Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Aku Dan Dosenku (repost)

guppy23

Semprot Kecil
Daftar
2 Sep 2014
Post
54
Like diterima
35
Bimabet
Selama ini jadi silent reader aku mencoba membagi cerita dari situs yang telah tutup.

--------------------

Namaku Ratih. Umurku 26 tahun dan kuliah di Fakultas Teknik disebuah Universitas Swasta yang sangat terkenal di Yogyakarta. Aku udah nggak perawan hampir tiga setengah tahun yang lalu oleh sebuah kejadian yang sebenarnya tidak kuinginkan meskipun juga tidak kutolak. Pacarkulah yang melakukannya. Itupun dilakukannya hanya tiga kali yang tiga-tiganya seingatku tak ada satu pun yang menyenangkan bagiku. Sebenarnya di kampus aku termasuk mahasiswi angkatan tua, yang artinya aku udah kuliah 3 tahun lebih lama dari waktu yang seharusnya. Padahal aku tinggal nyelesain skripsi aja. Salah satu penghambat besarku adalah Pak Hermawan, seorang dosen yang berumur sekitar pertengahan 40-an (mungkin sekitar 45-an). Orangnya tidak terlalu tinggi, mungkin malah lebih tinggi aku. Agak kurusan dan mulai beruban. Beliau adalah dosen pembimbingku. Setiap kali aku mengajukan tulisanku, selalu saja ada yang salah dan harus kurevisi lagi begitu seterusnya. Disisi lain, keluargaku bukanlah keluarga yang mampu. Artinya separuh uang kuliahku harus aku sediakan sendiri dari hasilku bekerja disebuah warnet (aku punya sedikit kemampuan networking sesuai dengan jurusanku kuliah). Dengan demikian memperlambat masa studi sama saja dengan lebih memeras uangku. Jadi saat itu aku benar-benar mengalami masalah pelik.

Setelah kejadian dengan pacarku, sekian waktu yang lalu itu, aku ogah punya pacar lagi. Bagiku yang mereka incar dari seorang pacar adalah hanya wilayah selangkangannya saja, lain tidak. Agak ekstrim, tetapi begitulah aku.
Yang ingin aku ceritakan ini adalah tindakanku yang sangat aku ingat selamanya dalam hidupku, menyangkut Pak Hermawan dan aku. Saat itu, aku udah menyelesaikan 3 bab dalam penulisan skripsiku, dan mulai memasuki bab 4 dan 5 yang merupakan bagian paling berat dalam proses itu. Hal ini dikarenakan bab 4 dan 5 ini adalah inti dari skripsiku itu.
Di suatu siang aku ke kampus untuk mencari Pak Hermawan dengan membawa draft bab 4 dan 5. Untungnya beliau ada dan aku segera ke ruangannya yang menempati bagian di paling ujung dari deretan ruang dosen. Pak Hermawan termasuk dalam deretan dosen senior di kampusku sehingga beliau menempati ruangan sekitar 4x5 m sendirian dan seorang sekretaris.
Aku mengetuk pintu perlahan. Dan membuka pintunya perlahan-lahan. Beliau sedang membaca koran di sofa. "Selamat siang, pak!"
"Siang, ada apa?"
"Anu pak, mau konsultasi skripsi!"
"Nanti sore aja ya, saya sedang menunggu tamu ini!" katanya sambil tetap membaca koran. Hatiku jengkel bener melihat itu.
"Khan kemarin udah janjian pak!"
"Ya, saya masih ingat. Tetapi nanti sore aja, OK!",.
Harga mati. Aku langsung masygul.
"Selamat siang pak!" kataku jengkel banget.
"Siang"

Dengan hati panas, aku berjalan ke perpustakaan dan sambil membuka-buka buku aku berpikir tentang nasibku itu. Aku merasa tidak pernah berbuat salah pada beliau. Aku cukup cantik dan seksi. Dalam berpakaianpun aku bukanlah seorang konservatif, yang artinya aku suka pakai yang ketat-ketat sehingga payudaraku yang 34C keliatan bener. Jika dia laki-laki yang normal, keindahan itu pasti bukanlah penyebabnya. Aku pun merasa bukanlah dalam kelompok wanita tanpa otak. Apalagi dia seorang duda.
Ha....... tiba-tiba aku tahu penyebabnya!!!.
Semoga aku tidak salah. Beliau berusaha agar aku tidak terlalu cepat lulus agar selalu dapat menikmati keindahan-keindahan yang aku sajikan dari cara aku berpakaian. Ini menjelaskan kenapa dia dulu menginginkan jadwal konsultasi 3 kali seminggu. Ini juga menjelaskan kenapa dia begitu teliti mengecek tulisanku sehingga aku selalu merevisinya dan ketemu lagi. Brengsek...... udah tua....bandot !!!!

Ketika berpikir lagi, aku jadi semakin sedih. Jika benar dugaanku berarti ini belum apa-apa, baru permulaan saja. Oh malangnya nasibku!!.
Waktu berlalu dan sekian lama di perpustakaan dan kantin, tibalah saat yang paling kubenci - ketemu Pak Hermawan. Aku mengetuk pintu perlahan-lahan, dan membukanya. Beliau sedang menulis di meja kerjanya mengangkat kepala sedikit, memandangku dan terus menulis.
"Selamat sore pak!"
"Duduklah disitu!" katanya sambil menunjuk sofa. Aku duduk dan membuka map berisikan tulisan draft bab 4 dan 5 skripsiku. Sekarang bagiku pandangannya adalah pandangan menelanjangi, meskipun di sisi lain aku selalu menaruh hormat yang besar padanya setiap kali masuk ruangan ini.
Dia berhenti menulis dan duduk disebelahku. Terus membuka-buka tulisanku. Tampak hanya sekilas-sekilas saja dia membukanya dan berkomentar nggak enak. "Aduh, anda masih harus banyak membaca lagi ini. Saya belum melihat sebuah skripsi di draft ini. Coba lihat urutan sub babnya saja udah terbalik nggak karuan. Ini khan fatal, sama saja dengan membalik-balik cara berpikir anda .... .... ....".
Kalimat-kalimat berikutnya udah nggak terekam lagi dalam otakku. Yang ada ialah mengumpulnya rasa jengkel yang semakin kuat dan semakin kuat. Tiba-tiba aku melakukan sesuatu yang kelak aku syukuri sekaligus aku sesali.

Ketika dia sedang asyik berkomentar tentang skripsiku, entah setan dari mana, aku tiba-tiba saja memeluknya dari samping dan menempelkan payudaraku di tangannya. Pak Hermawan berhenti dan memandangku, dia tidak menolak, tidak berkomentar apapun. Dari dekat wajahnya udah tampak guratan-guratan kulit tuanya, dihiasi kumis yang mulai tampak uban satu dua. Tampaknya beliau salah tingkah harus bersikap apa, aku khan sepantaran anaknya.
Payudaraku menempel hangat di lengannya yang tampak tiba-tiba kaku. Bukan itu saja, aku menggerakkan tangan kiriku dan tanpa sungkan sedikitpun menjamah selangkangannya. Terasa ada gumpalan besar daging lunak di telapak tanganku dipisahkan oleh kain celananya. Aku mengelus-elusnya perlahan dan mulai menemukan bentuk batangnya memadat dan membesar secara perlahan-lahan.
"Jika ini kamu ......... harapkan dapat membantumu, kamu salah dik!" dia berguman perlahan agak sedikit tertahan, yang aku tahu pasti terpengaruh oleh perbuatanku padanya itu. "Sudahlah pak, bapak nikmati saja!!", bisikku agak kubuat mendesah dekat sekali di telinganya. Mungkin inilah kekuatan sebuah akumulasi, setelah hampir 4 tahun menduda, dan tiba-tiba saja ada seorang gadis muda dan seksi membelainya. Segala hal terlupakan, dan Pak Hermawan mulai terlihat santai dan merebahkan punggungnya kesofa sehingga memudahkan aku membelai-belai selangkangannya yang terlihat membesar itu.

Beberapa saat aku baru menyadari, ternyata batang Pak Hermawan besar juga. Lebih besar dari punya pacarku dulu. Tampak tercetak di celananya ada silinder besar miring kesamping kiri atas. Sementara itu Pak Hermawan memandangi langit-langit menikmati setiap elusanku di sepanjang batangnya itu. Aku nggak pernah bermaksud sejauh itu, tetapi tanpa kusadari aku mulai membuka resleting celananya. Beliau tampak memandangiku dan perlahan-lahan menggerakkan tangannya menjamah payudaraku dan meremasnya perlahan sekali. Aku jadi agak risih, meskipun nggak menolak juga. Dia menakupkan telapak tangannya digunung itu dan menekannya sambil meremasnya. Caranya agak lain tetapi entah kenapa aku merasakan sesuatu yang lain yang mulai mengaliri tubuhku. Di sisi lain aku udah mengeluarkan penisnya dari dalam celananya di antara resletingnya sementara sabuknya masih terpasang. Untuk orang seumur Pak Hermawan penisnya mungkin terlihat masih kokoh. Panjangnya mungkin sekitar 17 atau 18-an cm, agak tebal kulitnya, terus ada urat besar disisi kiri dan kanan yang terlihat seperti ada cacing di dalam kulitnya. Kepala batangnya tampak kompak (ini istilahku!), penuh dan agak berkerut-kerut. Garis lubangnya tampak seperti luka irisan dikepala penisnya. Aku memegangnya perlahan, terasa ada sedikit kedutan terutama dibagian uratnya. Lingkaran genggamanku tampak tak tersisa memenuhi lingkaran batangnya. Ternyata beliau emang hebat meski udah berumur. Aku mulai menggerakkan tanganku mengocok batangnya itu, saat itu yang terpikir segeralah beliau ejakulasi terus menyelesaikan urusan lainnya. Eh, nggak tahunya setelah beberapa lama, Pak Hermawan bangkit dan mendorongku perlahan-lahan sehingga berbaring disofa.

Beliau bangkit dan mengunci pintu. Aduh jangan...jangan... Entah terpengaruh apa, aku udah tidak ingat lagi batasnya. Pak Hermawan perlahan-lahan menggerayangi tubuhku dimulai dari payudaraku. Beliau menarik kaos ketat dan bra-ku keatas sehingga berada di atas gundukan payudaraku yang menyebabkan payudaraku terlepas dan tanpa perlindungan. Jemarinya mulai meremas-remas payudaraku dan memilin-milin putingnya. Saat itu separuh tubuhku masih belum total terhanyut tetapi ternyata Pak Hermawan jagoan juga. Dalam waktu mungkin kurang dari 10 menitan aku mulai mengeluarkan suara mendesis yang tak bisa aku tahan. Aku lihat dia tersenyum. Dan menghentikan aktivitasnya. Tiba-tiba aku merasakan sabuk celanaku dibuka. Belum selesai berpikir aku merasakan hawa dingin AC dikulit pahaku yang artinya celanaku telah lepas. Beberapa saat kemudian aku merasakan tarikan lembut dipahaku yang berarti celana dalamku pun telah dilepas. Aku masih terhanyut oleh rasa nikmat dari permainan Pak Hermawan di payudaraku tadi dan tak tahu harus bagaimana.

"Kamu memang seksi dik!", suara gumaman perlahan aku dengar sambil aku merasakan pahaku dibentangkan kesamping. Aku sendiri merasakan selangkanganku sudah basah kuyup. Mungkin karena aku udah nggak perawan lagi yang menyebabkan terbentangnya paha sebagai bukan kejadian yang luar biasa sehingga memerlukan penolakan kuat dariku.
Tiba-tiba aku merasakan sepasang jemari menjembeng (membuka kekiri dan kekanan) bibir-bibir vaginaku. Dan yang dahsyat lagi aku merasakan sebuah benda tumpul dari daging mendesak di tengah-tengah bentangan bibir itu. Aku mulai sedikit panik.... karena tidak mengira akan sejauh ini.... tetapi tentu saja aku tidak bisa berbuat apa-apa karena aku sendiri yang memulainya tadi.
Sementara itu batang penis Pak Hermawan mulai mendesak masuk dengan mantap. Untuk orang seusia dia, boleh juga. Aku mulai merasakan perasaan penuh di vaginaku dan semakin penuh seiring dengan semakin dalamnya batang itu masuk kedalam liangnya. Sedikit suara lenguhan aku dengarkan dari beliau ketika seluruh batang itu amblas masuk.
"Kamu ........... hhhh .............memang hebat dik!", suaranya seperti mengandung ledakan yang dahsyat dari sesuatu yang terpendam lama. Aku sendiri tidak mengira batang sebesar dan sepanjang tadi bisa masuk seluruhnya. Rasanya seperti terganjal dan untuk menggerakkan kaki saja rasanya agak susah (bukan sakit). Sesaat keherananku yang sama muncul seperti ketika melihat video blue dimana adegannya seorang cewek berada di atas cowoknya dan bisa bergerak naik turun dengan cepat. Padahal ketika seluruh batang penis itu masuk, bergerak sedikit saja terasa aneh bagiku. Tiba-tiba di pintu terdengar ketukan perlahan-lahan dan ada gerakan membuka handel pintu. Beberapa kali terus berhenti.

Tampak wajah panik tiba-tiba tergambar di wajah beliau. Dengan penis masih tertancap penuh di lubang vaginaku Pak Hermawan terdiam menunggu dan lega ketika tidak ada lagi suara ketukan. Beberapa saat kemudian Pak Hermawan mulai menarik perlahan batang penisnya dan aku merasakan gesekan yang terasa agak geli didinding lubangku. Sedikit demi sedikit aku mulai merasa nyaman. Beliau terus bergerak dan sayang belum sampai 10 gerakan tusuk dan tarik, beliau menarik batang penisnya dan mengocoknya sendiri dan mengarahkannya kemeja. Sementara aku sendiri masih dalam kondisi menggantung, ketika ...... semprotan-semprotan ganas itu terlontar seperti semprotan pemadam kebakaran. Pak Hermawan tampak melenguh-lenguh tertahan ketika dari ujung penisnya menyemprot-nyemprotkan tak kurang dari 8 kali semprotan cairan putih kental, padahal tangannya hanya bergerak mengocok sekali untuk dua kali semprotan (untuk teman-teman cowok yang ingin punya semprotan sperma yang kuat dan banyak mungkin bisa pakai cara itu - berpuasa ejakulasi 4 tahun terus langsung ngocok atau senggama ... he....he...he....sorry bercanda!).

Ketika Pak Hermawan selesai, di atas taplak kuning dimeja, telah penuh dengan genangan cairan kental putih, sebagian di antaranya terlempar melewati meja dan sofa pendek diseberang meja itu dan jatuh di keramik, sebagian membentuk garis di sofa yang dilewatinya. Sebagian lagi membentuk noktah-noktah bening di kertas-kertas skripsiku. Tampak dahsyat sekali ejakulasi yang dialami Pak Hermawan. Sementara aku sendiri betul-betul masih menggantung, posisiku bahkan belum berubah, mengangkang disofa, sehingga dari sebelah meja kerja Pak Hermawan pastilah selangkanganku tampak terlihat jelas.

Pak Hermawan duduk di sofa di bawahku sambil memegangi kepala penisnya yang tampak memerah. Diliriknya selangkanganku terus direbahkannya dirinya disana. Beberapa saat berlalu. Tiba-tiba ditengah ke-nggantungan-ku, kesadaran moralku muncul. Aku bangkit dan mengambil pakaianku, memakainya cepat-cepat, merapikan rambut, terus duduk menunduk. Dan berucap, "Saya minta maaf pak, saya nggak sengaja!" Terdengar tarikan nafas panjang, entah lega atau apa.
"Nggak apa-apa....!, saya senang kok dik!" katanya tanpa menatapku.
Matanya menerawang lurus kedepan. Anehnya wajahnya tampak segar-bugar seperti mendapat second wind. Terus dia mengambil kertas-kertasku yang tercecer di meja dan sebagian tertetesi oleh spermanya. Dan memberikannya kepadaku.
"Teruskan saja, saya ingin lihat lengkapnya" Aku menerimanya dan tanpa membersihkan sisa-sisa sperma Pak Hermawan langsung saja aku masukin kedalam tas.
"Bantuin saya membersihkan ini, ya!", dia mengambil kain dan tissue dan mulai membersihkan sisa-sisa di atas meja dan sofa tadi. Aku mengambil tissue dan mulai ikut membersihkan, sekali aku memandanginya dan tanpa sadar beliau memandang balik dan kami saling berpandangan beberapa lama. Setelah bersih aku berniat pulang. Entah kenapa, dia membukakan pintu, dan sebelumnya dia membisikkan kata-kata ini.
"Terima kasih dik Ratih, maaf saya terlalu cepat, mungkin Selasa depan saya bisa memperbaikinya"
Hahhh...... Selasa depan? Ya....ampun...!!!!

Masih dengan perasaan menggantung, aku berjalan menyusuri koridor gedung itu dan menuruni tangga. Setiap gerak langkah kakiku menggesekkan perasaan geli dan entah apa yang membuatku kadang-kadang menggelinjang sendiri. Mungkin karena sebenarnya akupun menyimpan keinginan itu dibawah sadar sehingga-sama seperti Pak Hermawan - ketika ada penyaluran yang dibutuhkan adalah penyaluran total.

Aku berjalan ke arah parkiran motor. Aku menaikinya dan menekan starter, motorku masih manual bukan matik. Tiba-tiba getaran mesinnya yang agak kuat terasa menyentakku. Getaran itu langsung terasa di permukaan selangkanganku di sadel yang efeknya mungkin terasa seperti vibrator. Aku tiba-tiba menggeliat-geliat sendiri seiring aku menarik gasnya perlahan-lahan. Beberapa saat aku menge-gas gas motor itu dan merasakan enak yang aneh di selangkanganku. Tanpa aku sadari pak satpam memandangi dan mendatangiku.
"Ada apa mbak?" tanyanya,
"Ehh.. anu..nggak ada apa-apa kok!" jawabku gugup. Eh... nyaris ketahuan deh.

Aku segera berangkat dan sampai dirumah pukul 17.15, langsung mandi dan tidur. Mungkin karena terlalu lelah aku segera terlelap dan bangun pukul 21.30. Mungkin saja sensasi tindakanku tadi siang masih lebih tidak penting dibandingkan disetujuinya draft skripsiku sehingga malam itu semalaman aku mengerjakan bab 4 skripsiku dengan begitu bersemangat, dan tidak terasa pukul 03.00 pagi telah menjelang. Aku udah mengantuk dan segera tidur lagi.

Terlupakan sudah perasaan menggantung tadi, meskipun kadang-kadang kalau secara tidak sengaja pas mandi dan menyabuni selangkanganku terasa begitu nyaman. Begitulah sehingga pada hari Selasa pagi (yang berarti hanya empat hari setelah pertemuan terakhirku dengan Pak Hermawan), aku telah menyelesaikan hampir 70%-an dari Bab 4 dan 5.
Dan dengan bersemangat aku segera ke kampus untuk menemui Pak Hermawan. Kemungkinan akan dibegituin lagi oleh beliau menjadi tidak begitu penting lagi. Oh ya, berkas-berkas yang ternoda oleh sperma beliau aku simpan rapi di atas meja belajar. Itung-itung kenangan. Juga kali itu aku kekampus dengan mengenakan kemeja warna biru tua dan celana jeans biru, lain dari kebiasaanku dalam berpakaian.

Seperti biasa aku mengetuk pintu dan membukanya. Kali ini dengan perasaan yang agak lain. Pak Hermawan sedang menulis di meja kerjanya. Dipandanginya aku dan tersenyum. dasar bandot!!. Di ruangan itu ada juga mbak Enny, sekretarisnya. Mbak Enny ini berumur sekitar 35-an tahun, masih seksi meskipun anaknya udah 2. Tanpa bermaksud berprasangka, aku menduga mungkin Mbak Enny pun udah pernah dibegituin oleh Pak Hermawan.
"Selamat pagi!" Eh, aneh. Pak Hermawan duluan menyapa dengan senyum yang mengembang. Brengsek, bener-bener bandot tua.
"Selamat pagi pak, mau konsultasi skripsi" kataku dengan nada seperti biasa, sopan dan penuh santun.
"Oh iya sudah saya tunggu dari tadi, silakan duduk!", Bener-bener deh, kena dia. Sekilas aku melihat senyuman penuh misteri dari Mbak Enny. Di sisi lain nadanya yang kebapakan mengingatkanku sekilas pada ayahku yang telah tiada. Dan ini benar-benar menohok kesadaran moralku.
Aku segera duduk di sofa penuh kenangan itu. Masih segar bener dalam ingatan, dinginnya kulit sofa itu di bawah di punggungku tidak bisa meredakan panasnya nafsu Pak Hermawan di atas tubuhku. Meskipun semuanya sendiri karena aku juga. Aku segera membuka tas dan mengambil berkas skripsiku dan membukanya. Pak Hermawan berdiri dan duduk di sebelahku. Secara naluriah sebenarnya aku risih, karena beliau duduk nyaris berdempetan denganku. Apalagi di seberang sana ada Mbak Enny. Belum lagi peristiwa beberapa hari yang lalu di tempat yang sama masih terasa seperti baru saja terjadi.
"OK, deh teruskan saja! Secara umum anda sudah cukup bagus, tinggal ada ejaan-ejaan yang masih salah", Pak Hermawan selesai membuka-buka draft skripsiku.
Dengan agak malu-malu aku bertanya perlahan,
"Kapan saya bisa konsultasi lagi pak?",
"Hmm .. begini, minggu depan saya akan berangkat ke Belanda karena ada kursus yang akan saya ikuti selama sebulan. Jadi waktu kita ketemu hanya sampai hari minggu saja."
Seketika dalam hati aku menjerit "aduh". Sebulan lagi berarti waktu pengumpulan telah terlewati dan itu artinya aku harus mendaftar lanjutan dan itu juga berarti harus membayar lagi.
"Pengumpulannya khan tiga minggu lagi pak, bisa tidak kira-kira saya mendapatkan 100% sebelum Bapak berangkat?" aku memberanikan diri bertanya. Pak Hermawan berpikir sejenak. Eh, entah kenapa, aku tiba-tiba melirik selangkangannya, mungkin karena telah mengenalnya secara pribadi. Dan secara aneh juga, aku merasakan rasa terangsang yang aneh melihat segumpalan benda yang tampak mengganjal di balik celananya itu. Aku juga brengsek dalam hal ini.
"Hmm . begini saja, jika anda bisa ketemu saya setiap hari, maka saya pikir kekurangan skripsi anda akan bisa terselesaikan sebelum saya berangkat, gimana kira-kira, sanggup?"
"Mungkin tidak harus disini anda bisa konsultasi, anda datang saja ke rumah saya. Bisa pagi sekali - sekitar jam setengah tujuh-anlah - atau petang hari jam yang sama"
Secara naluriah aku mungkin sedikit tahu maksud dari penjadwalan yang kedua tersebut, mengingat di kemudian hari ternyata baru aku tahu bahwa Pak Hermawan tinggal sendirian di rumahnya, anak-anaknya sudah besar. Ada yang sudah berkeluarga ada pula yang kuliah di Bandung dan Jakarta. Beliau hanya tinggal bersama dua orang pembantu yang sudah tua.
"Saya sanggup pak," akhirnya hanya itu yang terucap dari mulutku.
"OK, bagaimana kalau mulai besok pagi?"
"Baik pak!" jawabku mengambang antara sanggup dan tidak membayangkan betapa berat kerjaanku nanti malam. Akhirnya pulanglah aku. Meskipun sebenarnya tidak sesuai dengan yang kuperkirakan, membuat beliau mau didatangi ke rumahnya saja sudah merupakan prestasi besar.

Malam harinya bener-bener aku begadang agar setidaknya Bab 4 bisa selesai dengan sempurna. Dan semuanya berakhir pukul 5.00 pagi, setelah nge-print selesai pukul 5.30 WIB. Mau tidur nanggung, maka sambil tidur-tiduran memandangi langit-langit, dan otomatis jika dalam keadaan seperti itu, melamun adalah hal yang sangat logis. Yang pertama teringat tiba-tiba saja peristiwa hampir seminggu yang lalu di kampus. Dan yang tak kuduga, yang pertama kali terbayang adalah semprotan-semprotan putih yang menyebar-nyebar dari Pak Hermawan itu.

Ini yang tidak kuduga karena bukankah selama ini aku sangat membenci beliau, meskipun di sisi lain rasa hormatku juga ada. Dan yang membuatku agak merasa deg-degan ialah bahwa aku mengingatnya bukan sebagai orang tua/dosenku tetapi sebagai seorang laki-laki, yang artinya bahwa lamunanku saat itu adalah berisikan nafsu. Tiba-tiba saja rasa was-was muncul di hatiku, jangan-jangan aku mengidap kelainan (maksudku Pak Hermawan khan hampir 20 tahun lebih tua dariku, dan aku bernafsu padanya!). Atau mungkin hanya karena `itunya' Pak Hermawan yang tampak mempesona (karena sebenarnya baru ada dua penis yang pernah kurasai, pertama milik pacarku yang dulu yang pertama kali `memasukiku'. Dan yang kedua adalah milik Pak Hermawan. Dari keduanya, milik Pak Hermawan lah yang memberi kesan mendalam, baik secara fisik maupun emosi).

Sadar aku mulai `ngeres', tiba-tiba rasa yang secara nggak kusadari telah menumpuk di tubuhku sekian lama dan puncaknya adalah ketika Pak Hermawan tak sanggup menuntaskannya seminggu yang lalu, menggelitik tubuhku melalui selangkanganku. Dalam kondisi seperti itu satu sentuhan saja pasti akan sanggup membuatku mendesah sendiri. Dan benar, cukup dengan menggeliat kekiri saja, yang membuat selangkanganku bergesekan dengan guling dan membuat bibirku mendesah dan dari hidungku keluar nafas panjang dan . kringgg... Aku tersadar dan bangkit ketika weker berbunyi jam 6.00.

Aku segera mandi, cepat saja terus ganti baju. Aku pakai kaos warna kuning dan celana hitam terus pakai jaket biru tua kesayanganku. Beberapa tetesan parfum aku tambahkan. Aku segera berangkat (sekuat tenaga aku berusaha mengalahkan rangsangan dari getaran mesin motorku - temen-temen cewek boleh deh nyobain.! He.he.he) dan tepat jam 6.30 pagi aku sampai di depan rumah Pak Hermawan di bilangan Babarsari. Tampak sepi, pintu pagar terbuka sedikit. Aku memarkir motor di depan pintu pagar dan turun.
"Masukkan saja dik, disini banyak maling motor," Pak Hermawan masih berkaos oblong putih dan celana pendek biru. Beliau membuka pintu pagar dan aku segera mendorong motor masuk sambil berucap:
"Selamat pagi, Pak!"
"Pagi, ayo masuk," Keramahan beliau mulai terasa biasa bagiku. Pak Hermawan menutup pintu pagar dan masuk ke rumah lewat garasi. Aku mengikuti saja di belakangnya. "Maaf agak berantakan, maklum Tarno sedang pulang. Lagian bapak sendirian disini," aku diam saja dan hanya tersenyum setiap kali beliau memandangiku. Entah mungkin karena pengaruh ngantuk, aku merasa pastilah senyumku tidak manis sama sekali.
"Kamu pasti belum tidur, khan?"
"Bener, pak!"
"Bagaimana kalau bapak buatkan kopi, biar agak segar, OK?"
"Tidak usah pak, terima kasih!" kataku sambil duduk di sofa di ruang tengahnya yang indah dan nyaman sekali.
"Ayolah, nggak usah sungkan-sungkan, anggaplah rumahmu sendiri. Kita khan telah mengenal secara pribadi!," Ini nih! Entah kenapa suasana nyaman di ruangan ini terasa ada nuansa mesumnya. Lagipula, kalimat terakhirnya tadi pastilah tentang peristiwa minggu kemarin. Ih, mulai keluar rasa sebalku.
"Baiklah, pak!" ternyata akhirnya kalimat itu yang keluar.

Sementara Pak Hermawan ke dapur, aku membuka tasku, melepas jaket dan mulai membuka-buka draft bab empatku. Semoga ini koreksi terakhirku untuk bab ini. Mataku benar-benar terasa berat dan panas.
"Nah, ini kopinya, pastilah akan membuat dik Ratih segar kembali", Pak Hermawan meletakkan secangkir kopi di depanku. Sekilas secara spontan di luar kesadaranku, aku melirik kebagian "itunya" Pak Hermawan. Khas orang-orang seumuran beliau, tidak memakai celana dalam seperti pria-pria sekarang, tapi celana pendek. Sehingga ... tercetak samar-samar bentuk silindernya yang tampak miring ke kiri menumpang di atas segundukan bola. Ah ...
"Ayo minumlah dulu!"
Aku minum seteguk, terasa sekali kopi yang harum dan keras, aku meminumnya lagi sehingga tinggal separuh. Emang benar, terasa tubuhku agak segar. Sementara itu Pak Hermawan sedang membuka-buka skripsiku, dan mulai memberi komentar disana sini.
"Sampai sub bab ini, anda bisa memberi tambahan uraian tentang relay. Anda bisa ambil bukunya dari Horowsky atau Stuart. Sementara yang lain saya pikir sudah cukup bagus," Sementara Pak Hermawan sedang mencoret sana sini dan terus berkomentar tentang skripsiku, aku minum kopi itu lagi. Entah kenapa, rasanya segar dan nyaman sekali, kira-kira seperti saat ketika kita akan tidur diantara sadar dan terlelap, ketika semua beban telah terlepaskan.

Beberapa saat kemudian, dalam keadaan tersadar tapi mengambang seperti itu, semua yang dikatakan oleh Pak Hermawan hanya sepotong sepotong saja yang bisa kutangkap. Sampai suatu saat aku merasakan beberapa jemari meraba payudara dan paha bagian dalamku. Aku segera tersadar tapi Pak Hermawan telah merangkulku erat dari belakang. Entah bagaimana aku telah berada di pangkuannya. Pantatku terasa sedang menduduki sesuatu yang keras. Sebuah tangannya sedang menggerayangi dadaku melalui balik kaosku (kaosku telah tertarik keatas separuh sehingga separuh perutku terasa dingin terkena udara AC di ruangan tersebut. Sementara tangan satunya sedang mengelus bagian paha dalamku hanya sekian centimeter dari area vaginaku.
"Pak ...... jangan..... Tolong...Pak!!!!" Entah bagaimana kedengarannya kalimatku tadi, bernada menolak atau malah terhanyut. Yang pasti sentuhan di kedua titik tererotis dari tubuhku itu, seperti mengalirkan daya penghanyut yang dahsyat. Jadi sementara sebagian akalku menolak perbuatan Pak Hermawan itu, seluruh tubuhku yang lain mulai terhanyut total. Ketika dari bibirku keluar kalimat-kalimat penolakan dan tanganku mulai bergerak memberontak, seluruh bagian yang tubuh yang lain malah pasrah dan terutama pahaku yang mulai terasa kesemutan mengiringi rasa seperti ingin kencing dari selangkanganku setiap kali jemari pak Hermawan menyapu seluruh permukaannya meskipun terlindungi oleh kain celanaku.
Akhirnya kira-kira seperempat jam kemudian seluruh tubuhku hanyut luruh, bahkan dari bibirku keluar suara mendesis dan rengekan manja setiap kali Pak Hermawan berbuat sesuatu di bagian tubuhku tadi. Mungkin kelebihan dari mereka yang telah berumur seperti Pak Hermawan di antaranya ialah kesabarannya dalam melakukan seluruh proses hubungan intim, tidak asal ingin segera menyelipkan "itunya" saja seperti kebanyakan anak-anak muda.
"Saya telah berjanji padamu dik Ratih...untuk memuaskanmu!", pak Hermawan berbisik dekat sekali di belakang telingaku sehingga nafasnya terasa berhembus hangat sekali. Aku menyandarkan punggungku diatas dadanya. Sementara itu terasa bagiku sebuah silinder panjang, keras dan hangat, berdenyut-denyut di antara kedua bongkahan pantatku. Pak Hermawan menghentikan aktivitasnya dan berbisik lagi:
"Kita ke kamar saja ya!". Beliau mendorongku berdiri dan merangkulku, terus menuntunku masuk ke dalam kamarnya. Aku seperti tak berdaya mengikuti apa saja yang dilakukannya. Ada dorongan yang sangat kuat mengalahkan segala energi penolakanku. Dibaringkannya aku ditepi ranjang, separuh paha dan kakiku masih terjuntai di lantai sehingga hanya punggung sampai pantat saja yang berbaring di ranjang.

Pak Hermawan berhenti sejenak kemudian dia menarik melepas kaos dan bra-ku, yang pasti dilakukannya dengan mudah karena aku sendiri sudah pasrah (pasrah bongko'an - istilah yogya-nya - yang artinya pasrah sepasrah-pasrahnya). Kemudian terlihat olehku beliau sedang memandangiku. Ketika timbul sedikit usaha dari tanganku bergerak untuk menutupi payudaraku, saat jemariku menyentuh permukaan gundukan dagingnya, yang terjadi malah remasan-remasan dan elusan lembut dariku sendiri. Pasti karena kopi tadi atau entahlah...
Kemudian terasa olehku tarikan lembut kebawah di celana panjangku dan terasa bergerak-gerak ketika Pak Hermawan melepaskannya dari paha dan betisku. Terdengar olehku suara nafas panjang darinya. Sesaat kemudian ditariknya pelindung terakhir dari tubuhku, secarik celana dalam warna biru muda yang pasti sudah bernoktah bening di bagian bawahnya. Jadilah aku telanjang bulat berbaring separuh tubuh di tepi ranjang sementara pahaku masih menjulur ke lantai. Pastilah bagian selangkanganku yang berambut lebat itu tampak menggunung karena posisi itu. Entah bagaimana rasanya laki-laki melihat seorang cewek telanjang bulat dalam keadaan pasrah - siap disenggamai - berbaring dalam posisi seperti posisiku saat itu? Yang pasti aku melihat Pak Hermawan seperti tertegun beberapa saat memandangiku.

"Kamu memang sempurna dik Ratih..hhhh", Aku melihat beliau melepas kaos oblongnya sehingga dapat kulihat tubuh ceking putih itu. Dalam keadaan seperti itu kulihat bahwa dari balik celana pendeknya tampak penisnya sudah menegang terlihat dari mencuatnya batangnya itu sehingga terlihat menonjol. Kemudian dibukanya juga celana pendeknya itu sehingga terlihat ayunan batang panjang dan besar itu tampak memerah kepalanya tegak mengacung ke depan di antara kedua pahanya yang ceking.
Urat-uratnya terlihat jauh lebih besar dibandingkan ketika seminggu lalu aku melihatnya. Entah kenapa penis-penis seperti itu selalu menempel pada tubuh-tubuh ceking seperti milik Pak Hermawan itu (sorry buat teman-teman yang merasa gendut - semoga itu tidak terbukti hipotesaku itu).
"Pak...," aku bahkan nggak tahu memanggilnya untuk apa. Sambil berlutut mendekatkan tubuhnya di antara pahaku, Pak Hermawan berbisik.
"Ssttt, ..... adik diam saja, nikmati saja!" Katanya sambil dengan kedua tangannya membuka pahaku sehingga selangkanganku terkuak tepat menghadap pinggulnya karena ranjangnya itu tidak terlalu tinggi. Itu juga berarti bahwa sekian saat lagi akan ada sesuatu yang akan menempel di permukaan vaginaku.
Benar saja, aku merasakan sebuah benda tumpul menempel tepat di permukaan vaginaku. Tidak langsung diselipkan di ujung lubangnya, tetapi hanya digesek-gesekkan di seluruh permukaan bibirnya, membuat bibir-bibir vaginaku terasa monyong-monyong kesana kemari mengikuti arah gerakan kepala penisnya. Tetapi pengaruh yang lebih besar ialah aku merasakan nikmat yang benar-benar bergerak cepat di sekujur tubuhku dimulai dari titik gesekan itu. Beberapa saat Pak Hermawan melakukan itu, cukup untuk membuat tanganku meraih tangannya dan pahaku terangkat menjepit pinggulnya. Aku benar-benar menanti puncak permainannya.
Pak Hermawan menghentikan aktivitasnya itu dan menempelkan kepala penisnya tepat di antara bibir labia mayoraku dan terasa bagiku tepat di ambang lubang vaginaku. Aku benar-benar menanti tusukannya. Oh..God... please!. Tidak ada siksaan yang lebih membuat cewek menderita selain dalam kondisiku itu. Yang cewek dan yang sudah pernah melakukan senggama dan menikmatinya, pasti setuju, ya nggak!

Akhirnya Pak Hermawan benar-benar mendorongkan pinggulnya mendorong terkuaknya lubang vaginaku oleh batang penisnya. Sedikit demi sedikit aku merasakan terisinya ruangan dalam vaginaku. Aku benar-benar tergerinjal ketika merasakan kepala penisnya mulai melalui area G-spotku, diikuti oleh gesekan dari urat-urat batangnya setelah itu. Aku hanya mengangkang merasakan desakan pinggul Pak Hermawan membuka pahaku lebih lebar lagi.
"Pak...!!", lagi-lagi hanya kata itu yang terucap dari bibirku. Sedikit bergetar aku ketika mengucapkannya. Saat itu seluruh batang penis Pak Hermawan telah amblas masuk seluruhnya di dalam vaginaku. Tanpa sengaja aku terkejang seperti menahan kencing sehingga akibatnya seperti meremas batang penis Pak Hermawan. Beliau bahkan belum lagi bergerak.
"Aduhh..dik Ratih... kamu ....hebat sekali!" Beliau ikutan menegang, mungkin akibat kejangan tadi. Beliau mencengkeramkan kedua tangannya di pinggulku, terasa sedikit kukunya di ujung kulitku. Tapi itu hanya rasa yang kecil saja dibandingkan apa yang terjadi tepat di tengah-tengah tubuhku saat itu. Kakiku masih menjuntai di lantai karpet kamarnya itu.Tanganku memegangi lengannya yang mencengkeram pinggulku. Aku mencakarnya ketika beliau menarik penisnya dan belum sampai tiga perempat panjangnya kemudian menghunjamkannya lagi dengan kuat. Aku nyaris menjerit menahan lonjakan rasa nikmat yang `dibenamkannya' secara tiba-tiba itu.
Begitulah beberapa kali Pak Hermawan melakukan hujaman-hujaman kedalam liangku. Setiap kali hujaman seperti menyiramkan rasa nikmat yang amat banyak ke tubuhku. Aku begitu terangsang dan semakin terangsang seiring dengan semakin seringnya permukaan dinding lubang vaginaku menerima gesekan-gesekan dari urat-urat penis Pak Hermawan yang seperti akar-akar beringin yang menjalar-jalar itu.

Mungkin karena tenaganya yang mungkin sudah tidak sekuat masa mudanya. Biasanya kalo orang bersenggama itu semakin lama semakin cepat gerakannya, Pak Hermawan malah semakin melambat sehingga sampai pada sebuah irama gerakan yang konstan, tidak cepat dan tidak lambat. Tapi anehnya justru bagiku aku semakin bisa merasakan setiap milimeter permukaan kulit penisnya. Pada tahap ini, seperti sebuah tahap ancang-ancang menuju ke sebuah ledakan yang hebat, aku merasakan pahaku mulai seperti mati rasa seiring dengan semakin membengkaknya rasa nikmat di area selangkanganku. Aku mulai mengejang, kedua tanganku meremas-remas lengannya sesekali mencakarnya, disertai jatuhnya tetesan keringat di dada dan perutku.
Aku mulai tidak terkontrol lagi, suaraku terdengar keras sekali. Aku tak perduli lagi. Aku mulai secara tak sadar seperti memerintah Pak Hermawan.
"Cepatlah.....hhhhh....Pak!" sambil berkata demikian
aku bangkit dari berbaringku dan menjepit pinggul Pak Hermawan dengan kedua pahaku sementara betisku kuangkat. Aku meraih pinggul Pak Hermawan dan menggerak-gerakkannya secara kasar. Pak Hermawan seperti kedodoran menanganiku saat itu, beliau terengah-engah mengikuti gerakan tanganku di pinggulnya. Tapi seperti aku ceritakan di atas, beliau luar biasa sekali saat itu. Bayangkan ini sudah hampir 20 menit, beliau terus bergerak kontinyu sampai pada suatu titik..
"AHHH.PAAKKK.HHHH.."
(aku nggak bisa bercerita lagi pada bagian ini, kakiku mengejang, pinggulku terasa kesemutan rasa nikmat, nafasku memburu cepat, detak jantungku terasa cepat sekali, sementara di bawah sana aku terus merasakan gesekan-gesekan kuat dan mantap dari Pak Hermawan).
Ketika usai, aku masih berbaring di ranjang tetap dengan posisi seperti tadi, tapi kali ini lemas sekali. Lemas yang sangat melegakan tubuhku, seperti separuh tubuhku telah menguap. Aku memandangi langit-langit dan masih tetap belum bisa berpikir jernih. Tiba-tiba aku mendengar bisikan dan sentuhan kulit basah disampingku.
"Dik Ratih..bantuin bapak ..... menyelesaikan ini!"
Aku melirik ke samping dan yang pertama kulihat sebuah batang mengkilat yang tegak mengacung ke atas, separuh pangkalnya tergenggam oleh tangan keriput Pak Hermawan. Beliau berbaring tepat di sampingku dan kelihatannya masih belum ejakulasi. Gila apa ini?
Pak Hermawan menarik tangan kiriku, menggenggamkannya di penisnya dan mengarahkannya untuk melakukan kocokan. Aku mengikuti saja, tubuhku masih lemas sekali termasuk kedua tanganku. Jadi aku gerakkan saja sekuat tenaga tangan kiriku menggerak-gerakkan kocokan dengan tangan kiri, pandanganku masih ke atas langit-langit. Aku nggak perduli, pokoknya aku seperti menggerakkannya dengan cepat, hingga tak berapa lama kemudian...
Aku merasakan raupan tangan didadaku, dan beberapa saat kemudian suara erangan disertai tetesan cairan hangat dan lengket di perut dan seluruh dadaku. Sementara itu di telapak tangan kiriku aku merasakan seperti pompaan-pompaan cepat dan kuat yang mengalir dengan cepat dari dalam tubuh Pak Hermawan keluar dengan kuat dari ujung lubang penisnya yang karena gerakanku mengocok, mengarahkan semprotan ke atas dan jatuh di atas tubuhku. Sensasi dari rasa hangatnya aku rasakan di seluruh kulit tubuhku, diperkuat dengan suara erangan tua dari mulutnya.

Aku benar-benar menghabiskan kerinduanku di rumah Pak Hermawan hari itu. Ada beberapa kejadian lagi antara aku dengan Pak Hermawan tapi sebenarnya tidak terlalu istimewa untuk aku ceritakan. Aku ceritakan ini agar teman-teman (cowok dan cewek) tahu bahwa kadang-kadang perjuangan itu memang mengorbankan apa saja.
Aku sekarang udah bekerja di sebuah konsultan TI di Yogyakarta, dengan gaji yang lumayan besar. Sementara rahasiaku dengan Pak Hermawan benar-benar tersimpan rapi sampai sekarang. Aku bahkan telah mengenal putra-putranya dan aku dianggapnya sebagai saudara sendiri. Sampai sekarang aku masih belum mau berkeluarga, dengan banyak alasan yang masih tercetak di kepalaku.
Begitulah teman-teman sejak kejadian di rumah Pak Hermawan di pagi itu, skripsiku benar-benar lancar dan benar-benar selesai sebelum beliau berangkat ke luar negeri. Di antaranya tidak ada kejadian yang menyangkut seks dengan beliau. Sebulan beliau di luar negeri, sepulangnya aku langsung maju pendadaran dan dengan sukses aku bisa mendapatkan nilai A-. Ketika bersalaman setelah pendadaran, beliau sempat mengatakan sesuatu kepadaku. Aku hanya mengangguk saja dan tersenyum sambil berucap terima kasih sebanyak-banyaknya atas bimbingan beliau.
Kejadian kami - aku dan Pak Hermawan - tertutup rapat dari siapapun, bahkan dari pembantu beliau atau mbak Enny sekretarisnya.
Setelah wisuda, aku begitu bersemangat mencari tempat kerja, dan untungnya dengan sedikit skill yang aku miliki, aku segera diterima di sebuah perusahaan IT di Yogyakarta. Sesekali dengan email, aku berkirim kabar dengan Pak Hermawan, hanya saling bertanya basa-basi. Dan aku tetap menghormatinya, seperti layaknya seorang mahasiswa menghormati dosennya.
Sampai suatu saat aku bertemu dengan seorang pria. Lama kami berteman sampai suatu saat aku memutuskan untuk menerima keinginannya untuk menjadi pacarku. Dia begitu baik, sehingga pandangan negatifku tentang pacar menjadi berkurang dan dengan dia, aku segera menemukan hari-hari bahagiaku. Saat itu umurku sudah 27 tahun lebih. Sampai berbulan-bulan, hal terjauh yang dilakukannya hanyalah menciumku, itupun dipipi.

Seiring dengan bertambahnya waktu, beberapa kali aku masih teringat aktivitas terakhirku dengan Pak Hermawan di rumahnya. Betapa tingginya apa yang kurasakan saat itu. Dan seiring dengan bertambahnya umurku, sangat logis kalau rasa inginku akan hal itu menjadi semakin tinggi. Apalagi aku sudah pernah mencapainya, tinggi pula. Kadangkala ketika keinginanku untuk melakukan muncul, muncul pula harapan suatu saat pacarku yang sekarang melakukannya padaku. Bukankah seks jika didorong oleh rasa cinta akan menjadi sangat sempurna? Logikaku, jika dengan orang yang pernah kubenci saja bisa begitu nikmat, kenapa dengan orang yang kucintai tidak? Kadang aku sedikit-sedikit memancingnya, tetapi dia benar-benar tidak mau melakukannya. Suatu saat, ketika dia memboncengkanku, aku sengaja meletakkan tanganku dipaha bagian dalamnya dekat sekali dengan selangkangannya, sehingga payudaraku menggencet punggungnya dan jika lewat jalan yang tidak rata otomatis kadang-kadang tanganku menyentuh selangkangannya beberapa kali. Aku tidak merasakan perubahan kekerasan organ di dalamnya. Kadang-kadang aku was-was jangan-jangan pacarku ini impoten. Dalam hal ini masturbasi benar-benar tidak membantu ketika kita sudah pernah merasakan nikmatnya hubungan seks secara fisik. Tapi aku saat itu benar-benar mencintainya. Sampai suatu saat aku secara tidak sengaja bertemu Pak Hermawan di suatu supermarket ketika sedang berbelanja sendirian. Ketika itu aku sedang memilih pakaian dalam, dan karena letak counternya yang tidak menyendiri sehingga lalu lintas pengunjung di belakangku pun ramai. Akupun cuek aja memilih BH dan celana dalam. Warna favoritku sebenarnya adalah biru muda, tapi di Yogyakarta tidak banyak tempat yang menjualnya. Sampai suatu ketika aku mendengar suara seseorang yang pernah kukenal secara pribadi berkata perlahan di belakangku.
"Halo dik Ratih,"
Aku menoleh, dan tampak wajah tua beruban itu tersenyum. Pak Hermawan!
"Eh. Pak Hermawan, apa kabar pak?"
"Baik, dik Ratih gimana kabarnya?"
"Saya baik saja Pak, udah kerja di Yogya" sambil mengucapkan nama sebuah perusahaan IT.
"Wah bagus dong, sedang belanja nih!"
"Iya Pak, maafkan saya tidak pernah ke rumah Bapak!"
"Oh nggak apa-apa, Dik Ratih pasti sedang sibuk sekali!"
"Iya Pak, saya sedang ikutan membangun jaringan di Surakarta!"
"Ok deh, sukses kalau begitu! Bapak duluan ya!"
"Terima kasih Pak," kataku sambil menyalaminya.
Ketika bersentuhan dengan tangannya secara tiba-tiba aku teringat apa yang pernah dilakukan jemari-jemarinya terhadapku dulu, hampir setahun yang lalu. Pak Hermawan berlalu, tapi tiba-tiba dia berbalik
"Oh ya sekarang tinggal dimana?"
"Oh saya di Gejayan Pak," dan secara otomatis aku mengambil kartu namaku dan menyerahkan kepadanya. Pak Hermawan menerimanya dari tanganku dan mengamatinya sejenak dan berkomentar,
"Wah kamu sudah supervisor ya! Hebat!"
Aku tersenyum saja, kacau perasaanku saat itu.
"Ok deh dik Ratih, kapan-kapan main kerumah ya!"
"Baik Pak!"

Singkat kata, setelah pertemuan itu, lama tidak ada kabar apapun dari Pak Hermawan, baik lewat email atau lainnya. Beberapa kali aku sempat mengemailnya hanya sekedar untuk menanyakan beberapa hal yang bersifat teknis yang berhubungan dengan pekerjaanku. Sementara itu hubunganku dengan pacarku sudah sampai pada taraf yang bagiku sudah mulai menjengkelkan. Bayangkan teman-teman jika pacar kamu begitu bernafsu sama kamu, selalu memancing-mancingmu, kadang-kadang mungkin tampak seperti murahan (yang suruh mijitin lah, ngambil handuk atau sabun lah, atau bahkan kadang-kadang doi dengan cuek keluar dari kamar mandi cuman pakai handuk selebar 60 cm aja tanpa apa-apa di baliknya sementara tubuhnya terlihat segar habis mandi, dan dengan cuek pula ganti baju - pakai BH dan celana dalam terus pakai celana panjang dan kemeja - di depan kamu, tanpa minta kamu balik badan, atau yang lebih seru lagi, kalian tidur barengan - doi nginep. Sementara kamu tidur, di sebelah kamu ada tubuh hangat cuman terhalang kaos dan kulot tipis, yang dengan cueknya menggeliat-geliat ketika tidur. Kadang-kadang tangan atau pahanya dengan cueknya mendarat dengan hangat di penis kamu, pas sekitar subuh pula. Dan semua itu hanya kamu cuekin!!!). Jengkel nggak sih!

Meskipun belum pernah melihatnya telanjang, aku sudah bisa menduga kira-kira seperti apa tubuhnya - maksudku 'itunya'. Kadang-kadang ketika aku menginap di kostnya, di saat tidur bareng seperti itu, aku berpura-pura menggeliat dan dengan sengaja meletakkan tanganku di selangkangannya tepat di wilayah yang kira-kira merupakan posisi batang penisnya. Aku menduga miliknya tidak sepanjang milik Pak Hermawan, mengingat pas dalam kondisi lemas seperti itu, telapak tanganku kira-kira pas sepanjang batangnya. Jadi kira-kira kalau pas tegang pastilah genggamanku kira-kira sepanjang separuh panjangnya. Sementara milik Pak Hermawan bisa jadi hampir tiga kali lebar telapak tanganku, itupun dengan diameter yang besar pula, ditambah urat-uratnya yang 'dewasa'. Kadang-kadang aku melakukannya pas hampir fajar, ketika kadang-kadang penisnya menegang sendiri. Aku merasakan daging yang tidak terlalu keras, tapi kepalanya agak gede, jadi mirip-mirip mikrofon-lah. Tapi sekali lagi, aku benar-benar mencintai dan menyayanginya. Sampai suatu ketika, aku benar-benar tidak kuat lagi menahan keinginanku. Kali itu aku pas menginap lagi di kostnya, besok harinya dia pergi keluar kota selama hampir sebulan - dalam bayanganku waktu itu pasti menyiksaku lebih jauh. Aku memutuskan mencoba nekat saja, jangan-jangan selama ini karena dia kurang berani berinisiatif - mungkin karena takut mendapatkan penolakan dariku. Padahal kan jelas-jelas aku sering memancingnya.

Saat itu sekitar pukul setengah empat pagi, aku barusan terbangun. Sementara itu dia sedang tidur nyenyak, terdengar dari nafasnya yang teratur. Posisinya terlentang, kedua kakinya rapat, sedang tangannya berada di atas kepalanya. Aku sendiri ketika terbangun, posisiku meringkuk, kedua kakiku tertekuk ke arahnya dan kedua tanganku menyelip di depan dadaku.
Selimut yang kami pakai berdua telah nggak karuan posisinya (mungkin karena kalau tidur aku benar-benar bertingkah, tidak bisa tenang dalam satu posisi). Aku menyadarkan diri dari tidurku. Kemudian aku meletakkan tanganku di dadanya, demikian pula paha kananku aku tumpangkan di area selangkangannya. Aku merasakan batangnya tegang (morning erection - kata Cat Stevens) dalam posisi mendongak (teman-teman cowok kalo pake celana dalam 'itunya' mesti diangkat keatas ya? Hayo ngaku!).
Aku meresapi hangatnya aliran darah di batangnya itu meskipun terhalang oleh celana trainingnya. Terasa lamat-lamat dan berirama, denyutan pompaan darah dari jantungnya melalui urat utamanya. Buah pelirnya terasa hangat pula, tidak besar. Beberapa lama aku merasakan kehangatannya mengalir dari pahaku, menggelitik selangkangan, dan menghangatkan tubuhku pula. Dengan nakal, aku menggerakkan tanganku dan mencari-cari kepala batangnya di ujung celana trainingnya. Aku gerakkan sekilas saja, dan, eh, menyentuh daging hangat ujung kepala penisnya. Usut-punya usut, ternyata celana trainingnya agak melorot sehingga ketika penisnya tegang, panjangnya melampau lebar celana dalamnya dan ujungnya separuh menyembul keluar dan otomatis melewati pula celana trainingnya.
Aku mencoba mencari dan menemukan bentuk seperti helmnya Darth Vader (itu lho, yang di Starwars, tahu khan?). Dengan jemari tangan kananku (aku disebelah kanannya), aku memegangnya perlahan dengan posisi seperti kalau kita memutar tombol volume tape. Secara perlahan-lahan dan nakal pula aku memutar-mutarnya seperti kalau kita mencari gelombang radio. Dan tiba-tiba saja, terasa gerakan membesar dan memanjang dari batangnya itu. Lho bukankah, tadi udah ereksi? Dan bukankah pula dia sedang tidur.
Di pahaku terasa gerakan menggeser yang kuat dari membesarnya batang penis pacarku itu. Aku jadi panik sekaligus merasakan sensasi yang aneh, gabungan antara cintaku padanya dan akumulasi nafsuku yang telah memuncak. Ini cukup menggelitik selangkanganku, untuk menimbulkan rasa terangsang secara fisik.
Sementara itu aku masih memegang kepala penisnya dengan cara seperti tadi itu. Tapi kali ini aku merasakan jemariku lebih penuh, alias benda yang kupegang ternyata lebih besar dari bayanganku. Ujung jemariku bahkan mulai merasakan batang penisnya. Kesan pertama batangnya itu adalah permukaannya halus tanpa urat-urat besar. Beda dengan milik Pak Hermawan yang urat-uratnya besar dan panjang serta permukaan kulitnya seperti bersisik (eh, iya, teman-teman cewek kalo milih cowok, pilih yang 'itunya' berkulit kasar dan berurat, pasti deh lebih greng! He.he.he).

Aku masih seperti berpura-pura tidur, padahal jelas kalau misalnya dia sudah bangun, pastilah yang terasa di penisnya itu bukan pekerjaan orang sedang menggeliat. Tiba-tiba aku merasakan tangannya memegang tanganku yang memegang penisnya itu. dan tangan satunya menyingkirkan pahaku dari area itu. Aku jadi malu sekali saat itu. Dia memegang tanganku yang memegang penisnya itu terus menariknya ke dadanya sehingga otomatis aku jadi memeluknya. Terus dia berbisik,
"Rat,.... kamu ini apa-apaan, sayang?" nafasnya menyirami wajahku dengan hangat.
"Engg. anu mas! Nggak ngapa-ngapain kok!"
"Yang tadi itu apa?"
"Yang mana?"
"Ayo deh, kamu udah nggak sabar nunggu sampai kita nikah ya?"
"Sabar kok! Mas ini ngomong apa sih?"
"Mas terus terang aja ya! Kalau kamu udah nggak kuat, mas bisa bikin kamu puas tanpa harus begituan, OK, kita sisakan yang itu untuk nanti!"
"Mas ngomong apa sih?" Dalam bayanganku jika dia melakukan petting saja, pasti rasanya sama saja dengan masturbasi. Bagiku itu tidak cukup. Keinginanku sudah berwujud emosional sehingga hanya senggama - penisnya masuk ke vaginaku - saja yang kuinginkan. Apalagi baru saja kusadari bahwa miliknya ternyata nyaris sebesar milik Pak Hermawan ditambah rasa sayangku padanya, pastilah aku akan merasakan ekstase, bukan lagi sekedar orgasme saja.
"OK, deh, kamu tidur lagi gih, ini khan masih jam 4.30".

Aku segera meraih selimut dan memakainya menutupi seluruh tubuhku. Dalam tubuhku bergolak arus rasa yang semakin mendesak-desak seperti roh jin dalam botol kecil. Sehingga aku nyaris hanya memejamkan mata tanpa bisa tidur. Beberapa lama kemudian aku mendengar suaranya bangkit dari ranjang. Dia bangkit dan ke kamar mandi, pintunya tidak dikunci, aku mendengarnya dengan pasti. Aku mendengar suara jatuhnya air kencing di toilet, agak lama terdengar. Habis itu, beberapa lama dia tidak muncul-muncul. Tanpa ada yang memerintah, aku bangkit begitu saja dan perlahan-lahan sekali mendatangi kamar mandi itu dan mendorong pintunya perlahan-lahan sekali.. nah khan! Aku melihat tubuhnya dari belakang, celananya melorot sampai siku, sehingga pantatnya terlihat. Bagus juga bentuknya, bundar dan terlihat kencang. Tapi tangan kanannya sedang bergerak-gerak secara teratur dan tangan kirinya memegangi pinggangnya. Wah .. cowok munafik, teman-teman dia lagi onani, tuh!!. Agak lama aku mengamatinya dari belakang, terlihat semakin lama gerakan tangannya semakin cepat, diselingi beberapa kali suara nafasnya tertahan-tahan tanpa bisa ditutupi. Aku membuka pintunya perlahan-lahhan sekali dan mengendap-endap mendekatinya dari belakang nyaris tanpa suara sama sekali. Aku bersiap mengagetkannya, maksudku membalas kemunafikannya, sementara dia semakin cepat bergerak-gerak tubuhnya sampai menekuk-nekuk kebelakang, tangan kirinya meremas-remas pantatnya sendiri.
"HAYO! MAS ARI LAGI NGAPAIN?!!" Sambil memegang tangan kirinya aku berteriak mengagetkkannya.
"Ahhh ... kamu .. !! ... ooohhh..!!!!!" Perbuatan yang tidak kuperhitungkan akibatnya. Aku tak tahu kalau pas aku mengagetkannya itu pas orgasme dan ejakulasinya tercapai, sehingga pas dia menoleh, pas sperma pertamanya menyemprot tepat dikaosku. Karena posisi memegang penisnya yang mengarah ke atas, semprotan pertamanya itu pas mengenai area payudara kiriku. Hangat cairannya tiba-tiba terasa menyentak tubuhku melalui sentuhannya diputing susuku (aku tidak memakai Bra karena niatku malam ini memang akan nekat mengajaknya senggama!). Di sisi lain, dalam kondisinya, dia bukannya berhenti ketika ketahuan olehku, tapi terus mengocok sampai dorongan kuat orgasmenya itu bisa dikendalikannya. Yang justru tak tahu harus bagaimana adalah aku sendiri.
Aku masih memegangi tangan kirinya dengan tangan kiriku, yang oleh karena gerakan membalik badannya itu, membuatku dalam posisi tidak seimbang sehingga terpeleset dan jatuh berlutut pas di hadapan penisnya yang tampak memerah dikocok oleh tangan kanannya itu. Spermanya banyak sekali, tapi terlihat tidak putih seperti milik Pak Hermawan. Miliknya agak cair kebening-beningan, tapi yang pasti hangat sekali terasa dikulit tubuhku. Agak lama dia bisa mengendalikannya rasa orgasme sehingga berakibat lama pula gerakannya mengocok berhenti. Aku sendiri menyaksikan ejakulasi sebuah penis dari jarak kurang dari 20 cm, terasa seperti sensasi yang luar biasa sekali. Terlihat jelas sekali, urat-urat penisnya yang sebetulnya halus, menyembul-nyembul mengalirkan rasa nikmat baginya.
Aku tak memperdulikan beberapa semprotan spermanya menjatuhi rambut dan mukaku - aku toh pernah mengalaminya, jadi tidak shock lagi. Yang kurasakan adalah betapa cowokku ini juga luar biasa sebenarnya. Aku masih berlutut dan menengadah, melihatnya berdiri terpaku melihat wajahku yang dipipi dan dahi sebelah kirinya bernoktah bening oleh spermanya. Tangan kanannya masih memegangi kepala batang penisnya seakan ingin menutupinya agar tidak lagi menyemprotkan cairan kenikmatan itu ke wajahku.
Perlahan sekali aku memegangi batang penisnya dekat buah pelir di sisa panjangnya. Aku merasakan denyutan-denyutan keras dan hangat di telapak tanganku, dan menggerakkannya perlahan. Dia melepas pegangannya di kepala penisnya dan menarik tanganku yang memegang batangnya itu, kemudian dia ikut berlutut didepanku. Dia memegangi bahuku, dan memandangiku dekat sekali.
Di wajahnya masih terlihat sisa-sisa ekspresi orgasme, memerah di beberapa tempat.
"Maafkan aku Rat, tapi aku harus melakukannya karena aku nggak ingin merusakmu sebelum waktunya!" Dia menarik tanganku kedadanya, sehingga aku bisa merasakan detak jantungnya yang masih berdetak cepat. Dia terus menarikku sehingga aku dipeluknya, tak perduli bahwa di kaosku masih terlihat tetesan noktah cairan spermanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya secara lebih dekat, pas di payudaraku. Penisnya yang mulai melemas terasa mengganjal pas di perutku dibawah pusar.
"Kamu terlalu seksi bagiku, apa yang kamu lakukan setiap kali kita tidur bersama disini, juga hal-hal yang lainnya, sebetulnya begitu membuatku segera ingin melakukannya. Tapi kamu tahu, aku punya prinsip itu!" Dia memelukku hangat sekali, kedua tangannya merengkuh punggungku, sehingga menggencet payudaraku di dadanya.
"Aku nggak ingin mengambil keperawananmu sebelum waktunya!" Aduh, di sisi lain cowokku ini begitu sempurna. Tapi di sisi lain lagi, dia kurang tanggap terhadap lingkungan, dan tentu saja dia ternyata belum begitu mengenalku seperti sangkaanku semula. Aku ingin mengatakan yang sejujurnya tentang apa yang terjadi, tapi saat itu, aku benar-benar tidak ingin merusak suasananya. Dalam bayanganku ternyata seksi juga, cowok pas onani terus ketahuan, dan ketahuannya pas ejakulasi, oleh ceweknya sendiri lagi, ceweknya kayak aku lagi!!. Maksudku seksi bagiku!
"Kamu mandi deh mas, tuh belepotan. Khan berangkatnya pagi toh!. Mau tak mandiin apa?" Aku agak bercanda, padahal seluruh tubuhku benar-benar mendidih menahan gejolak nafsuku yang semakin tinggi karena apa yang baru saja aku alami.
"Maafkan aku ya!" sambil berkata begitu dia menciumku. Kali ini di bibir. Agak lama dia melakukan itu. Aku menyambutnya dengan antusias. Secara samar aku merasakan sedikit gerakan di penisnya yang tergencet pinggulku itu.
Kemudian dia terus mandi. Aku sendiri berbaring-baring di ranjangnya, tentu saja dengan persoalan baru. Di sisi lain, dia masih belum tahu kalau aku sudah tidak perawan lagi, sementara di sisi lain aku sudah dalam tahap yang sudah tidak tertahankan lagi untuk meledakkan apa yang tersimpan di tubuhku.
Akhir kata, pagi dia berangkat keluar kota, meninggalkan aku sendiri dalam rasa 'nggantung' secara emosional. Sebulan lagi dia balik, dan aku harus menghadapi persoalanku lagi.

T A M A T
 
Ratih si binal dari Jogja.... monggo dilanjutaken.
 
Ratih si binal dari Jogja.... monggo dilanjutaken.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd