Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
Arman tertidur di kursi panjang ruang tamu dan terjaga sore hari ketika Enin pulang. Sambil mengucek-ucek matanya, dia pergi ke kamar mandi untuk menggosok gigi. Udara dingin tidak menghalanginya untuk membersihkan badan dengan air sumur yang dingin. Meskipun tadi sudah mengentot Ceu Nuning sampai pejuhnya menyemprot banyak , tapi sempet-sempetnya pemuda itu onani lagi dengan sabun.

Usai mandi dan onani, dia mengenakan kaos lama yang sudah tidak jelas warnanya dan celana jeans belel yang benar-benar belel karena tua, Arman mengenakan jaket bututnya yang sudah kekecilan kemudian dia pamitan kepada Enin untuk jalan-jalan mencari udara segar.

Dia berjalan kaki melalui gang-gang sempit yang jarang dilewati warga, kemudian memasuki jalan besar dan menyusuri pinggiran trotoar yang menghilang ditelan jongko-jongko para pedagang kaki lima.

Sore itu malam belum lagi jatuh, namun langit tampak gelap karena awan-awan yang mendung bergelantungan di langit. Angin bertiup kencang dari utara.

Setengah jam kemudian dia berada di ujung jalan raya itu. Arman kemudian mendekati sebuah kios rokok, membeli setengah bungkus filter favoritnya dan merokok di pinggir kios itu sambil memperhatikan rumah Pak Hendrik yang tampak gelap dan tak terurus.

Pedagang kios itu menawari kursi plastik untuk duduk, tapi Arman memilih bangku kayu pendek sehingga dia bisa duduk dengan berjongkok. Pedagang kios itu adalah seorang lelaki setengah baya yang tampaknya sangat ramah dan suka humor. Dia bercerita banyak tentang pengalaman hidupnya dan Arman dengan senang hati mendengarkannya. Bahkan Arman memesan segelas kopi sambil terus bertekun dengan cerita-cerita bapak pedagang kios itu.

Sambil menyeduh kopi dengan air termos ke dalam gelas plastik, bapak pedagang sekaligus pemilik kios itu tidak berhenti-berhentinya berceloteh.

Meskipun telinga Arman mendengarkan apa yang diceritakan oleh lelaki setengah baya itu, namun sepasang matanya dengan teliti dan awas memperhatikan keadaan sekitar. Ketika dia hampir merasa yakin kalau si reserse itu tidak sedang menguntitnya tiba-tiba sebuah motor matik 150 cc berhenti di depan kios. Penumpangnya ada dua orang dan kedua-duanya tidak memakai helm.
"Lu gantian yang ngawasin, gua diperintah komandan ke Jakarta... Pak Rokoknya sebungkus." Seorang lelaki tinggi besar membungkuk di depan kios. Si bapak pedagang dengan ramah melayani pembeli itu. Sedangan Arman tiba-tiba saja merasa mengkerut dan hatinya menjadi ciut. Jantungnya berdegup kencang. Apa kira-kira yang akan terjadi jika petugas itu tahu jika orang yang dibicarakan itu sedang duduk di pinggir kios sambil ngopi?

Arman mengisap rokoknya dalam-dalam dan bersikap cuek.

"Gua pergi seminggu... rumahnya yang ada pohon mangganya dan pohon jeruk balinya sudah berbuah... cuma ada satu-satunya di kampung itu."
"Oke, oke siap." Kata temannya yang bertubuh lebih kecil. "Tapi malem ini gua piket, besok kali ya mulainya."
"Terserah elu, yang penting lu tetep bikin laporan. Eh, rumah si Hendrik itu masih ditongkrongin?"
"Masih. Gua gak tau kenapa komandan masih penasaran dengan rumah itu padahal kan kasusnya udah kelar."
"Bodo amat. Kita cuma melaksanakan perintah. Ayo cabut!" Kata si reserse tinggi besar itu sambil menaiki motornya. Temannya yang lebih kecil itu menurut. Arman memperhatikan rambutnya yang dikuncir dengan ujung matanya yang jeli.

Ketika kedua orang polisi itu pergi dan menghilang di ujung jalan, Arman menarik nafas lega. Dia menyeruput kopinya dengan nikmat dan mengisap rokoknya penuh perasaan. Tiba-tiba Arman tertawa sendiri ketika secara mendadak muncul suatu pikiran mesum di kepalanya, "suatu saat, jika menemukan itil yang tepat, aku harus mengisapnya seperti aku mengisap rokok ini... slurrrppp... slurrrrppp... he he he."

Pedagang kios itu mengernyitkan kening melihat Arman yang tiba-tiba tertawa sendiri.

***

Jam dinding digital kecil berbentuk persegi di kios rokok itu menunjukkan angka 21.30.

Setelah menghabiskan tiga batang rokok dan segelas kopi, Arman meninggalkan kios rokok itu. Dia berjalan melalui rumah Pak Hendrik lewat jalan depan dengan langkah pelahan. Lampu-lampu rumah itu tidak ada yang dinyalakan dan menurut Arman itu adalah hal terbaik. Namun yang terburuk, dua orang polisi berwajah dan berpenampilan preman tengah main catur di jongko kosong di pinggir rumah itu.

Arman terus berjalan sampai ujung. Dia lalu berbelok masuk ke dalam gang, menyusuri gang itu untuk menemukan dirinya berada di belakang rumah Pak Hendrik. Ternyata, dari gang itu, benteng rumah Pak Hendrik tingginya hampir mencapai 3 meter.
"Ah, sial." Kata Arman. "Seharusnya aku berhitung kalau halaman belakang rumah Pak Hendrik lebih tinggi dari gang ini. Aku tidak bisa menaikinya tanpa bantuan tangga... tapi itu tidak mungkin. Bisa membuat warga kampung ini curiga." Katanya lagi dalam hati.

Arman terus berpikir untuk menemukan cara agar dia bisa menaiki benteng yang tinggi itu. Tapi otaknya buntu. Dia tak bisa menemukan cara lain selain menaikinya dengan tangga.

***

Arman sudah dua kali bolak-balik menyusuri gang itu dan dia merasa khawatir kepada beberapa warga yang sedang nongkrong di teras rumahnya, mencurigai dia.
"Ah, sudahlah. Lain kali saja." Kata Arman dalam hatinya. Dia sudah menyerah dan berniat untuk pulang.

Dia melangkah dengan lunglai menuju ujung gang dan berniat benar-benar akan pulang. Namun langit malam bercerita lain. Setelah cukup lama awan-awan hitam itu bergelantungan dan menutupi bintang-bintang, tiba-tiba saja halilintar meledak disusul kemudian hujan deras turun seakan mengguyur bumi.

Semula Arman memaki-maki hujan. Dia langsung kuyup oleh siraman air hujan ketika berada di ujung gang... tidak ada tempat berteduh selain kios rokok yang berada di sebrang jalan. Arman tidak berniat menyebrangi jalan yang sudah mulai tampak sepi itu apalagi ketika pikirannya tiba-tiba menemukan suatu ide. Dia berbelok ke arah kiri gang dan berjalan tergesa melewati rumah Pak Hendrik. Sambil menggigil dengan keras dia mengangguk ke arah dua orang polisi yang sudah bosan bermain catur di jongko kosong di pinggir rumah Pak Hendrik.
"Maaf, Pak, numpang neduh." Kata Arman dengan sangat sopan.
"Oh, silahkan, dek. Silahkan." Kata salah seorang anggota polisi itu.

Arman kemudian mengambil tempat di sudut dan memeluk dirinya sendiri agar hangat. Tidak lama setelah Arman masuk, ada dua orang lain lagi yang ikut berteduh di situ. Kedua orang polisi itu kelihatannya tidak begitu nyaman dengan kedatangan orang-orang yang iku berteduh di situ.
"Bro, kayaknya soto ayam di ujung jalan enak ya dimakan hujan-hujan gini." Kata salah seorang anggota polisi.
"I ya Bro, kayaknya enak. Kesana yuk lari sebentar." Jawab yang lain.
"Ayo, siapa takut."

Mereka pun berlari meninggalkan jongko kosong itu menuju tukang soto ayam yang ada di ujung jalan.

Arman merasa sangat bahagia ketika dua orang lain yang ikut berteduh di situ, pergi ke juga ke arah kedua polisi itu berlari.
"Sekarang giliran aku." Kata Arman sambil berlari ke arah pintu gerbang rumah Pak Hendrik yang digembok. Dia dengan cepat memanjat pintu gerbang yang terbuat dari teralis besi dan meloncat masuk ke halaman depan rumah itu. Dia lalu dengan berhati-hati menyusuri pinggiran pagar rumah dan menemukan pintu halaman samping yang tak dikunci.
"Tuhan berpihak kepadaku." Katanya sambil menyelinap masuk ke halaman samping yang gelap. Tapi itu tidak masalah. Dia sangat mengenal halaman samping itu yang akan membawanya ke halaman belakang.

Tidak perlu waktu lama bagi Arman untuk menemukan bak sampah itu. Dan ketika dia mendorongnya, tikus-tikus berloncatan sambil mencicit-cicit. Dia meraih kantong kresek hitam itu dengan perasaan gembira yang meluap-luap.
"He he he... akhirnya duit ini jadi milikku juga." Katanya sambil memasukkan kantong kresek itu ke bagian dalam kaosnya. Setelah mengancingkan jaket, Arman cepat bergerak ke halaman depan dan menaiki pagar. Lalu meloncat ke trotoar.
"Huft!"

Hujan semakin besar dan bergemuruh, menemani langkah seorang lelaki yang merasa dirinya menjadi orang paling kaya se dunia.

***

Tiba di depan rumahnya, Arman dikejutkan oleh teguran Pak Iwan, tetangga yang rumahnya persis di depan rumah Arman, yang muncul dari balik pintu dan menegurnya dengan suara keras.
"Hey, Arman, sudah dari mana kamu malam-malam begini hujan-hujanan?"
"Eh, Pak Irwan. I ya Pak, pulang ngojek di pangkalan Pak... sepi ah... lebih baik pulang saja, tidur."
"Kamu ngojek pake motor siapa?"
"Nembak, Pak. Punya Mang Oha."
"Oohh..."
"Permisi, Pak... dingin nih."
"Ya ya." Jawab Pak Irwan dengan nada tidak acuh.

Arman masuk rumah melalui pintu samping dan masuk ke dapur dengan berhati-hati. Dia yakin Enin sudah tidur. Dia lalu mengunci pintu dapur dan masuk ke dalam kamar mandi. Membuka jaketnya yang basah kuyup dan kaosnya yang ternoda tanah merah yang berasal dari kantong kresek itu. Kantong kresek itu dicucinya dengan air dan dengan tangannya dia membersihkan kotoran yang menempel sambil merasakan gepokan uang yang terdapat di dalamnya.

Tanpa mempedulikan dingin yang semakin menggigit, Arman melepaskan celana jeans dan celana dalamnya. Dia lalu mencuci semua pakaiannya dalam keadaan telanjang bulat. Kemudian mandi lagi... dia tergoda untuk melakukan onani lagi.
"Tidak... nanti saja." Katanya.

Setelah menggantungkan baju, celana jean, celana dalam, kaos dan jaketnya yang basah, pada tali jemuran yang terdapat di dinding dapur, sambil menjinjing kantong kresek dalam keadaan bugil, Arman melangkah melalui ruang tengah untuk masuk ke dalam kamarnya. Tapi Arman tidak tahu kalau ternyata Enin memperhatikan dari balik gorden kamarnya.
"Cucuku memang gagah dan ganteng... dia persis mirip kakeknya. Tinggi dan ramping. Tapi kontolnya jauh lebih besar dan lebih tebal." Desis Enin sambil tersenyum.

Enin kemudian kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu.

***

Seumur hidup Arman belum pernah memegang uang sebanyak ini. Dia menatap lima gepok uang itu sambil tersenyum-senyum. Dia duduk di kasur dan lima gepok uang itu diletakkan di antara selangkangannya.
"Hm, apa rencanaku dengan uang ini?" Pikirnya. "Jika aku memperlihatkan diri berfoya-foya menghabiskan uang ini... pasti akan menimbulkan kecurigaan. Para tetangga akan curiga, polisi akan curiga... hmmm... mikir Arman... mikir..." Desisnya.

Sambil berpikir dia mengikat anak kunci yang berwarna silver itu dan mengalungkannya ke lehernya.

"Langkah pertama aku akan membeli HP dengan OS terbaru... beserta quota internet unlimited selama setahun... kedua, aku akan mengurus SKCK... ketiga, aku akan membeli motor... hmm... berapa total semuanya ya? Apakah mereka akan curiga? Tidak, tidak, mereka tidak akan curiga. Akan aku katakan kepada mereka bahwa aku menjual emas simpanan Enin... tapi Enin kan hanya punya emas 10 gram? Nilainya paling juga sekitar 5 juta setengah... ya ya ya aku tahu... Enin tidak boleh mengatakan simpanannya 10 gram tapi 100 gram... ya ya ya... jadi jumlahnya 55 juta... ahhh... rencana ini harus didukung Enin...Tapi bagaimana kalau Enin tidak mau mengatakan simpanan emasnya adalah 100 gram?"

Arman terus berpikir sampai lelah. Dan akhirnya tertidur.

***

Arman terbangun keesokan paginya dengan uang berserakan di kasurnya. Dia sangat terkejut dan cepat membereskan dan merapikan uang tersebut. Tiba-tiba Enin muncul menyibak gorden kamarnya.
"Uang sebanyak itu dapat dari mana, cu?" Tanya Enin dengan tatapan penuh selidik. Arman gelagapan.
"Ini... ini... uang simpanan Arman selama kerja, Nin." Jawab Arman.
"Jangan bohong sama Enin!" Bentak nenek itu dengan suara keras.
"I... i... ya... Nin... sum...pah..."
"Dengar cucuku..." Kata Enin. "Enin tidak mau kehilangan kamu untuk yang kedua kalinya... apalagi sampai kamu masuk bui lagi... Enin tidak mau... Enin di sini sendirian, Cu, Enin tidak mau sendirian..." Tibatiba saja nenek tua itu menangis sesenggukan.

Arman cepat bangkit dan mendekati Enin, memeluknya.
"Jangan khawatir, Nin, Arman kali ini akan lebih berhati-hati... Arman tidak akan tertangkap dan masuk bui... Arman akan kerja yang halal menjadi driver ojeg online. Enin tidak akan pernah sendirian... Arman akan cari uang banyak untuk enin dengan cara halal."
"Enin tidak mau huk... huk... huk... Enin tidak mau nasibmu seperti bapak dan kakekmu... Enin tidak mau kamu mati ditembak polisi... tidak... huk... huk... huk..."

Arman tersentak oleh kata-kata Enin yang mengungkit luka lama itu. Giginya bergemeratakan karena dendam yang tersimpan jauh di lubuk hatinya dibangkitkan kembali.
"Tidak, Nin. Arman janji akan hidup baik-baik... Enin jangan khawatir... percayalah sama Arman." Katanya.

Sepagian itu Enin menangis tidak bisa dihentikan. Arman menghiburnya dan menyeranaikan seluruh rencananya. Dia berharap Enin dapat mempercayainya.

Akhirnya tangis Enin reda.

Pada sekitar jam sembilan pagi, mereka pergi ke Cileunyi untuk menjual gelang emas 10 gram dan Arman mengatur agar bon penjualan emas menjadi 100 gram meski dengan pengorbanan yang cukup besar. Pada saat itu, harga jual emas di hampir semua toko emas adalah 581 ribu rupiah per gram. Namun untuk harga beli toko (jadi toko yang membeli emas) adalah 571 ribu rupiah. Untuk mendapatkan bon 100 gram, Arman terpaksa menjual gelang 10 gram Enin dengan harga 505 ribu rupiah per gram, itu pun dengan tawar menawar yang sangat ketat.

Usai menjual gelang, Arman bermaksud membelikan Enin baju dan kain baru. Tapi Enin menolak. Baju-baju dan kainnya masih banyak yang belum terpakai dan masih baru. Sedangkan Arman membeli beberapa T-shirt murah, dua celana panjang jeans dan setengah lusin celana dalam ukuran XXL.

Sebelum pulang, mereka mampir ke toko handphone lalu mampir ke tukang cukur rambut. Enin memandangi cucunya yang semakin terlihat ganteng dengan potongan rambut yang rapi dan trendy. Dan Enin merasa bangga.

***

Tidak ada yang lebih istimewa selain dari hari itu. Arman Donello tiba di Polrestabes Bandung pagi-pagi sekali namun antrian orang yang akan membuat SKCK sudah cukup panjang. Matanya menjelajahi setiap sudut halaman samping markas kepolisian itu dengan jeli sambil berdiri dalam antrian.

Para petugas kepolisian berseliweran dan tak seorang pun yang mengenalinya. Dia mengikik sendiri oleh ketakutannya yang tidak beralasan.

Antrian terus bergerak dan akhirnya Arman mendapatkan giliran mengisi formulir. Awalnya dia kurang percaya diri mengisi kolom "Apakah anda pernah masuk dalam penjara?" dan merasa sangat ragu, tapi dengan cara pikir "bodo amat" dia kemudian menuliskan tidak pernah. Dengan sedikit gemetar Arman menunggu, petugas itu mencetak SKCKnya. Arman berpikir, jika kebohongannya ketahuan, dia akan meminta maaf dan mohon ampun. Tapi jika tidak, maka untuk yang keduka kalinya dia akan merasa yakin bahwa kemenangan ada di pihaknya.

"Tuhan berpihak kepadaku." Desisnya dengan kegembiraan meluap-luap yang dipendam dalam hati ketika akhirnya dia menerima selembar SKCK itu.

***

Selesai mengurus SKCK, dia kemudian pergi ke bagian pembuatan SIM. Dengan mudah Arman menemukan seorang petugas yang bisa membantunya membuat SIM dalam satu hari.
"Satu koma dua juta." Kata Si polisi itu menyebutkan harga. Tanpa pikir panjang Arman langsung membayar dan sore itu juga SIM pun selesai.

***

Keesokan harinya Arman mendatangi beberapa dealer motor dan berhasil menemukan motor matic 250 cc yang sudah lama diidam-idamkannya. Namun, menurut marketing sekaligus anak pemilik dealer tersebut, Imelda Chang, menjelaskan, bahwa Arman harus menunggu setidaknya satu minggu sehingga motor tersebut dalam keadaan On Road.
"Pertama, stok barang saat ini ada di Jakarta, paling cepat dikirim satu atau dua hari lagi. Kedua, untuk pengurusan surat menyurat dan hal-hal administratifnya lainnya seperti pajak dan sebagainya kami urus sekalian; semuanya membutuhkan waktu beberapa hari, ketiga... Pak Arman? Hallo? Anda mendengarkan saya?"
"Ah, i ya i ya... saya mendengarkan Bu... ah eh... ya seminggu kan?" Jawab Arman, dia tengah fokus memperhatikan bibir tipis berwarna pink itu bergerak-gerak.
"Uang mukanya 50% Pak."
"Baik... baik... 50%."
"Cash atau...?"
"Saya bayar cash."

Arman menghela nafas. Marketing itu cantik sekali. Poninya lucu dan hidungnya runcing kecil. Matanya sipit khas keturunan dan kulitnya putih seperti kertas HVS.

Setelah selesai membayar sejumlah uang muka seperti yang diminta, Arman pergi dari dealer dan langsung pulang. Sementara itu, sambil menuliskan nama lengkap Arman di buku register toko, Imelda tersenyum kecil.
"Kelihatannya cowok itu naksir sama aku." Katanya dengan setengah berbisik.

***

Selama satu minggu itu Arman tidak mengerjakan apa pun selain melakukan perbaikan-perbaikan kecil di beberapa bagian rumahnya yang sudah tua serta membuat alat-alat fitness sederhana. Seperti misalnya membuat barbel dari bekas kaleng biskuit yang diisi adukan semen. Dia juga mengganti ember hitam kecil dengan ember merah bervolume 10 liter untuk menimba air dari sumur. Semula Enin keberatan karena dia merasa takkan sanggup menariknya, tapi Arman menjamin bak akan selalu penuh.
"Selagi Arman ada di sini, Arman jamin Enin takkan menyentuh tali timbaan ini." Jawab Arman dengan santai. Enin menjawabnya dengan memukul kepala Arman menggunakan centong nasi yang terbuat dari kayu.
"Awasa kalau bohong." Kata Enin sambil tertawa, memperlihatkan empat giginya yang tersisa.

***

Arman menatap motor buatan Italia itu (Benelli Zafferano 250 cc) tanpa kedip. Sangat mewah dan bergaya. Demikian juga Enin.
"Ayuk Nin, kita jalan-jalan."
"Kemana?"
"ke mana saja."
"Enggak mau, Enin takut."
"Wah... masih bau dealer nih... hebat kamu Arman!" Tiba-tiba Dase datang. "Gila, moge mati 250 cc!"
"Mudah-mudahan bisa membawa rejeki yang banyak." Kata Enin.
"Kamu punya duit dari mana beli motor mahal gini, Man?" Tanya Dase dengan nada biasa-biasa. Tapi Arman tahu pertanyaan itu arahnya ke mana.
"Dari Enin..." Jawab Arman sambil mengeluarkan bon penjualan emas dari dompetnya. "Nih lihat, Enin ngejual emas simpanannya buat ngemodalin aku jadi ojol."
"Oh, coba lihat?"

Arman memperlihatkan bon itu sebentar dan Dase mengangguk-angguk.
"Pantesan." Kata Dase.
"Sekarang aku lagi nunggu persetejuan dari kantor Ojol... begitu disetujui... aku akan langsung bekerja."
"Aku ikut senang, Man."
"Makasih, Se. Ke depan, mungkin aku akan jarang nongkrong... aku akan sibuk di jalanan mencari muatan."

Dase pun tercenung. Diam-diam dia merasa iri kepada teman sepermainannya itu.

***

Waktu berlalu, hari pun berganti. Sudah satu bulan Arman menjadi driver ojeg online. Uang yang dihasilkan membuat Enin merasa sangat senang.
"Kalau penghasilanmu sebanyak ini, rasanya Enin bisa istirahat, cu, enggak perlu jualan tempe lagi. Badan Enin sering sakit-sakitan..."
"Ya, sudah, Nin, istirahat saja di rumah. Walau penghasilan Arman setiap hari tidak tentu... tapi Arman bisa menjamin kehidupan Enin."
"Makasih, Cucuku." Sepasang mata tua itu mengembang oleh airmata.
"Arman yang harus berterimakasih sama Enin, selama ini Enin lah yang membesarkan Arman, menyekolahkan Arman hingga lulus SMU... perjuangan Enin sangat luar biasa... kali ini giliran Arman yang berjuang buat Enin." Kata Arman dengan nada serius sambil membersihkan bodi motor dengan menggunakan kanebo.
"Kamu bekerjalah dengan baik... semoga arwah kakekmu, ayah dan ibumu merasa senang dan tenang di alam sana." Enin berkata dengan suara gemetar. "Selama Enin hidup, kamu tidak boleh mengungkit-ungkit masa lalu... lupakan semuanya... kamu harus berjanji... harus bersumpah... jika waktunya tepat, carilah seorang gadis baik-baik, semoga Enin punya waktu untk melihat cicit Enin nanti..."
"I ya, Nin. Arman janji."
"Kamu harus bersumpah!"
"Arman bersumpah!"
"Sekarang Enin merasa tenang dan bahagia..."

(Bersambung)

***
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd