liliaprince
Suka Semprot
- Daftar
- 10 Jul 2011
- Post
- 12
- Like diterima
- 11
dicopas dari http://temanonani.********.com/2011/02/nagita-slavina.html
Karena ceritanya bagus dan gue ga tau siapa pengarang dan sekuel lainnya, gue post disini
semoga ga repost dan siapa tau ada semproters yang tau pengarang dan sekuel lainnya...
Menurut gue bahasa penulisan dan alurnya bagus..
=================================================================================
Dubai, Dubai, oh Dubai. Sejak pertama kali gue datang kemari gue udah terperangah dengan sistem manajemen kota ini. Tata letak, arsitektur, lalu lintasnya serba tertata membuat gue serasa berada di simulasi komputer aja. Di sini membangun skycrapper kayak menaruh rumah-rumahan monopoli. Seperti ada tangan raksasa yang menaruh mereka sehingga bisa apik kalau dilihat dari kejauhan. Udah gitu bentuknya aneh-aneh lagi. Bentuk-bentuk yang loe bayangkan hanya bisa dipahat atau diukir pada benda seukuran lemari bisa lo temuin ukuran Godzilla-nya di gedung perkantoran sini.
Jadi selain faktor suhu udara yang kayak neraka, gue betah. Gue akan menetap cukup lama. Apalagi sepertinya bisnis di sini tidak sesimpel yang gue bayangin awalnya. Pertama, banyak saingan. Kedua, gue rada nggak ngerti logika dagangnya orang Arab. Mereka kalau markup anggaran itu norak senorak-noraknya. Bisa sampai tiga kali lipat! Gile nggak tuh. Perlu kejelian lebih menghadapi orang-orang ini.
Dan...dan...dan...gue yakin ini akan mengagetkan loe. Gue punya pacar (lagi) sekarang. Hehehe. Lebih tepatnya calon istri sih. Soalnya gue belum ngapa-ngapain sama dia. Gue menganggap dia adalah faktor untuk membuat status sosial gue tampak normal. Gue jadi anak baik-baik di depannya. Walau gimanapun gue tetap berasal dari keluarga Indonesia. Menginjak usia 30 walau dengan tampang 6 tahun lebih muda (ini fakta, Bung)- dan masih melajang sudah pasti membuat orang tua kelenjotan. Ortu gue nggak frontal sih nyuruh gue cepet nikah. Paling cuma ngenalin ama si ini si itu doang. Nah, waktu itu ketika gue ke Jakarta setelah dari Bali gue dikenalin nih sama satu orang.
Namanya Nina. Awalnya gue underestimate. Apaan nih orang? Tapi lama-lama gue tertarik juga. Dia dokter freshgraduate. Manis. Sementara alasan dia mau sama gue tentu selain gue nggak jelek-jelek amat, karena dia rasional aja, butuh duit buat melanjutkan studi spesialisnya. Kalau begitu kenapa gue mau? Ya udahlah...semua orang kan butuh duit, gue suka dia, lagipula kan ini untuk studi, bukan buat ke salon. Alasan utamanya sih karena gue mau dianggap normal aja. Cerita selengkapnya tentang dia dan pertemuan kami ntar menyusul sambil cerita deh...
Kami belum menetapkan tanggal pernikahan. Gue sih nggak mau buru-buru, kita kenal juga belum lama. Mungkin setahun lagi lah. Dia juga kayaknya setuju-setuju aja. Cuma masalah selalu ada di orang tua. Maunya cepet-cepet mulu. Gue sih bisa handle orang tua gue, cuma ada masalah dengan bokap nyokap mereka. Harus gue akui gue belum terlalu sering ketemu mereka. Orang tua gue yang lebih sering. Dari cerita yang gue denger dari Nina, sepertinya orang tuanya itu terus-menerus menanyakan rencana gue. Tepatnya kapan gue ngelamar dia. Terakhir Nina telepon nanyain gue kok nggak pulang-pulang, soalnya papa-mamanya pengen nanya langsung ke gua gitu.
Ya udahlah, Nin. Kamu kan bisa jawab, kita nggak buru-buru, tapi rencana tetap pasti ada.
Aku udah ngomong, tapi mereka nggak sreg kalau nggak denger kamu sendiri yang ngomong ke mereka. Mereka belum yakin.
Hhhh...okelah, akhirnya gue memutuskan untuk balik ke Indonesia sebentar. Gue atur schedule gue. Mungkin gue akan di sana selama dua minggu. Gue berangkat besok sore.
Keesokan harinya sebelum berangkat gue ada meeting terlebih dahulu. Nah di situ itu gue disamperin sama seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai konsul dagang Mesir. Dan dia sangat pengen gue bertemu dengannya empat mata untuk membahas kemungkinan investasi di Kairo. Wah, gue bilang, harus ditunda dulu, karena gue sudah akan terbang ke Jakarta, nanti sore....Dia kecewa, tapi bilang untuk segera menghubunginya begitu ada kesempatan. Gua okein aja.
Gue pulang, membawa koper yang udah gue persiapkan, dan berangkat menuju airport. Sore hari itu gue kembali ke tanah air...
***
Yang jemput gue, udah bisa gue tebak. Adik gue. Dia terlambat lama banget. HP-nya ga bisa dihubungi. Gue telpon rumah katanya dia udah berangkat. Nah, setelah hampir dua jam lebih menunggu, dia datang tergopoh-gopoh...
Sori Bang, macet...banjir...
Ya udah. Kita jalan sekarang, bantuin bawa barang gue.
Kami meninggalkan airport.
Di rumah gue disambut sama bokap-nyokap gue. Setelah ritual kasih oleh-oleh gue ngomong rencana gue di sini sebenarnya mau ngapain.
Aku mau ketemu Papa-Mamanya Nina.
Kapan, Fer?
Belum tahu, lebih cepat lebih bagus...
Malamnya gue telpon Nina. Ternyata di rumah cuma ada nyokapnya, sementara bokapnya sedang ada tugas di luar kota. Tiga hari lagi baru balik. Dan gue harus menunggu.
Akhirnya gue menghabiskan waktu dengan laptop gue. Online. Email. Semua berhubungan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Gue tetep tidur larut walau berada di rumah sendiri.
Semua berjalan normal sampai suatu saat gue merasa ada yang asing di rumah ini. Bokap-nyokap gue tetep seperti itu adanya. Amat jarang di rumah. Tapi ada satu orang lagi yang beberapa kali memberikan kejanggalan di hati gue.
Adik gue. Satu-satunya adik gue. Si Rizki.
Gue baru nyadar udah jarang banget ngomong-ngomong sama dia sejak SMA (atau SMP), singkatnya sejak dia remaja. Seinget gue terakhir main sama dia ya waktu dia masih suka main gimbot or mobil-mobil RC itu. Setelah itu hampir tidak pernah kecuali basa-basi yang garing. Gimana dia sejak jadi ABG gue nggak tahu. Dan gue tentu sudah loss masa-masa itu karena adik gue sekarang sudah kuliah. Gue ngerasa nggak kenal ama adik gue sendiri.
Gue menghela nafas. Mungkin ini saatnya gue mencoba deket sama adik gue. Nggak asyik juga rasanya. Gue mencoba melihat dari sisinya, ditinggal ortu terus, sepi banget di rumah. Cuma ada pembantu yang selalu menghindar kalau diajak ngobrol, sungkan. Coba kalau gue nggak ada. Lebih kayak kuburan ni rumah.
Gue mulai berusaha makan bareng dia, nonton TV, dan tentu saja ngobrol-ngobrol. Dia anak teknik, jadi gue berusaha nyambungin omongan gue ama hal-hal yang berhubungan sama teknologi gitu. Gue adalah bisnismen yang jago mempersuasi klien, jadi jangan tanya gimana progress gue untuk lebih deket sama adik gue ini. Dua hari kemudian kita udah ngakak bareng nonton DVD. Gue masuk ke kamarnya, gue membayangkan isinya masih mobil-mobilan ketika ternyata dugaan gue langsung mentah melihat lemarinya penuh buku-buku tebal, poster band luar negeri menutupi tembok kamar, dan satu bass gitar tergeletak. Gue tanya, Lho main bass ya?. Dia mengangguk dan menunjukkan kebolehannya sedikit. Wew, gue memang melewatkan banyak hal.
Setelah tiga hari gue jalani dengan adik gue, gue menelepon Nina. Berita yang gue denger darinya kurang begitu bagus, karena kepulangan Papanya ditunda tiga hari lagi, yang berarti gue harus menunggu lebih lama. Gue menutup gagang telepon dan langsung menuju kamar, tidur. Tidak ada lembur malam ini. Laptop tetap tertutup rapat.
Esoknya saat sarapan gue melihat adik gue melintas. Gue menegurnya, Oi, gak sarapan dulu lo?
Udah telat, Bang. Dia ngacir keluar.
Bahkan gue yakin dia nggak mandi tadi. Rambut dan raut mukanya semrawut gitu.
Siangnya gue jalan-jalan ke mall bawa laptop. Ganti suasana. Gue beraktivitas di salah satu cafe di mall yang memang didesain khusus untuk orang-orang yang ingin bekerja dengan laptopnya. Seharian gue di sana.
Gue pulang ketika matahari udah tergelincir ke Barat. Di rumah gue melihat ada pembantu gue (yang ngurusin masakan), sudah menata meja. Gue tanya
Bi, kan baru jam segini kok udah dihidangkan?
Iya, Mas Rizki minta disiapin sekarang, katanya mau makan sedikit.
Tepat setelah itu gue melihat Rizki datang dari kamarnya dan langsung mengambil posisi di meja makan. Dandanannya rapi banget, gue melihat rambutnya dan mukanya bersih. Bajunya sih cuma kaos biasa doang.
Mau ngapain lo?
Mo fitnes, Bang.
Buset ye, lo fitnes lebih ganteng daripada lo kuliah.
Dia cuma nyengir ke gue, mengambil beberapa lauk, menyantapnya, dan kemudian pergi keluar rumah..
Gue bengong. Ah..nggak jelas, malemnya gue nelpon Nina lagi. Sempat ngobrol sama Mamanya. Mamanya seneng banget denger gue mau bertemu sama mereka. Dikira gue mau langsung ngelamar kali ya? Waduh...padahal kan gue cuma mau kasih keterangan doang...
Besoknya gue jalan sama Nina. Makan terus nonton. Yah biasalah orang pacaran..Kita jalan sampai jam tiga sore gitu. Waktu gue nganter dia ke rumahnya ada sms, dari adik gue.
Bang, ada tawaran trial gratis di tempat aku fitnes nih, bisa dipake sminggu. Mo ikut ga?
Gue bales, Napa lo ajak gw?
Gak lama kemudian ada pesen lagi, ditawarinnya ke aku. Kan abang masih seminggu di sini kan?
Si Nina nanyain Ada apa, sih?. Gue kasih tahu isi sms ke dia. Dia justru mendorong gue untuk ikut..
Ya udah sana ikut. Kamu juga nggak pernah olahraga kan. Kerjaannya ngurusin bisniiiiiss mulu.
Gue menyerah, oke..oke...Gua sms lagi adik gue, Kapan mule?
Jawabannya kemudian, Nanti juga bisa.
Sorenya gue ketemu adik gue di rumah, dia bilang siap-siapnya sekitar jam enam. Gue iyain aja. Pas jam segitunya gue udah siap pakai kaos oblong sama celana training. Seperti hari sebelumnya, adik gue dandan, wanginya tercium sejak dia masih di kamar dan gue di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, kami berangkat naik mobil.
Nggak macet ni Riz? Gue inget Jakarta jam segini tu najis senajis-najisnya.
Ga pa pa. Deket, kok.
Beneran, kita kena macet, untung omongan adik gue juga nggak salah. Tempatnya lumayan deket sama rumah. Kami parkir di suatu bangunan di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Kami masuk ke dalam naik tangga..
Gue rada nggak pede. Riz, gue udah setua ini, nggak papa nih? Gue seumur-umur nggak pernah fitnes.
Ga papa. Ga keliatan ini. Tempatnya asyik, kok. Banyak artis lho yang fitnes di sini.
Gue teriak..WHAT?!
Dia kaget melihat reaksi gue. Biasanya gue selalu tenang tapi sekarang gue terkejut dan kelihatan sangat gelisah.
Halah, Bang...nyantai aja lah...nggak usah keliatan banget gitu jarang lihat artisnya.
Gue mendengus. Anak-anak tangga itu mendadak terasa begitu berat untuk gue langkahin...
Jarang ketemu artis kata lo?
Hmm...tau ape lu?
Ive already raped four.
Kami telah sampai di lantai atas. Adik gue dengan santainya melintasi pintu masuk yang seluruhnya terdiri dari kaca tembus pandang. Gue cemas. Gue memperhatikan kondisi sekitar. Yah, loe pasti tahu apa yang gue risaukan.
Gimana kalau salah satu dari mereka bertiga atau dia yang gue temui di Bali dulu ada di sini sekarang?
Ayolah, Bang. Masuk.. Adik gue berseru dari dalam.
Gue hati-hati melangkah masuk. Gue memeriksa siapa yang ada di dalam dengan teliti. Gue berjalan nggak jauh-jauh dari tepi ruangan, seperti mencari tempat bersembunyi jika saja gue kurang beruntung malam ini.
Hmmm...Nggak ada.....
Nggak ada.....
Setidaknya sekarang di ruangan yang ini mereka nggak ada.
Gue sedikit tenang..
Adik gue menghampiri gue ditemenin seorang cowok yang badannya keker abis. Gue dikenalin, ternyata dia instrukturnya. Gue dianter ke tempat penitipan barang gitu (loker-loker). Gue ketemu sama penjaganya. Gue memperhatikan cukup lama si penjaga penitipan ini. Orangnya kurus (sangat nggak matching sama fitnes center), rambutnya belah tengah (so oldies), dengan kemeja yang nggak disetrika. Si penjaga ini senyum-senyum aneh ke gua. Gue bengong.
Gue kok merasa agak aneh ya ada penitipan barang di fitnes center. Bukannya lebih mudah kalau disediakan loker aja terus kita masing-masing yang pegang kuncinya? Well, entahlah...
Abis itu gue diperkenalkan sama alat-alat. Terus disuruh pemanasan. Selanjutnya gue dituntun untuk latihan, dikasi tau urutan-urutannya. Gue ngerasa cengok banget.*** papa lah. Pengalaman baru.
Tapi ya, kalau loe pertama kali fitnes maka loe akan merasa tubuh loe mau copot. Gile, itu otot gue rasanya ngilu semua. Gue kayak mau tepar. Adik gue ketawa-ketawa.
Penderitaan gue akhirnya berakhir. Sudah saatnya pulang. Gue mandi, balik ke penitipan barang. Ganti baju. Dan bergegas ke parkiran mobil. Ternyata adik gue belum ada. Ke mana dia?
Gue menunggu beberapa menit. Lah itu dia baru nongol dari atas. Tapi dia ternyata nggak sendirian.
Dia jalan sama cewek.
Gue nggak kenal itu siapa. Tapi dia manis. Gue menebak dia seumuran sama adik gue atau bahkan lebih muda. Mengenakan shirt dan jeans seperti layaknya remaja perempuan pada umumnya di Jakarta gue bisa menilai tubuh cewek ini cukup berisi....cukup montok...
Mereka berpisah sebelum bertemu gue. Gue sedikit kecewa. Gue penasaran aja sama dia. Adik gue datang menghampiri. Dan kami meluncur pulang ke rumah.
Di tengah perjalanan iseng aja gua nanya, Siapa tuh tadi cewek?
Masa ga kenal, Bang? **************. Terkenal tuh, Bang.
O ya? Sinetron? Gue menebak.
Nyanyi juga sekarang. Adik gue menjelaskan.
Terus hubungan dia ama lo apaan?
Ah, Abang mo tau aja. Dia senyum-senyum gak jelas.
Jadi dia alasan kenapa loe jadi centil kalau fitnes padahal dekil kalau berangkat kuliah.
Adik gue ga jawab, senyumnya makin lebar.
Udah lo pacarin?
Adik gue menggeleng.
Kenapa?
Dia jawab Malu, Bang.
Gue ngeplak dahi.
***
Besoknya gue meringis-meringis ngilu. Gara-gara nggak pernah olahraga, sepertinya seluruh otot di badan gue pada memberontak. Sakit. Gue nitip absen fitnes dulu sama adik gue. Si Nina datang ke rumah. Nemenin gue. Semaleman gue tepar.
Hari berikutnya badan gue mendingan. Adik gue meyakinkan bahwa fitnes lagi bisa memperkuat otot gue sehingga nggak lembek kalau dipakai kerja keras. Gue kepengaruh dan ikut dia lagi malamnya. Beneran juga, badan gue jadi lumayan enak waktu work out.
Malam itu lah gue baru nyadar omongan adik gue bahwa memang banyak artis yang fitnes di sini. Gue mendapati beberapa yang gue kenal, dan beberapa yang gue nggak kenal tapi gue yakin dia terkenal karena tampanganya kamera face banget.
Satu orang paling menarik perhatian gue. Cewek yang digebet sama adik gue sendiri. Kebetulan waktu gue lagi tread mill, dia ada di sebelah gue memainkan alat yang sama. Gue sok-sok nggak perhatiin dia. Padahal diem-diem gue ngelirik. Kaus abu-abunya ada bercak gelap basah terkena keringat. Gue memberanikan diri untuk lebih lama menatap wajahnya. Manis...peluh meluncur melintasi pipinya menuju dagunya. Ada tahi lalat kecil di deket dagunya. Kemudian gue menatap lehernya pun basah. Satu butir keringat menetes masuk ke bawah, masuk ke baju. Pandangan gue tertuju pada apa yang menonjol di kaus itu. Payudaranya luar biasa... Kedua tangan gue meremas pegangan treadmill lebih kencang. Ah seandainya gue bisa meremas yang itu..Ahhh...
Dia menoleh ke arah gue. Gue salah tingkah dan pura-pura menunduk...Hening...
Gue capek, ngasih kode ke adik gue kalau gue pengen pulang. Adik gue ngangguk. Gue mandi dan pergi ke penitipan. Di sana gue menemukan adik gue sedang bersama cewek yang membuat gue sedikit bangkit nafsu waktu treadmill tadi..
Adik gue ngelihat gue datang...langsung ngenalin gue ke dia...
Gi..ini Abang gue, namanya Feri.
Dia senyum menyalami gue, tangan lembut itu menyentuh telapak tangan gue..
"Gigi.." katanya lembut..
Gigi? Tanya gue sambil senyum lebar menunjukkan gigi-gigi gue.
Adik gue ketawa nggak ikhlas, Abang gue garing, Gi.
Hmmm, thanks...
Mereka turun duluan soalnya sudah mengambil titipan lebih dulu. Gue masih membereskan tas gue. Si penjaga penitipan tiba-tiba berbisik ke gue...
Montok tenan yo Mas?
Gue bingung, Siapa?
Yo yang tadi itu..
Gue pasang senyum sopan, menyingkir..
Selanjutnya gue kembali bersama adik gue menyusuri jalan Jakarta pulang ke rumah..
Gue membuka obrolan...Yang njaga penitipan tadi orangnya serem banget yak?
Adik gue jawab, Wah dia udah kasus dari dulu, Bang. Orangnya gatel gitu kan? Dia dulu pernah ketahuan ngintipin cewek-cewek yang fitnes di situ. Si Gigi juga pernah hampir aja diintipin. Abang lihat aja dia kalo ngeliat si Gigi gimana. Norak banget. Jelalatan. Mupeng-mupeng ga jelas. Kayak mau nerkam gitu.
Parah juga tuh. Gue berkomentar.
Udah komplain sih kita ke bosnya. Gue denger dia cuma dipertahankan sampai bulan ini aja.
Hmmm....Ati-ati aja sih. Orang maniak seperti itu memang bisa ngapain aja kalau ada kesempatan. Gue juga kenal satu orang Gue bergumam.
Siapa? Abang, ya? Adik gue tertawa.
Gue juga ketawa.
Emang iya. Gue.
Pagi hari berikutnya, gue melakukan rutinitas seperti biasa. Sekarang kalau matahari mulai terbenam, ada aktivitas yang gue tunggu. Fitnes! Setidaknya itu dalam pikiran gue. Tapi sore ini ternyata gue mendapati adik gue malah duduk selonjoran di ruang tengah nonton TV.
Lhah, nggak fitnes?
Nggak ah, Bang kalo hari ini. Abang aja kalo mau sendiri.
Gue heran, Ada apa dengan hari ini?
Kalo hari ini si Gigi nggak fitnes, dia ada kuliah malam.
Hmmm..... gue menggeram datar.
Jadi, lo fitnes cuma gara-gara dia doang?
Ya nggak lah, Bang. Cuma kan yah kayak Abang nggak tau aja sih. Pokoknya nggak semangat.
Gue merebahkan diri gue di sofa, duduk di sebelahnya.
Gue menghela nafas,..hhh... cakep ya dia..
Adik gue ngeliatin gue, Iya, udah gitu pinter lagi..
Pinter?
Iya, Bang.
Dan lo tau, setelah itu adik gue nyerocos panjaaaaaaang banget soal gebetannya ini. Lengkap bo. Dari sinetron yang ia mainin, sekarang kuliah di mana (satu universitas sama adik gue), dan pertemuan tidak sengaja mereka di fitnes center. Jadi menurut cerita adik gue, keikutsertaan Gigi di fitnes awalnya cuma iseng. Eh, akhirnya keterusan. Adik gue cerita gimana dia bisa melihat perubahan drastis dari Gigi yang dulu sedikit gendut sekarang menjadi lebih langsing, berisi.
Gue ngebayangin yang nggak-nggak. Ya, tubuhnya yang sekarang memang terbentuk indah. Tidak kurus, namun berisi. Montok. Implikasi yang paling terlihat tentu adalah ...susunya, yang selalu mengencerkan imajinasi kotor gue tatkala berpapasan dengannya di fitnes center.
Malamnya gue sibuk dengan laptop gue di ruang tengah. Sekalian nemenin adik gue nonton MTV. Malam semakin larut. Adik gue ngantuk, pamit tidur. Dia masuk kamar. Gue memandang arah kamarnya. Gue teringat sesuatu. Gue buka browser internet, buka search engine, dan mengetikkan satu nama:
**************...
enter....
ada beberapa entry yang muncul...
***
Hari berikutnya giliran adik gue yang bersemangat ngajakin fitnes. Ini gue artikan si Gigi juga fitnes malem ini. Gue ikut. Kami kembali meluncur.
Di fitnes center segalanya berjalan wajar. Gue menjalani latihan seperti sebelumnya. Sesekali gue melongok sekitar, mencari Gigi. Kok nggak ada ya?
Oh itu dia, di seberang sana. Pas sekali sudut pemandangannya, pikir gue. Latihan gue menjadi semakin menyenangkan...
Gue mendapatkan banyak informasi tentang dia tadi malam di internet. Dia akting, dia menyanyi, dia juga sesekali menjadi co-producer, hal yang paling diinget darinya adalah imej kekanak-kanakan atau lemot, yang kabarnya memang tidak berbeda jauh denghan watak aslinya. Gue bisa merasakan itu sih, walau gue nggak pernah ngobrol langsung sama dia. Gue memperhatikan itu saat dia ngobrol sama temen-temennya atau sama adik gue. Kadang-kadang memang ia terlihat childish. Itu juga ditunjang dengan tampangnya yang imut..
Gue mulai merasakan sesuatu yang aneh...
Sepertinya gue bernafsu...
Ah, tapi gue sudah cek di internet kemarin malam...dia bukanlah korban yang layak buat gue. Gue tidak menemukan track record yang buruk. Dia gadis baik-baik...Lagipula adik gue sayang sama dia..Jadi...ahh...sudahlah, gue lupain aja..
Gue mengenyahkan pikiran-pikiran jahat gue ke dia..
Gue nggak boleh melakukan kesenangan gue itu terhadapnya.
Begitulah...
Selesai latihan, bersiap-siap pulang. Gue turun ke bawah, ke parkiran mobil. Surprise buat gue: sudah ada adik gue menunggu di sana! Wei, tumben! Biasanya kan gue yang harus nungguin dia. Dia masuk ke mobil, gue menyusul.
Di dalem mobil baru gue menyadari ada yang nggak beres sama adik gue. Wajahnya ditekuk, masam. Sama sekali nggak bersahabat.
Kenapa lo? gue tanya. Dia diem.
Kebingungan gue nggak bertahan lama, karena tepat di depan mobil kami lewat si Gigi..
.......dengan cowok lain...
Gue perhatiin tampang cowoknya. Dia tinggi.. Cukup good-looking. Dan sepertinya anak orang berada. Well, gue beasumsi sepert itu saat si cowok memencet alarm mobil, dan sebuah Benz menyalak di seberang mobil kami. Si cowok membukakan pintu untuk Gigi, dan cewek itu melenggang duduk manis di kursi depan samping sopir, tepat menghadap kami. Si cowok masuk dalam bangku sopir. Menatap kami....
Menatap Rizki, adik gue...
Lampu sedan itu menyala, suara mesin menderu, ban bergulir bergesekan dengan aspal. Mobil itu meninggalkan pelataran parkiran.
Gue nelen ludah, menoleh ke arah Rizki.
Riz, gue aja yang nyetir ya?
**
Karena ceritanya bagus dan gue ga tau siapa pengarang dan sekuel lainnya, gue post disini
semoga ga repost dan siapa tau ada semproters yang tau pengarang dan sekuel lainnya...
Menurut gue bahasa penulisan dan alurnya bagus..
=================================================================================
Dubai, Dubai, oh Dubai. Sejak pertama kali gue datang kemari gue udah terperangah dengan sistem manajemen kota ini. Tata letak, arsitektur, lalu lintasnya serba tertata membuat gue serasa berada di simulasi komputer aja. Di sini membangun skycrapper kayak menaruh rumah-rumahan monopoli. Seperti ada tangan raksasa yang menaruh mereka sehingga bisa apik kalau dilihat dari kejauhan. Udah gitu bentuknya aneh-aneh lagi. Bentuk-bentuk yang loe bayangkan hanya bisa dipahat atau diukir pada benda seukuran lemari bisa lo temuin ukuran Godzilla-nya di gedung perkantoran sini.
Jadi selain faktor suhu udara yang kayak neraka, gue betah. Gue akan menetap cukup lama. Apalagi sepertinya bisnis di sini tidak sesimpel yang gue bayangin awalnya. Pertama, banyak saingan. Kedua, gue rada nggak ngerti logika dagangnya orang Arab. Mereka kalau markup anggaran itu norak senorak-noraknya. Bisa sampai tiga kali lipat! Gile nggak tuh. Perlu kejelian lebih menghadapi orang-orang ini.
Dan...dan...dan...gue yakin ini akan mengagetkan loe. Gue punya pacar (lagi) sekarang. Hehehe. Lebih tepatnya calon istri sih. Soalnya gue belum ngapa-ngapain sama dia. Gue menganggap dia adalah faktor untuk membuat status sosial gue tampak normal. Gue jadi anak baik-baik di depannya. Walau gimanapun gue tetap berasal dari keluarga Indonesia. Menginjak usia 30 walau dengan tampang 6 tahun lebih muda (ini fakta, Bung)- dan masih melajang sudah pasti membuat orang tua kelenjotan. Ortu gue nggak frontal sih nyuruh gue cepet nikah. Paling cuma ngenalin ama si ini si itu doang. Nah, waktu itu ketika gue ke Jakarta setelah dari Bali gue dikenalin nih sama satu orang.
Namanya Nina. Awalnya gue underestimate. Apaan nih orang? Tapi lama-lama gue tertarik juga. Dia dokter freshgraduate. Manis. Sementara alasan dia mau sama gue tentu selain gue nggak jelek-jelek amat, karena dia rasional aja, butuh duit buat melanjutkan studi spesialisnya. Kalau begitu kenapa gue mau? Ya udahlah...semua orang kan butuh duit, gue suka dia, lagipula kan ini untuk studi, bukan buat ke salon. Alasan utamanya sih karena gue mau dianggap normal aja. Cerita selengkapnya tentang dia dan pertemuan kami ntar menyusul sambil cerita deh...
Kami belum menetapkan tanggal pernikahan. Gue sih nggak mau buru-buru, kita kenal juga belum lama. Mungkin setahun lagi lah. Dia juga kayaknya setuju-setuju aja. Cuma masalah selalu ada di orang tua. Maunya cepet-cepet mulu. Gue sih bisa handle orang tua gue, cuma ada masalah dengan bokap nyokap mereka. Harus gue akui gue belum terlalu sering ketemu mereka. Orang tua gue yang lebih sering. Dari cerita yang gue denger dari Nina, sepertinya orang tuanya itu terus-menerus menanyakan rencana gue. Tepatnya kapan gue ngelamar dia. Terakhir Nina telepon nanyain gue kok nggak pulang-pulang, soalnya papa-mamanya pengen nanya langsung ke gua gitu.
Ya udahlah, Nin. Kamu kan bisa jawab, kita nggak buru-buru, tapi rencana tetap pasti ada.
Aku udah ngomong, tapi mereka nggak sreg kalau nggak denger kamu sendiri yang ngomong ke mereka. Mereka belum yakin.
Hhhh...okelah, akhirnya gue memutuskan untuk balik ke Indonesia sebentar. Gue atur schedule gue. Mungkin gue akan di sana selama dua minggu. Gue berangkat besok sore.
Keesokan harinya sebelum berangkat gue ada meeting terlebih dahulu. Nah di situ itu gue disamperin sama seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai konsul dagang Mesir. Dan dia sangat pengen gue bertemu dengannya empat mata untuk membahas kemungkinan investasi di Kairo. Wah, gue bilang, harus ditunda dulu, karena gue sudah akan terbang ke Jakarta, nanti sore....Dia kecewa, tapi bilang untuk segera menghubunginya begitu ada kesempatan. Gua okein aja.
Gue pulang, membawa koper yang udah gue persiapkan, dan berangkat menuju airport. Sore hari itu gue kembali ke tanah air...
***
Yang jemput gue, udah bisa gue tebak. Adik gue. Dia terlambat lama banget. HP-nya ga bisa dihubungi. Gue telpon rumah katanya dia udah berangkat. Nah, setelah hampir dua jam lebih menunggu, dia datang tergopoh-gopoh...
Sori Bang, macet...banjir...
Ya udah. Kita jalan sekarang, bantuin bawa barang gue.
Kami meninggalkan airport.
Di rumah gue disambut sama bokap-nyokap gue. Setelah ritual kasih oleh-oleh gue ngomong rencana gue di sini sebenarnya mau ngapain.
Aku mau ketemu Papa-Mamanya Nina.
Kapan, Fer?
Belum tahu, lebih cepat lebih bagus...
Malamnya gue telpon Nina. Ternyata di rumah cuma ada nyokapnya, sementara bokapnya sedang ada tugas di luar kota. Tiga hari lagi baru balik. Dan gue harus menunggu.
Akhirnya gue menghabiskan waktu dengan laptop gue. Online. Email. Semua berhubungan dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Gue tetep tidur larut walau berada di rumah sendiri.
Semua berjalan normal sampai suatu saat gue merasa ada yang asing di rumah ini. Bokap-nyokap gue tetep seperti itu adanya. Amat jarang di rumah. Tapi ada satu orang lagi yang beberapa kali memberikan kejanggalan di hati gue.
Adik gue. Satu-satunya adik gue. Si Rizki.
Gue baru nyadar udah jarang banget ngomong-ngomong sama dia sejak SMA (atau SMP), singkatnya sejak dia remaja. Seinget gue terakhir main sama dia ya waktu dia masih suka main gimbot or mobil-mobil RC itu. Setelah itu hampir tidak pernah kecuali basa-basi yang garing. Gimana dia sejak jadi ABG gue nggak tahu. Dan gue tentu sudah loss masa-masa itu karena adik gue sekarang sudah kuliah. Gue ngerasa nggak kenal ama adik gue sendiri.
Gue menghela nafas. Mungkin ini saatnya gue mencoba deket sama adik gue. Nggak asyik juga rasanya. Gue mencoba melihat dari sisinya, ditinggal ortu terus, sepi banget di rumah. Cuma ada pembantu yang selalu menghindar kalau diajak ngobrol, sungkan. Coba kalau gue nggak ada. Lebih kayak kuburan ni rumah.
Gue mulai berusaha makan bareng dia, nonton TV, dan tentu saja ngobrol-ngobrol. Dia anak teknik, jadi gue berusaha nyambungin omongan gue ama hal-hal yang berhubungan sama teknologi gitu. Gue adalah bisnismen yang jago mempersuasi klien, jadi jangan tanya gimana progress gue untuk lebih deket sama adik gue ini. Dua hari kemudian kita udah ngakak bareng nonton DVD. Gue masuk ke kamarnya, gue membayangkan isinya masih mobil-mobilan ketika ternyata dugaan gue langsung mentah melihat lemarinya penuh buku-buku tebal, poster band luar negeri menutupi tembok kamar, dan satu bass gitar tergeletak. Gue tanya, Lho main bass ya?. Dia mengangguk dan menunjukkan kebolehannya sedikit. Wew, gue memang melewatkan banyak hal.
Setelah tiga hari gue jalani dengan adik gue, gue menelepon Nina. Berita yang gue denger darinya kurang begitu bagus, karena kepulangan Papanya ditunda tiga hari lagi, yang berarti gue harus menunggu lebih lama. Gue menutup gagang telepon dan langsung menuju kamar, tidur. Tidak ada lembur malam ini. Laptop tetap tertutup rapat.
Esoknya saat sarapan gue melihat adik gue melintas. Gue menegurnya, Oi, gak sarapan dulu lo?
Udah telat, Bang. Dia ngacir keluar.
Bahkan gue yakin dia nggak mandi tadi. Rambut dan raut mukanya semrawut gitu.
Siangnya gue jalan-jalan ke mall bawa laptop. Ganti suasana. Gue beraktivitas di salah satu cafe di mall yang memang didesain khusus untuk orang-orang yang ingin bekerja dengan laptopnya. Seharian gue di sana.
Gue pulang ketika matahari udah tergelincir ke Barat. Di rumah gue melihat ada pembantu gue (yang ngurusin masakan), sudah menata meja. Gue tanya
Bi, kan baru jam segini kok udah dihidangkan?
Iya, Mas Rizki minta disiapin sekarang, katanya mau makan sedikit.
Tepat setelah itu gue melihat Rizki datang dari kamarnya dan langsung mengambil posisi di meja makan. Dandanannya rapi banget, gue melihat rambutnya dan mukanya bersih. Bajunya sih cuma kaos biasa doang.
Mau ngapain lo?
Mo fitnes, Bang.
Buset ye, lo fitnes lebih ganteng daripada lo kuliah.
Dia cuma nyengir ke gue, mengambil beberapa lauk, menyantapnya, dan kemudian pergi keluar rumah..
Gue bengong. Ah..nggak jelas, malemnya gue nelpon Nina lagi. Sempat ngobrol sama Mamanya. Mamanya seneng banget denger gue mau bertemu sama mereka. Dikira gue mau langsung ngelamar kali ya? Waduh...padahal kan gue cuma mau kasih keterangan doang...
Besoknya gue jalan sama Nina. Makan terus nonton. Yah biasalah orang pacaran..Kita jalan sampai jam tiga sore gitu. Waktu gue nganter dia ke rumahnya ada sms, dari adik gue.
Bang, ada tawaran trial gratis di tempat aku fitnes nih, bisa dipake sminggu. Mo ikut ga?
Gue bales, Napa lo ajak gw?
Gak lama kemudian ada pesen lagi, ditawarinnya ke aku. Kan abang masih seminggu di sini kan?
Si Nina nanyain Ada apa, sih?. Gue kasih tahu isi sms ke dia. Dia justru mendorong gue untuk ikut..
Ya udah sana ikut. Kamu juga nggak pernah olahraga kan. Kerjaannya ngurusin bisniiiiiss mulu.
Gue menyerah, oke..oke...Gua sms lagi adik gue, Kapan mule?
Jawabannya kemudian, Nanti juga bisa.
Sorenya gue ketemu adik gue di rumah, dia bilang siap-siapnya sekitar jam enam. Gue iyain aja. Pas jam segitunya gue udah siap pakai kaos oblong sama celana training. Seperti hari sebelumnya, adik gue dandan, wanginya tercium sejak dia masih di kamar dan gue di ruang tamu. Beberapa saat kemudian, kami berangkat naik mobil.
Nggak macet ni Riz? Gue inget Jakarta jam segini tu najis senajis-najisnya.
Ga pa pa. Deket, kok.
Beneran, kita kena macet, untung omongan adik gue juga nggak salah. Tempatnya lumayan deket sama rumah. Kami parkir di suatu bangunan di tengah-tengah pusat perbelanjaan. Kami masuk ke dalam naik tangga..
Gue rada nggak pede. Riz, gue udah setua ini, nggak papa nih? Gue seumur-umur nggak pernah fitnes.
Ga papa. Ga keliatan ini. Tempatnya asyik, kok. Banyak artis lho yang fitnes di sini.
Gue teriak..WHAT?!
Dia kaget melihat reaksi gue. Biasanya gue selalu tenang tapi sekarang gue terkejut dan kelihatan sangat gelisah.
Halah, Bang...nyantai aja lah...nggak usah keliatan banget gitu jarang lihat artisnya.
Gue mendengus. Anak-anak tangga itu mendadak terasa begitu berat untuk gue langkahin...
Jarang ketemu artis kata lo?
Hmm...tau ape lu?
Ive already raped four.
Kami telah sampai di lantai atas. Adik gue dengan santainya melintasi pintu masuk yang seluruhnya terdiri dari kaca tembus pandang. Gue cemas. Gue memperhatikan kondisi sekitar. Yah, loe pasti tahu apa yang gue risaukan.
Gimana kalau salah satu dari mereka bertiga atau dia yang gue temui di Bali dulu ada di sini sekarang?
Ayolah, Bang. Masuk.. Adik gue berseru dari dalam.
Gue hati-hati melangkah masuk. Gue memeriksa siapa yang ada di dalam dengan teliti. Gue berjalan nggak jauh-jauh dari tepi ruangan, seperti mencari tempat bersembunyi jika saja gue kurang beruntung malam ini.
Hmmm...Nggak ada.....
Nggak ada.....
Setidaknya sekarang di ruangan yang ini mereka nggak ada.
Gue sedikit tenang..
Adik gue menghampiri gue ditemenin seorang cowok yang badannya keker abis. Gue dikenalin, ternyata dia instrukturnya. Gue dianter ke tempat penitipan barang gitu (loker-loker). Gue ketemu sama penjaganya. Gue memperhatikan cukup lama si penjaga penitipan ini. Orangnya kurus (sangat nggak matching sama fitnes center), rambutnya belah tengah (so oldies), dengan kemeja yang nggak disetrika. Si penjaga ini senyum-senyum aneh ke gua. Gue bengong.
Gue kok merasa agak aneh ya ada penitipan barang di fitnes center. Bukannya lebih mudah kalau disediakan loker aja terus kita masing-masing yang pegang kuncinya? Well, entahlah...
Abis itu gue diperkenalkan sama alat-alat. Terus disuruh pemanasan. Selanjutnya gue dituntun untuk latihan, dikasi tau urutan-urutannya. Gue ngerasa cengok banget.*** papa lah. Pengalaman baru.
Tapi ya, kalau loe pertama kali fitnes maka loe akan merasa tubuh loe mau copot. Gile, itu otot gue rasanya ngilu semua. Gue kayak mau tepar. Adik gue ketawa-ketawa.
Penderitaan gue akhirnya berakhir. Sudah saatnya pulang. Gue mandi, balik ke penitipan barang. Ganti baju. Dan bergegas ke parkiran mobil. Ternyata adik gue belum ada. Ke mana dia?
Gue menunggu beberapa menit. Lah itu dia baru nongol dari atas. Tapi dia ternyata nggak sendirian.
Dia jalan sama cewek.
Gue nggak kenal itu siapa. Tapi dia manis. Gue menebak dia seumuran sama adik gue atau bahkan lebih muda. Mengenakan shirt dan jeans seperti layaknya remaja perempuan pada umumnya di Jakarta gue bisa menilai tubuh cewek ini cukup berisi....cukup montok...
Mereka berpisah sebelum bertemu gue. Gue sedikit kecewa. Gue penasaran aja sama dia. Adik gue datang menghampiri. Dan kami meluncur pulang ke rumah.
Di tengah perjalanan iseng aja gua nanya, Siapa tuh tadi cewek?
Masa ga kenal, Bang? **************. Terkenal tuh, Bang.
O ya? Sinetron? Gue menebak.
Nyanyi juga sekarang. Adik gue menjelaskan.
Terus hubungan dia ama lo apaan?
Ah, Abang mo tau aja. Dia senyum-senyum gak jelas.
Jadi dia alasan kenapa loe jadi centil kalau fitnes padahal dekil kalau berangkat kuliah.
Adik gue ga jawab, senyumnya makin lebar.
Udah lo pacarin?
Adik gue menggeleng.
Kenapa?
Dia jawab Malu, Bang.
Gue ngeplak dahi.
***
Besoknya gue meringis-meringis ngilu. Gara-gara nggak pernah olahraga, sepertinya seluruh otot di badan gue pada memberontak. Sakit. Gue nitip absen fitnes dulu sama adik gue. Si Nina datang ke rumah. Nemenin gue. Semaleman gue tepar.
Hari berikutnya badan gue mendingan. Adik gue meyakinkan bahwa fitnes lagi bisa memperkuat otot gue sehingga nggak lembek kalau dipakai kerja keras. Gue kepengaruh dan ikut dia lagi malamnya. Beneran juga, badan gue jadi lumayan enak waktu work out.
Malam itu lah gue baru nyadar omongan adik gue bahwa memang banyak artis yang fitnes di sini. Gue mendapati beberapa yang gue kenal, dan beberapa yang gue nggak kenal tapi gue yakin dia terkenal karena tampanganya kamera face banget.
Satu orang paling menarik perhatian gue. Cewek yang digebet sama adik gue sendiri. Kebetulan waktu gue lagi tread mill, dia ada di sebelah gue memainkan alat yang sama. Gue sok-sok nggak perhatiin dia. Padahal diem-diem gue ngelirik. Kaus abu-abunya ada bercak gelap basah terkena keringat. Gue memberanikan diri untuk lebih lama menatap wajahnya. Manis...peluh meluncur melintasi pipinya menuju dagunya. Ada tahi lalat kecil di deket dagunya. Kemudian gue menatap lehernya pun basah. Satu butir keringat menetes masuk ke bawah, masuk ke baju. Pandangan gue tertuju pada apa yang menonjol di kaus itu. Payudaranya luar biasa... Kedua tangan gue meremas pegangan treadmill lebih kencang. Ah seandainya gue bisa meremas yang itu..Ahhh...
Dia menoleh ke arah gue. Gue salah tingkah dan pura-pura menunduk...Hening...
Gue capek, ngasih kode ke adik gue kalau gue pengen pulang. Adik gue ngangguk. Gue mandi dan pergi ke penitipan. Di sana gue menemukan adik gue sedang bersama cewek yang membuat gue sedikit bangkit nafsu waktu treadmill tadi..
Adik gue ngelihat gue datang...langsung ngenalin gue ke dia...
Gi..ini Abang gue, namanya Feri.
Dia senyum menyalami gue, tangan lembut itu menyentuh telapak tangan gue..
"Gigi.." katanya lembut..
Gigi? Tanya gue sambil senyum lebar menunjukkan gigi-gigi gue.
Adik gue ketawa nggak ikhlas, Abang gue garing, Gi.
Hmmm, thanks...
Mereka turun duluan soalnya sudah mengambil titipan lebih dulu. Gue masih membereskan tas gue. Si penjaga penitipan tiba-tiba berbisik ke gue...
Montok tenan yo Mas?
Gue bingung, Siapa?
Yo yang tadi itu..
Gue pasang senyum sopan, menyingkir..
Selanjutnya gue kembali bersama adik gue menyusuri jalan Jakarta pulang ke rumah..
Gue membuka obrolan...Yang njaga penitipan tadi orangnya serem banget yak?
Adik gue jawab, Wah dia udah kasus dari dulu, Bang. Orangnya gatel gitu kan? Dia dulu pernah ketahuan ngintipin cewek-cewek yang fitnes di situ. Si Gigi juga pernah hampir aja diintipin. Abang lihat aja dia kalo ngeliat si Gigi gimana. Norak banget. Jelalatan. Mupeng-mupeng ga jelas. Kayak mau nerkam gitu.
Parah juga tuh. Gue berkomentar.
Udah komplain sih kita ke bosnya. Gue denger dia cuma dipertahankan sampai bulan ini aja.
Hmmm....Ati-ati aja sih. Orang maniak seperti itu memang bisa ngapain aja kalau ada kesempatan. Gue juga kenal satu orang Gue bergumam.
Siapa? Abang, ya? Adik gue tertawa.
Gue juga ketawa.
Emang iya. Gue.
Pagi hari berikutnya, gue melakukan rutinitas seperti biasa. Sekarang kalau matahari mulai terbenam, ada aktivitas yang gue tunggu. Fitnes! Setidaknya itu dalam pikiran gue. Tapi sore ini ternyata gue mendapati adik gue malah duduk selonjoran di ruang tengah nonton TV.
Lhah, nggak fitnes?
Nggak ah, Bang kalo hari ini. Abang aja kalo mau sendiri.
Gue heran, Ada apa dengan hari ini?
Kalo hari ini si Gigi nggak fitnes, dia ada kuliah malam.
Hmmm..... gue menggeram datar.
Jadi, lo fitnes cuma gara-gara dia doang?
Ya nggak lah, Bang. Cuma kan yah kayak Abang nggak tau aja sih. Pokoknya nggak semangat.
Gue merebahkan diri gue di sofa, duduk di sebelahnya.
Gue menghela nafas,..hhh... cakep ya dia..
Adik gue ngeliatin gue, Iya, udah gitu pinter lagi..
Pinter?
Iya, Bang.
Dan lo tau, setelah itu adik gue nyerocos panjaaaaaaang banget soal gebetannya ini. Lengkap bo. Dari sinetron yang ia mainin, sekarang kuliah di mana (satu universitas sama adik gue), dan pertemuan tidak sengaja mereka di fitnes center. Jadi menurut cerita adik gue, keikutsertaan Gigi di fitnes awalnya cuma iseng. Eh, akhirnya keterusan. Adik gue cerita gimana dia bisa melihat perubahan drastis dari Gigi yang dulu sedikit gendut sekarang menjadi lebih langsing, berisi.
Gue ngebayangin yang nggak-nggak. Ya, tubuhnya yang sekarang memang terbentuk indah. Tidak kurus, namun berisi. Montok. Implikasi yang paling terlihat tentu adalah ...susunya, yang selalu mengencerkan imajinasi kotor gue tatkala berpapasan dengannya di fitnes center.
Malamnya gue sibuk dengan laptop gue di ruang tengah. Sekalian nemenin adik gue nonton MTV. Malam semakin larut. Adik gue ngantuk, pamit tidur. Dia masuk kamar. Gue memandang arah kamarnya. Gue teringat sesuatu. Gue buka browser internet, buka search engine, dan mengetikkan satu nama:
**************...
enter....
ada beberapa entry yang muncul...
***
Hari berikutnya giliran adik gue yang bersemangat ngajakin fitnes. Ini gue artikan si Gigi juga fitnes malem ini. Gue ikut. Kami kembali meluncur.
Di fitnes center segalanya berjalan wajar. Gue menjalani latihan seperti sebelumnya. Sesekali gue melongok sekitar, mencari Gigi. Kok nggak ada ya?
Oh itu dia, di seberang sana. Pas sekali sudut pemandangannya, pikir gue. Latihan gue menjadi semakin menyenangkan...
Gue mendapatkan banyak informasi tentang dia tadi malam di internet. Dia akting, dia menyanyi, dia juga sesekali menjadi co-producer, hal yang paling diinget darinya adalah imej kekanak-kanakan atau lemot, yang kabarnya memang tidak berbeda jauh denghan watak aslinya. Gue bisa merasakan itu sih, walau gue nggak pernah ngobrol langsung sama dia. Gue memperhatikan itu saat dia ngobrol sama temen-temennya atau sama adik gue. Kadang-kadang memang ia terlihat childish. Itu juga ditunjang dengan tampangnya yang imut..
Gue mulai merasakan sesuatu yang aneh...
Sepertinya gue bernafsu...
Ah, tapi gue sudah cek di internet kemarin malam...dia bukanlah korban yang layak buat gue. Gue tidak menemukan track record yang buruk. Dia gadis baik-baik...Lagipula adik gue sayang sama dia..Jadi...ahh...sudahlah, gue lupain aja..
Gue mengenyahkan pikiran-pikiran jahat gue ke dia..
Gue nggak boleh melakukan kesenangan gue itu terhadapnya.
Begitulah...
Selesai latihan, bersiap-siap pulang. Gue turun ke bawah, ke parkiran mobil. Surprise buat gue: sudah ada adik gue menunggu di sana! Wei, tumben! Biasanya kan gue yang harus nungguin dia. Dia masuk ke mobil, gue menyusul.
Di dalem mobil baru gue menyadari ada yang nggak beres sama adik gue. Wajahnya ditekuk, masam. Sama sekali nggak bersahabat.
Kenapa lo? gue tanya. Dia diem.
Kebingungan gue nggak bertahan lama, karena tepat di depan mobil kami lewat si Gigi..
.......dengan cowok lain...
Gue perhatiin tampang cowoknya. Dia tinggi.. Cukup good-looking. Dan sepertinya anak orang berada. Well, gue beasumsi sepert itu saat si cowok memencet alarm mobil, dan sebuah Benz menyalak di seberang mobil kami. Si cowok membukakan pintu untuk Gigi, dan cewek itu melenggang duduk manis di kursi depan samping sopir, tepat menghadap kami. Si cowok masuk dalam bangku sopir. Menatap kami....
Menatap Rizki, adik gue...
Lampu sedan itu menyala, suara mesin menderu, ban bergulir bergesekan dengan aspal. Mobil itu meninggalkan pelataran parkiran.
Gue nelen ludah, menoleh ke arah Rizki.
Riz, gue aja yang nyetir ya?
**