Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
sikat semua nya pa aji
Wkwkkw kalo nyikat mah, Dimas siap-siap aja

Yang satu pengen ngelaporin ke 'masa lalu'

Yang satunya lagi pengen ngelaporin ke 'masa depan'


Nikah aja kalian berdua!! :elu::elu:
Hmm...
eCeWRGOu_t.jpg

Jinan liar sekali, suka aku jadinya :alamak:
Hehe, kasar ah tapi :((
 
Spoiler Part 10

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba ia berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi.
 
Spoiler Part 10

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba ia berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi.
Update now min....
 
Spoiler Part 10

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba ia berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi.


Anjir pucchi diem2 ganas juga.
Jadi pengen juga :pandabelo::pandabelo:
 
Spoiler Part 10

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba ia berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi.

Wah, mantap nih. Update lagi suhu...
 
Spoiler Part 10

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba ia berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi.

ditinggal sidang doang jadi ganas buset.....
 
Part 10


07.58 Selamat pagi kak, saya Pucchi, anggota divisi PR dari acara Bazaar Budaya FIB 2016. Kami bermaksud mengundang kak Dimas sebagai salah satu pengisi acara.

Wah. Akhirnya bisa perform lagi setelah Pong cafe tutup...


07.59 Acara tgl brp?

07.59 Seminggu sebelum UAS kak

08.00 Oke. Aku bisa

08.00 Nanti bisa ketemu kak?

08.00 Jam brp ya?

08.01 Sore sih, jam 4? Kita ngobrol bentar aja soal acaranya

08.02 Kenapa enggak di kampus jam 12?

08.02 Aku ada acara kak, enggak bisa.

08.02 Oh, okedeh. Bisa jam 4

08.02 OK. Tempatnya aku kasih tau nanti ya kak. Makasih



Chat itu aku akhiri dengan stiker jempol. Aku menghela nafas lega sambil meletakkan smartphone itu kembali. Kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans aku ambil dari dalam lemari, tubuhku yang masih tertutup pakaian dalam kini terbalut dengan pakaian tadi.

Prang!

Tiba-tiba suara kaca pecah terdengar nyaring dari ruang depan. Tanpa harus selesai mengancingkan baju, aku sontak berlari ke depan. Benar saja, terdapat lubang pecahan di kaca depan kontrakan ini. Kakiku reflek melangkah cepat, mataku sempat menangkap suatu objek seperti batu bata di lantai, aku berpikir itulah yang dilempar seseorang dari luar. Pintu pun aku buka, mataku menyapu pandang ke segala arah, namun tak ada seorang pun yang tertangkap. Aku lantas berlari keluar pagar.

“WOI KELUAR LO!”

Percuma, tak ada seorang pun yang kudapati. Aku menghela nafas kasar, menatap kearah kacaku. Umpatan demi umpatan aku teriakkan dalam hati, lumayan parah juga pecahan itu.

Aku kembali kedalam, menghindari pecahan-pecahan kaca yang tercecer di lantai. Benda itu adalah sebuah potongan batako, terdapat secarik kertas yang diikatkan disana. Aku meraih benda itu dan membuka kertas terlipat yang diikatkan disana. Sebuah surat...

Dimas anjing...

Lu gak pantes jadi pacarnya Cindy

Gue bakal rebut dia dari lo

Mati aja lo bangsat!!


Emosiku seketika naik lagi.

“Ini apa lagi sih bangsat...”

Aku menghela nafas panjang, melipat kertas itu lagi lalu memasukkannya kedalam kantong kemejaku. Secepatnya aku ke kamar lalu mengambil smartphone, menghubungi Cindy. Aku langsung melakukan voice call, seharusnya kelas mata kuliah Cindy sudah selesai. Butuh sekitar 13 detik sampai panggilanku itu diangkat olehnya.

“Halo, kak. Kenapa?”

“Halo, mbul. Dimana?”

“Nunggu didepan kelas A.2.6. Ruangnya masih dipake.”

“Oohh... yaudah.”

“Kenapa sih?”

“Nanti siang aja deh aku cerita, hehe.”

“Dih. Kakak ini enggak kuliah emang? Tadi aku lihat kak Jinan sama kak Hary udah masuk kelas.”

“Hah?!”

“Eh, kakak jam ini kelas bu Ratna kan? Di A.2.7?”

“Jam 9 kok...”

“Nah barusan nih aku lihat dia udah masuk ke kelas lho.”

“Lah kok-“

“Kakak dimana?”

“Kontrakan.”

“Ye pekok... Salah jadwal pasti...”

“Y-yaudah, mbul. Ntar siang deh. Kamu kuliah dulu sana.”

“Ya.”

“Dah gembul.”

“Dah kak.”

Aku buru-buru mengecek grup kelas dan menscroll layar mencari pesan dari Doni selaku koordinator mata kuliah. Tubuhku terasa dingin, lututku pun lemas. Aku kembali mengumpat dalam hati, betapa bodohnya aku. Memang benar aku salah jadwal, entah bagaimana bisa tadi aku salah membaca jam 08.00 menjadi 09.00...

Padahal di kelas tambahan ini ada 2 kali tanda tangan... dan aku sudah dua kali tidak masuk kelas itu. Artinya... namaku akan dicoret... tidak bisa ikut UAS...

Aku mengacak-acak rambut, lalu berjalan ke ruang depan lagi. Ah, aku bisa mengulang mata kuliah itu tahun depan. Santai...

Aku menatap kesal atas kekacauan ini. Siapapun pengirim pesan tadi, dia harus bertanggung jawab atas pecahnya kaca kontrakanku. Aku menelan ludah lalu mengambil sapu dan serokan, membersihkan lantai dari serpihan-serpihan kaca itu.

***​

Guncangan yang aku rasakan di bahu kananku membuat mata ini terbuka perlahan.

mjuRBdsZ_t.jpg


“Dor.”

Ya ampun...

“Ngh.. apasih Nan...”

“Lu tadi kenapa enggak masuk kelas bu Ratna?” Jinan menjauhkan wajahnya.

“Salah baca jadwal...” Aku memposisikan diriku duduk di bangku yang ada disamping joglo fakultasku. Sepertinya aku tertidur disini saat menunggu kelas Cindy usai.

“Ye bego.”

“Biar lah gue ntar ngulang taun depan.” Jelasku sambil mengucek mata.

“Dim.”

“Hah?”

“Ayo kantin. Bayarin, hehe...” Dia memanyunkan bibir dan mencubit-cubit lengan kiriku.

“Ish, apasih, gak mau!”

“Iihh... Kan. Lu. Udah. Janji. Traktir. Gue. Sebulan. Anjing...” Ia perlahan memelintir cubitannya. Tatapannya berubah licik.

“Aak! I-iya iya! Sakit!”

“Nah, gitu dong, hehe.” Dia melepaskan cubitan itu lalu tersenyum lebar.

Sial. Harusnya tidak aku iyakan permintaannya setelah ‘penculikan’ itu...

“Bentar, nunggu Cindy.” Aku mengelus area cubitannya tadi yang kini mulai memerah. Jinan lantas duduk disampingku.

“Gimana organisasi? Lancar?”

“Lancar, Cindy juga bagus kok di divisi gue.”

“Eh iya? Gimana dia?”

“Ya dia su-“

“Kak.”

Aku dan Jinan kompak terperanjat. Dari belakang, kepala Cindy tiba-tiba nyempil di antara kepala kami.

“Heh! Kaget tau!”

Aku reflek mencubit gemas pipi gembulnya itu, Jinan yang ada disisi lain juga melakukan hal yang sama.

“Iiisshhh... udah dong...”

Cindy yang tadinya hanya pasrah kini menyingkirkan tangan kami dari pipinya.

“Gemesin sih.” Kataku sambil membenarkan posisi duduk.

“Mmmhh... lagian kak Dimas sama kak Jinan aja yang lebay. Gitu aja kaget...” Cindy cemberut sambil mengelus-elus kedua pipinya. “Ayo makan... aku laper...”

***​

Meja makan di bawah pohon ini menjadi pilihan kami. Aku, Cindy dan Jinan duduk lalu menyantap masakan yang sudah kami pesan. Ditengah-tengah kami menikmati makanan dan ngobrol soal perkuliahan, Cindy nyeletuk soal obrolanku tadi pagi.

“Eh iya, kak Dimas, katanya ada yang mau diomongin?”

Jinan yang menyeruput kuah soto itu melirik kearahku yang duduk didepannya.

“Oh, iya.” Aku meminum es tehku sedikit melalui sedotan. “Jadi tadi pagi, sekitar jam 8, ada yang lempar batako gitu ke kontrakan-“

“Hah?” Mereka berdua terheran, kompak memiringkan kepala mereka.

“Siapa kak?”

“Enggak tau, pas aku keluar gak ada orang.”

“Setan kali.”

“Sembarangan lu Nan.”

“Terus terus kak?”

“Ya, kaca depan kontrakanku pecah, untungnya aku pas lagi di kamar sih habis mandi.” Aku menunjukkan foto kondisi kaca kontrakanku pada mereka melalui smartphoneku.

“Anjir, parah juga ya, Dim.”

Cindy juga memasang ekspresi terheran.

“Nah, terus...” Aku mengambil kertas berisi pesan tadi dari dalam saku kemeja. “Ada kertas, diiketin ke batu itu. Baca deh isinya.”

Cindy lantas membuka kertas itu lalu membacanya dengan Jinan. Mereka terlihat menahan nafas sejenak.

“Dim, lu pernah ribut sama orang ya?”

“Enggak pernah.”

Cindy masih memandangi kertas itu.

“Tapi serem juga orang cemburu sampe lempar-lempar batu gitu.”

“Banci tau ga? Pake kayak beginian. Langsung ketemuan sama gue kek.”

“Eh tapi, kok orang itu bisa tau kontrakan lo, Dim?”

“Ya mana gue tau Nan. Gue takutnya orang itu emang udah ngikutin gue sama Cindy. Enggak nutup kemungkinan juga dia udah tau kos kosan Cindy kan?”

“Lo dapet teror gini enggak, Cin?”

“Enggak, kak.”

Cindy meletakkan kertas itu di meja lalu menghela nafas.

“Yaudah sih kak, tenang dulu aja. Gak usah terlalu dipikirin. Lagian ini mah paling orang iseng doang.”

“Iseng enggak mungkin sampe pake ngerusak kayak tadi lah, mbul...” Aku mengambil lagi kertas itu. “Aku takutnya kamu yang kenapa-kenapa...”

“Ah, enggak kak. Tenang. Aku pasti bisa jaga diri kok, hehe.”

“Dim, bener sih kata Cindy, tenang dulu aja. Ntar kalau si banci ini bikin ulah lagi, kabar-kabar, gue bakal bantu sebisanya kalau dibutuhin. Yang jelas kalian tetep hati-hati aja sih.”

Aku mengangguk pelan lalu menghela nafas panjang.

“Terus kacanya kakak gimana?”

“Ya, tadi masih kayak gitu sih. Kalian tau tempat bikin kaca jendela gitu gak?”

Cindy menggeleng.

“Coba deh ntar gue tanyain bokap ya. Dulu kaca rumah gue juga pernah pecah kena bola bocah-bocah komplek.”

“Okedeh.”

“Bener ya, kalau kalian butuh apa-apa bilang aja.”

Aku dan Cindy kompak mengangguk.

“Keren sih Cindy. Jadi cewek makanya jangan cakep cakep amat. Jadi direbutin gini kan.”

“Ahaha, apaan sih kak Jinan.”

“Lagian, kayaknya gue setuju deh sama orang ini. Lu kan emang anjing, Dim. Hahaha!”

“Apasih, Nan.”

“Nah iya setuju sih, Hahaha!”

“Ye ini lagi gumpalan bakpao ikut-ikutan. Belain kek.”

Lalu ketegangan dan keseriusan yang kami rasakan tadi berangsur hilang. Canda tawa kami kembali datang. Aku juga sempat memberi tahu soal Bazaar Budaya yang mau mengundangku sebagai pengisi acara, mereka tampak antusias, terutama si gembul. Aku bermaksud mengajaknya juga ikut bertemu Pucchi, namun ternyata Cindy ada kerja kelompok sepulang kuliah sore nanti. Yah, sepertinya aku sendiri yang akan menemuinya.

***​

Kak, aku udah di Yasushi ya

Sesuai perjanjian, aku sampai di restoran itu. Dasar wibu, meeting juga harus di tempat yang nuansa jejepangan ya...

Irasshai-mase!” Sambut dua orang perempuan dari balik pintu saat aku masuk.

Nggih mbak e... batinku asal, mungkin artinya “Silahkan masuk mas e.” Entahlah, koreksi bila aku salah, ya.

Aku memberi senyum pada mereka lalu mengedarkan pandang, Pucchi bilang dia sudah disini.

“Kak Dimas!”

Aku sontak menoleh kearah suara itu, dan aku menemukannya sedang melambai kearahku. Lantas aku melangkah kearahnya yang memilih meja diujung pojok kanan restoran ini. Gadis manis berkacamata dan berambut pendek ini lantas tersenyum padaku.

yEQWTn8U_t.jpg


“Halo, kak.”

Kami berjabat tangan. Ya ampun... halus sekali kulitnya...

“Halo, kita berdua aja nih?” Aku duduk didepannya.

“Enggak kok, nanti ada temenku lagi. Kakak pesen dulu aja.”

Pucchi menyodorkanku menu restoran ini lalu memainkan smartphonenya. Aku menyusur pandang kearah pilihan makanan dan minuman yang ada disana. Aku menelan ludah, harga harga makanan ini tidak pas dengan isi dompet... Sepertinya aku akan memesan minuman saja.

“Udah, kak?”

“Err... iya.”

“Mas!” Pucchi melambaikan tangan, pelayan restoran itu pun datang dengan sebuah buku catatan kecil.

“Iya, kak?”

“Ini mas tambah pesenan.”

“Emm... Ocha satu mas.”

“Makannya, kak?”

“Enggak mas, itu aja.”

“Oke, ditunggu ya, kak.” Laki-laki itu bergegas ke dapur setelah mencatat pesananku tadi.

“Lah, kok kak Dimas enggak makan?”

“Udah kenyang kok, hehe...”

Bilang aja enggak ada duit, Dim...

“Oohh, okedeh.”

Pucchi mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tas kecilnya.

“Emm... sambil nunggu temenku, mulai aja kali ya? gak apa-apa kan?”

“Oh, iya iya monggo.”

Pucchi mulai menjelaskan tentang Bazaar Budaya secara singkat, yang sebenarnya aku sudah tahu acara dari BEM fakultas itu. Aku sudah lebih dulu disini ketimbang Pucchi, kan?

“Nah, jadi intinya kita mau pengisi acaranya itu dari mahasiswa mahasiswi FIB, mas. Jadi ya biar orang-orang juga tahu FIB itu juga punya mahasiswa mahasiswi yang berbakat. Salah satunya ya, kak Dimas.”

Aku tersenyum kecil, aku rasa perkataannya tadi terlalu berlebihan.

“Oohh.. Okedeh. Siap aja aku.”

“Sip deh, makasih kak udah acc. Ehehe,” Pucchi menyantap sushi terakhirnya. Wajahnya saat mengunyah makanan itu terlihat menggemaskan. Duh... kenapa sekarang kepalaku memutar ingatan saat gadis ini menjadi fantasiku saat masturbasi?!

Aku menelan ludah lalu mengusap wajahku. Pergilah dulu, pikiran kotor!

“Eh, iya. Katanya temenmu kesini?”

“Iyanih, enggak tau kenapa dia, kak. Katanya otw.”

“Oh, hehe,” Aku menyeruput ocha pesananku tadi. “Kamu ikut BEM ya?”

“Oh, enggak kak, hehe. Ini coba ikut-ikut kepanitiaan aja kok. Di divisi PR ini aku dapet kontaknya kakak dari kak Mira, kenal?”

“Oh, ya ya, seangkatan sama aku.” Aku seruput lagi minumanku.“Terus... kamu mau masuk BEM?”

“Emm... belum tau sih kak, pengennya lanjut HMJ dulu aja, hehe.”

“Ohh..” aku mengangguk.

“Eh, kak. Kita pernah ketemu enggak sih sebelumnya? Kok kayaknya aku ngerasa pernah ketemu sama kakak, ya?”

“Oohh, itu... kamu inget pas di gedung sekre himpunan? Kamu nabrak aku pas lari-lari di lantai satu. Kamu bawa berkas-“

“Oohhh, itu kak Dimas toh? Ehehehe maaf waktu itu aku buru-buru ngurus administrasi beasiswa gitu ke akademik, takut keburu tutup.”

Owalah, aku pas itu baru baca nama kamu udah kamu ambil aja kertasnya ahahaha!”

“Oh, ya maaf. Hahahaha!”

“Aku juga pernah foto sama kamu pas jadi cosplayer di Sakura Fest kemarin.”

“Wah kalo itu aku lupa, kak. Hehehe...”

“Oh, iya ya, rame juga kan itu.”

“Iya, hahaha.” Pucchi mengambil smartphonenya, membaca sebuah pesan, sepertinya. “Kak, maaf, tunggu bentar ya.”

“Oh iya iya.”

Aku juga ikut mengeluarkan smatphoneku, hanya ada pesan dari grup LINE kelasku, sepertinya Cindy masih kerja kelompok.

“Kak Dimas...”

“Iya?” aku menoleh kearahnya.

“Emm... temenku ternyata ada urusan mendadak nih, jadi enggak bisa kesini... aku enggak ada barengan pulang... Kak Dimas ada aplikasi ojek online?”

“Halah, udah aku anter aja sini. Daripada keluar duit kan?”

“Eh, duh. Aku enggak enak kak...”

“Santai ah. Dimana emang kosmu?”

“Daerah Senayan kak, nanti aku tunjukin jalannya.”

“Oh okedeh.”

“T-tapi... ini aku harus ke Kuningan kak... mau ambil sesuatu dulu...”

“Santai. Aku anter, enggak apa-apa.”

“Serius, kak?”

Aku mengangguk.

“Okedeh. Makasih ya kak... maaf ngerepotin.”

“Haish, santai. Udah? Sekarang?”

“Udah. Yuk kak...”

***​

Singkat cerita, aku telah sampai di sebuah apartemen di Kuningan. Dia mengajakku ikut keatas karena butuh bantuan mengambil barang diatas lemari, aku hanya menurut dan mengikuti ajakannya. Kami pun sampai di depan sebuah kamar, Pucchi mengambil kunci dari dalam tas kecilnya lalu membuka pintu itu.

“Loh, kamu juga tinggal disini?”

“Enggak, kak. Ini kamarnya pacar aku.”

Aku menelan ludah.

“Lah, terus pacar kamu?”

“Dia lagi ngurus skripsi, kak. Masih sibuk banget ini dia di kampus. Jadi ya aku disuruh ambil sendiri barangnya...”

“Oohh...”

Aku dipersilahkannya masuk.

“Mana barangnya?”

“Bentar kak, duduk dulu aja di sofa.”

“Oh, oke.”

Aku yang baru saja duduk di sofa kamar apartemen ini terkejut ketika melihat Pucchi yang tiba-tiba mengunci pintu dari dalam.

“Lho? Kok dikunci...?”

Pucchi berbalik, melempar tasnya kesamping. Ekspresi seksi tiba-tiba berikan padaku. Bibir tebalnya itu terbuka sedikit.

“Kak Dimas...”

Aku benar-benar tidak percaya akan apa yang kulihat sekarang, sambil berjalan perlahan kearahku, Pucchi melepas satu per satu kancing kemeja warna birunya itu. Kemeja itu ia sibak begitu semua kancingnya terlepas lalu melemparnya sembarang. Atasan sleeveless itu pun ia lepas cepat. Terlihatlah tubuh putih mulusnya, tanpa luka atau goresan. Perut rata dan pusar itu terlihat sangat seksi, juga payudara ‘pas digenggam’nya yang berguncang sesaat setelah bra warna pink itu dilepas sukses membuatku menelan ludah dan mematung di sofa ini.

“Hhh... Kak... aku bisa minta tolong...?” bisiknya pelan di telinga kiriku. Nafas kasarnya terasa begitu hangat.

Jantungku berdegup sangat cepat ketika tangan kanannya kini mulai menurunkan ritsleting celana jeansku.

"Puasin aku ya..." Bisiknya lagi. “Sejak pacar aku sibuk skripsi... aku enggak pernah dapet jatah...”

Pucchi mulai meremas pelan penisku yang masih tertutup celana dalam itu.

“J-jangan, Pucchi...”

“Oh iya. Aku tahu, jadi... kak Dimas itu yang lagi diblowjob sama cewek di sekre lantai 3 kan...?” Dia menatapku licik.

Aku menahan nafas, mataku membulat...


Aku menembakkan spermaku didalam mulutnya. Sebelumnya aku sudah lebih dulu merangkul erat belakang kepalanya. Cindy tidak bisa menghindar. Ia kembali mengernyitkan dahinya.

“Uhukk... uhukk...” Dia terbatuk setelah menelan spermaku.

“Eh, ini masih... ada dikit. Bersihin... sekalian dong.” Cindy menurut, ia jilati lagi penisku hingga tidak ada lagi sperma yang menempel disana.

Nafasku sengal, wajahku memerah. Pandanganku agak kabur.

“Huft... banyak juga ya kak.” Cindy bangkit berdiri.

“Hehe...” aku mengenakan lagi celanaku yang tadi dipelorotkannya.

“Eh ya ampun!”

“Apa?”

“Pintunya, enggak ditutup!”

“Ah, enggak. Enggak ada yang lihat. Santai lah.”

“Ish, dasar, ahahaha,”


Astaga...

Jadi waktu itu... dia sempat mengintipku dengan Cindy ya...

“Yakin enggak mau diblowjob sama aku juga...?” godanya sambil melepas kacamata dan mengigit bibir bawahnya.

DIP1ek70_t.jpg


Eeerrrgghhh....

Sialan!



To be Continued...
 
Bimabet
Pacarnya Pucchi yang sibuk skripsi itu,......
.
.
.
.
.
.
.
.
Tama?

:pandapeace: :pandapeace:
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd