergerak sekarang.” Jawab Dhirga sambil menggigit ujung rokoknya.
“Kenapa, Bos?” Anak buahnya gelisah.
“Anak itu ... Anak itu bukan tandingan kita ...” Sahut Dhirga sedikit was-was.
“Anak yang mana?” Tanya anak buahnya lagi.
“Tuh, bocah yang pake baju biru ...” Ucap Dhirga.
“Hhhhmm ... Terus apa rencana kita sekarang?” Si anak buah terus bertanya.
“Kita ke markas ...!” Kata Dhirga sambil berlalu dari tempat persembunyiannya.

Semua orang sudah pasti mengenalnya sebagai seorang preman yang sadis dan kejam. Sebutan Dhirga adalah sebuah nama yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat umum apalagi di kalangan sesama preman. Siapa pun pasti takut melihat perawakannya yang hitam legam, tinggi menjulang, seluruh tangannya dipenuhi dengan bulu dan begitu juga wajahnya. Selain mengelola sebuah rumah pelacuran yang didalamnya penuh minuman keras dan narkoba, pembalakan terhadap perusahaan-perusahaan setempat adalah kebiasaannya. Hal ini sudah dilakoninya hampir sepuluh tahun tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun.

Samurai yang selalu menjadi senjata andalannya dibawa dan digoreskan di setiap jalan yang ditempuhnya dan ini membuat lawan gentar untuk menghadapinya. Aparat sudah tidak bisa menahan amukan yang dilakukan oleh kelompok Dhirga. Dhirga memiliki ilmu hitam yang terkenal mematikan, juga memiliki ilmu kekebalan tubuh tidak mempan ditembus oleh peluru bahkan dikeroyok puluhan orang.
Alhirnya update hu.....sukses hu...lanjutkan
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd