Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

ARFAN, SI PEJANTAN TANGGUH DARI DESA(Remake)

Bu Rini tampaknya sedang menyuruh Arfan memanjat pohon besar yang ada di halaman belakang, ia bermaksud memotong sebuah dahan dan ranting yang mengarah keluar tembok tinggi rumahnya.

“Batang yang ini Nyonya?” Arfan setengah berteriak pada Bu Rini yang ada jauh dibawah.

“Iya Ar, yang itu, yang kamu pegang nak, itu dipotong aja biar gak keluar dan ngotori jalan,” kata Bu Rini lembut sambil tersenyum pada Arfan.

“Ya Allah, manis kali senyum Nyonya....,” Arfan membatin lagi, matanya sempat jelalatan memandangi dada Bu Rini dari atas pohon, untung pemiliknya sedang tidak menoleh ke arah Arfan.

Daster longgar dan tipis dengan leher rendah itu memberi celah yang cukup bagi Arfan untuk mengintip tonjolan buah dada Bu Rini yang memang berukuran besar. Anak itu menelan ludah 3 kali, ia bayangkan betapa lembutnya kulit dada nyonya besar itu kalau telapaknya menyusup dan membelai susu sang nyonya.

Dengan tangkas Arfan memotong dahan-dahan yang diminta, sambil sesekali menoleh kearah perempuan setengahbaya yang memiliki susu lebih besar dari dada emak ataupun budhenya itu. Untunglah Arfan memakai celana dalam pagi ini, kalau tidak tentu akan ada tenda lagi seperti semalam.

“Sudah Ar, cukup segitu potongnya, jangan banyak-banyak...,” Ujar Bu Rini pada Arfan, “upsss... salah lagi... bodohnya aku...,” Bu Rini membatin, terlambat ia menyesali itu karena Arfan sudah mulai bergerak menuruni pohon, padahal Bu Rini baru saja melirik kearah selangkangan anak itu yang kini memakai celana pendek dari bahan kain yang longgar. Meski memakai cawat, Bu Rini bisa melihat dengan jelas dari arah bawah, kontol anak remaja belia itu tercetak dan masih saja tampak cembung.

“Aaaarrrr, dahan yang ini juga dipotong ya?” buru-buru Bu Rini menunjuk kearah dahan cukup besar tepat dua meter di bawah dahan yang Arfan potong tadi. Kali ini pandangan Bu Rini kearah selangkangan Arfan jadi lebih dekat, selangkangan berlapis celana kain itu makin jelas mencetak tonjolannya. “Woooowwww! Besar! Panjang! Dan pasti nikmat kalau masuk ke... uuuhhhh,” Bu Rini ragu meneruskan khayalan liar yang tiba-tiba memaksa akal sehatnya mengalah!

“Iya Nyonya...,” ujar Arfan tanpa menoleh ke bawah, karena dari sudut matanya ia melihat Bu Rini sedang memperhatikan.

Sejujurnya Arfan juga sangat senang berada di posisi ini, karena pandangannya kearah dada besar Bu Rini makin jelas pula. Namun ia takut menoleh ke bawah. Di hati anak remaja belia ini Bu Rini adalah orang yang harus ia hormati karena mereka yang dulu miskin bisa tinggal di rumah mewah serta berharap masa depan yang cerah bagi diri dan keluarganya. Arfan terpaksa harus menekan kuat keinginannya untuk menikmati tubuh molek nan bahenol milik perempuan kaya yang sangat baik pada mereka itu. Tiap kali pikiran mesumnya mengarah ke tubuh Bu Rini, cepat-cepat Arfan berusaha keras mengusirnya. Meski bayangan buah dada besar, wajah manis dan tubuh mulus ibu setengahbaya itu selalu menggoda batinnya.



“Sssshhhhh..... Huuffff....,” bunyi desah Bu Rini menarik dan menghembuskan nafasnya pelan, tak terdengar siapapun termasuk Arfan yang berada diatas pohon besar, 5 meter saja diatas tempat ia duduk sekarang.

Nafas berat adalah hasil perempuan setengahbaya itu menahan keinginan menatapi lekat-lekat pemandangan seronok yang mengintip dibalik celana kain anak remaja belia yang sedang memotong dahan pohon seperti ia perintahkan. Wanita berwajah manis itu benar-benar berusaha menekan desakan syur dalam tubuhnya. Ia yang sudah beberapa bulan tak mendapat sentuhan laki-laki itu jadi benar-benar tak tenang.

Kehidupan seksualnya selama 14 tahun menjanda berjalan biasa saja. Memang 14 tahun bukan waktu yang singkat bagi perempuan normal, tapi sebagai perempuan karir yang tangguh, Bu Rini selalu bisa mengalihkan godaan nafsu birahi yang sering dialaminya selama ini dengan cara menyibukkan diri, bisnisnya yang berkembang pesat dalam kurun waktu satu dekade membuktikan hal itu. Sesekali, dalam tiap tiga atau empat bulan, Bu Rini yang bertubuh tambun dengan payudara berukuran besar itu menyalurkan hasratnya dengan cara yang lazim dilakukan kalangan orang kaya, membayar pria muda yang dikenal sebagai gigolo untuk melayani nafsu seks yang sudah tak dapat ia bendung. Sesekali juga Bu Rini menghubungi ‘sahabat’ lamanya, seorang pria teman dekatnya sejak SMA dulu bernama Bram yang sayangnya sudah beranak istri.

Akhir-akhir ini, Bu Rini mengalami permasalahan pribadi yang cukup pelik. Peristiwa percobaan perkosaan dan pembunuhan yang dialaminya bulan lalu belum lagi tuntas di persidangan. Jauh sebelumnya pun hubungan Bu Rini dengan pak Bram ‘sahabat dekat’ nya merenggang. Entah kenapa pak Bram seperti enggan dan malas-malasan saat Bu Rini ingin bertemu. Mungkin lelaki seumurnya itu sudah merasa tak muda seperti dulu dan tak mampu lagi melayani kebutuhan seks Bu Rini yang kian lama justru makin menggebu.

Bu Rini juga tak terlalu suka memakai jasa gigolo seperti teman-teman perempuannya lakukan, karena itulah ia tak terlalu berminat mengikuti arisan seks yang diadakan group rahasia ibu-ibu setengahbaya kalangan terdekatnya. Ia merasa kurang nyaman jika rahasia pribadinya terkait seks diketahui pria sembarangan yang tak dikenalnya dengan mendalam. Tumpukan masalah-masalah itulah yang sekiranya membuat Bu Rini jadi tak pernah tenang beberapa waktu belakangan.

Bu Rini melangkah gontai kearah kamar tidurnya, waktu belum saja beranjak siang. Ia membanting tubuh bahenolnya keatas kasur nan empuk. Mencoba memejamkan mata, paling tidak 3 jam lagi sebelum waktu makan siang. Ia berusaha mengusir bayangan seronok selangkangan Arfan. Tapi khayalan nakal wanita itu makin menggila, ia mengunci kamar dan mengambil sebuah benda berbentuk kemaluan pria dari lemari. Tergesa-gesa kembali ke kasur dan serta merta menjilat benda bernama dildo atau kontol karet itu dengan lidahnya.

“Hoooooohhhhh Aaaarrrrr.... kontolmuuuuu bessaarrr naaaakkkk... ibu boleh kulum kontolmuuuhhhh?” desah Bu Rini di sela-sela jilatan lidahnya, dimasukkan pula benda berdiameter 5 cm itu ke mulut seksinya, tak cukup!

Bu Rini benar-benar gila membayangkan sedang menyedot kontol Arfan, tangan kanan mengorek-orek memeknya yang sudah basah, beberapa jarinya masuk dan mengocok liang kenikmatan itu.

“Ooooohhhh Nak Arrrrrrrr!!! Kontolmu masuuk memek ibbuuu naaakkkk!!!” erangnya sambil berusaha mendorong masuk kontol karet itu lebih dalam lagi,

“Bessaaaarrrr kali kontolmuu naak Arrrfaaannnnnn!!! Ennaaaakkkk!!!” jerit Bu Rini lagi, dikocok-kocokkannya penis karet itu keluar masuk memeknya yang masih saja sempit meski umurnya sudah hampir setengah abad.

Limabelas menit saja mengocok memeknya dan berfantasi sedang digeluti oleh Arfan, Bu Rini 3 kali mengalami orgasme hebat. Di ujung ia tampak puas lemas tergolek diatas kasur empuk itu, ia pun tertidur kelelahan....
 
Saat yang sama di ruang setrika...

“Mak, ayo kita ngentot! Ar sudah tak tahan nih...,” ajak Arfan menarik tangan emaknya yang sedang asik menata pakaian-pakaian Bu Rini.

“Ssssttt jangan disini Ar, bahaya, nanti ketahuan Nyonya..., di kamar mak aja,” Leha menepis tangan Arfan yang berusaha meremas susunya, lalu berdiri dan melangkah mengendap-endap menuju kamarnya yang berjarak cukup jauh dari kamar Bu Rini.

Arfan mengikuti, sambil berjalan mengendap, tangan nakal anak itu mencolek-colek pantat ibunya yang besar.

“Heeehhh kalian mau kemana?” terdengar suara Budhe Warsih dari arah tangga, ia berjalan mengikuti mereka. Rupanya kakak kandung Leha itu sudah bernafsu, ia juga membaca keadaan dan tahu kalau Bu Rini sedang tidur.

“Sssssttttt....,” Leha mengedipkan mata dan menempelkan telunjuknya di bibir, memberi tanda agar Budhe Warsih tidak berisik.

Dengan berjinjit pelan, ketiga orang anak beranak itu memasuki kamar Leha, emak Arfan. Setelah mengunci pintu, Arfan pun langsung menerkam kedua perempuan yang merupakan emak dan budhenya itu. Ditindihnya tubuh Leha, mereka langsung terlibat ciuman bibir, saling pagut, tukar lidah dan ludah. Sementara Budhe Warsih sibuk melucuti pakaiannya sendiri, begitu bugil, ia memeluk Arfan dari belakang sembari menjilat leher keponakannya itu. Lidah Warsih terus menyusur punggung Arfan, sampai di pantat anak itu Warsih menggigit.

“Aaauuwww budheeeeehhhh sakkiitttt,” jerit Arfan cukup keras, mulutnya langsung disergap bibir Leha emaknya.

Warsih yang tak sabaran itu menarik tubuh Arfan yang sedang menindih emaknya, lalu pakaian keponakannya itu ia lucuti sampai telanjang. Rasanya Warsih tak perlu lagi membasahi memeknya seperti biasa sebelum ia dientot Arfan, memek Warsih sudah banjir dengan lendirnya sendiri. Tanpa menunggu aba-aba dari Budhenya, Arfan langsung menindih, memasukkan kontol panjangnya ke memek Warsih.

“Aaarrrrrrr oooohhhhhh ennaaaaakkkkkkk kon kon kontolmuuuhhh!” jerit Warsih saat kontol Arfan menerobos masuk celah becek vaginanya.

Sementara Leha juga dengan cepat mengangkangi wajah kakaknya setelah semua pakaian wanita itu terlepas. Leha dengan penuh nafsu menjejalkan hidung kakaknya pada memeknya yang juga sudah sangat becek. Warsih sampai hampir tak bisa nafas oleh karenanya. Ketiga anak beranak itupun larut dalam permainan gila segitiga yang luarbiasa.

Namun Warsih dan Leha hanya mampu bertahan satu jam saja setelah memeknya digilir kontol Arfan. Anak itu dengan antusias menggenjot kemaluan maknya Leha dimana 18 tahun yang lalu ia dilahirkan. Sudah berkali-kali ia membuat emak dan budhenya berteriak meraih puncak kenikmatan dan menumpahkan cairan kelamin mereka. Memek kedua perempuan yang merupakan orangtua kandung dan budhe Arfan itu membanjir becek, membuat kontol Arfan makin lancar keluar masuk. Akhirnya dengan sekali tekanan kuat di memek Leha, Arfan melepas sperma cukup banyak, sampai-sampai ketika kontolnya tercabut dari situ, air pejuh anak itu ikut keluar sebagian dan meleleh dari celah memek emaknya. Namun sebelum pejuhnya jatuh ke sprei putih bersih itu, tiba-tiba.... sruuuppp... mulut Budhe Warsih menyeruput dan menelan semua lelehan sperma Arfan, lidah Warsih menjilat-jilat liar di sekitar kemaluan Leha, lalu setelah bersih ia juga mengulum penis keponakannya dimana lelehan sperma bercampur cairan memek mereka berdua masih menempel. Budhe warsih dengan senang hati menghisapnya hingga tak tersisa. Terkapar mereka bertiga di kasur empuk kamar Leha, tuntas sudah birahi ketiga anak beranak itu pagi ini.



Beruntungnya Leha, Warsih dan Arfan, dibanding Bu Rini yang cuma orgasme dari kontol karet sambil menghayal disetubuhi Arfan...
 
Meski kedekatan Bu Rini dengan Leha, Arfan dan Warsih sudah tergolong seperti keluarga kandung saja, namun wanita karir bertubuh tambun itu tetap sungkan berusaha untuk mendekati Arfan yang menjadi fantasi seksualnya belakangan ini. Bu Rini tak pernah tahu kalau antara Arfan, Leha emaknya dan Warsih budhenya itu terdapat skandal seks segitiga yang sudah cukup lama terjadi. Warsih yang seringkali ia minta memuaskan nafsu birahinya dengan cara mengoral memek tak pernah sedikitpun menyinggung tentang rahasia hubungan incest antara anak, emak dan budhenya itu. Bu Rini masih saja menganggap Arfan adalah seorang remaja belia yang polos dan belum tahu apapun tentang seks. Itulah yang membuat Bu Rini berpikir seribu kali untuk merayu anak remaja yang diangkatnya sebagai bagian dari keluarganya sekarang. Bu Rini juga rupanya cukup puas dengan pelayanan oral lesbi yang diberikan Warsih tiap kali ia tak dapat membendung gejolak nafsu birahi.
 
Seminggu sejak Bu Rini cuti...

Kriiiing..... kriiiiingg.... kriiingg.... telepon di meja ruang tengah rumah Bu Rini berdering keras, tak biasanya telepon itu berbunyi, sejak adanya Hp, sang nyonya rumah maupun pekerja disana lebih banyak menelpon ke Hp atau mengirim SMS, apalagi sekarang ada WA, telepon rumah nyaris jadi barang antik!

Arfan bergegas setengah berlari mengangkat telepon itu, ia memang dipesan Bu Rini untuk selalu mengangkat kalau ada panggilan ke perangkat yang jarang sekali berbunyi itu, “kali aja sangat penting...,” itu alasan Bu Rini suatu kali.

“Halloooo Assalamulaikum...,” ucap Arfan seperti yang diajarkan sang nyonya rumah.

“Waalaikumsalam..., ibu ada nak? Ini dari kantor, saya Bu Syifa” suara lembut agak serak dan basah di seberang sana.

“Oooh, baik Ummi..., sebentar Ar panggilkan, nyonya lagi di belakang..., tunggu ya Ummi...,” jawab Arfan, segera berlari membawa gagang telepon wireless itu menuju halaman belakang rumah Bu Rini.

Arfan memanggil wanita Arab yang juga sekretaris Bu Rini itu dengan panggilan Ummi karena ia pernah melihat karyawan kantor Bu Rini memanggilnya demikian. Waktu bilahari dikenalkan oleh Bu Rini, perempuan paruhbaya keturunan Arab dengan wajah yang sangat cantik dan berbadan jangkung itu juga meminta Arfan untuk memanggilnya Ummi saja.

“Nyaaaaaa... nyonyaaaaa... ada telpon nyaaaa!” ucap Arfan dengan suara agak keras karena jarak tempat Bu Rini dengan teras belakang rumah itu memang agak jauh, kira-kira 30 an meter.

“Ooh iya anakku... tolong bawa kemari telponnya sayang...,” Bu Rini menyahut dengan lembut.

Leha ibunya dan Budhe Warsih yang mendengar perkataan nyonya besar mereka terhadap Arfan itu merasa ikut tersanjung, betapa sayangnya Bu Rini pada mereka bertiga, Budhe Warsih dipanggil Kak, mak Leha dipanggil Dik, dan sekarang Arfan anak leha dipanggilnya ‘anakku sayang’ pula...

Arfan segera berlari kearah sang nyonya...

“Salamlekoom... kak Ifa...,” sambut Bu Rini seketika meletakkan telepon wireless itu di telinganya, ia berjalan menjauh dari tempat dimana tadinya ia duduk santai bersama Leha dan Warsih.

Yang mengejutkan juga kali ini adalah saat Bu Rini berjalan kearah rumah, ia menggamit lengan Arfan seolah mengajak anak itu beriringan berjalan. Leha dan Warsih saling pandang karenanya.

Arfan agak canggung karena ini pertama kali Bu Rini bersikap begitu padanya, mereka berjalan dengan tangan yang saling menggamit, otomatis bagian samping tubuh mereka menempel. Tampak sekali tubuh Arfan lebih pendek beberapa belas centi dibanding Bu Rini. Arfan tak bisa menolak, meski ia tampak celingukan mencoba menoleh kearah emak dan budhenya yang samasama melongo. Sengaja atau tidak, karena posisi berhimpitan seperti ini, bahu Arfan yang kokoh itu beberapa kali bersentuhan dengan pinggiran buah dada Bu Rini. Arfan semakin merasa canggung saat Bu Rini tiba-tiba menghentikan langkahnya dan dagu Arfan jadi menyentuh buah dada perempuan paruhbaya itu. “Ah...nyonya... kenapa Arfan disiksa begini..., oh nyonya... susu nyonya besar sekali!!!” batin Arfan berteriak. Sekilas dilihatnya Bu Rini melirik kearah bawah, seperti memperhatikan wajah Arfan yang sangat dekat dengan payudaranya.

“Sudahlah kak Ifa, bawa saja dokumen-dokumen itu ke rumahku, nanti aku tandatangani, tapi tolong pastikan dulu kalau mereka mau menjalankan komitmen, jangan sampai kita dirugikan lagi....,” Bu Rini terus berbicara sembari sesekali entah sengaja atau tidak, mengeratkan kaitan sikunya dengan lengan Arfan.

Hati Arfan seperti meraung-raung, berteriak antara kegirangan dan kegalauan, canggung lawan senang bercampur nafsu birahi!

Sementara pembicaraan Bu Syifa dengan Bu Rini di telepon terus berlanjut, langkah mereka berdua hampir sampai di teras belakang rumah itu. Arfan pikir tadinya Bu Rini akan mengajaknya masuk rumah, tapi ia membelokkan langkah kearah samping dan justru memutari halaman belakang. Arfan menurut saja. Ia makin terkejut saat dengan pelan lengan Bu Rini melepaskan gamitannya, ada sedikit perasaan kecewa Arfan tak lagi bersentuhan, wajahnya menjauh dari buah dada Bu Rini. Tapi nanti dulu, belum lagi Arfan sempat berpikir, tangan Bu Rini sekarang justru merangkul bahu anak itu dan menarik seperti mendekap kearah tubuh bongsornya. Hati Arfan mulai senang, jantungnya dag dig dug, buah zakarnya sudah sejak tadi bangun dan mengeras!!

Bu Rini masih terus berbicara, dan membawa langkah kaki mereka ke balik rerimbunan pohon bogenvilia merah. Saat Arfan mencoba melihat kearah emak dan budhenya, pohon bunga yang cukup lebat itu menutupi pandangan. Artinya mereka berduapun tak bisa melihat Arfan dan Bu Rini sekarang. Lagi-lagi Bu Rini menghentikan langkah, bicaranya di telepon masih lancar dan tampak belum akan berakhir. Keberanian Arfan timbul, ia pura-pura menggesekkan hidung dan pipinya tepat di busungan dada besar Bu Rini yang masih berlapis pakaian gaun lengkap, tentu susunya masih berlapis BH juga. Meski begitu Arfan tetap menggesek-gesekkan pipi disana, tak ada reaksi dari Bu Rini yang masih saja berbicara di telpon. Arfan sungguh berharap sambungan telepon itu masih lama sehingga ia bisa terus menikmati kekenyalan buah dada yang baru diketahuinya berukuran lebih besar dari milik emaknya Leha maupun budhenya Warsih. Lama-lama menggesekkan pipi dengan susu besar Bu Rini membuat kontol Arfan serasa ingin meloncat dari dalam celana. Pelapis selangkangan itu terasa kian sempit untuk ukuran penis besar dan panjang miliknya yang kini teramat tegang.

Sepuluh menit pertama memang Arfan sangat menikmati gesekan seronok antara pipinya dan buah dada Bu Rini yang masih berlapis pakaian lengkap, tapi lebih dari itu ia mulai merasakan pegal di batang kontol yang seolah memberontak. Apa yang bisa ia lakukan? Apakah ia akan meremas buah dada Bu Rini dan mengajak nyonya yang begitu baik padanya itu untuk bersetubuh semudah ia meniduri emak dan budhenya? “Tentu tidak...” batin Arfan

Arfan masih berpikir waras untuk nekat sedemikian rupa, sehingga pada saat ia tak sanggup lagi menahan gejolak keinginan untuk segera menyalurkan birahi, Arfan berpura-pura menunduk seolah memperhatikan sesuatu di tanah. Dengan begitu ia seperti tak sengaja terlepas dari pelukan lengan Bu Rini. Perempuan cantik itu tak bergeming dan tetap saja asik dengan pembicaraan telpon, ia seperti tak mempedulikan ketika Arfan terlepas lalu berjalan kearah berlawanan.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd