Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
lima belas

Arman menghentikan mobilnya di depan pintu gerbang rumah yang pernah dikontrak oleh Pak Hendrik itu. Turun dari mobil doublecabinnya, dia mengenakan celana katun krem potongan lurus dan sepatu kulit buatan Italia yang warnanya senada. Kaos Polo berkerah yang dikenakannya menambah penampilannya yang jantan dan menggoda kaum hawa itu semakin maksimal.

Sejenak dia melihat ke arah jongko kosong yang terletak di sebelah kanan, tampak kosong.

Arman memilih-milih serencengan anak-anak kunci untuk membuka pintu gerbang itu, setelah kunci terbuka, dia mendorong pintu gerbang yang tinggi itu lebar-lebar lalu menaiki mobilnya kembali dan melajukan secara pelahan. Dia memarkir mobilnya di halaman depan sebelah kanan.

Turun dari mobil dia langsung menuju teras dan memilih-milih kunci untuk membuka pintu. Ada delapan anak kunci. Arman mencobanya satu-satu. Pada saat dia mencoba-coba memasukkan anak kunci, seeorang berkata di belakangnya.
"Permisi... Pak... Arman."

Arman menoleh, seorang laki-laki yang usianya sebaya dengan dia, memasuki halaman dan melangkah ragu-ragu mendekati teras.
"Ya? Kamu siapa?"
"Saya... saya... Ujang Uceng... saya keponakannya Mang Nanang."
"Pak Nanangnya kemana?"
"Semalam dia sakit demam... sampai saat ini belum sembuh. Saya disuruh ke sini sama Mang Nanang menemui bapak."
"Hm. Kamu bawa KTP?"
"Bawa, Pak. Buat apa?"
"Coba lihat sini."

Lelaki itu merogoh saku celana belakangnya dan mengeluarkan dompet. Dia menjumput KTP dan menyerahkannya kepada Arman.

Arman meneliti KTP itu dengan seksama.
"Di sini tertulis namamu Cepi Sukarya."
"I Ya, Pak. Itu nama asli saya." Ujang Uceng menjawab dengan agak gugup.

Arman menatap lelaki muda itu dengan tatapan tidak percaya.
"Hm... aku tidak kenal kamu. Memang kamu pernah disebut-sebut sama Pak Nanang... tapi... coba katakan, kapan terakhir kamu kerja sama Pak Nanang?"
"Merenovasi rumah Enin, Pak. Tetangganya Pak Nanang."
"Kamu kenal dengan Enin?"
"Kurang, Pak. Tapi saya tahu dia berjalan tempe bungkus di pasar."
"Kamu tinggal di RW 09?"
"Ya, Pak."
"RT?"
"RT 05... rumah saya dekat kuburan, Pak."
"Kamu lahir tahun berapa?"
"Tahun 96, Pak."
"Sudah menikah?"
"Belum, Pak."
"Kamu Lulusan SMA atau SMP?"
"Saya lulusan SMP, Pak."
"SMP mana?"
"SMP Sapan, Pak."
"SMP Sapan? Coba sebutkan guru Bahasa Inggrisnya siapa saja, ada 3 orang kan?"
"I ya, Pak. Bu Erni, Bu Linda dan Pak Agus. Kok bapak ingin tahu?"
"Kamu punya kakak?"
"Tidak, Pak."
"Adik?"
"Tiga. Semuanya perempuan."
"Adikmu sudah ada yang menikah?"
"Sudah, Pak. Satu."
"Kamu pernah ngentot?"
"Mmmmm.... mmmaksudnya apa, Pak?" Wajah Ujang Uceng menjadi merah karena jengah.
"Maksudku, kamu pernah ewean atau belum?"
"Saya... saya... perr... nah, Pak."
"Dengan siapa?"

Ujang Uceng gemetar karena gugup.
"Jawab dengan jujur."
"Dengan... dengan Ceu Onih... Pak... janda tetangga sebelah..."
"Gimana rasanya?"
"Ee..enak tentu saja, Pak."
"Berapa umurnya?"
"Siapa, pak?"
"Ceu Onih, siapa lagi?"
"Kurang tahu, Pak. Mungkin 40-an ada."
"Ngecrot di dalem apa di luar?"
"Di... di... dalem... Pak."
"Kamu enggak takut dia hamil?"
"Ta... takut... Pak... tapi... tapi... saya sudah tidak kuat."
"Baiklah... terimakasih kamu sudah menjawab secara jujur." Kata Arman sambil tersenyum. "Aku percaya kamu keponakannya Pak Nanang, sekarang mari kita kerja."

Arman menemukan kunci yang pas dan dia kemudian membuka pintu itu. Seketika udara lembab menyeruak dari dalam ruangan.
"Ceng, sini." Kata Arman.
"I ya, Pak."
"Buka semua pintu-pintu yang tak dikunci... cari sapu kalau ada... setelah itu kamu bersihkan ruangan dengan peralatan yang ada sebisanya."
"Baik, Pak."

Arman memperhatikan ruangan tengah yang luas itu yang sudah tanpa perabotan. Rupanya Bu Sella telah mengangkuti semua perabotan termasuk ranjang-ranjang yang ada di kamar-kamar.

Rumah itu memiliki 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi, kamar pembantu, dapur dan ruang makan serta sebuah ruang khusus yang terletak di belakang. Ruang khusus itu sangat luas yang digunakan Hendrik sebagai pabrik narkoba. Ketika Arman membuka pintu ruang khusus itu, keadaan sudah kosong. Polisi menyita semua peralatan itu tanpa sisa.

Arman kemudian menuju kamar paling kecil yang terletak di luar lingkungan rumah, itulah kamar dia ketika menjadi pembantu di rumah ini. Dia tersenyum kecil mengingat bagaimana dia dulu bercita-cita merampok rumah ini. Dia kemudian melangkah menuju gudang yang terletak di sebelah kiri rumah itu.

Pintunya digembok.

Arman pergi ke mobil dan mengambil kunci inggris lalu kembali lagi ke depan pintu gudang dan memukul-mukul kunci gembok itu menggunakan kunci inggris hingga akhirnya terlepas.

Ruangan di dalam gudang sangat pengap, lembab dan bau. Tikus-tikus berlarian ketika pintu dibukakan lebar-lebar.

Tumpukan kardus itu tampak sangat acak-acakan.
"Kalau Tuhan berpihak kepadaku, maka uang itu masih ada di situ." Kata Arman dalam hatinya. Dia kemudian memanggil Uceng dan memintanya mengeluarkan semua tumpukan kardus itu ke luar dari gudang. Setelah selesai, Arman menyuruh Uceng kembali ke halaman belakang.

Sekarang bak pengontrol saluran got tua itu tampak jelas di sudut gudang. Tutupnya yang terbuat dari plat besi tampak karatan seperti dulu, demikian juga dengan kunci gemboknya. Arman berjongkok dan melepaskan kalung anak kunci dari lehernya. Lalu mencoba membuka gembok itu. Ternyata bisa. Arman sempat merasa was-was kalau-kalau uang itu berhasil ditemukan oleh para polisi itu. Tapi ternyata tidak.

Arman menggeser penutup plat besi dan kantung plastik hitam besar untuk wadah pembuangan sampah itu, masih berada di tempatnya dalam keadaan baik-baik saja. Arman segera menarik plastik itu dan memeriksa isinya.

Ho ho ho... dia merasa sangat senang.
"Aku berhasil merampok si Hendrik." Katanya dalam hati.

Tanpa mempedulikan baju putihnya menjadi kotor, Arman memanggul kantong kresek hitam itu dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil. Menguncinya dengan rapat.
"Paak..." Suara Uceng mengejutkan Arman yang baru saja memasukkan uang itu ke dalam bagasi.
"Ada apa?" Tanya Arman.
"Maaf... barang-barang yang tak terpakai itu sebaiknya digimanain, Pak."

Jantung Arman sempat berdegup kencang sejenak.
"Menurutmu sendiri bagaimana?"
"Kita jual ke tukang loak saja."
"Hm, usul yang bagus." Kata Arman, dia menarik nafas sejenak. "Begini, kamu jual saja semua barang-barang tak terpakai itu. Uangnya kamu belikan ember, sapu dan alat-alat untuk ngepel lantai... ini aku tambahin 200 ribu. Seratus ribu buat upahmu, sisanya untuk kekurangan pembelian alat kebersihan. Kalau ada kembalian... buat kamu. Dan ini, kunci ini, kamu pegang. Besok kamu datang lagi ke sini dengan atau tanpa Pak Nanang. Setuju?"
"Sssi... siap, Pak."
"Aku akan pergi dulu, ada urusan penting. Kamu di sini baik-baik kerja ya... yang rajin... nanti dapat bonus."
"I ya, Pak. Makasih Pak sebelumnya."
"Ya sama-sama. Aku pergi dulu ya."

enam belas

Arman tiba di showroom sekitar jam 12.30 dan menemukan Imelda sedang menekuk mukanya dengan mulut menggaris ke bawah.
"Kenapa putih cantik... koq cemberut?"
"Gapapa." Jawab Imel getas. "Lain kali jemputnya jam 3 aja biar aku mati kelaparan." Dia kemudian menghempaskan tubuhnya di samping Arman. Dia meletakan tas tangan di pangkuannya, kedua tangannya memainkan HP. Jari jemarinya yang lentik bergerak lincah, nge-chat seseorang.
"Ke mana kita?"
"Sudah dibilang tadi pagi kita ke Bunga Resto... aku udah janjian sama Vanny."
"Oh. Perasaan tadi pagi kamu ga bilang apa-apa deh." Kata Arman.
"Aku bilang. Kamu aja yang enggak denger!" Suara Imel terdengar tinggi.

Arman tak ingin nge-gas balik. Dia tahu, kalau perempuan lagi datang bulan biasanya bersikap aneh. Tiba di Bunga Resto, Imel turun lebih dulu. Tanpa menunggu Arman yang sedang memarkir mobil, dia masuk ke dalam resto. Arman sendiri agak kesulitan mencari tempat parkir yang lowong. Agak lama akhirnya dia menemukan tempat di sudut setelah sebuah mobil ke luar.

Resto itu cukup luas. Arman kebingungan mencari meja di mana Imelda duduk. Seorang pelayan datang mendekatinya dan bertanya ada apa. Arman nyengir.
"Pacar saya sudah duluan masuk... tapi saya tidak tahu di mana dia duduknya."
"Mungkin di pojok belakang, Pak."
"Ya, mungkin." Kata Arman sambil terus melangkah dengan celingukan.

Saat itu Imel sedang mengalami mood yang buruk. Dia duduk berhadapan dengan Vanny di meja yang terletak di tengah-tengah resto. Sebelum Imel datang, Vanny sudah lebih dulu duduk di meja itu menunggunya.

Vanny memiliki rambut ikal yang panjang sampai sebahu. Dia memiliki lesung pipit dan hidung yang mancung. Matanya besar dengan bulu-bulu mata yang panjang dan lentik. Kulitnya putih.
"Kamu sendirian?"
"Engga, aku sama Arman."
"Pacar?"
"Ya, begitulah."
"Ben?"
"Ben ke laut, nyebur."

Vanny tertawa. Imel masih sibuk membalas chat.
"Oh, Tuhan gantengnya." Bisik Vanny. "Lihat cowok yang sedang kebingungan itu... kasihan, meja mungkin sudah penuh."

Imel menoleh ke arah cowok yang dimaksudkan Vanny.
"Itu Arman." Kata Imel dengan nada datar.
"Pacarmu?"
"Heu euh."
"Kamu enggak bilang-bilang punya pacar seganteng itu."
"Jangan bahas deh. Gimana kerjaan?"
"Begitulah. Kamu kenapa sih? Panggil cowokmu ke sini."

Imel menghentikan kesibukan jari-jarinya di HP dan menggapai ke arah Arman. Orang yang digapai memperlihatkan ekspresi wajah lega dan langsung melangkah ke meja mereka.
"Maaf telat." Kata Arman, dia mengangguk ke arah Vanny dengan sopan.
"Ini vanny teman kuliahku dulu." Kata Imel.
"Arman." Kata Arman sambil mengangsurkan tangan.
"Vanny." Gadis itu berdiri dan menjabat tangan Arman.

Meja itu memiliki 4 kursi, Arman duduk di sebelah Imel.
"Mas Arman mau pesan apa?" Tanya Vanny, sopan.
"Samain aja, saya enggak bermasalah dengan makanan." Jawab Arman, tersenyum. Vanny menatap Arman lekat ketika pemuda itu sedikit menunduk dan Imel sibuk dengan chat-nya.
"Mas Arman kerja di mana?" Tanya Vanny, basa-basi.
"Saat ini, saya masih menganggur. Kalau Vanny?"
"Saya di BHS Bank... kebetulan jadi manajer."
"Oh, kebetulan. Saya mungkin ingin jadi nasabah BHS... konon fitur dan pelayanannya menjanjikan."

Vanny tertawa pelan.
"Enggak konon koq. Tapi bener." Jawab gadis itu, dia melirik sejenak ke arah Imel yang masih menunduk dengan HPnya. "Sudah lama... sama Imel."
"Yaaa... cukup."
"Baru sebulan!" Timpal Imel sambil terus memainkan jari-jarinya di HP.
"Ya, baru sebulan."
"Mas Arman lulusan mana?"
"Saya SMA."
"Oh."

Tiba-tiba hening. Makanan pesanan datang.
"Putih sayang... makan dulu." Kata Arman.
"Ya, sebentar. Ini tanggung."

Arman menarik nafas berat dan Vanny diam-diam memperhatikan.
"Kalau ada perlu apa-apa soal perbankan Mas Arman bisa hubungi saya... ini kartu nama saya." Kata Vanny. "Yuk, makan yuk."
"Yuk." Jawab Arman. Vanny tersenyum.

Salah satu menu unggulan resto itu adalah sop bunga teratai yang konon memiliki khasiat meningkatkan vitalitas dan imunitas bagi pria maupun wanita. Arman terkejut dengan rasa sop itu yang sangat lembut di lidah. Satu mangkuk tidak cukup. Arman memesan satu mangkuk lagi dan Vanny menjadi sangat keheranan.
"Dia emang rakus." Kata Imel. "Dia bisa menghabiskan makanan apa saja yang bisa dimakan."

Arman tidak menanggapi ucapan Imel dan tersenyum getir. Dia tidak ingin bertengkar. Selesai makan siang, Imel membicarakan banyak hal dengan Vanny terutama mengenai sistem leasing kendaraan dan cara-cara pengajuannya, SOPnya, syarat-syaratnya dan lain-lain. Walau merasa diabaikan, tapi Arman mencoba bersabar dan tetap tersenyum.

Akhirnya acara makan siang itu pun selesai. Sepanjang perjalanan ketika pulang ke showroom, Imel diam membisu. Malamnya, ketika di rumah, Imel tidak menawari Arman makan malam. Dia kemudian tidur dan mengunci pintu kamarnya.

Keesokan paginya, Arman membuat sarapan dan Imel mengkritiknya dengan pedas.
"Putih sayang, kamu kenapa? Beberapa hari ini kamu cemberut terus."
"Aku biasa aja."
"Tidak, kamu berubah."
"Apa? Aku? Kamu yang berubah... kamu jadi sok kaya padahal semua kekayaan ini punya aku... ingat, kamu di sini cuma numpang."
"Koq?"
"Apa? Apa?" Sergah Imel.

Arman terdiam. Tercenung. Setelah Imel pergi tanpa pamit ke showroom, Arman pun pergi ke rumah yang akan direnovasi dan membatalkan Uceng untuk meneruskan pekerjaan.
"Untung saya belum beli peralatan kebersihan, Pak."
"Ya, udah. Itu uangnya buat kamu aja."

Arman kemudian kembali lagi ke rumah Imel, menyimpan semua kunci-kunci di atas meja makan. Dia pergi ke luar melalui pintu depan dan meletakan kunci pintu depan di bawah pot bunga.

Dia kemudian berjalan kaki menuju kamar kontrakannya.

tujuh belas

"Ada apa dengan Imel?" Bisik Arman dalam hati. "Kenapa secepat itu dia berubah?"

Sambil berbaring di kamar kontrakannya, Arman berpikir dan merenung. Tapi perubahan perangai Imel yang sangat mendadak dan tak terduga itu, sungguh sulit terjangkau oleh pikirannya.
"Ah, sudahlah. Biarkan aja dulu beberapa hari, mungkin dia akan kembali lagi seperti dulu." Kata Arman menenangkan hatinya sendiri.

Pada jam setengah empat sore, Arman ngechat Imel.
"Kunci disimpan di bawah pot warna merah."
"Putihku cantik, sayang, aku pergi dulu."
Tak ada tanda centang. Apalagi balasan.

Tiba-tiba Arman merasa terluka. Dia kangen sama Imel tapi gadis itu seakan tidak ingin mengenalnya.
"Ya Tuhan, apakah aku jatuh cinta kepadanya?"

Waktu berjalan sangat lambat bagi Arman. Dia menunggu jawaban chat namun tidak muncul juga. Pada hari ketiga barulah Chat-nya bertanda centang 2. Itu berarti baru dibaca namun tetap tidak ada jawaban.

Seminggu pun berlalu. Arman resah. Akhirnya dia nge-chat Imel lagi. Tapi apa yang terjadi, dia sudah diblockir oleh Imel.
"Ya, Tuhan, apa salah aku?"

(bersambung)
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd