Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT 55 Days Later: Part 2 (Tamat)

Status
Please reply by conversation.
Ini hubungan nya rick sama michone ya kak?
Waktu di alexandria mirip mirip soalnya.
Tau-tau mereka ada adegan ranjang, kebawa suasana sama adrenalin.

Komunitas di timur? Kok aku kepikiran nya kaya waktu mau ketemu penipu yang mau berangkat ke Washington ya?
Oh yang itu hehe. Yang ini beda kok paman, Melati lebih kayak Beth adiknya Maggie wkwk
 
Wah ada eps spesialnya Dila ya, Kak?
ditunggu banget nih, ehehe ....

hhmm, aku lupa-lupa poho sih beth kaya gimana, matinya cepet amat soalnya.
berarti nanti melati juga cepet mati dong? waaahhh ....
mana udah di hint lagi dino bakal kesepian kalo nggak ada melati nanti.
 
GREP

"HHHMMPPHHH" tiba-tiba mulutku seperti didekap oleh sosok tangan yang dengan cepat muncul, aku langsung bergerak cepat dengan menggerakan bahuku, dekapan tangan itu langsung terlepas. Aku menoleh kearah belakang dan kucabut pisau dari pinggangku. Sialan! Siapa dia?

Sosok manusia itu melesat cepat kearahku dan salah satu tangannya mengepal dan memukul perutku dengan telak, sangat telak hingga tubuhku terhempas ke lantai yang kotor. Aku mengaduh kesakitan sambil memegang perutku. Menyadari tangan kananku masih memegang pistol, tanpa pikir panjang kutekan pelatuk pistol kearah sosok manusia itu namun dia langsung menendang tanganku dengan keras bersamaan dengan jariku yang menekan pelatuk pistol.

DOR

Tanganku terasa sakit sekali, pistol itu sudah terjatuh cukup jauh dari posisiku. Sosok manusia itu langsung merunduk sambil mencabut pisau besarnya dan tangannya melesat berusaha untuk menusuk dadaku. Dengan tenaga yang masih ada kutahan tangannya dengan sekuat tenaga. Namun ia cukup kuat melawan kekuatan tanganku sehingga mata pisau itu terus mendekat kearah dadaku.
Episode 23 coming this week
 
Baru sadar blm comment & like, pantesan tidak ada notif episode baru ;)
 
23. Saktia

Aku dan Melati saling berpandangan setelah mendengar perkataan dari Satria tentang komunitas.

"Komunitas?" tanyaku memastikan.

"Iya. Kami menemukan peta ini dan terdapat petunjuk jalan. Sak, ambilkan petanya didalam" pinta Satria yang dibalas oleh anggukan adiknya. Lalu ia memberikan secarik kertas besar kepada Satria dan membukannya.

"Ini, tanda dalam peta ini tertulis "IKUTI PETUNJUK DALAM PETA, KALIAN AKAN SELAMAT BERSAMA KAMI" " kata Satria sambil menunjukkan jarinya ke kertas peta. Aku melihat dengan seksama pada peta yang bertuliskan Kabupaten Cilacap lengkap dengan simbol-simbol peta pada umumnya.


Tanda X biru adalah posisi Dino dan Melati
Tanda X merah adalah posisi "komunitas"

"Kalian temukan ini dari mana?" tanyaku.

"Salah satu kawan kami menemukan peta ini dari camp yang sudah ditinggali, aku tak tahu sebabnya. Namun peta ini juga dalam kondisi baru dan aku yakin mereka sudah pindah kesana"

Aku hanya menggangguk paham mendengar ucapan Satria, walau dalam hati aku belum percaya dengan semua ini.

"Jadi, kalian akan menuju kesana?" tanyaku.

"Iya. Kita akan selamat Dino. Aku yakin" jawab Satria antusias.

Aku terdiam sambil memegang kertas peta itu. Hatiku terdapat dilema, di satu sisi aku senang karena masih ada orang baik yang berusaha untuk menolong kami, namun di satu sisi aku tidak bisa serta merta percaya begitu saja.

"Bagaimana Din, apa kamu dan Melati mau ikut bersama kami?" tanya Satria.

"Emmm, aku belum bisa putuskan sekarang....."

Percakapan kami terputus saat mendengar suara gerombolan mayat hidup yang semakin lama semakin dekat menuju lokasi kami. Dan benar saja, mahkluk itu berjumlah cukup banyak di depan.

"Kita tak mungkin bisa melawan mereka" kataku panik.

"Kak, kita bawa mereka ke rumah gimana?" ucap Melati. Aku sebenarnya sedikit ragu membawa mereka.

"Melati, kita tak bisa lakukan itu. Bagaimana kalau mereka justru ingin menipu kita?" balasku. Melati menggengam kedua tanganku.

"Aku percaya sama mereka kak, aku yakin mereka orang baik sama seperti kita" ucap Melati meyakinkanku. Jujur aku luluh hanya dari tatapan matanya.

"Oke, aku akan bawa mereka" balasku. Melati tersemyum mendengarnya.

"Satria, Saktia. Kalian bisa ikut bersama kami, sebelum gerombolan mayat itu kesini" ucapku kepada Satria yang sedang menodongkan senjatanya kearah gerombolan mayat hidup yang semakin mendekat.

"Ayo Sat, jangan membuang-buang waktu" kataku lagi. Satria mengangguk pertanda setuju.

"Kak, gimana dengan mobilnya?" kata Saktia sambil menurunkan senjata apinya.

"Tinggal disini aja gak apa-apa. Mayat itu tak akan merusak mobil ini"

*****

Kami berjalan kembali ke rumah kecil sambil membawa beberapa senjata api lengkap dengan amunisinya. Tak mungkin barang itu ditinggal begitu saja. Sepanjang perjalanan Melati tampak bercakap-cakap bersama Saktia dan sesekali terdengar gelak tawa mereka, tampaknya mereka sudah akrab satu sama lain dan aku senang akan hal itu. Setidaknya Melati sudah kembali memiliki teman.

"Desa ini memang sama sekali tak ada penghuni?" tanya Satria memecah lamunanku.

"Gak ada Sat. Saat kita tiba disini memang sudah tak ada orang, mereka sudah jadi mayat hidup sekarang" jawabku.

"Sial juga, dan kalian bisa bertahan disini" ucapnya lagi.

"Ya begitulah hehe" balasku.

"Gak nyangka aja masih ada orang-orang yang bisa bertahan hidup setelah wabah mengerikan melanda negeri ini" kata Satria.

"Aku yakin masih banyak orang-orang seperti kita yang berhasil bertahan kok" balasku.

GRRRRHHHHHHH

Kami terkejut saat mendengar suara mayat hidup yang langsung muncul begitu saja dari berlawanan arah. Kucabut pisau dari pinggangku dan bersiap menghabisi mahkluk itu.

"Tak usah Din, biar aku saja" Satria mencabut pistolnya, melihat hal itu aku langsung mencegahnya.

"Jangan Sat, suara pistol bisa menarik perhatian mahkluk itu....."

"Udah tenang aja"

Satria mengambil sebuah botol air mineral yang sepertinya sudah didesain sedemikian rupa lalu memasangnya pada moncong pistol. Setelah beres ia mulai membidikkan senjata api kearah kepala mayat hidup.

PHEW

Mayat itu terjatuh dan mati akibat peluru yang bersarang pada kepalanya. Suara pistol itu hanya terdengar samar-samar karena botol air mineral itu. Aku terkesima karenanya.

"Wow, suaranya hampir tak terdengar Sat" kataku.

"Iya, botol ini sudah dirancang supaya bisa meredam suara senjata api. Tetapi hanya bisa bertahan sekitar 5-10 tembakan sebelum botol ini rusak dan tak bisa dipakai lagi" jelas Satria.

GGRRAAAHHHHHH

Sial, ternyata tak hanya itu saja, masih ada tiga mayat hidup yang berjalan mendekat kearah kami. Satria kembali melakukan gerakan membidik pada salah satu mayat dan meletuskan peluru, sedangkan aku bergerak maju dan menusukkan pisauku kearah kepala mayat hidup hingga tewas. Kulihat juga Saktia yang bergerak maju kearah mayat dan menusukkan moncong senjata api yang ia bawa ke kepala mahkluk itu hingga tewas.

"Kalian tak apa-apa?" tanyaku kepada Saktia dan Melati, aku khawatir dengan keselamatan Melati.

"Aku gak apa-apa kak, kak Saktia yang menolongku tadi" ucap Melati.

Kulihat Saktia yang menentengkan senjata apinya yang terdapat pisau pada bagian moncong, ia tersenyum padaku dan menggangguk.

"Aku sudah terbiasa melawan mahkluk sialan itu, jadi tak ada yang perlu dicemaskan hehe" ucap Saktia.

"Yeee, mentang-mentang dulu penakut lawan mereka" cibir Satria kepada adiknya.

"Ihhh kak jangan aib dah, malu sama mereka"

"Hahaha"

*****

Setelah cukup lama berjalan mengikuti jalan bebatuan khas pedesaan akhirnya kita sampai ke tujuan, rumah kecil yang sudah aku pasang pagar yang terbuat dari bambu dan kawat berduri supaya tak ada mayat hidup yang bisa menerobos. Mereka tampak terkejut melihat "rumah" ini.

"Kenapa?" tanyaku kepada Saktia yang berdiri didepanku.

"Ini.... kalian beneran tinggal disini?" tanya Saktia.

"Yep benar, ini rumahku.... lebih tepatnya bekas rumah penduduk desa ini" balasku.

"Bagaimana bisa kalian bikin pagar kayak gini?" tanyanya lagi.

"Itu semua karena idenya Melati ni, aku awalnya juga gak kepikiran bikin pagar ini hehe" kuusap-usap kepala Melati yang dibalas dengan cubitan yang cukup sakit pada pinggangku.

"Ihhh kakak bisa aja deh" balasnya.

Memang benar, Melati memiliki pemikiran yang cerdas. Sebelumnya ia berkata padaku bahwa rumah ini butuh sebuah pagar untuk melindungi dari mayat hidup, awalnya aku ragu dengan usulannya namun ia bisa menjelaskan hal itu dengan gamblang dan jelas sehingga aku menyetujui idenya. Sepertinya ia sudah terbiasa menghadapi dunia yang biadab ini dan mulai menggunakan kecerdasannya untuk membangun sesuatu yang baru, aku sangat mengagumi Melati karenanya.

"Hmmm tunggu dulu, kalau ini rumah kalian berarti kalian pasangan ya?" ucap Saktia yang tentu saja mengejutkanku dan Melati.

"Eh enggak kok" balasku bersamaan dengan Melati yang beberapa saat kemudian kami seperti salah tingkah.

"Sak, udah deh jangan gitu" ucap Satria.

"Hehe" Saktia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Dasar ini cewe haha.

Tak lama kemudian kami memasuki rumah dan menaruh senjata dan barang-barang yang mereka bawa. Satria duduk di sofa yang memang tidak seempuk yang biasa dipakai dulu sedangkan Saktia berjalan mengelilingi dalam rumah bersama Melati, sepertinya wanita ini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sama seperti Melati. Kubiarkan saja mereka dan duduk disamping Satria yang sedang membuka peta yang ia bawa.

"Kamu bisa nginep disini untuk beberapa hari Sat" kataku kepadanya.

"Tidak Din, besok kita langsung jalan lagi" balasnya.

"Hmmm oke aku tak melarang akan hal itu"

"Dino, ikutlah bersama kami. Aku yakin komunitas itu jauh lebih baik ketimbang kalian harus hidup disini"

"Entahlah Satria, aku dan Melati sudah nyaman hidup disini dan hampir tak ada mayat hidup yang menganggu ketenangan kami" balasku. "Dan kenapa kamu bisa seyakin ini Sat?" tanyaku lagi.

"Selama ini kami tinggal di camp milik militer yang cukup besar di Bogor, setelah Jakarta sudah jatuh akibat wabah ini. Namun itu tak berlangsung lama setelah beberapa orang mati mendadak dan menimbulkan kekacauan, beruntung kami dapat lolos dari mereka bersama beberapa orang. Sepanjang perjalanan kami tak pernah lagi menemukan satupun camp pengungsian atau komunitas orang-orang yang selamat....." jelas Satria.

"Beberapa kawan kami mati sepanjang perjalanan ini dan tinggal menyisakan aku dan Saktia"

Mendengar cerita Satria yang sudah kehilangan beberapa kawannya aku jadi merasa bersalah padanya.

"Maafkan aku Sat, aku tak menyangka ceritanya jadi seperti ini" ucapku.

"Tak apa Din, memang ini kehidupan kita sekarang dan kita tak bisa menghindarinya....."

"Eh kak Dino" tiba-tiba saja Melati memanggilku .

"Iya Mel, kenapa?" balasku.

"Ikannya masih ada kan kak?"

"Masih kok"

"Aku bakar ya kak, kak Saktia laper soalnya hehe. Oh iya kak Satria juga mau ikan?" tanya Melati kepada Satria.

"Ya ampun, ngerepotin kayaknya Mel"

"Udah gak apa-apa kak, kita masih banyak persediaan makanan hehe"

*****

Malam mulai menjelang. Kami sedang makan malam bersama dengan hidangan seadanya saja, ikan bakar hasil tangkapan di kolam sebelumnya dan buah-buahan yang kami ambil. Terkadang gelak tawa terdengar saat membahas hal-hal yang menyenangkan terlebih Saktia yang ternyata orangnya cukup humoris, salah satu sifat kesukaan Melati sehingga mereka sudah terlihat semakin akrab saja

Malam harinya, langit tampak cerah sekali yang bertabur bintang-bintang yang tersebar, sinar bulan juga cukup terang menghiasi langit malam ini.

"Din..." Satria menghampiriku dan duduk disampingku, ia mengambil sesuatu dari sakunya.

"Mau rokok?" ia menyodorkan bungkus itu dan tentu saja aku menerimanya.

"Hehe makasih" kuambil satu batang. Sudah lama aku tidak menghisap benda itu setelah peristiwa di lapangan golf. Kuhidupkan batang rokok itu dan menghisapnya dalam, kepalaku terasa ringan saat asap rokok itu merasuk kedalam peredaran darahku.

"Sejak kapan kamu ngerokok Din?" tanya Satria.

"Sejak SMA hehe, kalau kamu?"

"Sama"

"Oh iya, kamu kok bisa dapet banyak senjata api?" tanyaku penasaran.

"Aku ambil dari camp militer Din, beberapa saja sudah cukup kok"

"Hmmm kamu tentara ya?" tanyaku penasaran.

"Bukan tentara sih, dulu aku bertugas jadi satuan brimob lalu dipromosikan jadi anggota anti teror" balas Satria sambil mengisap rokoknya.

"Wow, keren ya. Aku gak nyangka aja haha"

"Biasa aja Din haha"

Kami mengobrol di malam yang semakin larut ini. Ia bercerita tentang kejadian awal mula wabah menyerang negara ini dan tentang adiknya, Saktia.

"Orang tua kami sedang di luar negeri tapi kami kehilangan kontak setelah wabah mayat hidup ini melanda seluruh dunia Din" jelas Satria.

"Hmmm aku sudah tahu tentang itu. Dulu salah satu kawanku punya dokumen tentang wabah mayat itu sebelumnya" balasku mengingat saat aku dan teman-temanku singgah di camp militer sebelumnya. (Baca Part 1 kalau belum tahu, hehe)

"Oh iya, kamu tahu gak kalau Surabaya jadi satu-satunya tempat yang belum diserang mayat hidup? militer membangun sebuah camp besar disana" tanyaku kepada Satria.

"Kalau itu aku belum tahu Din, tapi entahlah mungkin tempat itu sudah hancur"

Aku hanya mengangguk saja mendengar jawabannya. Mungkin saja Surabaya sudah jatuh akibat mayat hidup itu.

"Jadi gimana Din? kamu ikut bersama kami?" tanyanya.

"Entahlah Sat, aku butuh waktu untuk memikirkan hal itu" balasku.

"Pikirkan dulu aja Din, tapi aku juga tak memaksa jika kamu menolak ajakanku. Aku tidur dulu ya" ucap Satria lalu berjalan meninggalkanku sendiri. Kutatap langit malam yang cerah sambil memikirkan hal ini. Aku tahu kalau ini adalah keputusan yang sulit.

*****

Pagi harinya aku dan Melati berada di dalam kamar untuk membahas apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Sejujurnya aku belum sepenuhnya percaya dengan Satria dan Saktia, sikapnya yang ramah itu justru menimbulkan rasa tak enak dalam hatiku, namun aku juga sadar bahwa jika memang mereka berniat buruk, seharusnya mereka sudah melakukannya sekarang dan tanda-tanda itu tidak terjadi.

Melati sangat antusias dengan Saktia yang terus membujuknya untuk ikut dengan mereka.

"Kak, mungkin ini pilihan terbaik, kita ikut sama mereka. Kenapa kakak harus ragu?" ucap Melati polos namun penuh harapan. Kutatap wajahnya dan memegang kedua pundaknya.

"Melati, kita sudah membangun kehidupan kita disini, aku tahu ini adalah keputusan yang sulit namun aku ingin kita melanjutkan kehidupan disini...." genggaman tanganku ke pundaknya semakin menguat menandakan aku bersungguh-sungguh, Melati membalasnya dengan mengangkat daguku.

"Selama ini aku selalu menuruti semua perkataan kakak dan aku senang akan hal itu, namun untuk kali ini saja kak, tolong" ucap Melati dengan sungguh-sungguh, kedua bola matanya membulat seakan-akan memang dia sudah memikirkan hal kedepan.

"Aku.... sebenarnya aku tak ingin kamu keluar ke dunia sana lagi, akan selalu ada bahaya setiap saat...."

"Kak Dino, aku sudah siap untuk menghadapi ini semua. Kakak sudah susah payah mengajariku untuk bertahan hidup dan ini saatnya aku membuktikan semua yang kakak ajari selama ini....." balas Melati.

"Melati, aku...."

"Aku tak mau kehilangan kamu....."

Kupeluk tubuhnya dengan erat dengan disertai dengan air mata yang mulai keluar dari bola mataku. Dalam hati aku berjanji untuk melindungi dia yang sebenarnya sudah kuanggap sebagai sosok adik kandung, memang aku merasa kurang ajar sudah merenggut kegadisannya namun Melati tak pernah sekalipun menjauhiku dan justru semakin dekat dan semakin dekat.

Mungkin aku memang sudah jatuh cinta padanya, namun entah kenapa sangat sulit untuk mengutarakan perasaanku padanya.

"Kakak kenapa nangis?" ucap Melati dengan lembut.

"Emmm hehehe maaf...." Kulepas pelukan ini dan tangan Melati menyeka air mataku yang membasahi pipi.

"Aku gak nangis lo kak hihi" kekeh Melati mencairkan suasana haru yang menyelimuti kamar ini.

"Iya deh, aku kebawa suasana tadi...."

Kami saling bertatapan muka, bola mata Melati sedikit membesar sepertinya ia menunggu jawaban pasti dariku. Dengan keyakinan yang sudah mantap kukatakan padanya.

"Melati, kita ikut bersama mereka"

"Terimakasih kak Dino...." ia kembali memelukku dengan kencang, Melati tampak senang sekali mendengar persetujuanku.

Kami kembali saling bertatap muka, Melati tersenyum manis sekali dengan bibirnya yang menggoda itu. Tanpa pikir panjang kukecup bibirnya pelan, Melati membalas kecupan bibirku dengan menggerakan bibirnya sehingga kecupan ini berubah menjadi lumatan. Melati dengan lihai memainkan lidahku menimbulkan rasa yang nikmat. Perlahan-lahan nafsuku mulai naik, kurangkul lehernya untuk memberikan rasa nyaman padanya.

"Ssllrpppp hhghhhhh....."

Dengusan napasnya terdengar jelas di sela-sela bibir pertanda ia menikmati cumbuan ini. Decakan liur kami yang bercampur juga mulai terdengar lirih

"Melati, aku boleh minta..... ASTAGA!"

Seketika kami menoleh kearah sumber suara, ternyata Saktia membuka pintu kamar tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Raut wajahnya terkejut melihat kami yang sedang bercumbu mesra.

"Ehh, maaf-maaf. Aku gak ngetuk pintu dulu tadi. Yaudah lanjutin aja...." ucap Saktia dengan wajah gugup bercampur kaget lalu menutup pintu kamar kembali. Kami yang masih terheran-heran dengan sikapnya tadi saling berpandangan dan kemudian kami tertawa bersama.

"Sialan Saktia, main nyelonong aja hahaha"

"Ya namanya aja gak tau kak hahaha"

*****

Singkatnya kami sibuk berkemas-kemas.

"Dino, maaf aku tadi gak tau kalau kalian sedang gituan" kata Saktia saat aku mengangkat tas berisi senjata api beserta amunisinya.

"Udah gak apa-apa kok hehe" balasku santai. "Yaudah kamu bawa tas ini bisa kan? Aku yang bawa tas kamu aja kayaknya berat buat wanita kayak kamu"

"Ummm yaudah deh makasih ya sebelumnya"

Kalau dilihat-lihat wanita bernama Saktia ini lumayan cantik kalau bisa dibilang. Postur tubuhnya cukup tinggi dan berisi, kutaksir umurnya lebih tua dariku sepertinya. Yang kukagumi darinya adalah bentuk pantatnya yang bulat dan besar beserta dengan paha gemuknya, gundukan buah dadanya juga cukup besar mengingat Saktia mengenakan kaos abu-abu yang bisa dibilang cukup ketat.



Sialan Din, tahan nafsumu. Hahaha.

"Eh Din, gimana kamu sudah siap?" tanya Satria membuyarkan pikiran kotorku tentang adiknya. Aku sempat kaget.

"Iya, aku siap. Melati juga sudah siap kok" balasku.

"Oke, kita berangkat sekarang"

Kami berjalan keluar dari rumah kecil yang sudah menjadi saksi bisu kebersamaanku dengan Melati, sebenarnya aku masih berat hati untuk meninggalkan tempat ini namun aku rasa keputusan Melati ini tepat, semoga saja tak ada kesulitan dalam perjalanan ini.

"Dadah rumah kecil" Melati melambaikan tangan kearah rumah itu, rumah yang kembali tak berpenghuni.

"Kenapa Mel?" tanyaku.

"Ngucapin selamat tinggal aja kak. Aku akan kangen sama rumah ini hehe" balasnya ceria, aku tertegun dengan sikap Melati.

"Suatu saat nanti kita bisa dapat tempat tinggal yang lebih baik dari ini kak" katanya lagi.

"Iya Melati, semoga saja"

*****

Perjalanan ini tampaknya tidak sesulit yang aku duga, tak ada mayat hidup yang menghalangi setiap jalan yang kami lalui. Dalam hati aku bersyukur tak ada kesulitan yang berarti untuk saat ini. Sepanjang perjalanan aku dan Melati saling ngobrol untuk menghilangkan kebosanan. Sesekali Melati berdiri dan melihat-lihat pemandangan desa, ia takjub dengan keindahan hamparan sawah yang berada di sisi jalan.

"Bagus banget ya kak" ucapnya senang.

"Iya Mel, bagus buat foto-foto" balasku.

"Sayang banget, hape ku hilang sebelumnya. Kalau masih ada kan bisa ku foto terus upload ke sosial media kak haha" Melati tertawa sambil terus melihat hamparan sawah itu.

"Dulu aku punya cita-cita jadi fotografer kak, menurutku asyik bisa mengabadikan keindahan alam ciptaan Tuhan" ucapnya lagi. Tiba-tiba aku jadi teringat Dila yang dulunya juga suka memfoto keindahan alam saat waktu kuliah dulu.

"Jadi keinget Dila aku, Mel hehe"

"Maaf kak, karena omonganku tadi ya" balasnya.

"Gak apa-apa kok hehe"

Beberapa kilometer dan kelokan-kelokan jalan telah kami lalui untuk keluar dari pedesaan ini, cuaca siang ini untungnya berawan sehingga kami tak merasa kepanasan. Akhirnya kami sudah keluar dari wilayah jalan pedesaan dan bertemu dengan jalan besar yang kuyakin ini adalah jalan yang biasa dilalui kendaraan umum. Satria keluar dari celah jendela untuk memberitahu kami yang berada di belakang.

"Kalian tak apa disana?" tanyanya.

"Gak apa-apa Sat, malah si Melati lagi seneng banget tadi" balasku.

"Seneng kenapa?" tanyanya lagi.

"Dia bisa lihat-lihat pemandangan haha, kayak anak kecil ya Sat" candaku.

"Ihhh kak Dino" Melati mencubit perutku yang memang terasa sakit, haha.

"Yaudah kalian yang akur ya haha. Eh Sak, kita gak kesasar lagi kan?"

"Enggak kak, kita udah berada di jalan yang benar kok. Tinggal ikuti tanda di peta ini"

"Baiklah"

Jalan raya utama ini memang tampak sepi sekali, terkadang ada beberapa kendaraan pribadi yang terparkir begitu saja di pinggir bahkan tengah jalan. Tampak juga beberapa mayat hidup yang berjalan tanpa tujuan, bergerombol seperti sedang lahap memakan bangkai entah itu manusia atau binatang. Suasana semakin lama semakin mencekam seiring dengan kendaraan kami yang terus melaju.

Berbeda dengan sebelumnya, Melati tampak terdiam melihat-lihat suasana jalan raya ini. Raut wajahnya sama sekali tak menunjukkan keceriaan yang sebelumnya terpancarkan saat di pedesaan. Aku mulai khawatir dengan kondisinya yang berubah.

"Melati, sebaiknya kamu jangan melihat mahkluk itu" ucapku, namun Melati menolak.

"Aku gak apa-apa kak" balasnya lirih. "Aku sadar mayat hidup itu memang jahat, benar kata kamu kak, kita memang harus melawan mereka supaya kita bisa bertahan hidup...." kata Melati, mendengar ucapannya aku jadi semakin yakin Melati sudah bisa menerima.

"AH SIALAN!" aku mendengar Satria berteriak kasar dan secara bersamaan kendaraan ini berhenti.

"Ada apa Sat?" tanyaku heran.

"Lihat aja sendiri di depan" aku langsung melihat ke depan jalan. Mayat hidup dalam jumlah banyak menghalangi jalan yang akan kita lewati, terlalu banyak jumlahnya. Aku mulai merasa panik dalam diriku namun dengan sekuat tenaga kulawan rasa itu. Melati juga tampak terkejut melihat mayat-mayat itu.



"Kak, gimana ini?" ucap Melati, ia seperti berusaha untuk menyembunyikan rasa takutnya.

"Tenang Melati, aku ada disini" balasku.

"Sat, gimana? kita putar balik aja terus cari jalan alternatif gitu?" tanyaku kepada Satria.

"Gak Din, kita tak akan lakukan itu. Tak bisa kita mundur sekarang!" balasnya tegas.

"Lalu?"

"Kita terobos saja mereka" tanpa pikir panjang Satria menginjak gas dalam-dalam sehingga truk ini melaju lebih cepat. Aku dan Melati sempat terjatuh karena momentum gerak yang sangat mendadak ini. Aku memeluk Melati yang sedikit ketakutan akibatnya.

"Kak...."

"Aku disini Melati, jika kamu takut peluk aku yang kencang...."

GGGRAAAHHHH GGRRRHHHHH

BRAKKK BRAKKKK

Suara erangan mayat hidup terdengar jelas sekali beserta suara tabrakan yang aku yakin berasal dari sana. Truk ini berguncang hebat dan sesekali tersentak, kulindungi kepala Melati dari guncangan itu.

"BERTAHANLAH, KITA BISA LALUI INI" teriak Satria kencang.

"BANGSAT KAMU SAT!" aku mengumpat kasar karena ide Satria yang gila ini.

Beberapa lama kemudian guncangan ini berhenti juga, aku langsung melihat kebelakang truk dan tampak mayat-mayat hidup yang hancur terlindas truk ini. Darah segar mengalir membasahi hampir seluruh jalan yang kami terjang. Aku langsung mengetuk kaca jendela mobil untuk memberitahu Satria.

"Satria, kenapa kita berhenti?" tanyaku.

"Sialan, mesinnya mati" umpat Satria sambil berusaha untuk menghidupkan truk ini. Sementara itu suara-suara mayat hidup mulai kembali terdengar dari belakang mobil. Sepertinya masih ada mayat-mayat hidup yang tidak terlindas mobil ini dan mulai berjalan mendekat kearah kami!

"Aku coba tahan mahkluk itu Sat, kamu terus coba hidupkan mobilnya" kataku.

"Saktia, kamu bantu Dino lindungi truk ini" kata Satria sambil memberikan belati panjang dan senjata laras panjang kepada adiknya. Saktia mengangguk dan langsung turun dari truk.

"Dino, ambil senjata ini" Satria memberiku senjata laras panjang miliknya kepadaku. Aku langsung memeluk Melati yang terpaku melihat kerumunan mayat hidup yang berjalan semakin dekat.

"Melati, kamu tetap disini ya"

"Kak, tapi....."

"Kamu akan aman disini" kucium bibirnya sesaat untuk meyakinkannya lalu bergegas turun dari truk. Mayat-mayat itu terus berjalan kemari secara bergerombol, kukokang senjata laras panjang ini dan bersiap untuk menembak mereka.

"Din, tembak ke kepalanya sekali saja. Amunisi kita terbatas" kata Saktia.

"Iya aku tahu"

DOR DOR DOR

DOR DOR DOR

Aku dan Saktia bersama-sama menembak mahkluk itu, karena bagian jemariku yang tidak sempurna tembakanku sempat beberapa kali meleset kearah bagian selain kepala. Sedangkan tembakan Saktia selalu tepat sasaran. Beberapa saat kemudian aku menyadari kalau senjata ini sudah tak ada peluru yang bisa ditembak, kukalungkan senjata ini dan bergerak maju dengan pisau besar yang kugenggam. Kutusuk beberapa mayat hidup yang menyerang truk ini hingga tewas. Saktia juga bergerak maju dan menebas kepala mayat hidup dengan belatinya.

SRAKKKK

SRAKKKK

Percikan darah segar menjadi pemandangan biasa dalam penglihatanku. Aku dan Saktia berjuang dengan gigih demi melindungi kendaraan truk ini.

"Mati kau mahkluk bangsat!" aku mengumpat saat kutebas salah satu mayat hidup hingga kepalanya terlepas dari badan. Entah sudah berapa kali aku menghabisi mayat-mayat itu, namun yang pasti kerja keras ini sepertinya membuahkan hasil.

GGGRRHHHHHHH

"AGGHHH ANJINGG" tubuhku terhempas ke aspal jalan saat salah satu mayat hidup bertubuh besar mendorongku jatuh. Mahkluk itu dengan buas mencakar tubuhku dan kepalanya bergerak-gerak dan hampir saja salah satu gigitannya mengenai tanganku. Aku berusaha untuk lepas dari cengkaramannya namun sia-sia saja, tenaga mayat hidup itu terlalu besar untuk dilawan.

"Ahhhhhhh"

SRAKKKKK

Aku terkejut saat kepala mayat itu tertusuk pisau sampai tembus, darah memancar dari luka itu dan mengenai kaosku. Aku mendorong tubuh mayat yang sudah mati itu dan berusaha untuk kembali berdiri. Aku terkejut melihat siapa yang menghabisi mahkluk yang nyaris membunuhku.

"Melati....."

"Kak Dino gak apa-apa?" tanya Melati.

"Iya, aku gak apa-apa" balasku bercampur heran melihat Melati dengan mudah menghabisi mayat hidup itu.

BRRRUMMMMMMM

"Ayo naik, mesinnya udah nyala lagi" teriak Satria sambil meletuskan pistolnya untuk melindungi kami.

"Ayo Mel"

Kami kembali naik kedalam truk sekaligus pergi dari tempat ini. Kulempar pisau yang berlumuran darah mayat itu dan langsung melihat Melati. Dari matanya tampak ketegangan dalam dirinya.

"Melati, kenapa kamu turun tadi? aku sudah suruh kamu untuk tetap di truk" ucapku. Melati menaruh pisaunya.

"Aku ingin membantu kakak, aku juga tak bisa diam disini kak" balasnya.

"Tapi, kenapa?"

"Aku ingin melawan rasa takut yang selama ini tertanam dalam diriku kak. Karena itu aku ingin membuktikan kepada kakak kalau aku bisa bertahan hidup seperti kamu" balas Melati dengan nada optimis, aku tertegun mendengarnya, ia benar-benar sudah berubah.

"Melati....." kupeluk tubuhnya erat-erat dan ia membalasnya.

*****

"Kita berhenti disini dulu, aku mau mengecek truk ini" ucap Satria. Kami berhenti di sebuah pabrik kayu yang cukup besar. Kami turun dari truk dan melihat bercak-bercak darah melumuri hampir seluruh bagian bodi truk, bahkan aku menemukan beberapa potongan tubuh yang tersangkut di bagian roda belakang.

Melati dan Saktia menurunkan beberapa ransel berisi makanan dan minuman lalu membukanya. Pertempuran tadi sudah hampir menguras seluruh tenaga, kuteguk botol air mineral itu hingga habis tak bersisa sehingga rasa dahaga ini sedikit mereda.

Makanan yang diberikan oleh Saktia adalah sebuah ransom militer yang berisi biskuit dan daging sapi yang sudah diawetkan sedemikian rupa sehingga bisa langsung dimakan. Kulahap sedikit makanan itu untuk mengisi kembali tenaga yang sudah terkuras habis.

Setelah dirasa cukup, aku menghampiri Saktia yang sedang duduk santai.

"Ngelamun Sak?" tanyaku memulai obrolan.

"Enggak" balasnya pendek.

"Emmm, kamu hebat ya bisa melawan mayat-mayat itu tadi" kataku memuji.

"Hehe makasih, tapi kakakku lebih hebat sih" balasnya tersenyum, sial juga ini cewek senyumnya bisa manis gitu.

"Selama wabah ini aku diajari cara melawan mayat hidup Din, kan tahu sendiri dia seorang anggota anti teror hehe" tambahnya.

"Iya, Satria sudah cerita kok kemarin"

"Hmmm Melati tidur ya?"

"Katanya dia kecapekan" kata Saktia.

"Aku kagum sama dia, awalnya Melati orangnya penakut banget tapi lama-kelamaan dia bisa beradaptasi di lingkungan ini" balasku. Saktia menatapku dan ia mulai sedikit tertawa.

"Haha, aku juga sama kayak dia Din. Mungkin jauh lebih parah"

"Masak sih? cerita dong" kataku.

Saktia mulai bercerita tentang dirinya dan kakaknya, Satria. Mulai dari awal kehidupannya yang ternyata dia adalah seorang pengusaha yang cukup sukses. Ia memiliki usaha cafe dan sudah membuka beberapa cabang, aku kagum dengan cerita dan motivasinya untuk menjadi seorang wanita yang kuat dan mandiri.

"Ya begitulah Din haha, sejak wabah ini mulai menyerang kakakku selalu melindungiku namun aku juga tak merasa enak dilindungi dia terus. Aku juga bisa bertahan hidup dengan usahaku sendiri" kata Saktia panjang lebar. "Sebelumnya kamu punya kelompok gitu Din?" tanya Saktia balik.

"Dulu punya, namun mereka sudah tiada akibat pertempuran antar kelompok orang yang berusaha menguasai tempat kami...." balasku.

"Maafkan aku Din, seharusnya aku tak nanya hal itu...."

"Udah gak apa-apa kok hehe. Oh iya kalau boleh tahu umurmu berapa?"

"28"

"Lah anjir, aku 26. Harusnya aku manggil kamu "kak" atau "mbak" gitu ya"

"Yakali gak usah Din haha. Cukup panggil Saktia aja, masak aku kelihatan tua gini hahaha" tawa dia yang kubalas juga dengan tawaku.

"Eh Dino, aku boleh ngomong sesuatu?" tanya Satria sambil mengelap tangannya yang berlumuran darah.

"Gimana Sat?"

"Kamu coba periksa bangunan itu, siapa tahu ada barang-barang yang bisa ambil, syukur2 ada makanan minuman yang mungkin tersimpan disana" kata Satria. Aku langsung berdiri dan mengambil pistol revolver yang letaknya tak jauh dari tempatku duduk.

"Oke biar aku aja yang periksa"

"Aku ikut Din" kata Saktia namun aku menolaknya.

"Gak usah Sak, biar kamu jagain Melati aja"

"Uhhh yaudah deh"

******

Dengan hati-hati kulangkahkan kakiku masuk kedalam bangunan kosong ini, tak lupa kupegang pistolku di tangan kiri untuk berjaga-jaga. Bangunan ini memang tak ada apa-apa hanya beberapa puing-puing yang menghiasi.

Kudobrak pintu itu dengan sekuat tenaga, ternyata didalam juga tak ada barang satupun yang bisa aku ambil. Bau busuk juga tercium tajam pertanda ada mayat yang sudah cukup lama berada disini. Kuberjalan perlahan menuju sumber bau dan benar, mayat itu sudah membusuk dan hampir sebagian dagingnya sudah hilang entah dimakan oleh hewan atau mayat hidup. Aku langsung pergi dari ruangan itu karena tak tahan dengan bau busuk yang semakin menyengat.

Kuperiksa kembali ruangan-ruangan didalam bangunan ini dan tak ada satupun benda-benda yang mungkin berguna untuk kelompok kami. Sial memang. Dengan kesal aku berjalan menuju pintu keluar, teman-temanku sudah menunggu cukup lama diluar.

GREP

"HHHMMPPHHH" tiba-tiba mulutku seperti didekap oleh sosok tangan yang dengan cepat muncul, aku langsung bergerak cepat dengan menggerakan bahuku, dekapan tangan itu langsung terlepas. Aku menoleh kearah belakang dan kucabut pisau dari pinggangku. Sialan! Siapa dia?

Sosok manusia itu melesat cepat kearahku dan salah satu tangannya mengepal dan memukul perutku dengan telak, sangat telak hingga tubuhku terhempas ke lantai yang kotor. Aku mengaduh kesakitan sambil memegang perutku. Menyadari tangan kananku masih memegang pistol, tanpa pikir panjang kutekan pelatuk pistol kearah sosok manusia itu namun dia langsung menendang tanganku dengan keras bersamaan dengan jariku yang menekan pelatuk pistol.

DOR

Tanganku terasa sakit sekali, pistol itu sudah terjatuh cukup jauh dari posisiku. Sosok manusia itu langsung merunduk sambil mencabut pisau besarnya dan tangannya melesat berusaha untuk menusuk dadaku. Dengan tenaga yang masih ada kutahan tangannya dengan sekuat tenaga. Namun ia cukup kuat melawan kekuatan tanganku sehingga mata pisau itu terus mendekat kearah dadaku.

Kami saling bertatapan muka sembari terus memadu kekuatan kami. Tunggu dulu, ini.....

"Rachel....."

Tiba-tiba tangannya seperti hilang tenaga saat kuucapkan nama itu, tenaganya seperti hilang begitu saja, pisau yang ia pegang langsung ia lemparkan ke lantai.

"Di..Dino...?" ucapnya lirih.

"Rachel, iya ini aku" balasku. Kubuka penutup kepalanya menampakkan wajah dan rambutnya yang diikat. Raut wajahnya menunjukkan tanda kebahagiaan setelah melihat diriku. Ia membantuku untuk berdiri walau aku sempat mengaduh karena pukulannya yang menghujam perutku. Kami berpelukan selama beberapa saat.

"Maafkan aku Din, aku tak tahu kalau orang yang kuserang tadi itu kamu....." ucap Rachel penuh penyesalan. Mungkin kalau kita tak saling bertatapan muka, mata pisau yang ia genggam sudah menancap dalam di dadaku dan aku tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Iya aku gak apa-apa kok" balasku.

"Perutmu sakit ya Din?"

"Ya begitulah"

"HEI KAMU, ANGKAT TANGAN!!"

Aku langsung menoleh kearah sumber suara dan tampak Satria mengacungkan senjatanya. Dengan cepat juga Rachel mencabut pistolnya dari pinggang dan mereka saling menodong. Aku langsung mencegah mereka.

"Hei hei Satria, jangan. Dia temanku...." ucapku meyakinkan dia.

"Aku mendengar suara tembakan didalam, aku langsung kesini Din" kata Satria sambil menurunkan senjatanya dibarengi juga dengan Rachel.

"Dino, siapa dia?" Rachel berkata padaku dengan waspada.

"Dia temanku, namanya Satria. Kenalin, ini Rachel Sat" balasku.

"Senang bisa bertemu denganmu" kata Satria ramah dan menyerahkan tangannya pada Rachel, namun dia tidak membalasnya. Mungkin Rachel masih belum sepenuhnya percaya padanya.

"Gimana Din, kamu menemukan barang-barang disini?" tanya Satria. Aku hanya menggeleng.

"Ya sudah, kita keluar dulu. Saktia sama Melati tadi cemas mendengar suara tembakan itu"

"Melati?" Rachel tampak tercengang saat mendengar ucapan Satria.

"Iya Hel, aku sama Melati selamat dari kejadian itu. Kami bersama-sama bertahan hidup cukup lama sebelum akhirnya kami bertemu mereka"

*****

"Huhuhu, kak Rachel....." mereka saling berpelukan dengan berlinangan air mata. Aku terharu melihat Melati dan Rachel kembali bertemu setelah sekian lama terpisah.

"Melati, aku senang bisa ketemu kamu lagi...."

"Aku juga kak, hiks....."

"Sat, sepertinya kita bermalam dulu disini. Gimana?" tanyaku pada Satria.

"Iya Din, terlalu berbahaya kalau kita lanjutin perjalanan malam-malam"

"Hel, ini ada makanan kamu ambil aja" ucapku kepada Rachel.

"Makasih Din" ia mengambil bungkus makanan dari tanganku dan langsung pergi begitu saja. Aku heran dengan perlakuannya, karena kasihan sekaligus penasaran, kudekati Rachel yang sedang duduk sendirian didekat api unggun.

"Hei, kamu kenapa? kok sendirian?" kataku sambil duduk disampingnya. Bungkus makanan yang kuberikan ia letakkan begitu saja sambil pandangannya terpaku pada bara api.

"Rachel....." kuusap rambut panjangnya yang tergerai namun ia tetap tak merespon. Aku jadi kasihan padanya.

"Rachel, cerita aja apa yang kamu pikirkan sekarang. Aku tak akan...."

"Ini semua salahku Din, karena aku teman-temanmu sudah tiada...." Rachel mulai berbicara padaku dengan suara lirih. "Seharusnya aku relakan saja tubuhku untuk diperkosa manusia bajingan itu bukannya menyetujui untuk memata-matai kelompokmu Din...." Rachel berkata dengan terdengar dengusan napasnya yang menandakan amarahnya.

"Semua itu kulakukan demi keselamatan adikku, namun aku tak menyangka kedepannya seperti ini.... hiks.... hiks...."

"Aku..... aku benci pada diriku sendiri....."

Rachel mulai menjambak rambutnya sendiri dan menangis, langsung kucegah dia dengan menggeser tubuhku lebih dekat dan memeluknya untuk menenangkannya. Tangis Rachel semakin menjadi-jadi yang suaranya tertahan oleh pelukanku.

"Semua ini bukan salahmu Hel, aku paham dengan kesulitanmu. Aku sudah maafkan kamu...." bisikku di telinganya. Kepalanya mengadah dan menatap mataku.

"Ini sudah takdir mereka, memang tak menyangka mereka pergi secepat ini tapi kita tak bisa mencegah hal itu Hel. Kau sudah kuanggap seperti keluargaku sendiri...." ucapku sambil menyeka air matanya yang mengalir, guratan senyum Rachel mulai sedikit terbentuk.

"Dino....."

Tiba-tiba kepalanya bergerak kearah wajahku dan memagut bibirku dengan lembut sekali, awalnya aku terkejut dengan aksinya namun lambat laun aku bisa mengimbanginya. Ciuman ini semakin lama semakin intens bahkan tubuhku sendiri telah rebah ke tanah. Kami saling berpagutan bibir bahkan tubuhku dan tubuh Rachel saling mengalun berirama dengan setiap gulatan lidah kami.

Beberapa saat kemudian pagutan bibir kami terlepas meninggalkan sedikit benang liur yang menggantung. Sepertinya Rachel menyesali perlakuannya yang terlihat dari guratan wajahnya.

"Maaf, seharusnya aku tak lakukan itu...." ucapnya sambil membetulkan posisinya. Aku hanya terdiam saja sambil mengguratkan senyum, aku paham dengan kondisi sekarang dan tak akan sembarangan melakukan hal bodoh itu kepadanya.

Kami kembali berada di posisi semula, duduk berdampingan dengan api unggun yang masih menyala. Hanya aku dan Rachel yang belum merasakan kantuk sedangkan malam semakin larut saja.

"Sekarang cerita ke aku bagaimana kamu bisa bertahan sampai sekarang" ucapku sambil mengelus rambutnya.

*****

"BRRRMMMMMMM"

"Sial, akhirnya idup juga ini mobil" keluh Satria setelah berusaha menghidupkan mobil truk itu, sempat berkali-kali tak bisa hidup padahal bahan bakar masih cukup untuk melakukan perjalanan yang jauh. Setelah kubongkar radiatornya ternyata ada bercak-bercak kulit manusia yang tersangkut didalam mengingat mobil ini sempat menerjang gerombolan mayat hidup.

"Banyak banget darah di radiator ini Sat" ucapku.

"Ya resiko nabrak mahkluk itu kemaren Din, tapi syukurlah masalahnya udah teratasi"

"Ayo, angkut barang-barang ke mobil. Kita berangkat sekarang"

Singkatnya kami melanjutkan perjalanan menuju tujuan yang tertanam pada peta. Awalnya Satria cukup kesulitan mengontrol mobilnya yang mungkin ada sesuatu yang tak beres namun kurasa itu bukan sebuah masalah besar. Melati sedang berdiri menikmati perjalanan ini sedangkan Rachel hanya duduk saja dan terdiam.

"Hel, kenapa?" kataku padanya.

"Entahlah Din, aku masih gak percaya aja bisa bertemu kalian lagi" balasnya lirih. "Saat lapangan golf itu porak-poranda aku langsung pergi begitu saja dan tidak mencari kalian...." tambahnya.

"Sudahlah, aku dan Melati sudah melupakan kejadian itu. Sekarang kita jalani kehidupan ini bersama-sama ya" kataku meyakinkan Rachel. Ia mulai kembali tersenyum.

"Iya kak Rachel, jangan cemberut gitu dong. Melati jadi sedih kalau kakak murung mulu candanya.

"Bisa aja kamu Mel" balas Rachel.

******

"Sepertinya kita akan sampai Din" ucap Satria kepadaku. "Mungkin tinggal beberapa kilometer lagi...."

"Syukurlah kalau gitu"

Aku langsung memberitahu Rachel dan Melati bahwa kita akan sampai ke komunitas yang dijanjikan Satria. Melati tampak senang mendengarnya, namun Rachel justru sebaliknya, raut mukanya tampak waspada dan ia mengokang senjata apinya.

"Dino, apa kamu yakin ada komunitas itu?" tanya Rachel waspada.

"Aku percaya sama mereka Hel. Aku yakin kita akan selamat" balasku optimis meyakinkan Rachel, dia hanya mengangguk saja.

"Entahlah Din, tapi aku belum bisa percaya sama mereka...."

Tiba-tiba truk ini berhenti mendadak, aku langsung berdiri dan memanggil Satria apa yang sedang terjadi.

"Kenapa lagi?" tanyaku kesal.

"Sial, kita tak bisa lewat Din" benar saja, ada beberapa kendaraan menghalangi jalan raya ini sehingga kami terpaksa turun dan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, untung saja sudah tidak jauh lagi, kalau kata Satria.

"Gak apa-apa, sebentar lagi kita akan sampai" ucap Satria.

"Yaudah lah mau gimana lagi"

******

Setelah cukup lama berjalan kaki akhirnya kami semakin dekat dengan tujuan. Sepertinya komunitas itu terletak cukup dekat dari kota kecil kalau dilihat dari peta.

GRRRRRHHHH GGGREAAAHHHHHH

Terdengar suara erangan mayat hidup yang cukup keras bersahut-sahutan tak jauh dari lokasi kami berjalan. Kami mulai bersiap-siap memegang senjata api untuk melawan mahkluk itu namun Satria mempunyai rencana lain.

"Kita masuk ke dalam hutan itu dan memutar, biar mahkluk itu tak melihat kita"

"Hmmm ide bagus"

Kami berjalan memasuki hutan yang terletak di sisi jalan raya, Satria memimpin kelompok kecil ini dan kami mengikutinya dari belakang. Tak lama kemudian kami telah sampai di sebuah komplek pabrik yang cukup besar seperti yang kita singgahi sebelumnya, dan sudah pasti ini adalah komunitas yang Satria maksud.

Namun diluar dugaan, tempat itu dikerubingi mayat hidup dalam jumlah yang cukup banyak. Pemandangan yang kulihat betul-betul mengerikan.

Jadi ini komunitas yang Satria maksud?

"Ini gak salah, memang ini tempat komunitasnya. Tapi kenapa jadi begini...." Satria tampak putus asa melihat kondisi sekarang.

"Kamu punya teropong? aku pinjam" kataku.

"Ini Din" Satria mengambil teropong dari ranselnya dan memberikannya padaku. Mayat-mayat itu berjumlah cukup banyak dan mengerubungi tempat itu. Aku yang masih menggunakan teropong sedikit cemas melihat pemandangan mengerikan itu.

"Kamu yakin Sat, ini tempat yang kamu maksud?" tanyaku.

"Iya Din, tempatnya sudah tepat seperti yang tertanda pada peta. Aku tak mengerti...." balas Satria yang tampak bingung.

"Sialan!" kulihat kembali sekeliling tempat itu menggunakan teropong. Beberapa saat kemudian terdengar suara tembakan yang berasal dari sana, karena penasaran aku melangkah maju untuk memastikan.

Tunggu dulu, itu kan.....

Tak mungkin aku salah lihat, ada beberapa orang yang sedang menembaki mayat-mayat hidup dan mereka sangat aku kenal.....

"Mereka....."

"Mereka masih hidup....."


CREDITS ROLL
 
Trivia (gak banyak kok, beneran.....)

Akhirnya apdet lagi hehe, lebih pendek dari episode sebelumnya ya.
Untuk kedepannya akan banyak kejadian tak terduga, jadi stay tune dan jangan bosen ya hehe

Thank you for reading this episode, and i will see you on the flip side. Stay safe and stay healthy :)
 
Lah Beth? Berarti nanti mati dong melatihnya... Beth kan mati ketembak di hospital yg ada polisinya itu
Semua tokoh di sini bakal mati hu, tergantung penulisnya mau siapa yang mati dan kapan matiinnya wkwkwk. Kayanya maksud dari si author tuh penggambaran tokoh melati di sini sama kaya beth, kalo nasibnya ya belum tentu juga sama kaya beth wkwkwkwk. Tapi ya gatau juga, kembali lagi ke kalimat pertama saya:Peace:
 
Thanx buat updatenya ya hu.....tetap semangat yaaaa
Siap gan
jangan2 nih komunitas yang nyerang lapangan golf
Masak sih? hehe
reuni sama kawan lama nih👀
Moga aja orang-orangnya masih lengkap, tapi gak tau juga kalau nanti ada yang mati/ilang gitu haha
Semua tokoh di sini bakal mati hu, tergantung penulisnya mau siapa yang mati dan kapan matiinnya wkwkwk. Kayanya maksud dari si author tuh penggambaran tokoh melati di sini sama kaya beth, kalo nasibnya ya belum tentu juga sama kaya beth wkwkwkwk. Tapi ya gatau juga, kembali lagi ke kalimat pertama saya:Peace:
Bener kata agan yang ini wkwk. Disini ane kayak pinjem "fisik" tokoh fiksinya aja, sifat/penggambaran tokohnya ane racik sendiri + ambil referensi di sana kemari tapi juga diusahakan sedikit mirip jg kayak versi real life wkwk ( ini yang cukup susah sih, jujur)

Maaf kalo beda sendiri gak kayak cerita2 yg lain
Akhirnya Dino bertemu lg sama mereka hihihi
Tapi harus ngelawan mayat-mayat hidup dulu gan baru bisa ketemu lagi wkwk
Setelah update kok malah makin penasaran ya wkwk
Btw terima kasih buat updatenya hu
Terimakasih apresiasinya gan hehe,
Ditunggu aja episode selanjutnya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd