Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Affair(s): Season 1

XII:
The One That Got Away
(part 1)




“Used to steal your parent’s liquor, and climb to the roof. Talk about our future like we had a clue. Never planned that one day, I’d be losing you.

In another life, I would be your girl. We keep all our promises, be us against the world. In another life, I would make you stay. So I don't have to say, you were the one that got away.”

— Lyrics from The One That Got Away, a song by Katty Perry.





=Nendra=


Lagi-lagi, mobil yang gue kendarai berhasil sampe ke finish line dua detik lebih cepat dari mobil milik lawan balapan gue sekarang. Gue menang lagi, dan udah yang kelima kalinya malem ini. Ups, bangganya nanti dulu. Gue masih ngebut banget sekarang. Harus turunin kecepatan, dan ngerem perlahan sambil oper gigi.

Dalam konteks balapan, satuan detik sering dipake untuk mengukur selisih jarak kendaraan yang ada di depan atau belakang. Di drag race 400 meter, tiap satu detik mewakili 20 sampai 40 meter; tergantung dari jenis mobilnya juga. Karena setiap mobil punya angka performa terbaiknya untuk mengukur akselerasi dari kecepatan 0 sampai 100 km/jam, maka semakin cepat kemampuan akselerasi mobilnya, makin sedikit waktu yang dibutuhin untuk mencapai angka 100 km/h—dengan kata lain, semakin sedikit waktu yang dibutuhin untuk mencapai top speed.

Dan gue, dengan mobil Mustang Cobra yang lagi gue setirin ini, bisa bikin gap 2 detik dari Mazda RX-8, yang diklaim bisa berakselerasi pada kecepatan 0 sampai 100 km/h selama 6.0 detik. Jelas gue bangga, karena jarak 400 meter cuma ditempuh selama 10 detik tuh bikin gue kayak Dom Toretto di film The Fast and Furious. Gue ga pernah bisa secepat ini sebelumnya.

Rasa bangga ini, mau gue nikmatin bareng sama yang punya mobil.

Setelah gue puter balik dan menepi di pinggir McD Senayan, gue langsung disambut sama seorang cewek. Rambut ponytail dia terombang-ambing saat dia berlari nyamperin gue. Muka riangnya seketika bikin gue merasa kangen banget sama dia. Merasa bahwa gue bisa ketemu dia lagi, setelah kehilangan yang lama. Tapi perasaan yang gue rasain ini aneh banget, karena bahkan hampir tiap malem gue ketemu sama cewek ini, jadi seharusnya gue ga kangen sama dia.

“A ten second car! I own a ten second car!” teriaknya, sambil lompat-lompat kegirangan.

“Apalagi, malem ini gue udah 5 kali menang pake mobil lo!” Gue senyum lebar, ngebayangin bahwa malem ini, gue pulang dengan bawa banyak uang.

“Don’t fucking care! You can take all the money, Nendra!” Berkali-kali, dia elus-elus dan ciumin mobilnya. Padahal banyak debu yang nempel di catnya. “Berkat elo, Mustang Cobra gue pecah rekor! Kok bisa, sih? Gue yang setiap hari nyetir mobil ini aja ga bisa sampe 10 detik, anjir!”

“Nggg… fokus?” Gue angkat bahu. “Ga tau deh, Glo. Kayaknya gue udah pake jatah keberuntungan seumur hidup gue.”

Si cewek ini, Gloria, langsung mendadak kalem. Kelakuan beringasnya saat kegirangan tadi udah hilang sama sekali. Dia menatap gue, lekat dan dalam. “Lo belum pake jatah keberuntungan seumur hidup lo, kok. Soalnya, lo ga bener-bener mecahin rekor 10 detik di dunia nyata. Lo cuma bisa ngelakuin itu di sini, di mimpi lo,” katanya, dengan nada pelan.

Gue langsung bengong. Gue masih ga ngerti apa yang Gloria bilang. Mimpi apanya? Jelas-jelas gue abis balapan, dan Jalan Asia-Afrika di Senayan ini, tuh, tempat yang biasa gue datengin tiap malem. Tapi mendadak otak gue langsung dipenuhi akan informasi-informasi yang ga gue tau sebelumnya. Ada nama-nama yang muncul di kepala—nama-nama yang asing, tapi juga familiar buat gue. Bahkan gue ga tau siapa itu Gabriellé, tapi gue merasa dia berarti banget buat gue.

“Gabriellé itu nama adik gue, Nendra.” Gloria terkekeh geli. “Pacar lo sekarang. Tapi lo manggil dia Gebi, sama kayak gue biasa panggil dia dengan nama itu.”

Selain ngomong nonsense, Gloria juga bisa baca pikiran gue. Sejak kapan dia bisa sesakti ini? Setahunan gue kenal dia, tapi gue baru tau sekarang kalo dia bisa baca pikiran orang.

“I’ve told you that this is a dream. Your dream. Malah mikir macem-macem ini anak.” Gloria geleng-geleng kepala sambil bertolak pinggang. Lalu, dia nunjuk ke arah kaca mobilnya. “You’ve grown well, Nendra, not some skinny depressed-looking boy that I used to know, anymore.”

Iya. Lewat pantulan kaca mobil, gue ngeliat ke diri sendiri; ngeliat seorang cowok yang mirip gue, tapi juga ga mirip. Maksudnya, yang di kaca itu gue sendiri, tapi udah banyak berubah. Badannya lebih berisi, pipinya ga setirus biasanya, dan mukanya keliatan segar. Gue langsung gemeter; bukan cuma karena syok saat liat perubahan diri sendiri, tapi juga karena ga siap akan lebih banyak informasi yang masuk ke kepala secara drastis. Diantara banyaknya informasi itu, ada beberapa tentang Gloria.

Dan… rasanya ga enak banget saat kembali ingat akan hal itu.

“I never get the chance to say any farewell words. A proper one,” kata gue, lirih. Dalam beberapa menit ketemu Gloria, gue mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem. Dari gembira, bingung, dan sekarang sedih.

“See? Told you that this is just a dream. And you, I mean… the real you, are not from this timeline, Nendra. Your English’s getting better. Back then, buat speaking aja lo masih malu-malu. And I’m happy with your growth.”

“Gue yang engga. Gue… ga tau harus ngomong apa.”

“Ga ada yang perlu diomongin Nendra. It is what it is. Seenggaknya, kita masih bisa ketemu di sini. Meski gue juga ga bener-bener nyata, sih, karena gue cuma manifestasi dari potongan memori lo aja.” Gloria pun jalan menuju mobilnya, masuk lewat pintu kemudi. “Come on, I’ll give you one last ride.”

Saat gue buka pintu dan nempatin pantat gue di kursi penumpang, gue kaget sampe jantung gue mau copot, saat gue nengok ke Gloria. Mukanya berdarah-darah, rambutnya acak-acakan dan lepek akibat darah yang menempel, dan badannya berubah putih pucat kayak orang kehabisan darah. Gue langsung memalingkan muka, tapi tawa renyah Gloria bikin gue perlahan nengok lagi ke arahnya.

“Maaf, maaf! Tapi ini seru banget, sumpah!” katanya, sambil ngetawain gue, “kalo gue masih hidup, gue ga akan bisa ngerjain lo kayak gini, Nendra. Lo harus liat muka lo pas ketakutan!”

Gue pun menghela nafas. Berusaha maklum akan salah satu hobinya yang suka ngerjain orang. Mau yang versi masih hidup atau cuma manifestasi memori, Gloria tetap jadi dirinya sendiri.

“Ga lucu banget.” Gue ga ikut ketawa, ga merasa kesel juga karena dikerjain Gloria. Gue merasa sedih dan nyesek. “Kematian bukan bahan bercanda.”

“Versi dewasa lo ga asik, sumpah.” Dalam satu kedipan mata, Gloria udah berubah jadi dia yang biasanya, yang ga berdarah-darah. Tapi mukanya malah merengut. “Buat apa jadi dewasa, kalo ga bisa bercanda?”

“I can almost take any kind of joke, loh, even the dark one. Tapi gue ga bisa becandain kematian lo, meski itu datengnya dari lo sendiri.”

“I’m sorry.” Gloria mulai nyalain mesin mobil, lalu melaju pelan. “Rasanya pasti ga mudah, ya, saat baru tau kalo gue ternyata udah lama ga ada. Makanya lo jadi emosional begini.”

Gue ga merespon, dan lebih memilih memalingkan muka ke jendela. Dari kaca depan, mungkin orang akan ngeliat gue sebagai cowok umur dua puluhan yang berprofesi sebagai instruktur kursus mobil yang lagi bete sama muridnya, seorang gadis remaja belasan tahun, yang susah diajarin nyetir mobil.

“Set me free, Nendra. Untuk kita berdua. Gue bisa tenang, dan lo bisa bener-bener move on,” kata Gloria.

“Gue harus apa? Ga ada yang bisa gue lakuin juga,” bales gue, suara gue mulai bergetar.

“Lepasin perasaan lo ke gue.”

“Perasaan apa—” Lalu gue diem, karena gue kayak diingetin lagi kalo Gloria di mimpi gue ini adalah manifestasi dari memori gue tentang dia. Otomatis dia tau banget perasaan macam apa yang gue simpen buat dia, karena apa pun yang gue pikirin dan rasain sekarang, pasti dia tau juga.

“Lo ga bisa serakah dengan sayang kepada dua cewek, Nendra. Apalagi dua cewek itu punya hubungan adik-kakak.” Gloria ketawa lagi. Tapi tawanya memudar saat dia ngeliat gue ga ketawa bareng dia. “Sorry. Bad habit. Tapi gue harap, lo bisa lepasin perasaan untuk yang sudah mati, dan lebih fokus ke yang masih hidup.”

Gue langsung menatap Gloria dengan tatapan ga percaya. Gue ga abis pikir, bisa-bisanya ngomong segampang itu tanpa mikirin perasaan yang denger.

“Lo bisa gampang ngomong kayak gitu, karena lo ga ngerasain jadi gue gimana. Gue baru tau kabar lo akhir-akhir ini, sementara lo meninggalnya udah dari bertahun-tahun lalu. Gue ngerasa jadi satu-satunya orang yang ketinggalan, yang waktunya berhenti di masa lalu, yang perasaannya engga bisa beranjak dari kenangan yang udah ga bisa terulang lagi. Sejak gue tau lo udah ga ada, setiap hari gue menghayal kalo gue bisa balik ke satu dekade lalu, ke setiap momen yang gue dan lo buat. Saking patheticnya, dalam satu hari, gue bisa puluhan kali buka kalender di HP cuma buat liat-liat tanggalan di tahun 2008-2009. Dan gue ga bisa ceritain ini ke siapa pun, karena bahkan gue ga tau harus ungkapinnya gimana!”

“Wow… chill, dude.” Gloria pasang muka cemberut, kayak anak kecil yang ga terima abis dimarahin.

Gue langsung nengok ke Gloria. Menatap dia, tajam. “Dan satu lagi, untuk urusan berempati, Gebi masih jauh lebih baik dari lo. She doesn’t “chill, dude” me for any of my emotional rants.”

“I know. That’s why… I want you to be with her. I love you, and I love her too,” Gloria senyum lebar, “I want two people I love the most to be together, to fix each other.” Lalu, dia rentangin tangannya, meraih gue. “Pegang tangan gue, dong. Dulu, kita cuma bisa malu-malu sambil pura-pura ga tertarik ke satu sama lain tiap kali tangan kita ga sengaja bersentuhan.”

Gue liatin Gloria. Dia masih menatap gue, ga peduli dengan jalanan. Tentu aja dia ga peduli, ini cuma mimpi, dan dia bisa atur mobilnya supaya ga nabrak. Sementara matanya terus menatap gue, tangannya masih menggantung, menunggu respon. Akhirnya, gue sambut tangannya. Tangan kami berpegangan erat. Tapi… tangan dia terasa dingin banget.

“Itu yang lo rasain kalo pacaran sama mayat, Nendra. Badannya dingin, sementara hati fragile dan penuh luka lo itu butuh genggaman tangan yang hangat. Makanya, mending sama adik gue, kan?”

“Tapi gue ga mau lupain lo. Ga bisa juga, kayaknya.”

“Siapa yang bilang lo harus lupain gue? Kalo begitu, sih, gue juga sedih banget jadinya. Lo kan cuma perlu lepasin perasaan lo ke gue aja, Nendra.”

“Gimana caranya ngelepasin tanpa ngelupain?” Genggaman jari-jari gue pada tangan Gloria jadi makin erat. Gue ga peduli akan rasa dingin yang menusuk pada tangannya. “Gue pikir, itu udah sepaket.”

“Coba deh, lo bayangin kalo sekarang lo lagi bawa-bawa batu berat yang selalu lo bawa kemana-mana selama bertahun-tahun. Udah bisa dibayangin?”

“Belom. Gue lagi bingung batunya mau kayak gimana bentuknya.”

“Bilang aja lo mau ulur waktu, biar bisa pegang tangan gue lebih lama. Padahal udah gue bilang kalo tangan gue tuh dingin. Ngeyel banget ini cowok.”

Anjir. Gue ketebak. “Yaudaaaah. Terus gimana lagi?”

“Suatu hari, lo nemu tempat dimana lo bisa simpan batu lo dengan aman. Jadi, lo ga perlu bawa batu itu kemana-mana lagi. Langkah lo jadi lebih ringan, dan dengan beban yang sekarang udah berkurang banyak, lo bisa ngelakuin lebih banyak hal. Batunya ga perlu lo tengok lagi; yang penting lo udah tau tempat ninggalinnya dimana. Lo masih bisa mengenang pengalaman lo bawa batu itu selama bertahun-tahun, tanpa harus bawa benda yang dimaksud.

“Melepaskan perasaan lo akan orang lain bisa dianalogikan kayak gitu. Cukup direlain aja, biar hatinya ga berat. Karena yang bikin hati lo berat adalah, lo masih bela-belain membawa beban perasaan yang sudah usang karena berharap kalo perasaan itu bisa terwujud suatu saat nanti. Tapi beberapa hal, udah ga akan bisa terwujud lagi, Nendra. Ada batasan-batasan yang bikin hal itu ga akan bisa terwujud, dan salah satu batasan itu adalah kematian.”

Gue ga bisa ngomong apa-apa. Kata-kata Gloria berputar-putar di pikiran gue, bergemuruh dan menggema hingga bermuara ke hati dan jadi satu rasa utuh yang gue identifikasikan sebagai… penyesalan. Dengan pilihan yang gue ambil dan ga gue ambil dulu, gue baru bener-bener sadar kalo gue mengambil pilihan yang salah. Seandainya waktu itu gue ga berhenti balap liar, dan cari cara lain untuk bisa mengakomodir kebutuhan belajar dan cari duit gue, hasil akhirnya ga akan kayak sekarang. Gloria ga akan berakhir jadi begini.

“Nendra, although our time to know each other was short… tapi gue yakin banget kalo, deep down, lo itu orang yang kuat. Dan orang yang kuat, ga akan lama-lama terpuruk pada penyesalan. Mungkin lo seringkali ambil pilihan-pilihan hidup yang salah, but somehow you managed to man up; ‘cause I know that despair can’t bring you down.”

“Seberapa jauh lo bisa baca pikiran gue?”

Gloria spontan ketawa. “Ini mimpi lo, Nendra, dan gue bagian dari memori lo; bahkan gue tau kalo pertanyaan lo tadi cuma retoris aja. Karena somehow gue bisa tau aja gitu isi pikiran lo. Kayak… lo bisa anggap kalo lo lagi ngomong sama diri sendiri sekarang.” Lalu dia banting stir ke kiri untuk menghindari truk. Tapi dia bisa bikin mobilnya ga oleng dan kembali ke jalur. Tinggal gue aja yang masih syok. Meski dalam mimpi, tapi rasa kaget dan takut yang gue rasain kayak nyata banget! Muka gue pasti udah pucet banget sekarang. “Di mimpi, lo ga akan kenapa-napa kalo mati. Paling lo cuma akan bangun aja. Tapi gue belum mau balikin lo ke dunia nyata. Gue masih pengen ngobrol sedikit lagi sebelum kita sampe ke tujuan.”

“Kalo ini mimpi, berarti gue masih akan bisa ketemu lo lagi, kan?”

“Yes and no. But I’ll tell you the details in our final moment. Next question, please.”

“Kenapa obrolan ini jadi kayak sesi wawancara?”

“Gosh, Nendra, although your head’s full of questions, why do you have to keep denying it and pretend you’re okay with small talks, sih?” Gloria pun pelanin laju mobilnya. Pemandangan jalan yang berlalu cepat pun jadi keliatan lebih jelas dan lambat. “Waktu gue ga banyak. Jadi, kalo lo mau ngomong sesuatu, cepetan diomongin sebelum waktunya habis.”

Gue pun merengut. “Buat apa gue omongin? Kan lo udah tau perasaan gue.”

Gloria langsung menatap gue dengan pandangan… gue ga tau, ada banyak ekspresi di sorot matanya. Tapi sekarang, yang gue liat cuma sorot mata sedih. Tapi gue ga bisa tau isi pikiran dia. Cuma Gloria yang bisa, dan kemampuan satu arah ini menjengkelkan sekali. Padahal ini mimpi gue, tapi malah gue yang ga punya kontrol atas mimpi sendiri.

“Kita udah sampe, ya,” kata Gloria, sambil memelankan laju mobil, untuk masuk ke area pelataran sebuah hotel. Gue… kayak kenal sama suasananya. Jalan yang dari tadi dilewatin, parkiran hotelnya, sampe ke bangunan hotel dan bentuk lobinya. Informasi baru yang diterima kepala gue pun bikin gue inget, kalo ini kan hotel tempat gue dan Gebi nginep! “Iya, ini tempat dimana lo nidurin Gebi. Bisa-bisanya lo tidur sama adik gue, terus jalan sama kakaknya.”

“Kan… gue… ga tau kalo akan mimpiin elo… ah, udah lah.”

Setelah parkir, Gloria matiin mesin mobil. Tapi dia ga turun. Dia tetap duduk di kursinya. “Lo bisa bangun setelah lo lewatin pintu lobi,” katanya, sambil menunjuk ke pintu geser kaca yang membuka dan menutup tiap kali ada orang yang lewat, “this is our final minutes, Nendra. How about a proper farewell, like you always wanted to do, this time?”

“Gue masih bingung harus ngomong apa. Gue ga mau terima semua ini. Beneran.”

Tangan dingin Gloria pun usap pipi gue. “Tapi lo harus terima. Percaya sama gue, semua yang terjadi di hidup lo, sampai saat ini, adalah yang terbaik. Emang ga semuanya mulus dan bikin hepi, tapi seringkali lo harus berdarah-darah dulu untuk bisa ketawa lepas dengan dada lapang dan tanpa beban.” Sementara tangan dinginnya masih terus mengusap, mata Gloria menatap gue lebih dalam lagi. “That's how the world works; sometimes you have to pay extra just to get the bare minimum. But it's still worth trying. Just give it a shot, Nendra, ‘cause you always sucks at giving up.”

“Termasuk berusaha menerima kenyataan kalo lo udah ga ada?”

Gloria mengangguk. “Lo udah denger kabar gue dari adik gue sendiri, dan bahkan lo udah ke makam gue. Kematian gue, adalah kenyataan buat lo.”

“Tapi gue masih bisa ketemu lo lagi di mimpi.”

“Dan saat bangun, lo akan kembali ditampar kenyataan tentang kematian gue. Lo bisa bermimpi sebanyak apapun tentang gue, tapi saat lo bangun, lo akan ngerasa sakit hati. Nantinya, lo akan cari pelarian dengan terus berharap bisa mimpiin gue. Saat bangun, lo sakit hati lagi. Terus berulang, ga selesai-selesai sampe lo depresi sendiri.” Gloria langsung memalingkan muka, begitu pun tangannya yang, setelah turun dari pipi gue, berpindah ke stir mobil. “Lagipula, lo ga akan bisa mimpiin gue kayak gini lagi. Ketika lo sedang mimpiin gue lagi dan lo bisa cukup punya kendali diri untuk sadar kalo itu cuma mimpi, lo akan tau bedanya; gue di mimpi lo versi yang akan datang, tuh, kayak NPC di game. You can talk to me, but you know that something feels off.”

“And how can I get this version of you in my dream?”

“You just can’t. I’m limited to one show only.”

“Tapi kenapa? Gue ga ngerti. Bukannya lo bilang kalo lo itu manifestasi dari memori gue tentang lo? Jadi seharusnya, selama gue masih bisa inget lo, gue masih akan punya kesempatan untuk mimpiin lo, kan?”

Gloria malah ketawa. Tapi yang gue liat, itu adalah tawa miris yang dipaksakan riang. “Maaf, gue bohong soal gue adalah manifestasi dari memori lo. Gue bilang begitu cuma biar lo ga panik aja. Truth be told, I just got this short vacation from the Higher Ups, tapi cuma berlaku sekali. Gue kira orang mati ga perlu ngelakuin tawar-menawar, jadi gue ambil kesempatannya untuk ketemu lo.”

“Cheap trick.” Gue pun merengut. Tapi dalam hati, rasa nyesek yang gue rasain semakin besar dan menyiksa. Dan gue ga tau apa urgensinya untuk terus menyembunyikan perasaan gue yang sesungguhnya dari Gloria. “Gue kira lo bagian dari mimpi gue, taunya…. Tapi, gue ngerasa lo itu lebih dewasa sekarang. Di alam lain juga ada character development, ya?”

“Saat lo udah mati, lo jadi bisa tau semua hal, Nendra. Lo jadi tau kenapa lo dilahirin, skenario tentang percabangan hidup yang ga lo pilih, jodoh yang seharusnya bisa lo temuin kalo lo hidup lebih lama, bahkan lo jadi tau rahasia-rahasia alam semesta, dan kenapa dunia ini diciptain. Lo juga bisa tau apa yang orang hidup rasain, tanpa perlu dengerin cerita mereka. Their story just runs straight to your head.

“Tapi pengetahuan itu ga bisa dibagiin ke orang yang masih hidup. Meski gue pengen banget bilang banyak hal ke elo, tapi yang keluar dari mulut gue cuma hal-hal yang boleh untuk lo tau.” Tiba-tiba, suara ketukan di kaca samping kanan Gloria spontan bikin gue kaget. Tapi Gloria engga, ekspresinya biasa aja. Ada seseorang berjubah hitam pekat, lagi-lagi mengetuk kaca mobilnya. Lalu, sosok berjubah itu pun berlalu gitu aja. Berbaur ke kerumunan orang-orang yang hilir-mudik di pintu lobi hotel. “That’s his way to tell me that my time is up,” katanya, dengan nada serius, “lo harus keluar dari mobil ini.”

“Kalo gue ga mau keluar, apa gue akan berakhir ikut lo?”

“Maksudnya, lo akan ikutan mati?” Gloria langsung ketawa, sementara tangannya langsung keplak lengan gue. “Jangan ngawur, ah! Ga ada yang kayak gitu, Nendra. Kalo lo menolak untuk keluar, nanti lo akan keluar sendiri, kok.”

“Maksudnya?”

“You’ll see.” Gloria pun berdehem, lalu menatap gue lagi, sambil pegang kedua tangan gue. “Soooo, here’s my final advice: live a better life, Nendra. Stop make sabu, dan ajak adik gue berhenti juga. Pelarian yang lo dan Gebi terus lakuin dengan pake sabu, ga akan bisa membuat kalian terbebas dari hantu masa lalu. Yang ada, kalian berpotensi jadi jauh lebih terpuruk. Gue serius. Kalo lo mau contoh, lo bisa liat gue. Almost every night, I was fucking drunk to run from reality, from my rough days. But in the end, it cost me my life.”

Gue mengangguk, pelan. Ga ada lagi yang bisa gue bilang ke Gloria. Bukan karena ga mau, tapi ga bisa. Tenggorokan gue tercekat, sementara dada gue makin menyesak. Sesuai yang dia bilang, kalo kepala gue penuh dengan pertanyaan dan kalimat yang pengen gue utarain ke dia—tapi ga ada yang bisa keluar dari mulut gue. Seakan, saking penuhnya isi kepala gue ini, bikin gue jadi ga mampu untuk berkata-kata.

Gue pengen banget bilang tentang perasaan gue ke dia. Seberapa besar rasa suka gue ke dia, dan semua yang jadi bagian dari dirinya; senyumnya, tawanya, cara dia ngerjain orang, omongan-omongan ngawurnya kalo udah tipsy, isi pikirannya yang terucap pada sesi cerita malam hari, gesturnya yang aneh tapi gemesin, cara dia makan, cara dia berbaur dengan semua orang tanpa pilih-pilih, kelakuannya yang suka ajak pemulung yang lewat untuk makan di McD, atau saat dia ajak anak-anak mereka jalan-jalan naik mobilnya… daftarnya masih bisa gue sebutin lagi, tapi waktu gue ga banyak, dan kepala gue makin penuh. Memori masa remaja gue dengan Gloria berputar cepat, dan gue, makin ga bisa mengantisipasi hal ini.

Seharusnya dulu gue ga bingung akan perasaan sendiri. Seharusnya, gue bisa bilang apa yang mau gue bilang. Seharusnya, gue lebih bisa berkomunikasi, dan lebih berani untuk percaya ke orang yang gue mau untuk percaya. Seharusnya gue mau bagiin beban hidup gue ke orang-orang yang mau menerima dan memikulnya bareng-bareng. Seharusnya gue ga menyerah akan satu hal, cuma untuk perjuangin hal lain. Seharusnya gue berani untuk jagain Gloria. Seharusnya… gue bisa mencegah kematian dia.

Dan seharusnya gue ngelakuin itu semua, biar ga perlu ada kata “seharusnya” yang terus terucap di hati yang terus mengutuk kegagalan diri sendiri dan tenggelam di penyesalan yang ga ada habisnya.

“Nendra… ga apa-apa. Beneran. Memang ini jalannya.” Tangan dingin Gloria menggenggam tangan gue lebih erat. Tapi tangan dinginnya terasa hangat di hati. “Gue bersyukur banget bisa kenal lo, kenal orang sekuat lo. Dan gue bersyukur akan hidup yang menuntun gue ke arah lo. Ada banyak hal yang gue pelajari dari lo. Semua hal tentang gue yang lo suka, itu ga ada di diri gue sebelumnya. Semua hal itu terbentuk karena gue kenal lo, karena gue juga suka sama lo. Gue ga tau dulu, tuh, perasaan kayak gini termasuk cinta monyet atau apa. Karena kita masih sama-sama remaja, jadi gue pikir kita belum cukup pintar untuk mengenali perasaan sendiri—tapi dulu, yang gue rasain ke elo itu tulus. Sampe sekarang, perasaan gue ke lo tetap sama.

“Gue sayang sama lo. Gue mau lo bahagia. Hidup lo banyak luka, dan gue mau jadi orang yang bisa meringankan rasa sakitnya. Tapi gue udah ga bisa. Jadi, gue berharap bahwa lo bisa merelakan yang udah terjadi. Biar lo ga makin sakit. Hal yang sama, gue rasain juga ke Gebi. Makanya, gue mau kalian bareng-bareng, biar bisa meredakan rasa sakit satu sama lain. Kalo di prosesnya kalian malah saling menyakiti, ga apa-apa. Tapi gue yakin, bahwa kalian bisa belajar cara menyembuhkan juga.”

Kini, gue juga bales genggaman tangannya. Kami saling menggenggam erat. Gue ngeliat pipi Gloria udah basah karena air mata terus berjatuhan dari pelupuk matanya. Gue pun sama. Mungkin gue akan diketawain temen-temen kalo mereka liat gue jadi secengeng apa sekarang. Tapi gue bisa apa. Air matanya mengalir sendiri, dan gue ga punya kuasa untuk berhentiinnya.

“Gue….” Kalimat gue menggantung. Bukan karena gue ragu mau ngomong, tapi karena rasa tersekat yang gue rasain di tenggorokan gue bikin susah ngomong. Kalo gue paksain, gue akan berakhir lebih cengeng dari ini. Tapi, tiba-tiba badan gue bergerak sendiri. Gue yang kebingungan, cuma bisa menatap saat tangan-tangan gue melepas genggaman pada tangan Gloria. Dan sekarang, tangan kiri gue mulai tarik tuas pintu. Tentu aja, gue langsung berusaha melawan.

Tapi gue ga lagi punya kendali atas badan sendiri. Kayak badan gue dikendaliin oleh sesuatu, dan gue ga bisa berbuat banyak akan hal itu, sekeras apapun gue mencoba melawan kuasanya.

“See? Told you. Lo akan keluar sendiri. Itu tandanya, waktu gue udah habis, Nendra.” Gloria ketawa saat ngeliat gue bersusah payah menahan diri untuk ga narik tuas pintu. Tapi air mata terus mengalir di pipinya. “Main-main ke makam gue, ya. Sering-sering bawa susu kaleng. Lo emang tau banget apa yang gue butuh. Thanks to you, I’m completely, all sober now.”

“Engga! Gue ga mau pisah sekarang! Masih banyak yang mau gue bilang ke lo! Gue bahkan belom—” Mulut gue berhenti bergerak, saat gue mendapati bahwa tangan gue udah berhasil membuka pintu mobil. Lalu, kaki kiri gue otomatis menjejak turun. “Ahelah, fuck! Gue belom bilang perasaan gue ke lo, Glo!”

“Gue udah tau, kok. Gue tau semua hal yang lo pikirin dan rasain.”

“Tapi gue mau hal itu keluar dari mulut gue sendiri! Gue mau bilang kalo gue juga suka dan sayang sama lo, bilang kalo persetan yang gue rasain dulu itu cinta monyet atau apalah, tapi perasaan gue ke lo ga pernah ilang—bahkan sampe sekarang! Gue cuma ga bisa ungkapin perasaan gue dengan baik, tapi gue beneran jujur saat bilang kalo gue sayang banget sama lo!”

Gloria mendesah ringan. Senyum lebar terkembang di bibirnya. “Lo udah ungkapin perasaan lo dengan baik, kok. Gue bahagia dan lega, karena perasaan gue ga berat sebelah.” Lalu, badan Gloria pun maju, condong ke arah gue. Kedua tangannya meraih pipi gue, dan mukanya semakin maju, hingga bibirnya menempel erat di bibir gue. Bibir dingin yang menghantarkan perasaan hangat di hati gue. Setelah cium gue, dia pun senyum lagi. “Kayak ucapan yang Gebi sering bilang ke lo, “the feeling’s mutual, Nendra”. Thank you for loving me, ya.”

“Thank you my ass!” Sekarang, badan gue terasa kayak ditarik dari belakang. Gue sampe harus pegangan kuat-kuat ke pintu mobil, supaya badan gue ga terbawa menjauh. “Gue masih pengen sama lo! Please do something to whoever doing this fucking-annoying trick to me!”

“Jangan ngawur. Lo harus bangun.” Gloria meraih jemari-jemari gue yang masih mencengkeram erat pintu mobil. “Oh iya, gue sebenarnya ada kado buat lo. Gue yakin kadonya udah ga relevan dengan kondisi zaman lo sekarang, tapi lo bisa ambil kado buat lo di laci kamar gue, di rumah lama. Tanya Gebi atau papa gue lokasinya dimana. Terus… kalo lo bingung lacinya yang mana, lacinya warna coklat. Barangnya ada di baris keempat, paling bawah. Ga gue pake bungkus kado, soalnya kayak terlalu girly jadinya. Tapi gue bungkus dengan baik, kok.”

“GUE GA BUTUH KADO! GUE BUTUHNYA LO!” Gue berteriak lantang. Tangis gue pun pecah seketika, tapi gue udah ga peduli. Gue cuma mau punya waktu lebih banyak sama Gloria.

“Anggap aja kado itu representasi gue, Nendra. Jadi lo bisa inget gue dengan lebih baik.”

Gloria langsung mencungkil jari-jari gue yang masih melekat pada pintu mobil. Satu jari, dua jari, tiga, empat… seiring tarikan dari belakang gue yang makin kuat, cengkeraman gue pada pintu mobil pun melemah, jadi Gloria bisa gampang lepasin tangan-tangan gue dari pintunya. Dan setelah yang tersisa tinggal dua jari kanan gue, jari-jari itu ga mampu bertahan lama. Gloria pun lepasin dua jari gue yang tersisa.

“I’ll be good here. So you do there too. This is our goodbye, and I’m glad this time is a proper one.” Sambil terus menatap gue yang tertarik menjauh dari dia, Gloria tersenyum lebar. Kali ini, senyum yang melegakan. “Salam buat papa gue, ya.”

“Kayak gue akan ketemu—”

“Lo akan ketemu beliau, kok,” potong Gloria, “Bye, Nendra. I love you.”

Gue mau teriak, tapi suara gue tiba-tiba ga bisa keluar. Gue pun semakin tertarik ke belakang. Badan gue meluncur dengan kecepatan tinggi menuju ke pintu lobi hotel. Gue seakan bisa memprediksi bahwa gue akan menabrak pintu kaca itu dengan keras dan bikin kacanya pecah. Tapi prediksi gue meleset. Karena di momen gue bertabrakan dengan pintu kaca, pandangan gue menggelap seketika.

Lalu, semuanya menghitam dan jadi ga jelas. Termasuk isi kepala gue.


———

Gue langsung bangun dengan perasaan yang kacau. Karena bangun mendadak, kepala gue jadi terasa pusing banget. Nafas gue terengah-engah, badan gue mandi keringet padahal AC kamar gue geber maksimal, dan isi kepala gue dipenuhi seluruh momen percakapan gue dengan Gloria di mobilnya. Seakan hal itu baru aja terjadi—padahal gue tau kalo gue ga pernah ngelakuin itu.

Gue buru-buru melompat dari ranjang, cuma untuk menempel di kaca buat ngeliat ke luar. Memandang ke arah parkiran. Gue cari-cari mobil yang ditumpangi Gloria. Mobil Mustang Cobra warna merah. I know Mustang Cobra when I see one, tapi gue ga nemu mobil itu sama sekali. Dan pikiran gue semakin ngeyakinin gue bahwa sosok Gloria dan mobilnya itu cuma ada di dalam mimpi gue.

“Bae, what happened?”

Sebuah suara bikin gue nengok ke kanan. Ada Gebi yang juga lagi menempel ke jendela. Yang menempel di badan dia cuma pakaian dalamnya aja. Sejak kapan dia ada di situ? Atau dia emang udah lama ada dan gue aja yang baru sadar? “Eh, engga… Gue….”

“Kamu mimpiin Gloria, ya?”

Tebakan Gebi bikin gue terperanjat. Gimana dia bisa tau? Akhirnya, sebagai respon, gue mengangguk pelan. “Iya. Begitulah. Cuma mimpi… tapi rasanya nyata banget,” jawab gue.

“Aku juga mimpi dia. We… talked a lot about anything. Kami bahkan bahas kamu, dan ketawain satu sama lain, karena bisa-bisanya kami berdua suka ke orang yang sama.”

Gue perhatiin Gebi merubah kata ganti ke diri sendiri dan ke gue dari “gue-elo” jadi “aku-kamu” dalam satu malam. Tepatnya, sih, setelah gue dan dia beneran pacaran. Well… it’s never hurt you to get along.

Gue langsung mencari kursi. Setelah duduk, gue atur nafas. “Semuanya kayak nyata banget. Di mimpi aku, kami juga banyak bahas kamu. Ada beberapa hal yang Gloria bilang… mostly, tentang hubungan kita.” Gue memijat pelipis, berharap yang gue lakuin bisa redain rasa pusing yang masih menyiksa. “Geb… mau, ga, kalo kita berhenti make?”

“Berhenti make… maksud kamu, make ‘itu’?”

Gue ngangguk. “Iya. Berhenti make sabu. Itu salah satu yang Gloria pesen ke gu—ke aku.” Lalu, gue ceritain ulang tentang saran Gloria, yang kata-katanya masih gue ingat jelas, ke Gebi. “Menurut dia, kita ga butuh pelarian, Geb. Kita butuhnya satu sama lain, aku ke kamu, dan kamu ke aku.”

“Well... I can be the clingiest girl in the whole world. If you want to stop, then there’s no reason for me to not follow your step, Bae.”

“Tapi kita beneran bisa berhenti, ga, ya?” Iya. Gue ragu. Kebiasaan bertahun-tahun, tuh, ga akan bisa dihilangin begitu aja. Apalagi, gue yakin kalo Gebi lebih sering make sabu daripada gue. Sebelum kenal gue, dia juga makenya sama temen-temennya, kok. Jadi kadar ketergantungan dia lebih tinggi dari gue.

“Kalo Gloria yakin kamu bisa berhenti, berarti kamu beneran bisa. Dari dulu, dia ga pernah salah menilai orang, Nendra.” Tiba-tiba, Gebi melompat ke paha gue. Dia pun duduk, dengan posisi kami saling berhadapan. Kedua tangannya langsung melingkar di punggung gue. “Makanya, aku bilang kalo aku bisa jadi clingy banget. Soalnya, aku tergantung kamu. Kalo niat kamu untuk berhenti make sabu kuat banget, niat aku juga sama. Tapi kalo kamu ga tahan dan make lagi, nanti aku yang orderin barangnya. Then we gon’ party all night long.”

Gue spontan keplak paha Gebi. “Ngaco banget ini cewek!”

“Ih, sakit, Bae!” Gebi langsung usap-usap paha kirinya. “Ini termasuk KDRT, ga, sih?”

“Untuk bisa dibilang KDRT, kita harus berumah tangga dulu,” jawab gue, jutek. Gue masih gemes sama omongan dia tadi.

“Marry me, then.” Gebi pun langsung cium bibir gue. “Jadi kamu bisa ngelakuin banyak sesi KDRT ke aku.”

Gue langsung merengut. “Maksud kamu BDSM?”

“You always catch on quick. That’s why I love you, Bae.” Sekali lagi, Gebi cium bibir gue. “Tapi maksud aku, tuh, beneran KDRT. Kinky Dalam Rumah Tangga.”

Joke Gebi sukses bikin kami ketawa berbarengan. Untuk menggenapi momennya, gue dan dia pun berpelukan. Tapi meski seromantis apapun suasana saat ini antara gue dan Gebi, gue tetap ga bisa mengusir perasaan campur aduk yang menyesak di hati.






Bersambung…
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd