Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
Mantab... suwun hu

Perencanaan yg matang dgn bon jual emas... petualangan kang ojol dimulai....

Lanjuuuuutttt
 
Bagian Tiga
YANG TAK TERLUPAKAN

Imelda Chang memiliki perawakan langsing alami yang mendekati kurus. Dia tampak tinggi semampai walau sebenarnya dia hanya 161 cm. Rambutnya lurus dipotong pendek biar praktis. Toketnya termasuk kecil, mungkin ukuran 33 atau 34. Tapi Imel tidak begitu khawatir dengan payudaranya itu, meski kecil yang penting berfungsi normal sebagaimana anggota tubuh lainnya.

Usai merampungkan studi MBAnya di Jakarta pada usia 23 tahun, Imel berhasrat besar untuk bekerja di sebuah perusahaan besar di Jakarta. Namun Papa memintanya pulang ke Bandung untuk mengurus dealer motor selama beberapa bulan. Tentu saja Imelda menolak mentah-mentah permintaan Papanya. Mereka saling berargumen yang membuat Imel jadi tidak betah di rumah.

Sore itu, ketika Papanya pulang, dia mendekati Imel yang tengah menganalisis pasar perbankan dari laptopnya.
"Papa minta kamu melakukannya selama beberapa bulan saja, Mel. Papa mau ke Bogor mengurus dan merenovasi beberapa kontrakan sekalian Papa akan mencoba berkolaborasi lagi dengan dengan saudara Papa yang lain... mungkin akan membuat perusahaan baru."
"Papa ini gimana, Imel kan sudah mengirim beberapa lamaran ke beberapa perusahaan besar, dalam minggu ini pasti sudah ada jawaban... Imel tidak bisa, Pa. Tidak bisa."
"Untu sementara, Mel, kamu tolong bantu Papa sekali-kali. Lamaran itu bisa kamu abaikan seandainya ada di antaranya yang menerima. Papa..."
"Pa, buat apa Imel sekolah tinggi-tinggi dengan biaya mahal kalau cuma untuk mengurus dealer motor yang tak seberapa besar..."
"Hey! Kamu jangan meremehkan bisnis motor ya kamu pikir kamu bisa sekolah dan makan dari mana ha? Mulai besok kamu haru ke dealer... kalau tidak..."
"Kalau tidak apa? Papa mau ngusir Imel? Baik. Sekarang juga Imel pergi."
Imel, tunggu!"

Imelda tidak mendengarkan teriakan papanya. Dia mengambil jaket dan menaiki skuter matiknya. Dengan perasaan kesal dia meluncur ke rumah Ben, pacarnya. Berharap bisa curhat dan mendapat dukungan moril. Selama ini, Ben selalu mendukung rencananya. Ben bahkan merasa senang ketika Imel mengatakan akan bekerja di Jakarta.

Sore itu sore Rabu yang cerah. Imel tiba di rumah Ben dan masuk melalui pintu depan yang tak dikunci. Walau agak heran karena tidak menemukan Tante Mila dan Om Wijaya di rumah, Imel nyelonong masuk dan mendekati kamar Ben.
"Aduh enak sayang... terus... akh... enak sayang... terus..."
"Aku cape di atas terus Ben, gantian dong..."

Seketika jantung Imelda berdegup kencang. Ben sedang berselingkuh? Oh, Tuhan! Tidak.

Imel penasaran dan mengintip dari celah pintu yang membuka sedikit. Benar. Ben sedang mengentot Eliza, sepupu jauh yang bulan kemarin dikenalkan Ben. Kontol Ben bolak balik masuk ke dalam liang memek Eliza yang mendesah-desah kenikmatan.

"Anjing sekali kamu, Ben!" Desis Imel dalam hatinya. Dia diam. Sudah terlambat untuk menangis. Tidak ada gunanya.
"Liz, aku udah enggak kuat..."
"Sedikit lagi Ben, aku lagi enak, Keluarinnya nanti di nenen ya..."
"Akh... akh... akh Liz... aku enggak kuat..."
"Cepat cabut Ben... jangan ngecrot di dalem..."

Pada saat Ben akan mengangkat pinggulnya, secara tiba-tiba Imelda masuk ke dalam kamar dan menekan pantat Ben sehingga dia tidak bisa mencabut kontolnya dari dalam kuluman memek Eliza.
"Di dalem aja muncratnya... biar kalian punya anak." Kata Imelda sambil terus menekan pantat Ben dengan kedua tangannya. Nada suara Imel terdengar sangat keras. Ben seketika menolehkan kepalanya dan melihat dua bulir air mata menetes di pipi Imelda.
"Akhhh..... Liz... aku ke luar di dalem..." Desis Ben. "Maafkan aku, Mel."
"Aku maafin." Kata Imelda. "Nah, sekarang keluarin terus pejuhnya yang banyak... ayo Ben. Enak kan kamu ngewe sepupumu sendiri... oh, jangan dilepas dulu... aku bantu menahan pantatmu agar pejuhmu semua masuk ke dalam memek anjing betina ini... nahhh.... enaakkk kan... ho ho ho... asyik kan... aku harap kalian cepat punya anak?"

Setelah dirasa cukup, Imelda kemudian meninggalkan kamar itu dan membanting pintu dengan sangat keras. Dia bertemu dengan Tante Mila dan Om Wijaya yang baru saja ke luar dari mobil.
"Loh, Imel... koq buru-buru... mau kemana?" Tanya Tante Mila.
"Mau pulang tante, soalnya Imel enggak mau mengganggu Ben yang lagi ewean sama Liza. Ngecrotnya di dalam lagi. Imel harap tante bisa secepatnya memiliki cucu." Berkata begitu, Imel melajukan skuternya dan tidak mempedulikan Tante Mila yang terbengong-bengong.

Imel pulang menemui Papanya yang sedang bermain game di beranda belakang. Mencium pipinya dan memijit-mijit pundaknya.
"Maafin Imel ya Pa, besok Imel akan ke dealer."

Sebastian Chang menoleh dengan mata terbelalak. Menatap putri semata wayangnya itu dengan tidak percaya.
"Kamu ini memang aneh... mirip seperti almarhumah mama kamu."

Imelda tidak menjawab, dia terus masuk ke dalam kamarnya dan menangis semalaman.

***

Janji Papa beberapa bulan meninggalkan dealer untuk urusan bisnis di Bogor, cuma janji doang. Sampai dengan Imel melayani seorang pembeli yang bernama Arman Donello, Papa sudah hampir satu tahun di Bogor. Dia pulang sebentar hanya untuk melihat laporan penjualan dan tersenyum puas. Imel sendiri sudah melupakan mimpinya untuk bekerja di perusahaan besar di Jakarta. Dia fokus menjadi marketing perusahaan dealer milik papanya itu dan menolak bersikap sebagai pemilik. Tiga orang pegawainya, Hendra, Asep dan Tina sangat menyukai sikap low profile Imelda.

Pembeli yang satu ini tidak mudah dilupakan oleh Imelda. Soalnya, dia sangat ganteng. Sorot matanya sangat tajam, memperlihatkan tekad yang keras dan tak bisa ditawar. Hidungnya mancung, sepasang matanya dalam. Dia memiliki tubuh atletis yang proporsional, tingginya mungkin 176 atau lebih, kulitnya sawo matang.

Cara menatapnya membuat Imelda menunduk tak berani melawan. Sayang Imel merasa yakin kalau cowok itu sudah punya istri.
"Cowok seganteng itu pasti sudah beristri... atau kalau belum, pasti pacarnya segudang." Kata Imel ketika menatap kepergian cowok itu dari meja kerjanya. "Kelihatannya cowok itu naksir sama aku." Keluhnya dengan setengah berbisik.

***

Setelah putus dengan Ben, cukup banyak cowok yang melakukan pendekatan kepadanya. Tapi Imel sering merasa kurang sreg. Sekali waktu dia menerima ajakan Richard untuk sekedar jalan dan makan malam di sebuah resto di sekitaran Setiabudhi. Richard usianya lebih tua 4 tahun, dia bekerja di sebuah bank nasional dan menempati jabatan yang cukup strategis. Malam itu Richard berusaha menciumnya. Tapi Imel menolak dan merasa belum siap.

Imel merasa aneh, mengapa dia tak pernah bisa melupakan Ben. Mungkin karena Ben adalah cinta pertamanya. Mereka pacaran sejak SMU dan melakukan hubungan seks beberapa kali selama pacaran. Imelda menyukai cara bercinta Ben yang lembut. Dan merasa nyaman karenanya. Mungkin karena itulah yang menyebabkan luka yang ditimbulkannya sangat sadis.

Sejak Ben berhianat, Imel seringkali merasa dia tidak bisa mempercayai pria mana pun di dunia ini, kecuali Papanya. Tentu saja.

***

Pagi itu, Imel merasa kesal dengan motor maticnya yang ngadat tak mau distarter. Jam sudah menunjukkan pukul 8 dan dia tak pernah bisa datang ke dealer dengan telat. Akhirnya dia memesan ojeg online dan dia setengah terkejut dengan dua pilihan driver yang sedang berada di area rumahnya. Yang satu matic 125 cc dengan nama driver Jejen, yang satu lagi matic 250 cc dengan driver bernama Arman, tapi fotonya terlihat jelek tidak seganteng aslinya.

"Ah, ternyata dia membeli motor itu untuk mencari duit..." Desis Imel. "Yakin deh dia sudah punya istri." Namun, entah apa yang menyebabkan jarinya memijit dan memilih Arman sebagai drivernya pagi itu. Mungkin karena Imel ingin merasakan naik moge 250 cc.

Dua menit kemudian Ojol itu datang dan wajahnya memancarkan senyum. Menyerahkan helm dan dengan ramah mempersilakannya naik.
"Silakan, Bu." Katanya dengan sopan. "Kalau terlalu cepat, mohon ditegur." Suaranya terdengar berat dan ngebas.

Imel memasang wajah angkuh dan tak peduli. Duduk di jok belakang dan merasakan aura lelaki itu yang sangat kuat menyerang kewanitaannya. Moge pun meluncur dengan lincah, membelah jalanan dan 10 menit kemudian sampai di depan dealer. Selama perjalanan, Imel tak sanggup menahan jari jemarinya untuk tidak menyentuh pinggang lelaki itu. Dan dia merasa sesak nafas. Bagaimana pun, sejak awal ketika melihat Arman celingukan di depan dealer, Imel tahu bahwa dia menyukai pemuda itu.

Setelah membayar ongkos sesuai dengan tarif aplikasi, pemuda itu berkata kepada Imel.
"Oh, ibu ya yang kerja di dealer ini ya? Makasih ya bu atas motornya dan layanan purna jualnya... motor ini benar-benar bisa diandalkan." Kata cowok itu dengan nada yang sederhana namun terdengar tulus.
"I ya sama-sama." Jawab Imel tidak acuh.

Namun malamnya Imel tidak bisa tidur membayangkan bagaimana rasanya jika dia bercinta dengan pemuda itu. Apakah dia lebih lembut dari Ben? Oh Tuhan! Tidak.

Entah perasaan apa yang menyebabkan dia ingin bertemu lagi dengan pengemudi ojol itu.

***
Awal Maret 2018

Pagi itu, bau harum nasi goreng membangunkan Arman dari tidur lelapnya. Dia meloncat dari tempat tidur dan menyambar handuk, lalu berlari ke kamar mandi. Dia melewati Enin yang tersenyum melihat Arman berlari kalang kabut ke kamar mandi, sambil terus sibuk mengaduk-aduk wajan berisi nasi goreng. Sejak ke luar dari penjara, Arman suka lupa kalau dia itu seringkali tidur tanpa pakaian sama sekali alias bugil. Itulah yang menyebab Enin tersenyum nyengir.

Setelah mandi dan sarapan nasi goreng, seperti biasa Arman mempersiapkan diri untuk berangkat. Enin menyiapkan air minum dan bekal untuk makan siang.

Tepat jam 6 pagi, Arman ke luar rumah. Baru saja ke luar dari gang... tring... HP yang diletakkan di dashboard motor menyala.
"Ambil, penumpang pertama." Katanya sambil menyeringai senang. Dia melajukan motornya dan menepi di depan halaman sebuah rumah, penumpang naik. Maju melesat ke tempat tujuan, tring selesai.

Melaju pelahan, tring... ambil. Selesai. Tring... hantaran makanan. Tidak. Silakan diambil yang lainnya saja. Melaju lagi pelahan... tring... penumpang, ambil.

Sampai sesiang itu Arman sudah menarik 8 penumpang, dia melajukan motor pelahan dan berniat untuk istirahat di pinggir jalan. Dia pun berhenti di sebuah warung kopi dan minta izin untuk menyantap bekal makan siangnya, setelah sebelumnya dia memasan kopi dan rokok setengah bungkus. Pemiliki warung mengizinkan.

Selesai makan, Arman duduk santai sambil meluruskan kaki.

Arman tengah menikmati rokok dan kopinya ketika secara sambil lalu matanya menangkap seorang siswi SMU tengah berjalan kaki dengan tenang pelahan. Kulit siswi itu kuning langsat, hidungnya tipis dan sangat mancung. Rambutnya lurus diikat ke belakang. Tiba-tiba sebuah motor berisi 3 penumpang berboncengan berhenti secara mendadak di pinggir siswi itu. Begitu berhenti, kedua penumpang itu turun dan tanpa basa-basi memukul wajah siswi yang sedang berjalan kaki itu.
"Dasar anjing pelacur, rasain lu!" Kata si pemukul itu.

Siswi itu kelihatan sangat terkejut dengan serangan mendadak itu. Dia terpelanting jatuh dan terjengkang, sehingga celana dalamnya yang berwarna putih itu terlihat jelas dengan belahan di tengahnya nampak terlipat. Darah terlihat mengucur di bibirnya yang robek. Pukulan itu sangat keras dan telak. Belum sempat dia bangun, temannya yang satu lagi langsung menendang perutnya sehingga membuat siswi itu mengaduh.
"Rasain lu yang suka genit godain pacar orang!" Kata si cewek yang menendang.

Melihat gelagat itu, Arman cepat melempar rokoknya dan memburu ke arah perkelahian yang tak seimbang itu.
"Hey hey hentikan! Stop stop stop!" Teriak Arman. Dia berlari dengan sangat cepat, memburu dan memeluk cewek yang terjengkang itu dan menerima beberapa pukulan dan tendangan dari ke dua cewek penumpang motor.
"Heh, abang ojol, jangan turut campur. Minggir!" Kata salah seorang cewek itu.
"Tidak, tidak. Kalian tidak boleh melakukan perundungan seperti ini, kalian bisa kena pasal pidana." Kata Arman. "Aku bisa melaporkan kalian jika kalian tidak menghentikannya... lihat tuh beberapa orang di warung sedang merekamnya, itu bisa jadi alat bukti!" Arman cepat menolong cewek itu untuk berdiri sambil terus memeluknya, melindunginya.
"Ojol sialan!" Kata salah seorang cewek itu, yang kemudian mengajak temannya yang lain untuk naik motor. "Heh! Sekarang lu selamat, tapi besok lu liat aja!" Ancamnya sambil menyuruh temannya untuk pergi. "Cepet cabut!"

Setelah mereka pergi, Arman memperhatikan cewek itu dengan teliti.
"Bibir kamu robek." Katanya, "kamu enggak apa-apa?"

Cewek itu menatap Arman. Matanya besar dan hitam. Tatapannya tajam.
"Aku enggak apa-apa." Kata cewek itu dengan nada biasa. "Kalau dia mukul aku dari depan, aku bisa ngelawan. Aku enggak takut. Dia ngebokong aku dari belakang jadi aku kalah satu langkah." Katanya.

Arman tak percaya dengan jawaban itu. Cewek ini... dia seorang pemberani!
"Rumah kamu masih jauh? Kenapa enggak naik angkot atau naik ojeg?"
"Aku enggak punya duit." Jawabnya, tegas tanpa basa basi.
"Masih jauh enggak rumahnya?" Tanya Arman sekali lagi.
"Lumayan."
"Mau saya anter?"

Cewek itu tidak menjawab. Dia menyilet Arman dengan tatapannya yang tajam.
"Enggak, makasih. Entar aku dikejar istrimu sambil bawa golok." Katanya.

Arman tertawa.
"Kamu lucu." Katanya. "Aku belum punya istri."
"Pacar?"
"Mmmm... sampai sejauh ini sih belum kepikiran." Jawab Arman.

Cewek itu kelihatan gamang.
"Udah... saya anter pulang aja ya, enggak perlu takut saya tagih ongkos atau dikejar pacar yang cemburu... saya jamin." Kata Arman sambil tersenyum.
"Tapi... rumah saya jauh..."

Arman tertawa pelahan. Dia mengerti cewek itu merasa sungkan menerima pertolongannya.
"Sudah, yuk naik. Alamatnya di mana?"

Sambil duduk di jok belakang, cewek itu menyebutkan sebuah alamat. Ketika motor melaju, Arman merasa hangat ketika kedua lengan cewek itu memeluk tubuhnya.
"Ah sayangnya dia masih anak sekolah." Desis Arman dalam hatinya.

***

Mereka berhenti di sebuah rumah tua di pinggir jalan yang terletak di pusat kota. Arman heran juga bagaimana seorang cewek cantik tinggal di rumah tua pusat kota yang notabene adalah rumah orang-orang berada, tapi dia mengaku tidak punya uang.
"Berhenti di sini." Kata cewek itu. Motor berhenti dan dia turun. "Terimakasih." Katanya. Bibirnya yang robek itu tampak sudah kering.
"Sama-sama. Cepat sembuh ya." Kata Arman sambil membelokkan motor dan menyalakan HPnya kembali setelah beberapa saat tadi dimatikan.
"Tunggu, Kak." Kata Cewek itu, dia menatap Arman dengan tatapan lembut.
"Ya?"
"Mmmm.... kalau tak keberatan, boleh tahu nama kakak?"

Arman mengernyitkan kening.
"Boleh kan?"
"Boleh... nama saya Arman."
"Nama saya Nabilla."
"Baiklah Nabilla yang cantik... selamat tinggal." Kata Arman sambil melajukan motornya dan meluncur untuk menghilang di balik tikungan.

Sementara itu, Nabilla terdiam dan memandangi motor itu hingga menghilang di tikungan.
"Aku akan selalu mengingat namamu dalam doaku." Bisik Nabilla dengan suara mendesis, kemudian dia membuka pintu gerbang dan masuk ke dalam halaman rumah tua itu yang sangat luas. Di sudut kiri halaman itu ada sebuah plang papan nama yang tulisannya sudah pudar ditelan zaman: RUMAH YATIM PIATU, YAYASAN BUNDA SETIA. IZIN DEPSOS NOMOR 123/KESSOS/1980.

***

Imelda memainkan HPnya. Berkali-kali dia memesan ojol namun dengan cepat membatalkannya. Dia berharap aplikasi itu memunculkan nama Arman, tapi setelah berkali-kali, ternyata nama orang lain lagi, nama orang lain lagi. Dengan kesal akhirnya dia meminta Tina mengantarkannya pulang.

Tiba di rumah, dia langsung ke dapur dan menghangatkan makanan yang tadi dibelinya di warung padang. Kalau tidak cepat dihangatkan, nanti bisa terasa asem dan tidak layak dikonsumsi alias basi. Sambil menunggu, dia menyapu halaman yang sudah beberapa hari tidak dibersihkan. Sejak Suryati, pembantunya pulang kampung untuk menikah, sudah 3 minggu Imelda agak kerepotan mengurus rumah agar bersih dan nyaman. Sampai saat ini belum ada tanda-tanda Suryati akan kembali.

Tapi meskipun begitu, Imel tidak buru-buru mencari pengganti Yati. Soalnya, untuk menemukan pembantu rumah tangga yang cekatan, serba bisa dan dapat dipercaya itu tidak mudah. Imel masih berharap Yati akan kembali walau WA dan SMSnya tidak pernah mendapat jawaban.

Saat Imel menyapu teras depan, tiba-tiba saja matanya menangkap seorang pengemudi ojol sedang mendorong motornya dengan susah payah. Moge 250 cc itu memang berat, apalagi dengan ban kempes seperti itu.
"Oh, Tuhan! Itu dia orangnya!" Desis Imel hampir tak percaya pada matanya sendiri.

Pengemudi ojol itu sejenak berhenti tidak jauh dari pintu gerbang rumahnya dan Imel hampir saja berlari memburu ke arah pemuda itu. Tapi tidak. Tunggu. Imelda pura-pura menyapu dekat dengan pintu gerbang dan bertanya basa-basi.
"Kenapa Pak? Motornya mogok?"

Pengemudi Ojol itu menoleh ke arahnya dan sepasang matanya tampak bercahaya gembira.
"Ah eh... bu... ibu yang dari dealer itu ya? Mm, enggak... ini bannya bocor... mungkin robek... entahlah." Katanya dengan gugup, tapi nada suaranya terdengar gembira.
"Koq tahu saya kerja di dealer?"
"I ya, bu, maaf saya tidak bermaksud apa pun... saya hanya ingat sekilas... maaf bu, ikut numpang istirahat sebentar."
"Silakan, Pak. Tambal ban rasanya masih cukup jauh deh... soalnya yang saya tahu, di daerah ini enggak ada tukang tambal ban... mungkin di sana... di ujung jalan." Berkata demikian, Imelda merasa bingung dengan perasaannya yang menyuruhnya untuk mengajak pemuda itu masuk dan mengajaknya berbincang.
"Kamu sudah gila!" Maki Imel kepada dirinya sendiri. "Bagaimana kalau ternyata dia adalah seorang ojol yang juga sekaligus adalah perampok... atau yang lebih parah lagi, kalau dia adalah seorang pembunuh berantai... Oh Tuhan, Imel, kamu terlalu banyak menonton film horror!"

Ketika Imel sibuk dengan pikirannya sendiri, mendadak terdengar suara klakson mobil.
"Imel sayang... bukain pintu gerbangnya."

Pikiran yang berkecamuk dalam kepala Imel terganggu. Dia menoleh ke arah pintu gerbang.
"Ben, pergilah!" Kata Imelda dengan suara keras.

Ben ke luar dari mobil sedannya, dia membawa seikat mawar merah segar yang indah.
"Imel, sayang, maafkan saya... itu semua adalah kesalahan." Katanya sambil membuka pintu gerbang dan masuk untuk mendekati Imelda.
"Ben, kita sudah selesai. Pergilah!" Kata Imel sambil mengacungkan sapu.
"Aku mencintaimu, Imel, demi Tuhan! Aku takkan pergi sampai kau memaafkan aku." Kata Ben, dia berlutut di halaman dengan kedua tangan menggenggam ikat bunga mawar itu.
"Aku tidak bisa memaafkanmu, Ben. Pergilah... jangan membuatku mengusirmu secara kekerasan."
"Saya tidak akan pergi." Kata Ben.
"Hey, Pak Ojol, saya bayar bapak 100 ribu rupiah untuk menyingkirkan orang ini dari halaman rumahku. Kamu mau? Sebagai bonus, kamu bisa menitipkan motormu dengan aman di sini sementara kamu cari ban pengganti atau memanggil tukang tambal ban ke sini. Bagaimana?"

Driver Ojol itu sejenak terdiam. Lalu dia menjawab dengan tegas.
"Siap, Bu." Katanya sambil mendorong motornya masuk ke halaman dan memarkirnya di dekat teras. Lalu dia mendekati lelaki bernama Ben itu dan membungkuk hormat.
"Maaf, Pak. Ini hanya bisnis." Katanya. Lalu dengan cekatan, kedua tangan pengemudi Ojol itu meraih badan Ben yang beratnya mungkin mencapai 80 kg dan memanggulnya ke luar pintu gerbang dan menurunkannya di dekat mobilnya.

Imelda terpekik tertahan. Dia merasa khawatir Ben yang meronta-ronta itu akan membuat si driver ojol yang berjalan oleng terjatuh. Tapi di sisi lain Imel merasa lucu melihat pemandangan itu dan juga kagum... driver ojol itu ternyata sangat kuat.
"Kunci pintu gerbangnya sekalian pak Ojol." Kata Imel
"Siap!"

Driver ojol itu mengunci pintu gerbang dengan gembok, mengambil anak kuncinya dan menyerahkannya kepada Imelda.
"Aku akan menunggu di sini selamanya!" Kata Ben.
"Bodo amat. Aku akan nelpon polisi, ada orang gila yang parkir di depan pitnu gerbang rumahku dan mengganggu." Jawab Imelda dengan nada serius.

***

Arman menghela nafas. Badan orang itu cukup berat juga.

"Makasih, Pak Ojol. Ini uangnya..." Kata Imelda sambil menyerahkan selembar uang seratus ribuan.
"Maafkan saya, Bu. Saya tidak akan terima. Cukup saya bisa menitipkan motor di sini, ini sudah segalanya. Terimakasih, Bu." Kata Arman.
"Saya yang berterimakasih, pak ojol sudah mengusir lelaki brengsek itu ke luar."
"Panggil saja saya Arman, Bu... Oh, Tuhan! Harum rendang dan sayur padang..."

Imel tertawa melihat ekspresi wajah Arman.
"Panggil juga saya, Imel, jangan ibu. Tunggu sebentar, saya lagi memanaskan rendang dan sayur padang..."

Arman melihat Imel masih mengenakan baju kasual stelan kerja namun kakinya telanjang tanpa sepatu. Betisnya putih dan kecil.... sebagian pahanya tampak mulus!
"Oh, tidak! Jangan bangun tolol!" Kata Arman kepada benda yang menggeliat yang terdapat di balik celananya, tepatnya benda yang ada di selangkangannya.

Tak lama kemudian Imelda kembali lagi ke teras dan mendekati Arman.
"Sebagai ucapan terimakasih...mohon jangan ditolak, maukah kamu nemenin aku makan malam yang kesorean?" Imel tersenyum manis kepada pemuda itu dan menatapnya dengan lembut.
"Saya... saya...tidak berani, bu... eh, Mel... maafkan..."
"Kamu malu? Atau takut?"
"Saya..."
"Ya, tentu saja kamu merasa malu dan takut. Aku takkan memberi tahu istrimu... buat apa? Aku cuma minta ditemanin makan doang." Kata Imel.
"Tidak... bukan itu, saya..."
"Kamu merasa takut menghianati istrimu kan?" Imel tertawa pelan. "Ini bukan undangan makan malam romantis koq... cuma makan nasi padang dan rendang..."
"Bukan... bukan itu, Bu, eh, Mel... saya tidak eh belum menikah... tidak, saya tidak punya istri."
"Kalau begitu, aku takkan memberi tahu pacarmu... kamu jangan takut."
"Tidak, itu juga tidak."
"Kamu tidak punya pacar? Ha ha ha... jangan bohong... dosa loh."
"Ah sudahlah, itu bukan hal yang menarik untuk dibahas. Jujur saja aku malu." Kata Arman dengan suara pelahan.
"Kamu bener enggak punya pacar? Serius?"
"Aku serius." Jawab Arman. "Aku tinggal bersama nenek. Begitu lulus sekolah aku langsung jadi ojol dan butuh waktu yang lama bagiku untuk mengumpulkan uang agar aku bisa membeli moge itu... aku menabung dan berhemat, sedikit demi sedikit... aku tidak pernah memikirkan pacara atau apa pun... aku..."
"O... Jadi kamu tidak kuliah?" Imel memotong kalimat Arman.
"Kuliah? Itu mimpi terindahku... suatu saat nanti... aku akan kuliah dan mendalami manajemen dan bisnis... aku akan mendirikan perusahaanku sendiri." Kata Arman, nadanya tegas penuh keyakinan dan Imelda sungguh terpana dibuatnya. Sepasang matanya tampak gemerlap oleh keyakinannya yang sangat kuat.

Imelda menatap pemuda itu. Hatinya kini luruh melihat tekad yang sangat kuat yang terpancar pada ekspresi wajah Arman. Imel benar-benar terkesan pada pemuda itu.
"Oke, baiklah. Saya setuju dengan cita-citamu... dengan catatan kau tidak malu menemaniku makan malam yang kesorean. Oke?"
"Oke."

Mereka pun masuk ke dalam rumah diikuti tatapan Ben yang keheranan.
"Masa dia mau sama seorang driver ojol sih?" Kata Ben dalam hati.

***

Di mata Arman, ruang makan itu sangat mewah dan elegan. Dinding-dindingnya dilapis wallpaper, beda jauh dengan dinding rumahnya yang terbuat dari plesteran semen dengan cat murahan yang warnanya tidak jelas. Perabotannya pun minimalis dengan warna-warna pastel yang lembut dan menawan.
"Kamu tinggal sendirian di sini?"
"Ya. Sebenarnya sama papa, tapi beliau sedang ada urusan bisnis di luar kota."
"Kamu tidak takut?"
"Takut apa? Kamu akan merampok rumah ini?" Imelda tertawa, dia mencoba bercanda.

Arman terdiam.

Dia teringat ketika dia tinggal di rumah Pak Hendrik, dia dengan teliti mempelajari rumah itu dan memang benar dia berniat untuk merampoknya karena suatu alasan tertentu.
"Koq diam?" Tanya Imelda, sepasang matanya menatap Arman dengan tatapan menyelidik.
"Aku orang miskin dan kurang berpendidikan... ini rumah bagus dan isi perabotannya juga mungkin mahal-mahal... jika aku berniat jadi maling atau perampok... aku tidak perlu bersusah payah banting tulang jadi ojol... nenekku pernah bilang, sebanyak apa pun harta hasil maling... tidak akan pernah lebih baik dari seribu perak yang dihasilkan dengan peluh bercucuran... " Suara Arman terdengar gemetar.

Imelda merasa bersalah.
"Maaf... aku tidak bermaksud menyinggungmu..."
"Sudahlah, silahkan makan. Aku akan menemanimu di sini." Jawab Arman sambil mengambil tempat duduk di sebrang meja. Tapi sikap Arman yang kaku sama sekali tidak menunjukkan dia akan mengambil piring dan menyinduk nasi.

Di meja makan itu tersedia tiga mangkuk porselen berwarna putih bergambar bunga sakura, tiap mangkuk masing-masing berisi empat ptong rendang, sayur nangka ala padang dan mangkuk satu lagi berisi daging cincang. Sebuah bakul terbuat stainless still berwarna keperakan berisi nasi setengahnya. Kelihatannya nasi itu baru saja dihangatkan menggunakan pemanas magic jar berwarna biru muda yang terletak dekat kompor.
"Ayo, silakan."
"Tidak, terimakasih. Saya duduk saja di sini menemani."

Imelda terperangah. Oh, Tuhan! Ternyata pemuda itu sangat sensitif dan mudah tersinggung. Aku telah melukai hatinya yang tinggi itu.

Seketika sepasang sipit itu menjadi merah.
"Maafkan saya, Arman. Saya tidak bermaksud menyinggung."
"Tidak, tidak apa-apa. Tidak ada siapa pun yang tersinggung di sini. Silakan. Saya tidak lapar."

Tapi Imelda merasa ada yang salah dengan jawaban itu. Ataukah hatinya yang merasa bersalah dengan terlalu berlebihan?
"Saya... tidak bermaksud menghina..."
"Tidak, saya tidak merasa terhina koq." Jawab Arman dengan nada getas. "Menjadi miskin mungkin menyedihkan... tapi hina... tidak. Aku tidak terhina. Aku miskin, itu fakta. Kamu kaya, jelas semua ini adalah buktinya."

Entah apa yang mendorong Imelda berdiri dari duduknya dan melangkah mendekati Arman yang duduk tegak dengan kaku seperti robot. Mata lelaki tampak terpejam dengan ekspresi wajah tegar nan angkuh. Imelda mendengar dengan jelas bunyi musik yang gemuruh dari orkestra lapar yang berasal dari lambung pemuda itu.

Dengan keberanian yang tidak jelas serta rasa bersalah bercampur dengan kekaguman kepada lelaki itu, Imelda mendekati Arman dan dengan tiba-tiba mengecup bibir pemuda itu.
"Oh, Tuhan! Aku telah menjadi gila!" Jerit Imelda dalam hatinya.

Imelda bisa melihat dari jarak yang sangat dekat sepasang mata pemuda itu melotot, kaget. Seperti juga kekagetannya merasakan 1000 voltage aliran listrik menyetrum tubuhnya. Seluruh pori-pori tubuh Imelda merinding... suatu getaran nikmat dari kecupan itu sungguh sangat tidak diduga sama sekali.

Lalu tiba-tiba pemuda itu memeluk pinggangnya. Memeluk tubuh Imel dengan kuat namun hangat, lembut dan sangat nyaman. Dia membalas kecupan lembut itu dengan balasan yang sangat bergelora... melumat seluruh bibir Imelda dengan nafsu kejantanan yang membuat seluruh sendi-sendi tulang Imel rontok tanpa syarat yang membuat seluruh syaraf kewanitaannya meronta-ronta ingin mendapatkan lebih.

Pucuk celana kemaluan Imelda meneteskan sesuatu cairan dan membasahi celana dalamnya, sementara seluruh tenaga gadis itu untuk melawan ciuman penuh nafsu menghilang lenyap entah kemana.

Imelda tak berdaya. Punggung tangannya secara tak sengaja menyentuh bagian selangkangan lelaki itu yang menggembung keras... dan panas.
"Oh, Tuhan! Be... besar... sekali..." Keluh Imelda. Dia sungguh tak berdaya untuk menghentikan dirinya sendiri menghentikan sensasi itu.

Tiba-tiba pemuda itu melepaskan semua ciumannya... wajahnya tampak merah dan sepasang matanya berair karena nafsu. Selama beberapa detik dia tersengal-sengal... lalu dengan gerakan yang sangat cepat dia berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan ruang makan itu.

Sejenak Imel terhipnotis oleh efek ciuman yang bergelora itu, namun begitu tersadar dia segera menyusul Arman yang pergi menuju ke luar rumah. Sayangnya Imel terlambat, dia melihat pemuda itu dengan gesit meloncati pintu gerbang dan berlari entah ke mana.
"Ya, Tuhan! Apa yang telah aku lakukan?" Desisnya dengan perasaan pilu tiba-tiba datang ke dalam lubuk hatinya.
"Imel, maafkan aku!" Terdengar suara Ben yang menghiba dari luar pagar.
"Pergi kamu dari situ... pergi!!!" Teriak Imel. Lalu dia masuk ke dalam rumah dan membanting pintu dengan sangat keras. Dia mengunci pintu dan masuk ke dalam kamar. Dia menangis sesenggukan.
"Ya Tuhan! Apa yang telah aku lakukan?" isaknya dengan sangat menyayat.

***

Imelda menangis semalaman sampai akhirnya terlelap karena lelah. Dalam tidurnya, dia bermimpi bercinta dengan Arman... percintaan yang sangat indah yang membuatnya seperti mabuk melayang-layang di angkasa... namun ketika dia mencoba membuka baju pemuda itu tiba-tiba Papa datang dan memarahinya.

Imelda terbangun!

Hari sudah pagi. Perutnya terasa sakit karena belum diisi. Dia terhuyung-huyung menuju ruang makan, semua mangkuk, piring dan bakul masih di tempatnya semula. Tak bergerak. Imel kemudian menatap wajahnya di cermin, matanya ternyata bengkak. Tiba-tiba dia teringat akan motor Arman yang diparkir di teras, hatinya merasa khawatir kalau-kalau motor itu hilang dicuri orang.
"Harusnya disimpan di garasi biar aman." Keluh Imel sambil berjalan menuju ruang tamu, dia melihat dari jendela, motor itu masih ada di depan teras. Dia juga melihat mobil Ben sudah tidak ada di depan pintu gerbang. Tapi... Itu apa?

Imel melihat seseorang tengah meringkuk di sudut teras, berselimut jaket ojol berbantalkan sepasang tangan.
"Ya, Tuhan! Arman, apa-apaan?"

Imel cepat membuka pintu dan dengan tergesa melangkah di teras yang sangat dingin dan membangunkan Arman.
"Arman... Arman... bangunlah... di sini dingin..." Tangan Imel menyentuh lengan Arman dan menggoyang-goyangkannya dengan lembut.

Lelaki itu seperti terkejut ketika membuka matanya yang merah.
"Maaf... aku terpaksa numpang tidur di sini... aku tak mau menjebol kunci gembokmu yang mahal..."
"Oh Tuhan, Arman.... mengapa kau tidak memaafkan aku? Aku salah omong kemarin... lagi pula harusnya kamu memijit bel dan membangunkan aku...biar... biar... kamu bisa cepat pulang dan membawa motormu ke bengkel."

Arman bangkit dan duduk dengan kaki lurus, lalu menggerak-gerakkan tubuhnya seperti seorang pesenam lantai melakukan pemanasan.
"Tidak perlu ke bengkel, aku sudah mengganti ban dengan yang baru... untung masih ada bengkel yang buka jadi aku bisa membeli suku cadang terbaik... aku heran sebenarnya, bagaimana ban tubeless bisa tiba-tiba robek... waktu kulihat... ternyata pada permukaan ban seperti ada sayatan cutter... tapi aku bersyukur aku tidak mengalami kecelakaan dan tidak membahayakan penumpang." Kata Arman dengan nada kalimat seperti orang yang sedang bermimpi.

Imel tersenyum dan menatap pemuda itu dengan lembut.
"Kamu sudah makan belum?" Tanya Imel.
"Belum. Kamu?"
"Belum juga."
"Oh. Kenapa?"
"Enggak kenapa-kenapa."
"Mel... boleh saya nanya?"

Imelda tersentak oleh pertanyaan yang menggantung itu. Jantungnya tiba-tiba berdebar.
"Ya?" Suara Imel gemetar.
"Mmmm... sebelumnya mohon maaf, saya tidak bermaksud menyinggungmu... tapi... tapi... apakah kamu punya kebiasaan tidur dengan baju kerja yang sudah dipakai selama seharian?"
"Tidak. Memang kenapa?"
"Kelihatannya kamu belum ganti baju dari kemarin sore."
"Masa?" Tanya Imelda dengan tak percaya. Tapi ketika dia melihat dirinya sendiri sekali lagi di kaca jendela... Ya Tuhan! Dia memang belum ganti baju sejak kemarin sore.

Wajah Imel memerah karena malu dan jengah.
"Aku lupa." Katanya.
"Kesalahan karena lupa bisa dimaafkan." Kata Arman. "Sama seperti kesalahan yang dilakukan kemarin sore... itu bisa dimaafkan karena lupa."
"Aku... saya..." Imelda berkata dengan gagap. "Tidak, itu bukan lupa... aku sengaja... melakukannya..."
"Maksudku... aku... aku... yang lupa..." Kata Arman. "Kemarin sore itu aku hilang kendali... aku tidak bermaksud... aku tidak bermaksud..."

Imelda menarik nafas dalam-dalam.
"Sudah, yang lalu biar berlalu... kamu mau mandi? Badanmu bau sekali."
"Ya, tentu kalau diizinkan."
"Ayo bangun, sini." Kata Imel. Dia menggamit lengan Arman dan membawanya ke dalam rumah. "Ini, kamu mandi di kamar mandi Papa. Ada sikat gigi baru di sudut, shampo, sabun... cologne juga ada jika kamu mau... handuk pake yang warna merah..."
"Wah, ini luar biasa. Sangat mewah."
"Shower yang biru untuk air dingin, yang merah untuk air panas."
"Tidak, aku pake air dingin saja."
"Bodo. Pokoknya mandi yang bersih... aku siapin baju dan celana bekas Papa... setelah itu kita makan pagi."

Entah mengapa tiba-tiba pagi itu Imelda merasa sangat riang. Dia mengambil baju dan celana Papanya yang sudah tak terpakai tapi masih sangat layak digunakan. Lalu menghangatkan nasi dan sayur serta rendang... dia bersyukur semua makanan itu belum basi.

Selesai menyiapkan makanan di meja, Imelda lalu ke kamar mandi.

***

Selesai mandi, Imelda tidak melihat Arman ketika dia berjalan menuju ke kamarnya. Mungkin dia sedang ke teras depan menyimpan baju-bajunya yang kotor... atau mungkin sedang menggantung jaket ojolnya yang semalaman dipakai selimut untuk tidur.

Selama beberapa menit Imel mematut-matut diri di depan cermin... dia tidak puas dengan berbagai gaun kasual yang akan dikenakannya... dia ingin tampil sempurna di depan pemuda itu. Setelah 15 menit bongkar pasang gaun, Imelda tiba-tiba merasa lucu kepada dirinya sendiri.
"Baru sekarang aku merasakan ingin tampil sempurna... Ya Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada lelaki itu?"

Akhirnya Imel memutuskan memakai hem pendek warna pink pastel dengan rok biru muda telur asin yang tampaknya serasi... matching...
"Blazer krem muda ini mungkin cocok... mmm, nanti aja dipakainya pas mau berangkat."

Dia kemudian mengoleskan lipstik merah muda dengan tipis, sedikit bermake up agar tampak lebih cerah. Setelah selesai, dia ke luar kamar dan terpaku seperti patung perunggu.

Imelda seperti melihat seorang pangeran tampan sedang duduk di kursi meja makannya, rambutnya disisir rapi dengan senyum lebar yang hangat ditujukan kepada dirinya --dan hanya ditujukan untuk dirinya. Kemeja usang yang dikenakan pangeran itu sangat dikenalnya demikian juga dengan pantalonnya...

"Bajunya pas." Kata lelaki itu. "Terimakasih."

Langkah Imel seperti gamang. Dia ingin duduk di depan pemuda itu namun hatinya mendesak untuk mendekatinya, mencium bibirnya yang hangat seperti kemarin sore dia melakukannya.
"Ya Tuhan, dia ganteng sekali." Desis Imel dalam hatinya.

Entah apa yang mendorong kakinya sehingga justru malah melangkah mendekati lelaki itu.
"Krahnya agak kusut." Kata Imel sambil memperbaiki krah kemeja itu. Lengannya gemetar menyentuh dada Arman yang kokoh.

Imel ingin sekali mencium bibir pemuda itu, tapi takut jika dia tak bisa dihentikan.
"Trimakasih... tanganmu gemetar... kamu pasti lapar." Kata Arman. "Yuk makan yuk... aku sudah sangat kelaparan."

Imelda tersenyum. Dia lalu duduk di sebrang meja persis bermuka-mukaan dengan pemuda itu.

Sekarang Imelda tahu, gara-gara pengemudi ojeg online itulah nasi dan rendang padang itu rasanya lebih lezat dari restoran terbaik mana pun di dunia. Ya, gara-gara dia, semuanya menjadi lezat dan indah.

***
(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd