Part 11
“Halo, mbul?”
“Kak, kontrakan kakak mati listrik enggak?”
“Enggak kok, nyala nih,” Aku mengambil satu kaosku dari dalam lemari.
“
Wifi ada kan?”
“Ada. Kenapa? Mau nugas?”
“Iya nih, daerah kosan mati listrik dari sore, katanya bakal sampai besok pagi. Masih banyak materi tugasku. Aku kesana ya?”
“Aku jemput-”
“Eh, enggak usah. Kakak repot ntar bolak-balik. Nanti aku ngojek aja.”
“Serius?”
“Iya.”
“Yaudah deh, hati-hati ya.”
“Oke kak. Eh, iya... sekalian nginep deh. Enggak apa-apa kan?
“Ya terserah, aku mah boleh-boleh aja.”
“Okedehh, bentar aku siap-siap dulu.”
“Oke mbul, dah,”
“Dadah, muah...”
AAAAKKKK GESREK!
“Hehe... muahh..”
Dan panggilan via
whatsapp itu pun berakhir. Aku hempaskan tubuhku ke kasur, mengusap-usap layar gawaiku, melihat beberapa postingan
Instagram sambil menunggu si gembul datang. Perjalanan dari Kuningan kesini cukup menguras tenaga juga. Kesegaran tubuhku kembali aku dapatkan selepas mandi tadi.
Ah, bosan juga ya...
Inginku mengambil gitar, namun tubuhku terasa sangat lelah, dan kasur ini sepertinya terlalu sayang padaku hingga sulit rasanya aku jauh darinya. Aku menghela nafas, membaca serial
manga One Piece menjadi keputusanku, sepertinya sudah banyak
chapter aku lewatkan.
Laman yang aku cari pun terbuka. Kalau tidak salah, sepertinya
chapter terakhir yang kubaca ada adegan dimana Sanji sudah sampai di Whole Cake Island. Dengan mata yang sudah berat, aku perlahan men
scroll down layar yang menampilkan lembar
manga tentang bajak laut itu...
***
Beberapa kali mataku mengerjap, tangan kiriku masih menggengam
smartphone yang kini layarnya sudah padam. Namun sekarang, entah kenapa selimut membalut tubuhku. Aku membuang nafas pelan setelah aku menangkap punggung seorang gadis dari mataku saat memutar tubuhku kearah kanan. Cindy sedang berkutat dengan laptopnya, sepertinya dia sampai disini saat aku ketiduran...
Selimut ini, dia yang memakaikannya ya...?
“Mbul.”
“EH?!” Ia terperanjat.
“Eh, eh. Maaf...”
“Huhh... capek ya, kak?” Ucapnya agak sengal saat memutar badannya, tangan kanannya masih mengusap-usap dada sebelah kirinya.
“Kamu... kapan nyampe?” Tanyaku dengan suara yang masih berat.
“Hhh... kapan ya? emm...” Gadis manisku yang memakai kaus warna pink dan celana pendek selutut itu menoleh ke jam dinding yang sekarang menunjukkan pukul sepuluh malam. “Sekitar jam setengah 9 tadi kak. Pas aku nyampe kakak udah tidur, pules banget aku panggil enggak jawab, aku coba bangunin juga enggak melek-melek.”
“Ohh...” aku menggaruk-garuk kepala, membuat rambut gondrongku ini berantakan.
“Udah kakak kalo capek tidur lagi aja.” Cindy kembali fokus dengan komputer jinjingnya itu.
“Ah, enggak. Aku temenin, sekalian nugas deh aku.” Selimut itu aku singkap ke kiri, kaki ini aku langkahkan keluar kamar.
“Kopi?” Langkahku terhenti di ambang pintu.
“Teh panas aja kak.”
“Oke cinta.”
“Dih.”
Aku bisa mendengar tawa kecilnya saat beberapa langkah menjauh dari pintu kamar.
Aku kembali dengan dua gelas minuman yang berbeda di kedua tanganku. Segelas teh panas itu aku letakkan di samping tangan kanannya yang sedang menggeser-geser tetikus warna hitam itu.
“Makasihh.”
“Sama-sama.” Penasaran dengan tugasnya yang membuat Cindy sangat fokus ini, aku merendahkan tubuhku lalu menempelkan dagu di bahu kanannya.
“Tugas apa?”
“
Grammar, baru nyari referensi-referensi buat laporannya.”
“Buat kapan?” Aku mencium pipinya sebelum menarik daguku, lalu menyeruput kopi hitam yang sudah aku buat tadi.
“Baru tadi siang dikasih, buat minggu depan.”
“Lah k-“
“Emangnya kakak? Tugas besok dikumpulin baru dikerjain sehari sebelumnya.” Ejeknya tanpa menyingkirkan pandangannya pada layar itu.
“Dih, iya iya maba rajin...” Aku mengacak-acak rambut di pucuk kepalanya.
“Iiiihhh...” Dia memutar badannya sedikit, lalu memukul pelan lengan kananku sebelum merapikan lagi rambutnya sambil pipi gembul itu digembungkannya.
Ya ampun...
“Kalo butuh bantuan bilang. Senior nih.” Kataku agak sombong sembari berjalan kearah tasku yang tergeletak di sudut kamar tanpa menoleh kearahnya.
“Idih, iya iya. Ampun kakak senior, adek enggak tau apa-apa.” Suara jarinya menekan-nekan tetikus itu terdengar.
Dan tak lama kemudian, kami kompak tertawa geli.
Meja lipat yang aku bawa sekaligus dengan tasku itu kini sudah terpasang diatas kasur. Sebuah laptop dan
mouse merah aku siapkan di meja itu. Layar laptop itu segera menampilkan halaman tugas
American Prose yang sempat aku kerjakan setelah sampai di kontrakan tadi. Tugas analisis yang dikumpulkan dua hari lagi itu lalu aku ubah dengan lembar baru, judul
Translation aku ketikkan diawal halaman kosong itu.
File tugas dari dosen mata kuliah tersebut masih sibuk aku cari di folder-folder.
“Kak Dimas.”
“Iya?”
“Gimana tadi?”
“Yang soal Bazaar Budaya?”
“He’em.”
“Oh, ya tadi si Pucchi jelasin, kalo itu nanti kan pengisi acaranya semua dari fakultas kita, ya aku diundang jadi salah satunya. Tadi udah ngomongin gambaran acaranya, sama
riders aku...” Akhirnya aku menemukan
file tugas itu. “... Terus ya masih soal itu sih, tapi udah
fix aku bakal tampil, hehe. besok-besok ada
briefing lagi.”
“Hah?
Riders? Semp-“
“BUKAN!
Riders tuh permintaan-permintaan aku buat panitia acaranya. Kayak makanan, akomodasi, peralatan manggung. Kayak gitu gitu.”
“Ooohhh....” Cindy yang membalik badannya itu membulatkan mulutnya sambil mengangguk karena informasi baru yang ia dapatkan barusan.
“Cindy sekarang mesum ah.”
“Iiihh, enggak! Ya kan aku taunya itu merek...” Cindy cemberut menggemaskan. “Yang mesum mah kakak!” Katanya sebal lalu kembali fokus mengetik.
“Dih, hahaha.” Begitupun aku, mulai mengetik terjemahan kalimat pertama dari teks berbahasa Inggris yang tertampil di sisi kanan layar laptopku.
***
“Mbul, udah ntar aku aja yang nyuci.”
“Udah kak, sekalian!” Katanya yang sudah berada di dapur. Suara kran air terdengar setelahnya. Nasi goreng bapak-bapak yang sekitar dua minggu ini lewat di depan kontrakanku menjadi penyelamat perut kami yang kelaparan tadi, terutama perut si gembul itu. Cindy yang sudah menyelesaikan 2 tugas kuliah sekaligus itu bahkan memesan satu setengah porsi, pantas saja pipi enggak kekontrol...
Aku menaikkan satu angka volume televisiku yang sekarang masih menayangkan konser grup musik Sheila on 7. Selalu terpukau melihat penampilan mereka, terutama Eross. Selalu bermimpi suatu hari bisa seperti dia. Kini lagu Bila Kau Tak di Sampingku tengah dibawakan oleh Duta, Eross, Adam dan Brian.
Takkan kubiarkan kau menangis~
Takkan kubiarkan kau terkikis~
Terluka perasaan oleh semua ucapanku~
Maafkanlah semua sifat kasarku~
Bukan maksud untuk melukaimu~
Aku hanyalah orang yang penuh rasa cemburu~
Bila kau tak di sampingku~
Aku menghela nafas.
“Selama ini kamu cuma anggep aku jadi tempat pelampiasan nafsu kamu kan?”
Cindy tertegun.
“Gabisa jawab? Hah? Berarti bener dong?” nadaku agak meninggi. “Atau aku cuma jadi pelarian sesaat gara-gara bosen sama pacar kamu?” Aku perlahan berdiri.
Cindy membulatkan matanya, mulutnya terbuka sedikit. Seperti ingin berkata namun tidak bisa.
“Aku enggak punya pac-“
“Bacot. Siapa itu Andhika Dewa? Hah?!”
Aku meraih smartphonenya, lalu menunjukkan layarnya yang menampilkan notifikasi panggilan tadi.
Cindy kembali diam. Mulutnya tampak bergetar.
“K-kak, d-dia b-“
“Dasar, cewek rendahan.”
Cindy terperanjat.
PLAK
Tamparan keras tepat mendarat di pipi kiriku. Wajahku menoleh kearah kanan.
“Cukup kak!” Mata Cindy berkaca-kaca. Ia mencabut smartphone dari chargernya dan meraih tasnya yang tergeletak disampingku. Ia menatap mataku dalam. “Aku... kecewa sama kakak...”
Entah kenapa ingatan kejadian itu kembali terputar di kepalaku. Sekarang aku tidak habis pikir pernah membentak gadis itu dengan kata-kata kasar. Walau alasannya adalah cemburu, membuatnya menitikkan air mata sebenarnya sudah cukup membuatku tidak pantas disebut laki-laki lagi. Namun gadis itu sampai saat ini masih bersamaku...
Aurora...
Aku kembali menghela nafas pelan.
Selang beberapa menit, jeda iklan mengambil alih tayangan itu. Aku meraih
smartphoneku, mengusap layarnya. Satu pesan
LINE dari Hary.
22.48 Dim, bokep baru. Asik nih dieue abis jogging. Mau?
Astaga... dasar jomblo. Miris banget sih lu Har... Kebanyakan liat video begituan kan enggak baik. Batinku.
22.48 LINK NJIERRR!!!
“Kak.”
Aku tersentak, gawai ini nyaris jatuh.
“I-iya, mbul?” Jawabku padanya yang melangkah kesini dari dapur.
“Makasih, ya.”
Cup
Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi kananku. Itu cukup membuat senyumku merekah dan wajahku memerah.
“Ehehe... sama-sama, kenyang gak?”
smartphone itu aku letakkan lagi di meja kecil yang ada didepanku.
“Kenyang! Hehe.” Dia menghempaskan pantat ke sofa, mengambil posisi disamping kananku. Lalu ia membaringkan dirinya disana, dengan paha kiriku sebagai bantalan kepalanya. Otomatis, pipinya yang gembul itu jadi sasaran jari-jariku yang gemas. Aku
menguyel-uyel gemas pipi kirinya, Cindy merasa tidak terganggu dengan itu, ia sibuk dengan
smartphonenya,
chatting dengan temannya, sepertinya. Sambil terus memainkan pipinya, aku mengganti-ganti saluran TV, entah kenapa aku tidak betah melihat iklan untuk menunggu suatu acara.
“Kak Dimas.” Kepalanya menggeleng pelan, tanda minta agar
uyel-uyel gemas itu dihentikan.
“Iya?”
“Kalo aku pindah sini boleh?”
Ya ampun... kasihan pipi kamu nanti...
Uyel-uyel terus...
“Boleh-boleh aja.” Aku bergati mengusap-usap dahinya. “Tapi kosmu nanggung dong, udah bayar 1 semester kan?” Aku menghentikan pencarianku di tayangan berita malam.
“Baru bayar setengahnya kok, hehe.” Dia nyengir saat mendongak kearahku.
“Terus...?”
“Ya Kamis kan itungannya sewa habis tuh, tinggal bilang aku pindah, hehe.”
“Oh, ya... aku mah boleh-boleh aja.” Aku kembali mengusap dahinya, Cindy tersenyum lebar.
“Hehe, makasih. Ntar kita patungan deh bayar sewanya.”
“Hahaha, itu mah santai.” Aku mengacak-acak poni sampingnya.
“Ehehe.”
Cindy kembali berkutat dengan gawainya. Sementara aku kembali mengganti saluran TV, dan Sheila on 7 sudah kembali diatas panggung.
“Kamu enggak tidur? Besok kuliah pagi kan?”
“Kakak?”
“Aku ntar deh, mau lihat ini dulu.”
“Yaudah deh, jangan begadang lho.” Mulutnya ia tutupi saat menguap lalu ia bangkit berdiri turun dari sofa.
“Iya iya.”
“Malem, kak.”
“Malem, mbul.”
To be Continued...