Part 10.5
“Yakin enggak mau di
blowjob sama aku juga...?” godanya sambil melepas kacamata dan mengigit bibir bawahnya.
Eeerrrgghhh....
Sialan!
“Kakak ganteng... jawab dong...” Nadanya menggoda, begitupun ekspresi yang masih ia berikan untukku.
Aku masih tidak bisa menjawab. Pucchi sudah membuka kancing jeansku, tinggal menunggu waktu sampai celana itu diturunkan.
“Oh... oke, kalau diem berarti mau...”
“Eh?!”
Dengan cepat, ia menurunkan jeans dan celana dalamku. Dalam sekejap, tubuh bagian bawahku telang ditelanjangi olehnya. Penisku berdiri tegak begitu terbebaskan. Pucchi berbinar-binar, seperti melihat kembali sesuatu yang sangat ia rindukan. Kulit mulus nan halus yang mengenggam penisku itu menimbulkan rasa yang menjalar keseluruh tubuhku. Perlahan, Pucchi mengocok batang kemaluanku itu sebelum mengulumnya dengan bibir tebal nan seksi itu. Tangan kirinya memainkan testisku sementara tangan kanannya sesekali mengocok pelan batang penisku yang basah dengan liurnya.
GILA! INI GILA! ENAK BANGET!
Blowjob yang diberikannya ini benar-benar nikmat, kedua tanganku hanya tergeletak di sofa, kepalaku mendongak. Sensasi yang ia berikan ini benar-benar sukses membuatku merem melek. Bahkan desahan yang berusaha aku tahan pun akhirnya terdengar juga. Rasa yang diberikan saat mengisap penisku itu sungguh istimewa.
Slrrp
Slrrp
Slrrp
“A-ahh... P-Puch... Enaakk...”
“Mmpph... ah, iya kann... hehe... mmhh...”
Pucchi dengan lihainya terus mengulum penisku bagai sebatang permen. Lidahnya menjilati kepala penisku, tangan kanannya mengocok batangnya, testisku masih manja dibelai oleh tangan kirinya. Bunyi decakan terdengar dari sana saking nikmatnya Pucchi bermain dengan penis itu.
Tiba-tiba saja, Pucchi melahap nyaris semua batang penisku kedalam mulutnya yang hangat.
Deepthroat ini lantas membuatku mendongak dan mendesah.
“Aaarrhh....”
Setelah beberapa saat mendiamkan kemaluanku itu didalam mulutnya, Pucchi kembali menjilatinya dan mengocok seperti semula. Ia sesekali merapikan rambut yang menghalangi wajahnya. Ya ampun... melihatnya begitu liar seperti ini dengan kondisi setengah telanjang, membuat nafsuku ini semakin memuncak.
Aku bangkit berdiri cepat, Pucchi yang masih mengulum penisku itu ikut bergerak mengikutiku. Dia memandangku dengan mata yang menggoda sambil masih memasukkan penis itu didalam mulutnya.
ERGHH!
Kedua tanganku menahan belakang kepalanya, lalu dengan perlahan, aku memaju mundurkan pinggulku, menyodok-nyodokkan penisku didalam mulutnya. Lenguhan-lenguhan kecil kompak kami hasilkan seiring sodokan demi sodokan yang kuberikan. Pucchi yang semula seperti tidak siap perlahan-lahan diam pasrah mulutnya aku bombardir.
Ah...
Ah...
Aahh....
Sungguh, tiap tusukan itu benar-benar kenikmatan yang memanjakanku. Aku yakin Pucchi dibawah sana juga menikmati ini.
“Mngh... Mnnghh...” Desahan lembutnya membelai telingaku.
Ya ampun... aku tidak tahan lagi. Aliran sperma ini sudah sampai ujung. Aku mempercepat tempo sodokanku, dan tak lama kemudian,
Crot
Crot
Crot
Aku menghentikan gerakan pinggulku, semua sperma itu termuntahkan didalam mulutnya. Bibir Pucchi tetap mengisap-isap kecil batang penisku di posisi itu. Dia menatapku dengan tatapan itu lagi, matanya terlihat sedikit berair, wajahnya pun memerah. Aku tersenyum lalu menarik penis itu keluar dan Pucchi langsung menelan semua sperma itu seelum memberi senyum manis padaku.
Pucchi yang baru saja mau merapikan rambutnya itu langsung aku dorong hingga tubuhnya terbaring di lantai, payudaranya itu terlihat menjulang karenanya. Gadis itu meringis, namun tak lama ekspresi terkejut tercetak di wajahnya saat aku menindih tubuhnya lalu mulai meremas-remas dua gundukan itu. Kenyal, dan padat, aku berikan gerakan memutar disana. Bibirnya pun sayang untuk dianggurkan, aku turunkan kepalaku dan mulai melumat bibir tebal dan lembut itu dengan penuh nafsu. Remasanku pada payudaranya tetap berlanjut.
Gadis ini pun langsung membalas lumatanku, bahkan aku sempat kewalahan karenanya. Dengan yakin aku masukkan lidahku kedalam mulutnya, lidahnya menyambut lidahku dengan mengaitnya. Saling bertukar liur, bergelut dengan bibir kami. Cumbuan penuh nafsu itu diiringi dengan nafas kami yang saling memburu.
Merasa cukup dengan bibirnya, bibirku beralih menikmati payudaranya. Puting kanannya itu aku isap pelan dan sesekali aku jilati sedangkan tangan kananku bertugas memilin puting kirinya yang juga sudah mengeras itu, aku lakukan secara bergantian hingga kedua putingnya basah dengan liurku. Rangsangan yang aku berikan di payudara itu membuat Pucchi menggelinjang, lenguhan-lenguhan seksi ia perdengarkan, dan aku tidak bisa berbohong kalau suara itu membuah gairahku semakin naik.
Di tengah liarnya aku menikmati dua gundukannya itu, kedua tangan Pucchi bergerak melepas celana jeansnya, aku yang menyadarinya langsung mengarahkan tangan kiriku masuk ke celana dalamnya. Ternyata gadis ini sudah becek ya...
Aku tambahkan rangsangannya di vagina itu. Dengan perlahan, tanganku mengusap-usap bibir vaginanya, sambil tangan kanan dan lidahku terus bermain dengan payudaranya. Kemudian, dengan dua jariku, aku menusuk-nusuk pelan lubang vaginanya, gerakan maju-mundur itu lantas membuat lenguhannya semakin keras, Pucchi dengan sigap membekap mulutnya sendiri. Tak butuh waktu lama sampai aku merasakan tubuhnya menegang, sepertinya dia akan segera orgasme.
“Kmmgphh..!!”
Pucchi mendapat orgasme pertamanya, cairan itu membasahi celana dalamnya dan jariku yang masih ada didalam lubang vaginanya. Pucchi melepas bekapannya, dia menatapku sayu.
“Hhh.. ka-“
“Pake kacamata.”
“H-hah...?”
“Pake kacamata!”
Aku tidak mau tau, aku harus dapatkan kenikmatan lubang vagina itu dengan penisku, dan melihatnya dengan menggunakan kacamata akan menambah gairahku untuk melakukannya.
Pucchi mengangguk lalu bangkit mengambil kacamatanya tadi, sementara aku sibuk menelanjangi diriku sendiri. Kaus dan juga kemeja itu aku lempar sembarang, lalu aku hampiri Pucchi yang baru saja selesai menanggalkan celana dalam warna merah mudanya itu. Tangan kanannya aku tarik kasar, lalu menghempaskan tubuh mungilnya itu di kasur kamar ini.
“Hhh... udah gatel ya, kak....?”
SIAL! Dia memberiku tatapan menggoda itu lagi bersama dengan bibir bawahnya yang digigit.
Aku tidak menjawab pertanyaan bodohnya itu, penisku sudah mengacung tegang lagi, melihat gadis ini terbaring di kasur dengan keadaan telanjang bulat, pemandangan yang tidak aku duga sama sekali. Kedua kakinya aku tarik kuat hingga tubuhnya ikut tertarik dan pantatnya kini menyentuh pinggir kasur, kemudian selangkangannya aku buka lebar-lebar, terlihatlah vagina kemerahmudaannya, dihiasi dengan bulu-bulu halus yang menggemaskan disekelilingnya.
Aaahhh....
Lenguh kami nyaris berbarengan saat penisku berhasil masuk kedalam vaginanya. Tidak heran, sepertinya pacarnya ini yang telah mengambil keperawanannya. Ya, walau begitu, sempitnya lubang vagina ini masih bisa aku nikmati. Beberapa detik aku biarkan vagina ini memijit dan menelan penisku. Aku pandangi Pucchi yang tersenyum tipis dengan mata sayu itu.
“
S-senpai...”
Shit!!! Suaranya ia buat-buat, lenguhan manjanya itu mirip dengan gadis-gadis Jepang pemeran
JAV...
Aku mulai memaju-mundurkan pinggulku pelan, kenikmatan ini tidak mau aku akhiri cepat. Tubuh mungilnya itu ikut bergerak seiring dengan sodokanku. Pucchi memejamkan mata dan terus menggigit bibir bawahnya. Kedua tangannya terbaring diatas kepala.
Plok
Plok
Plok
Pinggulku bertemu dengan selangkangannya, sodokan demi sodokan terus aku berikan pelan-pelan, Di posisi ini, aku bisa sambil menikmati pemandangan payudaranya yang menjulang dan tubuh putih mulusnya itu, apalagi wajah seksinya itu karena kacamata yang ia kenakan.
“Ahh...
h-hai, senpai... hai...”
Suara manja yang dibuatnya itu kembali terdengar. Ya ampun...
Tak lama, aku mempercepat tempo sodokanku, Pucchi tersentak, sepertinya dia belum siap dengan gerakanku yang mendadak itu.
“
Kyaahhh... s-senpai...!”
Plok
Plok
Plok
Lenguhan-lenguhan akhirnya aku keluarkan juga karena semakin nikmatnya situasi ini.
“
Kyaahh... K-kimochii... mmmpphh...”
Pucchi mendongak, kedua tangannya kini mulai memilin putingnya sendiri. Rangsangan tambahan itu semakin membuatnya menggelinjang sendiri, gerakan tubuhnya yang semakin liar itu membuat sprei ini berantakan. Tidak lama, tubuh Pucchi mengejan. Ia menggeleng cepat, rambut pendeknya itu semakin berantakan juga. Kurasa sebentar lagi dia akan mendapat orgasme keduanya.
“Aaahhh...!
Senpai! Mmpgh!”
Orgasme kedua ia dapatkan. Tangannya kembali terbaring lemas di kasur. Nafas Pucchi terdengar pendek, keringat kini benar-benar membasahi tubuhnya. Aku masih belum menarik keluar penisku ini. Membiarkannya istirahat sebentar menjadi keputusanku saat ini walau nafsuku sudah berada dipuncaknya. Iseng aku menoleh ke kiri, dan aku temukan segulung lakban hitam diatas meja belajar.
“Hhh... kak Dimas... hehe...
arigatou... udah puasin aku, hehe... enak banget...”
Aku masih terdiam. Tanggung rasanya jika ejakulasiku belum juga tercapai...
“K-kak, hehe... itu... bisa ditarik dulu enggak...?”
Aku meraih segulung lakban itu, lalu menangkap kedua tangannya.
“Eh?! Kak!”
“Sssttt.”
Dalam sekejap, tangannya sudah terikat dengan lakban.
“Sekali lagi ya...”
Dia agak ragu, baru kemudian dia mengangguk pelan.
“T-tapi kok pak-“
“Sstt... anggep aja kamu lagi diculik. Udah, diem.”
Aku menempelkan 2 lapis lakban di bibirnya. Pucchi hanya menurut, tidak ada perlawanan lagi seperti tadi. Tak lama, dia memasang wajah memelas dan tangannya ia tarik sendiri keatas.
“Mmhh... mmmhhh....”
Lenguhan yang tertahan itu ia buat-buat lagi. Dia pasti juga tahu dia bisa saja membuka mulutnya lebar-lebar dan lakban itu terlepas dengan mudahnya. Ya ampun... gadis ini berbakat akting juga...
Aku melempar lakban itu disampingnya, lalu kemudian melanjutkan sodokanku yang sempat terhenti tadi.
Plok
Plok
Plok
Aku semakin bergairah dengan kondisi Pucchi yang terlihat semakin kacau ini. Keadaannya yang bagai seorang sandra ini membuatku semakin bernafsu membombardir liang vaginanya ini.
Ahh...
Ahh..
Aakkhh...
Sodokan demi sodokan terus aku berikan beberapa kali, perlahan, aku merendahkan tubuhku, lalu menjilati lehernya yang kini sudah lekat dengan aroma peluhnya.
“Mmmh...!!”
Aku benamkan wajahku disana, leher menggodanya itu terus aku jilati, tak lupa nafas hangatku aku tiupkan disana.
“Ehmmpphh...!”
Pucchi kembali menggelinjang. Puas dengan lehernya, telinga kanannya menjadi sasaranku selanjutnya. Air liur ini aku lumurkan disana, sesekali aku gigit kecil, lalu meniup-niupnya. Tubuhnya semakin menggelinjang karenanya. Lenguhan lenguhan kasar kini aku dengarkan dengan sangat jelas. Sambil terus menggenjot vaginanya, aku terus memberi rangsangan padanya.
Plok
Plok
Plok
Tempo yang kuberikan semakin cepat, aku sudah bisa merasakan aliran sperma itu lagi. Tiba-tiba tangan Pucchi yang terikat itu mengalung di belakang leherku, ia kembali mengejan. Tak selang beberapa detik, Pucchi mendapat orgasme ketiganya. Sepertinya aku juga akan segera menyusulnya. Aku cabut penisku lalu mengocoknya cepat, tepat setelah aku mengarahkannya ke wajah Pucchi...
Crot
Crot
Rambut, wajah dan... aku lupa dengan kacamata yang masih ia kenakan, akibatnya, sperma itu turut menempel disana.
“Mmmmmmm!!!”
“Ehh... m-maafhh... aku bersihin.”
“Jorok!!”
Aku melepas sisa lakban yang masih melekat di pipi kirinya. Kacamata itupun aku lepas.
“Udah udah! Aku sendiri aja nanti... Lepasin ini dulu... Perih tau, kak...” Dia cemberut sambil menyodorkan kedua tangannya yang masih terikat lakban itu.
“Ehehe... maaf...”
Dengan langkah yang agak sempoyongan aku melangkah mendekati meja belajar itu, mencari-
“Gunting di laci kanan.”
“Oh, ok...”
Sesuai perkataannya, sebuah gunting aku temukan di dalam laci kanan itu. Aku kembali padanya yang kini sudah dalam posisi duduk. Lakban itu aku gunting.
“Aw...” rintihnya saat lakban itu berusaha aku lepaskan dari kulit tangannya. Ternyata itu menyisakan bekas merah.
“Eh, m-maaf.”
“Santai kak, hehe.... Makasih...”
Pucchi memajukan wajahnya, dan dikecupnya pipi kananku. Kurasa sekarang wajahku memerah...
“Pucchi...” Aku melihat ke kasur ini, terlihat sangat berantakan. Bahkan sekarang mungkin sudah beraroma keringat kami berdua yang tercampur.
“Iya?”
“T-terus ini gimana...? pacar kamu bakal curiga dong kalau kacau gini kamarnya-“
“Udah. Kakak tenang aja, biar aku yang urus... hehe,” Dia tersenyum sambil menepuk-nepuk bahu kananku.
“Serius...?”
“Iya...”
“Gimana caranya?”
“Udah ah, bawel. Kakak pulang aja. Ini ntar urusanku sama pacarku. Tenang.”
“Hhh... oke.”
Tapi tetap saja, aku tetap khawatir. Gadis yang barusan aku kentot adalah pacar kakak tingkat. Aku bisa terkena masalah besar nantinya jika ketahuan...
Tapi...
Ah, sudahlah...
Semoga skenario yang mungkin sudah ia siapkan itu benar-benar berhasil.
Aku berbalik, lalu memunguti lagi pakaian-pakaianku.
“Jadi ceritanya kamu bawa aku kesini buat ambil barang itu cuma akal-akalan kamu doang ya...?” Aku mengenakan celana-celanaku.
“Hehe... maaf...” Dia yang masih duduk disana dan dalam kondisi telanjang bulat itu tersenyum lebar. “Habis... kakak ganteng sih...”
“Hah?”
“...ya walau enggak seganteng sama seatletis pacar aku sih. Tapi, gimana ya, pesonanya kakak itu... beda... Hehe. Terus gara-gara kakak cerita kalau kakak ada di gedung sekre it-“
“Sstt... itu jangan disebar ya. Rahasia kita.”
“Hahaha, oke.”
Aku tersenyum padanya. Sepertinya aku harus bergegas pulang, khawatir pacarnya itu bisa datang kapan saja. Kemeja itu aku masukkan kedalam tas, kaus putih ini saja yang aku kenakan sebagai atasan.
“Sampai ketemu di Bazaar Budaya, kak.”
“Hahaha, siap deh.”
Aku membuka kunci pintu lalu berjalan keluar menuju lift, sepertinya aku akan langsung tidur selepasnya sampai di kontrakan. Tugas
translation yang dikumpulkan besok sepertinya bisa aku kerjakan dini hari nanti...
“Kyaaahhh... senpai...!”
Tiba-tiba ekpresi Pucchi tadi muncul di pikiranku. Aku menggeleng cepat sambil terus berjalan.
Bruk
“Eh?”
Karena tidak memperhatikan langkah, aku menabrak seseorang yang datang dari kananku, sepertinya dia baru saja keluar dari lift dan fokus ke
smartphonenya.
“Eh kak, maaf... aku enggak lihat jalan...” Dia mendongak.
Ternyata seorang gadis... yang... imut...
Tubuhnya hampir semungil Pucchi, ia juga berambut pendek, hanya saja poni depannya ini terlihat mirip
barcode. Matanya sayu, pipinya gembul membuat gadis ini semakin menggemaskan. Aku menahan nafas.
“M-maaf ya kak, permisi...” Dia agak merundukkan kepalanya kemudian berlalu, sepertinya dia juga tinggal di apartemen ini.
Aku terpaku di posisiku sambil memperhatikannya dari belakang. Celana panjang lumayan ketat yang ia kenakan cukup mencetak lekuk tubuh bagian bawahnya itu. Aku buru-buru menarik pandanganku padanya, khawatir sesuatu yang buruk bisa terjadi. Kaki ini pun melangkah kedepan salah satu lift, menekan tombol ke lantai ini dan menunggunya.
To be Continued...