Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

JUARA LOMBA AMPIBI [LKTCP 2020]

killertomato

Guru Semprot
Daftar
5 Dec 2017
Post
637
Like diterima
39.987
Bimabet
AMPIBI
DARI @killertomato UNTUK LKTCP 2020


Salam sejahtera dan sehat selalu! Saya bukan Cak Lontong, salam lemper.

Akhirnya selesai juga kreasi sederhana saya, yang secara eksklusif disusun untuk menyemarakkan ajang fenomenal LKTCP 2020 di forum kita tercinta ini. Sebelumnya terima kasih atas kesempatan yang diberikan oleh mimin, momod, staf, segenap pejabat, penikmat, kerabat, semua sobat, dan teman-teman sejawat penulis cerita panas yang lezat – yang telah ikut berpartisipasi, ikut membaca, dan tentunya ikut menyediakan ajang pesta.

Ini adalah kali pertama saya ikut serta dan karena cerita ini adalah cerita sederhana maka tentunya akan banyak sekali kekurangan di sana sini, masih banyak pula yang harus diperbaiki. Tapi mudah-mudahan bisa diterima sebagai materi untuk menyemarakkan festival ini dan menjadi wujud partisipasi.

Cerita ini karya fiktif, kesamaan nama, tempat, dan kejadian adalah kebetulan belaka.

Semoga berkenan,
Selamat menikmati.





You are free to choose.
but you are not free from the consequences of your choice.”







BAGIAN 1
PENDAHULUAN




Nayla Wulandari mengikat tali sepatunya yang terurai. Wajah jelitanya yang hanya mengenakan make-up tipis dibanjiri oleh peluh yang turun tak kenal ampun. Sorot matahari pagi makin lama makin menyengat ibarat pijatan kesegaran yang mengingatkan bahwa pagi mulai beralih menjadi siang. Meski derai panas menerpa, untungnya alam juga berbaik hati menghadirkan hamparan pepohonan menghijau yang menjadi pelindung senyap dengan payung teduh yang rindang dan tenang, bahkan memberikan semilir angin tambahan dengan kibasan dedaunan yang menyejukkan.

Huff.

Nayla menarik napas panjang, lalu menghelanya melalui mulut. Ia menyeka peluh dengan punggung tangan. Hari ini rasanya dia lebih lelah dari biasanya, padahal Nay dan suaminya sudah sangat terbiasa berolahraga setiap minggu pagi.

Tempat mereka berdua berolahraga pagi adalah sebuah jalan raya yang menghubungkan dua komplek perumahan elit. Lokasinya yang adem dengan banyaknya pepohonan rimbun di kanan kiri jalan, jalurnya yang panjang, dan luasnya area membuat tempat yang pada hari minggu pagi menerapkan aturan car free day ini ramai dikunjungi oleh para penggemar olahraga. Ada yang berlari, ada yang jalan santai, ada yang bersepeda, ada juga yang bermain skateboard – lengkap dengan penjaja makanan, minuman, bahkan sekarang ada pula mobil yang secara khusus datang sebagai bengkel sepeda dadakan.

Napas Nay terasa sangat berat hari ini, mungkin karena dia kurang fit, mungkin karena semalam Adek rewel dan minta susu terus jadi dia beberapa kali terbangun. Nay mencoba membenahi kuncir kuda rambutnya dan melongok jauh ke depan meski poni rambutnya beberapa kali jatuh menghalangi pandangan. Ia mencari sosok suaminya yang sudah jalan terlebih dahulu. Tapi Mas Arul sama sekali tak terlihat. Suaminya sudah terlalu jauh di depan bersama dengan keponakan mereka – berlarian di tepian trotoar kompleks pertokoan.

Wanita berusia pertengahan dua puluhan itu berpikir mungkin sebaiknya ia kembali saja ke tempat mobil mereka diparkir. Daripada pingsan di tengah jalan, kan? Nay pun mengambil ponsel yang ia simpan di slingbag-nya. Si cantik itu menekan tombol demi tombol untuk mengirimkan pesan melalui WhatsApp kepada sang suami.

Hanya centang satu. Pasti Mas Arul – panggilan dari Syahrul – masih berlari mengitari kompleks. Dia tidak akan sempat mengangkat ponselnya. Nayla pun berbalik menuju lokasi mobil mereka diparkir.

Saat hendak memasukkan ponsel kembali ke dalam tas, Nay meleset.

Klotak.

Ponsel baru berharga jutaan itu berkenalan dengan sisi tepi paving block trotoar, sebelum akhirnya jatuh ke parit kering di sampingnya. Ponsel dan paving block jelas bukan kawan akrab, ibarat orang jatuh cinta – ketika bertemu pasti ada luka.

“Mati aku.” Desis Nayla sambil buru-buru hendak mengambil ponselnya.

Stupid, Nay! Gimana sih kamu bisa ceroboh banget?! Kalau sampai layarnya retak lagi kayak ponsel kemarin gimana? Mas Arul sih tidak pernah marah, tapi apa kamu tega membuatnya merogoh kocek untuk membeli ponsel baru lagi meski belum ada sebulan?! Duuuh, mudah-mudahan tidak apa-apa. Gimana sih caranya buang sial dan ceroboh?

Saat Nayla hendak menunduk, ia sudah didahului oleh orang lain.

Seseorang dengan tangan kencang dan berisi. Tangan seorang pria. Pria bertangan kekar itu mengambil ponsel, menepuk debu yang menempel dengan lembut, lalu menyerahkannya pada Nay sembari bertongkat lutut. Ia sempat melirak-lirik kondisi ponsel itu.

Hape-mu jatuh tapi dari luar sepertinya tidak ada yang rusak, masih seratus persen.”

Nay mengulurkan tangan untuk menerima ponsel itu dan memeriksanya sekilas sembari menarik napas lega. Duh, ada-ada saja. Pakai drama jatuh ponsel segala. Untung tidak rusak, bisa copot jantungnya.

“Te-Terima kasih. Saya...”

Mata Nay hampir meloncat saat ia melihat siapa yang sudah menolongnya.

Hah!? Kok dia?

Pria itu memberikan ponsel pada Nayla yang bengong ratusan jurus. Semenit berasa setahun rasanya saat mulut Nay menganga lebar ketika ia mengenali orang yang baru saja mengambilkan ponselnya yang jatuh. Ini ga mungkin ah! Kenapa bisa dia yang mengambilkan ponselnya? Kok bisa-bisanya dia ada di sini?

Ajaib! Amazing! Ga bakal ada yang percaya!

Si cantik bertubuh semampai itu memang sungguh tidak habis pikir, bagaimana mungkin? Di antara ratusan juta jiwa manusia yang ada di Indonesia, bagaimana bisa ia kembali bertemu dengannya?

“Te-terima kasih, Pak.”

Ya. Nayla memanggilnya Pak.

Tidak salah lagi, Nay kenal sekali dengan pria ini. Orang yang dulu pernah hadir dalam hidupnya dan tak akan pernah ia lupakan karena orang dia hampir saja membuatnya dropout dari kampus.

Bram Kusmara. Pak Bram Kusmara. Pak Bram.

Bertahun-tahun yang lalu Pak Bram adalah dosen Nayla di salah satu kampus swasta, Pak Bram pula yang menjadi dosen pembimbing tugas akhirnya. Orang yang berulang kali memaki-makinya saat Nay belum juga membereskan paper-nya yang berantakan padahal waktu penyerahan tugas akhir sudah sangat mepet. Dulu Nay bahkan terancam gagal mengikuti sidang pendadaran gara-gara Pak Bram beranggapan kalau bahasan masalah yang dibeberkan Nay masih belum sempurna tanpa disertai referensi pendahulu yang sesuai.

Ya kali orang macam Nay bisa bikin skripsi sempurna. Mau bikin landasan teori aja mesti konsultasi ke dukun.

“Sehat, Nay?”

Mata Nay yang indah makin bulat membulat seperti rembulan purnama sempurna. Tuh kan! Hal-hal ganjil satu persatu bermunculan. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin Pak Bram yang punya puluhan mahasiswa bimbingan tiap semester ternyata masih hapal namanya?

Di-dia masih ingat namaku?

Pak Bram masih berdada bidang, dengan wajah dingin dan tatapan mata tajam yang tak pernah berubah sejak dari zaman Nay kuliah. Saat ini ia mengenakan baju olahraga khas biker dengan celana pendek ketat yang memamerkan badannya yang kekar.

Pak Bram masih terlihat sama seperti saat mereka terakhir bertemu – saat bimbingan skripsi. Tak ada yang berubah dari wajahnya. Bagaimana bisa? Apa orang ini minum air dari pancuran awet muda? Untuk pria yang usianya mungkin dua kali lipat dari Nay, dia terlihat sangat segar dan sehat - kelihatan juga kalau Pak Bram sering keluar masuk gym. Badannya yang tinggi besar mengintimidasi Nayla yang mungil seperti anak ayam ketemu musang.

“Sa-saya sehat, Pak.” Nay memaksakan senyum sungkan.

“Syukurlah.”

“Ba-bapak sehat?”

“Iya. Lumayan sehat, masih agak mampet hidungnya karena seminggu kemarin pilek. Tapi sekarang sudah bisa olahraga.” Pak Bram tersenyum. “Asyik ya di sini, kalau pagi banyak yang berolahraga pagi.”

Demi apa dia bisa tersenyum!

“Iya, Pak. Banyak.”

Geli Nay melihat Pak Bram dalam kesehariannya begini, hilang sudah semua image seramnya. Dulu Pak Bram dikenal sebagai dosen yang killer. Tidak ada mahasiswa yang mau bimbingan TA sama dia kecuali yang daftar bimbingannya telat jadi mau tidak mau dapet dospem Pak Bram – tentunya salah satu yang telat mendaftar adalah Nayla.

Pak Bram tiba-tiba mengerutkan kening dan menyatukan alis saat menatap wajah jelita Nayla, ada kekhawatiran di matanya. Nayla pun jadi kikuk, karena Pak Bram tiba-tiba saja menatap sangat tajam dan mendekat padanya. Nay tersipu.

“Eh? Kenapa, Pak?”

“Kamu mimisan, Nay.”

“Hah!?” Nay menyentuh lubang hidungnya dengan siku jari telunjuk.

Saat ia memeriksa siku jari, benar ada darah segar di sana. Mimisannya cukup deras. Wajah Nay berubah, ia mulai panik.

Pak Bram bergerak cepat, dengan cekatan ia menggandeng Nayla ke pinggir untuk duduk di tepian pembatas antara trotoar dan dinding tempat pepohonan ditanam. Mantan dosen Nayla itu lantas mengeluarkan tissue demi tissue yang diambil entah darimana. Kalau saja tidak sedang mimisan, Nayla ingin bercanda kalau Pak Bram ini sebenarnya punya kantong ajaibnya Doraemon.

“Hal pertama yang harus dilakukan kalau kamu sedang mimisan, adalah menundukkan kepala.” kata Pak Bram dengan lembut. “Tujuannya supaya darah itu tidak mengalir ke saluran pernapasan.”

Nay mengikuti petunjuknya.

“Sekarang bungkukkan badan ke depan, supaya darah itu juga tidak mengalir ke tenggorokan. Jangan lupa cubit cuping hidung kamu dan bernafas menggunakan mulut dulu. Tidak perlu khawatir, kayaknya kamu mimisan ini cuma gara-gara kecapekan aja, wajah kamu juga pucat.”

Nayla kembali mengikuti petunjuk Pak Bram.

Si cantik itu masih bingung harus bersikap bagaimana sementara mantan dosennya membersihkan hidungnya dari darah dengan telaten. Tissue digunakan untuk membersihkan bagian antara hidung dan bibir. Dengan lembut Pak Bram membersihkan tanpa sekalipun Nay protes. Entah kenapa dia hanya terdiam pasrah.

Saat itulah pikiran Nayla mengambang, menjelajah ke suatu masa yang telah lalu, ke dalam batin yang dalam pada sebuah kenangan yang terlupa, pada dinding rak memori yang berdebu. Jauh ke dalam sebuah masa, pada suatu ketika.





.::..::..::..::.





.: PADA SUATU KETIKA :.



“Sudah selesai revisinya?”

“Su-sudah, Pak Bram.”

Laki-laki yang duduk di belakang meja sama sekali tak menatap Nayla. Pandangannya terpusat pada layar PC dan pada baris demi baris pesan singkat yang hilir mudik silih berganti di layar smartphone-nya. Nay sekilas melirik ke layar smartphone Pak Bram, sepertinya dari grup dosen – ia mengenali profile picture dari beberapa dosen di sana, nampaknya sedang ada pembicaraan serius di sana entah apa itu topiknya.

Nayla menarik map plastik bening berisikan lembaran kertas tebal yang dikunci dengan menggunakan binder clip di bagian samping. Dengan hati-hati agar tidak mengganggu keasrian suasana meja yang dari awal sudah berantakan, Nayla mengeluarkan paper-nya dari dalam map dan meletakkannya ke meja.

Air conditioner ruangan dosen sebenarnya menyala kencang, bahkan dua meja dari posisinya sekarang Nayla melihat Pak Restu mengenakan jaket bertumpuk ganda karena dingin. Entah kenapa Nay justru merasa panas, mungkin karena aura membunuh hebat keluar dari wajah sang dospem yang dingin dan tanpa ekspresi. Ngeri, menakutkan, horor, serem, thriller. Keringat dingin mengalir deras di tubuh sang jelita, menandakan hidupnya tengah berada di ujung batas kenyamanan.

Pak Bram mulai membolak-balik paper Nayla dengan wajah tidak tertarik sama sekali, berulangkali ia hanya mendengus sambil memeriksa paper sang mahasiswi – semua dilakukan tanpa sekalipun melirik ke arah Nay. Lincah tangan Pak Bram membuka lembaran draft skripsi – lincah pula saat ia membubuhkan notes dengan pena merah menyala.

Tegang.

Masih banyak yang salah kah?

Mudah-mudahan tidak.

Dag dig dug.

Ding dung des.

Dag dig dug.

Ding dung...

“Kamu yakin ini sudah direvisi?”

Copot eh copot copot!!!

Suara berat Pak Bram yang tiba-tiba saja menyampaikan pertanyaan membuat Nay yang sejak awal sudah gemetar ketakutan melonjak karena kaget. Wajah Nayla memerah.

“Su-sudah, Pak.” Jawab Nay patah-patah.

“Apanya yang direvisi? Masih banyak yang salah begini kok. Ini salah, ini salah, ini salah, ini apalagi. Kamu bikin urutan nomer aja salah. Hadeh... begini kok mau jadi sarjana.” Pak Bram geleng-geleng sembari memberi tanda bagian-bagian salah yang disebutkannya tadi dengan pena merah. “Referensi penelitian belum ada, posisi gambar dan tabel berantakan. Rumusan masalah kacau, payah banget.”

Nayla memperhatikan bagian-bagian yang ditandai oleh Pak Bram. Keningnya berkerut, lho – kenapa bisa salah? Bukankah beberapa bagian itu justru yang kemarin dibenahi? Masih salah juga? Astagaaa! Nay pun cemberut. Kalau begini terus kapan selesainya?! Capek banget! Pengen nangis rasanya.

Pak Bram tidak memperhatikan dan tidak mempedulikan perubahan di wajah Nay, ia tetap membubuhkan notes dengan pena warna merahnya. Tulisannya makin lama makin tebal, makin besar, bahkan makin banyak notes yang dipenuhi huruf kapital dan tanda seru. Makin hancurlah paper Nayla. Ibarat seekor kambing yang diumpankan di kandang singa. Bubrah. Nay geleng-geleng kepala, begadangnya beberapa hari ini ternyata sia-sia belaka.

Pak Bram menutup draft itu bahkan tanpa menyentuh bab-bab selanjutnya. “Baru masuk tiga bab, tapi kamu sudah bikin banyak sekali kesalahan. Saya malas cek bab empat, revisi dulu yang tadi saya beri tanda.”

“Iya, Pak.” Suara Nayla seperti salon kecemplung empang, mendem.

“Kamu serius tidak sih bikin skripsinya? Kalau memang belum siap – lebih baik kamu ajuin cuti dulu saja. Ini sama sekali tidak layak lho, padahal kita sama sekali belum masuk ke pembahasan.” Pak Bram geleng-geleng kepala dan melemparkan paper Nayla dengan kasar. “Kalau kamu memang mau cuti, bilang ke dosen pembimbing akademik, supaya bisa disusulkan cuti. Rugi bayar mahal-mahal semester ini kalau kamu tidak niat bikin skripsi!”

Dengan kikuk Nay pun memasukkan kembali paper-nya yang penuh coretan tinta merah ke dalam map plastik bening. Matanya berkaca-kaca. Malu banget dia diperlakukan seperti ini di hadapan para dosen lain.

“Akan saya perbaiki lagi, Pak.” Suara Nay lemah terucap, getir dengan lidah terkecap. Tak kuasa ia menanggapi pedasnya ucapan Pak Bram, ia hanya bisa menunduk teramat dalam. Dengan tangan bergetar gadis yang ketakutan itu mengeluarkan lembar Catatan Bimbingan dan Konsultasi Dosen Pembimbing TA-nya dan meletakkannya di depan Pak Bram. Dari sekitar minimal 10 tanda tangan yang harus dibubuhkan, Pak Bram baru menandatangani satu – itupun karena tempo hari beliau buru-buru mengikuti seminar dan tidak sempat memeriksa paper Nay.

“Apa ini?”

“Lembar konsultasi, Pak.”

“Iya saya tahu. Maksud saya kenapa kamu taruh di sini?”

“Untuk minta tanda tangan, Pak. Setiap konsultasi kan saya harus meminta tanda tangan...”

“Nggak, nggak.” Pak Bram menggelengkan kepala. “Besok saja sekalian. Saya keburu hilang mood lihat paper kamu tadi. Revisi ini paling lambat besok sudah selesai, saya tidak mau tahu alasan apapun! Itu kalau kamu serius mau lulus.”

Besok? Anjlok perasaan Nay. Kenapa begini amat sih?

“Baik, Pak. Akan saya perbaiki, Pak.” Nay melesakkan kembali Catatan Bimbingan ke dalam tas. Lalu ia pun pamit. “Saya permisi dulu.”

Pak Bram tidak menjawab, dia kembali sibuk tenggelam dalam chat di smartphone-nya, sementara bayangan Nayla mulai meninggalkan ruang dosen.

Tak berapa lama kemudian terdengar suara Pak Restu terkekeh.

“Oaaalaah, Bram... Bram.”

Kenopo, Pak? Kenapa?”

“Kamu ini lho. Cah ayune koyo ngono kok malah digetak-getak. Anak cantiknya seperti itu kok malah kamu bentak-bentak.”

Bram tersenyum, “dia itu sebenarnya potensial, Pak. Pinter dan cerdas kalau pas niat. Sayang dia suka teledor, tidak teliti, dan suka ambil jalan pintas. Mudah-mudahan bimbingan ini bisa menjadi pelajaran buat dia ke depan nanti. Supaya tidak menyepelekan sesuatu begitu saja.”

Pak Restu hanya manggut-manggut sembari meneruskan bermain solitaire di layar Windows. “Manut aja wes, Bram. Mudah-mudahan teknikmu berhasil, Nayla itu orangnya ulet sih kalau aku lihat. Dia selalu mau berusaha.”

“Bener, Pak.”

“Ditambah cakep juga.”

“Yaelah, Pak Restu. Kita di sini pengajar Pak, bukan biro jodoh.”

Kedua dosen itu tertawa.

Sementar itu Nayla keluar dari ruang dosen dengan mata berkaca-kaca. Tubuhnya bergetar karena saking kesalnya. Bibirnya cemberut, alisnya mengkerut, yang lihat pasti akan takut. Bukan rahasia tentunya kalau Nayla saat ini sedang kesal. Apa-apaan sih Pak Bram?! Kenapa perlakuannya sekejam ini? Kemarin disuruh perbaikin paper, begitu diperbaiki malah disalah-salahin, gimana lagi coba? Capek! Padahal udah begadang terus, masih juga ditolak.

“Nay?”

Nay menengok, lalu buru-buru mendatangi dan memeluk sosok yang baru saja memanggil namanya. Gadis itu tenggelam dalam pelukan sang sahabat yang baru saja keluar dari ruang sekretariat.

“Kak Nisaaaaaa.”

“Kenapa lagi, Nay?”

“Ancuuuuuuuuur, Kak.”

“Lho, kok bisa? Kamu habis bimbingan kan?”

“Iyaaaaaaaaa.”

“Terus gimana?”

“Tauuuuuuk!! Sebel banget sama Pak Bram! Sebel banget!”

Khairunnisa Nayla Azzahra tersenyum dan berjalan beriringan dengan si cantik yang manjanya ampun jika bersamanya itu. Sudah empat tahun mereka berdua menjalin persahabatan, sejak awal kuliah dimulai dulu. Salah satu alasan kenapa mereka awalnya bisa bersahabat adalah kesamaan nama Nayla pada nama keduanya. Nayla A dan Nayla B, untungnya Nayla A sejak awal lebih suka dipanggil Nisa sehingga Nayla B yang kemudian mendapatkan panggilan Nayla.

Nisa merangkul Nay dengan hangat.

“Ya udah, ceritain ke aku yuk. Sembari cerita kita makan eskrim. Gimana?”

“Maaaauuuuu lah.” Nay meringis, “buat ngademin otak, Kak. Cerdas emang kakakku satu ini. Pinter, cantik, pantes cum laude.”

“Kamu yang bayar ya, Nay.”

“Yeeee. Ga jadi adem dah otaknya.”

Nisa tertawa.





.::..::..::..::.




.: KEMBALI KE SEKARANG :.



“Nay?”

Nayla tak segera tersadar dari lamunannya, batinnya terbang menjelajah memori. Lucu rasanya kalau teringat kembali. Masa-masa di suatu ketika, saat menjalani kuliah sepenuh hati, demi mendapatkan secarik kertas yang akan menambah gelar pada nama diri.

“Nay?” suara berat Pak Bram membangunkannya.

“Eh... i-iya, Pak.”

“Minum hangat dulu.” Pak Bram menyodorkan secangkir teh ke hadapan Nayla. Dari bungkus teh celup yang ada di meja, teh itu teh Tasseo.

Saat ini mereka berdua tengah duduk berhadapan di McKafe, cafe milik McRonalds yang ada di seberang jalan tempat Pak Bram dan Nay bertemu. Untung ada gerai makanan yang buka 24 jam di tempat ini. Win win solution, yang menggelar restonya laris, yang olahraga pagi punya rujukan sarapan.

Jangan tanya bagaimana ceritanya Nay sampai bisa diajak ke sini sama Pak Bram, karena dia sendiri pasti juga bingung. Semua berjalan begitu saja – terlebih saat panik karena mimisan tadi.

Karena sudah ada teh, ya dinikmati saja kan? Nay menyeruput tehnya, ah... refreshing. Semua penat yang ia rasakan hilang seketika ditelan hangatnya teh yang menyegarkan dada.

“Bagaimana sekarang? Sudah mendingan?”

“Sudah, Pak. Terima kasih banyak. Ga nyangka malah jadi ngrepotin.” Nay menunduk malu, wajahnya memerah seperti cabe giling paprika campur tomat. Malunya banget-banget jadi berasa pengen sembunyi di bawah rumah batu Patrick di Bikini Bottom. “Sekali lagi terima kasih.”

“Apaan sih, Nay. Sudah kewajiban kita menolong orang lain. Kamu sering olahraga di sini?”

“Hampir tiap minggu, Pak. Hari ini sama suami dan keponakan.”

“Oh begitu. Mana mereka?”

“Tadi mereka duluan. Saya memang rencana balik ke mobil karena ga enak badan.”

“Oh gitu.” Pak Bram tersenyum, “mereka sudah dikabarin? Takutnya nyariin kamu. Ajak aja mereka ke sini.”

“Ga apa-apa, Pak. Ini saya cek katanya mereka bilang sedang mampir di pasar kaget.”

Pak Bram mengerutkan kening, “kamu ga bilang kamu sakit?”

“Ga perlu, Pak. Saya kan sudah tidak apa-apa.”

Pria yang usianya sudah kepala empat itu pun menggelengkan kepala, “Dasar kamu ini.”

“Hehehe, saya ga mau mereka ikutan panik, Pak. Kenyataannya toh saya memang tidak apa-apa. Terima kasih buat bantuan Pak Bram.”

Hmm.” Pak Bram lantas melirik ke jam tangannya dan bersiap, siap. “Sudah siang. Aku mesti pulang dulu, Nay. Kamu yakin tidak apa-apa, kan?”

“Tidak apa-apa, Pak. Sungguh. Terima kasih sekali. Saya asli jadi ga enak ngrepotin Pak Bram.”

Pak Bram kembali tersenyum dan berdiri. Tubuh kekarnya bagai mendominasi ruangan, sementara rambut cepaknya yang sebagian mulai memutih membuat sosoknya menjadi kontradiktif. Badan masih kencang, wajah masih muda, tapi rambut sudah mulai beruban.

“Senang ketemu kamu, Nay. Kamu tambah cantik.”

Wajah Nayla memerah. “Te-terima kasih, Bapak juga awet muda. Masih sama seperti dulu terakhir ketemu. Saya malah tidak mengira Bapak masih hapal nama saya, mahasiswa Bapak kan banyak.”

“Aku tidak pernah melupakan wajah mahasiswa, apalagi yang menjadi favorit.”

Nay ingin tergelak, tapi ditahan. “Ih, bohong banget. Mana mungkin saya favorit Bapak, orang waktu bimbingan skripsi aja disuruh bolak-balik ratusan kali.”

“Enam belas kali.”

“Enam belas... kali...” Wih, masih inget aja Pak Bram. Nay manggut-manggut. Sekali lagi ia mengoleskan tissue di bawah hidungnya, darahnya sudah tak lagi leleh. “luar biasa daya ingatnya, Pak. Saya sih sudah lupa berapa kali ngajuin bimbingan ke Bapak. Kayaknya puluhan, hihihi.”

“Seperti yang aku bilang, aku tidak akan pernah lupa mahasiswa favoritku. Apalagi yang paling cantik.”

Nay meneguk ludah, wajahnya memerah. Si jelita itu agak jengah dipuji oleh mantan dosennya. Antara berterima kasih, tapi juga tidak nyaman, awkward rasanya. Bisa-bisanya dibilang cantik sama Pak Bram. Pak Bram gitu loh!

“Oh iya, Nay...”

“Iya, Pak?”

“Boleh minta nomor kamu? Ada kabar anak-anak angkatan kamu mau ngadain reunian. Siapa tau kamu mau ikut.”

“Oh i-iya, Pak.”

Keduanya pun bertukaran nomer.





.::..::..::..::.





Bulan bergelayut manja di tepian malam, memainkan sinar malu-malu di belahan bumi yang gelap, dengan kilas cahaya tipis yang hanya mampu menerangi sisi terdalam insan penikmat malam. Cahaya rembulan bukan lambaian sinaran terang laksana kuasa sang surya yang membanjiri dunia dengan jumawa, bukan pula seperti bola lampu redup yang ada di penghujung jalan. Cahaya bulan mungkin hanya sekilas mercusuar penerang hati, yang berperan tipis memudarkan kalut dalam diri – itupun seandainya diijinkan oleh sang pemilik nurani. Karena ketika malam tiba, itulah saatnya kita membuka hati dan berpasrah diri.

Nay melongok keluar jendela kamar untuk memastikan bahwa lampu-lampu di taman rumah sudah dinyalakan, karena jika tidak – maka suasana halaman akan menjadi terlalu gelap. Kasihan bapak-bapak satpam yang berkeliling komplek untuk ronda nantinya.

Setelah merasa semua aman, Nay kembali rebah di pembaringan dan meraih ponselnya untuk menelisik media sosial. Ia melirik ke arah kanan untuk melihat suaminya yang terus sibuk.

Arul sedang mengetikkan kode-kode pemrograman di komputernya, meja kerja itu bahkan ada tiga monitor berjajar paralel. Deadline pekerjaan yang teramat padat membuatnya harus bekerja bahkan di malam hari pada akhir pekan – tidak jarang dia baru terlelap justru menjelang subuh.

Pria itu menggosok rambut cepaknya dengan telapak tangan karena penat. Ingin rasanya segera menuntaskan tugas pemrograman dari kantor yang seakan-akan tidak ada akhirnya dan buru-buru bercengkerama dengan istri tercinta – tapi malam ini hal itu tidak akan dapat ia lakukan. Pekerjaannya begitu penting sehingga harus segera rampung kalau tidak mau dituntut oleh klien dari Singapore.

Nayla tertawa saat berselancar di dunia maya. Suara cekikikan sang istri membuat Arul kaget. Mau tidak mau ia membalikkan badan.

“Kok ketawa-ketawa sendiri, sayang?”

“Hihihi, ga kok, Mas. Heran aja. Kadangkala dunia ini berjalan dengan misterius. Ada saja kebetulan-kebetulan yang bisa timbul dengan kebetulan.”

Walah, rumit men kalimatmu, Nay.

“Ya ada dong, itu yang namanya kebetulan.” Arul kembali ke pekerjaannya. “Ada kebetulan yang menyenangkan dan ada kebetulan yang tidak menyenangkan. Kamu ketemu kebetulan yang mana?”

“Hmm... yang mana ya?”

Nayla sebetulnya tertawa karena beberapa saat yang lalu secara tidak sengaja ia menjumpai nama Bram Kusmara mulai follow akun instagram-nya. Nayla-pun mem-follow balik mantan dosennya itu dengan niat baik karena tadi pagi Pak Bram sudah menolong Nay.

Tapi gila juga, cuy. Pak Bram follow instagramnya? Dih, Nay mulai merinding.

Nayla yang jelita dan memiliki body aduhai adalah salah satu person di instagram yang populer tanpa harus berusaha. Ia bahkan tak perlu melakukan promosi terlalu heboh karena tiba-tiba saja follower-nya melonjak dengan cepat. Terlebih lagi saat ia mengenakan baju yang sedikit menampilkan lekuk tubuh, wah foto yang begituan like-nya bisa nembus awan – yang haters pun nambah ribuan, padahal tak jarang baju-baju itu titipan endorse.

Wow-nya, ternyata Pak Bram juga sempat meninggalkan komen di foto-foto Nay yang seperti itu.

Lho!?

Nay mengejapkan mata.

Sebentar-sebentar, kok komentarnya unik? Nay hampir-hampir tak mempercayai apa yang ia lihat. Serius nih? Pak Bram nulis beginian? Yakin?

Ada yang membulat tapi bukan tekad.

Mau pingsan rasanya Nay. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan karena geli setengah mati. Oke, memang pose fotonya agak mengundang dan membuat bagian dada jadi terasa besar – Mas Arul juga sih nih yang fotoin. Dasar cowok.

Fotonya memang seksi dan dadanya jadi terlihat sentosa, tapi sesungguhnya masih dalam taraf batas bisa dimaklumi, bukan foto vulgar apalagi murahan. Seksi yang classy.

Tapi Pak Bram? Komentar beginian? Seriously? Masa sih ini Pak Bram? Coba lagi foto yang lain... jadi penasaran, sumpah.

Nay sengaja mencari fotonya yang juga sedikit seksi. Sedikit itu maksudnya dada terlihat besar, tubuh lebih terlihat lekukannya, atau wajah cantiknya terlihat lebih kinclong dari seharusnya. Sebenarnya Nayla tidak begitu nyaman memasang foto seperti ini di Instagram, tapi Mas Arul bilang tidak masalah dan kenyataannya memang justru dari foto-foto seperti inilah follower-nya meledak dan pesanan endorse masuk banyak. Serba salah, kan? Meski cuan masuk, tapi tak jarang ia menjumpai fotonya digunakan oleh akun palsu atau malah dipasang di iklan yang ia sendiri tidak pernah tahu produknya. Kan lucu kalau ada foto Nay yang dipasang di iklan obat kuat sementara dia sendiri belum pernah tahu itu merk apa.

Beginilah resiko punya akun yang tidak di-private, ada untung dan ada ruginya. Untungnya Nay kerap kali dapat tawaran endorse, ruginya banyak akun asing masuk dengan segala macam komentar ajegile mereka. Serba salah, kalau harus di-private rasanya sayang karena bisa mendapatkan pemasukan sampingan, kalau tidak di-private banyak yang suka iseng.

Nah, ada nih satu lagi dari Pak Bram.

Ada yang menonjol tapi bukan bakat.

Tuh kan.

Kok nggilani ya?

Kalau yang komentar itu cowok-cowok ga jelas, cewek-cewek berbatang, atau fake account cari aman wajarlah – apalagi kalau mereka sudah mulai komen asal dan tidak sopan, tinggal diblokir saja. Tapi ini Pak Bram! Masa iya sih diblokir?

Lagipula...

Ngapain sih Pak Bram pakai komen-komen aneh begini?

Jari jemari Nayla mulai beraksi scrolling dan mengintip satu demi satu update notifikasinya, dalam beberapa malam terakhir Pak Bram ternyata beraksi secara membabi-buta dan menerapkan taktik gerilya. Hit and run. Like sana, comment sini. Agak awkward rasanya Nay diperlakukan spesial begini oleh Pak Bram.

Spesial tapi geli.

Tapi kalau ingat yang tadi pagi...

Sewaktu Pak Bram mengelap darah di dekat bibirnya.

Sewaktu Pak Bram menggandengnya dengan khawatir.

Wajah Nay memerah.

Kalau yang tadi benar-benar spesial.

Wajah Pak Bram yang sekali-sekalinya tersenyum pun terbayang selintas di benak Nay.

Eh!?

Kenapa bayangin Pak Bram? Stupid! Nay melirik ke arah sang suami dan buru-buru mematikan layar ponselnya.

Tidur aja, Nay!



no quote
 
Terakhir diubah:
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA






“Kak Nisa tahu Pak Bram, kan?”

Tanya Nayla di sebuah warung pempek kala kedua sahabat asyik menikmati makan siang mereka. Pempek kapal selam dan lenjer masing-masing satu sudah habis mereka lahap. Saat ini keduanya menghabiskan waktu sambil menyamankan perut dan minum es teh.

Nay tampil cantik dengan kaus putih oblong dan celana jeans biru pudar yang ketat membungkus tubuh indahnya, rambut kucir kudanya diikat manis diselipkan ke topi trucker hat bertuliskan young mom. sementara Nisa mengenakan baju kantor lengan panjang yang sopan dengan hijab biru cantik.

Nisa mengecap bibirnya yang masih pedas. Bibir mungilnya yang sensual makin merah karena efek pedas kuah pempek. “Pak Bram? Ya tahu dong. Sang monster, King Ghidorah.” Nisa tertawa renyah dengan manis. Ibu muda yang satu ini memang tidak kalah cantik dari Nayla. “Udah jelasin materinya kaku, gaya bahasanya jadul, guyonnya bapak-bapak, awkward pula kalau di kelas.”

“Galaknya itu lho.”

“Banget. Aku juga pernah tuh dibentak.”

“Hah!? Seriusan? Cewek semanis Kak Nisa dibentak? Kalau aku kan pe’a, jadi sering banget dimarahin, apalagi pas bimbingan. Wih, langganan banget dikata-katain. Tapi baru tahu lho kalau Kak Nisa juga pernah kena semprot.”

“Dih. Dia mah ga cowok ga cewek semua disemprot. Kalau aku gara-gara bikin makalah ga becus sewaktu ambil mata kuliah dia. Bener-bener apes. Harusnya kerja kelompok, tapi aku sendiri yang kerja. Yang lain rebahan, kesel kan? Kita bikin materi begadang sendirian, bikin powerpoint kalang kabut sendiri, presentasi maju sendiri, eh pas salah juga kena semprot yang paling kenceng. Yang lain cuma senyum-senyum doang. Sebel banget – tapi aku sebelnya bukan sama Pak Bram, lebih ke temen satu kelompok.”

“Oalaaaah ya ya. Kalau ada tugas kelompok, yang pertama ngerjain, yang kedua rebahan, yang ketiga bikin mie instan. Hahahaha.” Keduanya tertawa. “Eh, by the way, aku kapan itu ketemu dia lho, Kak.”

“Oh ya? ketemu Pak Bram?”

“He’em. Ehmm... hari minggu. Pas aku olahraga pagi tuh.”

“Gimana dia sekarang?”

“Herannya nih, Kak. Sama sekali ga berubah! Ga menua! Malah tambah kekar badannya!”

“Eh, nani!? Kok bisa?”

“Maka daripada itu!” Nay mencibir, “dia kan galak yaaa. Kirain jadi keriput kebanyakan darah tinggi, eh tapi bukannya dia yang tambah tua, justru malah kita yang makin peyot. Demi apa coba!”

“Apa kita sebaiknya juga jadi orang galak ya biar awet muda?”

Nay tertawa. “Bisa jadi, bisa jadi.”

Nisa memainkan es batu di gelasnya. “Tambah kekar ya?”

“Iya, Kak. Jadi banget badannya. Ke gym tiga kali sehari kayaknya.”

“Dih, udah kayak minum obat dong.” Nisa tergelak. “Mantap juga ya. Padahal umurnya ada kali kalau dua puluh tahun di atas kita - mungkin sekitar empatpuluhan. Tapi namanya juga duda, mungkin beliau jaga penampilan, siapa tahu masih ada yang mau.”

Nay tersedak.

“Hahhhh!? Pak Bram duda!?” mata Nay setengah berteriak, beberapa orang pengunjung warung pempek sampai melirik padanya. Nay menunduk malu, ini benar-benar berita yang baru buatnya. “Demi apa!?”

“Lah, emang kamu baru tahu, Nay?”

“Iyaaa! Kok bisa, Kak? Sudah berapa lama?” mata Nay langsung berbinar-binar – jiwa lambe turah-nya menyala. Setahu Nay istri Pak Bram itu cantik banget, mereka pernah berpapasan tanpa sapa di sebuah acara pernikahan warga kampus. Kebetulan yang menikah itu masih sanak keluarga dengan Nay. Pak Bram dan istrinya kelihatan harmonis, kemana-kemana selalu berdua dan bergandengan tangan. Mesra banget meski belum dikaruniai momongan padahal usia pernikahannya sudah cukup lama. Kirain setia selamanya – kok sekarang tiba-tiba saja ada berita jadi duda?

“Dih, kamu kok jadi memberondong diriku dengan pertanyaan seputar Pak Bram? Aku bukan juru bicara kerajaan, neng.”

“Penasaran aja sih. Aku pernah ketemu istrinya, cuaaantik pol. Kok jadi duda? Cerai emang?”

“Mendudanya belum lama kok. Lupa aku kapan tepatnya, yang jelas dulu yang cerita si Hendrik. Dia kan rumahnya deket sama Pak Bram.” Nisa mulai menjadi narasumber dan menelaah khasanah referensi. “Istrinya Pak Bram meninggal karena kanker. Ga ketahuan gimana asal muasalnya tahu-tahu ambruk begitu saja. Hanya dua bulanan sejak divonis, beliau kemudian meninggal.”

“Ya Tuhan.” Nay menutup mulutnya dengan tangan, menyesal dia sudah berburuk sangka.

“Konon Pak Bram sempat mengurung diri di rumah, depresi gitu. Kata Hendrik sih beberapa kali Pak RT khawatir kalau Pak Bram sampai bunuh diri. Wajar sih ya, namanya juga kemana-mana selalu berdua – kalau tiba-tiba saja harus sendiri pasti sepi banget. Ga bisa bayangin sedihnya.”

“Sampai mau bunuh diri? Masa sih? Kaget aja sih, Kak. Masa iya dia kepikiran sampai segitu? Pak Bram? Ga kebayang orang semacam dia bisa melakukan perbuatan sejauh itu. Kayaknya nggak deh, dia orangnya tegar gitu.”

“Namanya juga manusia biasa, neng. Pak Bram itu walaupun galak di luar, tapi lembut di dalam. Dia sangat setia dan menyayangi istrinya. Makanya setelah istrinya meninggal dan dia harus hidup sendirian, ada bagian otaknya yang korslet – begitu kata Hendrik. Sejak istrinya meninggal, ada yang berubah dari dia.”

Nay jadi teringat komen-komen nggilani Pak Bram di kolom komentar Instagram-nya. Apa berubahnya jadi kayak gitu? Kok nggak banget ya.

“Tapi itu sudah agak lama sih, jadi mungkin beliau sudah normal kembali.” Kata Nisa sambil mengangkat bahu.

Nay mengangguk sambil menyeruput minumannya.

Rasa penasarannya meningkat.





.::..::..::..::.





Nay melirik ke arah pojok kanan atas aplikasi Instagramnya, pada lambang paperplane. Ada ratusan DM yang masuk tapi tidak pernah ia gubris – biasanya hanya dari pria-pria iseng yang menggoda; misalnya secara kurang ajar nanyain harga semalam, apakah buka BO, ngajakin kencan, dan sebagainya. Apalagi sama haters yang ngasih petuah-petuah tidak pada tempatnya. Capek menghadapi cowok-cowok munafik yang gayanya mengingatkan tapi aslinya hanya minta di-waro atau berharap akan dikagumi dan dibagi nomor telepon bahkan minta PAP.

Emang dasar.

Isi DM di akun instagram Nay memang campur-campur seperti rujak serut dan yang bertanya dengan serius sebenarnya bisa dihitung dengan jari, jadi Nay harus benar-benar pilah-pilih siapa yang akan dibalas DM-nya – ia hanya akan membalas teman-teman dekat serta para klien terutama perusahaan dan usaha-usaha yang ingin barangnya diendorse oleh Nay.

Suami Nay sendiri sedang sibuk di depan komputer entah dengan kerjaan yang mana lagi, entah ngerjain program, entah nonton Youtube, entah bikin apa. Jika sudah di depan monitor, maka Arul tidak akan beranjak dari sana kecuali untuk minum, makan cemilan, dan ke toilet. Arul tidak akan pernah menengok ke belakang kecuali benar-benar membutuhkan sesuatu dari Nay.

Jemari lentik Nay bermain menggulirkan layar ponsel naik turun untuk memeriksa DM, satu demi satu ia lihat. Yang tidak asyik dan vulgar langsung di blok. Enak aja, emangnya Nay apaan berani-beraninya mereka sampai mengeluarkan komentar yang tidak sopan. Nay terus menelisik, membuang, dan menyelidik sampai suatu ketika bulat mata indahnya tertumbuk pada satu nama.

Bram Kusmara.

Pak Bram.

Dia DM?


Takut-takut Nay membuka DM dari sang mantan dosen. Kenapa lagi nih orang? Di posting biasa aja dia sudah komentar vulgar, sekarang mau apa lagi? Risih kan kalau selama ini dia menghormati Pak Bram sebagai dosen yang berwibawa dan galak – eh ternyata di belakang berubah menjadi seseorang yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Mungkin harus diblok juga.

Nay membukanya. DM Pak Bram mengomentari stories yang siang tadi ia share, foto selfie berdua dengan Kak Nisa.

Masih awet aja kalian cantiknya.

Widih. Bisa aja nih kue dongkal.

Bolehkah aku sekali-sekali gabung makan siang dengan kalian?

Gleg. Nay meneguk ludah. Tapi ternyata komen Pak Bram tidak berhenti sampai di situ saja, masih ada satu lagi di bawah.

Bolehkah sekali-sekali aku makan siang denganmu?

Nay hampir tersedak ludah sendiri. Haegh!

Suaranya cukup keras sampai-sampai Arul menengok ke belakang. “Kenapa sayang?”

“Ga-ga apa-apa kok, Mas. Ini aku kaget lihat postingan horor. Bikin merinding.”

“Oooh.” Arul kembali berbalik untuk mengerjakan tugas di laptopnya. “Jangan lihat yang aneh-aneh, sayang. Nanti malah ga bisa tidur.”

“Iya, Mas.”

Nay melirik sekali lagi ke DM Pak Bram. Oke, ini udah ga bener nih – orang ini bener-bener sudah out of character parah. Dia sama sekali berubah, sudah bukan Pak Bram yang dulu lagi. Bisa nekat begini sekarang komentar-komentarnya. Sebesar itukah efek kehilangan seseorang yang disayangi pada seseorang seperti Pak Bram? Sebegitu fatalkah efek kesedihan itu timbul?

Nay melirik ke arah suaminya.

Dia jadi kebayang.

Apa yang akan terjadi seandainya dia kehilangan Mas Arul?

Akankah dia juga mengalami depresi yang parah? Mungkin tidak. Mungkin dia masih bisa berpegang kepada agama dan kepercayaan. Mungkin dia masih bisa waras – tapi itu mungkin. Kemungkinan yang sama sekali tidak ingin dia coba. Dia tidak ingin mengalami kesedihan itu sekarang, dia belum siap. Memang semua harus siap pada akhirnya, tapi dia belum siap.

Tapi Pak Bram... Pak Bram sudah mengalaminya. Dia sudah melalui masa-masa kelam itu.

Terbayang wajah sendu Pak Bram saat menolongnya di minggu pagi beberapa hari yang lalu. Dia sama sekali tak mengira bahwa Pak Bram ternyata telah melalui sebuah masa berat dalam hidupnya.

Jadi penasaran.

Si cantik itu pun mulai stalking akun instagram Pak Bram. Nayla sempat melirik ke arah sang suami, tapi Arul tetap sibuk dengan laptopnya.

Ah, ini dia instagram Pak Bram.

Nay mengerutkan kening. Akun instagram itu hanya menampilkan suasana muram. Gelap, kering, dan sebagian besar bernuansa coklat yang sepi. Tidak ada foto selfie, tidak ada foto ceria penuh warna, atau bahkan tidak ada foto kegiatan sehari-hari. Hanya ada gambar-gambar sekitar rumah yang berkesan noir dan sendu. Teko dan gelas poci kecil, pot tanaman kaktus, sandal jepit di tepian tangga, tiang jemuran dengan background bokeh, mesin cuci dalam warna monotone, piring menumpuk di samping wastafel, dua sikat gigi menjulang di atas keranjang odol, dan seekor kucing montok bermalas-malasan di atas kursi. Kucing yang sama muncul beberapa kali di feed instagram Pak Bram, sepertinya dia peliharaan Pak Bram.

Nay geli. Pak Bram yang monster ternyata pelihara kucing imut.

Semakin scroll ke bawah, Nay makin masuk ke dalam alam pikiran bawah sadarnya. Bagaikan ada pemantik api yang menyalakan cahaya dalam batinnya. Entah bagaimana dia mulai memahami benang merah dalam foto-foto ini. Kata-kata vulgar, komen aneh, dan semua sikap out of character dari Pak Bram... sepertinya semua itu adalah cara kacaunya untuk membentengi diri dari kesedihan, untuk menyembunyikan jati diri yang sebenarnya sudah hancur luluh lantak dihancurkan masa. Sikap aneh ini muncul untuk membangun kepercayaan diri – meski diwujudkan dengan perubahan perilaku secara drastis. Padahal dia adalah dosen dan akademisi.

Foto-foto di feed instagram Pak Bram menunjukkan kesunyian hidup seorang pria yang mengalami kesedihan dahsyat, tidak ada sedikitpun warna terang dan kebahagiaan terpancar, tidak ada wajah orang, tidak ada senyuman. Sepi dan kering. Ketika mulai memahami sisi sendu dari mantan dosen pembimbingnya itu, Nay akhirnya dapat melihat warna-warna coklat yang tadinya dry berubah menjadi sedikit lebih hangat.

Nay tahu, kesepian adalah hantu yang paling menakutkan dalam hidup seorang manusia – terlebih bagi seseorang yang seumur hidup selalu menjalani kebersamaan. Kesepian akan menjadi pintu gerbang kehancuran mental jika tidak dapat diatasi.

Entah kenapa Nay jadi penasaran. Ia kembali ke DM yang dikirimkan oleh Pak Bram.

Bolehkah sekali-sekali aku makan siang denganmu?

Jari-jemari lentik Nayla bergerak bak robot, tanpa perlu ia setir sudah bergerak secara reflek. Ia membalas DM dari Pak Bram.

Saya ada waktu besok siang. Makan siang di mana?





.::..::..::..::.





Bram merasa grogi. Ini adalah kali pertamanya mengajak makan seorang wanita sejak istrinya meninggal dua tahun yang lalu. Lebih grogi lagi, karena wanita yang diajaknya makan siang adalah Nayla – seorang wanita muda jelita bertubuh indah yang dulu pernah menjadi mahasiswinya – kini dia adalah seorang ibu muda dan istri yang bahagia. Betapa waktu berjalan dengan cepatnya.

Bram mengenakan baju lengan panjang warna hitam yang dikenakan rapi dengan celana jeans biru tua dan sepatu warna gelap. Dia tidak ingin tampil terlalu rapi, tapi juga ingin memberikan kesan sopan pada Nay.

Bodoh sekali kamu, Bram. Memangnya ini kencan?

Bram memandang sekeliling – tempat ini sebenarnya biasa saja, bukan tempat mahal dan bukan tempat murahan. Rasanya cocok untuk mengajak seseorang yang penting ketemuan. Apalagi menunya cukup lengkap dengan sajian utama steak dan western food lain. Ruangan-ruangan diatur dalam kotak-kotak mirip cubicle yang private. Cocok jika ingin ngobrol berdua saja.

Ingat, Bram. Kamu di sini hanya untuk mengajak mantan mahasiswimu makan siang, tidak kurang tidak lebih. Tidak akan ada kelanjutan apapun dari pertemuan ini! Kamu sudah tua, dia masih muda. Dia sudah menikah, kamu duda. Kamu dosen, dan dia hanya mantan mahasiswimu. Sudah itu saja.

Bram manggut-manggut dalam diam.

“Sudah lama, Pak?”

“Belum.” Bram menengok ke samping dan saat itu juga ia terpana. Sosok yang ia tunggu-tunggu sudah datang dengan penampilan yang mempesona. “Nayla...”

Seorang bidadari yang turun dari khayangan untuk meninggalkan selendang barangkali adalah kata kiasan yang tepat. Pak Bram berdecak kagum, ada juga makhluk yang dipahat sesempurna ini di atas muka bumi. Wajah dengan kecantikan yang tidak ada obatnya, tubuh yang indah dibungkus oleh dress terusan musim panas warna merah dengan motif bunga-bunga ala Korea yang memiliki kerah v-neck dan tinggi rok selutut yang sama sekali gagal merahasiakan putihnya kulit Nayla yang bak pualam.

“Hai Pak.”

“Silahkan duduk, Nay.” Bram berdehem dan mencoba mengembalikan wibawanya, ia pun berdiri dan memutari meja untuk menarik kursi bagi si jelita. Nay hanya tersenyum dengan wajah memerah dan mengambil posisi kursi yang sudah ditarik oleh Pak Bram.

“Terima kasih, Pak.” Jantung Nay berdegup teramat cepat, ia tidak menduga akan diperlakukan se-spesial ini oleh Pak Bram. Perlakuan berlebih memang kadang membuat Nayla menjadi semakin jantungan, padahal di sepanjang perjalanan saat naik taksi online tadi dia sudah tegang seperti hendak menghadapi dosen untuk mengajukan proposal skripsi. “Lucu juga tempat ini, saya belum pernah ke sini.”

“Oh ya? Tempat ini steak-nya enak, beef stroganoff-nya juga. Tapi kalau mau yang umum ada juga spaghetti, fettucini carbonara, dan sebagainya.”

“Makanan barat ya, Pak?”

“Iya, Nay. Doyan kan?”

“Doyan kok, Pak.”

Musik mengalun lembut, lagu jazz terdengar. Kedua insan yang reunian itu terdiam agak lama, masing-masing menyimpan dan mengatur kata yang hendak diucapkan. Nay baru menyadari kalau ternyata tempat ini lumayan ramai. Mereka bukan satu-satunya pasangan yang saat ini sedang makan, padahal ini di tengah hari. Untungnya ada cubicle yang menyembunyikan setiap pasangan yang sedang makan siang.

“Jadi...” Pak Bram memulai pembicaraan setelah keduanya selesai makan.

Nay meneguk ludah, ini nih. “Jadi...”

“Jadi, sejak lulus kuliah, apa saja yang kamu lakukan, Nay?”

Untung Nay sudah menyiapkan jawabannya, “Hmm... saya bekerja, Pak. Di salah satu perusahaan distributor makanan yang kantornya agak di luar kota. Cukup lama kerja di sama, sekitar empat-lima tahun sampai akhirnya dilamar salah satu rekan kerja saya.” Ada perubahan di wajah Pak Bram saat Nay menyebutkan kata ‘lamar’ – si cantik itu pun tersenyum manis, berusaha menahan geli. “Saya keluar dari tempat kerja setelah kami resmi menikah karena perusahaan tidak mengijinkan suami istri bekerja di tempat yang sama. Tapi tak lama kemudian Mas Arul - suami saya juga keluar dari pekerjaan di sana untuk mencari pekerjaan yang lebih baik dan sekarang dia kerja di startup di kota. Kami sengaja memilih tinggal di kota supaya lebih dekat dengan keluarga suami dan juga saudara-saudara yang lain.”

“Anak?”

“Ada, seorang putra.” Nay tersenyum. “Kami manggilnya Adek.”

“Wah. Tidak mengira kamu akhirnya menjadi seorang ibu.”

“Ih, kok tidak menyangka?” Nay pura-pura cemberut, tapi sejenak kemudian tertawa, “semua ini keajaiban dan anugerah tak terkira yang diberikan kepada saya, Pak. Saya selalu bersyukur akan kehidupan yang saya dapatkan.”

“Syukurlah.” Ada gelap mendung menaung di relung Pak Bram. Mendung yang membuat wajahnya gelap. “Kalau aku justru kebalikannya. Rasa-rasanya aku tidak pernah mengerjakan apa-apa dengan benar, seperti dikutuk. Aku selalu kehilangan semuanya. Aku jadi sering menyalahkan siapapun.”

“Tidak boleh berburuk sangka, Pak.”

“Iya sih.”

Memang dalam kehidupan selalu ada saat di mana semua pelangi berubah menjadi karang arang berwarna hitam yang hanya akan memberikan kelam. Wajah sendu Pak Bram tidak berubah, ia sepertinya kembali tenggelam dalam lamunan yang membawanya ke masa silam.

Nay menatap sedih Pak Bram. Gimana nih?

“Ibu sudah baik-baik saja di surga, Pak.”

“Mudah-mudahan, Nay.”

“Ibu sudah tidak merasakan sakit lagi, jadi Bapak juga harus mencoba bangkit. Semua pasti akan baik-baik saja, karena saya yakin Ibu ingin Bapak bahagia. Ibu ingin Bapak tidak berputus asa. Bapak kan masih muda, masa depan masih panjang, jadi tetap semangat ya, Pak.”

Pak Bram mengangguk, wajahnya tetap sedih sambil menunduk. Nay mencoba mencari cara untuk mengalihkan kesedihan yang tiba-tiba menggelayut bak tamu tak diundang yang membuat suasana menjadi serba salah.

“Ibu seperti apa orangnya, Pak?”

Pak Bram tersenyum, “Ayu orang yang baik, lembut kalau sama suami, lincah, dan penuh energi kehidupan. Selalu saja ada yang dikerjakannya tiap hari. Sangat kreatif dan selalu mendukung apapun yang aku kerjakan.”

“Sepertinya orangnya menyenangkan.”

“Sangat.” Pak Bram menatap tajam mata Nay yang lantas membuat ibu muda jelita itu salah tingkah, “kalian pasti akan cocok saat bertemu. Mirip satu sama lain – cantik, baik, dan perhatian pada orang lain.”

Wajah Nay memerah. Saatnya mengalihkan perhatian. “Sa-saya ingin berterima kasih untuk yang kemarin hari.”

“Kemarin hari?”

“Bapak sudah menyelamatkan ponsel saya, sudah merawat mimisan saya...”

Pak Bram menatap Nay dan akhirnya tersenyum, “ya ampun. Ini lagi. Kan kemarin sudah dibilang tidak apa-apa. Sudah kewajiban.”

“Iya sih, Pak...”

“Tapi? Kayaknya masih ada tapi-nya nih.”

“Nggak kok... saya hanya... jadi merasa spesial saja.” Nay bingung bagaimana mengutarakan kalimat berikutnya tanpa merasa jengah dan malu. Mungkin nekat saja ya? “A-anu... terima kasih juga Bapak sudah nge-like foto dan memberikan komen di Instagram saya. Saya tidak menyangka Bapak jadi follower saya juga, tidak menyangka pula Bapak akan komen seperti itu di IG saya.”

Gleg. Pak Bram merasa kikuk.

“Iya, Nay. Sebelumnya mohon maaf kalau kata-kataku kurang sopan. Kalau dibaca-baca aku jadi tidak nyaman sendiri. Maklum aku ini asosial, jadi aku agak kesusahan mengutarakan kekaguman dengan cara bagaimana lagi – aku sebenarnya ingin menyampaikan kalau aku menyukai foto-fotomu tapi dengan nada bercanda supaya hubungan kita tidak tegang. Sungguh aku suka sekali foto-foto kamu di Instagram.”

“Bapak suka foto saya?”

“Banget.”

“Kenapa?”

“Ehm...” Pak Bram menatap bulat mata Nayla. “Aku... ah, rasanya canggung mengatakan ini langsung padamu, Nay. Aku sudah tua begini dan kamu begitu... ah, nggak ah...”

“Kenapa?” Nay menuntut.

“Karena...” Pak Bram menggeleng, “serius Nay... ini canggung dibicarakan langsung sama kamu.”

“Saya tidak canggung.”

“Ya kamu. Aku kan beda.”

“Ke. Na. Pa.” Nay tertawa geli dengan manisnya. Sumpah, kalau saja ada makanan yang hambar, saat itu juga sudah pasti akan jadi manis hanya dengan melihat Nayla. “Habisnya Bapak ninggalin komen yang seperti itu. Saya kan juga jadi penasaran, Pak.”

Pak Bram berdehem. Gawat, masa iya... pria bertubuh kekar seperti dirinya justru kikuk di depan seorang wanita mungil manis seperti Nayla. Karena diminta menjawab, ya sudah jujur saja.

“Oke. Aku melakukannya karena aku kagum.”

“Dari tadi kogam-kagum melulu, memangnya apa yang dikagumi dari saya?”

“Kagum sama foto-foto kamu yang apik, kagum dengan...” Pak Bram terhenti.

“...kagum dengan? Kok tidak dilanjutin?”

“Aku beneran tidak enak menyampaikan ini.”

“Sampaikan saja, mumpung saya ada di depan Bapak.”

Gleg. Bram membulatkan tekad. Baiklah. “Aku kagum dengan kecantikanmu, kagum dengan keindahan tubuhmu. Menurutku kamu seksi sekali. Sosok seorang wanita idaman yang cantik luar dalam.”

Petir seakan menyambar di dalam jantung Nayla. Wajah ibu muda itu langsung memerah parah.

Nay mencoba tersenyum, ia meletakkan tangan di dagunya. Uh, maut sekali cakepnya saat itu. Apalagi sinar rambutnya terbias oleh lampu redup ruang makan yang agak gelap. Pak Bram benar-benar dibuat kalang kabut oleh wanita muda yang cakepnya berbahaya ini. “Foto-foto saya kebanyakan jadi bagus karena filter dan efek tipuan kamera, Pak. Saya juga tidak seksi... eh!”

Tiba-tiba saja Pak Bram menarik tangan Nayla dan memegangnya erat, membuat wanita jelita itu terpekik tertahan. Pandangan matanya tajam menatap sang ibu muda yang cakepnya memang kelewatan itu.

“Kamu... sempurna, Nay.”

Jarak mereka dekat. Sangat dekat. Terlalu dekat.

Pak Bram kemudian mengecup bibir Nayla.

Semua berlangsung dengan sangat cepat.

Tak pelak, ibu muda jelita itu tentunya sangat terkejut. Ia melompat mundur. Aduh gawat ini... gawat kalau tidak segera di... aduh... ini benar-benar di luar benaknya. Matanya tak berani menatap langsung ke mata Pak Bram yang tak berkedip memandang tajam ke wajahnya. Buru-buru Nayla menarik tangannya dari genggaman tangan Pak Bram sambil menundukkan kepala.

“Ma-maaf, Pak.”

Tarikan tangan tegas dari Nay mengejutkan Bram.

“Astaga! Apa yang sudah aku lakukan!?” Pria itu baru menyadari tindakannya. “Ma-maafkan aku, Nay. Maafkan aku! Aku khilaf! Aku...”

Nayla tertunduk malu, ia segera berkemas-kemas tanpa menyelesaikan makannya. “Sa-saya pamit dulu, Pak. Terima kasih makan siangnya.”

“Nay... tunggu... aku...”

Nayla sudah berlari menuju pintu depan.

Bram berdiri di dekat mejanya dengan lemas.

Tangannya beranjak ke atas dan menepuk dahinya sendiri dengan kencang.

“Bodoh!”





.::..::..::..::.





Dua hari lamanya setelah makan siang bersama, Pak Bram tidak mampir untuk sekedar mengomentari ataupun nge-like salah satu foto Nayla yang disebarkan melalui instagram. Dua hari berlanjut tapi DM Instagram dan WhatsApp dari Pak Bram juga tidak muncul. Nay juga tidak berusaha mencari tahu kenapa Pak Bram kemudian tidak lagi menyambanginya di media sosial.

Sampai akhirnya malam ketiga.

Saat itu Nayla sudah terlelap di kamar buah hatinya karena kelelahan setelah seharian me-review pakaian endorse dan mengedit foto sendiri. Kala malam tiba, ia pun menemani sang putra tercinta dengan menceritakan dongeng. Seperti biasa, kalau cerita buat anak kadang justru Nay ikut tepar.

Pesan WhatsApp dari Pak Bram masuk ketika jam dinding menunjuk ke angka sepuluh.

Ding. Ding. Ding. Ding. Ding. Ding.

Nayla terbangun oleh suara lonceng bertubi dari ponselnya. Si cantik itu menguap dan melirik ke arah smartphone-nya. Siapa sih malam-malam begini kirim WhatsApp? Apa ga ada esok hari? Dari siapa nih? Dari Pak Br...

Ketika menyadari siapa yang mengirimkan pesan singkat itu, jantung Nay pun bergetar hebat.

Pak Bram? Mau ngapain lagi sih?

Ada perang berkecamuk di batin Nayla – antara tidak ingin memeriksa pesan namun juga tidak bisa berhenti membayangkan sosok pria yang membuatnya sangat penasaran itu. Bisa dibilang dua hari ini Nayla kebingungan mencari kegiatan karena wajah Pak Bram terus menerus muncul di benaknya. Apapun yang ia lakukan, semuanya mengingatkan pada sosok Pak Bram yang terus menerus menginvasi benaknya. Parah.

“Hapemu bunyi, sayang? Kalau urusan endorse bilang aja suruh hubungi besok pagi jam kerja.” Arul tiba-tiba saja berdiri di samping pintu, menatap tajam ke arah sang istri yang kebingungan menjawab pertanyaan sederhana dari sang suami.

“I... ini temen sewaktu kuliah dulu. Katanya mau ngadain reuni.”

“Oh gitu. Kok malam-malam.” Arul mengaduk kelas kopi. Sepertinya dia malam ini akan lembur lagi.

“Iya nih. Aku balasin bentar, habis itu mau tidur.”

“Oke deh. Kamu mau tidur di sini atau balik ke kamar, sayang?”

“Kayaknya di sini aja, sudah terlanjur pewe, pengen ngelonin Adek juga. Gantian biar Bibi istirahat.”

Arul tersenyum dan meletakkan segelas coklat hangat di meja pendek di samping pembaringan Adek. Ia pun mengecup dahi Nayla dengan penuh sayang. “Buat kamu, minum dulu. Sleep tight. Love you.”

Love you too.” Bisik Nayla lirih. “Makasih coklatnya, Mas. Yang bikin kamu kan? Bukan Bibi?”

Arul mencibir, “sejak kapan aku ngrepotin Bibi malam-malam. Kasihan dia sudah seharian diminta tolong merawat Adek. Belum lagi nanti kalau Adek bangun tengah malem minta susu.”

Nay terkekeh dan memeluk suaminya yang masih berdiri di samping pembaringan. “Iya iya... bercanda doang kok, Mas.”

Adek memang sedang dibiasakan minum susu formula, karenanya Nay dan suami mengandalkan asisten rumah tangga mereka yang beberapa malam sekali menemani Adek bergantian dengan Nay.

Arul melirik jam dinding. “Aku kerja lagi ya, sayang.”

“Jangan tidur malam melulu, Mas. Ga sehat.” Nay cemberut. “Jaga kesehatan dong.”

“Iya, sayang. Khusus buat project ini aja. Kalau ini selesai, aku mau ajak kalian semua liburan. Aku juga capek tiap malam begadang liat monitor begini.”

“Ya udah iya. Janji lho ya.”

Arul tersenyum mengelus rambut sang istri dan Adek, mengecup sekali lagi dahi Nay dan ubun-ubun Adek, lalu berlalu keluar kamar sembari melanjutkan mengaduk kopinya.

Nay kembali rebahan dan melongok ke ponselnya, sudah terlanjur bangun ini. Akhirnya ia membuka juga WhatsApp dari Pak Bram.

Malam Nay.

Nay menarik napas panjang, lalu mengetik balasannya, “Malam, Pak.”

Kamu sehat?

Alhamdulillah sehat, Pak. Bapak gimana?”

Alhamdulillah kalau kamu sehat. Kalau aku... aku sedang tidak baik-baik saja.”

“Bapak sakit?”

Sedikit.”

“Sakit apa, Pak? Jaga kesehatan.”

Sakit rindu pengen ketemu kamu.”

Duh. Nay pun menghela napas panjang, “Yeee. Kirain sakit beneran.”

Ini sakit beneran. Aku bener-bener rindu pengen ketemu kamu.”

“Coba cari pacar aja, Pak. Supaya kalau malam ada yang nemenin. Siapa tahu bisa diajak ke pelaminan nantinya.”

Nay... aku bener-bener rindu sama kamu.”

Jantung Nayla berdebam bagai ditabuh genderang, wajahnya memanas. Ada perasaan aneh yang menyeruak di dadanya membaca kalimat-kalimat kangen dari seseorang yang bukan suaminya. “ya kan ga bisa, Pak. Saya kan sudah ada yang punya.”

Iya, aku tahu itu. Tapi aku kan juga harus jujur dengan perasaanku sendiri. Untuk pertama kalinya aku kembali merasakan rindu yang sangat besar pada sosok wanita setelah kehilangan Ayu. Kamu begitu indah dan pantas untuk dirindukan, Nay.”

Tangan Nay bergetar, seandainya saja Pak Bram tahu kalau beberapa hari ini Nayla juga berusaha keras melupakan wajah Pak Bram dari benaknya. Mencoba untuk tidak lagi mengingat pertemuan kembali mereka beberapa hari yang lalu. Kenapa ia terus menerus penasaran pada Pak Bram? Sebenarnya ini rasa penasaran atau ketertarikan?

Nayla memejamkan mata dan saat membukanya kembali ia berharap ada sosok Pak Bram di depan sana – memperlakukan seperti wanita agung, menuntunnya, memberinya perhatian berlebih. Nay membuka matanya, tapi sosok yang ia cari tak ada di sana. Tangan Nayla bergerak bagai robot.

“Saya juga rindu sama Bapak.”

Nay! Kamu ngetik apa!?

Nayla melotot! Ia kaget sendiri dengan apa yang ia ketik. Gawat... gawat... gawat... buru dihapus... buru... sebelum...

Sungguh?

Terlambat. Pak Bram sudah membalasnya. Nay menepuk jidatnya. Ya ampun, Nay. Apalagi yang kamu lakukan sekarang? Jadi orang kenapa ceroboh sekali sih?

Aku senang sekali kalau kamu merasa seperti itu, Nay. Malam ini indah banget. Ya Tuhan, seperti ada bintang jatuh di batasan langit yang membuat aku kembali berharap – kembali bersemangat menjalani hidup. Hanya dengan ucapan rindu darimu.”

Nay menggeleng kepala, bagaimana nih. “Ya sudah kalau begitu...”

Aku ingin melihatmu.

“Hah!? Bagaimana bisa? Saya ada suami. Saya tidak mungkin...”

Cari tempat sepi. Angkat VC-ku.

Tak lama kemudian Pak Bram menelpon Nayla dengan video call. Nayla panik. Aduh, aduh, aduh. Bagaimana ini!? Duh, nekat banget sih Pak Bram!

Nayla buru-buru bangkit, berjingkat menuju pintu, dan menutupnya. Takutnya tiba-tiba saja Arul nanti akan datang. Nay juga mengenakan earphone agar suara panggilan itu teredam. Setelah siap barulah ia mengangkat telpon dari Pak Bram.

Wajah sang mantan dosen muncul di layar ponsel Nay.

“Hai kamu.” Pak Bram tersenyum.

“Hai.” Nay kikuk. “Malu saya, Pak. Gak pakai makeup jadi kelihatan...”

“Gila Nay, kamu ini ga pakai makeup aja secantik ini. Pantesan kalau sudah pakai makeup jadi tambah-tambah. Makeup ibarat cuma add-on aja buat kecantikanmu yang sudah sempurna.”

“Bisa aja sih, Pak.”

“Bagaimana kalau mulai sekarang jangan manggil aku Pak? Aku tahu aku sudah tua, tapi ingin merasa muda kalau sama kamu.”

“Hah? Terus manggil apa?”

“Bram saja.”

“Nggak ah, saya tidak nyaman. Bapak kan tetap saja dosen saya, saya tidak mau...”

“Mas Bram. Gimana? Toh kita sudah bukan dosen dan mahasiswa lagi.”

Nay menghela napas. “Ya sudah, Mas Bram.”

“Cieeee.”

“Ish. Dipanggil Bapak salah, dipanggil Mas malah di-cie-in.”

“Panggil sekali lagi.”

“Mas Bram...” suara lembut Nayla memanggil namanya membuat Bram bagai di awang-awang.

“Panggil sekali lagi dan bilang kalau kamu rindu.”

Dih apaan sih!

“Ih, nggak ah, Pak. Saya...”

“Saya kesepian malam ini, Nay. Mau kan kamu menyembuhkan kerinduan tanpa obat ini?”

Nay kembali menghela napas. “Mas Bram, Nay kangen sama kamu.”

Pak Bram pengen mati rasanya. Aaaah, manisnya. Ini benar-benar di luar batas harapannya. Ia sama sekali tidak menyangka Nay juga merasakan hal yang sama setelah beberapa hari mereka tidak saling sapa.

Bram maju ke layar. “Kamu seksi banget sih, Nay.”

“Apaan sih Bapak ini... kan saya...”

“Tetot. Kok Bapak lagi.”

“Eh iya, Mas.”

“Habisnya kamu pakai baju begitu.”

Wajah Nay kembali memerah bagai kebakaran. Ya Tuhan! Dia baru sadar! Sejak tadi dia ternyata hanya mengenakan tanktop hitam dengan spaghetti strap yang tentu saja mempertontonkan bagian atas tubuhnya, pundak putih halus mulus bak pualam dan belahan dada sentosanya. Apalagi kalau di rumah dia tidak memakai bra. Makin lengkaplah tontonan indah untuk Bram. Buru-buru Nayla menutup bagian dadanya dengan lengan.

“Eh! Maaf! Maaf! Saya tidak...” Nay menurunkan suaranya, takut kalau suaminya mendengar. “Aduh, malu banget! Tuh kan saya teledor lagi. Maaf banget, Pak... saya...”

“Mas.”

“Eh iya, maaf banget. Saya...”

“Buka lengannya. Aku mau lihat seksinya kamu.”

“Pak... Mas... jangan dong... saya kan...”

“Buka lengan kamu, Nay.”

Wajah Nayla memanas. Duh bagaimana ini. Dia melirik ke layar dan melihat wajah serius Bram. Aduh. Aduh. Aduh. Bagaimana ini? Tapi malam itu setan sepertinya meraja di relung batin sang Ibu muda, ia bagaikan disetir menggunakan remote control oleh Bram dari kejauhan.

Nay membuka lengannya, tapi ia memalingkan wajah ke samping. Menutup separuh wajah indahnya dengan rambut.

“Jauhkan kamera ponsel kamu.”

Bersandar ke tembok, Nay menjauhkan ponsel hingga lengannya lurus. Dari posisi ini, Bram bisa melihat jelas dua gundukan montok di dada Nayla naik turun lembut saat istri Arul itu menarik dan melepaskan napas. Suara napas Nay yang berat ibarat imbuhan sentilan nafsu yang makin meningkat.

Tidak ada percakapan untuk beberapa saat lamanya, hanya ada napas yang saling memburu diantara mereka.

“Bu-buka tanktop kamu, Nay.”

Nayla menggelengkan kepala. “Sudah cukup.”

Ia mematikan VC-nya dan Bram.

Jantung Nay berdegup sangat kencang, napasnya tersengal-sengal.

Ya Tuhan. Apa yang sudah ia lakukan?

Ding. Ada satu pesan WhatsApp masuk.

“Terima kasih, Nay. Sungguh kamu sangat indah, sayang. Besok sabtu pagi aku tunggu di Hotel Forigo, nomor kamar akan aku kirimkan besok. Datang kalau kamu benar-benar sayang sama aku.”

Sayang?

Nay menutup layar ponsel tanpa membalas. Dia lalu melirik ke pembaringan tempat Adek sedang tertidur lelap.

Dek, apa yang sudah Mama-mu ini perbuat? Maafkan Mama, Dek. Maafkan Mama.

Nay memeluk buah hatinya dengan erat.

Wajah Bram ia bawa ke alam mimpi.





.::..::..::..::.





BAGIAN 3
METODOLOGI PENELITIAN






Cinta itu misteri bukan? Ada yang hadir untuk sekedar menyapa, ada yang hinggap untuk selamanya. Ada yang datang dan berkesan tapi hanya sesaat, ada yang terikat erat saat dermaga hati tertambat. Apalagi cinta buta, yang silap membuat peran hati terkuat terbeban berat. Cinta itu kejam, karenanya jika terpanah asmara hati akan berasa dirajam. Jatuh cinta itu sakit? Pasti sakit. Tidak ada jatuh yang tidak sakit. Cinta itu perih, kadang manis, kadang hambar, lebih sering pahit. Cinta itu membutakan tapi juga memberi kesan yang dalam, kala hati menjadi pemeran, bisa jadi ia bersuara lantang atau malah dipendam dalam diam.

Bram memandangi gelas kopinya dengan gamang. Sungguh keberadaannya antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Semua karena cinta.

Kejam kan cinta itu?

Bram pernah begitu dalam mencintai – dan akhirnya kehilangan dengan cara yang menyakitkan. Bisakah dibayangkan, pulang ke rumah yang biasanya disambut dengan hangat, kini hanya bertemu ruangan kosong yang sepi dan gelap. Bisakah dibayangkan, panggilan telpon mengingatkan untuk minum obat sudah tak lagi berdering, kini satu-satunya pengingat hanyalah alarm di kala pagi tiba tanpa ucapan good morning.

Bram menyeruput kopinya.

Saat inilah dia akan dihadapkan pada ujian akhir, pada sidang pendadaran. Pada keputusan akankah sang bidadari akan datang untuk mengantarkan selendang, ataukah membiarkan Bram berjalan sendiri kembali ke dalam sepi.

Kopinya enak. Hangat.

Bram sedang duduk di sebuah tempat makan all you can eat yang berada di lantai pertama sebuah hotel. Dia sudah menginap di sini sejak tadi malam, berusaha menyenangkan diri sendiri, memanjakan diri, membuat hati sedikit happy. Boleh kan? Setelah makan pagi dia akan kembali ke atas dan bermalas-malasan tanpa melakukan apa pun.

Setelah menyelesaikan sarapan dan menghabiskan kopi, Bram pun melangkah menuju lift yang ada di dekat lobby. Dia menimang-nimang ulang ponselnya yang sejak tadi malam tidak menunjukkan perubahan. Yang jelas dia sudah mengirimkan kabar pada satu-satunya wanita yang telah mengisi hati. Akankah dia menyambut pagi bersamanya?

Kumenanti seorang kekasih, yang tercantik yang datang di hari ini.

Akankah kamu datang, Nay?

Bram berjalan dengan santai, jika hendak menuju ke lift, maka Bram harus melalui lobby terlebih dahulu.

Di sanalah ia menjumpai sesosok wanita sedang duduk di sofa di lobby hotel, mengenakan kacamata hitam, topi trucker hat yang juga hitam, kaus putih berlogo Nike, dan celana jeans ketat. Ia menenteng satu tas olahraga.

“Nayla?” Bram mengejapkan mata, senyumnya melebar.

Bidadarinya benar-benar datang! benar-benar hadir!

Bram buru-buru membantu Nay membawa tasnya.

“Waktuku tidak banyak.” Ucap Nay ketus, “aku bilang ke suamiku kalau aku datang ke acara olahraga bareng sekaligus rapat reuni. Jadi mungkin aku hanya bisa sampai siang di sini.”

Bram mengangguk, “sampai siang pun sudah cukup.”

Mereka berdua melangkah menuju lift dan menekan tombol ke lantai 5. Sepanjang perjalanan menuju kamar keduanya hanya terdiam. Sibuk dengan pemikiran masing-masing. Jantung mereka sama-sama berdegup kencang. Antara takut, senang, excited, tapi juga ngeri. Inilah untuk pertama kalinya mereka berdua melakukan hal yang di luar batas.

Saat sedang melakukan sesuatu yang salah, seperti ada kamera yang mengintai di setiap sudut.

Kamar 510.

Bram menempelkan kartu dan pintu terbuka. Ia memasukkan kartunya ke slot, dan lampu kamar pun menyala. Ia meletakkan tas Nayla ke dalam lemari dan mempersilahkan si cantik itu masuk ke kamar.

Begitu Nay masuk, Bram menutup pintu.

Nay berdiri terdiam saja. Ia masih ragu-ragu.

Bram datang mendekat. Ia memeluk Nay dan merasakan harum wangi parfum sang kekasih. Sungguh hari ini ia sangat bahagia karena akhirnya mereka berdua bisa bersama.

“Kamu wangi banget, sayang. Kamu cantik luar biasa hari ini.”

Nay mencibir. Ia lalu melepaskan diri dari pelukan Bram, melepas sepatunya, dan duduk di tepian pembaringan sambil menundukkan kepala. “Apa yang aku lakukan.” Bisiknya pada diri sendiri. “Ya Tuhan, kenapa aku ke sini? Apa yang aku lakukan?”

Bram mendekati Nay, ia berlutut di hadapan sang bidadari. “Menyesal datang ke sini?”

Nay mengangguk.

“Tampar aku.”

Nay membuka mata. “Tampar? Maksud Mas?”

“Kamu sekarang benci banget kan sama aku? Tampar saja aku. Pukul aku sampai kamu puas.”

Nay memutar mata ke atas. Tidak, ia tidak bisa melakukan ini. Dia harus pergi. “Hadeh, apaan sih, Mas!? Ini salah, aku tidak seharusnya datang ke sini! Aku harus pergi.”

“Nay...”

Nayla berdiri, memunggungi Bram dan mencoba berjalan menjauh, namun ia tak dapat pergi begitu saja karena tubuhnya ditahan erat bayang-bayang rasa rindunya pada sang pria berbadan kekar. Tiap jejak kaki terasa berat. Hangatnya rasa sayang yang diberikan, bertubi perhatian yang diberikan, indahnya dekapan dalam erat pelukan.

Seketika rajut batin alam bawah sadarnya menjerit menekan.

Nay, ingat Nay... Jangan Nay... jangan...

Suara hatinya mencoba meronta namun ditahan oleh pekatnya nafsu primitif yang mengisi relung terdalam. Dua sisi jiwa berperang. Mana yang akan meraja?

Kenapa kamu harus sedemikian menggoda, Mas? Kenapa kamu membuat hatiku sepedih ini menahan diri untuk tidak menengok ke belakang? Aku harus kembali ke depan, ke keluarga sejatiku. Ke anakku, ke suamiku, ke kehidupan sempurnaku, ke bahagiaku.

“Aku sayang kamu, Nay.”

Nay memejamkan mata. Jangan. Tubuhnya bergetar hebat.

Tapi Nayla berbalik.

Nanar matanya tajam menatap hamparan redup mata Bram, menatap sejuta jurang perbedaan yang tak mungkin disatukan, jurang yang hanya bisa didekatkan dengan ribuan alasan kesalahan. Gigi si cantik itu bergemeretak, jengkel iya, marah iya, gemas iya, rindu iya, ingin iya, tapi kan tidak bisa ya. Langkah-langkah kerdilnya menuju Bram menjadi runtuhnya dinding-dinding ketaatan pada tatanan dunia.

“Aku... benci... kamu...”

“Aku tahu.”

“Aku... benci... banget... sama... kamu...”

“Aku tahu.”

Plaaak!

Nay menampar pipi Bram. “Aku benci sama kamuuuu!”

Plaaaak!

Air mata Nay mulai menetes. “Aku benci sama kamuuuuuu!”

Plaaaaak! Plaaak! Plaaaaak!

Tetesannya mulai deras. “Aku benci!! Aku benci!! Aku benci!!!”

Tubuh Nay gemetar hebat, Bram pun memeluknya erat. Ia tak ingin sekalipun membalas tamparan-tamparan yang pantas ia terima.

“Kenapa... kenapa aku tidak bisa melupakanmu!? Kenapa pikiranku selalu penuh dengan bayang-bayangmu? Kenapa kamu hadir di hidupku?” Nay sesunggukan, “Aku benci kamuuu. Kembalikan hidupku seperti yang dulu! Kembalikaaaaan!!”

Bram memeluk Nay erat, lebih erat dari seharusnya. Membiarkan si cantik itu menuntaskan tangisannya di dada bidang Bram, membiarkannya melepaskan semua penat dan semua perasaan kesal karena keadaaan.

Nay mendongak, Bram menunduk.

Bibir mereka bertemu.

Bertautan dalam kemesraan yang utuh.

Bibir keduanya saling berpagut, mengoles, menimpa, mencium, mengecup, menghisap, melumat. Sekali, dua kali, tiga kali, empat, lima, enam, terus, dan terus, dan terus. Mereka menumpahkan segala-galanya yang tersimpan dalam dada beberapa hari terakhir, semua rasa penasaran, semua ketertarikan, semua yang melibatkan hati, tumpah ruah di pagi yang cerah.

Tangan Bram bergerilya mengusap dan meremas dada di baluk kaus milik Nayla sementara mulutnya memagut bibir sang empunya.

“Mmmmhhh... Masss...” desah Nay protes kecil.

Nay benar-benar tak percaya kalau saat ini ia sedang dipeluk dan dicium oleh laki-laki yang bukan suaminya. Tapi ia tak melakukan satu hal pun untuk menolak, entah kenapa ia juga menginginkan Bram. Pria yang dulu hadir sebagai sosok mengerikan, tapi kini datang sebagai orang yang tiba-tiba sangat ia rindukan.

Tangan Bram meraih ujung bawah kaus Nayla.

“Buka?”

Nay mengangguk.

Jantung keduanya berdebar kencang, mereka saling tatap dengan pandangan yang menyala-nyala dibimbing oleh nafsu sejati seorang manusia. Tangan Bram menarik ke atas kaus yang dikenakan oleh Nay. Si cantik itu sebelumnya sudah melepas ikat rambut dan topi yang ia kenakan. Bram melempar kaus Nay ke samping. Akhirnya si cantik bertubuh indah itu berdiri hanya dengan mengenakan bra di hadapan laki-laki yang bukan suaminya.

“Indah banget.” Bram menggelengkan kepala dan berdecak kagum, “kamu memang sempurna.”

Nay menggeleng. Masih malu.

Bram kembali mengecup bibir Nayla, merasakan nikmatnya hisapan, pagutan, kecupan, dan pertalian lidah yang saling membelit dan melipat. Terasa sekali sentakan demi sentakan elektris kenikmatan mereka rengkuh bersama. Bram membuka bajunya sendiri, lalu celana pendek khaki yang sejak tadi ia kenakan, dan akhirnya celana dalamnya. Ia sudah benar-benar telanjang sekarang – semua ia lakukan sembari mengecup bibir Nayla.

“Eih!”

Saat melepas ciuman, Nay sempat terpekik kaget melihat Bram sudah telanjang bulat di hadapannya. Ia mencoba memalingkan wajah, tapi Bram memeluk dan kembali menciumnya. Pria yang jauh lebih berpengalaman itu kemudian melepas kait tali bra yang dikenakan oleh Nay, membuat buah dada sentosanya kini tak lagi berbungkus.

“Ma... malu...” desah Nayla.

“Kenapa harus malu? Cantik banget. Kencang, bulat kenyal, mirip seperti punya perawan.”

“Mas ih...”

Cengkraman dan remasan tangan Bram tak lagi dapat dihindari, buah dada Nayla menjadi sasaran utama. Dengan nafsu yang kian memuncak dan makin membuncah, payudara Nay pun mengeras dan putingnya menonjol ke luar. Ciuman terus menerus dilakukan oleh Bram seakan tidak ada hari esok, sementara tangannya terus meremas, dan meremas, dan meremas.

“Mmmhhh...” lenguhan Nay awalnya lembut, tapi makin lama makin kencang dan penuh pelampiasan. “Nggghhhh...! Ngghhhhhhhhh...! Nghhhhhhhhhhh!!”

Kepala Bram menunduk semakin ke bawah, kali ini bibirnya tak lagi mengincar bibir Nayla, melainkan puting susu sang dewi jelita. Ia menangkup pentil susu mungil milik istri Arul itu.

“Haaaaaaaaaagkkkhhh! Hssssstttt!” Nayla tak mungkin lagi menahan desahan yang keluar dari bibir mungilnya.

Seluruh tubuh Nayla bergetar hebat dalam sensasi nikmat yang dipancarkan melalui sentuhan lidah pada ujung pentil payudaranya. Ini... ini enak banget... geli, tapi juga enak. Bram yang sudah lama tak merasakan payudara seorang wanita memanfaatkan waktu yang ia miliki, ia mengecup, menjilat, mencium, melumat, menyapu hingga menghisap.

Lidahnya mengular, melintir, mengoles ke semua arah. Setiap apa yang ia lakukan, menyebarkan sentakan elektris ke sekujur badan Nayla. Si cantik itu pun memeluk kepala Bram, menekannya di dada, membantu sang mantan dosen berusia empat puluhan untuk menikmati ranumnya buah dada seorang ibu muda berusia dua puluhan.

Bram tak berhenti, tangannya kembali beraksi. Kali ini ia membuka kancing celana Nay, dan meloloskan jeans itu melalui kakinya yang jenjang. Nay tak berkutik dan hanya mengikuti saja kemana birahinya membawa. Ia bahkan membantu mempermudah Bram dengan melepas celana dalamnya sendiri. Kedua insan itu kini sudah sama-sama telanjang bulat.

Jemari Bram bermain, mengelus paha mulus yang sungguh licin bagai ubin. Lalu ke selangkangan dan mengelus bibir kemaluan sang bidadari. Sudah basah rupanya.

Bram mundur dan tersenyum mengamati keindahan tubuh Nayla. Ia mengambil ponsel dan beberapa kali memotret sang bidadari yang tanpa busana.

“Mas... mas ngapain sih?”

“Mengabadikan keindahan.”

“Buat apa coba? Hapus ah, Mas... aku ga mau...”

“Akan kusimpan.”

“Hapus Mas... please...”

Bram tidak menghapus foto-foto yang baru saja ia ambil. Ia malah berdiri dengan gagah di depan Nayla, mempertontonkan penis yang menegang.

Ada gelombang rasa haus akan birahi yang terus didaki oleh Nay, terlebih setelah ia melihat batang kejantanan sang kekasih yang kekar, besar, dan kencang. Si cantik itu meneguk ludah saat melihat kemaluan Bram. Seumur hidupnya, baru kali ini Nay melihat kemaluan laki-laki selain milik suaminya. Jantungnya semakin berdebar dan tubuhnya bergetar menghangat ketika menyadari barang milik Bram jauh lebih superior.

“Bagaimana?” Bram tersenyum melihat perubahan wajah Nayla.

“Bagaimana... ehem... bagaimana apanya?” suara Nay sedikit tercekat di awal. Malu si cantik itu mengakui kalau ia kagum. Ia mengalihkan pandangan pada ruangan sekitar, tak ingin menatap langsung ke mata Bram atau ke batang kemaluannya.

“Lebih besar?”

“Ish.” Nay mencibir.

Bram mendekati ke arah Nay, lalu menarik tangannya dan meletakkan jari jemari lentik milik Nay untuk menangkup besarnya batang kejantanan sang kekasih.

“Lebih besar atau tidak?” Bram memeluk tubuh indah di depannya dan berbisik di telinga Nayla.

Nay meneguk ludah dan mengangguk. “Lebih...”

Bram tersenyum puas, ia semakin jumawa, tubuh mungil Nayla akan segera menjadi miliknya. Wanita jelita yang juga ibu muda dan istri orang ini akan segera ia jelajahi dan taklukkan. Kenapa kamu harus begitu cantik, Nay? Kenapa harus begini mempesona? Membuat pria normal manapun ingin memilikimu, ingin menjelajah dan berselancar dalam indahnya kenikmatan duniawi bersamamu.

Jari jemari lentik Nayla yang masih memegang batang kejantanan Bram merasakan batang yang keras itu terasa hangat, kencang, dan juga berdenyut. Benda besar inilah... benda besar inilah yang hendak dimasukkan ke dalam liang vaginanya yang mungil?

Pria yang lebih pantas jadi ayah Nay itu mengecup bibir indah sang ibu muda, menguasai wanita cantik itu dalam pelukannya yang meluluhkan. Bibir memagut bibir, menelusur, mematuk, mengecup, mengelus dari sisi kiri ke kanan, dari kanan ke kiri, menghisap, menuntut, membuat lutut Nayla lemas.

Lidah Bram ikut menuntut, menusuk ke dalam, menjilat sudut-sudut dalam rongga mulut sang kekasih. Nayla membalas, lidahnya beradu dengan lidah Bram, bibirnya yang dipagut membalas dengan hisapan penuh nafsu. Nayla sudah bukan lagi Nayla, dia sudah berubah menjadi perwujudan manusia yang dikuasai oleh nafsu alamiah sejati.

Gila, Bram sungguh pintar sekali mencium, membuat jiwa Nay seakan diterbangkan ke angkasa, menyatu dengan awan, mengarungi angin, menikmati biru yang padu padan.

Tak hanya bibir dan lidah, jari jemari Bram juga beraksi, memainkan buah dada Nayla yang sentosa dengan remasan dan elusan, makin membuai sang jelita ke awang-awang. Beginilah kalau nafsu sudah berkuasa atas pikiran manusia, tidak ada kata tidak akan perbuatan yang tercela. Suami dan anak sudah lenyap tak teringat, hanya mengendarai hawa nafsu untuk dipuaskan memuaskan.

Desah bisikan disertai peluh yang mulai menetes menjadi perlambang, bahwa sudah saatnya meningkatkan pemainan dan menaiki jenjang. Bram merebahkan tubuh indah Nay ke ranjang, bersatu dengannya dalam satu pelukan.

“Boleh aku masukkan?” bisik Bram.

Nay mengangguk dalam diam, ia menggigit bibir bawahnya, mengantisipasi kedatangan dengan memejamkan mata. Perlahan-lahan benar, benar-benar perlahan, ia bisa merasakan sedikit demi sedikit ujung gundul kemaluan Bram mulai datang.

Lalu masuk.

Begitu saja.

Vagina yang seharusnya menjadi milik Arul itu kini sudah dimasuki oleh Bram.

Tapi...

Setelah beberapa saat barulah Nay merasakan kalau liang cintanya sepertinya belum mekar terlalu lebar untuk menerima sodokan dari penis Bram yang besar. Perih dan linu terasa,

“Mas... yang lembut. Aku tidak bisa... jangan kencang-kencang...”

“Mmmhh... rapet banget, sayang.”

“Pelan saja ya, Mas. Yang lembut, yang pelan...” Nay mengernyit dan meringis kesakitan, padahal yang masuk baru ujung gundulnya saja. Ketika batang kejantanan Bram mulai mendesak, barulah Nay merasakan perbedaannya. “Tidak bisaaa... tidak muaaaat... jangan dipaksaaaa, Maaas. Jangaaaaan!”

“Tahan sebentar, sayang... pasti bisa... tahan sebentar...”

“Sakit!!! Sakit!!!! Tarik keluaaaaar!! Sakitt!!!!” Nay bergetar hebat, ia mulai menangis. Air matanya meleleh menuruni pipi. “Saaaaakit! Maaaas! Tolooong! Keluaaaarin!”

Karena tak ingin menyakiti Nayla, Bram pun menarik ujung batang kejantanannya keluar, terdengar bunyi plop saat ujung gundul kemaluan Bram lepas dari bibir vagina Nay.

Nay sesunggukan, ia menangis tersedu dan meringkuk di pembaringan. Bram memeluknya, membenamkan kepala si jelita di dada. Ia mengecup kening Nayla.

“Maafkan aku, sayang.”

“A-aku yang seharusnya minta maaf.” Ucap Nayla. “Tidak seharusnya aku panik. Maaf, Mas.”

Bram tersenyum, tangannya menggapai tissue di meja dan mulai membersihkan paha dan selangkangan Nayla. Ibu muda itu menggelinjang geli sambil merenggangkan kaki, membiarkan Bram melakukan apapun yang ingin ia lakukan.

Usai membersihkan, untuk beberapa saat lamanya Bram terdiam dan tidak melakukan apa-apa.

Kok diam saja? Nay melirik ke bawah.

Bram rupanya tengah menatap keindahan yang teronggok di antara selangkangan sang ibu muda, wajah Nayla memerah, si cantik itu segera menutup apa yang dilihat Bram dengan kaki jenjangnya.

“Mmmh. Malu, Mas.” desah manja Nayla.

“Kenapa harus malu? Bibir vagina kamu cantik, sayang.”

Bram tersenyum, ia memegang kedua lutut Nay dan membukanya, merenggangkan kedua paha, membuka pintu menuju jendela bahagia. Sang mantan dosen itu maju sedikit untuk meletakkan penisnya tepat di depan bibir vagina Nayla, membuat cairan pelumas liang cinta sang bidadari makin membanjir. Istri Arul yang jelita itu mungkin sudah tak ingat lagi statusnya sebagai istri ataupun ibu, ia hanya ingin merengkuh kenikmatan dalam labuhan nafsu.

“Aku masukin ya.”

“He’em... tapi pelan ya.”

Bram mengangguk.

Sekali lagi ujung gundul kejantanan Bram mulai menyelinap masuk bak serdadu penyelundup. Perlahan tapi adidaya. Nay kembali mengernyitkan dahi dan mendesis sakit ketika batang kejantanan pria yang pernah menjadi dosen pembimbingnya mulai berkuasa di dalam liang cintanya.

“Nghhhh...” Nayla meringis kesakitan.

“Sakit, sayang?”

“He’em... jangan kasar-kasar.”

“Ini pelan kok.” Bram menusuk dengan gerakan yang lembut, batangnya bagai ditangkup dan dilahap liang cinta yang paling sempit di dunia. Kenikmatannya sungguh luar biasa. Dia sama sekali tidak mengira kalau vagina Nayla ternyata masih serapat ini. Benar-benar dewi idaman yang masih seperti perawan.

“Ehm...” Nay mendesah dengan mata terpejam dan kepala yang dilempar ke kanan dan kiri. Tak kuasa menahan rasa sakit yang nikmat bukan kepalang. “Pelan, Mas... pelan...”

Bram mendorong pantatnya ke depan selembut mungkin, agar tusukannya bisa masuk tanpa menyakiti Nayla. Dengan sepelan mungkin Bram menyodok ke depan, melesak, menguak, membuka jalan, melebarkan saluran. Liang cinta yang sempit dan sesak kini mulai terjejali dengan sempurna.

Nay masih merintih kesakitan. Ada perih di sana, ada ngilu, ada rasa yang tidak pernah hadir, saat ia memadu kasih bersama suaminya.

“Edan, masih rapet banget memek kamu, sayang.”

“He’em...” Nay kembali mendesah lirih. Dia tidak bisa fokus bercakap, dia hanya merasakan ngilu di antara selangkangannya. Ingin disudahi, tapi juga ingin dikuasai. Bagaimana ini?

Bram tahu Nay masih belum merasakan nikmat karena selama ini belum pernah ada batang penis sebesar milik Bram meraja di liang cinta sempitnya, maka ia pun segera berinovasi. Bibirnya bergerilya di sekujur tubuh Nayla. Pundak, leher, pipi, dan bibir menjadi sasaran pagutan berulang. Buah dada dan puting menjadi sasaran remas dan cubitan. Ah, kenapa juga dada Nay sebegini indahnya? Besar, kenyal, dan nikmat banget diremas dan dijadikan mainan.

Kenapa kamu begitu indah dan nikmat, Nay?

Kenapa kamu sesempurna ini?

Jilatan lidah dan letupan ciuman Bram yang menghunjam di sekujur badan membuat Nay akhirnya berkelojotan, tak mampu menguasai diri sendiri, tenggelam dalam badai nafsu birahi. Hingga akhirnya alam bawah sadarnya menyelimuti rasa perih dan ngilu yang sebelumnya memenjarakannya dari kenikmatan. Kini pintu dosa itu sudah terbuka, dan Nay melaju kencang untuk menggapai apa yang sebelumnya dibatasi, ia melonjak mendaki nafsu birahi.

“Enak sayang?” tanya Bram.

“Mmhhhh... mmmhhhh... mmmhhhh...” Nay hanya melenguh tanpa mampu mengutarakan rasa, tapi ia mengangguk untuk mengiyakan.

Batang kejantanan Bram yang keras dan kencang masuk teramat perlahan seiring kerja keras bibirnya yang terus menerus menciumi wajah Nay. Remasan tangan dan cubitan pada pentil payudara sang ibu muda juga membuat Nay kian tak tahan. Bram memang tidak ingin memburu, dia ingin menikmati saat-saat ketika penisnya menguak liang cinta sempit yang mengagumkan ini.

“Hnggkkkkkkkhhhhhhhhh!” Nay melenguh panjang dan mengerutkan kening.

Itulah saat ketika batang kejantanan Bram menyeruak masuk ke dalam hingga ke ujung pangkal liang di mana Arul biasanya terbenam. Tapi Bram bukan Arul. Dia mendesak masuk lagi, menusuk lebih dalam lagi untuk membuat Nayla merasakan apa yang belum pernah ia rasakan sebelum ini – batang kejantanan yang sejati.

Setiap rasa sakit yang dirasakan oleh Nay, dibalas dengan ciuman dan pagutan, remasan dan elusan. Silih berganti menjadikan tubuhnya ibarat taman bermain, di mana jari jemari adalah pengunjung yang menjadi raja dan ratu, berkuasa penuh dan menjadi tamu.

Gairah Nayla menyala dahsyat. Ia kembali mendesah, selangkangannya makin basah. “Maass...”

Dengan penuh kesadaran Nayla membuka lebar-lebar kedua paha, merenggangkan kaki jenjangnya, supaya Bram lebih leluasa melesakkan penisnya. Pria itu tersenyum dan mematuhi undangan Nayla. Ia pun segera menggerakkan tubuhnya, maju dan mundur, keluar dan masuk.

Keluar, masuk, keluar, masuk. Tarik, sodok, tarik, sodok, tarik, sodok. Masuk, keluar, masuk, keluar, masuk, keluar. Maju, mundur, maju, mundur, maju, mundur. Terus, terus, terus.

Mulut Nayla terbuka lebar, desahan, erangan, lenguhan mulai terdengar tanpa kendali. Ia bahkan sesekali berteriak – tapi kali ini dalam kenikmatan, bukan karena sakit yang merajam. Liang cintanya mulai lentur menyesuaikan ukuran dengan batang kejantanan besar milik Bram.

Keringat sebesar jagung menetes membasahi wajah kedua insan yang tengah memadu cinta. Mereka tak lagi ingat siapa-siapa. Pikiran terpusat pada kenikmatan semata. Nayla kini sudah tak lagi dibatasi rasa nyeri, ia ikuti kata birahi. Dipacu semangat tinggi, dengan kenikmatan yang makin mendaki, Bram juga tak lagi membatasi diri. Ia gunakan seluruh energi, untuk memuaskan diri, untuk memanjakan hati, dengan kanvas tubuh Nayla yang bebas ia nikmati.

Bibir mengerang, tubuh menegang, badan berputar ke kiri dan kanan, nafsu meraja, nikmat dirasa. Napas yang berpacu terdengar dari dengusan berulang saat tubuh Bram bergerak tanpa henti, memaksakan diri untuk terus menyodok dan menguasai liang cinta sang dewi. Tangannya bergerak meremas, bibirnya tak henti mengecup, dan batang kejantanannya terus menerus keluar masuk.

Nay melenguh dan mengembik, tak bisa mengatasi sensasi. Dibandingkan sang suami tentu penis Bram lebih panjang dan lebih besar, vaginanya berasa direnggangkan. Dinding-dinding liang cintanya kini terdesak melebar dan rasanya seperti keajaiban. Kedua badan bergoyang, berguncang, dan bergetar, tiap kali pinggul melaju untuk menyodok, menusuk, melesak, dan menyeruak.

Makin lama kesadaran Nay makin lenyap ditelan birahi, ia makin mengikuti gerakan dari sang penguasa liang cintanya saat ini. Saat Bram maju ia terima dengan penuh daya, sedangkan tiap kali Bram mundur ia menghamba.

“Teruuuus...” pinta Nayla, berharap Bram menumbuknya lagi dan lagi dan lagi. “Masukin lagi, teruuus... enaaaakgghh... mmmh... mmmhhh...”

Permintaan Nay ibarat siraman bensin di atas api. Bram menggenjot kian semangat, ia bergerak lebih cepat dan menusuk lebih dalam. Batang kemaluannya benar-benar memekarkan vagina sang dewi jelita yang hanya sanggup mengerang dan melenguh saat gairah dilampiaskan.

Bram menatap sang kekasih dengan penuh rasa sayang, “enak banget memekmu, Nay. Enaaaak bangeeett...”

Nay juga merasakan hal yang sama, rasa nyaman dan nikmat di selangkangan yang diwujudkan oleh persatuan dua alat kelamin yang saling melengkapi dan mengisi, berpadu padan menjadi satu kesatuan. Menangkup dan melesak, memijat dan menusuk, meremas dan mendorong.

“Boleh... hnnghhh... boleh aku keluarin di dalam?” tanya Bram sambil menggoyangkan pantatnya maju mundur dengan kekuatan penuh, ibarat ia menggunakan penisnya untuk menggergaji liang cinta milik Nayla yang tak henti-hentinya mendesah mengendarai birahi yang tak terperi. Si jelita itu hanya sanggup melenguh berulang tanpa bisa ditahan.

Mata Nay masih terpejam, tubuhnya tersentak berulang digoyang sedemikian kencang hingga melayang. Tusukan demi tusukan memasuki tubuh Nay tanpa henti, tanpa ampun, tanpa ragu, semua dilakukan untuk memuaskan diri sampai ke ujung kenikmatan.

Sungguh luar biasa nikmat ini bagi Nay. Sungguh berbeda dengan kenikmatan yang diberikan oleh Arul. Sumpah ia tidak ingin membandingkan, tapi memang amat berbeda. Arul menyetubuhinya dengan lembut dan penuh cinta, Bram menggumulinya dengan tuntutan nafsu yang menggelegak dan menjadikannya wanita. Jantung Nay berdetak kencang, napasnya memburu tidak karuan, nafsunya ibarat kereta yang terus dipacu penuh kecepatan.

“Bo-boleh.”

Entah kenapa Nay mengucapkannya. Dia hanya tidak ingin genjotan ini berakhir, karena ia berasa bagaikan disihir, apalagi saat penis Bram dipuntir, dikeluarkan sedikit dengan melipir, lalu disentakkan begitu kencang menghancurkan daya pikir, hingga akhirnya menghadirkan sentakan ke sekujur tubuh dari hulu sampai ke hilir.

Jemari saling bertautan, saling menggenggam erat. Persatuan dua kelamin yang melekat seakan tak ingin terlepas, penis yang menusuk, dan vagina yang memijit. Cinta tidak hadir di sini, nafsu yang pegang peranan. Gelombang tsunami nafsu hewani yang diikuti, dituruti, dan dijadikan raja sehari. Tak banyak kata terucap, karena bersatunya tubuh menjadi pemuas nikmat.

Nay melenguh dan mendesah lirih, tubuhnya terguncang berulang, tiap kali sodokan kencang datang. Dia ingin dikuasai, ditaklukkan, dijadikan mainan, ditusuk oleh batang kejantanan, dan diberi kenikmatan. Si cantik itu memeluk dan menciumi sekujur tubuh sang kekasih, pundak, leher, pipi, dan tentunya bibir.

Nay tak tahan lagi, nafsunya makin la memuncak, kecepatan Bram juga makin meningkat, napas keduanya memburu seperti ingin segera bersama mencapai tujuan akhir. Genjotan Bram makin menggila. Tiap sentakan seperti lebih kencang dari sebelumnya. Tubuh Nay kelojotan dibuatnya, tak tahan dengan semua kenikmatan yang diberikan.

Sesak, ngilu, sedap, nikmat, semua menyatu bagaikan bumbu-bumbu yang dipadukan untuk menjadi sajian akhir yang akan sangat lezat. Nay memeluk tubuh kekar Bram saat puncak kenikmatan hadir kembali dalam diri, menguasai, menaut, dan bertahta.

“Maaaaaaas, akuuuu ga kuaaaaaat...” kencang Nay menjerit.

Cairan pelumas vagina bercampur dengan cairan cinta yang secara bersamaan membasahi dinding-dinding liang kewanitaan milik Nayla. Rasanya? Sungguh luar biasa. Enak tak terperi, terbang tak terbayang, melayang bagai layang-layang, bersahutan di tepian awan. Badai kenikmatan menggelora membuat tubuh Nayla melejit berulang.

Sementara itu batang kejantanan Bram tak berhenti menusuk, menyodok, dan menguasai liang cinta sang bidadari idaman. Inilah yang ia tunggu, inilah yang ia cari selama ini. mendulang kenikmatan bersama wanita terindah yang pernah ia temui. Apalagi ketika dinding liang kewanitaan Nayla ibarat memijat dan memijit ruas penis sang kekasih, membuat Bram merem melek merasakan memek tersempit yang pernah ia masuki.

“Aaaaaghhhh... aku mau keluar sayaaaaang.” Bram akhirnya melenguh.

Kepala pria itu turun ke bawah, bagai elang yang menyambar, menyusuri leher, dagu dan akhirnya bibir Nayla. Bibir yang seharusnya hanya diijinkan untuk dicium oleh Arul seorang. Mereka saling memagut, saling melilitkan lidah, saling menghisap menikmati aroma buah terlarang hingga ke titik penghabisan.

Sodokan terakhir. Pemuncak. Napas Bram makin tersengal-sengal, ia dan Nayla masih berpagutan dengan kencang, dengan batang kejantanan ia tanam teramat jauh hingga ke ujung dinding terdalam. Tubuhnya menegang, matanya terpejam. Batang kejantanan Bram berdenyut berulang, hingga akhirnya ujung gundulnya menyemburkan cairan cinta hangat yang membasahi dinding-dinding gua cinta sang dewi jelita.

Cairan kepuasan pun membanjir di dalam vagina Nayla.

Keduanya berpelukan dalam pelepasan kepuasan.


no quote
 
Terakhir diubah:
BAB 4
PEMBAHASAN






Sore yang sendu. Matahari masih bersinar namun mulai pendar, rentetan manusia beranjak bagai pawai akbar meninggalkan gedung usai bekerja atau belajar, jalan raya mulai padat oleh mobil dan motor yang berjajar, suara akustik tak nyaman terdengar ketika tepukan tangan dan tutup botol yang mekar berkolaborasi dengan dentingan tiga senar di sudut perempatan oleh para pelantun jalanan yang berbinar. Sementara di angkasa gulungan awan bak kapas dihembuskan sang bayu, bermain berlarian saling mengejar. Warna jingga menyeruak di setiap sudut angkasa ibarat suar, bagai pulasan pastel raksasa tergambar yang berbaur dengan warna biru yang memudar.

Bram menikmati senja, dari sudut selayang pandang.

Hari ini ia bahagia. Ia terus saja bahagia sejak sebulan terakhir. Hubungan Bram dan Nay berjalan dengan lancar meski sembunyi-sembunyi. Entah sudah berapa duit ia habiskan untuk memesan kamar hotel karena dua hingga tiga hari sekali ia mengajak Nayla bersenggama.

Sejak keduanya bercinta di hotel untuk pertama kalinya, hari berlalu dengan cepat menjadi minggu, dan minggu berubah menjadi bulan. Ya, sudah sebulan tepat sejak Bram kembali berjumpa dengan Nayla.

Siapa yang menyangka kalau kini mereka adalah sepasang kekasih?

Bahkan Bram sendiri pun tak pernah mengira kalau suatu hari kelak ia akan menyetubuhi mahasiswi bimbingannya yang paling jelita.

Bram bahagia.

Ia bahagia setelah seharian kemarin merengguk keindahan hari penuh cinta bersama wanita tercantik yang bernama Nayla. Bram bisa melewatkan hari dengan kekasihnya setelah meminta Nayla berbohong kepada sang suami. Arul menyangka Nayla mengikuti reuni dua hari penuh dan harus menginap padahal sebenarnya sang istri malah bergumul dan bercinta seharian dengan laki-laki yang jauh lebih tua.

Jalanan memang macet, tapi tak semacet ruas hati Bram yang sedang riang. Apalagi dengan keberadaan sang kekasih yang duduk di sampingnya. Di tengah kemacetan, Nay sibuk memperhatikan feed instagram dan DM-DM yang masuk. Sekali lagi ada beberapa perusahaan yang menghubunginya untuk endorse produk mereka. Ia kirimkan nama-nama perusahaan yang menurut pengamatannya pantas dibantu pada Bella, sang asisten yang saat ini entah berada di mana.

Tangan Bram nakal mengelus pipi halus mulus Nay yang tanpa cela. Bagaimana mungkin surga kehilangan seorang bidadari tercantiknya? Bagaimana bisa nirwana rela melepaskan makhluk seindah ini untuk berjalan-jalan di dunia?

“Aku sayang banget sama kamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Nay.”

“Aku kan tidak kemana-mana, Mas.” Nayla mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya yang sensual, menambah keinginan Bram untuk mengecup bibir mungil itu. “Kita mau kemana sekarang? Baju ini bagus banget, Mas. Makasih udah dibeliin.”

“Sama-sama, sayang. Kamu pakai apa aja cantik. Tapi pakai baju itu kamu tambah kelihatan mempesona.”

“Gombal.” Nay mencibir. “Ketahuan banget kamu milihin baju yang belahan dadaku jadi kelihatan begini, Mas. Seharusnya kemarin aku milih baju yang lain. Duh.”

Bram tertawa. “Habis nenen kamu nafsuin banget, sayang. Aku pengen lihat kamu pakai baju seksi tapi juga anggun.”

“Huh. Alesan. Eh, kita mau kemana ini? Kok belum dijawab sih.”

“Kita mau ke nikahannya temen aku di kota sebelah.”

“Hahahhhh!? Kan banyak orang, Mas! Nggak ah! Aku nggak mau!”

“Nggak ada yang kenal kamu, Nay. Lingkungan kerjaku dan suamimu kan berbeda. Aku sekarang juga sudah pindah ke kampus lain – jadi tidak akan ada yang mengenali kamu, percaya deh sama aku.”

“Ya tapi ini kota kecil, Mas. Siapa tahu ada yang kenal...”

Bram menarik tangan Nay dan meletakkannya di dada.

“Kamu percaya sama aku, sayang?”

Nay sebenarnya keberatan sekali. Tapi... “Iya, aku percaya.”

“Oke.”

Bram tersenyum dan mengarahkan mobilnya ke arah pesta pernikahan yang dimaksud dengan yakin. Ingin sekali ia memamerkan Nay pada teman-teman sejawatnya. Ingin ia memamerkan makhluk indahnya pada siapapun.





.::..::..::..::.





Saat pasangan Bram dan Nayla memasuki ruangan pesta, semua mata melotot hendak copot melihat keindahan tubuh pasangan Bram. Memang dress yang dikenakan Nayla lumayan memamerkan tubuh, ketat memperjelas lekukan dan belahan dada. Tapi ada juga bagian-bagian yang tidak pas, misalnya longgar di sini dan di sana. Wajar saja karena pakaian ini beli jadi, bukan pakaian yang dijahitkan terlebih dulu. Dasar tubuh Nay memang apik, jadi pas-pas saja pakai bajunya. Dia juga jadi terlihat sangat cantik, meski tak menggunakan makeup berlebih.

Bram dan Nayla mengikuti jalur dengan saling bergandengan tangan, lalu salaman dengan mempelai berdua, mengucapkan selamat, dan menikmati hidangan. Mereka berdiri di pojok ruangan, mencoba menghindari tatapan para pengunjung pesta. Keduanya diam seribu bahasa untuk beberapa saat lamanya – antara kikuk dan takut berjumpa seseorang.

Musik yang berdentum dimainkan oleh band lokal memainkan musik rancak. Mengagetkan kedua insan yang tengah dimabuk asmara karena berdiri di samping salon raksasa. Mereka berpindah ke sudut lain.

Nay memunggungi Bram. “Aku suka lagu ini.”

Bram melilitkan tangan di pinggang sang ibu muda yang jelita, memeluknya dari belakang. “Aku suka apapun yang kamu suka.”

“Ish, apaan sih.”

Bram tertawa.

“Mas, ini di tempat umum lho. Ini pesta nikah orang lho, kok meluk aku begini? ” Nay mencoba mengingatkan. “Kalau ada yang lihat gimana?”

“Biarin saja, aku ingin melakukan ini sejak lama. Aku ingin seluruh dunia tahu aku mencintaimu.”

Nay tersenyum kecut, ada perasaan nyaman, bahagia, tapi juga tegang yang susul menyusul membuat degup jantungnya ibarat dipacu dalam sirkuit F1. Ingin Nay membalikkan badan dan mencium habis-habisan Bram, lalu mendorongnya ke dipan dan melucuti pakaiannya.

“Ih, Mas. Kamu ternyata nakal banget ya.” Desis Nayla pura-pura merajuk. “Dulu aja aku ditolak-tolak skripsinya.”

Bram hanya tertawa ringan, mereka begitu dekat saat ini. Saling menggesek, saling mendamba. Sama-sama ingin membuka baju masing-masing dan menikmati gelora cinta, menyeberangi samudra asmara dalam sampan birahi yang melenakan. Batang kejantanan Bram menempel di selipan pantat Nayla. membuat napas keduanya makin berat.

“Kamu harum banget. Aku suka harum kamu, sayang.”

Nay tenggelam dalam pelukan Bram. “Boong.”

“Aku sayang kamu, Nay.”

Nay terdiam.

“Aku sayang kamu, Nay.” Bram mengulang.

Nay masih terdiam.

“Kok tidak dijawab?”

“Aku harus jawab apa?”

“Kamu sayang sama aku tidak?”

“Aku sayang suamiku.”

“Kalau aku? Aku apamu dong? Padahal kita kemarin sudah bercinta semalam suntuk, tapi sampai sekarang ternyata aku bukan siapa-siapa kamu.” Tangan nakal Bram menyelinap ke bagian belakang tubuh Nayla, lalu meremas-remas pantatnya. Pria itu pun berbisik di telinga Nay, “aku ingin menyelipkan penisku di sini lagi.”

Nay tersentak dan mengeluarkan decitan kecil, beberapa mata sempat menengok, tapi lantas berpaling kembali.

“Mas ih! Nakal banget sih tangannya.”

“Habisnya kamu ga jawab.”

“Jawab apa sih?”

“Kamu sayang sama aku nggak?”

“Aku nggak tau, Mas.”

Bram menarik tangan Nay dan menggesekkannya di selangkangan. “Kamu lupa rasanya dipuaskan sama yang ini, Nay?”

Gila! Nekat banget sih orang ini?!

Tapi ada rasa hangat birahi yang menyeruak dalam sanubari. Napas Nay memburu, ia meneguk ludah saat merasakan batang kejantanan Bram menegang dan kencang. Jika ada orang yang melihat ulah kedua orang ini, pasti mereka geleng-geleng kepala karena Bram dan Nay melakukannya di depan banyak orang, meski di sebuah sudut yang kerucut.

Nayla menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan nafsunya, tapi selalu saja gagal. Ia benar-benar dikuasai oleh birahi yang makin lama makin tak terkendali. “Mas... a-aku...”

“Kamu mau?”

“He’em...”

“Mau apa?”

“A-aku mau inimu...”

“Ini apaan?”

“Ini...” Nay merajuk, tapi Bram hanya tersenyum.

“Sebutkan dengan jelas supaya aku paham.”

“Ihh... Mas ih! Nakal!” Nay cemberut. Tapi lambat laun ia pun tunduk pada kemauan Bram yang absurd. “Aku mau... penis Mas Bram...”

“Diapain penisku?”

“Dimasukin...”

“Kemana...?”

“Ke... mmhh... ke vagina aku...”

Bram terkekeh. “Ya sudah, setelah ini selesai, kita masuk ke hotel lagi ya. Pilih saja hotel yang kamu mau. Aku juga sudah ga sabar pengen masukin punyaku lagi ke memek kamu, sayang.”

“Mas, ih.”

Ada perasaan tegang yang tiba-tiba melanda Nayla. Kenapa ya?

“Nay, aku ngobrol sama temen-temenku bentar, ga lama. Terus pamitan, setelah itu kita pulang. Oke, sayang?”

“Iya, Mas.”

Nay berdiri di pojok ruangan sambil minum segelas soda sementara Pak Bram menemui beberapa orang kawannya. Nayla mengamati satu demi satu orang yang hadir ke pesta pernikahan tersebut, dia merasa asing karena benar-benar tidak tahu wajah demi wajah yang lalu lalang. Bagaikan sedang berada di tempat yang salah karena ia tidak mengenal siapapun. Tapi bukankah itu yang dia inginkan? Tidak diketahui oleh siapapun ia berada di...

Mata Nayla terbelalak.

Eh, bukankah itu Pak Yanuar? Yang di sana itu... Pak Hardi? Lalu itu Mas Agus.

Nay meneguk ludah, keringat dinginnya mengalir, jantungnya makin berdebar. Kenapa... orang-orang dari kantor lama Mas Arul ada di sini?

Gawat.

Dengan langkah perlahan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Nayla mundur ke sudut yang lebih tak nampak, pandangannya berputar mengitari sudut demi sudut ruangan. Manakah tempat yang bisa ia gunakan untuk bersembunyi sementara waktu? Duh, kenapa juga dia menuruti permintaan Mas Bram untuk datang ke pesta ini sih? Apalagi tadi dia bermesraan begitu sama Mas Bram.

Gawat.

Dengan menekan detak jantung yang makin menggila, Nayla mencoba mencari lokasi sembunyi baru. Ia beringsut dari satu tempat ke tempat lain. Mencoba menghindari wajah-wajah yang ia kenali. Kekhawatirannya mulai memuncak saat ia juga tak bisa menemukan Mas Bram. Duh gimana ini.

Sampai suatu ketika ia mendekati toilet.

“Nayla.” suara seorang wanita terdengar memanggil namanya.

Tersentak kaget ada yang mengenali, Nay buru-buru masuk ke toilet.

Wanita itu justru mengikutinya.





.::..::..::..::.





Bram tertawa renyah. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, akhirnya ia bisa menikmati bersenda gurau dengan teman-teman sejawatnya.

Elok, Bram. Elok.”

Elok gimana, Pak Jim?”

Elok tenan. Sampeyan ini bener-bener duren super. Duda keren suka perawan.”

Bram hanya tersenyum sipu sementara Pak Ramidi, Pak Lee, dan Pak Maulana tertawa mendengar kelakar dari Pak Jimmy. Mereka bahkan tidak tahu kalau Nayla bukanlah perawan, tapi istri orang dengan satu anak.

“Memang paten Pak Bram ini. Bertahun-tahun ga kencan, sekalinya dapet cewek, kelasnya bangkok.” Ucap Pak Ramidi menyambung dengan kelakar bapak-bapak.

“Dulu kita sering bully gara-gara dia tidak mau kencan, eh sekarang sepertinya justru kita-kita ini yang harus belajar banyak dari Pak Bram.” Sambung Pak Maul. “Ceweknya bener-bener mantap jiwa. Cantiknya selangit, body gitar spanyol, wajahnya teduh dan alim. Wes pokoknya wife material banget. Tak restui sampeyan langgeng, Pak Bram.”

Bram hanya tertawa kembali.





.::..::..::..::.





“Apa yang kamu lakukan, Nay?”

Bulat mata indah Nayla mengembang sempurna. “Ka-Kak Nisa!?”

What in the world are you thinking? Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?” suara Nisa biasanya lembut dan baik, tapi kali ini ia terdengar tegas dan marah. “Apa kamu sudah gila?”

“Ka-Kak Nisa...” gemetar Nayla menghadapi sang sahabat, seluruh tubuhnya merinding. Saat itulah ia baru menyadari tingkat keseriusan kesalahan yang telah ia perbuat. Ya Tuhan, apa yang selama ini sudah ia lakukan? Nayla bagaikan disadarkan dari hipnotis hebat gelora nafsu yang menjebaknya dalam dua kehidupan. “Kok Kak Nisa ada di sini?”

“Mas Haris teman pengantin wanita. Dengar ya Nay... aku tidak tahu drama macam apa yang sedang kamu jalani dengan Pak Bram, tapi kamu hanya akan menghancurkan semuanya dengan berduaan dengannya begini! Aku sudah mengamati kalian sejak kamu berdua masuk! Kamu pikir di sini tidak ada orang yang mengenalmu? Tidak mengenal Mas Arul? Ya ampuuuun, Nay.” Nisa mencoba menjejalkan kenyataan pahit pada Nayla. “Banyak orang di sini yang kenal sama kamu, sama suamimu, Nay! Bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka sampai melaporkan kemesraanmu dengan Pak Bram yang vulgar seperti tadi pada Mas Arul!! Tinggal tunggu waktu saja bom atomnya meledak!!”

“Ka-Kak Nisa... a-aku...”

“Duh Nay... Nay... kok nekat banget sih kamu.”

Air mata Nayla berlinang.

“Selingkuh itu satu hal. Mengumbar perselingkuhan itu hal yang lain. Gegabah banget kamu, Nay. Aku tahu kamu teledor – tapi tidak mengira akan separah ini.” Nisa menggandeng Nayla ke sudut yang gelap. “Sekarang dengarkan kata-kataku kalau kamu mau selamat. Pergi dari tempat ini denganku sekarang – sebelum ada orang yang benar-benar mengenalimu, jangan dekati lagi Pak Bram di pesta ini. Lupakan dia.”

“Ta-tapi aku tadi berangkat... dengan dia... maksudku...”

“Nay...”

“Kak...”

“Kamu ingat sama Adek tidak? Sama anakmu? Menurutmu apa yang akan dia pikirkan kalau melihat Mama-nya berada di sebuah tempat terbuka, berduaan dan bermesraan dengan laki-laki yang bukan Papa-nya?”

Nay sesunggukan. “Ya Tuhan...”

“Sekarang kamu ikut sama aku.”

Nay mengangguk.

Nisa mengajak Nayla pergi ke tempat parkir, keduanya menghubungi pasangan masing-masing. Nisa meminta Haris mengantarkan kunci mobil, dan Nay berpamitan untuk pulang terlebih dahulu pada Bram.

Bram tentu saja kebingungan saat menerima WhatsApp mendadak dari Nay, tapi saat ia sampai di tempat parkir, Nay sudah tak lagi ada di sana.





.::..::..::..::.





Kini ku mengungkap tanya, siapakah dirinya.
Yang mengaku kekasihmu itu.
Aku tak bisa memahami.
Ketika malam tiba, kurela kau berada.
Dengan siapa kau melewatinya.
Aku tak bisa memahami.




Alunan lagu jadul diputar di mobil yang dikendarai Nisa. Haris suami Nisa memang hobi banget dengerin lagu-lagu jadul, jadi pantas saja koleksi lagunya kebanyakan lagu-lagu lama. Lagu yang bahkan sudah muncul ketika mereka semua belum lahir – atau bahkan sebelum orang tua mereka pun belum lahir.

“Kenapa?”

Suara Nisa yang serak-serak basah menjadi pembuka percakapan setelah beberapa saat Nisa dan Nayla terdiam dalam perjalanan pulang. Macet panjang masih terbayang di depan. Perjalanan ini pasti akan memakan waktu.

Nay terdiam seribu bahasa, wajahnya pucat pasi.

“Aku tidak akan menceritakan tentang hal ini pada siapapun, Nay. Aku tidak akan menyebarkan info atau apalah. Jika kemudian ada berita-berita tentangmu, itu bukan dari aku.”

Nay menarik napas lega.

“Tapi aku juga tidak akan berbohong jika ada yang menanyakan – termasuk jika yang bertanya itu Mas Arul.”

Nay meneguk ludah.

“Aku tidak akan menyembunyikan apapun, karena aku tidak nyaman berbohong kepada siapapun. Untuk saat ini rahasiamu masih aman, karena aku bukan ember bocor. Tapi aku tidak menjamin hal yang sama akan terjadi jika ada orang yang mengenalimu tadi.”

Nay menunduk. “Iya, Kak.”

“Apa sih yang kamu pikirin, Nay?”

Nayla terdiam. Bukan karena memilah rasa bersalah, tapi ia sungguh tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Sampai akhirnya ia menjawab dengan apa yang ia rasakan.

“Semua terjadi begitu saja, Kak. Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja aku penasaran, tertarik, lalu terpesona.”

“Terjadi begitu... Ya Tuhan, Nay. Itu Pak Bram, Nay! Pak Bram!”

“Aku tahu, Kak.” Nayla menyodorkan kepalanya ke dashboard mobil. Mengetukkan dahinya berulang. “Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu.”

“Sekarang kita pulang. Kamu pulang, mandi air dingin, dan keramas sampai sebersih mungkin. Guyur kepalamu dengan air sampai benar-benar bersih. Sampai kamu benar-benar bisa menggunakan akal sehatmu kembali.”

“Iya, Kak.”

Nay menunduk, ia mengulang kembali kata-katanya, “Iya, Kak...”

Tetesan air mata Nay mulai tak bisa dibendung.

“Apa yang sudah aku lakukan, Kak?”

Ia menangis sejadi-jadinya.





.::..::..::..::.





“Mas?” Lirih suara Nay saat masuk ke kamar.

Ia sudah selesai mandi, keramas, dan banyak-banyak mengguyur kepala. Ia juga sudah menengok ke kamar Adek, Bibi ternyata ada di sana. Nayla berjingkat supaya tidak membangunkan keduanya, ia masuk ke kamar hanya untuk mengecup pipi sang buah hati. Setelahnya, barulah Nay kembali ke kamar tidur utama.

Arul ternyata sudah terlelap di atas pembaringan, jadi malam ini dia tidak lembur. Apakah proyeknya sudah selesai?

Nay menyelinap ke balik selimut di samping sang suami.

“Hmm... sudah pulang dari reuni? Pulang sama siapa?” ternyata Arul masih bangun.

Arul tidak membuka mata, ia hanya tahu dan hapal kemana tangannya harus diletakkan saat tubuh indah Nayla ada disebelahnya. Ia tahu bagaimana ia nyaman memeluk bidadari pengisi jiwanya. Nay juga sudah begitu hapal dengan hangatnya pelukan sang suami.

Tapi malam ini berbeda.

Malam ini pelukan Arul serasa lebih berarti, lebih hangat.

Nay berbisik pelan sembari manja masuk ke dalam pelukan suaminya. “Pulang sama Kak Nisa.”

“Hmm... Kak Nisa memang baik.”

“Iya.”

Bayang air mata muncul di pelupuk mata Nay. Seandainya tadi tidak ada Kak Nisa, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ia akan bisa mempertahankan pernikahannya atau tidak, tidak ada yang tahu. Entah siapa yang sudah melihatnya tadi – entah apa yang akan terjadi jika ada yang melihat dan menemui Mas Arul.

Kenapa dia bisa sebodoh ini?

Bayang galau dalam benak Nay terpotong oleh ucapan Arul kemudian.

“Aku sudah beliin tiket untuk liburan kita bulan depan di Korea, sudah plus hotel untuk seminggu. Di sana tidak akan ada lagi yang ganggu kita. Aku mau matiin ponsel sesampai di sana.” Bisik Arul di telinga Nayla. “Aku juga sudah kirim double uang bulanan untuk Bapak dan Ibu, mumpung ada rejeki. Ibu tadi nanya kok kamu sekarang jarang telepon beliau. Besok telepon yah, Ibu kangen banget sama putri kesayangannya.”

Air mata Nay menetes di pipi.

“Iya, Mas. Besok aku telpon Ibu.” Nay memeluk suaminya semakin erat. “Maafkan aku ya, Mas.”

“Hmm. Maaf kenapa?”

Nay terdiam, tapi kemudian dia menjawab lirih. “Tidak apa-apa, peluk aku saja.”

Keduanya lelap dalam peluk hangat malam itu.





.::..::..::..::.





BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN






“Keputusan ada di tanganmu, Nay.” Ucap Nisa sambil mengelus punggung tangan Nayla. Akhirnya kedua sahabat ini bertemu kembali setelah beberapa hari yang lalu keduanya pulang bersama dari pesta pernikahan yang membuat Nayla tersadar.

Mereka berdua duduk saling berhadapan di teras kedai roti milik Nisa – Rumah Kue. Selain menyediakan roti dan snack, kedai roti Nisa ini juga memiliki patio atau teras dengan tempat duduk dan meja seandainya pengunjung ingin beristirahat dan menikmati kopi atau teh. Di meja tempat keduanya berada sudah disajikan beberapa potong mini donuts dan teh jasmine hangat.

Nayla menggeleng kepalanya dengan bingung. Pusing sekali rasanya. “Aku bingung, Kak.”

“Pertimbangkan masak-masak apa yang ingin kamu lakukan. Apakah akan bertahan dengan Mas Arul, ataukah membuang semuanya yang selama ini sudah kamu jalankan demi menjalani hidup yang baru dengan Pak Bram. Pikirkan bagaimana kamu ingin menjalani bahagiamu, tapi jangan lupakan bahagia Adek – karena kamu itu seorang ibu. Kamu punya tanggung jawab, jadikan itu pertimbanganmu.”

Nayla menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Kalimat demi kalimat lembut yang disampaikan Nisa membuat si jelita ibarat ditumpahi semangkok bakso panas. Enak tapi menyengat.

“Maafkan aku, Kak. Aku memang bersalah. Ini semua salahku. Aku yang menyebabkan ini semua terjadi, aku yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku yang mengijinkan dia menyentuhku... memang akulah yang seharusnya dihukum.” Si cantik itu terisak. “Aku ibu yang buruk, aku istri yang payah. Aku... maafkan aku, Kak.”

“Lho, kok maafnya sama aku?” Nisa tersenyum, dia menggeser kursinya supaya bisa duduk di samping sang sahabat dan merangkul Nayla. Dengan sabar Nisa membiarkan wanita yang sedang kebingungan itu sesunggukan dalam pelukannya.

“Kakak yang telah mengingatkan aku... maksudku Kakak yang telah... maksudku aku ingin Kakak yang... duh, aku bingung, Kak. Aku harus bagaimana, Kak? Apa yang harus aku lakukan?”

Haeh.” Nisa merapikan baju Nayla yang berantakan, “Aku memergokimu melakukan hal yang kamu sembunyikan dari orang lain. Aku kaget, Nay. Tak menyangka kamu akan seperti itu. Jujur, apa yang kamu lakukan itu menurut aku salah, tidak akan ada pembenaran apapun di sana. Tapi itu menurut aku – aku tidak tahu bagaimana kamu akan mendapatkan bahagiamu. Aku tidak akan melakukan apapun di luar kemauanmu, Nay. Kamu sahabatku, aku sayang kamu, jadi aku kembalikan keputusannya padamu. Yang jelas aku tidak ingin kamu menyia-nyiakan hidup. Kamu sendirilah yang harus memutuskan.”

“Kak...” Nay menatap Nisa. Bulat mata indahnya berkaca-kaca. “Aku tidak bisa hidup begini terus. Aku tidak bisa menjalani hidup dalam kebohongan dan ketidakjujuran. Tapi aku bingung... aku takut...”

“Kamu sudah gede, Nay. Kamu sudah jadi ibu, anakmu butuh kamu. Jika selama ini kamu berpikir menggunakan egomu, maka coba pertimbangkan masa depan Adek.”

“Iya, Kak...”

“Kamu tentunya sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”

“Iya, Kak...” Nayla memandang tembok dalam diam, seakan-akan tembok tak bersalah itu yang menyediakan semua jawaban akan keluh kesah dan beban yang ia sandang. Seakan-akan setelah ia pelototin tembok, akan keluar semua solusi. Ia kemudian menunduk sembari memainkan ujung lengan panjang pakaiannya. “Kok bisa ya, Kak.”

“Bisa gimana?”

“Kok bisa kita menyukai dua orang yang berbeda pada saat yang bersamaan.”

“Menyukai, mengagumi, atau mencintai?” Nisa tersenyum lembut.

“Eh... ehmm....” wajah Nay memerah. Ada keraguan dalam memberikan jawaban. Tapi kali ini dia berhadapan dengan Nisa, yang selalu memberikannya masukan berharga. Kenapa harus ditutupi jika ingin mendapatkan jawaban yang pasti? “Ehmm... mencintai.”

“Serius? Kamu cinta sama Pak Bram?”

Nay memiringkan kepalanya seperti menyesal, ia juga memejamkan mata, tapi kemudian membukanya dengan tegas. “Iya, Kak.”

“Hmm...” Nisa menyilangkan tangan di depan dadanya. Ibu muda mungil itu menatap tajam mata Nay, lalu tersenyum. “Tidak bisa dipungkiri sih, mencintai dua hati pada saat yang bersamaan itu bisa saja terjadi. Perasaan itu tidak bisa dihindari juga karena memang seperti itulah kerja hati – jangan salahkan hatimu. Yang bisa disalahkan adalah bagaimana kamu kemudian menyikapi hatimu itu.”

“Bingung, Kak.”

“Kamu tidak perlu khawatir dengan kinerja hati. Kalaupun ada dua pilihan, itu wajar terjadi. Itu alami, tak bisa kita mengatur bagaimana, apa, kapan, dan bila nanti. Tapi jangan lari dan jangan pergi, hadapi. Meski berat menyikapi tapi kita hanya bisa memilih satu hati. Memang selalu ada yang tersakiti, tapi pasti kamu akan lebih mudah menempatkan diri, untuk dia yang benar-benar kamu cintai.”

“Kak...”

Nay memeluk kepalanya sendiri. Ditenggelamkan dalam hangatnya tautan dua lengan yang membentuk benteng pelindung dari perasaan yang overwhelming.

Nisa memeluk sang sahabat dengan erat.

Nay memejamkan mata.

Kepalanya pusing sekali.

Badannya terasa tidak nyaman.





.::..::..::..::.





Nay memejamkan mata dan mengatur napas. Dia harus bisa. Dia harus kuat. Dia harus bisa menghadapi Mas Bram dengan benar-benar waras, dengan logika berjalan – bukan dengan emosi, bukan dengan ego, dan jelas bukan dengan nafsu. Nay tahu Mas Bram sudah pasti akan protes habis-habisan. Sudah pasti. Sudah bisa ditebak. Sudah bisa dibayangkan. Sudah bisa diperkirakan. Sudah bisa diprediksi.

Tapi harus bisa. Harus.

Meski rasa-rasanya Nay tidak akan pernah bisa benar-benar siap.

Suasana cafe The Donut Pub sepi hari itu. selain Nay dan Bram, hanya ada sepasang pengunjung lain yang juga sedang bercakap-cakap tapi posisinya jauh dari mereka. Seorang pemuda berkemeja putih yang mengenakan celemek hitam berjalan dengan sangat hati-hati untuk mengantarkan pesanan Nay dan Bram. Gerakannya masih kaku, jalannya masih awkward, dan senyumnya agak dipaksakan. Mungkin karyawan baru, sebagai pelanggan baru kali ini Nay melihat pemuda ini di sini. Ada tag name bertuliskan nama Jalak Harnanto pada pin yang dikenakan di dada sang waiter.

“Ini pesanannya, Kak.” Ucap sang karyawan baru. Ia meletakkan satu demi satu makanan dan minuman yang dipesan oleh Bram dan Nay. “Satu cappucino, satu hot choco, satu kreme puffs, dan satu croissant donuts.”

“Makasih, Mas.” Ucap Nay lembut.

“Sudah lengkap semua ya?”

“Sudah. Terima kasih.”

“Terima kasih kembali, Kak. Selamat menikmati.”

Nay dan Bram tersenyum, sementara sang waiter anyaran dengan kikuk kembali ke belakang bar untuk mengelap gelas-gelas. Nay sempat melirik dan melihat waiter anyaran itu mendapatkan masukan dan review dari rekan seniornya mengenai cara mengantarkan makanan barusan.

Bagi Nay dan Bram sendiri tidak ada percakapan tercipta untuk beberapa saat lamanya, dua insan yang saling berhadapan itu terdiam seribu bahasa. Bibir mereka terkatup rapat, masing-masing menyimpan perasaan yang dipendam teramat dalam, ingin dilepaskan, tapi takut diutarakan. Ada yang ditahan karena menghargai perasaan.

“Mulai hari ini, kita sudahi semuanya.” ucap Nay lirih. Membuka percakapan. “Kita akan kembali sebagai sepasang orang yang tak saling kenal dan tak akan saling sapa. Cerita kita berakhir sampai di sini, tidak bisa dilanjutkan.”

Bram paham – dia sudah menduga kalau kisah mereka pada akhirnya akan sampai pada titik di mana Nay akan memutuskan memilih siapa di antara dirinya dan Arul. Tapi dia tetap tak ingin begitu saja rampung.

“Kenapa tidak bisa, Nay? Kenapa tidak dicoba dulu? Aku tidak akan pernah bisa berpaling ke yang lain. Kamu benar-benar yang paling cocok untukku, kamu detak jantungku, denyut nadiku, wajah yang kucari di pagiku, nama yang selalu aku ucap di doaku, wanita yang paling pas buat aku, mungkin kamulah tulang rusukku. Kenapa tidak bisa? Kenapa kamu bilang ini semua percuma?”

Nay menyentuh jemari Bram dengan lembut, tapi kemudian melepaskannya buru-buru. Seakan menyadari ia baru saja melakukan sesuatu secara reflek. Si cantik itu menatap dengan berlinang sang pria bertubuh kekar yang sebulan ini mengisi hari-harinya.

“Mas Bram akan mendapatkan pengganti Mbak Ayu. Mas Bram akan mendapatkan orang yang akan meneruskan amanat untuk menjaga dan menyayangi Mas karena Mas memang pantas. Mas Bram kan masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk berkenalan dengan wanita lain. Wanita yang akan merawat Mas Bram sebaik Mbak Ayu, setulus Mbak Ayu, dan setelaten Mbak Ayu... yang jelas...”

“Aku hanya ingin kamu, Nay.” Potong Bram.

“...yang jelas wanita itu bukan aku.” Lanjut Nay tanpa menghiraukan selingan dari Bram.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Karena aku sudah jadi milik orang lain, Mas. Aku milik suamiku, aku milik anakku. Aku milik mereka, untuk selamanya. Aku tidak bisa menjadi milik siapa-siapa lagi sekarang. Bodohnya aku baru menyadari itu sekarang.”

“Tapi kita kan sudah... maksudku kita bahkan akan...” Bram menghela napas panjang, ia menyadari seberapa jauh Nayla ingin mengakhiri hubungan mereka. “jadi dengan mudahnya kamu akan menafikan hubungan yang telah kita jalani selama ini?”

“Apa yang kita lakukan adalah kesalahan yang harus kita edit, kita lalui, kita lewati, dan pada akhirnya berusaha kita lupakan. Bahkan berjalan bersama pun kita adalah kesalahan yang tak termaafkan. Kesalahan ya diperbaiki, tidak dilanjutkan. Kita akan kembali menjadi kita sebelum ada kita.”

“Kita sebelum ada kita.” Bram menatap wajah wanita yang begitu ia sayangi, kepala Nay menunduk, tak perlu jadi seorang ahli untuk tahu si jelita itu sedang berusaha untuk tidak menangis. Bram ingin memeluk dan menenangkannya, tapi ia tahu kalau itu pasti akan ditolak oleh Nayla.

“Semua sudah usai, semua cerita kita kalaupun ada sudah selesai. Kita memulai hubungan dengan kesalahan. Keberadaan kita di sini sekarang, duduk berdua, bercakap-cakap seperti ini? Ini kesalahan. Kita seharusnya tidak mencoba melakukan apapun yang keluar dari jalur – kita sudah telanjur ngawur. Padahal apa yang kita lakukan hanyalah hal yang percuma hanya gara-gara tergoda. Aku tidak akan pernah meninggalkan suami dan anakku – dan kamu, Mas... Kamu berhak mendapatkan bintang yang lebih bersinar.” Nay tak mampu menahan derai air mata turun dan mengisi bait demi bait kata-kata yang terucap dari mulut mungilnya. “Aku menyayangimu. Sungguh aku menyayangimu, tapi kita hanya akan menyakiti dan menimpakan kesalahan saat semua terungkap di ujung perjalanan. Aku tidak ingin berbohong lagi pada suamiku, tidak ingin lagi...”

Bram tertegun saat menyadari kalimat terakhir Nayla, “Ka-kamu mau menceritakan semua kisah kita pada suamimu?”

“Aku belum tahu. Kalaupun ya, itu sudah bukan urusanmu.”

“Belum tahu gimana, sih?! Mikir Nay! Kenapa harus kamu ceritain? Kamu bisa dihajar! Bisa dicerai! Bisa dibunuh! Gila kamu! Aku tidak akan bisa melindungimu kalau...”

“Aku tidak memerlukan perlindunganmu. Apapun yang akan dilakukan suamiku, itu konsekuensi yang harus aku tanggung karena telah mengkhianati kesetiaan yang sudah aku janjikan. Itu konsekuensi karena aku mengingkari ikrar sehidup semati. Itu hak dia untuk melakukannya.” Nada suara Nayla seperti tercekat, “tolong pahami aku. Bantu aku untuk melakukan hal yang benar sekali ini saja dengan tidak mencoba menghalangiku. Kalau memang dia kalap, biar aku terima. Kalau aku mati, mungkin sudah garisnya.”

“Ngawur omonganmu! Jangan gila...! Kamu bunuh diri namanya! Kalaupun kamu suruh aku pergi, ya sudah lupakan semua! Tapi kamu kan bisa memendam rahasia ini tanpa ketahuan siapapun! Bahkan sampai akhir hayat! Kenapa kamu tidak mengubur saja semua cerita kita diam-diam? Tidak perlu mengakui kesalahan kita berdua. Tidak perlu mengatakan apapun jika tidak ditanyakan tentang apapun! Apalagi kamu sudah... maksudku... bagaimana dengan...”

“Mas.” Nay menggelengkan kepala. “Mas Bram dengerin aku ga sih?”

Bram terhenyak sesaat, tapi ia lantas terdiam sembari mengatur emosinya.

Ketika Bram mulai tenang, Nay baru melanjutkan. “Mas, aku bukan orang bodoh. Ya, aku sedang mencoba berjalan masuk ke kandang singa – tapi aku sendiri yang mengubah suami yang amat penyayang menjadi seekor singa itu. Ya, aku memang akan mengambil resiko terburuk dalam hidup – tapi itu juga karena aku sendiri yang membuat hidup nyamanku menjadi tidak aman. Tapi aku telah melakukan hal yang nista dan tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang menyimpan rahasia. Aku tidak akan menumpuk satu kesalahan yang telah aku lakukan dengan melakukan kesalahan yang lain. Aku harus melakukan apa yang menjadi takdir dan jalanku dengan segala resiko yang ada. Biar saja. Yang terjadi padaku terjadilah, yang akan terjadi biarlah. Aku harus siap menghadapi semuanya. Berani menjalankan, berani menghadapi hukuman.”

Bram menunduk, helaan napasnya berat sekali.

Gila kamu, Nay.

Bram menghela napas panjang, tidak ada gunanya membujuk Nay karena ia tahu si cantik itu sudah memutuskan. “Jadi... kita udah?”

“Ya. Tak ada lagi kita.”

“Lalu bagaimana dengan...” telunjuk Bram mengayun pada dirinya dan Nayla.

“Aku akan selalu memberikan kabar, mohon beri aku dukungan.”

Bram duduk dengan lemas, tangannya menangkup wajah sendiri. Berulangkali ia membasuhnya tanpa air, menggosoknya dengan harapan ia bisa mencuci semua perasaannya pada Nayla dan membaca yang tersurat melalui yang tersirat.

Nay teguh pada pendiriannya. Itu sudah pasti.

Mereka memang sudah sampai pada titik di penghujung jalan, sebuah keputusan yang tak bisa dihindari. Berputar balik atau lurus ke depan, hanya itu saja pilihannya.

“Terima kasih sudah mengangkat aku tinggi-tinggi dengan harapan semu. Terima kasih sudah menghancurkan aku.” Serak suara Bram. Lemas. Lirih. Lunglai. Pria yang usianya hampir dua kali lipat dari Nay itu hampir-hampir tak percaya ia akan diatur oleh wanita yang lebih muda darinya.

“Kamu pikir aku tidak hancur? Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku akan melanjutkan hidup dengan keadaanku yang sekarang. Tapi aku harus mencoba, karena inilah aku.” Nay mencoba menahan tangisnya. “Cari yang lain, Mas. Kamu bisa.”

Nay menyentuh tangan Bram, mengusapnya tiga kali lalu berdiri dari kursinya dan meninggalkan pria itu, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tempo hari ia pernah melakukan hal yang sama namun lantas berbalik untuk kembali jatuh ke pelukan Bram. Tapi tidak untuk kali ini. inilah perpisahan mereka yang sesungguhnya.

Apakah nantinya mereka akan berjumpa lagi? Mungkin. Karena jika diijinkan mungkin akan ada ikatan takdir yang akan menyatukan mereka - mungkin juga tidak. Akankah mereka akan dipertemukan lagi? Benarkah ini akhirnya? Bisa apa Bram untuk menjawabnya? Semuanya bisa ya dan bisa tidak.

Bram mendengus, semudah ini semuanya berakhir. Haruskah ia benci Nayla? Mana mungkin. Bagaimana mungkin ia mengutuk wanita seindah Nay – wanita yang telah memberinya emas di ujung pelangi? Mana mungkin ia rela melepas kepergian seorang bidadari yang pernah singgah dan mengikat selendang cintanya di hati.

Melepas bayangan Nayla? Misi yang mustahil.

Tapi harus.

Bram tersenyum dalam kepedihan. Pertentangan hebat memburu jantung dan batinnya, mengacak-acak relung jiwanya. Si jelita itu belum terlalu jauh. Haruskah ia kejar dan hentikan Nayla, lalu memeluknya tanpa pernah ia lepas? Haruskah ia pertahankan sampai titik darah penghabisan? Ataukah sebaiknya memang ia cukupkan laju hatinya hingga sampai di sini saja?

Mana yang harus dipilih? Tahan kepergian Nay atau tahan diri sendiri?

Bram gamang.

Ketika gamang, ia teringat pada seseorang yang pernah memberikannya masukan paling terpatri di hati.

Jika kamu bingung, bicarakan denganku. Aku mungkin tidak akan bisa memberikan jawabannya, tapi paling tidak kamu sudah menceritakan masalahmu apa. Jangan semuanya kamu bebankan pada dirimu sendiri. Bagikan padaku walaupun hanya sekedar bercerita. Kamu pasti bisa menentukan jawabannya dengan mendengarkan hati nurani dan membagikan bebanmu padaku.

Saatnya bertanya dan bercerita. Bram lantas membuka dompetnya, melihat foto almarhum istrinya di sana.

“Bagaimana menurutmu, sayang? Apa yang harus aku lakukan?” bisik pria itu lirih. “Sudah lama aku tidak mengunjungi makam kamu.”

Foto istrinya tentu terdiam tanpa kata, berucap tanpa bahasa, hanya meneguhkan senyum abadi yang tertuang dalam deret cetak warna tanpa suara. Ada sejuk terasa di hati Bram melihat gambarnya, galau yang tadinya merajam, bagai hancur dilebur debur ombak bertaut karang, bagai lintas berkelebat di bawah debat hebat di mana otak dan hati terlibat.

Jadi... haruskah ia mengejar Nay ataukah berhenti dan duduk saja di sini?

Nurani. Apa kata nuranimu, Bram? Kamu juga tahu kalau Nay itu seorang istri, dia juga seorang ibu. Wajar kalau dia pilih pergi dan bertahan pada cinta suci, karena dia tidak akan bertahan pada kasih yang semu.

Bram sadar, ada jalur yang tak akan pernah bisa jumpa – seperti jalur rel kereta yang akan berjalan beriringan namun akan selamanya dipisahkan meski menuju arah yang sama demi kebaikan bagi semua. Almarhum istrinya benar, dengarkan nuraninya.

Ini yang terbaik kan, Nay? Perasaan ini nyata dan ada, hadir dan menyapa, lepas pun tak kan cepat rela. Tapi semua hanya akan menjadi pelajaran hidup yang berharga. Bahwa untuk memulai sesuatu yang baru, tidak cukup dengan melakukan pembersihan diri seadanya, tapi lumerkan hingga titik terkecil. Hancurkan dirimu sampai jadi debu, lalu bersihkan tuntas untuk memulai lagi dari mula.

Sudah begitu saja, mulai lagi dari mula.

Bram mengecup foto almarhum istrinya, lalu memasukkan kembali dompet ke tempatnya.

Ia lantas mengambil ponsel.

Kemudian menghapus satu demi satu foto Nayla.

Pada akhirnya, semua pasti ada usainya.





.::..::..::..::.





Nay keluar dari kamar mandi dengan mata sembab. Tangisnya berulang kali pecah, ia sudah mencoba menghapusnya dengan gemuruh air shower yang mengalir meluruhkan semua luka dan prasangka. Si cantik yang hanya mengenakan piyama itu berjalan pelan menuju kamar depan. Tangannya berulang kali masuk ke kantong, dengan seketika itu juga gugupnya merajalela.

Dia harus melakukannya.

Dia harus melakukannya, dengan semua resikonya.

Dia harus jujur.

Dia harus meletakkan dirinya kembali di samping suaminya dan menempatkan diri di posisi semula sebelum kehadiran Bram. Hanya bersama Arul-lah bahagia itu ada dan seharusnya terajut, bukan dengan sosok lain yang datang untuk memberikannya kekosongan dalam jiwa.

Sekali lagi tangan Nay masuk kantong piyama, ia semakin gugup. Tangannya keluar masuk kantong.

Semuanya mungkin akan berubah. Suaminya mungkin tidak akan memaafkannya. Dia paham betul hal itu yang bisa saja terjadi. Atau bagaikan misteri yang indah, suaminya yang menakjubkan akan memaafkannya dengan kebesaran hati yang luar biasa seperti yang selama ini selalu ia tunjukkan.

Nay tahu Ia akan menyakiti Arul, tapi ia juga akan berusaha menghabiskan sisa hidupnya untuk meminta maaf dan membuktikan keseriusannya.

“Sudah ngantuk, Dek?” suara tercekat Nay memecah kesunyian malam.

Putranya terkasih terduduk di kursi, lelap menggeliat, berkecap.

Ada pandangan bersalah dari sang bunda, ada permohonan maaf yang tak terucap, ada penyesalan yang ingin segera dilepaskan, ingin segera dihanyutkan dalam sungai kelam – untuk selamanya dilupakan, atau menjadi luka yang membekas seumur hayat di badan. Ada runyam di batin yang membuncah dan menjadi biang kekacauan pemahaman di kepalanya – selain pada Arul, rasa bersalah itu juga terwujud bagi sang buah hati.

Nay memeluk putranya dengan erat dan mengecup dahinya penuh perasaaan, apapun yang telah terjadi, apapun yang akan terjadi nanti – tidak akan ada yang menghalangi kasihnya pada sang putra tercinta.

Rasa bersalah yang saat ini ia pikul memang terlampau besar, terlalu menyayat dirinya sendiri. Dia ingin bangun tidur sekali saja tanpa merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri karena telah menjadi pengkhianat, tapi itu tidak bisa dilakukannya tanpa melepaskan kejujuran ke ruang terbuka dengan segala resikonya. Orang lain mungkin bisa memendam dan melupakan semua hingga akhir hayat, tapi tidak Nayla.

Nay menggendong putranya dengan penuh sayang.

Nay tahu dengan pasti di mana ada awal, pasti ada akhir. Mungkin dia akan terkena kutukan, mungkin akan terkena karma. Dia mungkin akan dipisahkan, mungkin akan ditinggalkan, tapi mungkin juga... mungkin... akan dimaafkan. Mungkin masih ada ruang harapan yang tersisa di sudut hati pria yang sungguh ia cinta. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pasti, tapi itu semua harus dijalani, sebagai bentuk konsekuensi.

Manusia tempatnya salah dan saat hatinya dulu terbelah, Nay seharusnya tahu dia akan berada dalam masalah. Kini saatnya menyelesaikan semuanya. Keputusan yang akan menjadi penyeimbang jiwanya – apakah dia akan dimaafkan, ataukah hidupnya akan berubah, akan dimulai dari sekarang.

Seluruh jiwa raganya ia berikan pada keputusan sang suami.

Nay yakin dengan jalan yang akan dia tempuh – ia sudah pernah berbuat salah, tapi bukan berarti ia akan menyembunyikan dan berkilah. Ia sudah memulai dengan kebohongan, saatnya mengakhiri kemunafikan dengan kejujuran. Saatnya ia memohon ampun, memohon maaf, memohon belas kasih dari pria pemilik hatinya. Nafsu memang membutakan, birahi sungguh melenakan, hingga pada akhirnya cinta yang akan menyadarkan – cinta pula yang mungkin akan menyakitkan, tapi mudah-mudahan cinta bisa menyembuhkan.

Nay melangkah lembut keluar dari kamar Adek dengan jejak-jejak kaki yang bagai melangkah di awan. Sebisa mungkin tidak membangunkan sang putra tercinta.

“Dia belum tidur?”

Suara sang suami yang lembut menyejukkan hati Nay.

Mungkin untuk terakhir kalinya?

Nay tersenyum dan mengangguk, lalu menunjuk ke arah Adek yang terlelap dan membuat tanda senyap dengan jari telunjuk di pertengahan bibir. Arul ikut mengangguk dan tersenyum, ia lantas mengambil sebuah buku dan duduk dengan santai di sofa ruang tengah sambil membaca buku yang ia nikmati dengan nyamannya.

Nay membawa sang buah hati dengan perlahan dan berjalan pelan ke pembaringan di sudut kamar. Ia meletakkan putra semata wayangnya di sana. lalu berjingkat supaya tidak membangunkan. Setelah memastikan semuanya tenang, Nay menutup pintu kamar sang putra dan kembali ke ruang tengah.

“Mas...”

“Hmm?”

“Ada yang ingin aku katakan.”

“Apa tuh?”

“Mas...”

“Hmm...?” Arul melirik ke arah istrinya yang berdiri di samping sofa.

Wajah Nayla tertunduk, tubuhnya lesu, garis bahunya naik turun. Tangannya gemetar dengan jari-jemari yang saling terkait. Nay... menangis?

“Sayang? Kamu kenapa?”

Arul duduk di sisi sofa dengan mengerutkan kening. Wajahnya bertanya-tanya akan sikap aneh sang istri. Saat itulah Nay mendekat dengan sangat perlahan-lahan sekali seakan ia bahkan takut untuk menyakiti karpet rumah dengan gerakannya. Ketika sudah berhadapan, wanita cantik itu akhirnya luruh ke bawah, bersimpuh di kaki sang suami. Tangisnya pecah, berurai, tumpah.

Jantung Arul berpacu dengan cepatnya, tentu ia terkejut. Ia segera mencoba mengangkat Nay ke atas kembali. Apa yang terjadi? Kenapa Nay begini?

“Sayang?” Arul mencoba menyentuh pundak istrinya yang bergetar hebat. Nay sesunggukan tanpa suara, dan sang suami pun kebingungan bukan kepalang. “Kenapa kamu?”

“Maafkan aku, Mas... aku telah melakukannya... Ya Tuhan, aku telah melakukannya... maafkan aku, Mas... aku bersalah, aku sungguh bersalah... aku memang bodoh, sangat bodoh! Maafkan aku... Ya Tuhan... apa yang sudah aku lakukan!?”

“Nay...?”

“...aku tidak tahu apakah aku masih pantas...” lelehan air mata Nay menetes di punggung kaki Arul. “Aku tidak tahu... apakah aku... masih pantas... menjadi istrimu...”

“Nay...!?”

“Apa yang seharusnya aku jaga, tidak aku jaga dengan baik. Apa yang seharusnya aku simpan, tidak aku simpan dengan baik... aku... aku saat ini hanya bisa meminta maaf dari hatiku yang terdalam. Aku sayang sama kamu, Mas. Cinta sama kamu... dan akan selamanya begitu. Kamu sangat baik, kamu sangat sayang sama aku, sayang sama adek... dan aku... aku justru hampir menghancurkan semuanya. Ini semua salahku, Mas... aku yang bersalah.”

Arul menarik napas panjang, pikirannya mengelana – apa yang ia takutkan seumur hidupnya mungkin sudah mewujud menjadi momok mengerikan yang hadir tanpa ia harapkan di waktu yang tidak ia duga-duga. Tapi ia tak ingin gegabah menuduh. Apakah Nay melakukan hal terkutuk seperti yang tergambar dalam benaknya yang kejam?

Arul melepas pegangannya pada pundak Nayla, mengatur napasnya sendiri dan bersiap mendengar semua kabar buruk.

Ia sempat memejamkan mata, tapi kemudian membukanya kembali ketika ia merasakan kencangnya pelukan pada kakinya – pelukan yang seakan tak ingin lepas sampai akhir masa. Ia menatap mata istrinya. Ada kepedihan di sana. Kecamuk bagi Arul terasa di dada. Ada rasa ingin memeluk dan melindungi sang istri tercinta, tapi ada juga rasa ingin menunda sampai usai semua wicara. Ada apa sebenarnya?

Tatapan mereka berjumpa, ingin tersampaikan berjuta kata. Bisikan lirih Nay menjadi pemula, derai air matanya menjadi pertanda.

“Maafkan aku, Mas. Aku tak setia.”

Nay mengeluarkan testpack dari kantong piyamanya dengan tangan bergetar dan wajah pucat pasi, tetes airmatanya mengalir deras.

Mulut Arul terbuka.





AMPIBI.
SELESAI.



no quote
 
Terakhir diubah:
Ini bagus banget... dan ini cerita yang paling OK setelah saya baca KESEMPATAN KEDUA. sayang tidak dilanjutkan dengan keadaan setelah jujurnya sang istri.
Selingkuh yang paling sakit ya selingkuh karena hati ya, sementara tidak ada masalah apa apa dengan pasangan. Ini yang paling sakit ketika dihadapkan dengan pilihan. Apalagi POV-nya dari pihak istri. Kalao POV dari pihak suami ya mungkin bisa dimaklumi ya, mungkin karena lelaki itu bajingan hahaha... tapi kalo dari pihak istrinya yang main hati, duhh gemes bangettt dah.. apalagi sama suaminya ga ada masalah apa apa..

Lah malah curhat..

Thanks suhuu, ceritanya bagus banget :mantap:
 
BAB 4
PEMBAHASAN






Sore yang sendu. Matahari masih bersinar namun mulai pendar, rentetan manusia beranjak bagai pawai akbar meninggalkan gedung usai bekerja atau belajar, jalan raya mulai padat oleh mobil dan motor yang berjajar, suara akustik tak nyaman terdengar ketika tepukan tangan dan tutup botol yang mekar berkolaborasi dengan dentingan tiga senar di sudut perempatan oleh para pelantun jalanan yang berbinar. Sementara di angkasa gulungan awan bak kapas dihembuskan sang bayu, bermain berlarian saling mengejar. Warna jingga menyeruak di setiap sudut angkasa ibarat suar, bagai pulasan pastel raksasa tergambar yang berbaur dengan warna biru yang memudar.

Bram menikmati senja, dari sudut selayang pandang.

Hari ini ia bahagia. Ia terus saja bahagia sejak sebulan terakhir. Hubungan Bram dan Nay berjalan dengan lancar meski sembunyi-sembunyi. Entah sudah berapa duit ia habiskan untuk memesan kamar hotel karena dua hingga tiga hari sekali ia mengajak Nayla bersenggama.

Sejak keduanya bercinta di hotel untuk pertama kalinya, hari berlalu dengan cepat menjadi minggu, dan minggu berubah menjadi bulan. Ya, sudah sebulan tepat sejak Bram kembali berjumpa dengan Nayla.

Siapa yang menyangka kalau kini mereka adalah sepasang kekasih?

Bahkan Bram sendiri pun tak pernah mengira kalau suatu hari kelak ia akan menyetubuhi mahasiswi bimbingannya yang paling jelita.

Bram bahagia.

Ia bahagia setelah seharian kemarin merengguk keindahan hari penuh cinta bersama wanita tercantik yang bernama Nayla. Bram bisa melewatkan hari dengan kekasihnya setelah meminta Nayla berbohong kepada sang suami. Arul menyangka Nayla mengikuti reuni dua hari penuh dan harus menginap padahal sebenarnya sang istri malah bergumul dan bercinta seharian dengan laki-laki yang jauh lebih tua.

Jalanan memang macet, tapi tak semacet ruas hati Bram yang sedang riang. Apalagi dengan keberadaan sang kekasih yang duduk di sampingnya. Di tengah kemacetan, Nay sibuk memperhatikan feed instagram dan DM-DM yang masuk. Sekali lagi ada beberapa perusahaan yang menghubunginya untuk endorse produk mereka. Ia kirimkan nama-nama perusahaan yang menurut pengamatannya pantas dibantu pada Bella, sang asisten yang saat ini entah berada di mana.

Tangan Bram nakal mengelus pipi halus mulus Nay yang tanpa cela. Bagaimana mungkin surga kehilangan seorang bidadari tercantiknya? Bagaimana bisa nirwana rela melepaskan makhluk seindah ini untuk berjalan-jalan di dunia?

“Aku sayang banget sama kamu. Aku tidak ingin kehilangan kamu, Nay.”

“Aku kan tidak kemana-mana, Mas.” Nayla mengoleskan lipstik tipis ke bibirnya yang sensual, menambah keinginan Bram untuk mengecup bibir mungil itu. “Kita mau kemana sekarang? Baju ini bagus banget, Mas. Makasih udah dibeliin.”

“Sama-sama, sayang. Kamu pakai apa aja cantik. Tapi pakai baju itu kamu tambah kelihatan mempesona.”

“Gombal.” Nay mencibir. “Ketahuan banget kamu milihin baju yang belahan dadaku jadi kelihatan begini, Mas. Seharusnya kemarin aku milih baju yang lain. Duh.”

Bram tertawa. “Habis nenen kamu nafsuin banget, sayang. Aku pengen lihat kamu pakai baju seksi tapi juga anggun.”

“Huh. Alesan. Eh, kita mau kemana ini? Kok belum dijawab sih.”

“Kita mau ke nikahannya temen aku di kota sebelah.”

“Hahahhhh!? Kan banyak orang, Mas! Nggak ah! Aku nggak mau!”

“Nggak ada yang kenal kamu, Nay. Lingkungan kerjaku dan suamimu kan berbeda. Aku sekarang juga sudah pindah ke kampus lain – jadi tidak akan ada yang mengenali kamu, percaya deh sama aku.”

“Ya tapi ini kota kecil, Mas. Siapa tahu ada yang kenal...”

Bram menarik tangan Nay dan meletakkannya di dada.

“Kamu percaya sama aku, sayang?”

Nay sebenarnya keberatan sekali. Tapi... “Iya, aku percaya.”

“Oke.”

Bram tersenyum dan mengarahkan mobilnya ke arah pesta pernikahan yang dimaksud dengan yakin. Ingin sekali ia memamerkan Nay pada teman-teman sejawatnya. Ingin ia memamerkan makhluk indahnya pada siapapun.





.::..::..::..::.





Saat pasangan Bram dan Nayla memasuki ruangan pesta, semua mata melotot hendak copot melihat keindahan tubuh pasangan Bram. Memang dress yang dikenakan Nayla lumayan memamerkan tubuh, ketat memperjelas lekukan dan belahan dada. Tapi ada juga bagian-bagian yang tidak pas, misalnya longgar di sini dan di sana. Wajar saja karena pakaian ini beli jadi, bukan pakaian yang dijahitkan terlebih dulu. Dasar tubuh Nay memang apik, jadi pas-pas saja pakai bajunya. Dia juga jadi terlihat sangat cantik, meski tak menggunakan makeup berlebih.

Bram dan Nayla mengikuti jalur dengan saling bergandengan tangan, lalu salaman dengan mempelai berdua, mengucapkan selamat, dan menikmati hidangan. Mereka berdiri di pojok ruangan, mencoba menghindari tatapan para pengunjung pesta. Keduanya diam seribu bahasa untuk beberapa saat lamanya – antara kikuk dan takut berjumpa seseorang.

Musik yang berdentum dimainkan oleh band lokal memainkan musik rancak. Mengagetkan kedua insan yang tengah dimabuk asmara karena berdiri di samping salon raksasa. Mereka berpindah ke sudut lain.

Nay memunggungi Bram. “Aku suka lagu ini.”

Bram melilitkan tangan di pinggang sang ibu muda yang jelita, memeluknya dari belakang. “Aku suka apapun yang kamu suka.”

“Ish, apaan sih.”

Bram tertawa.

“Mas, ini di tempat umum lho. Ini pesta nikah orang lho, kok meluk aku begini? ” Nay mencoba mengingatkan. “Kalau ada yang lihat gimana?”

“Biarin saja, aku ingin melakukan ini sejak lama. Aku ingin seluruh dunia tahu aku mencintaimu.”

Nay tersenyum kecut, ada perasaan nyaman, bahagia, tapi juga tegang yang susul menyusul membuat degup jantungnya ibarat dipacu dalam sirkuit F1. Ingin Nay membalikkan badan dan mencium habis-habisan Bram, lalu mendorongnya ke dipan dan melucuti pakaiannya.

“Ih, Mas. Kamu ternyata nakal banget ya.” Desis Nayla pura-pura merajuk. “Dulu aja aku ditolak-tolak skripsinya.”

Bram hanya tertawa ringan, mereka begitu dekat saat ini. Saling menggesek, saling mendamba. Sama-sama ingin membuka baju masing-masing dan menikmati gelora cinta, menyeberangi samudra asmara dalam sampan birahi yang melenakan. Batang kejantanan Bram menempel di selipan pantat Nayla. membuat napas keduanya makin berat.

“Kamu harum banget. Aku suka harum kamu, sayang.”

Nay tenggelam dalam pelukan Bram. “Boong.”

“Aku sayang kamu, Nay.”

Nay terdiam.

“Aku sayang kamu, Nay.” Bram mengulang.

Nay masih terdiam.

“Kok tidak dijawab?”

“Aku harus jawab apa?”

“Kamu sayang sama aku tidak?”

“Aku sayang suamiku.”

“Kalau aku? Aku apamu dong? Padahal kita kemarin sudah bercinta semalam suntuk, tapi sampai sekarang ternyata aku bukan siapa-siapa kamu.” Tangan nakal Bram menyelinap ke bagian belakang tubuh Nayla, lalu meremas-remas pantatnya. Pria itu pun berbisik di telinga Nay, “aku ingin menyelipkan penisku di sini lagi.”

Nay tersentak dan mengeluarkan decitan kecil, beberapa mata sempat menengok, tapi lantas berpaling kembali.

“Mas ih! Nakal banget sih tangannya.”

“Habisnya kamu ga jawab.”

“Jawab apa sih?”

“Kamu sayang sama aku nggak?”

“Aku nggak tau, Mas.”

Bram menarik tangan Nay dan menggesekkannya di selangkangan. “Kamu lupa rasanya dipuaskan sama yang ini, Nay?”

Gila! Nekat banget sih orang ini?!

Tapi ada rasa hangat birahi yang menyeruak dalam sanubari. Napas Nay memburu, ia meneguk ludah saat merasakan batang kejantanan Bram menegang dan kencang. Jika ada orang yang melihat ulah kedua orang ini, pasti mereka geleng-geleng kepala karena Bram dan Nay melakukannya di depan banyak orang, meski di sebuah sudut yang kerucut.

Nayla menggelengkan kepala, mencoba mengenyahkan nafsunya, tapi selalu saja gagal. Ia benar-benar dikuasai oleh birahi yang makin lama makin tak terkendali. “Mas... a-aku...”

“Kamu mau?”

“He’em...”

“Mau apa?”

“A-aku mau inimu...”

“Ini apaan?”

“Ini...” Nay merajuk, tapi Bram hanya tersenyum.

“Sebutkan dengan jelas supaya aku paham.”

“Ihh... Mas ih! Nakal!” Nay cemberut. Tapi lambat laun ia pun tunduk pada kemauan Bram yang absurd. “Aku mau... penis Mas Bram...”

“Diapain penisku?”

“Dimasukin...”

“Kemana...?”

“Ke... mmhh... ke vagina aku...”

Bram terkekeh. “Ya sudah, setelah ini selesai, kita masuk ke hotel lagi ya. Pilih saja hotel yang kamu mau. Aku juga sudah ga sabar pengen masukin punyaku lagi ke memek kamu, sayang.”

“Mas, ih.”

Ada perasaan tegang yang tiba-tiba melanda Nayla. Kenapa ya?

“Nay, aku ngobrol sama temen-temenku bentar, ga lama. Terus pamitan, setelah itu kita pulang. Oke, sayang?”

“Iya, Mas.”

Nay berdiri di pojok ruangan sambil minum segelas soda sementara Pak Bram menemui beberapa orang kawannya. Nayla mengamati satu demi satu orang yang hadir ke pesta pernikahan tersebut, dia merasa asing karena benar-benar tidak tahu wajah demi wajah yang lalu lalang. Bagaikan sedang berada di tempat yang salah karena ia tidak mengenal siapapun. Tapi bukankah itu yang dia inginkan? Tidak diketahui oleh siapapun ia berada di...

Mata Nayla terbelalak.

Eh, bukankah itu Pak Yanuar? Yang di sana itu... Pak Hardi? Lalu itu Mas Agus.

Nay meneguk ludah, keringat dinginnya mengalir, jantungnya makin berdebar. Kenapa... orang-orang dari kantor lama Mas Arul ada di sini?

Gawat.

Dengan langkah perlahan supaya tidak menimbulkan kecurigaan, Nayla mundur ke sudut yang lebih tak nampak, pandangannya berputar mengitari sudut demi sudut ruangan. Manakah tempat yang bisa ia gunakan untuk bersembunyi sementara waktu? Duh, kenapa juga dia menuruti permintaan Mas Bram untuk datang ke pesta ini sih? Apalagi tadi dia bermesraan begitu sama Mas Bram.

Gawat.

Dengan menekan detak jantung yang makin menggila, Nayla mencoba mencari lokasi sembunyi baru. Ia beringsut dari satu tempat ke tempat lain. Mencoba menghindari wajah-wajah yang ia kenali. Kekhawatirannya mulai memuncak saat ia juga tak bisa menemukan Mas Bram. Duh gimana ini.

Sampai suatu ketika ia mendekati toilet.

“Nayla.” suara seorang wanita terdengar memanggil namanya.

Tersentak kaget ada yang mengenali, Nay buru-buru masuk ke toilet.

Wanita itu justru mengikutinya.





.::..::..::..::.





Bram tertawa renyah. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, akhirnya ia bisa menikmati bersenda gurau dengan teman-teman sejawatnya.

Elok, Bram. Elok.”

Elok gimana, Pak Jim?”

Elok tenan. Sampeyan ini bener-bener duren super. Duda keren suka perawan.”

Bram hanya tersenyum sipu sementara Pak Ramidi, Pak Lee, dan Pak Maulana tertawa mendengar kelakar dari Pak Jimmy. Mereka bahkan tidak tahu kalau Nayla bukanlah perawan, tapi istri orang dengan satu anak.

“Memang paten Pak Bram ini. Bertahun-tahun ga kencan, sekalinya dapet cewek, kelasnya bangkok.” Ucap Pak Ramidi menyambung dengan kelakar bapak-bapak.

“Dulu kita sering bully gara-gara dia tidak mau kencan, eh sekarang sepertinya justru kita-kita ini yang harus belajar banyak dari Pak Bram.” Sambung Pak Maul. “Ceweknya bener-bener mantap jiwa. Cantiknya selangit, body gitar spanyol, wajahnya teduh dan alim. Wes pokoknya wife material banget. Tak restui sampeyan langgeng, Pak Bram.”

Bram hanya tertawa kembali.





.::..::..::..::.





“Apa yang kamu lakukan, Nay?”

Bulat mata indah Nayla mengembang sempurna. “Ka-Kak Nisa!?”

What in the world are you thinking? Apa yang kamu pikir sedang kamu lakukan?” suara Nisa biasanya lembut dan baik, tapi kali ini ia terdengar tegas dan marah. “Apa kamu sudah gila?”

“Ka-Kak Nisa...” gemetar Nayla menghadapi sang sahabat, seluruh tubuhnya merinding. Saat itulah ia baru menyadari tingkat keseriusan kesalahan yang telah ia perbuat. Ya Tuhan, apa yang selama ini sudah ia lakukan? Nayla bagaikan disadarkan dari hipnotis hebat gelora nafsu yang menjebaknya dalam dua kehidupan. “Kok Kak Nisa ada di sini?”

“Mas Haris teman pengantin wanita. Dengar ya Nay... aku tidak tahu drama macam apa yang sedang kamu jalani dengan Pak Bram, tapi kamu hanya akan menghancurkan semuanya dengan berduaan dengannya begini! Aku sudah mengamati kalian sejak kamu berdua masuk! Kamu pikir di sini tidak ada orang yang mengenalmu? Tidak mengenal Mas Arul? Ya ampuuuun, Nay.” Nisa mencoba menjejalkan kenyataan pahit pada Nayla. “Banyak orang di sini yang kenal sama kamu, sama suamimu, Nay! Bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka sampai melaporkan kemesraanmu dengan Pak Bram yang vulgar seperti tadi pada Mas Arul!! Tinggal tunggu waktu saja bom atomnya meledak!!”

“Ka-Kak Nisa... a-aku...”

“Duh Nay... Nay... kok nekat banget sih kamu.”

Air mata Nayla berlinang.

“Selingkuh itu satu hal. Mengumbar perselingkuhan itu hal yang lain. Gegabah banget kamu, Nay. Aku tahu kamu teledor – tapi tidak mengira akan separah ini.” Nisa menggandeng Nayla ke sudut yang gelap. “Sekarang dengarkan kata-kataku kalau kamu mau selamat. Pergi dari tempat ini denganku sekarang – sebelum ada orang yang benar-benar mengenalimu, jangan dekati lagi Pak Bram di pesta ini. Lupakan dia.”

“Ta-tapi aku tadi berangkat... dengan dia... maksudku...”

“Nay...”

“Kak...”

“Kamu ingat sama Adek tidak? Sama anakmu? Menurutmu apa yang akan dia pikirkan kalau melihat Mama-nya berada di sebuah tempat terbuka, berduaan dan bermesraan dengan laki-laki yang bukan Papa-nya?”

Nay sesunggukan. “Ya Tuhan...”

“Sekarang kamu ikut sama aku.”

Nay mengangguk.

Nisa mengajak Nayla pergi ke tempat parkir, keduanya menghubungi pasangan masing-masing. Nisa meminta Haris mengantarkan kunci mobil, dan Nay berpamitan untuk pulang terlebih dahulu pada Bram.

Bram tentu saja kebingungan saat menerima WhatsApp mendadak dari Nay, tapi saat ia sampai di tempat parkir, Nay sudah tak lagi ada di sana.





.::..::..::..::.





Kini ku mengungkap tanya, siapakah dirinya.
Yang mengaku kekasihmu itu.
Aku tak bisa memahami.
Ketika malam tiba, kurela kau berada.
Dengan siapa kau melewatinya.
Aku tak bisa memahami.




Alunan lagu jadul diputar di mobil yang dikendarai Nisa. Haris suami Nisa memang hobi banget dengerin lagu-lagu jadul, jadi pantas saja koleksi lagunya kebanyakan lagu-lagu lama. Lagu yang bahkan sudah muncul ketika mereka semua belum lahir – atau bahkan sebelum orang tua mereka pun belum lahir.

“Kenapa?”

Suara Nisa yang serak-serak basah menjadi pembuka percakapan setelah beberapa saat Nisa dan Nayla terdiam dalam perjalanan pulang. Macet panjang masih terbayang di depan. Perjalanan ini pasti akan memakan waktu.

Nay terdiam seribu bahasa, wajahnya pucat pasi.

“Aku tidak akan menceritakan tentang hal ini pada siapapun, Nay. Aku tidak akan menyebarkan info atau apalah. Jika kemudian ada berita-berita tentangmu, itu bukan dari aku.”

Nay menarik napas lega.

“Tapi aku juga tidak akan berbohong jika ada yang menanyakan – termasuk jika yang bertanya itu Mas Arul.”

Nay meneguk ludah.

“Aku tidak akan menyembunyikan apapun, karena aku tidak nyaman berbohong kepada siapapun. Untuk saat ini rahasiamu masih aman, karena aku bukan ember bocor. Tapi aku tidak menjamin hal yang sama akan terjadi jika ada orang yang mengenalimu tadi.”

Nay menunduk. “Iya, Kak.”

“Apa sih yang kamu pikirin, Nay?”

Nayla terdiam. Bukan karena memilah rasa bersalah, tapi ia sungguh tak tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Sampai akhirnya ia menjawab dengan apa yang ia rasakan.

“Semua terjadi begitu saja, Kak. Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saja aku penasaran, tertarik, lalu terpesona.”

“Terjadi begitu... Ya Tuhan, Nay. Itu Pak Bram, Nay! Pak Bram!”

“Aku tahu, Kak.” Nayla menyodorkan kepalanya ke dashboard mobil. Mengetukkan dahinya berulang. “Aku tahu. Aku tahu. Aku tahu.”

“Sekarang kita pulang. Kamu pulang, mandi air dingin, dan keramas sampai sebersih mungkin. Guyur kepalamu dengan air sampai benar-benar bersih. Sampai kamu benar-benar bisa menggunakan akal sehatmu kembali.”

“Iya, Kak.”

Nay menunduk, ia mengulang kembali kata-katanya, “Iya, Kak...”

Tetesan air mata Nay mulai tak bisa dibendung.

“Apa yang sudah aku lakukan, Kak?”

Ia menangis sejadi-jadinya.





.::..::..::..::.





“Mas?” Lirih suara Nay saat masuk ke kamar.

Ia sudah selesai mandi, keramas, dan banyak-banyak mengguyur kepala. Ia juga sudah menengok ke kamar Adek, Bibi ternyata ada di sana. Nayla berjingkat supaya tidak membangunkan keduanya, ia masuk ke kamar hanya untuk mengecup pipi sang buah hati. Setelahnya, barulah Nay kembali ke kamar tidur utama.

Arul ternyata sudah terlelap di atas pembaringan, jadi malam ini dia tidak lembur. Apakah proyeknya sudah selesai?

Nay menyelinap ke balik selimut di samping sang suami.

“Hmm... sudah pulang dari reuni? Pulang sama siapa?” ternyata Arul masih bangun.

Arul tidak membuka mata, ia hanya tahu dan hapal kemana tangannya harus diletakkan saat tubuh indah Nayla ada disebelahnya. Ia tahu bagaimana ia nyaman memeluk bidadari pengisi jiwanya. Nay juga sudah begitu hapal dengan hangatnya pelukan sang suami.

Tapi malam ini berbeda.

Malam ini pelukan Arul serasa lebih berarti, lebih hangat.

Nay berbisik pelan sembari manja masuk ke dalam pelukan suaminya. “Pulang sama Kak Nisa.”

“Hmm... Kak Nisa memang baik.”

“Iya.”

Bayang air mata muncul di pelupuk mata Nay. Seandainya tadi tidak ada Kak Nisa, entah apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah ia akan bisa mempertahankan pernikahannya atau tidak, tidak ada yang tahu. Entah siapa yang sudah melihatnya tadi – entah apa yang akan terjadi jika ada yang melihat dan menemui Mas Arul.

Kenapa dia bisa sebodoh ini?

Bayang galau dalam benak Nay terpotong oleh ucapan Arul kemudian.

“Aku sudah beliin tiket untuk liburan kita bulan depan di Korea, sudah plus hotel untuk seminggu. Di sana tidak akan ada lagi yang ganggu kita. Aku mau matiin ponsel sesampai di sana.” Bisik Arul di telinga Nayla. “Aku juga sudah kirim double uang bulanan untuk Bapak dan Ibu, mumpung ada rejeki. Ibu tadi nanya kok kamu sekarang jarang telepon beliau. Besok telepon yah, Ibu kangen banget sama putri kesayangannya.”

Air mata Nay menetes di pipi.

“Iya, Mas. Besok aku telpon Ibu.” Nay memeluk suaminya semakin erat. “Maafkan aku ya, Mas.”

“Hmm. Maaf kenapa?”

Nay terdiam, tapi kemudian dia menjawab lirih. “Tidak apa-apa, peluk aku saja.”

Keduanya lelap dalam peluk hangat malam itu.





.::..::..::..::.





BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN






“Keputusan ada di tanganmu, Nay.” Ucap Nisa sambil mengelus punggung tangan Nayla. Akhirnya kedua sahabat ini bertemu kembali setelah beberapa hari yang lalu keduanya pulang bersama dari pesta pernikahan yang membuat Nayla tersadar.

Mereka berdua duduk saling berhadapan di teras kedai roti milik Nisa – Rumah Kue. Selain menyediakan roti dan snack, kedai roti Nisa ini juga memiliki patio atau teras dengan tempat duduk dan meja seandainya pengunjung ingin beristirahat dan menikmati kopi atau teh. Di meja tempat keduanya berada sudah disajikan beberapa potong mini donuts dan teh jasmine hangat.

Nayla menggeleng kepalanya dengan bingung. Pusing sekali rasanya. “Aku bingung, Kak.”

“Pertimbangkan masak-masak apa yang ingin kamu lakukan. Apakah akan bertahan dengan Mas Arul, ataukah membuang semuanya yang selama ini sudah kamu jalankan demi menjalani hidup yang baru dengan Pak Bram. Pikirkan bagaimana kamu ingin menjalani bahagiamu, tapi jangan lupakan bahagia Adek – karena kamu itu seorang ibu. Kamu punya tanggung jawab, jadikan itu pertimbanganmu.”

Nayla menghapus jejak-jejak air mata di pipinya. Kalimat demi kalimat lembut yang disampaikan Nisa membuat si jelita ibarat ditumpahi semangkok bakso panas. Enak tapi menyengat.

“Maafkan aku, Kak. Aku memang bersalah. Ini semua salahku. Aku yang menyebabkan ini semua terjadi, aku yang menyebabkan semua kekacauan ini. Aku yang mengijinkan dia menyentuhku... memang akulah yang seharusnya dihukum.” Si cantik itu terisak. “Aku ibu yang buruk, aku istri yang payah. Aku... maafkan aku, Kak.”

“Lho, kok maafnya sama aku?” Nisa tersenyum, dia menggeser kursinya supaya bisa duduk di samping sang sahabat dan merangkul Nayla. Dengan sabar Nisa membiarkan wanita yang sedang kebingungan itu sesunggukan dalam pelukannya.

“Kakak yang telah mengingatkan aku... maksudku Kakak yang telah... maksudku aku ingin Kakak yang... duh, aku bingung, Kak. Aku harus bagaimana, Kak? Apa yang harus aku lakukan?”

Haeh.” Nisa merapikan baju Nayla yang berantakan, “Aku memergokimu melakukan hal yang kamu sembunyikan dari orang lain. Aku kaget, Nay. Tak menyangka kamu akan seperti itu. Jujur, apa yang kamu lakukan itu menurut aku salah, tidak akan ada pembenaran apapun di sana. Tapi itu menurut aku – aku tidak tahu bagaimana kamu akan mendapatkan bahagiamu. Aku tidak akan melakukan apapun di luar kemauanmu, Nay. Kamu sahabatku, aku sayang kamu, jadi aku kembalikan keputusannya padamu. Yang jelas aku tidak ingin kamu menyia-nyiakan hidup. Kamu sendirilah yang harus memutuskan.”

“Kak...” Nay menatap Nisa. Bulat mata indahnya berkaca-kaca. “Aku tidak bisa hidup begini terus. Aku tidak bisa menjalani hidup dalam kebohongan dan ketidakjujuran. Tapi aku bingung... aku takut...”

“Kamu sudah gede, Nay. Kamu sudah jadi ibu, anakmu butuh kamu. Jika selama ini kamu berpikir menggunakan egomu, maka coba pertimbangkan masa depan Adek.”

“Iya, Kak...”

“Kamu tentunya sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk.”

“Iya, Kak...” Nayla memandang tembok dalam diam, seakan-akan tembok tak bersalah itu yang menyediakan semua jawaban akan keluh kesah dan beban yang ia sandang. Seakan-akan setelah ia pelototin tembok, akan keluar semua solusi. Ia kemudian menunduk sembari memainkan ujung lengan panjang pakaiannya. “Kok bisa ya, Kak.”

“Bisa gimana?”

“Kok bisa kita menyukai dua orang yang berbeda pada saat yang bersamaan.”

“Menyukai, mengagumi, atau mencintai?” Nisa tersenyum lembut.

“Eh... ehmm....” wajah Nay memerah. Ada keraguan dalam memberikan jawaban. Tapi kali ini dia berhadapan dengan Nisa, yang selalu memberikannya masukan berharga. Kenapa harus ditutupi jika ingin mendapatkan jawaban yang pasti? “Ehmm... mencintai.”

“Serius? Kamu cinta sama Pak Bram?”

Nay memiringkan kepalanya seperti menyesal, ia juga memejamkan mata, tapi kemudian membukanya dengan tegas. “Iya, Kak.”

“Hmm...” Nisa menyilangkan tangan di depan dadanya. Ibu muda mungil itu menatap tajam mata Nay, lalu tersenyum. “Tidak bisa dipungkiri sih, mencintai dua hati pada saat yang bersamaan itu bisa saja terjadi. Perasaan itu tidak bisa dihindari juga karena memang seperti itulah kerja hati – jangan salahkan hatimu. Yang bisa disalahkan adalah bagaimana kamu kemudian menyikapi hatimu itu.”

“Bingung, Kak.”

“Kamu tidak perlu khawatir dengan kinerja hati. Kalaupun ada dua pilihan, itu wajar terjadi. Itu alami, tak bisa kita mengatur bagaimana, apa, kapan, dan bila nanti. Tapi jangan lari dan jangan pergi, hadapi. Meski berat menyikapi tapi kita hanya bisa memilih satu hati. Memang selalu ada yang tersakiti, tapi pasti kamu akan lebih mudah menempatkan diri, untuk dia yang benar-benar kamu cintai.”

“Kak...”

Nay memeluk kepalanya sendiri. Ditenggelamkan dalam hangatnya tautan dua lengan yang membentuk benteng pelindung dari perasaan yang overwhelming.

Nisa memeluk sang sahabat dengan erat.

Nay memejamkan mata.

Kepalanya pusing sekali.

Badannya terasa tidak nyaman.





.::..::..::..::.





Nay memejamkan mata dan mengatur napas. Dia harus bisa. Dia harus kuat. Dia harus bisa menghadapi Mas Bram dengan benar-benar waras, dengan logika berjalan – bukan dengan emosi, bukan dengan ego, dan jelas bukan dengan nafsu. Nay tahu Mas Bram sudah pasti akan protes habis-habisan. Sudah pasti. Sudah bisa ditebak. Sudah bisa dibayangkan. Sudah bisa diperkirakan. Sudah bisa diprediksi.

Tapi harus bisa. Harus.

Meski rasa-rasanya Nay tidak akan pernah bisa benar-benar siap.

Suasana cafe The Donut Pub sepi hari itu. selain Nay dan Bram, hanya ada sepasang pengunjung lain yang juga sedang bercakap-cakap tapi posisinya jauh dari mereka. Seorang pemuda berkemeja putih yang mengenakan celemek hitam berjalan dengan sangat hati-hati untuk mengantarkan pesanan Nay dan Bram. Gerakannya masih kaku, jalannya masih awkward, dan senyumnya agak dipaksakan. Mungkin karyawan baru, sebagai pelanggan baru kali ini Nay melihat pemuda ini di sini. Ada tag name bertuliskan nama Jalak Harnanto pada pin yang dikenakan di dada sang waiter.

“Ini pesanannya, Kak.” Ucap sang karyawan baru. Ia meletakkan satu demi satu makanan dan minuman yang dipesan oleh Bram dan Nay. “Satu cappucino, satu hot choco, satu kreme puffs, dan satu croissant donuts.”

“Makasih, Mas.” Ucap Nay lembut.

“Sudah lengkap semua ya?”

“Sudah. Terima kasih.”

“Terima kasih kembali, Kak. Selamat menikmati.”

Nay dan Bram tersenyum, sementara sang waiter anyaran dengan kikuk kembali ke belakang bar untuk mengelap gelas-gelas. Nay sempat melirik dan melihat waiter anyaran itu mendapatkan masukan dan review dari rekan seniornya mengenai cara mengantarkan makanan barusan.

Bagi Nay dan Bram sendiri tidak ada percakapan tercipta untuk beberapa saat lamanya, dua insan yang saling berhadapan itu terdiam seribu bahasa. Bibir mereka terkatup rapat, masing-masing menyimpan perasaan yang dipendam teramat dalam, ingin dilepaskan, tapi takut diutarakan. Ada yang ditahan karena menghargai perasaan.

“Mulai hari ini, kita sudahi semuanya.” ucap Nay lirih. Membuka percakapan. “Kita akan kembali sebagai sepasang orang yang tak saling kenal dan tak akan saling sapa. Cerita kita berakhir sampai di sini, tidak bisa dilanjutkan.”

Bram paham – dia sudah menduga kalau kisah mereka pada akhirnya akan sampai pada titik di mana Nay akan memutuskan memilih siapa di antara dirinya dan Arul. Tapi dia tetap tak ingin begitu saja rampung.

“Kenapa tidak bisa, Nay? Kenapa tidak dicoba dulu? Aku tidak akan pernah bisa berpaling ke yang lain. Kamu benar-benar yang paling cocok untukku, kamu detak jantungku, denyut nadiku, wajah yang kucari di pagiku, nama yang selalu aku ucap di doaku, wanita yang paling pas buat aku, mungkin kamulah tulang rusukku. Kenapa tidak bisa? Kenapa kamu bilang ini semua percuma?”

Nay menyentuh jemari Bram dengan lembut, tapi kemudian melepaskannya buru-buru. Seakan menyadari ia baru saja melakukan sesuatu secara reflek. Si cantik itu menatap dengan berlinang sang pria bertubuh kekar yang sebulan ini mengisi hari-harinya.

“Mas Bram akan mendapatkan pengganti Mbak Ayu. Mas Bram akan mendapatkan orang yang akan meneruskan amanat untuk menjaga dan menyayangi Mas karena Mas memang pantas. Mas Bram kan masih muda, masih punya banyak kesempatan untuk berkenalan dengan wanita lain. Wanita yang akan merawat Mas Bram sebaik Mbak Ayu, setulus Mbak Ayu, dan setelaten Mbak Ayu... yang jelas...”

“Aku hanya ingin kamu, Nay.” Potong Bram.

“...yang jelas wanita itu bukan aku.” Lanjut Nay tanpa menghiraukan selingan dari Bram.

“Bagaimana kamu tahu?”

“Karena aku sudah jadi milik orang lain, Mas. Aku milik suamiku, aku milik anakku. Aku milik mereka, untuk selamanya. Aku tidak bisa menjadi milik siapa-siapa lagi sekarang. Bodohnya aku baru menyadari itu sekarang.”

“Tapi kita kan sudah... maksudku kita bahkan akan...” Bram menghela napas panjang, ia menyadari seberapa jauh Nayla ingin mengakhiri hubungan mereka. “jadi dengan mudahnya kamu akan menafikan hubungan yang telah kita jalani selama ini?”

“Apa yang kita lakukan adalah kesalahan yang harus kita edit, kita lalui, kita lewati, dan pada akhirnya berusaha kita lupakan. Bahkan berjalan bersama pun kita adalah kesalahan yang tak termaafkan. Kesalahan ya diperbaiki, tidak dilanjutkan. Kita akan kembali menjadi kita sebelum ada kita.”

“Kita sebelum ada kita.” Bram menatap wajah wanita yang begitu ia sayangi, kepala Nay menunduk, tak perlu jadi seorang ahli untuk tahu si jelita itu sedang berusaha untuk tidak menangis. Bram ingin memeluk dan menenangkannya, tapi ia tahu kalau itu pasti akan ditolak oleh Nayla.

“Semua sudah usai, semua cerita kita kalaupun ada sudah selesai. Kita memulai hubungan dengan kesalahan. Keberadaan kita di sini sekarang, duduk berdua, bercakap-cakap seperti ini? Ini kesalahan. Kita seharusnya tidak mencoba melakukan apapun yang keluar dari jalur – kita sudah telanjur ngawur. Padahal apa yang kita lakukan hanyalah hal yang percuma hanya gara-gara tergoda. Aku tidak akan pernah meninggalkan suami dan anakku – dan kamu, Mas... Kamu berhak mendapatkan bintang yang lebih bersinar.” Nay tak mampu menahan derai air mata turun dan mengisi bait demi bait kata-kata yang terucap dari mulut mungilnya. “Aku menyayangimu. Sungguh aku menyayangimu, tapi kita hanya akan menyakiti dan menimpakan kesalahan saat semua terungkap di ujung perjalanan. Aku tidak ingin berbohong lagi pada suamiku, tidak ingin lagi...”

Bram tertegun saat menyadari kalimat terakhir Nayla, “Ka-kamu mau menceritakan semua kisah kita pada suamimu?”

“Aku belum tahu. Kalaupun ya, itu sudah bukan urusanmu.”

“Belum tahu gimana, sih?! Mikir Nay! Kenapa harus kamu ceritain? Kamu bisa dihajar! Bisa dicerai! Bisa dibunuh! Gila kamu! Aku tidak akan bisa melindungimu kalau...”

“Aku tidak memerlukan perlindunganmu. Apapun yang akan dilakukan suamiku, itu konsekuensi yang harus aku tanggung karena telah mengkhianati kesetiaan yang sudah aku janjikan. Itu konsekuensi karena aku mengingkari ikrar sehidup semati. Itu hak dia untuk melakukannya.” Nada suara Nayla seperti tercekat, “tolong pahami aku. Bantu aku untuk melakukan hal yang benar sekali ini saja dengan tidak mencoba menghalangiku. Kalau memang dia kalap, biar aku terima. Kalau aku mati, mungkin sudah garisnya.”

“Ngawur omonganmu! Jangan gila...! Kamu bunuh diri namanya! Kalaupun kamu suruh aku pergi, ya sudah lupakan semua! Tapi kamu kan bisa memendam rahasia ini tanpa ketahuan siapapun! Bahkan sampai akhir hayat! Kenapa kamu tidak mengubur saja semua cerita kita diam-diam? Tidak perlu mengakui kesalahan kita berdua. Tidak perlu mengatakan apapun jika tidak ditanyakan tentang apapun! Apalagi kamu sudah... maksudku... bagaimana dengan...”

“Mas.” Nay menggelengkan kepala. “Mas Bram dengerin aku ga sih?”

Bram terhenyak sesaat, tapi ia lantas terdiam sembari mengatur emosinya.

Ketika Bram mulai tenang, Nay baru melanjutkan. “Mas, aku bukan orang bodoh. Ya, aku sedang mencoba berjalan masuk ke kandang singa – tapi aku sendiri yang mengubah suami yang amat penyayang menjadi seekor singa itu. Ya, aku memang akan mengambil resiko terburuk dalam hidup – tapi itu juga karena aku sendiri yang membuat hidup nyamanku menjadi tidak aman. Tapi aku telah melakukan hal yang nista dan tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang menyimpan rahasia. Aku tidak akan menumpuk satu kesalahan yang telah aku lakukan dengan melakukan kesalahan yang lain. Aku harus melakukan apa yang menjadi takdir dan jalanku dengan segala resiko yang ada. Biar saja. Yang terjadi padaku terjadilah, yang akan terjadi biarlah. Aku harus siap menghadapi semuanya. Berani menjalankan, berani menghadapi hukuman.”

Bram menunduk, helaan napasnya berat sekali.

Gila kamu, Nay.

Bram menghela napas panjang, tidak ada gunanya membujuk Nay karena ia tahu si cantik itu sudah memutuskan. “Jadi... kita udah?”

“Ya. Tak ada lagi kita.”

“Lalu bagaimana dengan...” telunjuk Bram mengayun pada dirinya dan Nayla.

“Aku akan selalu memberikan kabar, mohon beri aku dukungan.”

Bram duduk dengan lemas, tangannya menangkup wajah sendiri. Berulangkali ia membasuhnya tanpa air, menggosoknya dengan harapan ia bisa mencuci semua perasaannya pada Nayla dan membaca yang tersurat melalui yang tersirat.

Nay teguh pada pendiriannya. Itu sudah pasti.

Mereka memang sudah sampai pada titik di penghujung jalan, sebuah keputusan yang tak bisa dihindari. Berputar balik atau lurus ke depan, hanya itu saja pilihannya.

“Terima kasih sudah mengangkat aku tinggi-tinggi dengan harapan semu. Terima kasih sudah menghancurkan aku.” Serak suara Bram. Lemas. Lirih. Lunglai. Pria yang usianya hampir dua kali lipat dari Nay itu hampir-hampir tak percaya ia akan diatur oleh wanita yang lebih muda darinya.

“Kamu pikir aku tidak hancur? Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku akan melanjutkan hidup dengan keadaanku yang sekarang. Tapi aku harus mencoba, karena inilah aku.” Nay mencoba menahan tangisnya. “Cari yang lain, Mas. Kamu bisa.”

Nay menyentuh tangan Bram, mengusapnya tiga kali lalu berdiri dari kursinya dan meninggalkan pria itu, tanpa mengatakan apa-apa lagi. Tempo hari ia pernah melakukan hal yang sama namun lantas berbalik untuk kembali jatuh ke pelukan Bram. Tapi tidak untuk kali ini. inilah perpisahan mereka yang sesungguhnya.

Apakah nantinya mereka akan berjumpa lagi? Mungkin. Karena jika diijinkan mungkin akan ada ikatan takdir yang akan menyatukan mereka - mungkin juga tidak. Akankah mereka akan dipertemukan lagi? Benarkah ini akhirnya? Bisa apa Bram untuk menjawabnya? Semuanya bisa ya dan bisa tidak.

Bram mendengus, semudah ini semuanya berakhir. Haruskah ia benci Nayla? Mana mungkin. Bagaimana mungkin ia mengutuk wanita seindah Nay – wanita yang telah memberinya emas di ujung pelangi? Mana mungkin ia rela melepas kepergian seorang bidadari yang pernah singgah dan mengikat selendang cintanya di hati.

Melepas bayangan Nayla? Misi yang mustahil.

Tapi harus.

Bram tersenyum dalam kepedihan. Pertentangan hebat memburu jantung dan batinnya, mengacak-acak relung jiwanya. Si jelita itu belum terlalu jauh. Haruskah ia kejar dan hentikan Nayla, lalu memeluknya tanpa pernah ia lepas? Haruskah ia pertahankan sampai titik darah penghabisan? Ataukah sebaiknya memang ia cukupkan laju hatinya hingga sampai di sini saja?

Mana yang harus dipilih? Tahan kepergian Nay atau tahan diri sendiri?

Bram gamang.

Ketika gamang, ia teringat pada seseorang yang pernah memberikannya masukan paling terpatri di hati.

Jika kamu bingung, bicarakan denganku. Aku mungkin tidak akan bisa memberikan jawabannya, tapi paling tidak kamu sudah menceritakan masalahmu apa. Jangan semuanya kamu bebankan pada dirimu sendiri. Bagikan padaku walaupun hanya sekedar bercerita. Kamu pasti bisa menentukan jawabannya dengan mendengarkan hati nurani dan membagikan bebanmu padaku.

Saatnya bertanya dan bercerita. Bram lantas membuka dompetnya, melihat foto almarhum istrinya di sana.

“Bagaimana menurutmu, sayang? Apa yang harus aku lakukan?” bisik pria itu lirih. “Sudah lama aku tidak mengunjungi makam kamu.”

Foto istrinya tentu terdiam tanpa kata, berucap tanpa bahasa, hanya meneguhkan senyum abadi yang tertuang dalam deret cetak warna tanpa suara. Ada sejuk terasa di hati Bram melihat gambarnya, galau yang tadinya merajam, bagai hancur dilebur debur ombak bertaut karang, bagai lintas berkelebat di bawah debat hebat di mana otak dan hati terlibat.

Jadi... haruskah ia mengejar Nay ataukah berhenti dan duduk saja di sini?

Nurani. Apa kata nuranimu, Bram? Kamu juga tahu kalau Nay itu seorang istri, dia juga seorang ibu. Wajar kalau dia pilih pergi dan bertahan pada cinta suci, karena dia tidak akan bertahan pada kasih yang semu.

Bram sadar, ada jalur yang tak akan pernah bisa jumpa – seperti jalur rel kereta yang akan berjalan beriringan namun akan selamanya dipisahkan meski menuju arah yang sama demi kebaikan bagi semua. Almarhum istrinya benar, dengarkan nuraninya.

Ini yang terbaik kan, Nay? Perasaan ini nyata dan ada, hadir dan menyapa, lepas pun tak kan cepat rela. Tapi semua hanya akan menjadi pelajaran hidup yang berharga. Bahwa untuk memulai sesuatu yang baru, tidak cukup dengan melakukan pembersihan diri seadanya, tapi lumerkan hingga titik terkecil. Hancurkan dirimu sampai jadi debu, lalu bersihkan tuntas untuk memulai lagi dari mula.

Sudah begitu saja, mulai lagi dari mula.

Bram mengecup foto almarhum istrinya, lalu memasukkan kembali dompet ke tempatnya.

Ia lantas mengambil ponsel.

Kemudian menghapus satu demi satu foto Nayla.

Pada akhirnya, semua pasti ada usainya.





.::..::..::..::.





Nay keluar dari kamar mandi dengan mata sembab. Tangisnya berulang kali pecah, ia sudah mencoba menghapusnya dengan gemuruh air shower yang mengalir meluruhkan semua luka dan prasangka. Si cantik yang hanya mengenakan piyama itu berjalan pelan menuju kamar depan. Tangannya berulang kali masuk ke kantong, dengan seketika itu juga gugupnya merajalela.

Dia harus melakukannya.

Dia harus melakukannya, dengan semua resikonya.

Dia harus jujur.

Dia harus meletakkan dirinya kembali di samping suaminya dan menempatkan diri di posisi semula sebelum kehadiran Bram. Hanya bersama Arul-lah bahagia itu ada dan seharusnya terajut, bukan dengan sosok lain yang datang untuk memberikannya kekosongan dalam jiwa.

Sekali lagi tangan Nay masuk kantong piyama, ia semakin gugup. Tangannya keluar masuk kantong.

Semuanya mungkin akan berubah. Suaminya mungkin tidak akan memaafkannya. Dia paham betul hal itu yang bisa saja terjadi. Atau bagaikan misteri yang indah, suaminya yang menakjubkan akan memaafkannya dengan kebesaran hati yang luar biasa seperti yang selama ini selalu ia tunjukkan.

Nay tahu Ia akan menyakiti Arul, tapi ia juga akan berusaha menghabiskan sisa hidupnya untuk meminta maaf dan membuktikan keseriusannya.

“Sudah ngantuk, Dek?” suara tercekat Nay memecah kesunyian malam.

Putranya terkasih terduduk di kursi, lelap menggeliat, berkecap.

Ada pandangan bersalah dari sang bunda, ada permohonan maaf yang tak terucap, ada penyesalan yang ingin segera dilepaskan, ingin segera dihanyutkan dalam sungai kelam – untuk selamanya dilupakan, atau menjadi luka yang membekas seumur hayat di badan. Ada runyam di batin yang membuncah dan menjadi biang kekacauan pemahaman di kepalanya – selain pada Arul, rasa bersalah itu juga terwujud bagi sang buah hati.

Nay memeluk putranya dengan erat dan mengecup dahinya penuh perasaaan, apapun yang telah terjadi, apapun yang akan terjadi nanti – tidak akan ada yang menghalangi kasihnya pada sang putra tercinta.

Rasa bersalah yang saat ini ia pikul memang terlampau besar, terlalu menyayat dirinya sendiri. Dia ingin bangun tidur sekali saja tanpa merasa bersalah dan membenci dirinya sendiri karena telah menjadi pengkhianat, tapi itu tidak bisa dilakukannya tanpa melepaskan kejujuran ke ruang terbuka dengan segala resikonya. Orang lain mungkin bisa memendam dan melupakan semua hingga akhir hayat, tapi tidak Nayla.

Nay menggendong putranya dengan penuh sayang.

Nay tahu dengan pasti di mana ada awal, pasti ada akhir. Mungkin dia akan terkena kutukan, mungkin akan terkena karma. Dia mungkin akan dipisahkan, mungkin akan ditinggalkan, tapi mungkin juga... mungkin... akan dimaafkan. Mungkin masih ada ruang harapan yang tersisa di sudut hati pria yang sungguh ia cinta. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi? Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pasti, tapi itu semua harus dijalani, sebagai bentuk konsekuensi.

Manusia tempatnya salah dan saat hatinya dulu terbelah, Nay seharusnya tahu dia akan berada dalam masalah. Kini saatnya menyelesaikan semuanya. Keputusan yang akan menjadi penyeimbang jiwanya – apakah dia akan dimaafkan, ataukah hidupnya akan berubah, akan dimulai dari sekarang.

Seluruh jiwa raganya ia berikan pada keputusan sang suami.

Nay yakin dengan jalan yang akan dia tempuh – ia sudah pernah berbuat salah, tapi bukan berarti ia akan menyembunyikan dan berkilah. Ia sudah memulai dengan kebohongan, saatnya mengakhiri kemunafikan dengan kejujuran. Saatnya ia memohon ampun, memohon maaf, memohon belas kasih dari pria pemilik hatinya. Nafsu memang membutakan, birahi sungguh melenakan, hingga pada akhirnya cinta yang akan menyadarkan – cinta pula yang mungkin akan menyakitkan, tapi mudah-mudahan cinta bisa menyembuhkan.

Nay melangkah lembut keluar dari kamar Adek dengan jejak-jejak kaki yang bagai melangkah di awan. Sebisa mungkin tidak membangunkan sang putra tercinta.

“Dia belum tidur?”

Suara sang suami yang lembut menyejukkan hati Nay.

Mungkin untuk terakhir kalinya?

Nay tersenyum dan mengangguk, lalu menunjuk ke arah Adek yang terlelap dan membuat tanda senyap dengan jari telunjuk di pertengahan bibir. Arul ikut mengangguk dan tersenyum, ia lantas mengambil sebuah buku dan duduk dengan santai di sofa ruang tengah sambil membaca buku yang ia nikmati dengan nyamannya.

Nay membawa sang buah hati dengan perlahan dan berjalan pelan ke pembaringan di sudut kamar. Ia meletakkan putra semata wayangnya di sana. lalu berjingkat supaya tidak membangunkan. Setelah memastikan semuanya tenang, Nay menutup pintu kamar sang putra dan kembali ke ruang tengah.

“Mas...”

“Hmm?”

“Ada yang ingin aku katakan.”

“Apa tuh?”

“Mas...”

“Hmm...?” Arul melirik ke arah istrinya yang berdiri di samping sofa.

Wajah Nayla tertunduk, tubuhnya lesu, garis bahunya naik turun. Tangannya gemetar dengan jari-jemari yang saling terkait. Nay... menangis?

“Sayang? Kamu kenapa?”

Arul duduk di sisi sofa dengan mengerutkan kening. Wajahnya bertanya-tanya akan sikap aneh sang istri. Saat itulah Nay mendekat dengan sangat perlahan-lahan sekali seakan ia bahkan takut untuk menyakiti karpet rumah dengan gerakannya. Ketika sudah berhadapan, wanita cantik itu akhirnya luruh ke bawah, bersimpuh di kaki sang suami. Tangisnya pecah, berurai, tumpah.

Jantung Arul berpacu dengan cepatnya, tentu ia terkejut. Ia segera mencoba mengangkat Nay ke atas kembali. Apa yang terjadi? Kenapa Nay begini?

“Sayang?” Arul mencoba menyentuh pundak istrinya yang bergetar hebat. Nay sesunggukan tanpa suara, dan sang suami pun kebingungan bukan kepalang. “Kenapa kamu?”

“Maafkan aku, Mas... aku telah melakukannya... Ya Tuhan, aku telah melakukannya... maafkan aku, Mas... aku bersalah, aku sungguh bersalah... aku memang bodoh, sangat bodoh! Maafkan aku... Ya Tuhan... apa yang sudah aku lakukan!?”

“Nay...?”

“...aku tidak tahu apakah aku masih pantas...” lelehan air mata Nay menetes di punggung kaki Arul. “Aku tidak tahu... apakah aku... masih pantas... menjadi istrimu...”

“Nay...!?”

“Apa yang seharusnya aku jaga, tidak aku jaga dengan baik. Apa yang seharusnya aku simpan, tidak aku simpan dengan baik... aku... aku saat ini hanya bisa meminta maaf dari hatiku yang terdalam. Aku sayang sama kamu, Mas. Cinta sama kamu... dan akan selamanya begitu. Kamu sangat baik, kamu sangat sayang sama aku, sayang sama adek... dan aku... aku justru hampir menghancurkan semuanya. Ini semua salahku, Mas... aku yang bersalah.”

Arul menarik napas panjang, pikirannya mengelana – apa yang ia takutkan seumur hidupnya mungkin sudah mewujud menjadi momok mengerikan yang hadir tanpa ia harapkan di waktu yang tidak ia duga-duga. Tapi ia tak ingin gegabah menuduh. Apakah Nay melakukan hal terkutuk seperti yang tergambar dalam benaknya yang kejam?

Arul melepas pegangannya pada pundak Nayla, mengatur napasnya sendiri dan bersiap mendengar semua kabar buruk.

Ia sempat memejamkan mata, tapi kemudian membukanya kembali ketika ia merasakan kencangnya pelukan pada kakinya – pelukan yang seakan tak ingin lepas sampai akhir masa. Ia menatap mata istrinya. Ada kepedihan di sana. Kecamuk bagi Arul terasa di dada. Ada rasa ingin memeluk dan melindungi sang istri tercinta, tapi ada juga rasa ingin menunda sampai usai semua wicara. Ada apa sebenarnya?

Tatapan mereka berjumpa, ingin tersampaikan berjuta kata. Bisikan lirih Nay menjadi pemula, derai air matanya menjadi pertanda.

“Maafkan aku, Mas. Aku tak setia.”

Nay mengeluarkan testpack dari kantong piyamanya dengan tangan bergetar dan wajah pucat pasi, tetes airmatanya mengalir deras.

Mulut Arul terbuka.





AMPIBI.
SELESAI.
Sitik dikit goyang josss......pacen oye hu...
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd