Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
Tujuh

Tina dan Asep memandang Arman dengan heran namun bersikap hormat. Pemuda itu berubah 180 derajat dibanding dengan terakhir ketika mereka melihatnya memesan moge 250 cc itu. Mereka mengatakan Imel belum datang.

Diam-diam Arman merasa agak khawatir. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Imel. Namun, fakta bahwa Imelda telah mengagitasinya dengan kata-kata yang menyakitkan membuat Arman berpikir untuk melupakan si putihnya yang cantik itu untuk sementara.
"Toh dia tidak akan ke mana-mana." Pikir Arman. "Aku akan menemuinya nanti setelah pulang dari Bogor." Berpikir demikian Arman melangkah kaki menuju sebuah kantor travel yang terletak tidak jauh dari showroom motor itu.

Kantor travel itu tampak sepi.

Arman masuk ke dalam ruangan dan menemukan tidak ada seorang pun di sana. Dia mengetuk-ngetuk pintu yang terbuka itu dengan keras dan lama. Akhirnya muncullah seorang lelaki setengah baya dengan wajah kusut ke luar dari pintu ruangan yang tertutup. Dia menguap dan menggeliat.
"Ada apa?" Tanyanya dengan wajah yang tampaknya masih bermimpi.
"Saya mau pesen travel ke Bogor." Jawab Arman.
"Adek harusnya pesan pake aplikasi... tapi ya sudahlah. Manual juga bisa." Katanya sambil menghampiri wastafel dan mencuci muka. Lalu lelaki setengah baya itu duduk di meja sederhana yang terletak di sudut ruangan.
"Pergi saja atau pulang pergi?"
"Mmm... entahlah. Apa di sini ada sopir yang mengenal seluk beluk kota Bogor?"

Lelaki setengah baya itu menatap Arman.
"Tidak ada orang yang lebih mengenal dan mengetahui seluk Bogor di Bandung ini melebih saya." Katanya, suaranya tinggi dan nadanya angkuh. "Tapi tarif sewa saya mahal."
"Berapa?"
"Tergantung." Katanya. "Mau pake mobil apa dan berapa hari? Mau mengunjungi satu tempat atau berkeliling ke berbagai tempat?"
"Mungkin sekitar 2 hari 1 malam. Keliling Bogor."
"Wow. Itu mahal, dek. Upah saya per hari 300 ribu di luar makan minum dan rokok, biaya menginap, biaya sewa mobil dan bensin ditanggung penumpang." Katanya sambil meneliti Arman dengan ujung matanya, dari atas ke bawah.
"Boleh-boleh." Kata Arman. "Berapa?"
"Empat juta ditambah satu juta untuk biaya lain-lain yang tak terduga."
"Baik. Bayar di muka atau...?"
"Adek serius?"
"Serius. Kita bisa berangkat pagi ini juga kan?"

Lelaki setengah itu tampak gelagapan.
"Pagi ini juga?" tanyanya.
"Ya."
"Tunggu di sini... Pak... saya Hendi. Bapak?"
"Arman."
"Pak Arman, maaf, saya akan chek mobil dan mandi dulu. Tak apa kan bapak menunggu beberapa menit?"
"Oke." Jawab Arman. "Saya akan menunggu."

delapan

Arman duduk di kursi ruang tunggu itu dan entah mengapa dia merasa tiba-tiba sedih dan ingin menangis. Bayangan masa kecilnya yang indah namun terasa kabur begitu jauh... Dia tak pernah mengenal ayah dan ibunya.

Tiba-tiba dia ingat Imelda.
"Mengapa aku tiba-tiba menangis?" Bisik Arman dalam hatinya. "Aku tak pernah menyukai caranya mengatur hidupku... tapi kukira aku mencintainya."

Arman mengisap rokoknya dalam-dalam dan menyemburkannya pada ruang sepi yang menghantui dirinya.

sembilan

Pak Hendi bersiul-siul ketika memasuki ruangan itu dan meminta uang sewa mobil satu juta rupiah. Arman memberikannya.
"Saya lapor bos dulu." Katanya. "Dan membayar sewa dulu kepada beliau."
"Oke."

Hendi menghilang beberapa menit kemudian muncul lagi dengan wajah berseri-seri.
"Oke, Pak. Kita berangkat."

Mereka ke luar bersama dari kantor travel itu. Hendi berjalan lebih dulu memasuki sebuah mobil hitam yang tahu-tahu sudah berdiri di depan kantor travel itu dalam keadaan menyala. Seorang anak remaja ke luar dari mobil dengan senyum menyeringai.
"Mobil sudah dicuci, dipanaskan dan siap berangkat... tinggal duitnya." Kata lelaki kecil itu, tangannya menggerak-gerakkan telunjuk dan jempolnya, "duit... duit..." Katanya.

Hendi memamerkan wajah masam dan mengeluarkan uang pecahan dua puluh ribu.
"Nih! Dasar mata duitan." Katanya. Anak itu tampak gembira.
"He he he... lumayan... duit... duit..." Katanya. Arman menatap anak remaja itu tak berkedip.
"Hey! Kamu siapa namanya?" Tanya Arman.

Remaja berkulit gelap itu berbalik dan balik menatap Arman.
"Ada apa Om?"
"Kamu siapa namanya?"
"Udi, Om."
"Sekolah di mana? Kelas berapa?"
"Udah enggak sekolah Om sejak kelas 2 SMP."
"Kamu sini." Kata Arman sambil merogoh dompetnya." Ini buat kamu, tabung ya buat nerusin sekolah."

Udi terdiam bengong. Menatap Arman seperti tak percaya.
"Bilang makasih, penjol!" Kata Hendi.
"Ah eh... Om makasih."

Arman tersenyum dan mengangguk.
"Yuk, berangkat." Katanya sambil masuk ke dalam mobil.

Mobil pun melaju. Arman membuka handphonenya dan membuka catatan rencananya.
"Kita ke kota Bogor dulu... ke Tanah Sareal."
"Siap, Bos." Jawab Hendi.

sepuluh

Sejak dari jalan Pajajaran Bandung hingga kini memasuki daerah Cianjur, Arman memperhatikan mobil berwarna abu-abu metalic itu terus berada di belakangnya. Iseng-iseng Arman meminta Hendi berkeliling di kota Cianjur dahulu selama satu setengah jam.

Mobil itu terus menguntit.
"Hm... bisa jadi mereka sudah mengenaliku." Bisik Arman dalam hatinya. Dia lalu meminta Hendi untuk berhenti di sebuah rumah makan.
"Masih agak pagi untuk makan siang, Pak." Kata Hendi. "Baru jam setengah sebelas."
"Memang." Kata Arman.
"Apa bapak sudah sangat lapar?"
"Belum. Tapi badan saya agak pegel... saya ingin melemaskan badan dulu."
"Oh, kalau begitu kita ke Cianjur Studio Alam aja, Pak. Lihat orang bikin sinetron."
"Boleh juga tuh Pak." Kata Arman. "Saya belum pernah lihat proses produksi sebuah sinetron."
"Kalau bapak tertarik, kita bisa berkunjung ke sana. Adik saya yang bungsu, si Heri, kerja di sana sebagai tim kreatif."
"Ayo kita ke sana."
"Mmm... sebaiknya Pak kita beli rokok dulu yang banyak... biar bisa bebas lihat-lihat sambil bagi-bagi rokok... orang-orang kreatif itu menurut saya bukan orang-orang waras, Pak... mmm... mereka tak bisa didekati kecuali dikasih rokok dulu."
"Begitukah? Ya sudah, beli saja dulu."
"Siap, Pak."

sebelas

Arman bukan type orang yang suka menonton sinetron di TV. Dia juga tak suka nonton berita selain berita olahraga. Baginya TV tidak penting. Yang penting dalam kehidupan Arman cuma internet karena internet telah banyak membantunya dalam beberapa hal yang penting dalam kehidupannya.

Mereka memasuki sebuah kawasan studio alam yang sangat besar. Rumah-rumah dengan halaman yang indah dan asri, taman-taman buatan... orang-orang berlalu dengan pakaian aneh. Sedikit banyak Arman terkesima juga melihat benda-benda sehari-hari yang cuma enak dipandang tapi tidak enak disandang ketika didekati.

Benda-benda itu semua palsu. Tapi asli.

Mereka memasuki sebuah gedung yang mirip berbentuk gudang, dijaga oleh satpam.
"Mau ke mana, Pak?" Tanya Satpam.
"Saya mau ketemu Heri, adik saya."
"Sudah ada janji?"
"Belum."
"Sebentar... " Kata satpam itu. Dia memutar nomor telpon internal dan berbicara dengan seseorang. "Bapak siapa?" Tanya satpam itu.
"Saya Hendi, kakaknya."

Satpam itu berbicara lagi di telpon internal.
"Dia akan ke sini. Bapak tunggu saja di sana, di dekat kantin. Mobil di parkir di sebelah sana."
"Baik, makasih Pak." Kata Hendi.

Arman mengikuti langkah Hendi, ujung matanya memperhatikan mobil abu-abu itu meluncur pelan dan parkir di tempat yang agak jauh.

Mereka duduk di bangku kayu panjang yang antik. Seorang lelaki berusia sekitar 35-an berambut gondrong mendatangi mereka.
"Kang... tumben mampir." Kata Orang itu. Hendi menoleh dan tertawa.
"Kamu kelihatan seperti orang waras... ha ha ha... gimana kabar anak dan istrimu?"
"Baik-baik saja... "
"Masih tinggal di Ciranjang?"
"Masih. Akang mau apa ke sini sebenarnya... Heri kan sudah enggak punya utang." Kata Si Gondrong itu sambil menarik kemasan rokoknya yang ternyata sudah habis. Dia meremas kemasan itu dan melemparkannya sekenanya ke suatu tempat.
"Nih, akang bawain rokok." Kata Hendi. "Akang masih ingat rokok kesukaan kamu."
"Wah... satu bos... gila benerrrr ... makasih, Kang."
"Jangan bilang makasih ke akang... nih orangnya yang beliin... Pak Arman, kenalin."
"Heri." Kata si gondrong sambil menyodorkan tangannya.
"Arman." Kata Arman sambil menjabat tangan yang kurus kering itu.
"Dia mau jalan-jalan... lihat-lihat produksi."
"Oh, boleh. Yuk masuk.... Pak Satpam, dia tamu saya." Kata Heri berteriak, dia lalu mengajak Hendi dan Arman masuk ke dalam gedung melalui sebuah pintu darurat di sebelah kantin, setelah masuk dia mengunci kembali pintu itu.
"Untung enggak dikunci... males kalau harus jalan lagi lewat depan." Kata Heri.

Mereka menyusuri ruangan-ruangan terbuka yang sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Ruangan-ruangan itu disekat seadanya dengan menggunakan partisi papan yang sederhana. Suasananya mirip seperti di pasar Gede Bage, tapi di sini lebih tenang dan sepi.

Arman merasakan betapa luasnya gedung itu dan betapa tinggi atapnya yang tanpa atap... Heri mengajak mereka berkeliling hingga akhirnya berhenti di sebuah ruangan tempat di mana dia bekerja.

Heri ternyata pembuat kostum.
"Saya cuma pegawai di sini..." Katanya. "Semua kostum ini dirancang oleh Pak Dono... "
"Ini apaan?" Tanya Arman, menunjuk pada sebuah lapisan karet yang halus berwarna coklat.
"Oh, itu karet sintetis... mmm, Pak Dono sedang mengerjakan sesuatu... jangan diganggu."
"Kalau ini... mengerikan juga."
"Mmm.. ini pesanan sutra dara film horror... silakan lihat-lihat... tapi jangan sentuh apa pun... nanti Pak Dono marah."

Heri berkata sambil menuju sebuah tirai dan menyibakkannya. Dari balik tirai terlihat seorang lelaki berkulit coklat dengan wajah misterius, tengah serius menggambar sesuatu di meja kerjanya. Usia orang itu tampaknya tidak beda jauh dengan Heri. Bahkan mungkin lebih muda.

Entah apa yang dibicarakan oleh Heri dan orang itu. Arman mengamati semua hasil kerja artistik itu dengan penuh kekaguman. Dia kemudian membungkuk memperhatikan sebuah topeng karet yang digantung dinding.
"Hm... mungkin cara ini bisa membantu." Bisik Arman dalam hatinya. "Aku harus mencobanya."

Pada saat itu, tiba-tiba ada serombongan orang masuk ke ruangan itu. Seorang gadis cantik bertubuh langsing, tinggi semampai diikuti beberapa orang menerobos masuk ke ruangan itu tanpa ba bi bu.
"Heri... Om Sumaannnn..." Teriaknya.

Arman menyisi dan membiarkan gadis berhidung mancung itu masuk menerobos tirai. Sekejap gadis itu melirik ke arahnya. Matanya besar mirip boneka, bola matanya lentik, rambutnya ikal kusut dipotong pendek setengkuk... kulitnya coklat terang... dia sangat jelita!
"Kana..." Kata lelaki yang dipanggil dengan Om Suman itu. "Belum selesai."
"Papa bilang secepatnya." Kata gadis yang dipanggil Kana.
"I ya... tapi bukan hari ini."
"Tapi minggu ini siap kan?"
"Mudah-mudahan... Om lagi nunggu bahannya datang dari Cikarang."
"Om... ssst... cowok itu aktor pendatang baru itu ya?"
"Mana kutahu, tadi datang sama si Heri... mungkin dia mau nyoba kostum "Pendekar Kakek Gila"... tanya aja sendiri.... bilang sama papa kamu, minggu ini pesanannya selesai, enggak perlu khawatir."
"Baik, Om." Kata Gadis itu. "Ini uang muka tambahannya... dilunasin kalau sudah selesai."
"Nah, kalau soal duit... he he he... Om seneng menerimanya." Kata lelaki itu dengan senyum gembira.

Seorang lelaki gemulai dengan make up tebal, yang merupakan salah seorang dari rombongan gadis cantik itu, tersenyum baper kepada Arman.
"Mas lagi mau nyobain kostum ya." Katanya dengan nada sedikit genit, mencoba membuka percakapan dengan Arman.

Arman menggelengkan kepala. Dia menghindar.
"Iih... jangan sombong dong... mentang-mentang ganteng." Kata si lelaki gemulai itu mendekati Arman.
"Sudah-sudah." Kata Hendi melerai. Dia melihat ketidaknyamanan di wajah Arman.
"Kamu siapa sih gendut... ikh! jangan pegang-pegang." Kata Si lelaki gemulai itu dengan genit dan sombong.
"Jangan mentang-mentang sudah terkenal terus bersikap kaku seperti itu... kurang baik, mas." Tiba-tiba si Gadis cantik itu mendekati Arman dan memuntahkan nasehat.

Arman melirik ke arah gadis itu dan mengagumi kecantikannya.
"Saya... saya... tidak tahu maksud... ibu." Kata Arman agak gagap.

Gadis cantik itu tertawa. Lidahnya tampak merah dan giginya putih rata.
"Kamu panggil aku ibu? Lucu banget. Yang jadi produser itu Papa sama Mama aku... aku cuma staf... ha ha ha... aku jadi tersandung... eh, tersanjung."

Arman terdiam. Menatap terpana ke arah gadis itu.
"Kamu mau nyobain kostum "Pendekar Kakek Gila" ya? Hayo... ngaku..."
"Saya... mmm... cuma lihat-lihat..." Kata Arman.
"Ya, kita cuma lihat-lihat." Kata Hendi.
"Udah deh jangan bohong... saya Kana... kamu pasti Riko Sanjaya... enggak nyangka ternyata Riko lebih ganteng aslinya daripada penampakannya di film."
"Bukan. Saya bukan Rik..."
"Kak Riko kelihatan lebih muda... eh berapa bayarannya kemaren? Kalau mau main di film Papa, pasti dibayar lebih mahal."
"Tidak, Bu, eh, maaf, saya tidak mengerti..." Kata Arman, wajahnya bingung.

Mendadak seorang lelaki gagah datang ke ruangan itu, dia membawa rombongan yang lebih banyak.
"Om Sumandono!" Katanya, "kostumnya sudah selesai kan? Halo Kana cantik... aku tahu kamu anaknya Pak Rajiv... he he he... kamu cantik banget."

Gadis yang bernama Kana itu bengong.
"Kenapa bengong? Enggak tahu ya kalau Riko memang ganteng." Kata lelaki itu lagi. Suaranya terdengar nakal.
"Eh, mas Riko... koq tahu aku bernama Kana..."
"Ya, tahu dong. Semua orang tahu... Kaaaannnnaaaa.... kanaaaaa.... engkaulah gadis india... kaanaa... kaanaaa... engkaulah gadis pujaan." Kata lelaki gagah itu sambil menyanyikan sebuah lagu dangdut yang Arman tidak pernah mendengarnya.
"Iih...ada Kak Riko." Lelaki gemulai itu dengan gembira mendekati lelaki gagah itu yang bernama Riko.
"Halo sayang... kapan jadi khusus perias aku?" Riko berkata dengan nada menggoda.
"Boleh... kapan aja Mas Rikooo."
"Ha ha ha... bentar ya aku mau menemui Om Suman dulu."

Arman menepi. Ruang kecil itu kini dipenuhi banyak orang. Dia ke luar dari kerumunan diikuti oleh Pak Hendi. Diam-diam Kana memperhatikan Arman dengan sudut matanya yang jeli dan lentik.
"Siapa sih cowok ganteng itu? Aih... dia kelihatan seperti orang baik." Bisiknya dalam hati.


dua belas

"Pak, kita ke belakang lihat orang lagi shooting yuk." Kata Hendi. "Nanti balik lagi ke sini pamitan ke Heri."
"Boleh yuk."

Mereka berjalan menembus orang-orang yang semakin ramai sampai tiba di ujung dan menemukan sebuah pintu besar yang lebar.
"Baik saudara-saudara... semua sudah siap ya... kamera... lighting... sound... action!" Terdengar suara cempreng yang ke luar dari pengeras suara TOA. Seorang lelaki bertopi baret putih duduk di kursi dan memegangi TOA tersebut.

Arman melihat ada seorang gadis cantik memakai pakaian seperti pembantu rumah tangga, berjalan membawa tas jinjing berisi sayur mayur... ketika dia berjalan, dari samping tiga orang lelaki yang kelihatannya berangasan meloncat secara bersamaan... menghadang gadis cantik itu...
"Aaahkh... kalian mau apa?" Gadis cantik itu berkata dengan wajah ketakutan tapi nada suaranya tampak menggoda.
"Ha ha ha... Inem... kali kau takkan bisa menghindar..."
"Cut! Cut! Cut!" Teriak lelaki bertopi baret itu melalui TOA. "Gilda... kamu harusnya menjerit... bukan mendesah... gimana sih... kamu harusnya berteriak Aaaaakkk... kalian mau apa! Begitu... tapi cara jalannya kamu yang menggoda... bukan suaranya... ambil posisi lagi.. oke saudara-saudara... ambil posisi... semua siap? Kamera... ligthing... sound... action!!!"

Tak terasa hari sudah siang. Arman mengajak Pak Hendi mencari makanan karena perutnya sudah berbunyi.
"Saya tahu tempat makan yang enak, Pak. Tapi agak mahal."
"Gak apa-apa."
"Di ujung sana,Pak. Tempatnya nyaman...langganan para artis dan selebriti."

Mereka melangkah menuju sebuah bangunan yang mirip pendopo. Tiba di situ, Arman melihat gadis yang bernama Kana itu tengah bertekun menunggu makan siang dengan rombongannya. Pak Hendi tampak sedikit blingsatan melihat ada sejumlah artis yang cukup terkenal sedang makan juga di situ.
"Pak, mau pesan apa?"
"Apa aja... terserah Pak Hendi."
"Saya belum pernah mencoba steak kambing panggang..."
"Boleh, pesan aja, Pak."

Seorang pelayan datang dan membimbing mereka ke sebuah meja yang ternyata bersebelahan dengan gadis itu. Arman mengangguk hormat dan Kana membalasnya dengan senyum manis. Meja yang ditempati Kana tampaknya penuh dan gadis itu kelihatannya merasa sedikit sesak.
"Pesanan saya belum datang." Katanya tiba-tiba yang ditujukan kepada Arman. Dia berdiri dari duduknya dan mengambil kursi di depan Arman. "Saya gabung di sini boleh?"
"Tentu. Silahkan."
"Saya Kana."
"Arman."
"Ke sini ada acara bisnis atau apa?"
"Kami cuma lihat-lihat." Jawab Pak Hendi. Arman mengangguk membenarkan. "Kami ada bisnis di Bogor, mampir ke sini sebentar... ya siapa tahu ada yang menarik." Pak Hendi berkata agak sotoy.
"Oh, begitu. Memang Pak Arman bergerak di bidang bisnis apa?"

Arman tersenyum.
"Bisnis saya properti." Kata Arman, tenang. "Ke Bogor untuk melakukan penjajakan...mmm... saya kira bisnis saya tidak menarik... Bu Kana sendiri?"
"Saya masih kuliah, ini tahun terakhir saya."
"Jurusan?"
"Sinematografi... calon sutradara... maunya... walau pun saya sebenarnya lebih berbakat di bidang manajemen sih... eh panggil saja saya Kana... saya boleh panggil Arman Kakak kan?"
"Ya, tentu. Itu lebih pas."

Kana tertawa.
"Saya berangkat pagi-pagi banget dari Jakarta... disuruh Papa, pake mobil kantor... Kakak ke Bogor pake mobil sendiri kan?"
"Bukan. Ini Pak Hendi dari travel."
"Oh, males nyetir ya?"
"Begitulah."
"Kapan mau berangkat ke Bogor? Bogornya di mana?"
"Mungkin setelah makan siang ini... ke tanah sareal."
"Beneran mau ke Tanah Sareal?"
"I ya. Memang kenapa?"
"Aku boleh numpang ga? Tanteku di Tanah Sareal juga..."
"Boleh. Saya enggak masalah."
"Enggak akan ada yang marah kan Kak?"
"Maksudnya?"
"Maksudnya... mmm... misalnya ada perempuan yang ngeliatin kita lagi jalan... eh, maksudnya ngeliatin saya numpang, dia enggak akan marah... ceweknya baik dan pengertian kan?"
"Saya tetap belum paham. Cewek siapa yang pengertian?"

Kana tertawa.
"Maksudku pacar Kakak."
"Pacar saya? Apa betul saya punya pacar? Oh! Itu maksudnya." Arman tertawa. "Enggak... saya enggak punya pacar."
"Masa? Jangan bohong. Bohong dosa loh."
"Saya jujur koq."
"Kenapa?"
"Kenapa apa?"
"Kenapa kakak enggak punya pacar?"
"Mmm... entahlah. Saya sibuk ngurusin selain pacaran."
"Eh, makanan aku datang. Mas... mas... yang itu di sini."
"Makanan kita juga kelihatannya sudah datang, Pak." Kata Pak Hendi.
"Maaf saya duluan ya."
"Silahkan."
***
(Bersambung)
 
Terakhir diubah:
Arman

kekasihku
belahan jiwaku

pernah terbersit
menua pelan di sampingmu

pernah terfikir
melewati sisa hidup bersamamu

pernah terbayang
memandang senang
betapa cantik dan ganteng
tertawa riang anak anak kita

kekasihku
belahan jiwaku

petaka datang
merenggut impian cinta

badai tiba
menghantam angan cita

siang menjadi suram
abu abu pekat tak berujung
malam berubah kelam
hitam gelap tak bertepi

kekasihku
belahan jiwaku

hina raga ini berpeluh
malu jiwa ini bersimpuh

cintaku terlalu hina untuk merindumu
citaku terlalu malu untuk menghadapi


Armanku
kekasihku
belahan jiwaku

kenang kenanglah aku
pernah ada putih sayangmu

kenanglah kenanglah aku
cinta dan sayang ini
melewati batas waktu nan abadi


putih sayangmu
Imelda Chang

semarang,selasa 23 juni 2020

sangat sedih dan beneran sedih pakai banget,kenapa tiba tiba pilihan untuk mengakhiri hidup harus di ambil, kenapa Kang Sumandono...???.
aku yang hanya sekedar membaca,tapi bisa hati ini seperti ada yang pudar dan hilang,kenapa Kang Sumandono tega ...???

aku hanya bisa berharap jika ini hanya sekedar mimpi...

thanks ya Subes Sumandono




:kk::kk::kk:

 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd