Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Affair(s): Season 1

IV:
Padahal Baru Kenal...



=Nendra=


Dalam dunia persabuan, ada beberapa istilah gaul yang sering gue denger. "Putih", adalah istilah untuk menyebut sabu. Referensinya dari bentuk padat sabu yang berupa kristal putih. "Bokul" dan "jokul" adalah kata ganti untuk ucapin beli dan jual. "Bakar" itu artinya make sabu. "Satu ji" merupakan satu G, dengan huruf G dilafalkan pake bahasa inggris. G-nya sendiri kependekan dari gram. Lalu ada "seprem", kependekan dari seperempat. Mengacu pada seperempat gram.

Maka, ketika gue bilang kalo semalem gue udah ngabisin dua prem, berarti gue udah abis setengah gram. Biasanya gue merasa cukup dengan porsi seperempat aja, tapi semalem gue butuh dosis lebih untuk meredam perasaan yang lagi kacau. Ya... selain karena gue doyan juga, sih.

Akibatnya, sekarang gue jadi ga bisa tidur. Ini udah siang, tapi gue masih ngerasa seger. Mata gue melek terus. Perut gue udah laper tapi gue males makan. Bahkan dengan kondisi perut kosong pun, gue engga lemes sama sekali.

Gue pun buka HP. Ngecek kerjaan yang tersisa buat hari ini. Setelahnya, gue buka WA. Awalnya gue cuma buka chat dengan boss dan klien. Tapi kemudian mata gue tertuju ke kontak lain. April.



Gue baca lagi chat gue sama April. Setelah gue bales semalem, dia ga bales lagi. Dibaca pun juga engga. Padahal sepuluh menit lalu gue liat dia bikin story di IG kalo dia udah landing di bandara Ngurah Rai. Kalo bisa buka HP untuk bikin story IG, logikanya dia tau kalo gue ngechat dia, dong?

Gue kembali buka IG. April bikin story lagi. Kali ini lagi saling rangkul sama Raka, sambil jalan ke sebuah mobil mini MPV. Kayaknya mereka mau ke penginapan. Gue pun berenti liat HP, lalu milih nyalain sebatang rokok.

"Ganendra, ya?"

Gue nengok ke asal suara. Seorang cewek baru aja nempelin pantatnya di kursi kayu panjang, duduk di seberang gue. Rambut hitam panjangnya agak bergelombang, lemas kesana-kemari saat dia bergerak. Muka tirusnya tipe oriental, dengan bibir yang sensual, hidung mancung, dan mata runcing yang indah. Untuk sesaat, gue terpukau pas ngeliat cewek di hadapan gue ini.

"Iya. Kenapa, Gabrielle?" bales gue.

Gabrielle naikin alisnya. "Eh, kok lo tau nama gue, sih? Emang kita udah kenalan, ya?"

"Kan waktu gue baru gabung, gue dikenalin ke semua staff. Termasuk ke PIC juga." Gue hembusin asap rokok ke arah samping. "Lagian gue gampang hafal muka sama nama orang."

"Keren banget! Justru kalo gue susah ngehafalinnya." Gabrielle ketawa renyah. Gue jadi bisa ngeliat barisan giginya yang rapi dan putih bersih.

"Kalo susah, kenapa lo bisa tau gue?"

"Kan akhir-akhir ini gue sering liat lo di kantor. Meski ga saling nyapa, sih. Terus gue tanya aja nama lo siapa, ke anak-anak kantor. Eh pas gue mau beli makan siang di kantin ruko, ternyata ketemu lo di sini. Ya sekalian aja gue sapa."

Gue perhatiin Gabrielle sejauh yang tersaji di pandangan. Dari gaya penampilannya, gue yakin cewek ini tuh orang kaya. Dia pake blouse hitam, yang gue sekali liat aja tau kalo bahannya bagus banget. Semakin bagus bahan suatu pakaian, berarti semakin mahal, kan? Selain itu, di kancing blouse-nya juga ada aksen emas di tiap kancing. Apalagi gelang yang melingkar di pergelangan kirinya. Ada logo tergantung di gelang itu. Logo angsa yang gue tau banget itu merk apa: Swarovski.

"So, how's life, Ganendra?" tanya Gabrielle, memecah fokus gue.

"Bitter, as usual. Yours?"

Tatapan Gabrielle mengarah lurus ke gue. "Too much sweetener. Feel like I need to add some bitter taste, to maintain the balance. Glad you asked, by the way."

"Is that a pick up line?"

Mata runcingnya melebar. Gabrielle ketawa lepas. "You catch on quick! I like you, Ganendra."

Gue ga bisa berkata-kata. Gombalan Gabrielle sukses bikin gue diem. Akhirnya, gue cuma bisa ngerokok biar ga terlalu grogi. Pas gue ambil batang baru dari bungkusnya, Gabrielle ngeliatin rokok gue.

"Mau?" tanya gue, sambil nyodorin bungkus rokok menthol.

Jari-jarinya langsung menggapai bungkus rokok gue, tapi dia spontan berenti. Matanya ketemu mata gue. "Eh, lupa. Boleh?"

"Kan gue tawarin. Ya jelas boleh, lah."

"Kalo lo ga nawarin, gue tetep boleh minta, ga?"

"Boleh, kok. Ambil aja sebutuhnya lo."

"Yaudah kalo gitu." Gabrielle langsung ambil bungkus rokok gue, lalu dia ambil sebatang. Setelahnya, dia masukin bungkus rokok ke kantong celana. "Lo beli lagi aja, ya?"

"Fine." Sebenernya, gue agak ngerasa sayang. Soalnya rokoknya baru gue isep dua batang. Tapi gue pikir, rokok doang ini. Asal jangan koreknya ikut diambil aja. "Nanti gue beli lagi pas mau ke kantor."

"Oke. Sebagai balas budi, gue temenin belinya."

"Ga usah, gue bisa sendiri."

"Aw, Ganendra! Gue ga bisa nerima rejection, loh. Apalagi kalo lo tau cowok-cowok tuh berebut untuk dapet perhatian gue."

"Eh, bukan gitu!" Gue pun gelagapan. "Maksud gue, ga apa-apa gue sendiri aja. Biar ga ngerepotin lo."

"Gue mau direpotin, kok."

"Gue yang ga enak."

"Gue maksa. Soalnya gue enak-enak aja, tuh." Gabrielle menatap ke arah meja, ke dua korek yang tergeletak di deket gue. "Eh, kok lo ga protes, sih, rokok lo gue ambil?" tanyanya, sambil ambil salah satu korek.

"Itu cuma rokok, Gabrielle—"

Di depan gue, Gabrielle memantik api dari korek. Tapi yang bikin gue kaget tuh korek yang dia pake adalah yang gue setting buat nyabu. Jelas aja pas dia pake, apinya yang keluar tuh kecil banget. Seharusnya korek itu ga keluar dari pouch gue, tapi entah kenapa gue keluarin. Masalahnya, kalo keliatan orang lain, dan orang itu ngerti, bisa bahaya.

Setelah nyalain rokok, Gabrielle taruh korek gue di meja. Pelan dan hati-hati, sampe hampir ga ada suara. Lalu mata runcingnya semakin memicing, menatap gue. "Lupain soal gue temenin lo beli rokok. Gue kasih lo kesempatan untuk anterin gue pulang. Gimana?" katanya.

"Tapi gue masih lama pulangnya..."

"Gue bisa ngomong ke Tante Ira. Boss lo ga akan keberatan, kok."

Oh, ternyata dia punya koneksi ke boss gue. "Yaudah. Rumah lo dimana?"

"Di Pondok Indah. Deket, kan?" Gabrielle ambil korek yang tadi dia pake, dia mainin di jarinya. "Aaaaand... for your info aja, rumah gue, tuh... how should I put it, ya? I can say, it's the safest place for you to cook... things," katanya, pelan.

"Is that an invitation?" tanya gue, hati-hati.

Gabrielle ga jawab. Dia malah senyum lebar. Sumpah, cewek ini cantik banget, apalagi pas senyum. Gue sampe harus nyadarin diri berkali-kali supaya ga kegoda pesonanya.

Tiba-tiba, Gabrielle ulurin tangan kanannya ke gue. "Panggil aja gue Gebi. Nice to meet you..."

"Nendra," bales gue, sambil menyambut jabat tangannya. Gila, telapak tangannya halus banget. Dia ga pernah cuci baju kali, ya?



———


Gebi adalah salah satu Person In Charge yang bekerja di kantor gue. Jobdesk-nya, saat klien bikin event, maka dia yang ditugasin sebagai perwakilan dari pihak kantor untuk memimpin dan mengatur kru yang bertugas, mastiin acara berlangsung lancar, serta mencari solusi kalo ada masalah. Setelah acara selesai, PIC juga wajib untuk bikin laporan buat diserahin ke kantor. Isi laporannya meliputi flow anggaran, pembayaran, nota dan struk, juga catatan dari klien.

Sejujurnya, di kantor gue bekerja, PIC-nya cantik-cantik. Tapi gue ga tau apa ada yang sekaya Gebi. Maksud gue, level Gebi udah kaya raya. Makanya, pas motor gue sampe di depan gerbang rumahnya, gue langsung bengong. Gila, rumahnya gede banget! Rumah mewah bergaya eropa ini punya tiga lantai. Dia bahkan punya satpam di rumahnya. Lengkap sama pos jaga.

Ga cuma luarnya, dalem rumahnya juga mewah. Furniturnya keliatan mahal-mahal, barang antik berjejer rapi di etalase khusus, barang elektronik mahal dan terbaru terpajang di tiap ruangan yang gue lewatin. Dan dia punya banyak pembantu untuk ngurus seisi rumah, bahkan punya tukang kebun dan spesialis urus kolam renang yang ada di halaman belakang rumahnya.

Gue jadi mempertanyakan, kenapa dia mau-maunya kerja di kantor tempat gue kerja sekarang. Masalahnya, gue tau gaji PIC berapa, dan gue yakin ga akan cukup memenuhi kebutuhan hidup dia. Boro-boro gaya hidupnya juga. Aneh banget ini cewek.

"Masuk aja, Nendra." Gebi yang udah masuk kamar duluan, langsung rebahan di ranjang gedenya. Dari gaya tolak si ranjang yang langsung bereaksi pas Gebi rebahan, gue bisa pastiin ranjangnya juga bagus banget. Pasti harganya mahal.

"Is it okay for me to...," gue yang masih di ambang pintu, nunjuk ke dalem kamar Gebi, "I mean, gue sama lo, berdua doang di kamar?"

"Emang kenapa? Fuck it, Dra! If, by any chance, we happen to make out, then so what?" Gebi bangun, terus mata sayunya natap gue. "Lo bukan perjaka, kan?"

"Hah? Eh, ya bukan, lah. Tapi tetep aja..."

Gebi malah ketawa ngakak pas liat gue grogi. "Bercanda, Nendra. Lagian kalo lo macem-macem, gue akan teriak, kok. You don't want to mess with me. I assure you."

"Ga usah dikasih tau gitu juga gue udah ngerti banget, kok." Gue pun akhirnya masuk ke kamarnya. Lalu ambil tempat, duduk di lantai dingin.

"Eh, serius, deh. Gue ngeliat lo tuh vibe-nya bad boy banget tau, Dra! Ternyata malah dalemnya suka grogi, ya, kalo sama cewek?"

"Gue bandelnya lebih banyak di ranah lain."

"Bad boy ga gitu, Nendra. They known best for being jack of all trades, even if they're master of none. Termasuk handle cewek. You should tease me, then trap me in your charm." Gebi pun bangun dari ranjangnya. Sambil jalan ke lemari baju, dia lucuti celana panjangnya, juga blouse. Pas di depan pintu lemari, dia tinggal pake tanktop putih dan celana dalam hitam dengan aksen renda di sisi. "Kalo gue cuma pake ini di depan lo, dan cuma ada kita berdua di kamar, lo mau ngapain ke gue?"

Gue sempet bengong pas Gebi buka bajunya, dan baru sadar kalo dia tinggal pake daleman pas dia udah berdiri di depan lemari. Dengan posisi berdiri menyamping, di hadapan gue. Spontan gue langsung nengok ke samping. Tapi rekaman tentang yang gue liat udah sampe ke otak, dan otak gue otomatis inget betapa bagus bodi Gebi.

Kalo bisa gue deskripsiin, Gebi punya bodi skinny, tapi ga kurus banget. Dia cukup tinggi, dan dia langsing. Mungil gitu. Toketnya kecil, begitupun pantatnya. Kulitnya putih mulus. Bersih banget. Gue emang lebih suka yang sekal kayak April, tapi kalo ada yang kayak Gebi di depan mata gue, ya bisa horny juga guenya.

"Gue ga bisa jawab. Sori. Gue ga punya pengalaman ke arah situ," bales gue. Itu jawaban jujur. Beneran. Gue ga punya banyak pengalaman soal cewek.

"Ah, ga asik lo, Dra." Gue sesekali ngelirik Gebi, mastiin dia lagi pake baju. saat ini lagi pake piyama. Setelah dia pake baju, gue jadi berani nengok dia lagi. "Jangan bilang kalo lo ga pernah pacaran, ya?"

"Pernah lah, anjir," jawab gue, spontan, "cuma sekali, sih. Sama mantan gue. Tapi gue pacarannya lama. Dari SMA."

Iya. Meski gue dikenal tukang ngewe, tapi memek yang pernah gue rasain cuma punya mantan gue itu. Selama enam tahun, memek dia doang yang gue puasin dan muasin gue.

"Unbelievable. Dasar bad boy setengah mateng!"

Gebi ngelempar sesuatu ke muka gue. Berkat refleks gue yang masih bagus, gue berhasil nangkep barang yang dilempar. Pas gue buka telapak tangan, gue liat sebungkus plastik klip ukuran sedang. Di dalemnya ada banyak bongkahan kristal putih. Sabu. Banyak banget, gila!

"Lo ngapain nyimpen bahan segini banyak?! Lo bandar apa gimana, Geb?"

"Chill, dude. Gue kalo pesen emang biasa partai gede. Biar awet." Gebi pun ambil plastik kresek hasil dari belanja di minimarket, sebelum ke sini. "Nih. Sekarang bikinin gue prakarya, Dra."

"Aneh banget lo. Suka beli banyak tapi ga bisa bikin bong sendiri."

"Temen gue banyak, kali." Gebi duduk bersila di lantai, merhatiin gue mulai ngerakit. "Kalo gue ga bisa, kan temen gue bisa."

Gue senyum ke Gebi, lalu geleng-geleng kepala. Gue pun mulai ngerakit bong, dengan cara yang biasa gue lakuin.

Setelah beberapa lama, bong pun jadi. Sebuah botol kaca berisi air setengah botol, yang tutupnya gue bikin dua lobang, dan tiap lobangnya gue masukin sedotan. Gue pake sedotan dari susu kotak, karena lebih tebel jadi lebih awet. Ujung dalem salah satu sedotan gue masukin ke air, sementara ujung dalem yang lain menggantung di area yang ga ada airnya. Di ujung luar salah satu sedotan, gue pasang pipet kaca berbentuk cangklong. Dan ujung luar yang lain diperuntukan buat ngisep.

"Nih, jadi. Tinggal tuang bahannya aja ke cangklong," kata gue, sambil nyerahin bong ke Gebi.

"Ya lo dulu yang make, lah. Kan lo yang bikin."

"Kan lo tuan rumahnya. Ga sopan kalo gue duluan."

Gebi pun ambil bongnya. "Yaudah, bakarin gue, ya. Gue ga bisa bakar sendiri. Gosong mulu."

"Lo bener-bener cuma modal bahan sama nafas doang, ya?" Gue pun nyalain api pake korek yang udah diatur. Api kecil gue tempel berjarak dengan bawah cangklong. Kristal sabu pun cepet mencair. "Gas, Geb," kata gue, kasih intruksi.

Diluar dugaan, nafas dia panjang juga. Gue bakarin Gebi potekan kecil yang biasanya cukup buat empat kali isep. Tapi Gebi ngisep sampe yang gue bakarin hampir abis. Setelah kelar, dia pun hembusin asep tebel ke udara. Banyak banget asepnya.

"Nafas lo panjang amat. Gue bakarin sampe udah abis aja ini bahan."

"Tuang lagi aja. Masih banyak, jangan kayak orang susah, deh."

"Emang gue orang susah, anjir!"

Gue dan Gebi pun ketawa bareng. Gue dan dia yang emang dari awalnya gampang akrab, malah makin cair setelah kena sabu. Akhirnya jadi banyak ngobrol. Hal apapun. Gue jadi belajar main saham dari Gebi, dan gue kasih tau dia teori tentang cara masak mie instan yang enak. Dia juga nanya kenapa gue bisa diterima kerja di kantor punya tantenya. Setelah gue cerita, gantian gue yang nanya kenapa dia bisa kerja di sana.

"Awalnya gue cuma iseng, Dra. Niat awalnya kan cuma cari suasana baru. Soalnya, setelah lulus kuliah, gue bingung mau ngapain—"

"Lo udah lulus kuliah, Geb?" potong gue.

"Gini-gini gue Sarjana Komunikasi, wey! Lulus umur 19."

"Anjing. Muda amat! Kok bisa lulus umur segitu?"

"Gue dari SMP udah accel mulu, Nendra. Lulus SMA umur 16, terus lulus kuliah juga cum laude. Pokoknya gue hidupnya serba cepet, lah."

Gue cuma bisa geleng-geleng kepala. Mending gue bakar sabu aja, lah.

"Eh, gue lanjut, ya. Terus gue kan bengong tuh setelah lulus. Udah ga ada kesibukan. Mau main, udah bosen. Circle gue ngebosenin, anjir. Flexing mulu tiap ngumpul. Adaaaaa aja yang dipamerin. Daripada gue ikutan norak, mending gue pindah circle.

"Terus gue tau kalo tante gue bikin EO, dan lagi nyari PIC. Ya gue ngelamar aja. Tante gue sampe bengong, nanya ke gue sampe tiga kali," Gebi acungin tiga jarinya, tepat di depan muka gue, "dia takut gue ga serius kerjanya. Kan jadinya gue ngerasa tertantang, ya. Lo kan tau gue ga bisa banget ditantangin. Ya gue seriusin aja kerjaan ini sampe sekarang."

"Gue ga tau apa-apa tentang lo, Geb," bales gue, "kan kita baru kenal."

"Nah, sekarang nambah satu hal yang lo tau tentang gue." Gebi pun colek punggung tangan gue, sementara sebelah tangannya udah megang bong. "Bakarin gue lagi dong, Dra."

Satu hal yang menarik banget dari Gebi di mata gue: kemampuannya untuk jadi orang yang easy going. Kalo gue bisa suka dia, mungkin sifat easy going-nya yang jadi faktor pertama kenapa gue suka dia. Gue jadi mikirin lagi kata-kata Tunge semalem. Soal cari cewek lain. Lalu, gue ngelirik ke Gebi. Bertanya-tanya dalem hati, apa dia 'cewek lain' yang sesuai sama omongannya Tunge?

Tapi mau sama April atau Gebi, gue tetep nemu tembok yang ga bisa gue tembus. April udah punya suami, jelas kalo gue tetep ngotot sama dia, gue akan ngehancurin pernikahannya. Nah, sama Gebi? Lebih ga mungkin. Kelasnya aja udah jauh beda. Ya kali dia mau sama karyawan swasta kayak gue?

Gue pun iseng liat HP. Buat distraksi. Entah kenapa, gue malah buka IG. Di halaman beranda, ada story dari April yang mejeng di barisan pertama.

Jempol gue malah lebih jujur dari hati. Disaat gue masih ragu mau liat story dia atau engga, jempol gue udah mencet layar. Gue pun liat story dia. April lagi nikmatin makan sore di resto daerah Kuta. Raka ada di sampingnya. Saat lagi ngeliat story IG dia dan sesudahnya, dada gue panas lagi.

Gini amat rasanya cemburu sama bini orang.

Yaudahlah. Gue nikmatin momen yang ada aja. Gue pun lanjut ngobrol sama Gebi. Ngalor, ngidul, apa aja diobrolin. Sambil tuang sabu ke cangklong tiap kali abis. Sekarang, kondisi gue dan Gebi udah sama-sama kenceng. Apalagi gue masih ada sisa efek dari semalem. Makin kenceng, makin cerewet lah kita berdua. Banyak cerita yang berakhir jadi ketawa ngakak, dan ada juga momen haru sehabis denger pengalaman yang ga ngenakin hati; baik pengalaman gue, maupun Gebi.

Ga kerasa, waktu udah semakin sore. Meski sabunya masih banyak banget, tapi gue tau diri. Ya kali ngabisin bahan orang. Maka, gue pun pamit. Gue juga udah ajarin Gebi dasar-dasar nyabu. Dia juga cepet belajarnya, jadi gue yakin pasti bisa kalo abis ini mau bakar sendiri. Yang belom lulus cuma bikin api tuyul di korek aja. Jadi kalo korek yang gue bikinin buat dia rusak, dia ga akan bisa bakar lagi untuk sementara. Minimal sampe ada yang bisa bikinin korek berapi tuyul baru.

"Makasih banget banget banget, ya, Geb! Gila, gue ditraktir bahan sama temen kerja sendiri," kata gue, sambil ketawa miris. Gue pun bangun dari duduk.

"Eh, sebentar, deh. Gue ngerasa kayak ada yang kelupaan, ya?" Gebi ngeliat ke sekitar, lalu ketawa sambil ngeliat gue. "Dra, gue lupa kasih lo minum sama cemilan! Maaf banget, yaaaaa!"

"Kan gue udah minum dari yang tadi dibeli di minimarket, Geb. Lebay banget lo, anjir!"

"Itu ga termasuk, lah. Ngejamu tamu itu harus dari yang ada di rumah, tau." Gebi berdehem, terus natap gue. Serius banget mukanya. "Oke. Gini aja. Kaki lo ga apa-apa, kan?"

"Maksudnya?"

"Masih bisa jalan?"

Gue ngeliatin kaki sendiri. "Bisa..."

"Yuk. Besok. Abis lo pulang kerja. Lo jemput gue di rumah, ya."

Anjiiiiiiiing. Gue kena dialusin Gebi. "Tapi gue ga ada mobil, Geb."

"Ya pake motor apa susahnya, sih? Kan lo ada motor. Itu, tuh. Yang jok belakangnya gede banget. Gue sampe ngangkang pas turun dari motor lo."

"Lah, ga apa-apa emang? Gue yang minder, jalan sama lo pake motor."

"Gue gebuk lo, ya, kalo masih ngomong kayak gitu. Udah, pokoknya besok jemput gue!"

"Iya, iya. Galak amat."

Gue pun ajak Gebi untuk toss. Telapak tangan gue beradu kencang dengan telapak tangan Gebi yang halus. Setelahnya, gue pamit. Keluar dari rumahnya, mengendarai motor gue ke arah jalan raya. Selama di jalan, gue masih ga habis pikir dengan apa yang terjadi hari ini, dan muka Gebi yang mendominasi di benak gue.

Bahkan gue udah mikirin besok pake baju apa, parfum yang mana, mau kemana, ngapain aja, makan dimana, jalan sampe jam berapa... semua tersusun rapi di otak gue. Hati gue ngerasa ga sabar nunggu besok.

Bentar, deh. Apa gue sebenernya lagi excited karena diajak jalan sama Gebi, ya? Karena setelah sekian lama jadi jomblo ngenes, gue akhirnya punya kesempatan lagi untuk jalan sama cewek. Mana cantik banget lagi ceweknya. Halah, halah...







Bersambung...
 
Terakhir diubah:
Kalau chat lebih baik ketik langsung di post neng terkadang Kalau pakai foto gak bisa dibuka
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd