Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
tiga belas

Kana tidak terkejut ketika cowok itu membayarkan makanannya. Selama perbincangan makan siang yang menyenangkan, Kana merasa cowok itu sedikit polos tapi misterius. Namun mudah bagi Kana untuk merasakan ketulusan hati seorang cowok. Kalimat-kalimat yang dilontarkan cowok itu tidak agresif, sok pamer atau tebar pesona. Dia merasa senang dan nyaman di dekat cowok itu, sehingga lupa kalau Thomas, pacarnya, bisa ngamuk-ngamuk kalau tahu.

Usai makan siang, Kana pamitan kepada para staf Papanya yang akan meneruskan pekerjaan mereka di studio alam. Dia mengikuti langkah kaki cowok itu dan berharap bisa bertukar cerita lagi nanti di mobil.

Studio Om Suman sudah tidak seramai tadi ketika mereka kembali. Cowok itu mendekati Om Sumandono dan menanyakan banyak hal. Mereka tampak berbincang dengan serius.

Kana mendekati mereka karena tak sabar ingin mengajak Arman pergi secepatnya ke Bogor.

"Ada beberapa tehnik dalam melakukan manipulasi ruang dengan sistem londok... " Kata Om Suman ketika Kana mendekati mereka.
"Londok sama bunglon apa bedanya, Om?" Tanya Kana memotong.
"Sama tentu saja. Jangan potong kalimat saya... saya ini pelupa... tehnik londok ini memaksimalkan lingkungan sebagai background penyamaran... jadi, kalau kamu ingin melakukan tehnik manipulasi ruang, kamu harus memaksimal apa yang ada di lingkungan... saya akan sebutkan contoh misalnya... di pinggir jalan yang sepi... kamu tidak akan terlihat oleh siapa pun jika memakai baju gelandangan dan duduk dekat tong sampah... mereka melihat tapi mereka takkan peduli... itu artinya kamu memanipulasi mereka agar mereka tidak peduli kepadamu..."
"Koq kayak kuliah, Om?" Kana memotong lagi.

Sumandono menatap gadis itu dengan tatapan sebal.
"Sudahlah. Kalian pergi saja. Saya bilang saya tak suka dipotong kalau lagi ngomong..."
"Maaf, Pak." Kata Arman.
"Sudah sana... saya banyak kerjaan. Eh, Man, kalau kamu tertarik soal tehnik manipulasi ini, kamu bisa main ke studio saya di Bandung, di Balubur... dekat PDAM kota Bandung."
"Ah siap, Pak. Saya pasti ke sana."
"Nah, sebagai hadiah karena kamu mau mendengarkan theori saya... saya kasih rompi "Karet Perut Gendut" ini dan Kumis Palsu... coba kamu pake, dijamin kamu akan berubah 180 derajat."

Arman menerima pemberian seniman itu dengan wajah berseri.
"Boleh saya pake langsung, Om?"
"Harus. Pakailah, saya ingin melihat hasilnya."

Arman melepaskan kemeja Polonya hingga dia tekanjang dada, tampak pundaknya yang lurus dan kuat. Kana gemetar melihat tubuh telanjang itu.

Rompi itu terasa ringan. Ketika dipakai oleh Arman ukurannya sangat pas. Sumandono tertawa saat Arman memakai kemejanya kembali lalu memasang kumis palsu itu.
"Kamu tinggal pake topi atau kopeah... ha ha ha... kamu jadi tampak seperti seumuran dengan saya." Kata Sumandono. "Nah, sekarang kalian enyahlah dari sini. Saya mau kerja."
"Makasih, Om."
"Ya ya..."

empat belas

Dua orang yang duduk di kursi jok depan mobil berwarna abu itu mulai merasa gerah. Leher mereka pegal karena sejak tadi fokus ke arah mobil berwarna hitam yang menjadi incaran. Setelah 2 jam mereka menunggu, seorang perempuan yang sangat cantik bersama seorang lelaki berperut gendut dan berkumis tipis, memasuki mobil hitam itu.

"Itu sopirnya yang dari travel itu ya?"
"Ya. Anak itu berati masih di dalam."
"Kita masuk saja yuk."
"Ayuk, tapi kita harus hati-hati... kalau ada kesempatan... kita bunuh saja sekalian anak itu di sana."
"Cocok. Aku setuju. Semakin cepat kita selesaikan pekerjaan ini, semakin cepat kita dapat bayaran ha ha ha..."


lima belas

Mobil meluncur meninggalkan Cianjur. Siang yang panas mulai berganti menjadi sore yang hangat. Arman melepaskan kumis palsu dan rompi perut gendutnya. Melipatnya dengan rapi dan menyimpannya dengan hati-hati dalam tas ranselnya.

Ketika Arman membuka bajunya, Kana teragitasi oleh harum tubuh cowok itu. Kana pura=pura membuang muka ke jendela.

Sepanjang perjalanan, Kana bercerita banyak tentang dirinya, teman-temannya, mantan-mantannya dan pacarnya, Thomas.

Dia ternyata seorang gadis yang sangat terbuka dan ceplas-ceplos. Arman tersenyum-senyum mendengarkan semua ceritanya.
"Sekarang giliran kakak yang cerita." Kata Kana.
"Saya tidak punya cerita. Saya hanya orang biasa." Jawab Arman.
"Aaaah... masa sih? masa kaka engga pernah punya pacar, bohong ah. Kakak kan ganteng... pasti banyak yang suka."
"Mmm... pernah sih... tapi ya begitulah..."
"Hey!" Tiba-tiba Pak Hendi berteriak. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju dengan kecepatan sangat tinggi masuk ke jalur tengah. Pak Hendi dengan terampil membanting stir ke arah kiri dan terpaksa menyisir bahu jalan yang miring, yang merupakan pinggiran saluran air kotor.

Mobil setan itu kemudian lewat dengan kecepatan tinggi, hanya beberapa sentimeter saja di sebelah kanan mobil yang mereka tumpangi. Beberapa detik kemudian terdengar suara benturan yang sangat keras dan suara jeritan-jeritan.

Lalu sebuah ledakan. Boom!!!

Mobil yang dikendarai Pak Hendi menjadi miring mengikuti permukaan bahu jalan yang miring. Kana terbanting ke kiri, terpelanting dan kepalanya jatuh di selangkangan Arman yang terbuka. Selama beberapa saat wajah Kana menelungkup di sana dan hidungnya yang mancung sepertinya beradu dengan sebuah batang yang pelahan mengeras.

Pak Hendi dengan skil tingkat tinggi, mengembalikan jalur laju mobil ke jalan aspal yang rata. Beberapa meter kemudian berhenti dan menoleh ke belakang. Di belakang mereka terjadi tabrakan beruntun yang sangat mengerikan.
"Sudah, Pak. Enggak usah dihiraukan, kita jalan terus." Kata Arman.

Wajah Pak Hendi tampak merah karena marah sekaligus ngeri. Sementara wajah Kana merah karena jengah. Kana diam membeku.
"Hampir saja kita mati konyol." Kata Pak Hendi kemudian dia menginjak pedal gas dan mobil pun melaju pelahan.

Sedangkan Arman cuma senyam-senyum sendiri.

enam belas

Tiba di Tanah Sareal, Arman meminta Pak Hendi untuk mengantarkan Kana lebih dahulu ke rumah tantenya. Kana menatap sendu ke arah Arman dan berterimakasih telah berbaik hati memberinya tumpangan. Mereka bertukar nomor WA namun tak ada janji untuk bertemu kembali.

Kana merasa gamang ketika memasuki rumah tantenya dan menoleh ke arah mobil hitam yang melaju pergi itu dengan nanar. Dia merasa dia takkan bertemu lagi dengan cowok yang mempesona itu.

Dia tak mungkin melupakannya. Paha cowok itu kuat dan menyenangkan untuk dipeluk. Batangnya besar dan panas. Kana bertanya-tanya dalam hati bagaimana jika batang itu memasuki dirinya secara penuh.
"Akhhh...." Dia mendesah.

Ketika Kana berbaring di kamar tidur sepupunya dan berusaha tidur, pikiran terganggu oleh bayangan Arman.

Sekarang Kana tahu, andai dia mempunyai kesempatan, bahkan 10 orang Thomas pun akan dia tinggalkan demi cowok itu.
"Aduuuhhh... aku basah." Bisiknya kepada guling yang dipeluknya. Kana berusaha memejamkan mata dan berharap bisa bermimpi berpelukan dengan cowok itu.

Srrrr... crot... akhhhh... srrr... crot... itulah mimpi Kana malam itu.

tujuh belas

Mang Atang sedikit heran melihat Arman. Dia menyangka orang yang akan membeli kost-kost-an itu adalah orang yang lebih tua.
"Saya di sini cuma penjaga dan tukang bersih-bersih. Saya memperbaiki kerusakan-kerusakan kecil atas seizin Pak Bas." Katanya. "Kemarin Pak Bas bercerita bahwa dia akan menjual kost-kost ini untuk membesarkan dealer motornya yang semakin maju."

Arman mengangguk-angguk.
"Berapa harga sewa per kamarnya, Pak?" Tanya Arman.
"Satu juta, Pak." Jawab Mang Atang. "Uangnya saya kumpulkan lebih dahulu, setelah dipotong gaji saya, bayar air dan listrik, sisanya baru saya transfer ke rekening Pak Bas.... rata-rata per bulan saya menstrasfer 14 atau 15 juta."
"Kapan terakhir Pak Atang mentransfer uang?"
"3 Bulan yang lalu, Pak... 2 bulan ke belakang saya tidak tahu mengapa rekening Pak Bas dibekukan... jadi saya tidak bisa menyetorkan hasil sewa... rencananya saya akan secepatnya ke Bandung untuk menanyakan."
"Oh, itu tidak perlu. Pak Sebastian sudah meninggal. Pegang saja uangnya dulu, Pak. Nanti saya akan ke sini bersama Imel, anaknya."
"Oh, baiklah." Kata Mang Atang dengan ekspresi wajah terkejut sekaligus sedih. "Apakah setelah ini bapak akan pulang ke Bandung? Saya ingin ikut kalau boleh, saya ingin bertemu dengan anaknya untuk menyampaikan bela sungkawa secara langsung."
"Saya akan ke Cipaku dulu, Pak."
"Itu jauh sekali, di Bogor Selatan." Kata Mang Atang.
"Ya, memang jauh. Jadi saya harus berangkat secepatnya sekarang." Kata Arman. "Permisi ya Pak."
"I ya... hati-hati di jalan ya..."

Mereka meneruskan perjalanan ke Kabupaten Bogor. Cipaku masih jauh dan Pak Hendi memutuskan untuk mecari penginapan karena malam sudah mulai jatuh.

Malam itu mereka menginap di sebuah hotel Melati yang lokasinya tidak jauh dari bekas PT SG.

delapan belas

Malam itu gerimis turun seperti kabut, seorang lelaki berperut gendut tengah berjalan cepat mendekati pintu gerbang sebuah gedung kantor yang sudah tutup. Lelaki itu kemudian mendekati kios rokok yang terletak beberapa meter dari pintu gerbang kantor tersebut.

Lelaki itu berkumis tipis. Usianya agak susah ditebak bagi orang yang tidak mengenalnya.

Lelaki berperut gendut dan berkumis tipis itu adalah Arman. Setelah memastikan Pak Hendi tidur lelap, dia ke luar dari hotel melati itu sendirian.

Arman tersenyum kepada seorang yang berseragam Satpam yang tengah membeli rokok dan kopi.
"Dingin-dingin gini memang mantap kalau ngopi." Kata Arman kepada Satpam itu. "Sayang Pak kios ini enggak punya air panas."
"Saya ada dispenser di pos kalau bapak mau." Kata Satpam itu, ramah.
"Wah, yang bener nih?"

Satpam itu mengangguk.
"Ya, udah saya traktir deh itu kopi sama rokoknya." Kata Arman.
"Ah, enggak usah, Pak."
"Sudah jangan malu-malu, kopi empat rokok dua bungkus... Pak Kios, berapa?"
"Empat puluh ribu."

Arman menyerahkan uang lima puluh ribuan dan meminta kembaliannya dibelikan kopi lagi. Satpam itu merasa senang dan mengajak Arman ke pos. Di sana, ada seorang rekan satpam lainnya yang lebih tua. Namanya Pak Ojin.
"Malam-malam gini ngapain, Pak keluyuran?" Tanya Pak Ojin dengan ekspresi wajah mesum. "Nyari cewek ya?"

Arman tertawa.
"Enggak, Pak... cuma enggak bisa tidur... jadi saya ke luar jalan-jalan."
"Nama bapak siapa? Asal dari mana?" Tanya Pak Ojin.
"Nama saya Karman, Pak. Saya kerja jadi Office Boy di bank BHS, di Jakarta Pusat... sebetulnya saya ke sini enggak sengaja, bos saya minta ditemani lihat-lihat tanah... saya sih nurut aja... enggak rugi kan... dia mengajak saya nginep di hotel itu... eh, tahu-tahu ada cewek cantik... bos pergi sama cewek itu dan saya disuruh nginep di sini... untung dia ngasih ongkos untuk pulang ke Jakpus besok."
"Oh, kamu kerja di Bank ya... berapa gajinya?"
"Sama aja... gaji office boy ya segitu-gitunya."
"Tapi kamu nraktir kita 50 ribu... wah, pasti ada maunya."
"Enggak, Pak. Saya tadi sempet ke coffee shop hotel itu dan mau pesen kopi... tapi harga per gelasnya 50 rebu... busyet! Lebih baik saya ke luar aja jalan-jalan..."

Pak Ojin tertawa.
"Ya, bener. Daripada bikin kaya orang hotel, lebih baik sedekahin buat kita, sekalian silaturahmi nambah temen... ya enggak?"
"Betul."
"Kalo gitu makasih deh atas kopi dan rokoknya... hey Memet, cepetan seduh kopinya... jangan bengong aja."

Mereka berbicara ngalor ngidul tidak karuan juntrungannya sambil menikmati kopi dan rokok. Setelah beberapa lama, Arman kemudian mengarahkan pembicaraan di seputar gedung itu.
"Ini sebenarnya kantor apa sih, pak?" Tanya Arman.
"Ini dulunya kantor perusahaan singapura, sayangnya perusahaan itu kemudian bangkrut. Sekarang menjadi gudang Direktorat Pertambangan."
"Oh."
"Arsip-arsip yang enggak kepake disimpan di sini. Ditumpuk-tumpuk."
"Ada petugasnya enggak Pak?"
"Ya ada lah. Namanya Pak Sobri... dulu sebetulnya dia satpam, setelah diangkat jadi PNS dia lalu bertugas sebagai petugas gudang tersebut."

Arman mengangguk-angguk. Dia kemudian permisi karena hari sudah larut malam.

sembilan belas

Pagi itu udara cerah. Setelah mandi dan sarapan, Arman mengenakan kemeja terbaiknya dan menuju Gudang Arsip Direktorat Pertambangan dengan diantar oleh Pak Hendi. Menemui Pak Sobri yang keheranan bagaimana anak muda ganteng itu mengenal namanya.

Arman menjelaskan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk melakukan penjajagan pembelian saham PT SG yang sedang jatuh.
"Saya akan meneliti arsip-arsipnya untuk mempelajari sejarah perusahaan, mohon Pak Sobri mempersiapkan semuanya. Terutama arsip-arsip tentang pendirian perusahaan, nama-nama direktur, staff serta para buruh tambangnya, bisakah?"
"Tapi... Pak... bapak perlu izin dari kementrian..."
"Izin kan bisa belakangan, Pak. Toh belum tentu juga semua arsip di sini lengkap."
"Khusus untuk PT SG di sini yang terlengkap... bapak tidak bisa... harus ada izin dulu."
"Kalau begitu begini saja, Pak. Saya minta data arsip direkturnya saja dan staff... foto-fotonya sekalian... discan ya Pak... di sini ada scanner nya kan?"
"Ada, Pak."
"Ini sekedar untuk biaya scan dan flashdisk." Kata Arman sambil mengeluarkan uang seratus ribuan sebanyak 20 lembar. "Saya akan ke Sekemirung untuk survey, nanti siang atau mungkin sore saya kembali lagi ke sini."

Pak Sobri menatap nanar 20 lembar uang itu.
"Ba... baiklah, Pak."
"Saya permisi ya. Terimakasih sebelumnya Pak. Mohon maaf saya sudah mengganggu."
"Tidak, tidak apa-apa."

dua puluh

Mereka tiba di bekas Penambangan Emas Sekemirung sekitar jam 10 pagi. Suasananya sangat sepi seperti umumnya suasana pinggiran hutan yang tak berpenghuni. Sisa-sia bekas penambangan itu masih ada meskipun berbagai jenis pepohonan telah tumbuh cukup besar di situ dan menutupi bekas-bekasnya.

Tak ada lagi informasi yang bisa digali Arman melihat situasinya. Dia kemudian pergi ke perkampungan terdekat dan menemukan sebuah rumah tua bekas kantor yang digunakan oleh Donny Kantono.

Meskipun rumah tua itu tampak kusam, namun masih terawat dengan baik. Seorang lelaki tinggi besar tinggal di situ dan merawatnya selama bertahun-tahun. Dia terbengong-bengong ketika Arman berjalan mendekatinya.
"Saya tahu nama bapak." Kata Arman sambil tersenyum. "Bapak bernama Udin kan?"

Udin tertawa-tawa senang. Dia tak henti-hentinya menatap Arman.
"Saya ke sini untuk melihat-lihat." Kata Arman.
"Maaf, Pak... kalau boleh tanya, mengapa Pak Donny jadi lebih muda?" Tanya Udin tiba-tiba. Dia tidak mendengar apa yang diucapkan Arman.

Arman tertawa.
"Saya bukan Pak Donny."
"Tidak. Bapak adalah Pak Donny."
"Bukan Pak Udin."
"Tidak, Pak. Bapak jangan bohong sama saya. Bapak pasti Pak Donny. Cuma sekarang bapak lebih ganteng dan lebih muda. Bapak pesan kepada saya untuk menjaga kantor dan Bapak akan kembali lagi... walau agak lama. Begitu pernah bapak bilang dulu." Kata Udin. "Saya mohon maaf, Pak, sebelumnya. Karena uang saya habis, jadi saya terpaksa beberapa kali meninggalkan kantor ini untuk berkebun dan jadi kuli... tapi saya tetap setia dengan tugas saya menjaga catatan bapak."

Arman terpaku.

"Catatan itu sangat rahasia kan Pak? Tentang sebuah gua di kampung Koja, di celah gunung manglayang yang bapak timbun dan bapak tutupi dengan batu-batu setelah bapak memasukkan mobil itu kan? Ha ha ha Udin masih ingat, Pak. Masih ingat. Lalu bapak bilang mau pergi ke Singapura lewat Batam... mau menemui Tuan Besar Tjeng Bok kan? Udin tidak akan lupa. Nah, ini catatannya Pak." Kata Udin sambil masuk ke dalam rumah dan mengambil sebuah peta lama yang terlipat.

Arman memeriksa peta lama itu dan memperhatikan dengan cermat. Itu adalah Peta Kabupaten Bogor dan sekitarnya. Ada banyak sekali titik merah yang ditandai entah dengan maksud apa, tak ada keterangannya. Titik-titik itu menunjukan nama-nama suatu kampung.

Tak ada kampung Koja di sana. Gunung Manglayang letaknya di Kabupaten Bandung. Arman mengerutkan kening.

"Dulu pernah ada Polisi yang melihat peta ini, Pak. Jadi terpaksa sama Udin diperlihatkan karena Udin takut dipenjara. Tapi Udin bilang peta ini tidak boleh dibawa, soalnya Pak Donny akan kembali dan mengambilnya. Nah, terbukti, sekarang Pak Donny datang."
"Apa Pak Udin menyampaikan juga pesan Pak Donny ke polisi itu tentang Gua di Kampung Koja?"
"Ya, tentu saja tidak, Pak. Buat apa? Kan tidak ada gunanya buat mereka. Lagi pula itu kan pesan rahasia Pak Donny untuk saya bukan untuk mereka."
"Baiklah, itu bagus sekali Pak Udin. Pak Udin memang hebat."

Udin tertawa-tawa senang dipuji seperti itu.
"Nah, berarti tugas saya sudah selesai ya Pak?"
"Ya, tentu saja. Tugas Pak Udin sudah selesai."
"Kalau begitu saya mau nagih janji bapak."
"Boleh, Pak Udin."
"Mana rumah kontrakan yang akan bapak kasiin sebagai upah untuk pekerjaan saya?"
"Ada. Di Tanah Sareal."
"Ayo, Pak. Kita ke sana sekarang juga."
"Baik."

Dalam hati Arman berpikir akan membeli rumah kontrakan itu dari Imel, bagaimana pun caranya. Agar janji ayahnya membelikan Pak Udin Rumah Kontrakan bisa ditunaikan.

dua puluh satu

Usai mengambil flashdisk di Pak Sobri, mereka bertiga meluncur ke Tanah Sareal dan menemui Pak Atang. Arman menjelaskan, jika semua surat-surat jual beli sudah diselesaikan, dia menunjuk Pak Udin sebagai pemilik yang baru.

Mereka terlibat pembicaraan yang serius sampai malam menjelang. Namun selama pembicaraan itu, Pak Atang tidak banyak bicara, dia hanya ingin ikut ke Bandung untuk menemui Imelda.

Malam itu Arman terpaksa nginap di kamas kost yang kosong dan memberi tambahan uang kepada Pak Hendi untuk menutupi tambahan pekerjaan. Keesokan harinya barulah mereka berangkat ke Bandung.


dua puluh dua

Tidak ada yang lebih buruk bagi Arman selain hari itu. Tiba di depan showroom Tina dan Asep menatapnya dengan tatapan aneh. Lalu Tina menelpon Notaris Arga Kesuma. Beberapa saat kemudian mereka dikumpulkan di ruang rapat notaris bersama seorang psikiater yang sudah sangat tua.

Psikiater itu menjelaskan bahwa Imelda selama lima tahun terakhir selalu rutin datang setiap bulan untuk berobat. Dia mengidap depresi yang menurut psikiater tersebut bisa disembuhkan.

Pada awalnya Arman tidak paham apa maksud dari meeting mendadak antara Notaris, Psikiater dan Para Pengelola Kost milik Almarhum Sebastian Chang itu... Dia bertanya-tanya di mana Imelda tapi tak ada seorang pun yang menjawab.

Psikiater menjelaskan mengapa Imelda bunuh diri sedangkan notaris menjelaskan pemindahan kekayaan secara legal kepada Arman.

Tidak. Tidak pernah ada hari yang lebih buruk dari hari itu.

Sebab hari itu adalah hari pertama di mana Arman menangis seperti seorang anak kecil. Ya, menangis seperti anak kecil.

(Bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd