Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT AMNESIA

Bimabet
Om Dono memang selau bisa menghadirkan cerita yang luar biasa ciamik.

Alur bagus, pembangunan tokoh kuat, riil seolah nyata banget bener2 mungkin kejadian, plot hole nya hampir ga ada. Dan yg pasti sex scene nya ngangenin. Ga asal coblos.

Makasih suhu :ampun: :ampun: :ampun:
 
haduh meni sae kieu caritana...teraskeun mang lamsijan......wa kepoh nuju dimana ayeuna ?
 
Sudah sehatkah suhu Sumandono? Syukurlah kalau sudah sehat. Kumaha caritana si ,Arman Dibeli, Bade dilajeng moal wa?
 
Sambungan PUTRI DIAH PITALOKA2

Memey bertahan dengan posisinya. Kedua tangannya masih menahan pantat Lamsijan dan tak membiarkannya lepas. Sementara kedua tangan Lamsijan sendiri tergolek lemah ke permukaan dipan.

Memey hanya mengocoknya beberapa menit dengan genjotan berkecepatan sedang, namun dampak yang ditimbulkannya sungguh luar biasa. Dia merasa sangat penuh dan pengap. Dia merasakan ujung glandula itu menyentuh-nyentuh dinding rahimnya. Benda yang dimiliki Lamsijan sungguh langka, selubung bagian dalam vulvanya berdenyar kesemutan nikmat. Dan ketika Kang Ijan menyembur muntah di dalam dirinya, semburan yang hangat dan lama itu justru membuatnya merasa bahagia.

Sangat bahagia. Dia seperti merasa disiram oleh air hangat ke sekujur tubuhnya, yang membuat dirinya merasa nyaman dan segar. Nikmat.

Memey terdiam, menatap wajah ganteng itu tanpa kesip. Nafas Kang Ijan teratur, dadanya naik turun dengan tenang. Si ganteng itu tengah terlelap dalam nyenyak tidur yang melenakan. Pelahan namun pasti akhirnya denyaran nikmat itu pun menghilang. Memey meraih batang sosis yang lembut itu dengan tangannya, menariknya pelahan-lahan agar ke luar dari dalam kuburan vulvanya yang kini terpuaskan. Dia kemudian mengenakan celananya dan membenahi celana Kang Ijan, lalu mengendap-endap ke luar melalui pintu belakang. Suasana pesta dadakan itu ternyata sedikit mereda. Memey sekilas melihat Ceu Kades Uti sedang menasehati Nyi Iin dan Nyi Aan serta Ceu Popon yang terlibat perkelahian; sementara Bah Dadeng duduk bersila di tanah sambil mengisap rokok. Wajah Bah Dadeng tampak beriak.

Memey tidak tertarik untuk mengikuti bagaimana kasus itu diselesaikan oleh Ceu Kades Uti, dia hanya ingin secepatnya pulang dan tidur. Sambil tersenyum-senyum sendirian Memey melangkah pulang. Dia tak mungkin melupakan pengalaman malam ini dengan Kang Ijan demikian juga dia merasa yakin Kang Ijan tak mungkin melupakannya.
"Mustahil dia melupakan aku." Bisik Memey dalam hatinya sambil berbaring di ranjangnya yang sunyi. Dia memejamkan mata dengan senyum terus saja menghiasi ujung bibirnya, "aku yakin dia masih perjaka tulen dan aku orang yang beruntung bisa menampung spermanya di dalam rahimku. Akh... seandainya aku tidak mandul, aku pasti punya anak dari Kang Ijan." Katanya dalam hati sambil menarik selimut. "Tapi setidak-tidaknya akulah yang memperjakainya. Bukan Ceu Kades Uti... he he he...."

Beberapa menit kemudian Meymey pun terlelap.
Zzzzzzz.... zzzzzz....

***​

Suara ngorok yang berasal dari kerongkongan Bah Dadeng membangunkan pemuda itu.
"Aku bukan Lamsijan." Katanya pada tembok batako lembab yang sudah sangat kusam, "tapi aku bisa menjadi dia... he he he... ya aku bisa menjadi orang baru bernama Lamsijan." Katanya lagi dengan wajah cerah.

Dia bangkit dari dipan dan meraih handuk yang digantung di kamar tengah, lalu mengambil sabun, odol dan shampo yang disimpan di dalam gayung.
"Aku berhutang budi sama Memey dan Teh Uti." Katanya sambil melangkah melewati dapur dan menuju halaman belakang. Sebuah bak penampungan air berukuran 1 X 1 meter yang dibedeng dengan anyaman bambu setinggi 1 meter itu membuatnya nyengir. Ditambah dengan kloset jongkok yang warnanya mengingatkan siapa pun pada apa yang ditampungnya, membuat pemuda itu benar-benar tak sanggup menahan rasa geli. Tapi seburuk dan sejelek apa pun tempat ini; sejorok dan sebau apa pun; jauh lebih baik daripada kamar dingin yang gelap tempat di mana dia disiksa secara fisik dan mental.
"Aku akan ingat orang-orang itu." Katanya sambil memijit tube alumunium itu dan membiarkan permukaan sikat giginya dipenuhi odol. "Aku akan memberi pelajaran."

Matahari bersinar terang ketika pemuda itu menelanjangi dirinya sendiri. Rambut ikalnya yang panjang tampak menggembung oleh busa shampo. Bagian-bagian tubuhnya dari pundak, sebagian pangkal lengan, dada, perut, selangkangan dan paha, berwarna putih; sisanya berwarna kuning kecoklatan.

Dia mandi dengan santai dan memahami betul bahwa tubuhnya kini telah berubah. Sisa-sisa perut buncitnya masih terlihat agak menyendul dan pinggangnya masih memiliki gelambir. Tapi itu tidak masalah, dia bisa melakukan sedot lemak atau ke gym.
"Langkah pertama yang harus aku lakukan adalah memiliki KTP. Ini adalah awal dari segalanya." Dia berkata sambil tersenyum kepada matahari yang bersinar terang dan langit pagi yang biru jernih.

***​

Kades Putri Diah Pitaloka masih terbuat oleh mimpi ketika pintu kamarnya diketuk Dian, putrinya.
"Mamah bangun! Sudah siang!"
"Iya iya." Jawabnya sambil menggeliat.
"Dian udah bikin sarapan nasi goreng, mau enggak?"
"Mau." Katanya lalu menebah selimut. Dia duduk di bibir ranjang, merentangkan ke dua tangan dan menghabiskan sisa-sisa kuap di ujung kantuknya. Sepasang bukit kembarnya yang membusung nampak menegang. Daster tipis yang dikenakannya sia-sia saja menutupi sepasang puting yang mengeras karena kain katun itu mencetaknya dengan jelas. Setiap bangun pagi, selalu saja mengeras seperti mendambakan remasan.

Dia berdiri.

Sepasang betis mulus dan setengah pahanya yang putih kekuningan cemerlang oleh cahaya matahari yang menyemprot dari jendela kaca tanpa tirai. Dia memakai daster gaun pendek saat ke luar kamar dan terhuyung-huyung ke kamar mandi. Langsung melakukan upacara jongkok di kloset: menyemburkan urine dan tinja. Cebok. Gosok gigi dan cuci muka.

Ke luar dari kamar mandi, menuju ruang makan untuk menemukan Dian yang sudah menyelesaikan sarapannya dan sudah rapi.
"Wah, anak mamah pagi-pagi begini udah rapi dan cantik. Mau ke mana neng?" Tanyanya sambil duduk menghadapi nasi goreng yang masih hangat.
"Mah, Dian pinjem motor ya. Mau ke rumah temen, sekalian lihat-lihat hasil UMPTN."
"Kan bisa lihat online di internet, neng."
"I ya, Mah. Tapi di sini mana ada sinyal. Sebentar ya, Mah."
"Ya, udah. Pulangnya jam berapa?"
"Sebentar, siang juga pulang." Berkata begitu Dian setengah berlari ke teras dan langsung menyalakan motor. Dan pergi.

Kades Putri menarik nafas. Dia menyuap nasi gorengnya sambil memeriksa pesan WA. Baru satu suap, ada pembeli di luar yang datang padahal warung belum buka.
"Punten... permisi... sampurasun." Terdengar suara ngebass di luar. Kades Putri segera bangkit dari duduknya dan membuka pintu.
"Warung belum bu..."

Pemuda itu menoleh, tersenyum hangat seperti cahaya matahari.
"Teh, maaf mengganggu. Lagi sarapan ya?"
"Kang Ijan, sini masuk." Kata Kades Putri dengan nada melonjak gembira.
"Uti! Di luar ada yang bilang punten." Terdengar suara ibunya dari halaman belakang.
"Udah, Mak." Kata Kades Putri, "mau ikut sarapan, kang?" katanya sambil menarik tangan pemuda itu masuk ke dalam rumah. "Tapi cuma nasi goreng, enggak apa-apa, kan? Teteh belum masak."

Pemuda yang disebut Lamsijan itu tersenyum. Dia menatap Kades Putri dengan sepasang matanya yang dalam dan alisnya yang tebal.
"Ya, sarapan pagi tentu saja." Kata Lamsijan. "Tapi bukan nasi goreng." Berkata begitu, kedua tangan Lamsijan melingkar ke pinggang Kades Putri, menariknya dengan kekuatan seorang lelaki yang tahu persis apa yang diinginkannya hingga tubuh mereka menjadi rapat. Kades Putri yang masih belum terbebas dari kerasnya puting ketika bangun, langsung meleleh saat pemuda itu memagut bibirnya.
"Ini sarapan aku." Kata Lamsijan.

Kades Putri tidak menjawab, dia hanya tersenyum senang dan mengalungkan kedua tangannya pada leher Lamsijan, membalas pagutan singkat yang dilakukan oleh pemuda itu. Buah dadanya yang mengacung dengan pentil mengeras, menusuk dada pemuda itu yang dibalut kaos tipis sedangkan selangkangannya menekan selangkangan pemuda itu.

Kades Uti tahu, dia tak memakai apa-apa lagi di balik daster tipisnya.

Dia mengerang ketika sepasang jari jemari Lamsijan meremas buah pantatnya, meminta dan menginginkan lebih. Tangan Kades Uti yang mungil secara nakal turun dan masuk ke dalam celana pendek Lamsijan dan menemukan batang penis itu sudah mengeras.
"Kang, di kamar yuk."
"Teteh serius?"
"Mau enggak?"
"Ya, mau. Kan semalem Teteh juga..." Kalimat Lamsijan dipotong dengan telunjuk yang ditempelkan ke bibir pemuda itu.
"Sssttt! Teteh masih pengen." Katanya.

Kades Putri menarik tangan Lamsijan dan membawa pemuda itu masuk ke dalam kamarnya. Setelah mengunci pintu dan menutup tirai jendela, Kades Putri langsung memeluk pemuda itu dan memberondongnya dengan ciuman. Mereka terguling di ranjang dengan kasur busa yang tebal dan empuk, saling menelanjangi tanpa permisi dan saling menggesek kulit tubuh tanpa basa-basi.

Seperti tak puas, Kades Putri terus saja memamah pipi dan leher pemuda itu. Lalu mengemut kuping dan kembali ke bibir pemuda itu. Posisi Kades Putri berada di atas dan menikmati sepasang payudaranya menggencet dada pemuda itu yang berbulu halus. Pinggulnya bergerak naik turun dan menjadikan batang penis pemuda itu sebagai kereta sedang belahan bibir labia mayoranya sebagai monorel yang bersimbah oli pelumas berwarna bening.

Sebagai seorang wanita, Kades Putri menyadari kalau tindakannya ini terlalu berlebihan. Bahkan terlalu agresif. Tapi tubuhnya sudah tak tahan menginginkan pemuda itu walau pun dia juga tahu, pemuda itu adalah burung yang tersesat yang sewaktu-waktu akan terbang dan tak mungkin dikejar lagi. Tak mungkin kembali lagi.

Tapi hari ini, saat ini, pemuda ini adalah miliknya sepenuhnya.

"Kang, pengen dimasukkan sekarang." Bisik Kades Putri, wajahnya tampak kemerahan karena syahwat yang sudah tiba di ubun-ubun.
"Mau di atas mau di bawah?" Bisik Pemuda itu.

Kades Putri tidak menjawab, dia hanya tersenyum dan menggulingkan dirinya dari atas tubuh pemuda itu. Berbaring telentang dengan kedua paha direntang lebar. Matanya menatap mata pemuda itu ketika Lamsijan menempelkan glandulanya di mulut vulvanya.

Kades Putri nyengir ketika Lamsijan menekan glandula berbentuk helm jerman itu masuk dan menyelam ke dalam tabung vulva elastis yang mengucurkan suatu cairan lendir bening. Bahkan Kades Putri sempat memonyongkan mulutnya dan berbisik, "kurang dalem."

Lamsijan sepertinya ragu menekan batang penisnya untuk jauh menyelam lebih dalam. Dia merasa tidak berpengalaman, tetapi entah naluri apa yang membuatnya terus menyelam jauh dan menggowes batangnya hingga naik turun. Memuncratkan cairan berwarna putih di sekitar mulut vulva itu.

Ketika rasa sakit kepala itu tiba-tiba muncul, Lamsijan mempercepat genjotannya tanpa mempedulikan Teh Uti yang mengerang-erang. Suara erangannya terdengar oleh ibunya di halaman belakang.
"Uti!!! Kamu kenapa?"

Kades Putri tidak menjawab pertanyaan emaknya, dia mendadak menahan pantat Lamsijan dengan kedua tangannya sehingga pemuda itu menghentikan genjotannya.
"Teteh ke luar, Kang." Bisik Kades Putri. "Sebaiknya akang juga cepat ke luarin."

Sebetulnya, Lamsijan masih betah menggenjot liang vulva itu; tapi apa daya, Teh Uti memintanya cepat ke luar. Akhirnya, Lamsijan berkonsentrasi pada sakit kepalanya yang menusuk-nusuk, lalu ketika dia menyemburkan lahar itu, rasa sakit kepala itu seperti mengikuti aliran lahar panas dari saluran spermanya.

Lamsijan merasakan rasa panas pada ujung mulut glandulanya ketika lahar itu mengalir, namun pelahan rasa sakit di kepalanya berngasungr-angsur hilang.

***​
(Bersambung)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd