Seminggu sejak Bu Rini cuti...
Kriiiing..... kriiiiingg.... kriiingg.... telepon di meja ruang tengah rumah Bu Rini berdering keras, tak biasanya telepon itu berbunyi, sejak adanya Hp, sang nyonya rumah maupun pekerja disana lebih banyak menelpon ke Hp atau mengirim SMS, apalagi sekarang ada WA, telepon rumah nyaris jadi barang antik!
Arfan bergegas setengah berlari mengangkat telepon itu, ia memang dipesan Bu Rini untuk selalu mengangkat kalau ada panggilan ke perangkat yang jarang sekali berbunyi itu, “kali aja sangat penting...,” itu alasan Bu Rini suatu kali.
“Halloooo Assalamulaikum...,” ucap Arfan seperti yang diajarkan sang nyonya rumah.
“Waalaikumsalam..., ibu ada nak? Ini dari kantor, saya Bu Syifa” suara lembut agak serak dan basah di seberang sana.
“Oooh, baik Ummi..., sebentar Ar panggilkan, nyonya lagi di belakang..., tunggu ya Ummi...,” jawab Arfan, segera berlari membawa gagang telepon wireless itu menuju halaman belakang rumah Bu Rini.
Arfan memanggil wanita Arab yang juga sekretaris Bu Rini itu dengan panggilan Ummi karena ia pernah melihat karyawan kantor Bu Rini memanggilnya demikian. Waktu bilahari dikenalkan oleh Bu Rini, perempuan paruhbaya keturunan Arab dengan wajah yang sangat cantik dan berbadan jangkung itu juga meminta Arfan untuk memanggilnya Ummi saja.
“Nyaaaaaa... nyonyaaaaa... ada telpon nyaaaa!” ucap Arfan dengan suara agak keras karena jarak tempat Bu Rini dengan teras belakang rumah itu memang agak jauh, kira-kira 30 an meter.
“Ooh iya anakku... tolong bawa kemari telponnya sayang...,” Bu Rini menyahut dengan lembut.
Leha ibunya dan Budhe Warsih yang mendengar perkataan nyonya besar mereka terhadap Arfan itu merasa ikut tersanjung, betapa sayangnya Bu Rini pada mereka bertiga, Budhe Warsih dipanggil Kak, mak Leha dipanggil Dik, dan sekarang Arfan anak leha dipanggilnya ‘anakku sayang’ pula...
Arfan segera berlari kearah sang nyonya...
“Salamlekoom... kak Ifa...,” sambut Bu Rini seketika meletakkan telepon wireless itu di telinganya, ia berjalan menjauh dari tempat dimana tadinya ia duduk santai bersama Leha dan Warsih.
Yang mengejutkan juga kali ini adalah saat Bu Rini berjalan kearah rumah, ia menggamit lengan Arfan seolah mengajak anak itu beriringan berjalan. Leha dan Warsih saling pandang karenanya.
Arfan agak canggung karena ini pertama kali Bu Rini bersikap begitu padanya, mereka berjalan dengan tangan yang saling menggamit, otomatis bagian samping tubuh mereka menempel. Tampak sekali tubuh Arfan lebih pendek beberapa belas centi dibanding Bu Rini. Arfan tak bisa menolak, meski ia tampak celingukan mencoba menoleh kearah emak dan budhenya yang samasama melongo. Sengaja atau tidak, karena posisi berhimpitan seperti ini, bahu Arfan yang kokoh itu beberapa kali bersentuhan dengan pinggiran buah dada Bu Rini. Arfan semakin merasa canggung saat Bu Rini tiba-tiba menghentikan langkahnya dan dagu Arfan jadi menyentuh buah dada perempuan paruhbaya itu. “Ah...nyonya... kenapa Arfan disiksa begini..., oh nyonya... susu nyonya besar sekali!!!” batin Arfan berteriak. Sekilas dilihatnya Bu Rini melirik kearah bawah, seperti memperhatikan wajah Arfan yang sangat dekat dengan payudaranya.
“Sudahlah kak Ifa, bawa saja dokumen-dokumen itu ke rumahku, nanti aku tandatangani, tapi tolong pastikan dulu kalau mereka mau menjalankan komitmen, jangan sampai kita dirugikan lagi....,” Bu Rini terus berbicara sembari sesekali entah sengaja atau tidak, mengeratkan kaitan sikunya dengan lengan Arfan.
Hati Arfan seperti meraung-raung, berteriak antara kegirangan dan kegalauan, canggung lawan senang bercampur nafsu birahi!
Sementara pembicaraan Bu Syifa dengan Bu Rini di telepon terus berlanjut, langkah mereka berdua hampir sampai di teras belakang rumah itu. Arfan pikir tadinya Bu Rini akan mengajaknya masuk rumah, tapi ia membelokkan langkah kearah samping dan justru memutari halaman belakang. Arfan menurut saja. Ia makin terkejut saat dengan pelan lengan Bu Rini melepaskan gamitannya, ada sedikit perasaan kecewa Arfan tak lagi bersentuhan, wajahnya menjauh dari buah dada Bu Rini. Tapi nanti dulu, belum lagi Arfan sempat berpikir, tangan Bu Rini sekarang justru merangkul bahu anak itu dan menarik seperti mendekap kearah tubuh bongsornya. Hati Arfan mulai senang, jantungnya dag dig dug, buah zakarnya sudah sejak tadi bangun dan mengeras!!
Bu Rini masih terus berbicara, dan membawa langkah kaki mereka ke balik rerimbunan pohon bogenvilia merah. Saat Arfan mencoba melihat kearah emak dan budhenya, pohon bunga yang cukup lebat itu menutupi pandangan. Artinya mereka berduapun tak bisa melihat Arfan dan Bu Rini sekarang. Lagi-lagi Bu Rini menghentikan langkah, bicaranya di telepon masih lancar dan tampak belum akan berakhir. Keberanian Arfan timbul, ia pura-pura menggesekkan hidung dan pipinya tepat di busungan dada besar Bu Rini yang masih berlapis pakaian gaun lengkap, tentu susunya masih berlapis BH juga. Meski begitu Arfan tetap menggesek-gesekkan pipi disana, tak ada reaksi dari Bu Rini yang masih saja berbicara di telpon. Arfan sungguh berharap sambungan telepon itu masih lama sehingga ia bisa terus menikmati kekenyalan buah dada yang baru diketahuinya berukuran lebih besar dari milik emaknya Leha maupun budhenya Warsih. Lama-lama menggesekkan pipi dengan susu besar Bu Rini membuat kontol Arfan serasa ingin meloncat dari dalam celana. Pelapis selangkangan itu terasa kian sempit untuk ukuran penis besar dan panjang miliknya yang kini teramat tegang.
Sepuluh menit pertama memang Arfan sangat menikmati gesekan seronok antara pipinya dan buah dada Bu Rini yang masih berlapis pakaian lengkap, tapi lebih dari itu ia mulai merasakan pegal di batang kontol yang seolah memberontak. Apa yang bisa ia lakukan? Apakah ia akan meremas buah dada Bu Rini dan mengajak nyonya yang begitu baik padanya itu untuk bersetubuh semudah ia meniduri emak dan budhenya? “Tentu tidak...” batin Arfan
Arfan masih berpikir waras untuk nekat sedemikian rupa, sehingga pada saat ia tak sanggup lagi menahan gejolak keinginan untuk segera menyalurkan birahi, Arfan berpura-pura menunduk seolah memperhatikan sesuatu di tanah. Dengan begitu ia seperti tak sengaja terlepas dari pelukan lengan Bu Rini. Perempuan cantik itu tak bergeming dan tetap saja asik dengan pembicaraan telpon, ia seperti tak mempedulikan ketika Arfan terlepas lalu berjalan kearah berlawanan.