Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
Part 6.5

Andhika Dewa...

Foto profilnya... dia merangkul mesra seorang perempuan di pinggir pantai...

Perempuan itu...

Cindy.

Entah mengapa, dadaku terasa sesak. Aku merasa kosong. Segelas teh panas itu aku letakkan lagi ke meja. Mataku masih terpaku ke smartphone Cindy, sampai saat ini, ada 4 voice call masuk hingga tak ada lagi panggilan darinya.

Apa laki-laki ini... pacarnya?

Lalu selama ini... Cindy...

Tanganku bergerak mendekati smartphone itu, namun sebelum aku berhasil meraihnya, Cindy terlebih dulu datang.

“Eh, kak Dimas, hehe, nih udah jadi nasi gorengnya, maaf agak lama, yuk dimak-“

“Cindy, sebenernya, perasaan kamu ke aku itu gimana?”

“Eh? Maksudnya?” dia meletakkan dua piring nasi goreng itu di meja.

“Jawab.”

“Kakak kenapa sih?” Ia menatap mataku heran.

“Selama ini kamu cuma anggep aku jadi tempat pelampiasan nafsu kamu kan?”

Cindy tertegun.

“Gabisa jawab? Hah? Berarti bener dong?” nadaku agak meninggi. “Atau aku cuma jadi pelarian sesaat gara-gara bosen sama pacar kamu?” Aku perlahan berdiri.

Cindy membulatkan matanya, mulutnya terbuka sedikit. Seperti ingin berkata namun tidak bisa.

“Aku enggak punya pac-“

“Bacot. Siapa itu Andhika Dewa? Hah?!”

Aku meraih smartphonenya, lalu menunjukkan layarnya yang menampilkan notifikasi panggilan tadi.

Cindy kembali diam. Mulutnya tampak bergetar.

“K-kak, d-dia b-“

“Dasar, cewek rendahan.”

Cindy terperanjat.

PLAK

Tamparan keras tepat mendarat di pipi kiriku. Wajahku menoleh kearah kanan.

“Cukup kak!” Mata Cindy berkaca-kaca. Ia mencabut smartphone dari chargernya dan meraih tasnya yang tergeletak disampingku. Ia menatap mataku dalam. “Aku... kecewa sama kakak...”

Air mata yang terbendung itu akhirnya jatuh. Cindy menangis sesenggukan sambil berlalu dari kontrakanku. Aku merebahkan diriku di sofa, memegangi bekas tamparan di pipiku yang memerah, dan memandang kosong kearah dua piring nasi goreng yang masih mengepul.

To be continued...
 
Terakhir diubah:
Part 7

“Udah, istirahatin dulu aja, Nan.”

“Sakit juga ya, Dim.”

Perempuan itu meringis lalu mengibaskan tangan kirinya. Sepertinya jari-jarinya masih belum terbiasa dengan senar-senar itu.

“Ye, lo nya aja yang jarang latihan. Lama lama juga biasa.” Aku yang duduk di kursi dihadapannya berusaha menyemangati.

Aku meraih jus jeruk yang sudah Jinan buatkan untukku tadi lalu meminumnya.

Jinan bangkit dari pinggir kasur setelah meletakkan gitar putihnya di stand gitar yang terletak tak jauh dari tempatnya duduk. Jinan mengenakan kaus warna putih dengan beberapa gambar kecil disana dan celana pendek dengan warna senada.

GdWKhBMl_o.jpg


Tiba-tiba aku merasakan tonjolan di dalam celana jeans yang aku kenakan. Penisku mengeras lagi. Aku berusaha menahan-nahan agar tidak semakin besar.

Sialan!

Jinan berjalan menuju meja belajarnya, meraih sebuah karet gelang lalu menguncir kuda rambutnya. Aku menelusur pandang kearah tubuhnya, benar-benar sempurna. Sepertinya dia selalu merawat bentuk tubuhnya itu.

Aku menahan nafas lagi saat ia berbalik. Aku belum pernah melihatnya semenawan ini saat rambut panjangnya dikucir.

“Bentar ya, Dim. Matiin kran dulu.”

“Argh!”

Belum sampai Jinan di ambang pintu, aku merengkuhnya dari belakang, membekap mulutnya dan menahan kepalanya ke samping kanan, membuka ruang di lehernya.

“Mmmpgh...! Mmmph... Mmph...”

Desahannya tertahan karena bekapanku. Aku yakin dia terkejut dengan sergapanku ini. Aku mencumbu, mengendus-endus lehernya, sambil tangan kiriku sibuk menggerayangi payudara kecilnya yang masih terbungkus bra dari dalam kausnya.

“Mmp- Dim... plis... jangan sekarang... Ahh...”

Jinan berhasil melepas bekapanku dengan tangan kanannya.

“Enggak bisa...”

Tangan kananku dengan cepat berhasil menurunkan celana pendek itu sampai lututnya.

Jinan dengan susah payah menahan celana pendek itu agar tidak melorot sampai kebawah. Namun usahanya sia-sia saat aku meremas kasar dua payudaranya dan mencumbu liar lehernya.

“Aaahh... Dim... mmhh...”

Aku menggiringnya ke kasur dengan masih meremas-remas payudara dan mencumbu lehernya. Celana pendeknya berhasil lolos dari kedua kaki Jinan, menyisakan celana dalam yang masih membungkus selangkangannya.

Tubuhnya memantul setelah aku hempaskan ke kasur.

Bibir tipisnya menyambut lumatan bibirku dengan penuh nafsu. Decakan kami terdengar semakin jelas setelah beberapa saat kami berciuman dan saling bertukar liur. Lidah kami saling beradu, saling mengait didalam sana. Aku bisa merasakan nafas hangat Jinan, dan aku yakin dia juga bisa merasakan nafasku yang memburu juga.

Tanganku yang semula menahan kedua tangannya kini kembali bergerak menggerayangi kedua payudara kecilnya yang masih bersembunyi dibalik kaos dan branya. Aku remas-remas, aku putar-putar bagai analog stik Playstation.

“Mmphh... Dim!”

PLAK

Dia menamparku setelah melepas ciumannya dan mendorong badanku.

“Dih, kenapa lu?”

“Gue bilang jangan sekarang! kran kamar mandi belum gue matiin. Minggir!”

“Ih, tapi Nan, gue u-“

PLAK

Tamparan kedua aku dapatkan, dan sekarang dia berhasil menyingkirkan tubuhku ke bagian kiri kasurnya setelah tadi aku sempat menindih tubuhnya.

“Bentar doang anjir, lu gak bisa ya nahan nafsu ke cewek sedetik doang?” Dia mengelap air liur yang membasahi dagunya dengan punggung tangannya.

Aku terdiam, melihatnya keluar kamar. Ia tidak memakai kembali celana pendeknya.

“Jangan coba ikutin gue.”

Dia menutup pintu kamarnya, dan menguncinya dari luar.

Anjir...

Aku menghela nafas, memposisikan diriku duduk di pinggir kasur.

Jika dipikir-pikir, perkataan Jinan ada benarnya. Sepertinya aku harus melatih nafsuku agar tidak menguasaiku secara penuh. Setidaknya aku bisa mengendalikannya, apalagi ketika berada didepan seorang perempuan. Aku tidak bisa membayangkan jika suatu hari nanti aku bisa tidak sengaja memperkosa perempuan lain...

Namun kejadian tadi bisa saja dicegah bila Jinan tidak mengajakku hari ini untuk ke rumahnya yang sepi karena kedua orang tuanya sedang pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan, dan jika ia memakai celana yang agak menutup paha mulusnya itu. Ah, kurasa percuma juga jika aku mengatakan pembelaan ini padanya. Pada akhirnya dia pasti akan menyalahkanku juga. Ah, tidak. Sepertinya aku harus minta maaf padanya...

Aku menggeleng cepat.

Aku kembali menghela nafas.

Hei.

Entah mengapa, rasa penasaranku yang tiba-tiba datang menggiringku untuk membuka lemari pakaian Jinan. Dan betapa terkejutnya aku ketika mendapati ‘harta karun’ yang ada disana. Bukan, bukan pakaian dalam atau semacamnya...

“Jinan, nakal juga lo ternyata, hehehe....”

Kepalaku pun didatangi ide untuk ‘mengerjai’ Jinan menggunakan ‘harta karun’ itu.

Hei, rasa penasaranku, sepertinya kita harus sering berinteraksi.

***

Plak

Plak

Plak

Kulit putih pantat Jinan kini berubah kemerahan karena tamparanku yang berkali-kali mendarat disana.

Tidak ada yang bisa ia lakukan sekarang selain menurut. Semua pakaiannya sudah aku tanggalkan. Tak ada sehelai benang pun yang kini menempel di tubuhnya. Begitupun aku saat ini yang telanjang bulat.

“Mmpgh... Mmmpgh...!”

Mulutnya sudah kusumpal dengan ball gag, pergerakan kedua tangan dan kakinya pun aku tahan dengan borgol.

Aku menemukan beberapa benda itu di dalam lemari pakaian Jinan. Tidak kusangka dia menyukai hal ekstrim seperti ini. Yah walau aku tidak terlalu paham soal BDSM karena aku hanya pernah melihat adegan seperti ini sekali dua kali, rasanya aku masih bisa ‘mengerjainya’ dengan sedikit berimprovisasi.

Aku membalik badannya. Jinan menatapku sayu. Aku memang tidak bisa membaca pikiran orang dari pandangan matanya, namun aku rasa, sekarang Jinan merasa ingin menyudahi ini walau ia merasa sangat keenakan.

Oh ayolah, kau tidak bisa membohongi dirimu dengan menolak nafsumu.

Aku meraih dua jepit jemuran yang sengaja aku letakkan di meja belajarnya tadi. Tangan Jinan menempel kuat didepan dada, menutupi kedua payudaranya agar aku kesulitan menjepitnya. Dia menggeleng cepat dan memasang wajah memelas. Sepertinya dia tidak setuju kalau putingnya kujepit. Namun justru ini membuatku semakin berani.

Kedua tangannya kutarik keatas, borgol itu kuikatkan ke besi yang ada di kepala kasur itu dengan sebuah dasi. Jinan terlihat panik, kedua payudaranya kini bebas tanpa pertahanan.

Aku tersenyum nakal sambil menekan-nekan jepit jemuran itu, terbuka-tertutup siap untuk menjepit kedua puting menggemaskan bewarna merah jambu yang sudah keras itu. Tubuh Jinan bergerak-gerak, ia meracau.

“Mmmpghh... Mmpgh... MmPPHH...!!”

Percuma saja, dua putingnya berhasil kujepit dengan jepit jemuran itu. Jinan mendongak sesaat setelah putingnya terjepit. Aku yakin dia merasakan sensasi yang sangat nikmat saat ini. Tubuhnya kembali bergerak-gerak, matanya merem melek.

“Gimana? Enak? Hmm?”

Jinan menggeleng cepat.

Namun mata sayunya itu tidak dapat menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan.

“Gak mau ngaku?”

Aku menarik pelan jepit jemuran itu. Aku mendengar rintihan Jinan dari balik mulutnya yang terbungkam. Hmm, sebenarnya aku tak yakin itu rintihan atau desahan. Perlahan Jinan mengangkat badannya seiring jepit jemuran itu ikut menarik putingnya untuk mengurangi rasa perih.

Akhirnya ia mengangguk cepat, mengakui kenikmatan yang ia rasakan. Perlahan aku menurunkan jepitan itu hingga sekarang ia kembali terbaring normal.

Matanya berair, sepertinya memang tadi itu perih, hehe.

Aku beralih ke vaginanya. Borgol di kakinya aku lepas agar aku lebih leluasa bermain-main di daerah selangkangannya itu. Begitu aku membuka selangkangannya itu, vagina berwarna kemerahmudaan itu menyambutku. Aku berlutut di ujung kasur ini, mengangkat satu kakinya lalu mendekatkan jari telunjuk dan tengahku kearah klitorisnya lalu mengusap-usapnya pelan.

Memutar.

Maju-mundur.

“MmPhGH..! Mmpphh..!”

Desahannya semakin keras setelah beberapa menit aku bermain-main dan memberi rasangan pada klitorisnya. Jinan membuka satu matanya, memandangku sayu.

Aku yakin dia sudah becek karena itu.

Dua jariku pun meninggalkan klitoris itu. Bersiap untuk menusuk-nusuk vaginanya.

Tanpa memberi aba-aba, jari telunjuk dan tengahku memasuki liang hangat yang sudah becek itu. Jinan kembali mendongak dan mendesah-desah.

Tubuhnya bergerak-gerak seiring dua jariku maju-mundur menusuk pelan vaginanya.

“MmPhHHH... NngHhNgh...!”

Air liurnya luber membasahi dagu dan lehernya. Wajahnya memerah. Nafasnya mulai sengal.

Kedua jariku mulai mengusao-usap dinding vaginanya, dan.

Bingo

Sepertinya aku menemukan G-spotnya.

Aku menekan-nekan halus area itu. Jinan menggelinjang.

“Mmpgrh! MmGHHH...!”

Pinggul Jinan bergetar, tubuhnya menegang.

Jinan mendapat orgasme pertamanya. Cairan itu membasahi dua jariku. Selangkangannya dan bagian kasur yang ada dibawahnya juga ikut basah terkena cairan itu.

Dua jepit jemuran itu aku lepas.

Kedua tangan Jinan bergerak-gerak, arah mata Jinan pun berkali-kali menuju borgol itu. Ia meminta agar borgol itu dilepas juga.

Aku tersenyum, mengecup keningnya. Mata Jinan membulat.

Sepertinya akan kubiarkan Jinan berada di posisi ini. Ditambah dengan keringat yang sudah membasahi kulit putihnya, semakin membuat nafsuku naik.

Tanpa memberinya istirahat yang cukup, aku mulai memainkan penisku dengan menggesek-gesekannya di luar vaginanya.

Dia memandangku gelisah, hingga kepala penisku mulai mendorong masuk kedalam vaginanya.

Ini dia hidangan utamanya.

“MMMPPGH...!”

Sempit.

Aku mendorong lagi secara perlahan, hingga setengah batang penisku berhasil masuk.

Wajah Jinan memerah lagi. Ia memejamkan mata saat aku kembali berusaha memasukkan penisku.

“Aaahh... Jinann... mmhhh...”

Aku membiarkan penisku berada didalam vaginanya beberapa menit. Merasakan sensasi vaginanya yang berkedut dan memijit-mijit penisku didalam sana. Matanya masih gelisah.

“Siap-siap...”

Aku mulai menggenjot vaginanya. Dimulai dengan tempo pelan, lalu semakin cepat, semakin cepat.

Desahan kami berdua saling beradu. Memenuhi kamar Jinan.

MMMMMMMHHHHH.........

MMMMHHHHHH.......

AAAHHHHHH.....

Sudah hampir setengah jam berlalu. Aku masih saja belum orgasme.

“MphH..! MMPGHRH...!”

Jinan mendapat orgasme keduanya.

Sialan.

Aku mencabut penisku yang sudah berlumuran cairan orgasme dari Jinan. Dasi yang mengikat borgol dan besi di kepala kasur Jinan itu aku lepas.

Jinan yang tersengal-sengal itu memandangku pasrah karena sadar semua ini belum akan berakhir.

Aku membalik badannya. Kedua tanganku mengangkat tubuhnya dari belakang. Tubuhnya kini tertopang oleh kedua lutut dan sikunya.

Plak

Plak

Plak

Kembali aku menampar-nampar pantatnya. Bagian itu kembali memerah lagi. Jinan merintih.

Aku mengangkat sedikit pantatnya, lalu kembali menghujam vaginanya dari belakang.

“Mmmpgh... Mmphhh....”

Desahannya terdengar lebih lemah dari tadi. Namun tidak meredakan nafsuku untuk menikmati liang vaginanya ini.

Aku kembali menggenjot liang hangat itu.

Plak

Plak

Plak

Bunyi getaran terdengar saat selangkanganku menghantam pantatnya. Tubuh Jinan bergetar-getar. Kasurnya kini tak hanya dibasahi keringat dan cairan ograsmenya, namun juga air liurnya yang menetes-netes dari dalam mulutnya.

Bau keringat kami bercampur memenuhi rongga paru-paru kami. Punggung Jinan yang basah dengan keringat juga menambah gairahku. Aku mempercepat tempo semampuku.

Setelah hampir sepuluh menit, akhirnya aku mulai merasakannya. Aliran sperma hampir sampai di ujung penisku.

Segera aku mencabut penisku. Tubuh Jinan roboh ke kanan dan kini dia dalam posisi merebah. Aku mengocok-ngocok penisku, dan tak lama kemudian...

Crot

Crot

Crot

Walau tidak terlalu banyak, wajah Jinan berhasil aku lumuri dengan sperma.

Wajahnya sudah sangat kacau. Berlumuran sperma, air liurnya juga membasahi sebagian wajahnya. Rambutnya lepek karena basah dengan keringat.

Kedua matanya semakin sayu. Nafasnya masih sengal. Wajahnya pun merah.

Ball gag yang sedari tadi membungkam mulutnya kulepas. Alat itu pun sudah basah dengan air liur Jinan. Terdapat untaian air liur antara ball gag itu dengan mulutnya saat aku melepasnya. Dia terbatuk.

“Lo parah Dim... uhuk... enggak sopan tau... uhuk... buka lemari orang... uhuk...” suaranya lemah.

“Hhh... kalo engga gini... lo gak bakal sepuas ini kan...? hhh...”

“I-iya... tapi... akh... memek gue perih anj...ing... lu main kasar banget...”

“Ya maaf... habisnya lo nafsuin...”

Aku membuka borgol tangannya.

“Apa?” Dia memposisikan dirinya duduk bersandar di tembok.

“Eh, enggak... hehe...”

“Anjir... tetek gue perih juga...”

Dia turun dari kasur, mengambil beberapa lembar tissue untuk mengelap spermaku dan air liur di wajahnya.

“Nan.”

“Hmm? Kenapa...?”

“Gimana kalau... kita pacaran...?”

“Hah?”

“Gue suka sama lo Nan.”

Jinan terdiam, tidak menoleh kearahku.

“Lo ngelawak ya?”

“Enggak, gue serius.”

Jinan kembali diam beberapa detik.

“Maaf, Dim... gue... gak bisa.”



To be continued...
 
Terakhir diubah:
Oh iya gue selalu nganggep jinan itu dom sih bukan sub, dia galak bamget soalnya hahahaha
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Bimabet
Entah kenapa gw malah penasaran sama lanjutan cerita yang Cinhap diatas ketimbang memperhatikan alur cerita yang jinan sepertinya menarik dan patut ditunggu cerita lanjutannya
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd