Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG ARMAN DONELLO

Status
Please reply by conversation.
Bagian Sembilan
RAHASIA SEORANG TAIPAN

Medio Maret 2018



AKU INGIN

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

(Sapardi Djoko Damono, 1989)





satu

Waktulah yang menyembuhkan segalanya, demikian kata pepatah.

Setelah hampir 3 minggu terkurung oleh perasaan duka, Arman akhirnya berbenah diri. Seperti yang dikatakan kakeknya dulu, apabila dia merasa bersedih, maka sempurnakanlah gerakan-gerakan "Tarian Gagak Lumayung" (Tarian Burung Gagak Bersedih) hingga lancar. Dan itu ternyata sangat ampuh. Selama 3 minggu itu sepanjang pagi hingga petang bahkan malam, Arman hanya melatih tarian itu tanpa bosan. Hingga dia menguasai seluruh gerakannya dengan sempurna.

Pelahan dan pasti dia pun bangkit.

Usai membereskan berbagai permasalahan yang terkait dengan harta kekayaan Imel, dari Dealer hingga beberapa rumah kontrakan yang berada di Bogor dan Di Bandung, Arman mempersiapkan diri untuk pergi ke kampung Koja. Dia telah memecahkan kode rahasia yang dibuat oleh ayahnya dalam peta Kabupaten Bogor. Titik-titik merah itu menandai huruf-huruf tertentu yang membentuk sebuah kalimat. Kalimat itu ternyata menyebutkan suatu angka titik koordinat. Cukup dengan menggunakan google earth, Arman kini tahu lokasi emas itu berada. Ayahnya memang cerdik, meski pun titik koordinat itu terletak di Kampung Koja, Desa Cipulus, Kabupaten Bandung; tapi justru untuk menuju lokasi tidak mungkin melalui kampung itu. Titik koordinat itu hanya bisa ditemukan melalui jalur Subang. Dia harus berkendara memutar, kalau tidak, dia akan menemukan sebuah bukit batu yang menjulang yang ditumbuhi semak belukar serta onak duri yang sulit dilewati.

Setelah puas dengan kelengkapan peralatan serta bekal makanan dan rokok yang cukup --terutama daging sapi asap-- Arman tidak lupa mempersiapkan kamera dan ID sebagai fotografer suatu surat kabar lokal sebagai alat untuk penyamaran. Dia juga menggunakan rompi perut gendut pemberian Om Suman.

Pagi itu Arman berangkat dengan mengendarai mobil double cabin hitam milik almarhum Sebastian Chang. Setelah dua jam berkendara dan memasuki daerah Lembang, Arman memasuki Kecamatan Cibodas dan berbelok menuju Desa Sukaharja, yang merupakan desa binaan Perhutani. Dia mampir ke Kantor Desa dan melapor akan mengambi foto flora dan fauna di kawasan hutan lindung Manglayang.

Pak Ojang sang Kepala Desa, yang baru saja bangun di rumah istri mudanya tampaknya menyambut Arman dengan tangan terbuka. Mereka berbicara dengan penuh keakraban. Setelah menanyakan pekerjaan, status perkawinan dan lain-lain, Pak Ojang menawarkan bantuan untuk menemani Arman memasuki hutan. Arman yang mengaku bernama Herman, sebetulnya kurang setuju ditemani dengan alasan biaya yang dia bawa tidak banyak.

Tapi Pak Ojang malah tertawa terbahak-bahak.

"Bukan saya yang akan menemani, Kang Herman. Tapi adik saya yang bontot, si Esih, dia janda cerai. Umurnya juga baru 18 tahun."
"Wah... ini gimana..." Kata Arman pura-pura gugup. "Saya... saya..."
"Ah... sudahlah. Anggap saja kalian teman lama... lagi pula kan Kang Herman ini duda... tidak akan ada yang memberatkan... tapi kalau kalian cocok sih saya juga tidak akan marah." Kata Pak Ojang dengan senyum simpul. "Sudah berapa lama menduda, Kang?"
"Yaahhh... adalah tiga tahun."
"Tuhh... si Esih malah baru 3 bulan ngejanda... suaminya kerjaannya cuma mabok saja... yaah, sudah nasib si Esih milih pemuda kampung yang banyak gaya tapi enggak becus apa-apa, sudahlah."

Janda yang sedang digosipkan itu tiba-tiba datang dari arah dapur membawa nampan berisi 2 cangkir kopi. Dia menunduk malu-malu kucing sambil melirik ke arah Arman ketika menyajikan kopi. Hati Esih merasa sumringah. Soalnya, lelaki itu sangat ganteng. Tinggi lagi badannya. Dia langsung suka walau perutnya agak gendut dan kumisnya itu sangat jelek.

Esih memiliki tinggi tubuh rata-rata, kulitnya kuning langsat dengan rambut ikal sebahu. Perawakannya montok dengan ukuran buah dada yang besar, mungkin sekitar 34C atau D.

Arman berupaya menolak dengan halus namun Pak Ojang dengan sangat cerdik memposisikan Arman harus setuju.
"Saya bukan apa-apa, Kang Herman, cuma takut nanti tersesat di hutan. Repot nanti saya. Sedangkan Esih itu sejak kecil menjadikan hutan itu tempat mainannya, dia hafal persis. Jadi saya enggak perlu khawatir."

Arman akhirnya menyetujui permintaan Pak Ojang dengan catatan Esih tidak mengganggu kegiatannya sebagai fotografer.
"Esih cuma jadi penunjuk jalan saja." Kata Pak Ojang. Dalam hati, dia berharap fotografer itu bisa jatuh hati kepada adik bungsunya itu. Pak Ojang bahkan memberi nasehat kepada Esih sebelum mereka berangkat, agar bisa mengambil hati orang Bandung itu. Siapa tahu jodoh.
"Orangnya kelihatannya baik dan punya pekerjaan tetap. Kapan lagi kamu bisa menemukan orang laki-laki seperti itu? Di kampung ini sudah pasti enggak akan ada."

Esih mengangguk dan mengiyakan. Lagi pula, sejak pertama kali melihat Arman, dia sudah setengah jatuh hati.

dua

Pada awalnya mereka saling diam ketika kendaraan melaju, lalu Esih mulai berbasa-basi malu-malu. Akhirnya setelah beberapa lama, mereka pun menjadi akrab. Esih ternyata pandai membawa diri.
"Waktu saya menikah sebetulnya usia saya baru tujuh belas tahun lebih sedikit... baru dua bulan lalu saya justru berulang tahun yang ke delapan belas." Kata Esih.
"Wah, kalian menikah sangat muda sekali." Kata Arman. "Mengapa terburu-buru..."

Esih tertawa malu.
"Soalnya dulu... kita sudah enggak tahan... khi khi khi..." Katanya dengan nada genit menggoda. "Kang Herman sendiri mengapa cerai?"
"Mmm... entahlah... kami sering bertengkar soal macam-macam. Gaji seorang fotografer itu enggak besar, jadi saya tidak bisa membelikan pakaian bagus atau pergi ke mall tiap minggu. Istri saya merasa kecewa."
"Oh." Kata Esih. "Padahal kalau Esih mah asal tercukupi dapur... enggak akan banyak menuntut apa-apa. Eh, ngomong-ngomong ini mobil punya akang kan?"
"Bukan, ini punya kantor."
"Ih akang mah ngomongnya kenapa seadanya... pura-pura aja ini punya akang."
"Saya enggak suka bohong, Esih." Kata Arman sambil tersenyum. "Saya cuma orang biasa, bukan orang kaya."
"Orang biasa juga enggak apa-apa asal hatinya baik..." Kata Esih. "Nah, kang, lurus terus... dari situ belok kiri... nanti kita akan sampai di pinggir hutan."

Mereka berhenti di pinggir sebuah lereng landai di mana pohon-pohon tampak rapat. Arman mencermati daerah itu dengan teliti dan menemukan jalan setapak yang tertutupi rerumputan liar.
"Kalau terus masuk ke jalan itu kita kemana, Sih?" Tanya Arman.
"Ini nanti arahnya ke dusun Garung... dari situ sudah, mentok, enggak ada jalan lagi."
"Kalau begitu kita ke sana."
"Jangan kang, sudah terlalu siang. Nanti di sana kita kesorean... nanti pulangnya kemalaman... Esih takut kita akan tersesat...." Kata Esih. "Di sini juga kan banyak pepohonan aneh yang bisa difoto..."
"I ya... cuma saja akang merasa penasaran."

Arman mengambil beberapa foto untuk memastikan jalan setapak itu terambil dengan baik. Sambil terus memperhatikan lingkungan sekitar, Arman mengambil beberapa angel foto yang lain. Arman berpikir bagaimana mungkin ayahnya bisa menemukan tempat ini kalau dia belum pernah ke tempat terpencil seperti ini sebelumnya.
"Ayah tentu seorang petualang." Katanya dalam hati. "Oh, ya tentu saja. Dia kan seorang insinyur pertambangan."

Esih mendampingi Arman masuk ke dalam hutan dan menemukan beberapa jenis bunga yang sudah langka. Arman kemudian memotretnya dan mengangguk-angguk mendengar penjelasan Esih. Ketika siang sudah terlewati, mereka kembali ke mobil dan makan siang dengan bekal yang dibawa Esih. Mereka makan secara lesehan di atas rumput sambil duduk bersila.

Arman tampak lahap memakan bekal dan memuji masakan Esih yang enak, walau cuma ikan goreng, sambal, nasi dan lalap-lalapan. Hidung Esih mengembang dan pipinya memerah karena dipuji setinggi langit.
"Ah, biasa aja Kang enggak usah melebih-lebihkan." Kata Esih. "Makanya akang cepet nikah, cari perempuan yang pandai masak." Kata Esih, tatapannya menggoda.

Sambil mencuci tangan dan berkumur dengan air kemasan, Arman menatap Esih dengan lekat. Sudah lama sekali, sejak terakhir dengan Gresia, Arman belum lagi merasakan hangatnya perempuan. Dia mustahil mengatakan bahwa dia menyukai Esih, tidak. Esih bukan type dia. Tapi gadis ini baru saja melewati 18 tahunnya 2 bulan kemarin... akhh... mana bisa dinafikan?
"Saya belum memikirkan pernikahan..." Kata Arman. "Saya kadang ragu..." Kata Arman sambil mengeluarkan rokoknya.
"Kenapa rokok kretek sih... enggak filter?" Tanya Esih.
"Memang kenapa?"
"Kalau filter Esih bisa minta... memang enak ya kalau udah makan merokok..."
"Tunggu." Kata Arman, dia berdiri dan membuka pintu mobilnya, mengambil sebungkus rokok filter lalu diberikannya kepada Esih.
"Sebungkus kang? Wah, makasih."
"Sama-sama. Eh, ini simpan buat pengganti udah cape-cape bikin bekal makanan yang sangat lezat." Kata Arman sambil menjejalkan 2 lembar uang seratus ribuan ke tangan Esih.

Esih tersenyum lebar menerimanya tanpa basa-basi.

Mereka tidak tahu, pada saat itu ada seorang gadis lain yang mengenakan baju pangsi Sunda warna hitam, tengah mengintai mereka dari balik dahan pohon yang cukup tinggi. Sepasang matanya cemerlang memperhatikan Arman.
"Dasar perempuan genit." Kata gadis itu dalam bahasa Sunda, kemudian dia meloncat dari pohon dan menghilang di kedalaman hutan.

Menjelang sore mereka kembali ke Balai Desa di mana Pak Ojang menanti dengan tenang.
"Bagaimana pemotretannya kang?" Tanya Pak Ojang.
"Masih kurang, mungkin besok akan diteruskan. Saya harus berangkat subuh agar bisa datang lebih pagi." Kata Arman.
"Jadi mau pulang ke Bandung dulu?"
"Kemana lagi? Saya enggak ada uang untuk bayar losmen."
"Kang Herman tidur di rumah Nenek Limah aja... di sana ada kamar kosong... saya siapkan dulu ya Kang?"
"Ti... tidak, jangan, saya tidak ingin merepotkan."

Pak Ojang tertawa lunak.
"Sudah enggak perlu sungkan-sungkan."
"Tapi... "
"Engak usah pake tapi-tapi, antar saja saya ke kampung Limus, anggap semuanya lunas enggak ada hutang budi. Setuju?"
"Kang Ojang mau ke kampung Limus? Ini sekalian titip pisang setandan buat Ceu Onih." Kata Esih.
"Hayu kang Herman... kita berangkat."

tiga

Pulang mengantar Pak Ojang ke rumah istri tuanya, Arman kembali ke kampung Ciseke di mana Balai Desa itu berada. Hari mulai menjelang maghrib. Esih menunggunya di depan Balai Desa dan langsung masuk ke dalam mobil untuk membimbing Arman ke rumah Nenek Limah.

Ternyata rumah Nenek Limah sangat besar. Memiliki 4 kamar tidur dan satu kamar mandi yang agak terbuka. Dapurnya berlantai tanah dengan tungku sebagai alat utama memasaknya. Nenek Limah sudah berusia 70 tahun dan agak pikun. Ketika Arman datang, nenek Limah menyangka yang datang adalah Tatang, anaknya yang kerja di Jakarta.
"Esih... Esih... mana rokoknya... kamu jangan ambil rokok pemberian si Tatang buat Emak."
"Enggak, Mak. Tatang beliin rokok mahal buat Emak." Kata Esih sambil meminta sebungkus rokok kretek kepada Arman untuk ibunya.

Sejak awal Arman memang sudah mempersiapkan tiga jenis rokok yang cukup banyak sebagai persediaan. Dia mengambil sebungkus rokok kretek dan memberikannya kepada Esih.
"Ini, Mak. Dari Tatang." Kata Esih.
"Kemana si Tatangnya sekarang?"
"Lagi mandi, Mak... sudah ya Mak, Esih tinggal dulu buat masak nasi."
"Esih... kamu enggak usah pulang, tidur di sini saja tanggung hari udah gelap. Si Ojang ke mana? Tumben dia ke sini."
"Ke Ciseke, Mak. Bawain pisang buat Ceu Onih."

Esih pergi ke dapur untuk mengangkat nasi yang sudah matang. Ketika melewati kamar mandi yang setengah terbuka, Esih menggigit bibirnya melihat lelaki itu sedang mandi.
"Kenapa perutnya jadi kecil? Dan kumisnya hilang? Dan itu... itunya..." Esih menatap batang kemaluan Arman dengan takjub. Dia menggigit bibirnya menahan keinginan yang membuncah dalam lubuk hatinya.

empat

Usai makan malam Esih Nonton TV. Arman masuk ke kamar dan membuka Laptop. Memindahkan file dari kamera DSLRnya ke File gambar di laptop. Lalu searching nama Tan Siau Ling, hasilnya nihil. Dia tak menemukan data seperti yang diduganya. Memang banyak nama Tan Siau Ling, tapi dengan sedikit riset googling, Arman tahu itu bukan Tan Siau Ling yang dicarinya.

Mendekati pukul sepuluh malam, Arman mulai menguap. Suasana malam terasa sangat hening, hanya suara jangkrik dan burung-burung malam saja yang terdengar.

Arman membereskan laptopnya ketika Esih memasuki kamarnya. Dia menutupkan tirai gorden dengan rapat.
"Kang... kenapa perutnya jadi kecil? Dan kumisnya koq hilang?"
"Ah... eh... ini... ini rahasia, Esih, ini rompi perut gendut buat nyimpan uang... kamu jangan curiga dan menyangka yang enggak-enggak..."

Esih tersenyum genit.Dia memakai daster tua yang sudah tipis. Di balik daster, dia tak mengenakan apa-apa lagi.

"Kamu harus jaga rahasia ya... soalnya kalau di jalan kan kita tidak tahu apa yang akan terjadi... banyak orang jahat." Kata Arman.
"Tapi kang... akang jadi kelihatan sangat ganteng... kang... menurut akang... Esih cantik enggak?"
"Can... cantik... tentu saja..."
"Kang... esok lusa akang akan pulang ke Bandung... akang pasti lupa sama Esih."
"Mmm... yaa... mungkin..."
"Esih tidak mau akang melupakan Esih." Kata Janda muda belia itu sambil duduk di kasur yang tanpa ranjang itu. "Kang..." Esih merapatkan tubuhnya ke tubuh Arman.

Arman menatap Esih. Ya, dia tak mungkin menolak gadis manis berusia 18 tahun lebih 2 bulan ini. "Tidak mungkin." Bisik Arman dalam hatinya.

Ketika Esih memeluk lengan Arman... saat itu juga bibir Arman menemukan bibir Esih untuk dikecupnya, lalu dilumatnya dengan bibirnya. Arman menikmati denyaran bibir janda itu yang membalasnya dengan sangat antusias. Mereka tiba-tiba saja saling lumat dan saling berpelukan dengan erat. Kedua tangan Arman meraba dan menjamah seluruh bagian-bagian tubuh janda muda itu. Meremas buah pantatnya yang montok dan kenyal, meremas ke dua payudaranya besar, lembut dan sensasional... mengoles-oles belahan memeknya yang panas dan berlendir....

Arman tahu, ketika sepasang jari jemari tangannya meraup kedua bukit kembar yang lembut namun kencang itu, kemudian meremasnya pelahan dengan perasaan, itu memberikan sebuah stimulan yang jauh berbeda dengan perempuan manapun yang pernah disentuhnya. Bahkan Imel sekalipun. Janda belia ini memberikan suatu sensasi kehangatan tersendiri yang spesifik, yang tak bisa dibandingkan dengan perempuan-perempuan sebelumnya.

Esih begitu muda tapi juga begitu matang.

Ketika janda belia itu berbaring dengan membentangkan selangkangannya yang telanjang... terlihat jelas bahwa memek tembem itu demikian merekah... demikian menggoda untuk tidak dijilatinya. Itil yang berdenyar-denyar, bibir-bibir memek yang bergetar seakan-akan mencibir ingin langsung ditusuk dengan kepala kontolnya... semuanya adalah sebuah kegenitan usia 18 tahun yang penuh pesona.

Dan janda belia itu tak bisa mengerang dengan erangan yang terang-terangan. Dia menahan kejang-kejang tubuhnya karena merasa malu bahwa dia benar-benar sangat menikmatinya.
"Mmmmmooaahhkhkhhh.... Mmmmmooaahhkhkhhh.... sssshhhh.... kaaannngggkhhh.... Mmmmmooaahhkhkhhh...." Begitulah dia mengerang dengan tertahan. Sementara dari liang memeknya mengucur lendir kenikmatan itu seperti tak berhenti.

Saat Arman menjejalkan batang kontolnya masuk ke dalam liang memek yang megap-megap minta disumbat itu... Esih mencicit nyaring.

Blesshhhhh....
"Ikkkhhh....."

Liang memek itu demikian sempit tapi demikian lembut untuk ditembus. Arman dengan penuh perasaan menancapkan seluruh batang kemaluannya hingga ke pangkal pubis hingga terbenam seluruhnya... lalu ketika diangkat ke luar... bermuncratanlah cairan seperti susu kental manis bertebaran ke pahanya dan paha Esih... Arman kemudian memasukkannya lagi dan mengangkatnya lagi... melakukan penggenjotan dengan kecepatan stabil tanpa merasa puas akan sensasi-sensasi yang ditimbulkannya...
"Akang... akaang...akaang..." Cuma itu yang bisa diucapkan secara berbisik oleh Esih sampai akhirnya janda belia itu menemukan puncak kenikmatannya yang tertinggi. Dia menjengking sambil memeluk tubuh Arman dengan sangat erat, sementara liang memeknya yang tersumbat itu menyemprotkan cairan kental berwarna kehijauan seperti ingus.

Suara jeritan Esih yang ditahan terdengar seperti sebuah tangisan pilu.

Tapi bagi Arman itu baru ronde pertama. Dia memeluk Esih dari belakang dan mendudukkannya di pangkuannya... menancapkan kontolnya melalui arah bawah sambil duduk menelonjorkan kaki. Tapi pada ronde pertama itu Esih sudah lagi KO, dia sudah tak bisa melawan. Akhirnya dengan terpaksa Arman mencabut kontolnya dari dalam liang memek Esih, menempelkan seluruh batangnya pada belahan memek Esih yang banjir dengan lendir dan menutupkan kedua paha Esih agar menjepitnya.

Terlihat kepala kontol arman menongol di antara paha Esih yang menutup rapat.

Sambil memeluk janda belia itu dan merasakan hangatnya punggung dan lembutnya kedua bukit kembarnya, Arman menggenjot beberapa genjotan untuk mengejan dengan keras dan memuncratkan pejuhnya hingga terlontar jauh... dan jatuh di rambut Esih.

Arrggggkhhh....
Crot... crot... crot...

Memek janda belia berusia 18 tahun itu memang beda. Meski belum 100 persen puas, tapi Arman sangat menikmati ejakulasinya yang menyemprot dengan sangat sensasional.

Ah, mereka pun terlelap bersama sambil berpelukan di kamar yang dingin itu.

(bersambung)
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd