Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
-
Alamat alternatif sudah baru gan.
Bookmark alamat ini gan : https://bit.ly/ceksemprot
Atau buka dengan VPNIkuti alamat terbaru dari forum di : Follow Twitter @SemprotCom
CERBUNG - TAMAT Affair(s): Season 1
- Thread starter nympherotica
- Start date
TorangBlack
Pertapa Semprot
- Daftar
- 18 Nov 2017
- Post
- 4.486
- Like diterima
- 12.264
Fuck you beib.. I konak tahu wkwkwk gajebo
Luckybastardd
Semprot Kecil
- Daftar
- 24 May 2017
- Post
- 89
- Like diterima
- 86
Keren suhu
Mantap ini
Semoga ada lanjutannya
Semoga ada lanjutannya
TorangBlack
Pertapa Semprot
- Daftar
- 18 Nov 2017
- Post
- 4.486
- Like diterima
- 12.264
Menunggu Gaby...
nympherotica
Semprot Lover
XIII:
The One That Got Away (part 2)
The One That Got Away (part 2)
“But even if the whole world falls over, I wouldn’t be aware of glaciers. I just wanna see you wake up, doing your hair in the mirror with your makeup. Then, maybe in the next lifetime we could make up.”
— B.O.B
“In another life, I would be your girl. We keep all our promises, be us against the world. In another life, I would make you stay. So you don’t have to say, you were the one that got away. The one that got away.”
— Katty Perry
—— Lyrics from The One That Got Away, a song by Katty Perry and officially remixed by B.O.B
=Nendra=
Gue percaya, bahwa, di dunia ini ada hal-hal yang ga bisa dijelasin dengan logika, alih-alih dari sudut pandang sains. Atau, jika dipaksain untuk dilogikakan pun, teorinya ga akan memuaskan. Hal-hal ini, mau ga mau, suka ga suka, beredar di sekitar kita. Membaur bersama peradaban dan budaya.
Dulu, di lingkungan rumah gue pernah ada kejadian bocah ilang saat maghrib. Orang-orang bilang, bocah itu dibawa jin yang disebut wewe gombel; jin yang berperawakan nenek tua dengan toket super besar yang menggantung (beberapa ada yang bilang malah bisa sampe dililit di lehernya). Wewe gombel ini, berkeliarannya emang saat waktu maghrib, spesialis culik anak kecil yang masih ada di luar saat maghrib tiba.
“Eh, serius hantunya bisa bikin syal dari boobies dia sendiri?” Mata Gebi membesar, dan mukanya seolah nunjukin rasa ga percaya yang jelas banget. “Gimana caranya?! Kok aku ga terima, sih, kalah dari hantu?!” tanya dia lagi, sambil remes-remes toketnya yang emang mungil itu.
“Lagi tengah-tengah cerita juga. Ah, kamu, mah….”
“Oh, iya. Lupa.” Gebi kembali duduk manis, bersila di atas ranjang. “Lanjutin lagi, dong, Bae.”
“Udah ga mood.” Gue menatap sebel ke Gebi. Yang ditatap, masih merengek minta ceritanya dilanjut. Setelah rengekan kesekian, ditambah badan gue yang sampe diguncang-guncangin, akhirnya gue lanjutin ceritanya. Dengan versi yang jauh lebih pendek dari seharusnya. “Singkatnya aja, ya. Itu anak kecil yang ilang, akhirnya ditemuin di hutan bambu deket kali, dua hari kemudian. Jarak hutan bambu dari lokasi rumahnya cuma ratusan meter, dan warga udah keliling ke area itu beberapa kali, tapi ga pernah nemuin anak itu sebelumnya. Pas ditemuin warga, mulut si anak penuh sama kotoran manusia. Anak itu ngakunya diajak sama ibunya ke hutan bambu, terus pas udah sampe, ‘ibu’nya berubah jadi wewe gombel. Si anak teriak-teriak pas warga bolak-balik nyariin dia, tapi suaranya ga keluar. Jadi dia cuma bisa ngeliatin orang-orang lewat aja.”
Mulut Gebi menganga. “Gross…. How can that poor brat eat human shit, sih?” Sekarang, badannya bergidik geli. “Kok cerita-cerita ini ga ada di lingkungan aku, ya? Compared to yours, Bae, my kind of ghost stories is sucks.”
“Kamu harus turun kelas ke menengah kebawah dulu. Cerita hantu dari orang-orang yang duitnya terbatas, tuh, seru-seru.”
Sebenernya, gue bukan mau cerita setan. Tapi, gue mau kasih tau, bahwa yang gue ceritain tadi adalah salah satu contoh dari hal-hal yang ga bisa dijelasin lewat logika dan sains. Cuma feelnya jadi ga dapet gara-gara dipotong Gebi di tengah-tengah. Pokoknya, gue mau bilang kalo yang gue ceritain soal anak kecil diculik wewe gombel, dan pengalaman yang gue dan Gebi rasain pagi ini punya vibe yang sama. Vibe tentang sesuatu yang ga bisa kami jelasin, sekeras apapun kami mencoba berlogika.
Pagi ini, kami sama-sama terbangun dengan perasaan aneh karena habis mimpiin orang yang sama. Orang yang udah ga ada lagi di dunia ini. Dan orangnya adalah kakaknya Gebi, Gloria. Temen masa remaja gue itu hadir di mimpi gue dan Gebi, dengan pola yang sama pada konten di mimpi kami berdua; di mimpi itu kami sama-sama aware kalo kami lagi bermimpi dan Gloria udah meninggal, kami sama-sama ngobrol berdua dengan Gloria, dan masing-masing dari kami juga dapet final moment yang ga bisa kami dapetin sama dia di dunia nyata. Bedanya, gue dan Gloria ngobrol di mobil dia, sementara Gebi diajak main ke rumah lama mereka.
Tentu aja, ada beberapa bagian dari mimpi gue yang ga gue ceritain ke Gebi. Gue pikir, gue ga perlu ceritain semua isi mimpinya. Karena emang ada hal-hal yang berpotensi bikin sakit hati kalo diceritain.
“Kamu masih mikirin mimpi semalem?” Gebi menatap gue, tangan-tangannya menggenggam kedua tangan gue. “Aku tau, vibe-nya pasti ga enak banget buat kamu. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi itu cuma mimpi, Nendra. Ga punya pertanda apa-apa. Mimpi adalah cara kerja otak untuk memainkan skenario yang ada di kepala kita, yang mustahil terwujud di dunia nyata. Justru kalo kamu pikirin terus, kamu akan sedih berlarut-larut dan kehilangan fokus sama apa yang ada di depan mata.”
Gue ga langsung merespon Gebi. Dari apa yang dia bilang, gue nangkepnya kalo dia ga merasa bahwa mimpi kami ini adalah sesuatu yang spesial. Mungkin Gebi adalah orang yang merasa bahwa segala sesuatu itu bisa dilogikakan, selalu ada penjelasannya. Dan gue ga menampik bahwa yang dia omongin itu ada benernya. Cuma… tetep aja, gue merasa kalo disini, gue doang yang menganggap mimpi gue ketemu Gloria itu adalah sesuatu yang janggal.
“Buat aku, ini terlalu aneh buat jadi kebetulan. Terlalu presisi, sampe bikin merinding. Tapi aku juga ga bisa jelasin ini fenomena apa—kalo mau menganggap kebetulan ini adalah fenomena.” Saat gue bilang merinding, gue beneran ngerasain bulu-bulu halus di tengkuk dan lengan gue meremang hebat. “Because of that weird dream, I even lost my willingness to do another round this morning.”
“SERIUS?!” Gebi memekik, bikin gue spontan tutup kedua kuping dengan kedua tangan. Terus, dia pun menatap ke langit-langit kamar hotel. Tangan kanannya mengangkat, dan dia… acungin jari tengahnya? “I fucking hate you, Gloria!”
Gue cuma bisa geleng-geleng kepala saat nontonin tingkah absurd Gebi. Gue rasa… pacar baru gue ini otaknya udah kena.
Dulu, di lingkungan rumah gue pernah ada kejadian bocah ilang saat maghrib. Orang-orang bilang, bocah itu dibawa jin yang disebut wewe gombel; jin yang berperawakan nenek tua dengan toket super besar yang menggantung (beberapa ada yang bilang malah bisa sampe dililit di lehernya). Wewe gombel ini, berkeliarannya emang saat waktu maghrib, spesialis culik anak kecil yang masih ada di luar saat maghrib tiba.
“Eh, serius hantunya bisa bikin syal dari boobies dia sendiri?” Mata Gebi membesar, dan mukanya seolah nunjukin rasa ga percaya yang jelas banget. “Gimana caranya?! Kok aku ga terima, sih, kalah dari hantu?!” tanya dia lagi, sambil remes-remes toketnya yang emang mungil itu.
“Lagi tengah-tengah cerita juga. Ah, kamu, mah….”
“Oh, iya. Lupa.” Gebi kembali duduk manis, bersila di atas ranjang. “Lanjutin lagi, dong, Bae.”
“Udah ga mood.” Gue menatap sebel ke Gebi. Yang ditatap, masih merengek minta ceritanya dilanjut. Setelah rengekan kesekian, ditambah badan gue yang sampe diguncang-guncangin, akhirnya gue lanjutin ceritanya. Dengan versi yang jauh lebih pendek dari seharusnya. “Singkatnya aja, ya. Itu anak kecil yang ilang, akhirnya ditemuin di hutan bambu deket kali, dua hari kemudian. Jarak hutan bambu dari lokasi rumahnya cuma ratusan meter, dan warga udah keliling ke area itu beberapa kali, tapi ga pernah nemuin anak itu sebelumnya. Pas ditemuin warga, mulut si anak penuh sama kotoran manusia. Anak itu ngakunya diajak sama ibunya ke hutan bambu, terus pas udah sampe, ‘ibu’nya berubah jadi wewe gombel. Si anak teriak-teriak pas warga bolak-balik nyariin dia, tapi suaranya ga keluar. Jadi dia cuma bisa ngeliatin orang-orang lewat aja.”
Mulut Gebi menganga. “Gross…. How can that poor brat eat human shit, sih?” Sekarang, badannya bergidik geli. “Kok cerita-cerita ini ga ada di lingkungan aku, ya? Compared to yours, Bae, my kind of ghost stories is sucks.”
“Kamu harus turun kelas ke menengah kebawah dulu. Cerita hantu dari orang-orang yang duitnya terbatas, tuh, seru-seru.”
Sebenernya, gue bukan mau cerita setan. Tapi, gue mau kasih tau, bahwa yang gue ceritain tadi adalah salah satu contoh dari hal-hal yang ga bisa dijelasin lewat logika dan sains. Cuma feelnya jadi ga dapet gara-gara dipotong Gebi di tengah-tengah. Pokoknya, gue mau bilang kalo yang gue ceritain soal anak kecil diculik wewe gombel, dan pengalaman yang gue dan Gebi rasain pagi ini punya vibe yang sama. Vibe tentang sesuatu yang ga bisa kami jelasin, sekeras apapun kami mencoba berlogika.
Pagi ini, kami sama-sama terbangun dengan perasaan aneh karena habis mimpiin orang yang sama. Orang yang udah ga ada lagi di dunia ini. Dan orangnya adalah kakaknya Gebi, Gloria. Temen masa remaja gue itu hadir di mimpi gue dan Gebi, dengan pola yang sama pada konten di mimpi kami berdua; di mimpi itu kami sama-sama aware kalo kami lagi bermimpi dan Gloria udah meninggal, kami sama-sama ngobrol berdua dengan Gloria, dan masing-masing dari kami juga dapet final moment yang ga bisa kami dapetin sama dia di dunia nyata. Bedanya, gue dan Gloria ngobrol di mobil dia, sementara Gebi diajak main ke rumah lama mereka.
Tentu aja, ada beberapa bagian dari mimpi gue yang ga gue ceritain ke Gebi. Gue pikir, gue ga perlu ceritain semua isi mimpinya. Karena emang ada hal-hal yang berpotensi bikin sakit hati kalo diceritain.
“Kamu masih mikirin mimpi semalem?” Gebi menatap gue, tangan-tangannya menggenggam kedua tangan gue. “Aku tau, vibe-nya pasti ga enak banget buat kamu. Aku juga ngerasain hal yang sama. Tapi itu cuma mimpi, Nendra. Ga punya pertanda apa-apa. Mimpi adalah cara kerja otak untuk memainkan skenario yang ada di kepala kita, yang mustahil terwujud di dunia nyata. Justru kalo kamu pikirin terus, kamu akan sedih berlarut-larut dan kehilangan fokus sama apa yang ada di depan mata.”
Gue ga langsung merespon Gebi. Dari apa yang dia bilang, gue nangkepnya kalo dia ga merasa bahwa mimpi kami ini adalah sesuatu yang spesial. Mungkin Gebi adalah orang yang merasa bahwa segala sesuatu itu bisa dilogikakan, selalu ada penjelasannya. Dan gue ga menampik bahwa yang dia omongin itu ada benernya. Cuma… tetep aja, gue merasa kalo disini, gue doang yang menganggap mimpi gue ketemu Gloria itu adalah sesuatu yang janggal.
“Buat aku, ini terlalu aneh buat jadi kebetulan. Terlalu presisi, sampe bikin merinding. Tapi aku juga ga bisa jelasin ini fenomena apa—kalo mau menganggap kebetulan ini adalah fenomena.” Saat gue bilang merinding, gue beneran ngerasain bulu-bulu halus di tengkuk dan lengan gue meremang hebat. “Because of that weird dream, I even lost my willingness to do another round this morning.”
“SERIUS?!” Gebi memekik, bikin gue spontan tutup kedua kuping dengan kedua tangan. Terus, dia pun menatap ke langit-langit kamar hotel. Tangan kanannya mengangkat, dan dia… acungin jari tengahnya? “I fucking hate you, Gloria!”
Gue cuma bisa geleng-geleng kepala saat nontonin tingkah absurd Gebi. Gue rasa… pacar baru gue ini otaknya udah kena.
———
Jam delapan pagi, gue dan Gebi udah checkout. Kami mutusin untuk checkout lebih awal karena gue harus kerja, dan Gebi, berkaca berdasarkan pengalamannya, yakin banget kalo bokapnya udah ga ada di rumah. Jadi, dia bisa pulang dengan aman. Makanya, setelah ambil KTP di resepsionis, gue langsung menuju parkiran motor untuk buru-buru anter Gebi pulang.
Tapi ketika di parkiran, langkah gue terhenti saat gue menatap ke suatu spot di parkiran mobil. Spot itu adalah tempat Gloria parkirin mobilnya di mimpi gue semalem. Saking terasa nyatanya tuh mimpi, gue sampe harus ngeyakinin diri sendiri bahwa yang potongan memori yang gue inget dan rasain ini bukan kenyataan. Tapi tetap aja, gue ga bisa menepis perasaan aneh yang masih gue rasain saat gue terus memandangi spot parkiran itu.
“Pas tadi aku bangun tidur dan langsung ngeliat ke arah parkiran lewat jendela, kenapa kamu bisa tau kalo aku abis mimpiin Gloria?” tanya gue, pada Gebi.
“Karena… gimana jelasinnya, ya?” Gebi gigit jempolnya sendiri. “Di akhir mimpi aku, aku tiba-tiba bangun dan sadar kalo aku ada di ranjang hotel kamar kita tadi. Terus… aku ke jendela, dan liat kamu keluar dari mobil Gloria. Abis itu aku bangun, dan baru sadar kalo yang sebelumnya juga mimpi. Jadi mimpiku kayak dua lapis. Setelahnya, aku buru-buru ke jendela, untuk mastiin ingatan di kepala aku itu mimpi atau bukan. Untungnya, kali ini aku beneran bangun; kamu masih tidur di ranjang, dan mobil Gloria ga ada di parkiran. And then you just woke up, rushing to the window and gaze into the parking lot; like I did minutes before. Jadi aku asumsiin kita mimpiin orang yang sama.”
“Itu… aneh dan nyeremin.” Bulu-bulu halus di badan gue kembali meremang setelah dengerin cerita Gebi. “Dengan semua hal ga terjelaskan ini, kamu masih ga merasa aneh sama mimpi semalem?”
“Aku lebih memilih untuk fokus ke dunia nyata, Nendra. I left unexplained things as it is. But… if I could say something related to supernatural and illogical shit about these dreams of ours, I believe that my restless late sister feels she needs to do another prank on us.”
Gloria emang playful banget semasa hidupnya. Dia suka banget ngerjain orang lain demi kepuasan pribadinya. Tapi gue ga tau kalo hobinya itu masih terbawa, bahkan setelah dia udah lama meninggal. “Kita perlu ke makamnya lagi, ga, sih?” tanya gue lagi.
“Ga perlu, Bae. Kamu fokus kerja aja. Biaya nikah, kan, ga murah. Apalagi resepsinya.”
Gue makin yakin kalo otak Gebi emang udah kena. Baru pacaran satu malem, tapi udah ngomongin nikah aja. Daripada dia makin ngelantur, gue pegang tangannya, dan tarik dia menuju parkiran motor.
———
Sekarang, gue dan Gebi udah sampe di depan gerbang rumah dia. Biasa, harus ada rutinitas drama dulu sebelum pisah.
“Sepulang kamu kerja, mau ketemu lagi, ga, Bae?” tanya Gebi. Meskipun cuma nanya, tapi mukanya keliatan banget ngarepnya.
Gue pengen jawab “engga”, karena suasana hati gue beneran lagi ga karuan, dan gue butuh waktu buat sendiri. Tapi gue juga takut kalo jawaban gue bikin Gebi kecewa. “Boleh. Aku ke rumah atau kita ketemu di luar?”
“Aku lebih suka kamu ke rumah, sih. We can have some dinner in my garden.”
“Bukannya ada papa kamu?”
“Si workaholic itu, kalo udah di Indo, pasti sibuk ngecekin perusahaannya. Kalo udah begitu, Papa bisa berhari-hari ga pulang, ga tau juga pulangnya kapan. Lagipula, Papa ga masalah, kok, kalo aku bawa cowok ke rumah.”
Kening gue langsung mengernyit. “Terus ngapain kamu kabur dari rumah kemaren?”
“Tiap Papa pulang, beliau tuh selalu bawa nama-nama cowok yang mau dicalonin ke aku. Kalo aku kenalin kamu sebagai pacar ke Papa, nanti beliau ga akan sodorin aku nama-nama asing lagi.”
“Itu ga menjawab pertanyaan aku barusan. Juga ga menjawab pertanyaan yang sama, yang aku tanyain semalem.”
“Ish. Jutek gitu ngomongnya.” Gebi langsung cemberut. Pipinya menggembung sambil menatap sebel ke gue. “Aku, tuh, bete kalo tiap Papa pulang, yang ditanya duluan itu bukan kabar aku, tapi langsung nawarin cowok-cowok anak kenalannya. Makanya kemarin aku kabur, soalnya mendadak banget juga tuh orang pulangnya. Kalo sekarang, seenggaknya aku bisa prepare dulu.”
Haaa… gue kira dia punya father issue yang berat sama bokapnya. Ternyata ‘cuma’ perihal ga mau dijodohin. Sia-sia overthinking gue dari semalem. Mau dibilang kalo masalah tiap orang beda-beda sekalipun, gue merasa bahwa masalah Gebi seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.
“Yaudah. Kalo gitu, aku ke kantor dulu, ya.”
Gue baru mau nyalain mesin motor, tapi Gebi udah nyodorin mukanya ke gue. Segala matanya pake merem-merem pula. Gue yang tadinya merasa malu sama satpam rumah Gebi, karena, tiap mau pisah pasti harus selalu ada sesi cium-cium di depan umum, akhirnya jadi terbiasa dan bodo amat dengan penilaian orang lain. Mending gue dicap ga tau malu, daripada dijutekin Gebi seharian. Makanya, bibir gue pun mendarat ke pipi kiri Gebi, lalu kanannya, dan terakhir…
…Bibir kami pun saling menempel. Tentu, yang lebih agresif tuh Gebi. Di akhir ciuman, dia sempetin melumat bibir gue.
“Untuk sisanya, aku tunggu nanti sepulang kerja, ya,” ucap dia, dengan nada yang gue yakin bisa didenger orang lain.
Terus, Gebi melenggang gitu aja menuju rumahnya, ninggalin gue yang harus berurusan dengan tatapan judgy dan senyum penuh arti dari orang-orang yang denger omongannya.
“Sepulang kamu kerja, mau ketemu lagi, ga, Bae?” tanya Gebi. Meskipun cuma nanya, tapi mukanya keliatan banget ngarepnya.
Gue pengen jawab “engga”, karena suasana hati gue beneran lagi ga karuan, dan gue butuh waktu buat sendiri. Tapi gue juga takut kalo jawaban gue bikin Gebi kecewa. “Boleh. Aku ke rumah atau kita ketemu di luar?”
“Aku lebih suka kamu ke rumah, sih. We can have some dinner in my garden.”
“Bukannya ada papa kamu?”
“Si workaholic itu, kalo udah di Indo, pasti sibuk ngecekin perusahaannya. Kalo udah begitu, Papa bisa berhari-hari ga pulang, ga tau juga pulangnya kapan. Lagipula, Papa ga masalah, kok, kalo aku bawa cowok ke rumah.”
Kening gue langsung mengernyit. “Terus ngapain kamu kabur dari rumah kemaren?”
“Tiap Papa pulang, beliau tuh selalu bawa nama-nama cowok yang mau dicalonin ke aku. Kalo aku kenalin kamu sebagai pacar ke Papa, nanti beliau ga akan sodorin aku nama-nama asing lagi.”
“Itu ga menjawab pertanyaan aku barusan. Juga ga menjawab pertanyaan yang sama, yang aku tanyain semalem.”
“Ish. Jutek gitu ngomongnya.” Gebi langsung cemberut. Pipinya menggembung sambil menatap sebel ke gue. “Aku, tuh, bete kalo tiap Papa pulang, yang ditanya duluan itu bukan kabar aku, tapi langsung nawarin cowok-cowok anak kenalannya. Makanya kemarin aku kabur, soalnya mendadak banget juga tuh orang pulangnya. Kalo sekarang, seenggaknya aku bisa prepare dulu.”
Haaa… gue kira dia punya father issue yang berat sama bokapnya. Ternyata ‘cuma’ perihal ga mau dijodohin. Sia-sia overthinking gue dari semalem. Mau dibilang kalo masalah tiap orang beda-beda sekalipun, gue merasa bahwa masalah Gebi seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah.
“Yaudah. Kalo gitu, aku ke kantor dulu, ya.”
Gue baru mau nyalain mesin motor, tapi Gebi udah nyodorin mukanya ke gue. Segala matanya pake merem-merem pula. Gue yang tadinya merasa malu sama satpam rumah Gebi, karena, tiap mau pisah pasti harus selalu ada sesi cium-cium di depan umum, akhirnya jadi terbiasa dan bodo amat dengan penilaian orang lain. Mending gue dicap ga tau malu, daripada dijutekin Gebi seharian. Makanya, bibir gue pun mendarat ke pipi kiri Gebi, lalu kanannya, dan terakhir…
…Bibir kami pun saling menempel. Tentu, yang lebih agresif tuh Gebi. Di akhir ciuman, dia sempetin melumat bibir gue.
“Untuk sisanya, aku tunggu nanti sepulang kerja, ya,” ucap dia, dengan nada yang gue yakin bisa didenger orang lain.
Terus, Gebi melenggang gitu aja menuju rumahnya, ninggalin gue yang harus berurusan dengan tatapan judgy dan senyum penuh arti dari orang-orang yang denger omongannya.
———
Setelah sampe parkiran kantor dan pasang standar motor, gue buru-buru menuju tangga di belakang kafe untuk ke kantor. Rencananya, karena kerjaan gue lagi sepi, makanya gue mau stand by di kantor sampe sore. Siapa tau juga bisa bantu-bantu yang lain. Tapi baru aja gue masuk ke area outdoor kafe, gue dipanggil oleh seseorang yang lagi duduk santai di salah satu meja kafe.
Seorang bapak paruh baya. Mukanya cukup oriental, dengan rahang tegas dan brewok putih tipis. Rambut penuh ubannya di-trim dengan gaya undercut. Penampilannya kasual, tapi rapi. Si bapak pake kaos berkerah berwarna putih tulang yang dipasangin dengan celana pendek selutut berwarna coklat. Dan gue ga liat beliau pake alas kaki apa, soalnya ga sopan juga pandangin orang dari ujung kepala sampe kakinya.
“Ya, Pak?” Gue berhenti tepat di hadapan si bapak.
Punggung si bapak yang tadinya bersandar ke kursi, jadi sedikit maju. “Masnya pengunjung atau kerja di kafe ini?”
Gue langsung kaget atas pertanyaan si bapak. Soalnya, pertanyaan kayak gitu ga biasa ditanyain ke orang asing. Gue pun menggeleng. “Saya kerja di kantor yang di atas kafe, Pak.”
“Wah? Kirain kamu kerja di kafe, soalnya santai gitu bajunya.”
Si bapak ga salah juga. sih, kalo mengira gue kerjanya di kafe. Soalnya, gue emang ga mencerminkan orang yang kerja kantoran. Kayak… pekerja kantoran mana yang pake kaos long sleeves, jaket bomber, skinny jeans, sama sepatu kasual? Tapi, di pembelaan gue, karena ranah kerja gue kebanyakan di lapangan dan ga tiap hari berurusan dengan klien secara langsung, apalagi gue juga dibolehin sama boss, jadi pilihan outfit kerja gue kebanyakan yang kasual, kecuali kalo mau ketemu klien, sih.
Lagian, penting banget, sih, bapak ini sampe komentarin outfit kerja orang lain? Si bapak emang ga salah karena udah berkomentar begitu, tapi gue sebel dengernya.
“Coba, Mas, sini duduk dulu temani saya. Sambil nunggu boss kamu, tuh, si Ira, datang,” ucap si bapak lagi. Karena si bapak langsung mention Bu Ira, gue langsung menduga bahwa bapak paruh baya ini adalah klien penting boss gue.
Setelah gue duduk, si bapak langsung sodorin gue daftar menu. “Pesan aja, bills on me.” Gue agak kaget saat denger cara ngomong si bapak. Meski saat berbahasa Indonesia, logatnya agak medhok, tapi saat pake bahasa Inggris, gue bisa denger aksen british yang lumayan kental.
“Engga usah, Pak. Terima kasih,” bales gue, sungkan.
“Oke, oke.” Setelah angguk-angguk kecil, beliau menyisip secangkir kopi hitam di hadapannya. Dari buih kecoklatan yang muncul di permukaan kopi, gue menduga yang dipesan si bapak adalah long black. “Jadi begini, Mas…?”
“Nendra, Pak.”
Si bapak tampak agak kaget saat gue sebut nama. Tapi beliau berhasil menutupi ekspresi kagetnya. Ekspresi berwibawanya cepat kembali. “Jadi, Mas Nendra tau siapa saya?”
Gue menggeleng, perlahan. Tentu aja gue ga tau, dan justru aneh kalo gue bisa kenal orang asing di depan gue ini, lengkap dengan latar belakangnya. Menurut gue, pertanyaan kayak yang dilontarin si bapak, tuh, harusnya ga pernah ada di muka bumi. Lah, kenal juga engga, tiba-tiba nanya “kamu tau siapa saya?”. Kecuali yang ditanya itu dukun super sakti yang bisa mengenali orang asing berikut asal usulnya karena dibisikin jin, kayaknya ga ada orang normal yang bisa langsung jawab.
“Saya ini… bisa dibilang boss kamu,” lanjut si bapak, “boss yang lebih boss dari boss kamu.”
Sumpah, gue pusing dengerin bapak ini ngomong. “Saya masih ga ngerti. Jadi Bapak ini atasannya Bu Ira atau bagaimana?”
“Lho, he…. Saya yang modalin boss kamu, sehingga bisa punya bisnis EO ini.” Si bapak, kembali menyisip kopinya, sebelum ngelanjutin. “Saya invest modal ke Ira itu sekitar… segitu, lah. Tapi saya baru bisa cek kantor dan lain-lainnya hari ini.”
Pantes vibe bapak ini kayak superior gitu. Ternyata pemodal bisnisnya Bu Ira.
“Oh, gitu, Pak.” Gue cuma bisa angguk-angguk, sebagai respon tambahan. Gue ga mau banyak komentar, takut salah ngomong. Kalo salah ngomong, gue takut urusannya jadi panjang. Kalo urusannya jadi panjang, gue takut berimbas ke pekerjaan gue. Dan pikiran overthinking gue pun langsung cepat menyusun skenario butterfly effect yang terjadi cuma gara-gara gue banyak omong.
“Mas Nendra kenapa irit sekali responnya? Takut salah ngomong, ya?” tanya si bapak, sebagai reaksi atas respon gue.
Gue langsung mengangguk, malu-malu. Hebat bapaknya, langsung bisa nebak gue. Atau emang gue aja yang gampang ketebak, ya? “Kayaknya saya ga punya kapasitas untuk bahas kerjaan sama Bapak, jadi respon saya juga terbatas,” bales gue.
“Itu sikap yang bagus, Mas. Di dunia kerja, biasakan ngomong seperlunya dan sesuai dengan kapasitas. Ga semua orang suka dengan orang yang banyak omong dan ga bisa jaga rahasia perusahaan.” Si bapak tiba-tiba geleng-geleng kepala, ekspresinya kayak habis menyayangkan sesuatu. “Jangan seperti karyawan yang saya ajak ngobrol sebelum kamu; semua diceritakan sama dia. Saya jadi tau hal-hal yang ga ada di laporan resmi yang dikasih boss kamu, kan. Saya juga ga suka sikapnya. Waktu saya panggil, dia seperti ogah-ogahan merespon saya, eh, setelah saya kasih tau kalo saya investor perusahaan, sikapnya langsung berubah drastis. Jadi banyak omong.”
Kayaknya gue tau, nih, siapa orang yang dikeluhin sama si bapak. “Cewek, ya, Pak? Rambutnya pendek bondol, pake kacamata?”
“Betul, betul!” Lalu, si bapak mengangguk-angguk. “Kalau kamu bisa langsung menebak, berarti sifatnya memang begitu, ya? Seperti tukang gosip aja.”
“Kurang lebih begitu, Pak,” jawab gue, sambil menghela nafas panjang. “Mohon maafin rekan kerja saya, ya, Pak.”
“It’s okay, bukan masalah besar juga. Tapi karena rekan kerja kamu itu, saya jadi harus menambah hal-hal yang akan dibahas sama boss kamu,” bales si bapak, “terutama perihal anak saya yang ternyata kerja di kantor kalian. Ira, tuh, ga pernah bilang tentang hal itu, lho!”
Gue langsung heran. “Emang anak Bapak kerja jadi—” dan keheranan gue, seketika berubah jadi panik, saat gue baru sadar kalo muka oriental si bapak, tuh, mirip banget sama….
“Si Gabriellé, lho. Kamu kenal anak saya, kan?”
Muka gue langsung berubah pucat saat nama Gabriellé disebut. Ternyata, orang di hadapan gue ini adalah bokapnya. Pikiran panik gue pun berpikir cepat; berandai-andai tentang apa yang akan terjadi misal si bapak tau kalo gue dan Gebi punya hubungan khusus yang ga ada hubungannya dengan kepentingan kantor (baca: pacaran). Ah, tapi kan belum tentu juga orangnya tau.
“Kenal, Pak,” jawab gue, pelan.
Badan si bapak, kini lebih condong lagi ke gue. Beliau menumpukan dagu pada jari-jari yang bersilangan, dengan kedua siku tangannya bertumpu pada meja. Sambil menatap tajam ke gue, dia bertanya, “pasti kenal, kan kata rekan kamu itu, seisi kantor tau kalau kalian dekat. Gimana hubungan kalian? Sudah pacaran, ya?”
Pertanyaan bokap Gebi ini kayak pisau yang menusuk langsung ke hati. Karena terlalu panik, gue jadi ga tau harus berbuat apa. Gue juga ga tau mesti ngomong apa! Lidah gue kelu, dan keringet dingin mulai merembes di kening. Tapi gue tau siapa yang harus bertanggung jawab atas rasa ga enak di hati gue ini: Sisil. Rasanya, gue pengen banget ngejahit mulut ember dia biar cewek itu kapok untuk ngegosip lagi.
“Lho, Mas Nendra kok diem aja? Apa sekarang lagi cari-cari alasan yang masuk akal, untuk pertanyaan: apa kamu yang bikin anak saya ga pulang ke rumah semalaman?”
Udahlah, ngaku aja semuanya. Gue udah ga tahan sama tekanan mental yang bapak ini kasih. “Iya, itu saya. Untuk itu, saya minta maaf. Saya—”
“Nama panjang kamu siapa?” potong si bapak. Nadanya yang tegas, bikin gue ga berani mempertanyakan maksud beliau nanyain nama panjang gue.
“Ganendra Bima, Pak.”
Si bapak langsung tampak berpikir keras. Setelah menyisip kopinya untuk kesekian kali, beliau kembali menatap gue, tajam. “Seberapa jauh kamu kenal anak saya?”
“Kalo kenal, udah dari hari pertama kerja, Pak,” jawab gue, hati-hati banget, “tapi kalo dekat, kira-kira seminggu ini.”
“Tau kalau anak saya punya kakak?”
Gue mengangguk, pelan. Kenapa bapak ini tiba-tiba mention Gloria?
“Kenal juga sama kakaknya?”
Sekali lagi, gue mengangguk. Tapi kali ini, gue beraniin diri untuk bertanya. “Memang ada apa—”
“Loh, Nendra udah lama nemenin Pak Wawan?”
Sebuah suara, bikin gue spontan nengok ke arah pintu. Di ambang pintu kaca, Bu Ira lagi berdiri, dengan tangan kanan memegang tas jinjing, dan tangan kiri memeluk map tebal.
“Belum lama banget, kok, Ra,” jawab si bapak, yang dipanggil Pak Wawan oleh Bu Ira. Lalu, Pak Wawan kembali nengok ke gue. “Selesai urusan saya dengan Ira, saya mau kamu ikut saya.”
“Tapi saya kerja hari ini—”
“Ini soal Gloria. Dan penting,” potong Pak Wawan. Lalu, sambil mengibaskan tangan kanannya, beliau bilang, “you may go. I have other matters to discuss, for now.”
Gue langsung pamit ke Pak Wawan, dan juga ke Bu Ira, yang masih bingung dengan isi obrolan kami. Dengan langkah bingung dan pikiran yang berlebih, gue menaiki anak tangga, menuju lantai dua.
Seorang bapak paruh baya. Mukanya cukup oriental, dengan rahang tegas dan brewok putih tipis. Rambut penuh ubannya di-trim dengan gaya undercut. Penampilannya kasual, tapi rapi. Si bapak pake kaos berkerah berwarna putih tulang yang dipasangin dengan celana pendek selutut berwarna coklat. Dan gue ga liat beliau pake alas kaki apa, soalnya ga sopan juga pandangin orang dari ujung kepala sampe kakinya.
“Ya, Pak?” Gue berhenti tepat di hadapan si bapak.
Punggung si bapak yang tadinya bersandar ke kursi, jadi sedikit maju. “Masnya pengunjung atau kerja di kafe ini?”
Gue langsung kaget atas pertanyaan si bapak. Soalnya, pertanyaan kayak gitu ga biasa ditanyain ke orang asing. Gue pun menggeleng. “Saya kerja di kantor yang di atas kafe, Pak.”
“Wah? Kirain kamu kerja di kafe, soalnya santai gitu bajunya.”
Si bapak ga salah juga. sih, kalo mengira gue kerjanya di kafe. Soalnya, gue emang ga mencerminkan orang yang kerja kantoran. Kayak… pekerja kantoran mana yang pake kaos long sleeves, jaket bomber, skinny jeans, sama sepatu kasual? Tapi, di pembelaan gue, karena ranah kerja gue kebanyakan di lapangan dan ga tiap hari berurusan dengan klien secara langsung, apalagi gue juga dibolehin sama boss, jadi pilihan outfit kerja gue kebanyakan yang kasual, kecuali kalo mau ketemu klien, sih.
Lagian, penting banget, sih, bapak ini sampe komentarin outfit kerja orang lain? Si bapak emang ga salah karena udah berkomentar begitu, tapi gue sebel dengernya.
“Coba, Mas, sini duduk dulu temani saya. Sambil nunggu boss kamu, tuh, si Ira, datang,” ucap si bapak lagi. Karena si bapak langsung mention Bu Ira, gue langsung menduga bahwa bapak paruh baya ini adalah klien penting boss gue.
Setelah gue duduk, si bapak langsung sodorin gue daftar menu. “Pesan aja, bills on me.” Gue agak kaget saat denger cara ngomong si bapak. Meski saat berbahasa Indonesia, logatnya agak medhok, tapi saat pake bahasa Inggris, gue bisa denger aksen british yang lumayan kental.
“Engga usah, Pak. Terima kasih,” bales gue, sungkan.
“Oke, oke.” Setelah angguk-angguk kecil, beliau menyisip secangkir kopi hitam di hadapannya. Dari buih kecoklatan yang muncul di permukaan kopi, gue menduga yang dipesan si bapak adalah long black. “Jadi begini, Mas…?”
“Nendra, Pak.”
Si bapak tampak agak kaget saat gue sebut nama. Tapi beliau berhasil menutupi ekspresi kagetnya. Ekspresi berwibawanya cepat kembali. “Jadi, Mas Nendra tau siapa saya?”
Gue menggeleng, perlahan. Tentu aja gue ga tau, dan justru aneh kalo gue bisa kenal orang asing di depan gue ini, lengkap dengan latar belakangnya. Menurut gue, pertanyaan kayak yang dilontarin si bapak, tuh, harusnya ga pernah ada di muka bumi. Lah, kenal juga engga, tiba-tiba nanya “kamu tau siapa saya?”. Kecuali yang ditanya itu dukun super sakti yang bisa mengenali orang asing berikut asal usulnya karena dibisikin jin, kayaknya ga ada orang normal yang bisa langsung jawab.
“Saya ini… bisa dibilang boss kamu,” lanjut si bapak, “boss yang lebih boss dari boss kamu.”
Sumpah, gue pusing dengerin bapak ini ngomong. “Saya masih ga ngerti. Jadi Bapak ini atasannya Bu Ira atau bagaimana?”
“Lho, he…. Saya yang modalin boss kamu, sehingga bisa punya bisnis EO ini.” Si bapak, kembali menyisip kopinya, sebelum ngelanjutin. “Saya invest modal ke Ira itu sekitar… segitu, lah. Tapi saya baru bisa cek kantor dan lain-lainnya hari ini.”
Pantes vibe bapak ini kayak superior gitu. Ternyata pemodal bisnisnya Bu Ira.
“Oh, gitu, Pak.” Gue cuma bisa angguk-angguk, sebagai respon tambahan. Gue ga mau banyak komentar, takut salah ngomong. Kalo salah ngomong, gue takut urusannya jadi panjang. Kalo urusannya jadi panjang, gue takut berimbas ke pekerjaan gue. Dan pikiran overthinking gue pun langsung cepat menyusun skenario butterfly effect yang terjadi cuma gara-gara gue banyak omong.
“Mas Nendra kenapa irit sekali responnya? Takut salah ngomong, ya?” tanya si bapak, sebagai reaksi atas respon gue.
Gue langsung mengangguk, malu-malu. Hebat bapaknya, langsung bisa nebak gue. Atau emang gue aja yang gampang ketebak, ya? “Kayaknya saya ga punya kapasitas untuk bahas kerjaan sama Bapak, jadi respon saya juga terbatas,” bales gue.
“Itu sikap yang bagus, Mas. Di dunia kerja, biasakan ngomong seperlunya dan sesuai dengan kapasitas. Ga semua orang suka dengan orang yang banyak omong dan ga bisa jaga rahasia perusahaan.” Si bapak tiba-tiba geleng-geleng kepala, ekspresinya kayak habis menyayangkan sesuatu. “Jangan seperti karyawan yang saya ajak ngobrol sebelum kamu; semua diceritakan sama dia. Saya jadi tau hal-hal yang ga ada di laporan resmi yang dikasih boss kamu, kan. Saya juga ga suka sikapnya. Waktu saya panggil, dia seperti ogah-ogahan merespon saya, eh, setelah saya kasih tau kalo saya investor perusahaan, sikapnya langsung berubah drastis. Jadi banyak omong.”
Kayaknya gue tau, nih, siapa orang yang dikeluhin sama si bapak. “Cewek, ya, Pak? Rambutnya pendek bondol, pake kacamata?”
“Betul, betul!” Lalu, si bapak mengangguk-angguk. “Kalau kamu bisa langsung menebak, berarti sifatnya memang begitu, ya? Seperti tukang gosip aja.”
“Kurang lebih begitu, Pak,” jawab gue, sambil menghela nafas panjang. “Mohon maafin rekan kerja saya, ya, Pak.”
“It’s okay, bukan masalah besar juga. Tapi karena rekan kerja kamu itu, saya jadi harus menambah hal-hal yang akan dibahas sama boss kamu,” bales si bapak, “terutama perihal anak saya yang ternyata kerja di kantor kalian. Ira, tuh, ga pernah bilang tentang hal itu, lho!”
Gue langsung heran. “Emang anak Bapak kerja jadi—” dan keheranan gue, seketika berubah jadi panik, saat gue baru sadar kalo muka oriental si bapak, tuh, mirip banget sama….
“Si Gabriellé, lho. Kamu kenal anak saya, kan?”
Muka gue langsung berubah pucat saat nama Gabriellé disebut. Ternyata, orang di hadapan gue ini adalah bokapnya. Pikiran panik gue pun berpikir cepat; berandai-andai tentang apa yang akan terjadi misal si bapak tau kalo gue dan Gebi punya hubungan khusus yang ga ada hubungannya dengan kepentingan kantor (baca: pacaran). Ah, tapi kan belum tentu juga orangnya tau.
“Kenal, Pak,” jawab gue, pelan.
Badan si bapak, kini lebih condong lagi ke gue. Beliau menumpukan dagu pada jari-jari yang bersilangan, dengan kedua siku tangannya bertumpu pada meja. Sambil menatap tajam ke gue, dia bertanya, “pasti kenal, kan kata rekan kamu itu, seisi kantor tau kalau kalian dekat. Gimana hubungan kalian? Sudah pacaran, ya?”
Pertanyaan bokap Gebi ini kayak pisau yang menusuk langsung ke hati. Karena terlalu panik, gue jadi ga tau harus berbuat apa. Gue juga ga tau mesti ngomong apa! Lidah gue kelu, dan keringet dingin mulai merembes di kening. Tapi gue tau siapa yang harus bertanggung jawab atas rasa ga enak di hati gue ini: Sisil. Rasanya, gue pengen banget ngejahit mulut ember dia biar cewek itu kapok untuk ngegosip lagi.
“Lho, Mas Nendra kok diem aja? Apa sekarang lagi cari-cari alasan yang masuk akal, untuk pertanyaan: apa kamu yang bikin anak saya ga pulang ke rumah semalaman?”
Udahlah, ngaku aja semuanya. Gue udah ga tahan sama tekanan mental yang bapak ini kasih. “Iya, itu saya. Untuk itu, saya minta maaf. Saya—”
“Nama panjang kamu siapa?” potong si bapak. Nadanya yang tegas, bikin gue ga berani mempertanyakan maksud beliau nanyain nama panjang gue.
“Ganendra Bima, Pak.”
Si bapak langsung tampak berpikir keras. Setelah menyisip kopinya untuk kesekian kali, beliau kembali menatap gue, tajam. “Seberapa jauh kamu kenal anak saya?”
“Kalo kenal, udah dari hari pertama kerja, Pak,” jawab gue, hati-hati banget, “tapi kalo dekat, kira-kira seminggu ini.”
“Tau kalau anak saya punya kakak?”
Gue mengangguk, pelan. Kenapa bapak ini tiba-tiba mention Gloria?
“Kenal juga sama kakaknya?”
Sekali lagi, gue mengangguk. Tapi kali ini, gue beraniin diri untuk bertanya. “Memang ada apa—”
“Loh, Nendra udah lama nemenin Pak Wawan?”
Sebuah suara, bikin gue spontan nengok ke arah pintu. Di ambang pintu kaca, Bu Ira lagi berdiri, dengan tangan kanan memegang tas jinjing, dan tangan kiri memeluk map tebal.
“Belum lama banget, kok, Ra,” jawab si bapak, yang dipanggil Pak Wawan oleh Bu Ira. Lalu, Pak Wawan kembali nengok ke gue. “Selesai urusan saya dengan Ira, saya mau kamu ikut saya.”
“Tapi saya kerja hari ini—”
“Ini soal Gloria. Dan penting,” potong Pak Wawan. Lalu, sambil mengibaskan tangan kanannya, beliau bilang, “you may go. I have other matters to discuss, for now.”
Gue langsung pamit ke Pak Wawan, dan juga ke Bu Ira, yang masih bingung dengan isi obrolan kami. Dengan langkah bingung dan pikiran yang berlebih, gue menaiki anak tangga, menuju lantai dua.
●
=April=
Tadinya, gua mau sapa Nendra begitu dia muncul dari tangga. Tapi karena mukanya keliatan lagi banyak pikiran, gua pun urung sapa dia. Kayaknya hidup dia lagi ga baik-baik aja, akhir-akhir ini.
Gua perhatiin, Nendra ga langsung menuju ke mejanya. Dia malah jalan ke meja kerja Sisil. Lalu, dia berdiri di hadapan Sisil, selama beberapa detik, tanpa ngomong sepatah kata pun. Cuma diem, sambil ngeliatin Sisil sibuk dengan laptopnya.
“Kenapa, Nendra?” tanya Sisil, akhirnya. Mungkin dia gerah juga diliatin lama-lama.
“Ga apa-apa. Gue cuma ga mau banyak omong,” bales Nendra, “dan seharusnya lo juga.”
Sisil langsung berhenti ngetik. Dia nengok ke Nendra. “Maksud kamu apa?”
“Lo tau banget apa yang gue maksud.” Lalu, sambil pergi ninggalin meja kerja Sisil, Nendra ngeliatin dia dengan tatapan sinis. “Lain kali, jadi orang, tuh, jangan terlalu banyak omong. Lo bisa bikin rugi orang lain,” tambah Nendra.
Yang udah-udah, Sisil akan langsung bereaksi keras kalo ada orang yang mengkonfrontasi dia. Tapi kali ini, dia diem aja saat Nendra ngomong sinis ke dia. Dan ini bikin gua heran. Tapi keheranan gua ga bertahan lama, karena gua baru aja tau penyebabnya. Sisil ga bereaksi bukan karena dia ga bisa jawab omongannya Nendra, tapi karena engga berani. Soalnya, saat Nendra lewatin meja gua, gua liat tatapan matanya. Ternyata itu bukan tatapan sinis, tapi tatapan mata penuh kemarahan. Sejujurnya, kalo gua jadi Sisil pun, gua ga akan berani ngomong apa-apa kalo menghadapi orang yang tatapan matanya seemosi itu.
Dan sekarang, semua mata memandang ke arah Sisil dan Nendra, bergantian. Ga ada yang menyangka juga, kalo dua orang yang biasanya baik-baik aja ke satu sama lain, bisa timbul cekcok kayak tadi. Tapi gua yakin, rekan kerja yang lain juga sama bingungnya kayak gua. Ga ada yang bener-bener tau apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Tapi baik Nendra maupun Sisil, ga terlalu peduli akan hal itu dan memilih untuk fokus ke pekerjaan masing-masing. Lalu, semuanya pun sibuk sendiri-sendiri. Tapi, suasana kantor jadi ga enak. Dan terus begitu, bahkan setelah Bu Ira datang.
“Nendra, kamu diminta ikut sama Pak Wawan—maksudnya, Pak Himawan. Kalau ada kerjaan kantor yang mendesak hari ini, biar saya yang lobi ke klien,” ucap Bu Ira, sambil menghadap ke Nendra. Lalu, dia ganti nengok ke Sisil. “Sil, saya mau ngomong berdua sama kamu. Ke kafe, ya, sekarang.”
Nendra cuma mengangguk sebagai respon untuk Bu Ira. Lalu dia beresin tas ranselnya, abis itu pamit ke Bu Ira sebelum turun ke lantai dasar. Sementara Sisil langsung menghampiri Bu Ira, dengan ekspresi tegang yang keliatan jelas di mukanya.
Dan gua benci diri gua sendiri, karena jadi orang yang ga tau apa-apa tentang hal yang terjadi di sekitar gua.
Gua perhatiin, Nendra ga langsung menuju ke mejanya. Dia malah jalan ke meja kerja Sisil. Lalu, dia berdiri di hadapan Sisil, selama beberapa detik, tanpa ngomong sepatah kata pun. Cuma diem, sambil ngeliatin Sisil sibuk dengan laptopnya.
“Kenapa, Nendra?” tanya Sisil, akhirnya. Mungkin dia gerah juga diliatin lama-lama.
“Ga apa-apa. Gue cuma ga mau banyak omong,” bales Nendra, “dan seharusnya lo juga.”
Sisil langsung berhenti ngetik. Dia nengok ke Nendra. “Maksud kamu apa?”
“Lo tau banget apa yang gue maksud.” Lalu, sambil pergi ninggalin meja kerja Sisil, Nendra ngeliatin dia dengan tatapan sinis. “Lain kali, jadi orang, tuh, jangan terlalu banyak omong. Lo bisa bikin rugi orang lain,” tambah Nendra.
Yang udah-udah, Sisil akan langsung bereaksi keras kalo ada orang yang mengkonfrontasi dia. Tapi kali ini, dia diem aja saat Nendra ngomong sinis ke dia. Dan ini bikin gua heran. Tapi keheranan gua ga bertahan lama, karena gua baru aja tau penyebabnya. Sisil ga bereaksi bukan karena dia ga bisa jawab omongannya Nendra, tapi karena engga berani. Soalnya, saat Nendra lewatin meja gua, gua liat tatapan matanya. Ternyata itu bukan tatapan sinis, tapi tatapan mata penuh kemarahan. Sejujurnya, kalo gua jadi Sisil pun, gua ga akan berani ngomong apa-apa kalo menghadapi orang yang tatapan matanya seemosi itu.
Dan sekarang, semua mata memandang ke arah Sisil dan Nendra, bergantian. Ga ada yang menyangka juga, kalo dua orang yang biasanya baik-baik aja ke satu sama lain, bisa timbul cekcok kayak tadi. Tapi gua yakin, rekan kerja yang lain juga sama bingungnya kayak gua. Ga ada yang bener-bener tau apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Tapi baik Nendra maupun Sisil, ga terlalu peduli akan hal itu dan memilih untuk fokus ke pekerjaan masing-masing. Lalu, semuanya pun sibuk sendiri-sendiri. Tapi, suasana kantor jadi ga enak. Dan terus begitu, bahkan setelah Bu Ira datang.
“Nendra, kamu diminta ikut sama Pak Wawan—maksudnya, Pak Himawan. Kalau ada kerjaan kantor yang mendesak hari ini, biar saya yang lobi ke klien,” ucap Bu Ira, sambil menghadap ke Nendra. Lalu, dia ganti nengok ke Sisil. “Sil, saya mau ngomong berdua sama kamu. Ke kafe, ya, sekarang.”
Nendra cuma mengangguk sebagai respon untuk Bu Ira. Lalu dia beresin tas ranselnya, abis itu pamit ke Bu Ira sebelum turun ke lantai dasar. Sementara Sisil langsung menghampiri Bu Ira, dengan ekspresi tegang yang keliatan jelas di mukanya.
Dan gua benci diri gua sendiri, karena jadi orang yang ga tau apa-apa tentang hal yang terjadi di sekitar gua.
●
=Nendra=
Naik mobil Pak Himawan, gue dibawa beliau pergi ke suatu tempat. Gue ga tau tujuan pastinya. Katanya, gue tinggal duduk manis dan ikut aja. Karena beliau sekarang masuk ke tol lingkar dalam Jakarta, gue duga kalo gue ga dibawa ke tempat yang deket dari kantor.
Selama di jalan, baik gue maupun Pak Himawan ga ngomong sama sekali. Atau mungkin belum, karena belum ada yang berniat untuk memecah keheningan di antara kami. Pak Himawan masih sibuk menyetir, sementara gue yang duduk di sebelahnya, lagi sibuk meredam pikiran-pikiran cemas yang berisik di kepala.
“Ira itu ipar saya, Nendra.” Begitu kata beliau, memulai pembicaraan. “Mendiang suaminya itu adik saya. Meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Adik saya itu seumur hidupnya isinya kepleset terus, tapi sebelumnya ga pernah di kamar mandi. Begitu dia kepleset di kamar mandi rumah saya, malah langsung lewat.”
Gue seharusnya nunjukin empati terhadap cerita Pak Himawan tentang suaminya Bu Ira. Tapi karena gue tiba-tiba keinget kalo gue simpen sebuah meme tentang jatuh di kamar mandi di HP, gue ga bisa sembunyiin senyum gue dari beliau. Rasanya gue jadi orang yang bobrok banget; udah diem-diemannya lama, eh, sekalinya orangnya ngomong, gue malah mau ketawa.
“Kenapa kamu senyum-senyum, gitu?” tanya Pak Himawan, yang sadar kalo gue lagi berusaha keras supaya ga keliatan senyum.
“Engga, Pak.” Gue menghela nafas berkali-kali, berusaha tenang supaya ga jadi ketawa. “Saya cuma tiba-tiba keinget sama gambar meme di HP saya, soal yang Bapak omongin tadi. Maaf, Pak. Maaf banget, ga bermaksud ketawa juga tadinya.”
“Coba saya lihat.”
Gue ga langsung nurutin permintaan Pak Himawan. Ga enak hati banget nurutinnya. Tapi karena beliau maksa sampe beberapa kali, akhirnya dengan berat hati gue pun kasih HP gue ke beliau, untuk tunjukin meme yang gue maksud.
Selama di jalan, baik gue maupun Pak Himawan ga ngomong sama sekali. Atau mungkin belum, karena belum ada yang berniat untuk memecah keheningan di antara kami. Pak Himawan masih sibuk menyetir, sementara gue yang duduk di sebelahnya, lagi sibuk meredam pikiran-pikiran cemas yang berisik di kepala.
“Ira itu ipar saya, Nendra.” Begitu kata beliau, memulai pembicaraan. “Mendiang suaminya itu adik saya. Meninggal karena terpeleset di kamar mandi. Adik saya itu seumur hidupnya isinya kepleset terus, tapi sebelumnya ga pernah di kamar mandi. Begitu dia kepleset di kamar mandi rumah saya, malah langsung lewat.”
Gue seharusnya nunjukin empati terhadap cerita Pak Himawan tentang suaminya Bu Ira. Tapi karena gue tiba-tiba keinget kalo gue simpen sebuah meme tentang jatuh di kamar mandi di HP, gue ga bisa sembunyiin senyum gue dari beliau. Rasanya gue jadi orang yang bobrok banget; udah diem-diemannya lama, eh, sekalinya orangnya ngomong, gue malah mau ketawa.
“Kenapa kamu senyum-senyum, gitu?” tanya Pak Himawan, yang sadar kalo gue lagi berusaha keras supaya ga keliatan senyum.
“Engga, Pak.” Gue menghela nafas berkali-kali, berusaha tenang supaya ga jadi ketawa. “Saya cuma tiba-tiba keinget sama gambar meme di HP saya, soal yang Bapak omongin tadi. Maaf, Pak. Maaf banget, ga bermaksud ketawa juga tadinya.”
“Coba saya lihat.”
Gue ga langsung nurutin permintaan Pak Himawan. Ga enak hati banget nurutinnya. Tapi karena beliau maksa sampe beberapa kali, akhirnya dengan berat hati gue pun kasih HP gue ke beliau, untuk tunjukin meme yang gue maksud.
Gue liat Pak Himawan ambil HP gue. Sebelum beliau liat ke layar HP, beliau pastiin dulu bahwa mobilnya ada di jalur lambat. Lalu, dia pun liat layar HP gue, dan….
“BUH—HAHAHAHAHAHA! INI, NIH, NASIB ADIK SAYA PERSIS BANGET BEGINI!” Dia ketawa ngakak, dong…. “Coba, kirim ke saya. Mau saya share ke grup WA keluarga.”
Gue langsung ambil HP gue dari tangannya, dan gue langsung menggeleng tegas. Liat ekspresi gue, ketawa Pak Himawan makin menjadi-jadi. Suasana hening di mobilnya pun berubah jadi ceria.
“Kalo meme kecelakaan, kamu punya, ga?” tanya beliau, sambil masih ketawain meme barusan.
Kali ini, gue langsung merengut. Gue tau arahnya kemana. “Tadinya punya. Begitu tau kabar Gloria, saya langsung trauma sama segala hal yang topiknya kecelakaan.”
“Sejak kapan kamu tau kabar Gloria?” tanya beliau, menyudahi sesi ketawanya.
“Baru-baru ini, Pak. Dikasih tau sama Gebi.”
“Udah akrab juga manggilnya.” Pak Himawan geleng-geleng kepala. “Saya ga habis pikir sama kamu. Bisa-bisanya kamu dekat sama kedua anak saya. Yah… meski rentang waktunya beda.”
“Tadinya saya juga ga tau kalo Gebi itu adiknya Gloria, Pak. Gebi juga ga tau kalo dulu saya temennya Gloria. Semuanya kayak kebetulan aja, gitu.”
“Believe it or not, saya pulang ke Indo juga berniat mau urus proses jual rumah lama saya.” Lalu, Pak Himawan cerita kalo sebelum urus proses jual rumah, beliau sempetin diri untuk mampir ke kantor Bu Ira. Niatnya murni penasaran, cuma mau tau hasil peruntukan uang yang beliau investasikan. Saat beliau nunggu Bu Ira di kafe, beliau ketemu sama Sisil. Setelah Sisil tau kalo beliau adalah investor utama perusahaan, langsung deh, tuh, mulut ember cewek itu ga berhenti ngomong. Semua dia ceritain, termasuk soal hubungan gue dan Gebi. Karena ceritanya Sisil, Pak Himawan jadi tau kalo Gebi kerja di kantornya Bu Ira. “Tadinya saya kira, kamu itu cuma namanya aja yang mirip dengan cowok yang disebut-sebut sama Gloria. Eh, pas saya tanya nama panjang kamu, ternyata kamu beneran cowok yang Gloria maksud. Kebetulan itu, ternyata bisa semengerikan ini, ya, Nendra.”
“Entah ini kebetulan atau emang udah ada yang atur, tapi saya ga suka dengan perasaan seperti lagi dikendalikan oleh sesuatu ini, Pak. Kayak ga punya kendali atas diri sendiri, jadinya.”
“Saya setuju soal itu.”
Sempat ada hening yang menjeda kami. Tapi, gue akhirnya beraniin diri untuk bertanya tentang sesuatu yang mengganjal dari tadi. “Gloria… cerita sesuatu tentang saya ke Bapak?”
“Dia ga cerita, kok. Dia ga pernah cerita soal urusan pribadinya ke saya. Tapi, kalau kamu masih penasaran saya tau kamu dari mana, nanti juga kamu tau sendiri.” Pak Himawan sekilas senyum ke gue. Sebuah senyum penuh percaya diri. “Yang jelas, saya mau kasih kamu sesuatu. Biar urusan anak saya akhirnya selesai, dan saya bisa jual rumah itu dengan tenang.”
Gue mikir sebentar, lalu menatap Pak Himawan. “Bapak mau kasih saya kado dari Gloria, ya? Kado yang ga pernah sempat dia kasih ke saya.”
“Kok kamu tau?” responnya, cepat. Si bapak kaget karena tebakan gue bener.
“Nanti juga Bapak tau sendiri,” bales gue, sambil kasih beliau senyum penuh percaya diri. “Satu sama, Pak.”
Pak Himawan langsung mengangguk-angguk. “Boleh juga counter kamu.”
Setelahnya, gue dan Pak Himawan kembali diem-dieman. Gue pake jeda ini untuk langsung inget-inget lagi mimpi semalem. Di mimpi itu, Gloria ngomong tentang dua hal, yang dua-duanya beneran kejadian di dunia nyata; tentang kado dari Gloria, dan pernyataan dia yang bilang kalo gue akan ketemu sama bokapnya. Gue langsung bergidik ngeri, ngebayangin betapa tepatnya omongan dia di mimpi itu.
———
Mobil yang gue tumpangi sampe ke depan sebuah rumah yang berada di dalam kompleks perumahan di bilangan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Gue ga tau ini rumah siapa, tapi keadaannya terlalu rame untuk disebut rumah lama yang udah ga lagi berpenghuni. Maksud gue, garasi rumahnya lebih keliatan kayak bengkel, dan carport rumahnya dipenuhi banyak orang yang lagi ngobrol sambil mengelilingi beberapa motor custom yang terparkir di sana; kayak emang sengaja lagi dipajang. Halaman rumahnya juga udah disulap jadi kafe berkonsep outdoor. Tentu, meja-mejanya dinaungi kanopi sehingga terlindung dari terik matahari atau hujan.
Pak Himawan menepikan mobilnya di depan rumah, lalu keluar dan ajak gue ikut serta. “Sudah sukses ini anak, ternyata,” ucap beliau, sambil berdecak kagum. Lalu, beliau menepuk bahu kanan gue. “Sebelum kita ke rumah lama saya, kita ke sini dulu, ya.”
Gue masih bingung ini rumah siapa, dan kenapa gue diajak ke sini, tapi perasaan gue bilang kalo gue akan ketemu sama orang yang gue—
“Wah, wah! Rumah ini makin rame aja!” sapa Pak Himawan, lantang, ke seorang cowok berwajah oriental yang sedang ngobrol dengan beberapa orang. Si cowok, langsung nengok ke gue dan Pak Himawan. Engga, dia cuma nengok ke gue doang. “Sudah sukses kamu sekarang—”
Cowok itu ga menggubris omongannya Pak Himawan. Dia malah langsung menyerbu gue, dan gue cuma bisa ngeliat tinjunya melayang ke arah muka gue tanpa bisa gue antisipasi. Dalam satu kilatan, tinjunya pun telak menghajar pipi kiri gue.
“Anjing! Apa-apaan, si—”
“Bacot lo! Mampus! Ga usah ngomong, mampus aja lo! Bangsat!”
Lagi-lagi, tinjunya menghajar kepala gue yang belum juga bisa beradaptasi. Lalu tinju berikutnya, dan berikutnya lagi, sampe gue udah ga tau berapa kali kepala gue kena buku tangannya. Dan tepat saat gue mau ngelawan, cowok itu langsung dipegangin beberapa orang, sementara gue langsung dihalangi Pak Himawan.
“Joshua! Tenang dulu! Kenapa main langsung hajar anak orang?” bentak Pak Himawan. Kedua tangannya merentang, yang kiri ke arah cowok bernama Joshua, sedangkan yang kanan mendorong dada gue supaya ga maju.
Bentar, deh. Joshua? Gue langsung liat cowok yang tadi mukulin gue dengan lebih detil. Mukanya emang banyak berubah; jadi jerawatan dan kusam. Tapi gue kenal rambut jabriknya. Juga ekspresi emosinya yang ga pernah berubah dari dulu. Dia… Joshua, sepupunya Gloria dan Gebi. Ketika berhasil mengenali dia, kepalan tangan gue pun mengendur.
“Om katanya mau main, tapi kok malah bawa-bawa anak anjing itu?! Ngapain bawa dia ke sini, Om?!” teriak Joshua, sambil nunjuk-nunjuk gue, “asal Om tau, gara-gara dia ngilang, Gloria keluar malem terus buat nyariin dia! Si anjing ini yang bikin Gloria kecelakaan, Om!”
Gue cuma diem saat Joshua terus-terusan menghina gue. Pun ga gue peduliin tatapan mata merendahkan dari orang-orang sekitar. Gue tau, seharusnya gue membela diri dan jelasin semuanya dari sudut pandang gue, tapi gue udah pasrah aja mau dikatain gimana pun juga sama dia. Kali ini, harga diri gue pun berkompromi, bahwa ga ada gunanya ngejelasin sesuatu ke orang yang lagi emosi.
Dan sejujurnya, gue juga membenarkan apa yang Joshua bilang. Bahwa sikap menghilang tanpa kejelasan gue lah, yang bikin Gloria terus-terusan cari gue sampe akhirnya dia kecelakaan. Itu bikin gue jadi lebih bisa menerima tinju-tinju yang Joshua kasih ke gue. Karena emang gue pantes buat dihajar.
Gue pun menggeser badan, untuk keluar dari perlindungan Pak Himawan. Gue tatap mata Joshua, dan seketika menyadari kalo cuma ada kemarahan di sorot matanya. Rasa marah yang udah tersimpan sejak lama, dan langsung meledak-ledak saat bertemu pemicunya.
“Gue mau—”
Gue mendadak diem begitu Joshua ngeludahin muka gue. Kena ke pipi, sih. Emosi gue pun tersulut lagi karena ga terima diludahin. Tapi gue buru-buru berusaha keras untuk meredam emosi, dengan terus berpikir kalo gue yang ada di posisi Joshua, akan sangat wajar untuk marah.
“Pergi lo, anjing! Gue ga mau ngeliat muka lo lagi. Lo cuma bawa sial, tai!” Berbanding terbalik dengan bentakan emosionalnya, Joshua masih terus berusaha menggapai gue, meski beberapa orang masih berusaha menahan dia. “Ngapain malah bengong?! Udah, pergi sana lo, anjing! Sialan! Perlu gue mampusin lo sekarang juga, hah?!”
“Ternyata, kamu betulan orang yang Gloria maksud,” ucap Pak Himawan. Beliau pun ajak gue pergi dari halaman rumah Joshua. “Saya bawa kamu ke sini cuma sebagai tes kecil. Karena kalau Joshua kenal kamu, berarti kamu betul-betul Nendra, cowok yang sering diceritakan anak saya di buku diarynya,” tambahnya, sambil suruh gue masuk ke mobil.
Setelah duduk di jok, gue merenungi kejadian barusan. Dulu, Joshua itu ramah banget sama gue. Kita akrab banget, sampe tiap kali ketemu, gue, dia, dan Gloria cuma ngehabisin waktu bertiga aja sampe pagi menjelang. Sebagai montir, dia sering kasih gue tips dalam megang banyak jenis mobil. Dan sebagai seorang teman, dia cukup sering bisa diandelin.
Selama gue temenan sama Joshua, gue ga pernah sekalipun berantem sama dia. Kalo nongkrong, dia emang sering ribut sama orang lain, dan gue yang selalu nahan dia untuk ga berantem lebih jauh. Tapi dia ga pernah emosi sama gue. Makanya, ketika gue dipukulin tadi, gue merasa ga enak hati. Tinju dia ga seberapa nyakitin fisik, tapi gue bisa rasain emosi di tiap tinjunya, dan itu nyakitin.
“Ini pertama kalinya saya berantem sama dia, Pak.”
Pak Himawan cuma senyum, lalu nyalain mesin mobil. Setelah persneling masuk ke gigi satu, beliau bilang ke gue, “dan saya sebenarnya berterima kasih sama keponakan saya itu, lho, soalnya sudah mewakili emosi saya. Kamu ga akan bisa membayangkan seberapa menggelegak emosi saya saat akhirnya bisa ketemu kamu.”
“Tapi kenapa Bapak engga menghajar saya kayak yang Joshua lakuin?”
“Saya itu orang dewasa, Ganendra, dan orang dewasa tidak bisa sembarangan bertindak.”
“Tapi Bapak masih mau untuk ajak saya kesana-sini?”
“Saya ngelakuin ini buat Gloria, bukan buat kamu,” bales beliau, sambil menyetir mobil, keluar dari komplek.
“Saya tau. Tapi karena kita semua saling berkaitan, saya juga ikut terdampak.”
Pak Himawan langsung diem. Lalu, beliau menghela nafas panjang. “Itu yang saya ga terima. Saya harus melakukan sesuatu untuk orang yang saya benci, hanya demi orang yang saya sayang bisa tenang. Ironis, bukan?” bales beliau, sambil tersenyum miris.
Gue ga bisa berkomentar apa-apa lagi.
Pak Himawan menepikan mobilnya di depan rumah, lalu keluar dan ajak gue ikut serta. “Sudah sukses ini anak, ternyata,” ucap beliau, sambil berdecak kagum. Lalu, beliau menepuk bahu kanan gue. “Sebelum kita ke rumah lama saya, kita ke sini dulu, ya.”
Gue masih bingung ini rumah siapa, dan kenapa gue diajak ke sini, tapi perasaan gue bilang kalo gue akan ketemu sama orang yang gue—
“Wah, wah! Rumah ini makin rame aja!” sapa Pak Himawan, lantang, ke seorang cowok berwajah oriental yang sedang ngobrol dengan beberapa orang. Si cowok, langsung nengok ke gue dan Pak Himawan. Engga, dia cuma nengok ke gue doang. “Sudah sukses kamu sekarang—”
Cowok itu ga menggubris omongannya Pak Himawan. Dia malah langsung menyerbu gue, dan gue cuma bisa ngeliat tinjunya melayang ke arah muka gue tanpa bisa gue antisipasi. Dalam satu kilatan, tinjunya pun telak menghajar pipi kiri gue.
“Anjing! Apa-apaan, si—”
“Bacot lo! Mampus! Ga usah ngomong, mampus aja lo! Bangsat!”
Lagi-lagi, tinjunya menghajar kepala gue yang belum juga bisa beradaptasi. Lalu tinju berikutnya, dan berikutnya lagi, sampe gue udah ga tau berapa kali kepala gue kena buku tangannya. Dan tepat saat gue mau ngelawan, cowok itu langsung dipegangin beberapa orang, sementara gue langsung dihalangi Pak Himawan.
“Joshua! Tenang dulu! Kenapa main langsung hajar anak orang?” bentak Pak Himawan. Kedua tangannya merentang, yang kiri ke arah cowok bernama Joshua, sedangkan yang kanan mendorong dada gue supaya ga maju.
Bentar, deh. Joshua? Gue langsung liat cowok yang tadi mukulin gue dengan lebih detil. Mukanya emang banyak berubah; jadi jerawatan dan kusam. Tapi gue kenal rambut jabriknya. Juga ekspresi emosinya yang ga pernah berubah dari dulu. Dia… Joshua, sepupunya Gloria dan Gebi. Ketika berhasil mengenali dia, kepalan tangan gue pun mengendur.
“Om katanya mau main, tapi kok malah bawa-bawa anak anjing itu?! Ngapain bawa dia ke sini, Om?!” teriak Joshua, sambil nunjuk-nunjuk gue, “asal Om tau, gara-gara dia ngilang, Gloria keluar malem terus buat nyariin dia! Si anjing ini yang bikin Gloria kecelakaan, Om!”
Gue cuma diem saat Joshua terus-terusan menghina gue. Pun ga gue peduliin tatapan mata merendahkan dari orang-orang sekitar. Gue tau, seharusnya gue membela diri dan jelasin semuanya dari sudut pandang gue, tapi gue udah pasrah aja mau dikatain gimana pun juga sama dia. Kali ini, harga diri gue pun berkompromi, bahwa ga ada gunanya ngejelasin sesuatu ke orang yang lagi emosi.
Dan sejujurnya, gue juga membenarkan apa yang Joshua bilang. Bahwa sikap menghilang tanpa kejelasan gue lah, yang bikin Gloria terus-terusan cari gue sampe akhirnya dia kecelakaan. Itu bikin gue jadi lebih bisa menerima tinju-tinju yang Joshua kasih ke gue. Karena emang gue pantes buat dihajar.
Gue pun menggeser badan, untuk keluar dari perlindungan Pak Himawan. Gue tatap mata Joshua, dan seketika menyadari kalo cuma ada kemarahan di sorot matanya. Rasa marah yang udah tersimpan sejak lama, dan langsung meledak-ledak saat bertemu pemicunya.
“Gue mau—”
Gue mendadak diem begitu Joshua ngeludahin muka gue. Kena ke pipi, sih. Emosi gue pun tersulut lagi karena ga terima diludahin. Tapi gue buru-buru berusaha keras untuk meredam emosi, dengan terus berpikir kalo gue yang ada di posisi Joshua, akan sangat wajar untuk marah.
“Pergi lo, anjing! Gue ga mau ngeliat muka lo lagi. Lo cuma bawa sial, tai!” Berbanding terbalik dengan bentakan emosionalnya, Joshua masih terus berusaha menggapai gue, meski beberapa orang masih berusaha menahan dia. “Ngapain malah bengong?! Udah, pergi sana lo, anjing! Sialan! Perlu gue mampusin lo sekarang juga, hah?!”
“Ternyata, kamu betulan orang yang Gloria maksud,” ucap Pak Himawan. Beliau pun ajak gue pergi dari halaman rumah Joshua. “Saya bawa kamu ke sini cuma sebagai tes kecil. Karena kalau Joshua kenal kamu, berarti kamu betul-betul Nendra, cowok yang sering diceritakan anak saya di buku diarynya,” tambahnya, sambil suruh gue masuk ke mobil.
Setelah duduk di jok, gue merenungi kejadian barusan. Dulu, Joshua itu ramah banget sama gue. Kita akrab banget, sampe tiap kali ketemu, gue, dia, dan Gloria cuma ngehabisin waktu bertiga aja sampe pagi menjelang. Sebagai montir, dia sering kasih gue tips dalam megang banyak jenis mobil. Dan sebagai seorang teman, dia cukup sering bisa diandelin.
Selama gue temenan sama Joshua, gue ga pernah sekalipun berantem sama dia. Kalo nongkrong, dia emang sering ribut sama orang lain, dan gue yang selalu nahan dia untuk ga berantem lebih jauh. Tapi dia ga pernah emosi sama gue. Makanya, ketika gue dipukulin tadi, gue merasa ga enak hati. Tinju dia ga seberapa nyakitin fisik, tapi gue bisa rasain emosi di tiap tinjunya, dan itu nyakitin.
“Ini pertama kalinya saya berantem sama dia, Pak.”
Pak Himawan cuma senyum, lalu nyalain mesin mobil. Setelah persneling masuk ke gigi satu, beliau bilang ke gue, “dan saya sebenarnya berterima kasih sama keponakan saya itu, lho, soalnya sudah mewakili emosi saya. Kamu ga akan bisa membayangkan seberapa menggelegak emosi saya saat akhirnya bisa ketemu kamu.”
“Tapi kenapa Bapak engga menghajar saya kayak yang Joshua lakuin?”
“Saya itu orang dewasa, Ganendra, dan orang dewasa tidak bisa sembarangan bertindak.”
“Tapi Bapak masih mau untuk ajak saya kesana-sini?”
“Saya ngelakuin ini buat Gloria, bukan buat kamu,” bales beliau, sambil menyetir mobil, keluar dari komplek.
“Saya tau. Tapi karena kita semua saling berkaitan, saya juga ikut terdampak.”
Pak Himawan langsung diem. Lalu, beliau menghela nafas panjang. “Itu yang saya ga terima. Saya harus melakukan sesuatu untuk orang yang saya benci, hanya demi orang yang saya sayang bisa tenang. Ironis, bukan?” bales beliau, sambil tersenyum miris.
Gue ga bisa berkomentar apa-apa lagi.
———
Kali ini, Pak Himawan bawa gue ke sebuah rumah yang berada di bilangan Gandaria, Jakarta Selatan. Saat gue turun dari mobil, gue memandangi rumah tua satu lantai dengan desain klasik dan dominasi warna abu-abu pada dindingnya. Dari tampak luar, kayaknya rumah ini lebih gede dari rumah yang ditempati Gebi.
Gue pun perhatiin halaman dan terasnya yang bersih, pohon-pohonnya yang rindang, serta kaca-kaca jendela yang mengkilap. Terlalu terawat untuk disebut sebagai rumah ga berpenghuni. Atau, jangan-jangan gue dibawa lagi ke rumah entah punya siapa, yang ternyata bukan tujuan akhir gue dan Pak Himawan?
“Rumah ini ga betulan kosong, Nendra. Saya mempekerjakan orang untuk merawat rumah ini. Cuma… saya dan Gebi sepakat untuk ga tinggal di sini lagi,” begitu penjelasan beliau, seakan bisa membaca isi pikiran gue.
Tapi, nih, ya… kalo dipikir-pikir, sebenernya bisa aja si bapak ini langsung ajak gue ke rumah ini, loh! Seharusnya, gue ga perlu sampe kena hajar dan diludahin kalo aja beliau ga pake acara muter-muter dan memilih langsung ke rumah lamanya. Maksud gue, kantor gue ada di Lebak Bulus, dan rumah ini ada di Gandaria. Jaraknya jauh lebih deket dari kantor gue, daripada harus muter ke Kebon Jeruk dulu, ngeliat gue dipukulin, dan bikin gue tambah merasa bersalah lewat serangkaian dialog tendensius.
“Yuk, masuk,” ajak Pak Himawan, sambil menepuk bahu kanan gue, “biar muka kamu makin kelihatan merasa bersalah.”
Dasar orang tua anj—ga, ga boleh marah-marah. Harus sabar.
Setibanya di dalem rumah, gue langsung mendapati pemandangan ruang tamu dengan banyak foto keluarga di dinding, di bingkai pada lemari kaca, dan rak sudut. Tapi dibilang foto keluarga pun, isinya cuma tiga orang; Pak Himawan, Gloria, dan Gebi. Gue jadi bisa liat foto-foto saat Gloria dan Gebi masih kecil. Ada foto pas Gloria lagi main piano, lagi belajar nyetir, lalu foto Gebi kecil yang lagi makan es krim sambil bengong, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak foto, gue ga mendapati foto perempuan yang bisa gue tebak sebagai ibu mereka.
“Maaf, Pak, tapi foto ibu Gloria dan Gebi kok ga ada?” Lalu, sebersit pikiran pun hadir di kepala, bikin gue jadi menyesali pertanyaan barusan. “Eh, maaf kalo ternyata ibu mereka udah….”
“Memang sengaja ga saya pajang aja fotonya,” bales Pak Himawan, “biasa, problematika keluarga. Ibu mereka kabur untuk kawin lari sama mantan pacarnya.”
“Oh, gitu.” Emang, sih, jawaban Pak Himawan ga sesuai sama dugaan gue, tapi sekarang gue jadi merasa kalo skenario ibu Gloria dan Gebi udah meninggal terasa lebih baik daripada dengerin faktanya.
“Orang tua kamu masih lengkap?”
“Masih. Tapi udah pisah. Penyebabnya… kurang lebih sama kayak yang terjadi sama Bapak.”
“Berarti saya senasib dengan bapak kamu?”
Gue senyum ke beliau, sebelum beralih liatin foto-foto lainnya. “All the poor-hearted fathers in the world. I pity them and their unhappy marriage,” bales gue.
Setelah gue puas ngeliat foto-foto di ruang tamu, Pak Himawan ajak gue ke depan sebuah kamar dengan pintu kayu yang menutup rapat. “Ini kamar Gloria,” katanya, “jadi, sebelum kamu saya izinkan untuk masuk, saya mau kamu cerita gimana kamu bisa tau tentang kado itu?”
“Bapak ga akan percaya ini. Saya dikasih tau Gloria, lewat mimpi semalam.”
“Saya percaya, kok.” Gue malah langsung kaget sama respon Pak Himawan. Gampang banget percayanya! “Tiga malam lalu, saya juga mimpiin dia. Itu tepat setelah saya memutuskan mau jual rumah, dan kebetulan sudah ada penawarnya.”
“That’s scary.”
“Di mimpi saya, Gloria bilang kalau dia sudah ketemu kamu. Lalu, dia minta saya untuk kasih kado yang disimpan di kamarnya ke kamu.” Pak Himawan tampak resah, mukanya sampe mengencang. “Kamu percaya sama hantu, Nendra?”
“Percaya, sih, Pak. Saya tumbuh besar di lingkungan yang percaya sama alam lain selain alam manusia.”
“Seumur hidup, saya ga percaya sama hantu. Tapi semua kejadian ‘kebetulan’ ini… bikin saya merinding.” Lalu, beliau pun buka pintu kamar Gloria. “Silakan masuk, dan ambil barang kamu. Barangnya ada di—”
“Saya udah tau letaknya dimana, Pak,” potong gue, lalu melenggang masuk ke kamar.
Saat kaki-kaki gue udah menjejak di lantai kamar Gloria, pandangan gue pun mengedar ke segala arah. Kamar Gloria masih lengkap terisi oleh ranjang, lemari, laci, meja belajar dan rak buku, bahkan ada TV dan juga AC. Dan semuanya dalam kondisi bersih, seakan kamar ini masih ditempati. Gue pun memandangi ranjang, dan ngebayangin kalo Gloria biasa tidur di sana. Atau ketika gue beralih memandangi meja belajar, gue kayak bisa tau gimana posisi duduk dia, bahkan posisi bukunya. Kemanapun mata gue memandang, gue ngebayangin Gloria, dan apa aja yang dia lakuin di kamar ini.
Gue inget-inget lagi mimpi semalem. Gloria bilang kalo kadonya dia simpen di laci coklat, ada di baris paling bawah. Gue pun menghampiri barang yang dimaksud, dan ketika udah berada di depannya, gue langsung jongkok. Untuk menambah kesan dramatis, sebelum buka laci, gue tarik nafas dulu, lalu hembusin perlahan. Engga, bukan sengaja ini, sih. Emang guenya juga tegang.
Saat gue buka lacinya, gue liat ada kotak seukuran dua telapak tangan gue, yang dibungkus kertas sampul warna coklat. Bungkusnya ga rapi dan tampak beberapa isolasi yang udah ga merekat di kertas sampul; tanda kalo bungkusan ini udah pernah dibuka. Gue pun ambil bungkusannya, lalu keluarin isinya. Sebuah kotak HP merk NOKIA dengan seri E63. Saat liat gambar HP di sampul kotaknya, gue langsung senyum lebar. Ini… HP yang dulu gue pengen banget, tapi ga pernah kesampaian beli.
Dan Gloria, siapin HP ini buat jadi kado gue.
Gue pun memandangi kotak HP pemberian Gloria, lama. Ga ada yang gue pikirin, cuma rasa sedih dan penyesalan ga berujung yang terasa. Di detik ini, gue berharap bahwa hidup adalah game yang bisa gue load datanya ketika gue salah pilih jalan. Tapi harapan itu ga mungkin terkabul, kan?
Tiba-tiba, secarik kertas menyelip keluar dari dalam sampul. Saat gue pungut kertas itu dari lantai, secarik kertas lainnya pun menyusul. Sekarang, gue menggenggam dua carik kertas, yang setelah gue liat, ternyata sebuah surat. Gue langsung baca suratnya. Baru baris kalimat pertama, gue langsung ketawa. Gloria emang paling jago dalam menghibur orang.
Gue pun perhatiin halaman dan terasnya yang bersih, pohon-pohonnya yang rindang, serta kaca-kaca jendela yang mengkilap. Terlalu terawat untuk disebut sebagai rumah ga berpenghuni. Atau, jangan-jangan gue dibawa lagi ke rumah entah punya siapa, yang ternyata bukan tujuan akhir gue dan Pak Himawan?
“Rumah ini ga betulan kosong, Nendra. Saya mempekerjakan orang untuk merawat rumah ini. Cuma… saya dan Gebi sepakat untuk ga tinggal di sini lagi,” begitu penjelasan beliau, seakan bisa membaca isi pikiran gue.
Tapi, nih, ya… kalo dipikir-pikir, sebenernya bisa aja si bapak ini langsung ajak gue ke rumah ini, loh! Seharusnya, gue ga perlu sampe kena hajar dan diludahin kalo aja beliau ga pake acara muter-muter dan memilih langsung ke rumah lamanya. Maksud gue, kantor gue ada di Lebak Bulus, dan rumah ini ada di Gandaria. Jaraknya jauh lebih deket dari kantor gue, daripada harus muter ke Kebon Jeruk dulu, ngeliat gue dipukulin, dan bikin gue tambah merasa bersalah lewat serangkaian dialog tendensius.
“Yuk, masuk,” ajak Pak Himawan, sambil menepuk bahu kanan gue, “biar muka kamu makin kelihatan merasa bersalah.”
Dasar orang tua anj—ga, ga boleh marah-marah. Harus sabar.
Setibanya di dalem rumah, gue langsung mendapati pemandangan ruang tamu dengan banyak foto keluarga di dinding, di bingkai pada lemari kaca, dan rak sudut. Tapi dibilang foto keluarga pun, isinya cuma tiga orang; Pak Himawan, Gloria, dan Gebi. Gue jadi bisa liat foto-foto saat Gloria dan Gebi masih kecil. Ada foto pas Gloria lagi main piano, lagi belajar nyetir, lalu foto Gebi kecil yang lagi makan es krim sambil bengong, dan masih banyak lagi. Dari sekian banyak foto, gue ga mendapati foto perempuan yang bisa gue tebak sebagai ibu mereka.
“Maaf, Pak, tapi foto ibu Gloria dan Gebi kok ga ada?” Lalu, sebersit pikiran pun hadir di kepala, bikin gue jadi menyesali pertanyaan barusan. “Eh, maaf kalo ternyata ibu mereka udah….”
“Memang sengaja ga saya pajang aja fotonya,” bales Pak Himawan, “biasa, problematika keluarga. Ibu mereka kabur untuk kawin lari sama mantan pacarnya.”
“Oh, gitu.” Emang, sih, jawaban Pak Himawan ga sesuai sama dugaan gue, tapi sekarang gue jadi merasa kalo skenario ibu Gloria dan Gebi udah meninggal terasa lebih baik daripada dengerin faktanya.
“Orang tua kamu masih lengkap?”
“Masih. Tapi udah pisah. Penyebabnya… kurang lebih sama kayak yang terjadi sama Bapak.”
“Berarti saya senasib dengan bapak kamu?”
Gue senyum ke beliau, sebelum beralih liatin foto-foto lainnya. “All the poor-hearted fathers in the world. I pity them and their unhappy marriage,” bales gue.
Setelah gue puas ngeliat foto-foto di ruang tamu, Pak Himawan ajak gue ke depan sebuah kamar dengan pintu kayu yang menutup rapat. “Ini kamar Gloria,” katanya, “jadi, sebelum kamu saya izinkan untuk masuk, saya mau kamu cerita gimana kamu bisa tau tentang kado itu?”
“Bapak ga akan percaya ini. Saya dikasih tau Gloria, lewat mimpi semalam.”
“Saya percaya, kok.” Gue malah langsung kaget sama respon Pak Himawan. Gampang banget percayanya! “Tiga malam lalu, saya juga mimpiin dia. Itu tepat setelah saya memutuskan mau jual rumah, dan kebetulan sudah ada penawarnya.”
“That’s scary.”
“Di mimpi saya, Gloria bilang kalau dia sudah ketemu kamu. Lalu, dia minta saya untuk kasih kado yang disimpan di kamarnya ke kamu.” Pak Himawan tampak resah, mukanya sampe mengencang. “Kamu percaya sama hantu, Nendra?”
“Percaya, sih, Pak. Saya tumbuh besar di lingkungan yang percaya sama alam lain selain alam manusia.”
“Seumur hidup, saya ga percaya sama hantu. Tapi semua kejadian ‘kebetulan’ ini… bikin saya merinding.” Lalu, beliau pun buka pintu kamar Gloria. “Silakan masuk, dan ambil barang kamu. Barangnya ada di—”
“Saya udah tau letaknya dimana, Pak,” potong gue, lalu melenggang masuk ke kamar.
Saat kaki-kaki gue udah menjejak di lantai kamar Gloria, pandangan gue pun mengedar ke segala arah. Kamar Gloria masih lengkap terisi oleh ranjang, lemari, laci, meja belajar dan rak buku, bahkan ada TV dan juga AC. Dan semuanya dalam kondisi bersih, seakan kamar ini masih ditempati. Gue pun memandangi ranjang, dan ngebayangin kalo Gloria biasa tidur di sana. Atau ketika gue beralih memandangi meja belajar, gue kayak bisa tau gimana posisi duduk dia, bahkan posisi bukunya. Kemanapun mata gue memandang, gue ngebayangin Gloria, dan apa aja yang dia lakuin di kamar ini.
Gue inget-inget lagi mimpi semalem. Gloria bilang kalo kadonya dia simpen di laci coklat, ada di baris paling bawah. Gue pun menghampiri barang yang dimaksud, dan ketika udah berada di depannya, gue langsung jongkok. Untuk menambah kesan dramatis, sebelum buka laci, gue tarik nafas dulu, lalu hembusin perlahan. Engga, bukan sengaja ini, sih. Emang guenya juga tegang.
Saat gue buka lacinya, gue liat ada kotak seukuran dua telapak tangan gue, yang dibungkus kertas sampul warna coklat. Bungkusnya ga rapi dan tampak beberapa isolasi yang udah ga merekat di kertas sampul; tanda kalo bungkusan ini udah pernah dibuka. Gue pun ambil bungkusannya, lalu keluarin isinya. Sebuah kotak HP merk NOKIA dengan seri E63. Saat liat gambar HP di sampul kotaknya, gue langsung senyum lebar. Ini… HP yang dulu gue pengen banget, tapi ga pernah kesampaian beli.
Dan Gloria, siapin HP ini buat jadi kado gue.
Gue pun memandangi kotak HP pemberian Gloria, lama. Ga ada yang gue pikirin, cuma rasa sedih dan penyesalan ga berujung yang terasa. Di detik ini, gue berharap bahwa hidup adalah game yang bisa gue load datanya ketika gue salah pilih jalan. Tapi harapan itu ga mungkin terkabul, kan?
Tiba-tiba, secarik kertas menyelip keluar dari dalam sampul. Saat gue pungut kertas itu dari lantai, secarik kertas lainnya pun menyusul. Sekarang, gue menggenggam dua carik kertas, yang setelah gue liat, ternyata sebuah surat. Gue langsung baca suratnya. Baru baris kalimat pertama, gue langsung ketawa. Gloria emang paling jago dalam menghibur orang.
Isi suratnya menghibur banget. Banyak banget kalimat dia yang bikin gue ketawa. Tapi, kenapa air mata gue mengalir terus dari pelupuk mata? Gue pun baca suratnya lagi, dan lagi, dan lagi, dan lagi. Tiap kali gue baca ulang, tawa gue memudar, dan air mata gue mengalir lebih deras. Dan di akhir upaya gue untuk menguatkan diri, gue malah berakhir duduk di lantai, dengan kepala tertunduk dan muka terbenam di kedua lutut yang menekuk.
Lalu, gue ngerasain ada yang usap-usap punggung gue. Tapi gue ga mau nengok. Gue masih betah menyembunyikan muka. Masih ga tau harus gue apakan rasa sesak di dada.
“Penyesalan memang hal berat, Nendra. Itu akan menghantui kamu, seumur hidup dan sampai mati. Tapi kamu harus kuat, karena kalau engga, maka sia-sia harapan anak saya, yang sudah dia percayakan ke kamu.”
Di seumur hidup, gue sering ngerasain penyesalan. Tapi dari semua itu, ga pernah ada yang semenyakitkan ini. Dan gue tau, bahwa ini cuma awal dari penyesalan bertumpuk yang semakin membesar, setiap hari.
Bersambung…
Terakhir diubah:
ajt_sb
Senpai Semprot
Aahhh cp ini sangat mengsedihkan. Glorya oh glorya
SempakKondoy
Guru Semprot
Update kali ini mengandung bawang ~
Bankonk
Guru Semprot
- Daftar
- 25 Apr 2022
- Post
- 712
- Like diterima
- 3.973
Uh campur aduk nie
Ada lucunya bikin Nubie ngiklik wkwkwk... eh tapi... sedihnya jg bikin mata berkaca2 hiks...
Mantap Hu
Terbaik
Gak cm SS nya yg bikin penasaean nongkrong di thread ini, dramanya jg berkelas
Makasih updatenya Hu @nympherotica
Monggo dilanjut
Ada lucunya bikin Nubie ngiklik wkwkwk... eh tapi... sedihnya jg bikin mata berkaca2 hiks...
Mantap Hu
Terbaik
Gak cm SS nya yg bikin penasaean nongkrong di thread ini, dramanya jg berkelas
Makasih updatenya Hu @nympherotica
Monggo dilanjut
Bisa gitu ya ceritanya
grimjowwww
Guru Semprot
- Daftar
- 19 Mar 2014
- Post
- 587
- Like diterima
- 336
makasih updatenyaaa, selalu bikin nungguin updatenya bangke banget hahahah
Similar threads
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
