Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA AW - Black Kapatuli

Status
Please reply by conversation.
CHAPTER 24



Beberapa hari setelah pertemuan terakhir bersama Aksan, Lita merasa hal yang berbeda. Wajahnya selalu ceria. Ada rasa yang tak dapat ia kemukakan dengan sebuah kalimat. Aksan adalah orang yang telah lama Lita kenal, jika ingin di putar kembali waktu. Justru pria yang di awal menarik perhatian Lita adalah Aksan sendiri, bukannya Ronald.

Namun, ada suatu waktu keceriaan itu memudar berganti dengan kesedihan dan keresahan.

Setiap malam Lita selalu menatap ponselnya. Layarnya menunjukkan nomor ponsel Aksan, tapi entah mengapa jari-jarinya masih belum berani menekan icon dial. Sama seperti malam ini.

Lita berbaring di atas sofa sambil memandang ponsel. Pikirannya berkecamuk.

Sudah lewat 4 hari, meski suatu janji dari Aksan untuk menghubungi Lita kembali sama sekali tak terucap dari si pria. Cuma awalnya Lita yakin Aksan pasti akan menghubunginya nanti. Tapi, nantinya kapan itu yang selalu membuat Lita selalu bersedih.

Apakah mungkin, dalam hati Aksan tak ada sosok Lita sama sekali ?

Lita mendesah. Harapannya untuk dekat dengan Aksan sepertinya perlahan-lahan akan pupus.

Sejujurnya kehadiran Aksan benar-benar membawa banyak perubahan. Salah satunya kebiasaan Lita yang selalu mengumpulkan artikel tentang kematian Ronald. Beberapa berita telah ia kumpulkan dan membuat satu kliping dan ia kumpulkan di dalam sebuah ruangan. Kerap kali di waktu senggang Lita mengumpulkan, dan mulai mempelajarinya. Hanya saja ia hampir putus asa karena tidak menemukan sama sekali petunjuk.

Maka dari itu, setelah ia mendapat penjelasan dari Aksan mungkin salah satunya itulah yang membuat Lita mengabaikan lagi pekerjaan kecilnya yang mengumpulkan berita-berita tentang Ronald. Buat apa lagi ia mengumpulkannya ? Toh, ia sudah mendengar dengan jelas kejadian sebenarnya dari Aksan sendiri.

Lita yakin, Aksan adalah pria yang jujur.



“Ahhhhh... apa aku harus menelfonnya sekarang ?” setelah berfikir lama, Lita baru saja mendesah lalu bergumam sendiri.

Lita si cantik jelita. Karena hanya tinggal sendiri, ia sering hanya memakai kaos oblong tanpa Bra dan hanya CD tanpa celana pendek bagian bawahnya. Lita baru saja mengganti posisi dari berbaring, kini ia duduk bersandar di sofa sambil mengangkat dua kaki ke atas. Ia tak perduli meski selangkangan dengan cd berwarna putih terlihat begitu saja. Lagian gak ada orang lain juga di sini.

Dengan lengan kiri, Lita buat penopang wajahnya yang bersandar pada lutut. Sedangkan tangan kanan masih memegang ponsel.

Lama memikirkan kecamuk dalam hatinya. Akhirnya Lita memutuskan, jika ia harus berani menghubunginya. Maka dengan jari lentik, ia menyentuh tombol dial.

Tut ! Tut ! Tut !

Nada sambung terdengar. Beberapa detik, akhirnya sambungan telfon terputus. Lita mendesah, ada rasa sesak dalam dadanya. Lita yang malas meletakkan ponsel pada telinga, ia menyentuh tombol speaker di layar. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di samping, ia pun mendesah kesekian kalinya dan tak mengharapkan ponselnya terjawab oleh si pria di seberang setelah melakukan dua kali panggilan telfon sampai batas terdengar suara ‘seorang wanita’ – ‘Nomor yang anda hubungi sedang sibuk, silahkan meninggalkan pesan setelah nada berikut’ Tut ! Tut ! Tut !.

“Aku sudah tau bahwa dia gak bakal ngejawab telfon, tapi mengapa rasanya sesak gini ya ?” Lita berbicara sendiri.

Lita kembali berbaring dan meletakkan ponsel di lantai. Kepalanya miring melihat ponselnya dengan perasaan yang tak menyenangkan.

Terlihat kepalanya menggeleng, ia seakan merasakan keputusasaan mengharapkan untuk berbicara dengan Aksan lagi.

Maka dua bola mata yang sendu itu mulai terpejam sendiri. Ketika mata itu baru terpejam beberapa saat, ponselnya berdering.

Lita hanya menggerutu dalam hati tanpa membuka mata. Ini pasti telfon dari teman kampusnya, atau mungkin dari Dinda sahabatnya. Padahal dia ingin mengistirahatkan mata dan pikirannya sejenak, namun temannya mengapa mengganggunya.

Sayup-sayup pandangan Lita yang kabur karena kondisi mata setengah terbuka, ia mencoba untuk melihat layar ponsel dengan malas.



“A-aksaaann ?” jantung Lita hampir saja copot ketika melihat nama yang tertera. Ia langsung terbelalak, ngantuk yang sebelumnya langsung hilang. Tubuhnya yang berbaring langsung beranjak dan duduk sambil meraih ponsel.

“Ehem...”

“Test !” ia berbicara sendiri untuk memperbaiki suaranya sebelum menjawab panggilan telfon.

Selanjutnya Lita menjawab panggilan telfon. “Ha-halo... kak.”

“Ada apa menelfon saya tadi ?” suara Aksan terdengar.

“Lita Cuma pengen nelfon kakak saja”

“Ohh...”

Lama mereka terdiam. Baik Aksan maupun Lita seperti saling menunggu.

Lita mendesah, dan itu terdengar oleh Aksan di seberang.

“Kamu baik-baik saja ?” Aksan bertanya setelahnya.

“Ahhh... begitulah kak, Lita lagi banyak pikiran.”

“Karena Ronald ?” Mendengar itu Lita menggeleng pelan, meski Aksan tidak dapat melihatnya. “Kenapa diam saja ?” ujar Aksan selanjutnya ketika Lita terdiam kembali.

“Mungkin Lita butuh istirahat sedikit kak, biar otak Lita bisa kembali fresh !”

“Ohh kalau begitu silahkan istirahat, karena sepertinya saya telah mengganggu kamu.”

“Kakak tidak mengganggu Lita, justru adanya telfon kakak setidaknya sudah membuat perubahan perasaan Lita.”

“Ohh,”

“Kak.”

“Ya ada apa ?”

“Apa kakak sibuk malam ini ?”

“Iya.”

“Hufh udah bisa ketebak jawabannya. Maafkan Lita.”

“Iya gak apa-apa.”

“Kak... kapan Lita bisa bertemu kakak, lagi ?”

“Apa kamu lupa apa yang saya katakan waktu kita ketemu ?”

“I-iya kak, maaf Lita orang yang tidak tau diri.”

“...”

“Tapi setidaknya, Lita tidak akan pernah berhenti untuk menanyakan ke kakak... kapan kakak punya waktu untuk bertemu dengan Lita.”

“...”

Lita tau jika Aksan hanya diam menandakan jika ia sudah tak nyaman berbicara dengan Lita. Cuma bagi Lita, hari ini ia harus mengungkapkan segala apa yang sedang mengganggu pikirannya sejak beberapa hari ini.

Mungkin juga Lita tidak akan lagi punya kesempatan untuk sekedar mengungkapkan semua yang ia rasakan.

“Hanya sekali saja, Lita tidak akan lagi menuntut kakak untuk bertemu kedua kalinya. Izinkan Lita melihat wajah kakak. Izinkan Lita untuk mengobrol dengan kakak biar Lita bisa berbagi apa yang Lita rasakan... Dan juga, izinkan Lita untuk –“ Lita terdiam dahulu menahan kalimat terakhirnya. Setelah memikirkan untuk tetap mengatakan yang ia rasakan, maka setelah menarik nafas panjang. Lita melanjutkannya. “I-izinkan Lita untuk memeluk tubuh Kakak, melampiaskan perasaan ini kak... Perasaan yang sejak lama Lita pendam. Pelukan yang telah lama Lita tahan dan bahkan telah Lita kubur dalam-dalam setelah mengenal kak Ronald. Pelukan yang ingin Lita berikan pada pemuda yang dengan gentle nya berdiri di hadapan Lita sambil menanyakan nama dan juga nomor ponsel Lita. Seorang pria yang dari awal sudah mengambil perhatian Lita. Dia adalah kakak... kak Aksan, maafkan Lita jika Lita telah lancang mengatakan ini semua.”

“...”

Lita menarik nafas dalam-dalam setelah beberapa detik ia tak mendapat respon dari Aksan.

“Ahhhhhh ! lega rasanya kak.” Lita berucap lagi.

Lita berfikir sebentar lagi pasti Aksan akan menutup telpon, maka karena masih ada kesempatan maka Lita ingin mengatakan beberapa hal lain pada Aksan. “Lega banget... sudah mengatakan ini ke kakak. Jadi mungkin Lita gak perlu lagi bertemu kakak, hehehe... Lita ikhlas kok. Kalo perlu kakak ingin memutus hubungan ini, dan menganggap kita tidak saling kenal. Lita akan lakukan kak. Maafkan Lita jika selama ini sudah mengganggu kehidupan barunya kak Aksan. Sekali lagi Lita mohon maaf. Salam buat keluarga dan buat semua orang yang dekat dengan kakak.



Yang penting kak Aksan cukup tau,



Jika di belahan dunia ini, ada seorang gadis yang akan selalu merindukan kakak. Selalu berharap keajaiban untuk dapat memeluk kakak. Meski semua itu mustahil terjadi. Hufhh. Sudah ya kak, terima kasih sudah menelfon Lita. Selanjutnya Lita tidak akan mengganggu kakak lagi. Wassalam !”

Baru ingin memutus sambungan telfon, Aksan bersuara. “Besok... besok pagi saya menjemput kamu.”

Lita terdiam.

Jantungnya berdegub kencang. Apa ia tidak salah mendengar yang Aksan katakan barusan ? “Ma-maksud kakak ?”

“Mari bertemu besok pagi.”

Segaris senyum terpapar di wajah Lita setelah dengan jelas mendengar apa yang di katakan Aksan. Sungguh hatinya langsung berubah yang awalnya sedih menjadi bahagia. Bahagia dapat mendengar ajakan langsung dari Aksan untuk bertemu.

“Ka-kakak serius ?”

“Kalau kamu keberatan, baiklah... saya tidak akan memaksa.”

“Li-lita akan menunggu kakak.”

“Ya sudah selamat malam.”

Sambungan telfon terputus. Lita terdiam sesaat, senyum bahagia terkembang. Ia lalu segera beranjak menuju ke kamar untuk mencari pakaian yang dapat ia pakai besok bertemu dengan Aksan.



-000-



Dinda sahabat Lita, kerap kali memperhatikan perubahan pada sahabatnya itu.

Seperti yang terjadi saat di kampus tadi. Dinda yang juga dua hari lalu melakukan hal yang di luar akal sehatnya, adalah mencium bibir Aksan sungguh selalu membuatnya sulit untuk memejamkan mata di malam hari. Memperhatikan Lita ada secuil rasa sesak dalam dadanya. Apakah perubahan sikap Lita ada hubungannya dengan Aksan ? Dinda bertanya dalam hati.

Hari ini adalah hari jumat. Besok kampus akan libur selama dua hari. Sebetulnya Dinda telah mengajak Aksan kemarin untuk menghabiskan waktu bersama saat libur. Namun sebelum ia mendapat jawaban penolakan dari Aksan, sebetulnya Dinda sudah persiapkan diri. Dinda sadar posisinya masih belum ada artinya dalam hati Aksan. Meski ia mencium Aksan malam itu, sikap Aksan setelahnya seperti biasa saja.

Dinda sempat mengingat kejadian kala selesai mengantarnya pulang.

“Aksan... lo sibuk gak besok ?”

“Saya sibuk.”

“Ohhh padahal gue pengen ajakin lo jalan.”

“No thanks. Saya tidak punya waktu.”

“Huffff... kenapa sih sikap lo dingin gitu ma gue. Padahal kan kita udah.. hmm !”

“Jangan ingatkan saya kejadian itu lagi, mengerti ?”

“Iya... maaf.”

“Oke. Ada lagi ? kalau tidak ada, saya akan pergi.”

“Ya sudah. Hati-hati.”

“Oke.”

Kata-kata Aksan seharusnya seperti biasa juga. Adalah kalimat yang menyakitkan bagi gadis yang tidak mengenal Aksan, Cuma berbeda dengan Dinda. Dia mengenal Aksan. Bahkan kalimat menyakitkan dari Aksan bukan hal pertamakalinya Dinda dengar.

Ingatan malam itu kembali berputar di pikiran Dinda.

.

.

Bibir Dinda menempel beberapa saat. Dinda benar-benar melampiaskan seluruh rasa yang selama ini ia pendam. Meski ia sadar Aksan hanya diam, tapi Dinda tetap meresapi rasa bibir si pria. Yang anehnya Aksan tetap membiarkan lidah Dinda menjelajah dalam mulut.

Setelah merasa cukup Dinda melepas bibirnya.

Dinda lalu menunduk sambil memegang bahu Aksan.

“Ma-makasih... makasih sudah membiarkan gue nyium lo, Aksan.” gumam Dinda pelan.

“...” Tak ada balasan dari si pria.

“Gak tau, malam ini gu-gue merasa seperti gue bakal kehilangan lo...”

Terdengar desahan si gadis setelah mengatakan itu.

Aksan hanya geleng kepala, lalu melepas pegangan Dinda pada bahunya.

“Lain kali jangan melakukan kesalahan seperti ini, karena saya tidak menyukainya.” Suara Aksan terdengar jelas. Dinda menahan nafas sambil mengangkat wajah memandang wajah Aksan.

“Ma-maksud lo ?”

“Saya tidak menyukai cara anda mencium saya,”

“Lo ?”

Aksan berlalu begitu saja meninggalkan Dinda yang berdiri diam tanpa kata memandangnya. Dinda pun menarik nafas dalam-dalam, ia merasa sedih dan sesak Cuma kedua matanya berhasil tidak mengeluarkan air mata.

Menurut Dinda, ini bukan akhir. Aksan bersikap seperti ini, karena memang sudah karakternya.



-000-



Jam 10 pagi Aksan sudah menunggu di parkiran. Setelah mengabari Lita jika ia telah tiba, maka Aksan menunggu sambil menikmati sebatang rokok. Sebetulnya tanda tanya besar yang berada dalam benak Aksan, mengapa dia semalam begitu bodoh mengatakan untuk mengajak Lita hari ini ? Yang lebih bodohnya lagi, mengapa dia tetap datang menjemput si gadis sepagi ini ?

Pertanyaan itu sejak semalam Aksan tak dapat menemukan jawabannya. Dia hanya mengikuti keinginan dari hati kecilnya saja. Tidak ada salahnya juga, sambil sekedar reuni bersama Lita.

Mengenang masa-masa dulu waktu mereka bertiga masih lengkap.

Ketika tersadar Aksan memandang ke depan. Seorang gadis melangkah ke arahnya. Adalah Lita yang pagi ini memakai pakaian casual. Baju kaos berenda di leher, juga beraksen bunga. Bawahan dengan jeans. Sebuah tas kecil menggantung di lengan kanan. Rambut ia ikat, rias wajah yang juga tampak sederhana. Ketika mereka saling memandang, si gadis melempar senyum.

Beberapa detik perhatiannya penuh pada si gadis hingga posisi si gadis itu sudah berjarak 2 meter darinya, barulah Aksan tersadar. “Ehem” Aksan berdehem sekali.

“Ke-kenapa kak ?” Lita bertanya karena sempat di tatap oleh pria itu. Pikir Lita, apakah ada yang salah dari cara ia berpakaian ? Dengan sendirinya ia melihat pada penampilannya sesaat.

“Gak... Ayo !” balas Aksan sambil mengajak Lita masuk ke mobil.

Mobil berjalan meninggalkan appartmen Lita. Sepanjang perjalanan rupanya salah satunya belum berniat mengatakan sesuatu. Maka kondisi kabin sunyi senyap beberapa menit.

Meski tak berucap, Cuma sesekali Lita mencuri pandang pada pria di sampingnya.

Ingatannya berputar dengan kejadian semalam ketika mereka sedang telponan. Mengingat kecerobohan dan keberaniannya mengatakan banyak hal pada Aksan, membuat Lita menggigit bibirnya sendiri dengan wajah yang memerah. Ia menggerutu dalam hati menyalahkan dirinya.

Wajah bagaikan udang rebus, seakan tak sanggup bertahan lama duduk di samping Aksan. Mendesah, nafas yang ketika di tarik terasa sesak. Ada rasa malu yang tertinggal.

Aksan mengetahui sikap Lita yang aneh, menoleh ke samping. “Beda ya, ketika kamu di telfon sama ketemu langsung.”

“Ma-maksud kak Aksan ?”

Aksan mengangkat alisnya satu sambil menatap Lita.

“Apa perlu saya ulangi lagi ?” gumam Aksan. ada senyum tertahan di wajahnya ketika mendapati wajah Lita yang memerah.

“Eh ! janganlah... malu dong kak.” Duhh ! Lita memekik dalam hati. Mengapa ia mengatakan hal itu ? Mengapa dia terus terang kalau dia sedang malu ?

Wajahnya menoleh ke kaca jendela. Tak lagi berani berpandangan dengan Aksan.

“...” Lita sengaja diam. Aksan juga diam.

Menyadari mobil mengarah ke salah satu tempat keramaian ibu kota. Lita mengernyit lalu memberanikan diri menoleh pada Aksan.

“Mau kemana kak ?”

“Hmm, yang sejak tadi saya pikirkan adalah mengajak kamu ke ancol. Sebetulnya saya juga bingung mau kemana, gak ada tujuan sama sekali.”

“Ohh gitu.”

“Kamu sudah sarapan ?” Aksan bertanya.

“Belum.” Lita menjawab sambil menggelengkan kepala.

“Bagaimana kalau kita sarapan saja dulu, nanti kita pikirkan mau kemana lagi selanjutnya.”

“Hehehe oke deh. Lita ikut kemana aja kakak ajak.”

“Hmm, kemana saja ?” Aksan bergumam dengan nada tanya.

“Hu um ! eh, ke-kenapa kakak natap Lita kek gitu lagi ?” Lita tersadar jika ia sedang mendapat tatapan lagi dari Aksan, bertanya.

“Gak apa-apa.”

“Uhhh ! kirain.”

“...”



-000-



“Sepertinya Tedi masih hidup, tuan ?” Merdin baru saja menghadap ke ruangan Pak Raharjo. Pagi ini ia baru saja mendapat telfon dari Tedi, dan mengatakan jika dirinya sedang berada di tangan lawan. Juga, Tedi mengatakan jika ia di paksa oleh Pak Barsono adalah kawan beserta musuh Pak Raharjo, untuk menelfonnya. Entah apa maksud dan tujuan Pak Barsono, yang jelas tidak mungkin tidak ada maksud.

“Hmm, lalu ?”

“Hanya itu saja tuan. Kami juga sempat melacak location, tapi rupanya titik location berada persis di ruangan ini”

“Ya pasti. Karena mereka jelas menggunakan fake GPS seperti yang Aksan pernah jelaskan ke kita.”

“Jadi apa yang harus kami lakukan tuan ?”

“Hmm... coba kamu nelfon Aksan, tanyakan dia kemana. Sepagi ini sudah pergi tanpa mengatakan kepada kita.” Kata Pak Raharjo yang sempat melihat kepergian Aksan sejam yang lalu. “Ajak dia siang ini untuk berbicara di ruangan saya, mungkin dia bisa memberikan saran langkah apa yang akan kita ambil.”

“Dia sudah menelfon ke saya tuan, katanya dia ada keperluan hari ini. Tapi jika memang ada hal urgen saya bisa memanggilnya sekarang juga.”

“Keperluannya penting atau ?”

“Saya tidak paham tuan, tapi jika Aksan menelfon dan mengatakan ingin keluar. Berarti menurut saya memang ada hal penting yang ingin ia lakukan hari ini.”

“Oh begitu. Berarti kita tunda dulu pertemuan kita hari ini, jangan ganggu urusan dia. Karena saya paham betul kalau kita memaksa dia untuk datang sekarang, mungkin dia tidak akan mengindahkan perintah kita. Ini opini saya, Merdin.”

“Betul tuan.”

“Ya sudah kamu lebih baik perketat penjagaan pada Dinda, jangan biarkan pengawal kurang dari 4 orang mengawalnya. Dan juga jangan biarkan dia pergi meninggalkan rumah tanpa ngomong tujuannya kemana.”

“Untuk non Linda bagaimana ?”

“Linda pasti tidak akan keluar rumah hari ini, kebiasaan dia ketika libur selalu bermalasan di kamar.”

“Baik tuan.”

“Setelah urusan Aksan selesai, maka ajak dia untuk bertemu. Silahkan atur tempat kita bertemu nantinya.”

“Baik tuan.”

“Oke... saya lagi ingin istirahat. Jika tidak ada lagi, kamu bisa lanjutkan”

“Oke tuan.”



-000-



“Bagus.. sepertinya kamu benar-benar dapat di andalkan.” Pak Barsono baru saja berkumpul dengan Andy dan Jenifer. Di depan meja kerjanya, Tedi tampak berdiri dengan sikap tenang melaporkan apa yang telah terjadi.

Andy memandang Tedi. Ekspresinya begitu tenang.

“Oh iya, terus habis ini mau ngapain nih ?” Jenifer berucap dan bertanya pada Pak Barsono.

“Andy.. bagaimana ?”

“Ijinkan aku bertanya dahulu, apa bos hanya menginginkan bertemu saja dengan dia ?” Andy bertanya.

“Seharusnya iya, dan saya rencana akan membujuknya untuk bergabung bersama kita.”

“Hmm, sepertinya aku tidak yakin dia akan menyetujuinya.” Gumam Andy. Matanya lalu memandang pada Tedi. “Seberapa sering kamu bertemu dengan dia ?” Andy kini bertanya pada Tedi.

“Setiap hari, bos Andy.”

“Hmm, ada gambaran yang lain selain yang kamu jelaskan sebelumnya ?”

“Yang aku tau sih, dia selama ini selalu menjaga putri bungsunya si Pak Raharjo. Gak tau kalau yang lain, bos.”

“Apa perlu kita menangkap gadis itu lagi, bos ?” tanya Andy pada Pak Barsono.

“Menurut kamu apa perlu menggunakan dia untuk memancingnya ?”

“Hmm... kali ini biarkan aku mengcheknya sendiri.” Kata Andy.

“Good ! emang seharusnya kamu sendiri yang lakukan. Hahahahaha”

“Perlu gue bantu gak, Ndy ?” tanya Jenifer.

“Tidak perlu. Cukup aku sendiri saja melakukannya.”

Jenifer menghela nafas. Ia lalu tak lagi memandang Andy.

“Kalo begitu aku pergi sekarang bos.” Kata Andy selanjutnya. “Dan kamu Tedi, juga pergi melakukan hal yang aku jelaskan ke kamu tadi. Jangan ada kesalahan, mengerti ?”

“Mengerti bos Andy.”

“Oh ya namanya Aksara Santoso, kan ?” tanya Andy pada Tedi.

“Iya bos. Panggilannya Aksan.”

“Hmm seperti tidak asing nama itu, baiklah kita pergi sekarang juga.”

“Oke.”

“Good Luck !” Pak Barsono berucap pada Andy dan Tedi. Sepeninggalan mereka berdua, Pak Barsono lalu memandang pada Jenifer yang duduk bersandar di sofa.



“What happend bos ?”

“Hmm, menurut kamu apa yang bagus kita lakukan jika berdua seperti ini ?” Ada tatapan penuh arti dari Pak Barsono.

“Waduh gue ngerti maksud si bos... Tapi. Hehehe, maafkan bos... kebetulan hari ini gue lagi palang merah.” Ujar Jenifer sambil terkekeh.

Pak Barsono mendengus kesal. “Buat apalagi kamu disini, mending kamu tinggalkan ruangan saya sekarang juga.”

“Ya elah si bos. Hehehe, ya sudahlah. Gue balik appartemen dulu bos.”

“Oke !”



-000-



Setelah selesai sarapan Aksan berjalan bersama Lita keluar dari sebuah rumah makan bubur ayam yang cukup terkenal. Sesampainya di parkiran, Aksan lalu menahan Lita sesaat. “Kamu masuk dulu.” Ujar Aksan ketika menyadari sesuatu.

“Ada apa kak ?”

Aksan menggeleng sesaat. “Tidak ada apa-apa, kamu masuk sekarang ke dalam mobil.”

“Ba-baik kak.” Ujar Lita.

Setelah Lita berada di mobil, Aksan lalu berjalan mendekat pada pohon besar tak jauh dari parkiran mobil.

“Keluarlah. Buat apa bersembunyi di situ ?” kata Aksan karena ia mengetahui jika ada seseorang yang sedang memata-matai.

Seorang pria bertopi baru saja keluar dari persembunyiannya. Ia tersenyum menyeringai menatap pada Aksan.

“Rupanya benar lo ya.” Ujar si pria misterius.

“Anda mengenal saya ?”

“Secara langsung tidak, hanya saja kamu sudah menjadi target gue selama beberapa tahun belakangan ini. Hanya saja gue terkejut pas mengetahui kabar jika lo dah tewas duluan.”

“Anda siapa ?”

“Gue ? Hahahaha, lo gak perlu tahu siapa gue... yang je-“ Belum sempat si pria misterius menyelesaikan perkataannya, Aksan sudah bergerak maju memberi serangan padanya. Bugh !” Anjenggggg...” dadanya terkena tendangan keras dari Aksan tanpa sempat menghindar.

Tanpa berbicara, Aksan bergerak cepat. Satu pukulan dari si pria misterius, dapat di block oleh Aksan. Lalu Aksan menunduk sambil menghajar di dada si pria misterius untuk ke dua kalinya.

Si pria misterius terdorong ke belakang dengan sedikit perih di dada.

“Hoho rupanya lo hebat juga, sesuai dengan yang gue perkirakan.” Ujar si pria misterius. Ia lalu mengeluarkan sebuah belati dan memain-mainkannya sesaat.

Aksan tetap diam.

Dia lalu bergerak maju. Sebuah tendangan dengan cara memutar, dapat di hindari oleh si pria misterius. Ia menunduk lalu ingin memberi serangan balasan, namun gerakan Aksan lebih cepat darinya. Aksan mengelak ke samping, lalu sebuah pukulan tiba-tiba di block kembali oleh Aksan dengan lengan kanan.

Pukul, tangkis, pukul, menghindar. Begitu seterusnya. Aksan dengan mudahnya menghindari setiap serangan dengan belati dari si pria misterius. Mereka berkelahi dengan jarak dekat, Aksan yang menguasai penuh pertarungan jarak dekat tanpa menunggu lagi segera menangkap di lengan lalu menekuknya hingga terdengar suara ‘Krek !’

“Argggghhhhhhh !” Pemuda misterius teriak, tapi mulutnya langsung di bungkam oleh Aksan dengan sebuah hantaman keras. Aksan tak ingin memberikan ruang padanya.

Pukulan bertubi-tubi Aksan berikan, hingga membuat pria misterius tersungkur di tanah dengan kondisi mulut berdarah dan beberapa lebam di bagian wajah.

Aksan lalu menarik kerah baju si pria misterius dengan tangan terkepal yang akan memberikan pukulan terakhir. “Katakan... anda siapa ?”

“Tenang saja, gue hanya punya urusan ma lo.”

Bugh ! Satu hantaman keras lagi di wajah si pria misterus.

“Anjengggg ! uhuk ! uhuk !”

“Cepat katakan, siapa yang menyuruh anda ?”

“Kami punya kode etik untuk tidak mengatakan siapa klien yang menyewa jasa kami.”

“Oh berarti kamu assassin ?”

“Yap benar.”

Bugh !

“Woi uhuk ! uhuk ! brengsek, kenapa lo mukulin gue lagi ?”

Bugh !

“Sakit anjeng !”

“Ternyata anda takut sakit juga.”

“Uhuk ! Uhuk ! mending lo bunuh gue sekarang, dari pada nanti lo menyesal”

“Menyesal ?”

“Iya.”

“Bugh !

Berulang-ulang wajah si pria misterius mendapat hantaman dari Aksan hingga tampak wajahnya sudah membengkak dan di penuhi darah segar.

“Rupanya anda cukup kuat menerima pukulan berulang-ulang.”

“Bangsaaaattt ! uhuk uhuk.”

“Mengapa anda tidak bergabung saja bersama saya ?”

“Bergabung ? buat apa ?”

“Untuk hidup lebih layak. Dan saya pastikan anda akan mendapat posisi terbaik nanti.”

“Kenapa lo percaya diri gitu, apa lo tau berapa duit yang gue dapat menjadi pembunuh bayaran. Huh !?”

“Tidak tahu, dan saya juga tidak mau tahu.”

“Apa yang harus gue kerjakan nanti kalo gue join ma lo ?”

“Gak ada... cukup membantu saya saja,”

“Nanti gue pikirkan.” Ujar si pria misterius.

“Oke... anda tahu harus bertemu dengan saya dimana kalo sudah memutuskannya kan ?”

Si pria misterius memandang pada Aksan, lalu ia memandang pada mobil Aksan yang terparkir.

Ia menyeringai sesaat. “Kecuali lo gak ke tempat dia lagi.”

“Ohh tentu saja anda akan selalu bertemu dengan saya di tempat dia, setelah hari ini.”

“Hufhhh ! baiklah... gue mengaku kalah, bisa lepasin gue gak ?”

“Oke no problem. Silahkan pergi dari sini.”

“Oke... tunggu pembalasan gue.”

“Yayayaya, saya akan menunggunya.”

Sepeninggalan pria misterius, Aksan berjalan menuju ke mobil sambil menepuk-nepuk bajunya menghilangkan debu.

“Dari mana kak ?” Lita bertanya ketika Aksan masuk ke mobil.

“Ohh.. ada sedikit keperluan.”

“Keperluan ?” Lita menoleh ke belakang, dia tidak menemukan apapun.

“Ada teman tadi, tapi orangnya sudah pergi lagi.”

“Ohh...”

“Jadi kita kemana lagi ?”

Lita melihat jam, rupanya waktu sudah menunjukkan jam 12 siang.

“Kak mau ke mall gak ?”

“Ngapain ?”

“Ke sana aja, kalo gak enak kita cari tempat lain lagi. Hehe”

“Ya sudah.”

“Loh kok ?” Lita mengira Aksan akan menolak, rupanya Aksan langsung menjalankan mobil tanpa sedikitpun melakukan protes atas keinginan Lita ke mall.

.

.

Di mall rupanya kondisi tidak terlalu ramai. Mungkin karena baru sejam buka. Setelah memarkir mobil Aksan bersama Lita berjalan bersama.

Obrolan terjadi. Mereka kadang tersenyum ketika membahas hal kecil. Begitu seterusnya. Lita merasa bahagia bisa bersama, bahkan sudah sejauh ini Aksan tak menyinggung hal-hal menyakitkan lagi baginya.

Mereka pun sempat melihat-lihat baju di beberapa outlet dengan merk terkenal. Hanya melihat saja, tapi belum ada niat untuk membeli. Hingga mereka ingin melewat pada sebuah tempat bermain bertuliskan ‘Timezone’ di depan pintu masuk.

“Mau main gak kak ?” tanya Lita sambil tersenyum. Aksan melihat ekspresi penuh harap dari si gadis, pun mengangguk.

“Makasih kak.” Sejauh ini Aksan menemani Lita, memang sekedar membunuh waktu suntuknya. Lagian juga dia tidak ada kerjaan, dan belum ada info apapun baik dari Merdin maupun dari Pak Raharjo.

Masuk di dalam, Lita segera membeli koin untuk bermain.

“Hehehe yuk kak.” Lita lalu menarik lengan Aksan untuk ke salah satu permainan.

“Btw kakak pernah main gini sebelumnya gak ?”

“Kamu pikir saya berasal dari desa ya ?”

“Hehehe gak sih. Kali aja hidup kakak di penuhi keseriusan melulu.”

“Tidak juga, saya sering main ginian dulu.”

“Wahh berarti kakak jago dong mainnya ?”

“Tidak juga, tapi bisa dibuktikanlah.” Balas Aksan sambil membalas senyum Lita.

“Kalo Lita malah pernah kerja di tempat ginian, Cuma dua bulan doang pas lagi libur kuliah.”

“Ohh.”

Mereka berhenti berjalan setelah tiba di depan kotak terbuat dari kaca. Di dalam kotak terdapat banyak boneka. Melihat tatapan Lita pada sebuah boneka lucu, membuat Aksan menyeringai.

“Pinjam koinnya.” Kata Aksan meminta koin pada Lita.

“Emangnya kakak bisa main ini ?”

“Hmm... menurut kamu ?”

“Hehehe Lita suka boneka itu kak,” kata Lita sambil menunjuk boneka beruang.

“Oke.” Aksan lalu memasukkan koin, ia memegang tangkai lalu memainkannya. Di dalam kotak kaca, sebuah batang besi dengan tiga cakar di bawahnya sudah bergerak ke arah boneka yang di inginkan Lita.

“Ya ya... boneka itu kak.” Ujar Lita.

Aksan tak berbicara. Dia menyeringai, dan yakin akan mendapat boneka itu. Klik ! setelah yakin, Aksan lalu memencet tombol merah di samping tuas. Cakar besi itu turun lalu mencengkram pada boneka. Cuma tampak jelas cengkramannya tidak kuat, sehingga ketika Aksan mengangkatnya dengan mudah boneka itu terlepas.

“Uhhhh sayang banget ya kak.”

Aksan diam saja.

Dia menjulurkan tangan ke Lita dengan posisi telapak tangan ke atas. Lita memahami jika Aksan menginginkan 1 koinnya lagi. Lita memberikannya.

“Pelan-pelan aja kak, ayo kak Aksan... kakak pasti bisa.” Lita mencoba memberikan semangat pada Aksan. tapi yang di berikan semangat masih saja menyeringai sambil mencoba kedua kalinya.

Gagal lagi !

Ekspresi Aksan mulai berbeda.

Seakan menahan malu, dan menahan emosi.

Dia meminta koin ketiga pada Lita.

Lita pun tanpa protes memberikan pada Aksan.

“Ayo kak... semangat kak Aksan, kalo kakak berhasil Lita bakal cium kak. Eh !” setelah mengatakan itu, pipi Lita terasa panas. Dia melirik pada Aksan, rupanya si pria sedang sibuk dengan mainan mengambil boneka.

Besi cakar tiga itu mulai mencengkram boneka yang sama. “Yang ini kan ?” kata Aksan memastikan pada Lita.

“Iya kak. Hehehe !”

“Oke... ini pasti berhasil” ujar Aksan dengan penuh percaya diri.

Lita hanya menahan senyum. Apalagi menyadari jika Aksan sangat kesal dengan mainan ini.

Pada hitungan ketiga, cengkraman terlepas dan boneka hanya bergerak sedikit saja. “Bangsaaatttt !” Aksan akhirnya mengumpat. Brak ! lalu menghantam dengan pelan kotak kaca itu.

“Eh kak... pelan-pelan, ntar pecah bisa gawat.”

“Biarin pecah, paling di suruh ganti kok”

“Duhhh, udah deh... biar Lita yang coba main kak.”

“Saya saja gagal, gak mungkin kamu berhasil. Sudahlah, kita cari permainan lain. Menurut saya mesin mainan ini lagi rusak.”

“Iyakah ?” melihat wajah Lita dengan senyum tertahan, membuat Aksan mendengus pelan.

Tanpa menunggu lama, Lita mulai bermain.

Sambil melirik wajah Aksan yang menahan kesal, Lita mulai menggerakkan tuas. Setelah merasa pas, Lita lalu menekan tombol merah.



“Yesssss berhasil.” Ujar Lita ketika berhasil melakukannya. Boneka beruang kecil, keluar dari lubang di bawah tuas.

Ekspresi Aksan makin tak mengenakkan di pandang.

Lita lalu menyenggol lengan Aksan sambil terkekeh. “Rupanya tidak semua hal yang bisa kakak lakukan ya. Hehehe !”

“Kebetulan saja kamu lagi beruntung.”

“Hehehe, iya deh Lita ngalah. Anggap boneka ini kakak yang berhasil mengambilnya.”

“No thanks. Saya tetap mengaku kalah.”

“Ya udah yuk kak, masih mau main mainan lain gak ?”

Ketika Aksan melihat sebuah mainan dengan dua senjata, dengan layar yang besar seringaian kembali tampak di wajahnya.

“Main itu saja.” ujar Aksan menunjuk permainan itu.

“Ohh itu kak... oke deh.”

Aksan dan Lita berjalan menuju ke tempat itu.

“Bagusnya sih main berdua kak.”

“Begitu ?”

“Iya...”

Menurut Aksan ini adalah permainan tembak menembak. Jangankan main game, di dunia nyata saja Aksan dapat menembak dengan ketepatan mengenai sasaran bisa di angka 99%.

Dengan penuh kepercayaan diri, ia menyeringai dan mulai memegang satu senjata.

“Sudah siap kak ?”

“...” Aksan tak menjawab. Tapi anehnya, mengapa dia tiba-tiba merasa gugup ?

“Are you ready ?” Lita lalu bersuara setelah memasukkan 2 koin.

Layar mulai menampilkan gambar game tersebut. Di layar ada dua senjata menghadap ke depan. Sisi kiri ada Aksan, sisi kanan adalah Lita.

Permainan di mulai.

Beberapa orang muncul tiba-tiba dan mereka berdua langsung mengarahkan senjata pada orang-orang itu.

Door !

Door !

Yang anehnya. Aksan merasa arah peluru dan senjata tidak sesuai. Di tembak kemana, yang kena yang mana.

Tapi dia tetap yakin, akan menunjukkan kemampuannya menembak pada Lita. Aksan sempat menoleh ke Lita, rupanya gadis itu sangat santai menembak musuh-musuh, sedangkan Aksan tadi sempat beraksi seperti di dunia nyata. Seperti style menembak dia ketika bertemu dengan musuh sungguhan. ‘Banyak Gaya;

“Kak awas... jangan kebanyakan melamun, tuh kakak kena tembak. Darah kakak tinggal setengah tuh.”

Benar saja, Aksan merasakan getaran kuat di senjata yang ia pegang. Maka ia kembali memandang ke layar, dan mengarahkan senjata pada musuh berikutnya.

Begitu seterusnya.

Hingga Aksan harus menerima darah di layar atas telah habis. Artinya Aksan harus kalah dengan Lita dalam permainan ini. Sedangkan Lita hanya meliriknya saja sambil tersenyum.

Aksan menaruh senjata itu lalu berjalan meninggalkan Lita yang masih sedang bermain.

“Lah kok pergi.” Gumam Lita. Ia pun tak melanjutkan permainan itu, sambil mengejar langkah Aksan.

“Kaaaak tungguin Lita”

Aksan hanya menoleh ke belakang, lalu melambatkan langkahnya agar Lita dapat mengejarnya.

“Kok kakak pergi sih. Kan koinnya masih banyak.”

“Sudahlah. Nanti saya ganti duit kamu yang buat beli koin tadi.”

“Uhhh gak usah kak, santai aja.”

“Sepertinya semua permainan di tempat tadi, tidak masuk akal. Tidak sesuai dengan yang sebenarnya.”

“Maksud kakak ?”

“Sudahlah... lupakan saja.”

“Hehehehe Lita senang banget liat kak Aksan kesal kayak gini.”

“...”

“Hehehe... btw mau kemana lagi kak ?” tanya Lita.

Aksan hanya menggerakkan bahu tanpa berucap.

Lita juga tidak lagi bertanya, ia diam sambil melangkah di samping Aksan.

Setibanya di depan pintu mall, Lita memegang lengan Aksan.

Aksan menghentikan langkah sambil menoleh ke samping. “Ada apa ?”

“Jangan antar Lita pulang dulu, boleh gak kak ?”

“Yang mau mengantar kamu pulang siapa ?”

“Hehehe makasih kak.”

Aksan mengangguk. ia membiarkan Lita tetap menggandeng lengannya sambil berjalan ke parkiran.

Di dalam mobil.

“Kak...”

“Ya.”

“Besok hari minggu kan.”

“Ya.”

“Kakak ada kerjaan gak ?”

“Gak ada. Kenapa ?”

“Hmm, ini kalo boleh sih. Lita pengen main ke Bandung kak. Karena besok libur, sepertinya Lita pengen ajak teman-teman Lita aja. Hehehe tapi ntar aja, setelah kakak anterin Lita pulang aja” Lita berucap sambil melirik pada Aksan. Pandangan penuh harap pada Aksan.

“Bandung ?” Aksan membalas menatapnya sambil bergumam.



“Hu um... tapi kalo kakak gak izinkan, Lita gak akan pergi kok.”



“Bagaimana kalau perginya berdua saja dengan saya ?”
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd