Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
Setelah menyeruput kopi Liong khas Bogor beberapa seruputan, Bastian menyalakan kreteknya. Dia duduk di teras belakang "kompleks Kontrakannya" yang sempit sambil memperhatikan para tukang bangunan itu bekerja.
"Koq mereka belum pada datang, Mang?" Tanya Bastian kepada Mang Atang yang tengah sibuk memaku plafond.
"Pasti, datang, Pak Bas. Pasti datang." Jawab Mang Atang sambil sedikit tertawa. "Pak Bas sudah tidak tahan ya?"
"Ini sudah sebulan, Mang. Sejak sama si Tuti, di hotel Melati itu, masih kerasa linunya."
"Linu itunya atau dompetnya Pak Bas."
"Dua-duanya..." Jawab Bastian sambil tertawa keras.
"Kalau boleh, Mamang minta sisanya ya Pak Bas." Kata Mang Atang dengan ekspresi wajah mesum.
"Boleh-boleh saja... enggak ada masalah. Pesannya berapa orang, Mang?"
"Tiga orang, Pak Bas. Pokoknya dijamin mantap."
"Semuanya ABG?"
"Dijamin semuanya anak bau kencur semua, Pak Bas.... he he he." Jawab Mang Atang dengan wajah gembira. "Si Adit juga pengen ikutan enggak apa-apa kan Pak Bas."
"Terserah mang Atang yang penting pas saya make enggak diganggu."
"Makasih, Pak Bas." Kata Mang Atang.

Ketika mereka sedang berbincang-bincang, dari kejauhan seorang lelaki turun dari angkutan kota, celingak celinguk sebentar dan menanyakan sesuatu kepada sejumlah warga yang ada di sekitar. Bastian memperhatikan lelaki itu, dia merasa heran.
"Mang Atang, itu Pak Hendra... dia pasti sedang mencari saya... jemput dia dan bawa ke sini." Kata Bastian.

Mang Atang yang berdiri di ketinggian melihat jelas orang itu, lelaki biasa berumur sekitar 40-an.
"Dia itu siapa, Pak?" Tanya Mang Atang sambil turun dengan hati-hati dari steger yang terbuat dari kayu kaso-kaso bekas.
"Dia pegawai saya."

Mang Atang segera menjemput orang itu dan membawanya ke depan Bastian. Begitu tiba, Hendra tidak memberi waktu banyak kepada Bastian untuk berpikir.
"Sebaiknya Pak Bastian pulang ke Bandung sekarang." Kata Hendra dengan wajah murung. "Saya jauh-jauh datang ke sini dengan ongkos sendiri pak... setelah berunding dengan Asep dan Tina..." tambahnya.
"Tenang, nDra. Jangan terburu-buru... kamu nyantai dulu sebentar..."
"Maaf, Pak. Saya tidak mau. Demi keselamatan Imelda."
"Apa maksudmu?" Tanya Bastian, tersentak kaget.
"Tadi pagi dia masuk rumah sakit, dia lemas... sudah seminggu tidak mau makan... "
"Koq bisa seperti itu? Aneh sekali." Kata Bastian seperti kepada dirinya sendiri.
"Mmm... anu... Pak, mungkin, ini juga mungkin... kami menduga mungkin Imelda merasa kecewa dengan Ben..."
"Kenapa dengan si Ben?"
"Menurut Tina sih Ben selingkuh..." Kata Hendra.

Bastian terdiam sebentar. Dia menarik nafas berat.
"Ya, sudah." Katanya. "Kita ke Bandung sekarang... Mang Atang... pesanan 3 orang itu sudah dibayar ... buat Mang Atang aja semuanya... saya ada urusan nih." Kata Bastian.
"Serius, Pak?"
"Serius... nikmati aja mang sama anak-anak." Kata Bastian. "Saya titip ya renovasinya sampai selesai."
"Siap, Pak." Kata Mang Atang dengan gembira. "Dijamin beres seminggu lagi."
"Kalau ada apa-apa, telpon ke kantor ya jangan ke HP."
"Siap, Pak." Jawab Mang Atang.
"Memang HPnya kenapa, Pak?" Tanya Hendra sambil mengikuti langkah Bastian menuju mobil yang diparkir di depan kontrakan.
"Entahlah, mungkin batterainya soak. Nyala hidup nyala hidup... error terus."
"Pantesan Pak, saya telpon, SMS, Chat... tidak dibalas." Kata Hendra.
"Ya, maaflah. Mungkin aku harus ganti HP." Kata Bastian dengan tenang. "Kamu enggak lapar, nDra?"
"Ah, itu gampang, Pak. Kita beli di pinggir jalan, saya bisa makan di mobil."
"Dari bandung jam berapa?"
"Jam sepuluh pagi... sekarang sudah sore. Saya naik bis, terus ke sini pake angkot."
"Nanti semua biaya aku ganti. Makasih ya, nDra sebelumnya."
"Tidak apa-apa, Pak."

***

Bastian menyetir mobil dengan tenang. Pikirannya berkecamuk dengan dugaan-dugaan yang sangat aneh. Tidak, dia tidak percaya Imelda tidak mau makan karena kecewa diselingkuhin Ben.

"Hm, apa mungkin si Rudy datang dan membocorkan rahasia kami? Tidak..."

Pikiran Bastian melayang Kepada Donny Kantono, sahabat terbaiknya. Pendiam dan tak banyak bicara, namun sangat cerdik. Sudah lima belas tahun lebih dia menghilang... mungkin sudah mati. Ya, dia mungkin sudah mati. Sedangkan si Hendrik dipenjara seumur hidup, dia dikenai pasal berlapis... ada kemungkinan akan dihukum mati juga. Jadi yang mengetahui perampokan emas Milik Milioner Tan Tjeng Bok itu cuma dia, Rudy dan si polisi itu, AKP Dasuki Tjandra Purnama.
"Anjing sekali si Dasuki itu... ada kemungkinan dia yang menghabisi si Donny... hmm... bahkan sampai dengan saat ini aku tidak tahu di mana si Donny menyembunyikan sisa emasnya... apakah si Dasuki berhasil menemukan sisa emasnya? Apakah dia kini sudah jadi jendral?"

Selama hampir satu tahun penuh dia mengubek-ubek Bogor, namun dia sama sekali tidak berhasil menemukan jejak Rudi maupun Donny... Apakah si Rudi juga sudah mati?

Jalur puncak malam itu tampak ramai lancar. Seperti biasa puluhan polisi mengatur agar lalu lintas berjalan dengan baik. Hendra terkulai di kursi sebelah sambil mengorok, wajahnya terlihat letih.

Tiba-tiba sekelompok polisi lalu lintas menghentikan mobil yang dikendarai Bastian.

"Ada apa, ya, Pak?" Tanya Bastian Heran.
"Mohon maaf, Pak. Ada pemeriksaan rutin. STNK dan SIM mohon diperlihatkan..."
"Baik." Kata Bastian. Beberapa polisi lain menyorot ke dalam mobil menggunakan senter, membiarkan Hendra yang mengorok dengan sangat keras di kursi samping.
"Pak Sebastian mau ke mana?" Tanya Polisi itu.
"Saya mau ke Bandung, pulang."
"Baik, silahkan, terimakasih atas kerja samanya Pak. Mohon maaf kami sudah mengganggu kenyamanan bapak dalam berkendara."
"Oke, tidak apa-apa." Jawab Bastian sambil melajukan kendaraannya.

Sementara itu salah seorang polisi yang sejak awal berdiri tidak jauh dari para polisi itu, mengambi gambar video dan menyorot nomor kendaraan dengan menggunakan HP. Dia kemudian mengirimkan video tersebut ke sebuah nomor tanpa nama.
"Konfirmasi, Sebastian Chang, No Pol D 12345 CH... melaju dari arah puncak menuju Bandung."
"Konfirmasi diterima. Hapus semua pesan dan data video di memori."
"Siap Komandan."

***

Imelda terjaga dari pingsannya. Dia mencium bau rumah sakit yang khas dan mendapatkan dirinya terbaring di ranjang kecil berwarna putih yang tidak nyaman. Terakhir yang dia ingat, dia seperti melayang dan terjatuh di ruangan kerjanya.
"Mungkin Asep, Hendra atau Tina yang membawanya ke sini." Desisnya. Pergelangan tangannya dibalut plester dengan jarum infus masuk ke dalam kulitnya. Terasa seperti dicubit-cubit.
"Arman, kamu jahat!" Katanya dalam hati, airmatanya menetes merasakan kerinduan yang paling tolol selama hidupnya.

Di ruang perawatan kelas 1 itu hanya ada 2 ranjang, seorang perempuan tua yang tampak bijaksana terbaring dengan nafas teratur di ranjang sebelah. Imelda sekilas memperhatikan seorang gadis remaja berusia sekitar 17-an sedang duduk di sampingnya.
"Dia sangat cantik sekali." Pikir Imelda. Gadis itu memiliki wajah tirus yang lonjong khas keturunan India atau Arab, hidungnya mancung dengan cuping yang lancip. Matanya besar dengan bulu-bulu mata yang lentik, alis matanya tebal dan antik.

Gadis itu sedang duduk termenung sambil menangis diam.

Seorang lelaki setengah baya datang dari arah pintu masuk dan mendekati gadis itu dan bertanya.
"Bagaimana kondisi ibu ketua, Bil?" Tanyanya.
"Kurang begitu baik, Pak. Dia belum bangun sejak kemarin..."
"Kamu hari ini ndak sekolah ya?"

Gadis itu mengangguk.
"Besok kamu tetep harus sekolah... kan sebentar lagi UN."
"I ya, Pak."

Imelda terdiam. Dia tidak memahami apa pun pembicaraan mereka. Dia merasa kesepian dan ingin pulang. Selama hampir sebulan dia memikirkan Arman dan merasa marah kepada dirinya sendiri.
"Seharusnya aku tak boleh bersikap seangkuh itu... dia cowok yang baik... aku harusnya terus terang saja suka sama dia... tapi kalau dia juga terus terang tidak suka sama aku dan menyukai orang lain...duuuhhh... gimana? Aku harus gimana? Masa harus bunuh diri?"

Imelda merasa geli terhadap pikirannya sendiri. Dia berkesimpulan bahwa memang dia salah besar berharap terlalu berlebihan terhadap cowok itu. "Kenal juga baru sekali masa udah minta pacaran... iiihhh... aku ini apaan? Tapi i ya sih aku jadi males makan gara-gara dia... begini deh akhirnya... aku mengalami kekurangan nutrisi... aku harus cepat sehat lagi..."

Dia mencoba menggerakkan tubuhnya tapi dia merasa lemas dan pundaknya terasa sakit. Dia tidak sadar Dokter Hernawan tengah menatapnya dan tersenyum.
"Imel... imel..." Kata Dokter muda itu menyibak lamunan Imelda hingga buyar.
"Eh, Kak Hernawan... lagi ngapain di sini?" Tanya Imelda.
"Aku asisten dokter di sini, Mel. Kamu mengalami malnutrisi karena tidak mau makan... aneh sekali, seingatku dulu kamu termasuk salah satu yunior yang doyan makan."

Imelda tak menjawab.
"Kapan aku bisa pulang, Kak?"
"Enak aja. Baru saja kamu digusur dari UGD, sudah minta pulang lagi... kata pegawaimu, Tina, kamu enggak mau makan karena pacarmu selingkuh ya?"
"Ih Gila! Si Tina koq tega bongkar-bongkar rahasia majikannya sendiri."
"Aku yang maksa... kamu jangan salahin dia. Kamu justru harusnya berterimakasih." Kata Dokter Hernawan dengan senyum menawan. Dia adalah asisten dokter di rumah sakit itu. Usianya beda 2 tahun dengan Imelda. Meski mereka beda fakultas, namun Hernawan terkenal sebagai selebritis kampus dan pernah beberapa kali melakukan PDKT terhadap Imelda, tapi kelihatannya Imelda tidak merasa cocok dengan seniornya yang satu ini.
"Aku ingin cepat pulang." Kata Imel, merajuk.
"Bisa diatur... nanti aku anter sendiri kamu pulang."
"Aku enggak mau."
"Kenapa?"
"Aku mau pulang sendiri."
"Eh, Mel, bener kamu sudah selesain S2 kamu?"
"I ya, sudah. Kamu sendiri, gimana?"
"Aku masih proses... yah, menjadi dokter itu adalah sekolah yang paling lama dan panjang, kamu juga tahu kan..."

Tiba-tiba terjadi keributan di ranjang sebelah, sejumlah perawat datang dengan terburu-buru dan seorang dokter lain yang lebih tua juga bergegas datang. Hernawan menutup tirai pemisah dan mencoba menutupi apa yang terjadi.
"Ada apa?" Tanya Imel.
"Biasa... sudahlah, kamu enggak perlu pikirkan itu."

Di luar tirai terdengar isak tangis menyayat beberapa orang, termasuk gadis cantik itu.
"Ibu... ibu... ibu..." Terdengar suara pilu yang menyayat.
"Apakah...?" Tanya Imelda kepada Hernawan, "apakah... dia... meninggal?"

Dokter Hernawan mengangguk.
"Gagal jantung." Katanya pelahan.

***

Jam 7.30 pagi Imelda dipaksa untuk menghabiskan sarapan yang diberikan perawat kepadanya. Ranjang di sebelah kosong dan ini adalah hari ke dua dia ada di rumah sakit. Benar-benar menyebalkan! Dari jendela, cahaya matahari bersinar terang dan Imel ingin sekali melemparkan baki makanan yang ada di pangkuannya itu ke jendela. Setelah semalamam dia berusaha mati-matian untuk tidak menyesali semua perbuatan terhadap dirinya sendiri, kini di pagi yang cerah ini, dia tahu akan meghadapi menit-menit yang membosankan sampai Hernawan mengizinkannya pulang.

Hernawan sebetulnya cowok yang ganteng, tapi entah mengapa Imel tidak menyukainya... maksudnya sebagai pacar. Dia membandingkan Ben dengan Hernawan waktu itu... ah, sudahlah. Ben juga tidak seperti yang diharapkannya. Lelaki itu lebih busuk dari tomat yang paling busuk.

Hernawan muncul tiba-tiba di ambang pintu dan tersenyum. Dia memeriksa Imel dengan serius.
"Ini kemajuan... sebaiknya kamu habiskan makanan itu, Mel." Katanya. "Atau perlu aku suapin?"
"Aku bukan anak kecil!" Sergah Imelda, kesal. Namun, ekspresi kesalnya itu justru membuat Hernawan tergoda. Dokter itu mencolek cuping hidung Imel dan hampir saja berusaha mencium pipinya.
"Iiih... kamu apaan sih?"
"Ini selangnya sudah bisa dilepas." Kata Hernawan sambil melepaskan selang infusan dengan teliti. Setelah itu Hernawan nyengir dan berlalu dari situ. "Nanti siang, aku akan ke sini lagi."
"Bodo!" Sahut Imel.

Sepagian itu hingga siang, Imel benar-benar dilanda kebosanan. Dia berniat kabur dan hampir saja niatnya itu dilaksanakan ketika Asep datang membawakan buah jeruk.
"Kemarin, setelah Hendra dan saya mengantar Imel ke sini... Hendra langsung ke Bogor menyusul Pak Bastian... saya sedikit khawatir mereka belum juga datang." Kata Asep.
"Papa memang begitu... kalau sudah di luar suka lupa pulang."
"Kemarin ada 2 deal transaksi ... saya terpaksa ngelangkahin Imel... enggak apa pa kan?"
"Ya, sudah. Ga pa pa. Lumayan kan 2 juga."
"Tadi saya ke sini diantar pake Ojol, uangnya ngambil dari kas kantor... eh tukang ojolnya malah gak mau dibayar... dia mematikan aplikasi... maaf jika saya lancang."
"Maksud kamu ojol yang beli motor ke kita dulu?" Imelda tersentak.
"I ya, Mel. Asep ingat cuma dia satu-satunya yang beli moge italia 250 cc itu... cash lagi."
"Terus orangnya sekarang ke mana?" Imel Melotot.
"Saya... saya... mana saya tahu... saya bilang ke orang itu kalau ke sini mau ngejenguk Imel yang lagi sakit..."
"Tapi... tapi... apakah dia..."
"Mungkin dia terus narik lagi, soalnya dia menyalakan lagi HPnya dan terdengar bunyi tring... gitu... mungkin dia ngambil penumpang."

Imelda tiba-tiba tercenung. Hatinya, dengan cara yang sangat aneh, merasa seperti ditusuk-tusuk oleh jutaan belati. Sakiiittttt... sekali.
"Jelas Arman enggak peduli sama aku... aku aja yang bodoh." Pikir Imel.
"Mel, Asep ke showroom lagi ya... Tina wanti-wanti jangan lama-lama."
"I ya, makasih ya Sep."

Setelah Asep pergi, Imelda menangis sesenggukan. Dia merasa sangat bodoh sekali dengan perasaannya terhadap cowok itu.

***

Seumur hidupnya Arman belum pernah masuk rumah sakit. Dia merasa sedikit aneh.

Setelah menurunkan seorang penumpang di dekat dealer tempat dulu dia membeli motor, salah seorang pegawai dealer itu melambaikan tangan kepadanya.
"Ojeg!" Katanya.

Arman nyengir.
"Koq seperti memanggil ojeg pangkalan saja." Kata Arman dalam hati. Tapi dia segera mendekati orang itu. Dia adalah seorang lelaki berusia sekitar 30-an dengan perawakan agak pendek.
"Sep, jangan lama-lama ya ke rumah sakitnya!" Kata seorang perempuan dari dalam ruangan showroom.
"I ya, Tin. Cuma nganterin buah jeruk doang."
"Ke rumah sakit ya, Pak?" Tanya Arman.
"I ya, nih. Yuk berangkat."
"Siapa yang sakit?" Tanya Arman.
"Bu Imel... yahhh, kasihan dia dihianati pacarnya jadi dia agak stress dan gak mau makan."
"Ooh, begitu." Kata Arman. Dia mematikan HPnya dan langsung meluncur menuju rumah sakit. Ketika orang itu hendak membayar, Arman menolaknya.
"Gak pa pa Pak, saya lupa menyalakan HP... jadi gak masuk aplikasi. Sudah, biarin aja." Kata Arman.

Orang itu bengong tapi tidak lama, dia segera meninggalkan Arman dan masuk menyusuri koridor rumah sakit. Arman menguntitnya dari belakang dan sekilas melihat Imelda tengah duduk di ranjang rumah sakit.

Arman menarik nafas. Dia pergi ke luar Rumah Sakit, menyusuri koridor belakang yang sepi dan menemukan sebuah warung kecil di luar pagar. Dia melihat beberapa orang sedang minum kopi dan merokok di sana.
"Ini dia..." Kata Arman sambil melangkah ke warung itu, memesan segelas kopi, setengah bungkus rokok dan minta izin menyantap makan siangnya di situ.

Setelah mematikan puntung di ujung sepatu bututnya, Arman menenggak tetes terakhir kafein yang tersedot dengan ampasnya sedikit. Lalu, dengan sedikit gamang dia masuk ke dalam rumah sakit dan menemukan ruangan di mana Imelda dirawat. Dia melewati seorang perawat jaga yang menegurnya dengan jutek.
"Mau ke mana Pak Ojol?" Tanya perawat itu.
"Ini, Bu, biasa... nganterin... ke situ."

Perawat jutek itu mengira Arman adalah ojol yang sedang mengirim barang untuk dokter yang melakukan pemesanan online.
"Sudah, sana." Kata Perawat itu, tidak begitu peduli.

Arman ragu berdiri di ambang pintu. Menyaksikan seorang gadis cantik tengah menangis tersengguk-sengguk.
"Permisi..." Katanya.

Imelda tengah memeluk lutut, duduk di ranjang putih kecil dan membenamkan kepalanya ke dalam dua lengannya. Pipinya bersimbah air mata ketika mendongak. Sepasang mata sipitnya seperti tak percaya melihat lelaki yang dirindukannya siang malam itu kini tengah melangkah mendekatinya.
"Ar... arman... kamu... ada apa?" Itulah kalimat paling bodoh yang pernah diucapkan Imel selama hidupnya.
"Katanya kamu sakit... saya mampir... enggak apa-apa kan?"
"Eng... enggak."
"Kamu sakit apa?"
"Aku..."

Arman berdiri menatap gadis itu. Rambutnya tampak acak-acakan, hidungnya memerah bekas menangis dan bibir tipisnya masih tetap menggoda seperti dulu ketika pertama kali Arman melihatnya.
"Kamu ngapain ngeliatin aku kayak gitu... aku memang jelek." Kata Imelda dan langsung menyesali apa yang telah diucapkannya. Tapi Imel tak sanggup mengatakan kalimat yang lain.
"Yang bilang kamu jelek siapa?" Tanya Arman, wajahnya keheranan. "Boleh aku duduk di sini?" berkata begitu Arman mendekati sebuah kursi di sisi ranjang dan tanpa persetujuan siapa pun dia langsung duduk di situ.
"Tau." Kata Imel.
"Yang bilang kamu jelek pasti ada yang salah dengan matanya..." Kata Arman. "Kamu cantik... seandainya aku sekaya Ben... aku akan mengejarmu jadi pacarku."
"Kamu ngapain bawa-bawa nama itu di sini? Kamu sengaja ya ke sini mau nyakitin aku?!"

Deg! Arman kaget. Imelda berkata dengan setengah menjerit dan kelihatannya marah.
"Maaf... maaf... jangan marah... maaf... aku tidak bermaksud nyakitin kamu... maaf... sebaiknya aku pergi saja... maaf... sekali lagi." Kata Arman. Dia gugup.

Imelda, entah mengapa, dia merasa lucu dengan kegugupan Arman.
"Kamu jangan pergi. Tungguin aku di sini sampai pulang." Kata Imel. Perangainya tiba-tiba berubah, dia menarik lengan Arman dan memeluknya. "Aku suka kamu di sini... aku senang kamu datang ke sini." Akhirnya, Imel merasa lega dengan kata-katanya. Arman merasa nyaman tangannya dipeluk oleh gadis itu.
"Kamu ini aneh... tadi marah... sekarang... manja."
"Aku enggak marah. Jangan pergi ya?"
"Tapi aku harus narik... nyari duit."
"Kamu lebih seneng nyari duit atau nemenin aku di sini?" Tanya Imel.
"Aku... sebenarnya lebih seneng nemenin kamu di sini."
"Kenapa?"
"Enggak tau, seneng aja."
"Kamu bohong."
"Enggak aku enggak bohong."
"Sumpah?"
"Kenapa harus sumpah?"
"Soalnya bisa saja kamu bohong..."
"Aku enggak bohong, Mel. Sumpah."
"Man, menurut kamu aku cantik?"
"Ya, tentu saja. Kamu cantik. Sangat cantik."
"Bohong."
"Masa aku harus bersumpah kalau kamu cantik..." Kata Arman.

Imelda tiba-tiba mengikik.
"Kalau kamu sekaya Ben, apakah kamu mau mengejar aku jadi pacarmu?"
"Ya, tentu saja."
"Kalau tidak?"
"Kalau tidak... entahlah..." Wajah Arman tampak pias. "Rasanya agak mustahil... mmm, tapi suatu saat aku akan mendatangimu dengan mobil sedan yang bagus, mengajakmu ke restoran mahal dan..."
"Kamu kan bisa mengajakku pake motor... aku mau koq." Kata Imelda, suaranya gemetar. "Kita ke warung padang, lalu jalan-jalan keliling kota Bandung."

Arman terdiam. Dia melihat kesungguhan pada sepasang mata sipit itu dengan tatapan setajam pisau belati.
"Kamu bohong." Kata Arman. "Kamu enggak mungkin mau jadi pacarku."
"Aku mau." Jawab Imel. Jantungnya berdegup kencang dan dia merasa sangat bahagia.
"Tapi aku miskin."
"Biarin, suatu saat aku yakin kamu akan kaya."
"Bagaimana kamu bisa seyakin itu, Mel?"
"Bisa aja, Man. Kenapa enggak?"
"Aku aja enggak seyakin itu."
"Aku tahu alasannya... kamu mau dengar?"

Arman mengangguk.
"Nah, sekarang kamu pejamkan mata. Jangan nyuri lihat. Dengerin..."

Arman memejamkan mata dan dengan serius menunggu Imel membisikkan sesuatu di telinganya. Alih-alih bisikan di telinga, yang datang justru sebuah bibir lembut mengecup bibirnya. Cup!

Oh Tuhan! Arman merasa melayang setengah detik.

Ketika Arman membuka matanya, Imelda tengah menyeringai lebar dan memperlihat gigi-giginya yang rata. Arman menatap gadis itu tak percaya. Mereka tiba-tiba saling bertatapan lama sekali...

Pada saat itu, dr. Hernawan berdiri di ambang pintu sambil membawa seikat bunga, menyaksikan semuanya tanpa kedip. Dia langsung melengos pergi dan melemparkan seikat mawar merah itu ke tong sampah sambil menggerutu, "dasar ojol sialan!"

***

Malam itu Imelda merasa sehat dan memaksa untuk pulang. Arman mendampinginya sampai seluruh proses administrasi selesai. Arman kemudian mengantarnya pulang sampai rumah... yang ternyata sudah ditunggui oleh beberapa orang polisi.
"Maaf, apakah Ibu adalah Imelda Chang?" Kata petugas itu di depan pintu gerbang.
"Betul, Pak. Ada apa ya?"
"Mmm... begini Bu, apakah Sebastian Chang adalah..."
"Ya, dia Papa saya. Ada apa?"
"Kami menemukan sebuah mobil di jurang, di antara Puncak Bogor dan Cianjur... pengemudinya bernama Sebastian Chang dan seorang lagi bernama Suhendra mengalami kecelakaan... mereka telah meninggal dunia saat dievakuasi."

Imelda terdiam. Lalu terguling dan jatuh pingsan!!!

***
(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd