Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG [B.O.T.S] Menikmati Sherly, Sang Sekretaris (TAMAT)

Bimabet
Ikut nongkrong disini nunggu update...
Raker-nya udah selesai om? ;)
 
Petualangan yg seru
 
Sesuai jadwal, kegiatan kami hari ini adalah acara wisata ke Merapi dan Candi Borobudur. Sekitar pukul setengah tujuh pagi, rombongan kantorku berangkat menuju lokasi dengan menggunakan dua bus ukuran sedang. Aku dan Sherly berada di dalam bus yang sama. Bus yang kami tempati tidaklah penuh, beberapa teman kantorku tidak ikut acara wisata, karena ada suatu hal yang harus mereka kerjakan.

Di dalam bus, aku duduk seorang diri di bagian tengah bus pada barisan kanan. Sedangkan Sherly juga duduk sendiri satu bangku di depanku pada barisan sebelah kiri. Kulihat dia sedang asik memainkan ponselnya.

“Kamu udah checkout?”, tulisku dalam aplikasi pesan ke Sherly.

“Udah kok Mas”, balasnya.

“Tadi ditanya-tanyain ngga?”, tulisku.

“Iya. Ditanyain tidur dimana. Aku bilang aja buka kamar sendiri”, balasnya lagi.

“Ngga ada yang curiga?”, tanyaku.

“Ngga ada kok Mas. Cuma pada nanya kenapa buka kamar sendiri. Trus aku jawab daripada tidur umpel-umpelan”, balas Sherly.

“Bagus deh kalo gitu. Aku tidur dulu ya. Ngantuk”, tulisku.

“Sama aku juga”, balasnya lagi.

Aku pun memutuskan untuk tidur terlebih dahulu, mengingat sudah dua malam ini jam tidurku kurang. Lumayan ada waktu sekitar satu jam setengah sebelum tiba di lokasi wisata Merapi.

Sesampainya di lokasi wisata, rombongan kami dibagi dalam beberapa kelompok. Masing-masing kelompok mendapatkan mobil jip untuk wisata offroad. Aku dan Sherly tidak satu kelompok. Sehingga selama wisata di Merapi, kami berdua tidak berinteraksi sama sekali.

Waktu sudah lewat tengah hari waktu rombongan kami siap berangkat ke tempat wisata selanjutnya. Di dalam bus, Sherly mengirimkan pesan kepadaku. “Mas nanti pulang naik apa?”, tulis Sherly.

“Naik pesawat jam tujuh malam”, balasku. “Kamu naik apa? Bareng yang lain?”, tanyaku.

“Iya Mas bareng-bareng. Naik kereta jam delapan”, jawabnya.

“Kamu ikut aku aja yuk?”, tulisku.

“Engga ah, mahal”, balas Sherly.

“Aku yang bayar kok”, balasku.

“Ngga usah Mas. Beneran deh”, balas Sherly lagi.

“Gapapa Cantiik, kan biar bisa berduaan ama kamu”, tulisku disertai emoticon mencium.

“Ngga ah, kalo naik pesawat kan cuma sebentar berduannya”, balasnya.

“Emang kamu maunya lama berduaannya?”, tanyaku lagi.

“Iya”, jawabnya singkat. “Aku juga mau jalan-jalan ke malioboro dulu”, lanjutnya.

“Sama siapa?”, tanyaku.

“Sendiri kayanya”, jawab Sherly.

“Aku temenin mau?”, aku menawarkan diri.

“Mau. Tapi kan Mas pulang duluan”, balasnya.

“Aku juga naik kereta aja deh. Tapi jangan barengan sama yang lain. Kan nanti duduknya ngga bisa sebelah-sebelahan sama kamu”, tulisku.

“Trus tiket pesawat Mas gimana? Angus dong?”, tanya Sherly.

“Gampang itu mah”, balasku.

“Jangan gitu Mas. Sayang angus gitu”, tulis Sherly.

“Lebih sayang sama kamu hehehe”, balasku disertai emoticon tersenyum lebar.

“Iiihh dia mah bikin baper”, balasnya ditambah emoticon tersipu-sipu.

“Tapi suka khaann”, balasku dengan emoticon meledek. “Nanti kita turunnya bareng yang lain di stasiun ya. Trus titip tas kita di sana”, lanjutku lagi.

“Iya Mas”, balas Sherly.

“Aku pesenin kalo gitu. Naik kereta yang jam sepuluh aja ya, biar ada waktu buat jalan-jalannya”, tulisku.

“Terserah kamu Bebh”, balas Sherly.

Lalu aku memesan tiket kereta untuk kami berdua secara online. Di hari Sabtu malam, jumlah penumpang kereta yang sudah terpesan tidaklah banyak, aku bisa dengan leluasa mencari tempat duduk. Aku memilih tempat duduk di kereta ke tujuh, dua kereta paling belakang, karena kulihat baru terpesan sekitar tujuh tempat duduk. Kupilih dua tempat duduk di bagian tengah kereta.

Tidak lama kemudian bus yang membawa rombongan kami tiba di rumah makan yang dipesan pihak penyelenggara tur untuk makan siang. Setelah selesai makan siang, rombongan kami pun kembali melanjutkan perjalanan menuju obyek wisata Candi Borobudur.

Selama di Borobudur, beberapa kali aku berinteraksi dengan Sherly. Sesekali menggodanya seperti layaknya teman sekantor. Kami berdua bersikap seolah-olah tidak ada hubungan khusus.

Bus yang kami naiki mulai beranjak meninggalkan Candi Borobudur sekitar pukul setengah empat sore. Kondisi lalu lintas menuju dan di Kota Yogyakarta di hari Sabtu sore sangatlah tidak bersahabat. Kepadatan lalu lintas terjadi di mana-mana.

Hampir jam setengah delapan malam bus yang kami tumpangi tiba di Stasiun Yogyakarta. Hal ini membuat rombongan kami sedikit panik karena waktu yang terbatas dan sebagian dari mereka belum membeli buah tangan untuk keluarganya di rumah. Kesempatan ini kumanfaatkan untuk pamit kepada ketua rombongan kalau aku tidak berangkat bersama-sama rombongan. Kulihat Sherly sudah melalukan itu sebelum aku.

“Ketemu di mana Mas?”, Sherly mengirim pesan kepadaku.

“Tunggu di pintu perlintasan depan stasiun aja”, jawabku.

“Barang-barang kamu titip dimana?”, tanyaku ke Sherly.

“Di stasiun aja Mas. Ada tempat penitipan barang kok di sini”, jawab Sherly.

“Sebelah mana?”, tanyaku lagi.

“Di tengah-tengah stasiun Mas. Ini aku lagi di sini”, jawab Sherly.

Tanpa membalas pesan dari Sherly, aku langsung menuju tempat penitipan barang. Di perjalanan, aku berpapasan dengan Sherly. Dia tersenyum padaku dan kubalas senyumannya. Saat jarak kami berdekatan, kuberikan tanda ke Sherly untuk duluan ke tempat pertemuan kami.

Setelah menitipkan sebagian barang-barangku di tempat penitipan barang, aku melangkah menuju lokasi pertemuan yang telah dijanjikan. Sherly sudah berada di tempat pertemuan. “Yuks”, sahutku sambil menggandeng tangan kanan Sherly untuk menuju kawasan Malioboro.

Aku ajak Sherly untuk makan malam terlebih dahulu di tempat makan lesehan di emperan jalan Malioboro. Kupilih tempat yang tidak terlalu jauh dari stasiun, agar nanti tidak terlalu terburu-buru mengejar kereta. Selama di Malioboro, Sherly tampak senang sekali. Kami saling bersenda gurau layaknya pasangan yang sedang dimabuk asmara. Wajahnya terlihat sumringah, membuat wajahnya yang cantik menjadi semakin cantik.

Sebelum pukul sepuluh malam, kami sudah kembali berada di stasiun tepat saat kereta yang akan kami naiki tiba dari Surabaya. Setelah mengambil kembali barang-barang kami di tempat penitipan, kami berdua menaiki kereta dan duduk sesuai tempat duduk yang tertera dalam tiket.

Kereta yang kami tempati diisi kurang dari lima belas orang termasuk kami berdua. Kami duduk di bagian tengah kereta agak ke belakang pada barisan sebelah kanan arah lajunya kereta. Tepatnya di nomor sembilan C dan D. Bangku di depan, belakang, dan sebelah kiri kami kosong. Tiga bangku di belakang bangku yang kami tempati terdapat seorang penumpang yang sedang memainkan ponselnya.

Aku mempersilahkan Sherly untuk duduk di bangku dekat jendela. Sementara aku menaikkan sebagian barang-barangku dan Sherly ke rak bagasi di atas.

Tepat pukul sepuluh malam, kereta pun berangkat. “Mas, aku ganti daleman dulu ya. Gerah”, sahut Sherly sambil mengambil pakaiannya dari tas kecil yang disimpan di bawah kakiknya.

“Mau aku bantuin? Hehehe”, sahutku.

“Dasar, cabul”, jawabnya dengan senyum.

Dengan sedikit membungkuk ke arah lantai kereta, Sherly mencari pakaiannya yang ada di tas ranselnya. Aku letakkan tangan kananku di punggungnya, dan kuusap punggungnya dari bawah ke atas dengan lembut berungkali. Lalu kuselusupkan tanganku dari bagian bawah kaos yang dia pakai. Kumasukkan tanganku lebih dalam ke bagian atas punggungnya, sementara Sherly masih terus mencari pakaiannya sambil menggumamkan sesuatu karena apa yang dicarinya belum juga ketemu.

Tangan kananku mencapai tali pengikat untuk penyangga kedua payudaranya. Sedikit kugeser tanganku agar jariku bisa menggapai tali bra yang dipakai Sherly. Dengan satu gerakkan, kulepaskan pengait tali bra Sherly dengan jemari tanganku. Slapsh. Kaitan tali bra Sherly pun terlepas. Sherly secara refleks mengarahkan tangan kirinya ke punggungnya.

“Bukannya bantuin malah ngisengin”, sahut Sherly dengan memasang wajah cemberut.

“Lah kan ini aku udah bantuin bukain hehehe”, jawabku.

“Iiiihh”, sungut Sherly disertai menyarangkan cubitan tangan kirinya di perutku.

“Udah ah aku ganti baju dulu”, sahut Sherly lalu berdiri dan melangkahi kakiku menuju toilet yang berada di arah belakang tempat duduk kami. Tidak lupa Sherly membawa pakaian yang tadi dicarinya dengan menggunakan tangan kanannya. Terlihat dari balik bajunya, tali bra-nya masih dalam keadaan terlepas.

Sekitar sepuluh menit kemudian, Sherly sudah kembali dari toilet. Sekarang dia memakai baju terusan sebatas pahanya berbahan kaos dengan dua kancing di bagian atas dan berlengan panjang dengan motif bergaris horizontal lebar berwarna hitam dan abu-abu. Sementara di bagian bawahnya Sherly memakai legging berwarna hitam. “Permisi Mas”, sahutnya sebelum melangkahi kakiku menuju tempat duduknya. Kemudian Sherly menyimpan pakaian yang sebelumnya dia pakai ke dalam tas ranselnya, dan melapisi bajunya dengan cardigan hitam miliknya.

Tak lama kemudian datang kondektur yang memeriksa tiket kami dan pramugari yang memberikan selimut kepada kami berdua.

Kubuka kedua selimut yang masih terbungkus plastik. Satu kupakai untuk menyelimuti tubuh Sherly bagian bawah. Satu lagi kusimpan di kantong kursi di depanku.

Sherly melingkarkan lengan kirinya ke lengan kananku. Lalu digenggamnya tangan kananku. Disandarkan kepalanya di bahu kananku. Lengan kananku merasakan adanya keganjilan. “Kamu ngga pake beha ya?”, ucapku pelan ke Sherly.

Sherly tersenyum nakal. “Biar gampang”, ucap Sherly pelan sambil semakin merapatkan tubuhnya ke tubuhku. Aku menanggapinya dengan mencium keningnya lembut.

Sekitar lima menit kami terdiam. Aku berkutat memainkan ponselku dengan tangan kiriku. Sherly mengucap pelan, “trima kasih ya Mas udah mau nemenin aku”. Kemudian dikecupkan bibirnya di pipi kananku.

“Sama-sama”, jawabku singkat.

Kami berdua terdiam kembali. Aku masih sibuk memainkan ponselku. Sherly terus memperhatikanku memainkan ponsel.

“Kenapa harus kamu sih Mas”, sahut Sherly tiba-tiba.

“Maksudnya?”, tanyaku.

“Kok bisa ya aku sayang sama kamu”, sahutnya.

“Duh aku ditembak nih hehehe”, candaku.

“Iiih orang lagi ngomong serius juga”, sahutnya sambil menyarangkan cubitan tangan kanannya di pinggang kiriku.

“Ya kamu kenapa bisa begitu”, sahutku.

“Aku belum pernah diperlakuin kaya gini sama cowok Mas. Pacaran bertahun-tahun baru kali ini aku ngerasa jadi cewek beneran”, sahut Sherly lagi.

“Waduh, jadi sebelumnya kamu ini cowok? Ketipu aku”, sahutku dengan nada seolah-olah terkejut.

“Iiihh dia mah”, kembali cubitannya bersarang di pinggangku. Aku pun tertawa.

“Jangan, kamu ngga boleh sayang sama aku. Karena aku ngga bisa bales kaya gitu, bukannya ngga mau”, sahutku berubah serius. “Kamu ngerti kan kenapa?”, sahutku lagi. Aku harus segera mengatasi hal ini. Harus dibuat garis demarkasi yang tegas dan jelas.

“Iya Mas. Makanya aku bilang kenapa harus kamu Mas”, sahut Sherly.

“Kamunya nyaman ngga kondisi kaya gini?”, tanyaku. “Balik lagi ke kamunya. Kalo kamu nyaman, yaudah terus. Kalo kamu ngerasa ngga nyaman, mending jangan diterusin”, lanjutku serius. Kupalingkan wajahku menatap wajahnya. Kuusap punggung tangan kirinya dengan ibu jari kananku.

“Iya Mas”, jawabnya lirih. “Aku sementara nyaman kaya gini”, lanjutnya lagi.

“Tapi ngga boleh lama-lama”, sahutku. “Kamu harus cari cowok yang bisa bikin kamu nyaman”, sahutku lagi.

“Iya Mas. Tapi susah cari yang kaya Mas”, Sherly menanggapi.

“Jelas ngga ada sih, mendekati pun ngga bakalan ada hehehe”, candaku.

“Iiihh rese nih”, Sherly merengut.

“Jangan ngambek gitu dong. Jadi makin cantik kan tuh”, ucapku menggombal.

“Tuh kan malah bikin baper”, sahut Sherly tersipu.

“Tapi aku boleh kan tetep sayang sama Mas?”, lanjut Sherly lagi.

“Itu hak kamu Sher. Tapi yang jelas, akunya ngga bisa”, jawabku.

“Iya Mas. Aku ngerti”, sahut Sherly. “Bisa kaya gini aja aku udah seneng banget kok”, lanjutnya lagi sambil mendekap erat lengan kananku, dan menyandarkan kepalanya di pundak kananku. Aku pun membalas dengan mengecup lembut keningnya.

Kemudian kulanjutkan memainkan ponselku. Tak berapa lama, terdengar di telingaku suara dengkuran halus Sherly. Kupalingkan wajahku ke arah wajah Sherly, memastikan dirinya sudah tertidur. Matanya sudah terpejam, suara dengkuran halus teratur dapat kudengar. Kupandangi lekat-lekat wajah cantiknya. Dalam kondisi tidur pun Sherly masih sangat cantik. Entah apa yang dia mimpikan saat ini, bibirnya sedikit tersenyum, wajahnya terlihat bahagia.

Aku tidak boleh terlena oleh dirinya, aku meyakinkan pada diriku sendiri. Menjaga supaya perasaanku pada Sherly tidak lebih dari sebagai teman, tidak terlalu dalam terbawa perasaan.

Tak terasa aku ikut tertidur. Aku terbangun oleh suara pengumuman dari kondektur kereta yang mengumumkan kereta akan memasuki Stasiun Purwokerto. Kulihat jam menunjukkan jam setengah dua dini hari. Karena aku terbangun, Sherly pun ikut terbangun. Dia melepaskan dekapannya pada lengan kananku.

“Sampe mana Mas?”, tanya Sherly.

“Baru Purwokerto”, jawabku. “Aku nanti mau turun sebentar, mau ngerokok. Kamu mau ikut?”, lanjutku lagi.

“Emang berhentinya lama Mas?”, tanya Sherly.

“Biasanya kalo di Purwokerto agak lama. Ganti masinis”, jawabku.

“Aku ikut turun deh”, sahut Sherly.

Kereta yang kami naiki mulai melambat jalannya. Dari jendela kereta, aku melihat kereta sudah memasuki Stasiun Purwokerto. “Yuk Sher”, aku ajak Sherly untuk segera menuju pintu kereta terdekat.

“Sebentar Mas, ambil rokokku dulu di tas”, jawabnya.

Kemudian aku bangkit dari tempat dudukku, sementara Sherly masih mencari rokok miliknya yang disimpan di tasnya. “Ketemu”, sahutnya sedikit girang. Sambil kugandeng tangan kanannya dengan tangan kiriku, kubawa Sherly menuju pintu kereta.

Ada sekitar tiga orang yang duduk satu gerbong denganku tampaknya mengakhiri perjalanan di Stasiun Purwokerto. Mereka semua sudah berdiri dekat pintu kereta. Barang bawaannya masing-masing seperti tas koper, tas ransel, juga kardus gambar oleh-oleh menyesaki area pintu kereta. Langkah kami berdua terpaksa terhenti sebelum dekat pintu kereta karena terhalang oleh mereka.

Setelah kereta benar-benar berhenti, mereka yang berada di dekat pintu pun satu per satu mulai turun dari kereta. Kugandeng tangan Sherly menuntunnya ke arah luar kereta. Kucari tempat merokok yang ternyata tidak jauh dari pintu kereta tempatku keluar, berjarak sekitar lima belas meter ke arah depan. Tempat merokok hanya ditandai dengan tempat sampah dengan bentuk asbak di bagian atasnya. Kami pun melangkah ke sana.

Sekitar sepuluh menit kami berdua menikmati suasana dini hari Stasiun Purwokerto, kereta yang kami naiki pun siap untuk diberangkatkan kembali. Kami berdua segera kembali masuk ke dalam kereta.

Aku dan Sherly duduk di tempat sebelumnya, Sherly duduk di samping kananku. Dalam perjalanan menuju ke tempat duduk kami, kulihat penumpang lain yang berada satu gerbong denganku seluruhnya dalam keadaan terpejam matanya, entah itu sudah tertidur atau berusaha untuk tidur.

Sherly kembali duduk dengan berusaha untuk menyandarkan kepalanya di bahu kananku. Tapi sejenak aku tahan, karena aku ingin membentangkan kedua selimut untuk menyelimuti kami berdua sebatas leher. Lalu aku lingkarkan tangan kananku di belakang lehernya sehingga kepala Sherly berada di dada kananku bagian atas dekat pangkal lengan kananku. Setelah mendapatkan posisi yang nyaman dengan sedikit menggerak-gerakan tubuhnya, Sherly pun kembali memejamkan mata. “Bobo lagi ya Mas”, sahut Sherly.

“Iya, sama. Aku juga udah ngantuk”, balasku disertai dengan memejamkan mata.

Dengan posisi ini, tangan kananku tepat berada di atas payudara kanan Sherly. Dengan mata tetap terpejam, tangan kananku mulai beraktifitas di payudara kanan Sherly. Sebenarnya hanya sekedar iseng menjelang tidur.

Awalnya aku mengusap-usap payudara kanan Sherly dari luar selimut untuk bermain-main dengan putingnya. Tetapi karena selimutnya tebal dan puting Sherly tidak terlalu menonjol, maka aku masukkan tangan kananku ke balik selimut. Dari balik selimut, aku bisa langsung menemukan puting kanan Sherly yang masih tertutup bajunya. Kumainkan puting Sherly dengan memutar-mutar ujung telunjuk kananku di putingnya. Sesekali aku pilin-pilin dengan menggunakan ibu jari dan telunjuk kananku. Dimainkan seperti itu, puting kanan Sherly menjadi keras dari sebelumnya. Nafas Sherly pun terlihat menjadi semakin berat.

Aku juga menjadi sedikit horny. Mataku kubuka kembali. Batang penisku perlahan-perlahan mulai mengeras. Aku meningkatkan aktifitas tangan kananku dengan mulai meremas-remas payudara kanan Sherly. Nafas Sherly pun menjadi semakin berat dan tak beraturan.

Sedang asyik-asyiknya aku meremas-remas payudara kanan Sherly, kulihat dari arah depan kereta rombongan kondektur beserta petugas lainnya berjalan ke arahku. Aku pun menghentikan aktifitas tangan kananku. Walaupun sebenarnya tidak terlihat karena tanganku berada di balik selimut. Tapi aku khawatir suara nafas Sherly yang berat akan membuat mereka curiga.

“Kok udahan?”, tanya Sherly pelan.

“Ada kondektur. Nanti dilanjut lagi”, jawabku.

Rombongan kondektur hanya memeriksa kondisi para penumpang. Saat akan melewatiku, mereka tersenyum dan menyapa aku sambil tetap berjalan ke arah gerbong di belakangku. Aku membalas sapaan mereka dengan senyuman dan anggukan kepala.

Selang beberapa menit, rombongan petugas kembali menuju gerbong di depan. Biasanya mereka standby di gerbong restorasi yang menyediakan tempat khusus bagi kru kereta apai yang bertugas. Salah satu bertugas yang berjalan paling belakang tidak langsung keluar gerbong yang aku naiki, dia membuka salah satu panel di dekat pintu dan tak lama kemudian penerangan di dalam gerbong menjadi redup. Hanya lampu yg menerangi lorong yg masih menyala, itu pun tidak terang.

Setelah petugas terakhir keluar dari gerbongku, tangan kananku kembali menggerayangi payudara Sherly. Aku ulangi sentuhan telunjukku di puting kanan Sherly. Kuusap-usap tepat di atas putingnya yang lama kelamaan mengeras kembali.

Tak berhenti sampai di sana, kubuka dua kancing yang ada di bagian atas bajunya, lalu tangan kananku menyelusup di balik baju Sherly, hingga telapak tanganku dapat menangkup sempurna di atas payudara kanan Sherly. Kuremas payudara Sherly bergantian kanan dan kiri. Sesekali kumainkan putingnya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kananku. Remasan demi remasan pada kedua payudaranya dan pilinan demi pilinan yang diterima kedua putingnya, membuat nafas Sherly semakin menderu, bahkan bisa kudengar desahannya yang tertahan.

Gelora seksualku semakin meninggi. Bukan hanya oleh karena perbuatanku sendiri yang menjelajah payudara Sherly, tetapi juga akibat sentuhan tangan kiri Sherly yang berada tepat di atas batang penisku yang masih tertutup celana. Tangan Sherly mengelus-elus ke atas dan ke bawah, membuat batang penisku mengeras menghadap ke arah atas tubuhku. Tak lama kemudian, tangan kiri Sherly masuk ke dalam celanaku. Tangan kirinya langsung mencocok lembut batang penisku yang semakin mengeras.

Seperti tak mau kalah, aku mengubah posisi tubuhku. Kutarik lengan kananku yang semula melingkari leher Sherly, menjadi melingkari lengan kiri Sherly dari arah belakang dengan posisi tangan kananku berada di atas perutnya.

Perlahan tapi pasti, kugerakkan tangan kananku menuju pangkal kedua pahanya. Lalu kugesek-gesekkan tangan kananku tepat di bagian selangkangan Sherly. Nafas Sherly pun semakin memburu. Bisa kurasakan leggingnya terasa basah di bagian selangkangan.

Tak menunggu lama, kugerakkan tangan kananku ke balik legging yang dipakainya. Kutarik sedikit ke atas baju yang dipakainya, setelah aku bisa menyentuh bagian atas legging Sherly, kumasukkan tangan kananku ke dalamnya. Bulu-bulu halus yang tumbuh di bagian bawah perut Sherly menuntun tangan kananku menuju rongga kenikmatan surga dunia miliknya.

Ujung jari tengah tangan kananku yang pertama menyentuh bagian atas vagina Sherly. Tanpa basa-basi, ujung jari tengah tangan kananku menyusur membelah vaginanya menuju klitoris Sherly. Begitu klitorisnya kutemukan, ujung jari tengah tangan kananku segera menjalankan tugasnya untuk mengoyak-ngoyak vagina Sherly dengan terlebih dahulu menyerang klitorisnya.

Dengan memberi sedikit tekanan, kuputar ujung jariku di klitoris Sherly. Terus kuputar dan kuputar ujung jari tengah kananku ke berbagai arah di klitorisnya, alhasil ini membuat Sherly menggelinjang geli. Pinggul Sherly ikut bergerak liar mengiringi gerakan ujung jariku di klitorisnya. Desahannya menjadi semakin terdengar, giginya menggigit bibir bawahnya. Sementara itu tangan kirinya semakin keras mengocok batang penisku.

Setelah sukses meluluhlantakkan pertahanan gairah seksual Sherly, ujung jari tengah kananku kembali menyerang lebih dalam. Kudorong tangan kananku semakin ke bawah tubuh Sherly. Ujung jari tengahku merangsek masuk ke vagina Sherly semakin dalam.

Cairan lendir yang hangat sudah membasahi vagina Sherly. Kumasukkan dua ruas jari tengahku ke dalam rongga kenikmatan Sherly. Kugerakan jari tengahku dengan sedikit gerakan memutar, dan pinggul Sherly pun kembali bergerak mengiringi gerakan kari tengahku. Lalu kukocok vagina Sherly dengan gerakan keluar masuk, disertai gerakan menekan-nekan klitorisnya menggunakan bagian bawah telapak tanganku. Semakin lama kupercepat gerakkan kocokkanku. Pinggulnya sudah tidak dapat bergoyang, badannya cenderung kaku menerima kenikmatan hasil perbuatan jari tengahku. Cairan kenikmatannya terus keluar dari lubang vaginanya, menimbukan bunyi saat jari tengahku mengocok lubanh vagina Sherly. Cleph cleph cleph.

“Ugh ugh ugh”, desahan Sherly semakin jelas terdengar. Khawatir akan terdengar penumpang lain, aku turunkan tempo kocokan jari tengahku, dan berganti memainlan telapak tanganku di permukaan vaginanya.

“Ewe aja yuk? Sange berat nih”, bisikku di telinga kirinya.

“Di sini?? Ngga ah. Mass gila nih”, jawab Sherly pelan sedikit terengah.

“Ya ngga di sini lah. Toilet aja yuk”, ajakku.

“Ngga ketauan gitu?”, tanya Sherly.

“Kalo di sini malah ketauan. Tuh di atas ada cctv”, jawabku sambil melirik ke arah cctv di langit-langit gerbong di atas belakang kami, diikuti pandangan Sherly ke arah yang sama.

“Emang muat toiletnya?”, tanya Sherly.

“Coba aja dulu”, jawabku dengan tangan kananku masih memainkan vagina Sherly.

“Kalo ketauan gimana?”, tanya Sherly lagi.

“Ya paling dinikahin di tempat hehehe”, jawabku asal.

“Iiihhh”, sahut Sherly sambil meremas gemas batang penisku.

“Aduh duh. Mau ngga nih?”, tanyaku sambil menahan remasan tangan kiri Sherly dengan tangan kiriku.

“Trus gimana?”, Sherly malah balik bertanya.

“Kamu jalan duluan ke toilet, nanti aku susul”, jawabku.

“Bareng aja deh ya?”, pinta Sherly.

“Jangan, nanti ada yang curiga”, sahutku.

“Ooo trus toilet belakang apa depan?”, tanya Sherly lagi.

“Belakang aja yang deket. Lagian yang depan cleaning service-nya jaga di situ”, jawabku.

“Sekarang?”, tanya Sherly.

“Iya”, sahutku singkat.

“Kalo emang sekarang, kenapa tangan Mas masih di memek aku?”, bisik Sherly di telinga kananku.

“Khilaf hehehe”, jawabku sambil menepuk sekali vaginanya sebelum kukeluarkan tangan kananku dari celana leggingnya. Demikian halnya Sherly, dia pun mengeluarkan tangan kirinya dari balik celanaku.

Kemudian Sherly bangkit dari duduknya untuk menuju ke toilet yang ada di daerah belakang kursi kami. “Cepetan”, sahutnya sebelum melangkah menuju toilet disertai kecupan lembut di dahiku. Sekitar sepuluh detik kemudian, aku menyusul menuju ke toilet di mana Sherly berada.

“Sher.. Sher...”, sahutku sambil mengetuk pintu toilet. Tak lama kemudian pintu toilet terbuka secara terlipat vertikal, seperti toilet di pesawat, dan sosok Sherly berada di dalamnya.

Sebelum masuk ke dalam toilet, aku pastilan kondisi aman untuk melanjutkan perbuatan mesum kami. Kutengok ke arah dalam gerbong yang kami tempati, lalu kutengok juga ke arah dalam gerbong di belakangku. Setelah kuyakin aman, aku pun segera masuk ke dalam toilet, menutup pintu toilet dan menguncinya.

Toilet ini berukuran sekitar satu meter kali satu meter. Begitu aku masuk, wastafel mini ada di samping kananku. Di seberang wastafel terdapat closet duduk menghadap ke arah wastafel. Jarak antara ujung closet sampai dengan ujung wastafel sekitar empat pulih centimeter. Di dinding sebelah kananku menempel pipa besi sepanjang tiga puluh centimeter yang memiliki fungsi untuk pegangan pada saat kita menggunakan closet atau wastafel.

“Sempit Mas”, sahut Sherly agak kencang.

“Shhttt”, aku memberi tanda agar Sherly tidak bersuara keras. Sherly reflek mendekap mulutnya dengan kedua tangannya dan tertawa tertahan.

“Toilet kan emang sempit, kalo aula baru luas hehehe”, sahutku sedikit berbisik. Cubitan tangan kanan Sherly pun mendarat di perut kiriku.

“Mau gimana?”, tanya Sherly berbisik.

Tanpa menjawab pertanyaan Sherly, langsung kudorong sedikit badannya hingga bersandar pada dinding belakang toilet, lalu kusambar bibirnya dengan bibirku. Bibir kami saling berpagutan penuh nafsu. Lidah kami saling beradu saling berebut untuk bermain di rongga mulut pasangannya.

Tangan kananku aku masukkan ke dalam celana legginh Sherly, menuju ke vaginanya. Kumainkan jari tengah tangan kananku di area klitorisnya lalu berlanjut ke lubang kenikmatannya. Lubang vaginanya masih terasa basah oleh cairan pelumas vaginanya.

Kedua tangan Sherly pun mulai beraksi membuka kaitan ikat pinggang celana jeansku. Lalu dibukanya kancing celanaku beserta resletingnya. Kemudian dimasukkannya tangan kanannya ke dalam celana dalamku dan mulai mengocok batang penisku yang mulai mengeras kembali.

Satu menit kemudian, kusudahi permainan jari tengahku di vaginanya yang sudah cukup basah dan siap untuk dilakukan penetrasi oleh batang penisku. Kedua tanganku pun menurunkan celana legging beserta celana dalamnya sampai sedikit di bawah kedua bongkahan pantatnya.

“Yuk”, sahutku sambil menurunkan celana jeans sekaligus celana dalamku sampai pertengahan pahaku. Kemudian aku duduk di closet yang sudah dalam keadaan tertutup. Posisi dudukku sedikit menyerong ke arah pintu.

“Kamunya sini”, sahutku sambil memberi isyarat supaya dia duduk di pangkuanku.

Lalu Sherly mengambil posisi membelakangiku. Dengan berpegangan pada dinding toilet, Sherly sedikit membungkuk mengarahkan lubang vaginanya ke arah batang penisku yang sudah berdiri tegak sempurna.

Mulut anusnya dan vaginanya yang basah bisa kulihat dengan jelas. Kukocok sebentar vagina Sherly dengan jari tengah kananku supaya vaginanya kembali mengeluarkan cairan pelumasnya. Setelah dirasa cukup, kemudian kulumuri kepala penisku dengan air liurku agar memudahkan penisku menembus mulut vagina Sherly.

Tangan kananku kuletakkan di pangkal penisku, sementara tangan kiriku berada di pinggang kirinya, memandu tubuhnya sedikit demi sedikit turun mendekatkan lubang vaginanya ke kepala penisku. Saat kepala penisku bersentuhan dengan bibir vaginanya, kusapu mulut vaginanya dengan kepala penisku agar mulut vaginanya membuka.

“Pelan-pelan Mas, memekku masih kering”, sahut Sherly.

Setelah kepala penisku sudah ditelan oleh mulut vaginanya, kutarik turun tubuhnya hingga bongkahan pantat Sherly duduk di kedua pahaku bagian atas dan batang penisku sukses ditelan seluruhnya oleh vaginanya. Bleesshh. “Ach”, Sherly menjerit pelan.

Kudiamkan sejenak posisi ini. Bisa kurasakan kehangatan dinding vagina Sherly memeluk batang penisku. Guncangan dari kereta yang berjalan membuat gesekkan antara batang penisku dengan vaginanya secara otomatis. Tanpa mengeluarkan tenaga dari kami berdua, batang penisku dan vagina Sherly saling mengocok satu sama lain mengikuti guncangan kereta. Kedua tanganku aku letakkan di pinggulnya menjaga agar Sherly tidak terjatuh akibat guncangan kereta. Sungguh ini pengalaman yang belum pernah kualami sebelumnya.

“Ssshh hhaaahh”, desahan pelan Sherly terdengar berkali-kali.

Sherly mulai tidak sabar, dia menggoyangkan pinggulnya maju mundur sehingga menambah kecepatan kocokan batang penisku dengan vaginanya.

“Enak sayang?”, tanyaku sekitar tiga menit kemudian.

“Banget”, jawabnya sambil terus menggoyangkan pinggulnya. “Tapi aku takut ketauan. Kamu masih lama keluarnya?”, lanjut Sherly.

“Bisa dipercepat sih. Kamu maunya dikeluarin dimana?”, tanyaku.

“Di belakang aja ya. Kalo di mulut susah nih”, jawab Sherly.

“Kalo gitu kamu bangun dulu”, sahutku. Lalu Sherly bangkit dan berdiri di samping kananku.

“Kamu ngadep sana”, sahutku lagi sambil bangun dari duduk dan meminta Sherly menghadap dinding belakang toilet.

Menyadari kalau tubuhnya lebih tinggi dariku, Sherly melebarkan kedua kakinya ke samping, menekuk sedikit kedua lututnya, kedua tangannya memegang dinding belakang toilet, dan menunggingkan pantatnya ke belakang hingga mulut anusnya bisa dijangkau oleh penisku. Aku bergerak mengarahkan kepala penisku ke anusnya.

“Sebentar Mas”, sahut Sherly sambil melumasi permukaan anusnya dengan air liurnya. Demikian juga aku, aku ikut melumuri kepala penisku dengan air liurku.

Kemudian aku tempelkan ujung kepala penisku ke mulut lubang anusnya. Kupegang batang penisku dengan tangan kananku. Lalu kudorong kepala penisku ke mulut anusnya dengan sedikit tenaga hingga perlahan-lahan kepala penisku masuk ke dalam lubang anusnya, sampai seluruh batang penisku masuk ke dalam lubang anusnya. “Egh”, Sherly mengerang lemah saat seluruh penisku menelusuk lubang pembuangan kotorannya.

Kudiamkan sejenak batang penisku berada dalam rektum Sherly. Dinding rektumnya yang sedikit kasar menjepit erat batang penisku. Kemudian aku mulai menggoyangkan pinggulku maju mundur.

“Aku keluarin ya sayang”, sahutku.

“Iyah Mas”, jawab Sherly.

Lalu aku mulai berkonsentrasi pada gerakan pinggulku untuk mengocok lubang anus Sherly. Jepitan kuat dinding rektumnya pada batang penisku memberikanku kenikmatan yang luar biasa. Bedanya dengan jepitan vagina adalah permukaan dinding rektum lebih kasar dan kesat karena tidak ada pelumas alami. Supaya batang penisku dan dinding rektum Sherly tidak luka atau lecet, aku harus secara periodik melumasi batang penisku dengan air liurku.

Kupercepat kocokan batang penisku pada lubang anusnya. Tangan kiriku yang semula berada di pinggul kiri Sherly, mulai menjalar ke atas menyingkap ujung bajunya bagian bawah, terus ke atas menuju payudara kirinya. Sementara tangan kananku masih berada di pinggul Sherly sebelah kanan, membantu gerakanku mengocok batang penisku pada liang anusnya. Kuremas-remas payudara kiri Sherly sambil terus mengocok batang penisku. Puting kirinya yang imut menjadi sasaran tangan kiriku untuk dipilin berkali-kali.

Tidak sampai dua menit kemudian, aku merasakan desakan dari pangkal penisku. Batang penisku mulai berkedut-kedut siap untuk menyemprotkan cairan yang mengiringi aku menggapai puncak kenikmatan dunia. Kulihat Sherly juga merasakan semakin kerasnya batang penisku di dalam lubang anusnya. Sherly menggigit bibir bawahnya berusaha keras agar desahannya tidak terdengar kencang. “Egh egh egh”, desah Sherly tertahan.

Terus kupercepat gerakan kocokkanku karena puncak kenikmatanku sudah hampir aku raih. Kubenamkan dalam-dalam batang penisku di liang rektum Sherly. Dan.. Crot crot crot crot.. Penisku menyemprotkan beberapa kali air mani di liang rektum Sherly. Seluruh tubuhku terasa kaku, bahkan tangan kiriku tanpa sadar meremas kencang payudara kiri Sherly yang membuat Sherly pun menahan tangan kiriku dengan tangan kirinya agar untuk mengurangi rasa sakit akibat cengkeraman tangan kiriku.

Setelah gelombang orgasmeku mereda, aku peluk Sherly dari belakang. Kemudian aku ciumi tengkuknya, Sherly pun menoleh kepalanya ke kiri dan menyambar bibirku dengan bibirnya, bibir kami pun saling berpagutan. Sementara penisku masih menancap pada lubang anusnya.

“Udah yuk Bebh. Keburu nanti digerebek”, sahut Sherly pelan. “Sebentar jangan dicabut dulu. Biar peju kamu ngga kena baju kamu”, lanjutnya. Selanjutnya Sherly pun mengambil tisu yang tergantung dekat closet. Ditariknya tisu dari gulungannya. Kemudian dengan tangan kanannya, diselimutinya pangkal penisku dengan tisu. Lalu pelan-pelan Sherly dorong tubuhku menjauhi tubuhnya sehingga penisku perlahan-lahan keluar dari lubang anusnya. Setelah seluruh penisku keluar dari lubang anusnya, disekanya batang dan kepala penisku dengan tisu. Kemudian dia pun menyeka mulut anusnya juga menggunakan tisu.

“Masih banyak aja sih. Padahal kemarin udah keluar dua kali”, sahutnya sambil mengelap batang penisku kembali.

“Tau mau ngewe sama kamu kayanya, makanya produksi terus hehehe”, sahutku.

“Dasar mesum. Ini di dalem aku masih banyak belum keluar”, sahutnya lagi.

“Waduh, jangan sampe meleleh ke meki kamu”, ucapku khawatir.

“Ngga akan Bebh, tenang aja”, sahutnya. “Udah. Kamu duluan keluar aja. Aku mau ngeluarin peju kamu dulu”, sahutnya disertai selesainya kedua tangannya mengelap penisku yang sudah melemah.

Kemudian aku menaikkan kembali celana dalam dan celana jeansku yang masih menyangkut di kedua lututku, lalu memasangnya pada posisi yang seharusnya. Setelah selesai memakai celanaku dengan benar, aku kembali mencium bibir Sherly sejenak, lalu membuka kunci toilet dan membukanya perlahan-lahan. Setelah kuyakin aman terkendali, aku melangkah keluar toilet. Pintu toilet aku tutup kembali begitu aku sudah berada di luar toilet. Terdengan suara pintu toilet dikunci dari dalam.

Aku lantas melangkah kembali ke tempat dudukku. Kedaan gerbong tempat kami duduk masih dalam keadaan temaram. Para penghuninya masih dalam keadaan terlelap. Kulihat jam yang melingkar di tangan kiriku, pukul setengah tiga kurang. Wajar saja kalau mereka sudah dalam kedaan terlelap.

Sekitar lima menit kemudian, Sherly kembali ke tempat duduknya. Wajahnya yang cantik tersenyum sumringah padaku. Kemudian Sherly duduk di bangkunya di samping kananku. Lalu dilingkarkan lengan kirinya pada lengan kananku, kembali diletakkan kepalanya di bahu kananku dengan manja. Aku memberikan kecupan lembut di keningnya.

“Bobo yuk? Ngantuk”, sahut Sherly.

“Iya. Aku betulin selimut dulu”, jawabku. Lalu aku melepaskan lilitan lengan kirinya pada lengan kananku, Sherly secara otomatis menegakkan kepalanya. Aku memakaikan selimut di tubuhnya terlebih dahulu, selanjutnya memakai selimut untuk diriku sendiri. Setelah selesai, Sherly kembali melingkarkan lengan kirinya pada lengan kananku dan menyandarkan kepalanya pada bahu kananku.

Sekitar pukul setengah enam pagi, kami berdua terbangun oleh suara pengumuman dari petugas kereta yang menginformasikan bahwa sebentar lagi kereta akan tiba di Stasiun Jatinegara. Kami tidak turun di sini, tapi di pemberhentian terakhir yaitu Stasiun Gambir.

“Kamu langsung pulang?”, tanya Sherly.

“Iya. Kamu?”, aku balik bertanya.

“Maunya pulang ke rumah kamu hehehe”, jawabnya.

“Bener ya?”, tanyaku menantangnya.

“Iya bener. Kamu lagi butuh baby sitter ngga? Biar aku aja yang jadi baby sitter di rumah kamu”, ucapnya sedikit serius.

“Kalau kamu yang jadi baby sitter mah yang ada malah jadinya daddy sitter hehehe”, jawabku.

“Aku serius. Biar bisa sering ketemu kamu”, ucapnya.

“Ya ngga bisa lah cantiiikk”, sahutku sambil mencubit lembut hidungnya dengan tangan kananku.

“Kalo kerja kan tetep bisa sering ketemu”, lanjutku lagi.

“Iya, tapi kan cuma Senin sampe Jumat aja. Ngga bisa setiap hari”, ucapnya dengan memasang wajah cemberut.

Aku diam bingung menanggapi apa.

“Makanya cepetan cari cowok gih sana”, sahutku.

“Emang nyari cowok gampang kaya nyari gorengan?”, sahutnya bertambah cemberut.

“Iya sih, lebih gampang cari mini market malah dari pada cari gorengan hehehe”, candaku.

“Iiiihhh kezel”, sahutnya sambil menyarangkan cubitan tangan kanannya di perutku.

“Yaudah beres-beres dulu, bentar lagi sampe. Kamu periksa dulu gih barang-barang kamu jangan sampe ketinggalan”, sahutku.

“Iya”, jawab Sherly. “Cium dulu”, sahutnya lagi sambil memajukan bibirnya untuk dicium. Aku pun menyambut sodoran bibirnya dengan kecupan lembut bibirku. Kemudian kami pun membersekan barang kami masing-masing. Tidak lupa aku juga menurunkan barang-barang kami yang disimpan di bagasi di atas tempat duduk kami.

Sesampainya di Stasiun Gambir, aku mengajak Sherly untuk sarapan terlebih dahulu di sana. Sherly memilih untuk sarapan ringan sambil meminum kopi di kedai kopi manca negara di Stasiun Gambir. Saat sarapan, aku memberikan beberapa permintaan kepadanya apabila menginginkan hubungan ini bertahan lama.

Yang pertama, aku meminta Sherly untuk tidak memulai chat atau telepon, kecuali itu untuk urusan kantor dan bahasanya pun menggunakan bahasa biasa seperti layaknya hubungan teman kantor.

Yang kedua, aku meminta Sherly untuk bersikap biasa aja dan tidak menunjukkan kemesraan saat kita berdua di tempat umum dan khususnya saat di kantor. Karena kita kadang tidak menyadari ada orang yang mengenal kita saat kita berdua bersama-sama di tempat umum.

Yang ketiga, aku meminta Sherly untuk segera mencari pacar, bahkan suami. Karena dia bisa dipastikan tidak mempunyai masa depan yang jelas apabila terus bersama aku.

Setelah kujelaskan satu per satu alasan kenapa aku meminta dia untuk melakukan itu semua, Sherly pun mengerti, walaupun aku bisa melihat raut sedikit kecewa di wajahnya.

Setelah selesai sarapan, aku mengantar Sherly sampai dia naik ke dalam taksi burung biru yang akan mengantarkannya ke rumahnya di daerah Cibubur. Sebelum pintu taksi aku tutup, aku berikan kecupan lembut di bibirnya. Kemudian aku pun naik ke taksi dari perusahaan yang sama, untuk menuju ke rumah, tempat di mana keluarga kecilku siap menyambutku kedatanganku penuh cinta.
 
Welcome back gan, Benar bgt sih, kalau cewe ny baper bisa hancur rumah tangga kita, jadi harus tegas di awal, harus menerima apa adanya jangan banyak menuntut, kalau masih ngeyel tinggalkan. Memang betul kata orang dulu, lebih baik makan sate di tempat dari pada bawa pulang, jadinya repot. Di tunggu next ny gan..
 
Thx updatenya om

Liburan telah berakhir, memasuki kantor kembali dengan aktivitas rutin mereka apakah gak bakal ketahuan rekan-rekan lain. Sekalipun sudah ada aturan main tapi kan gak menutup kemungkinan kalo masih ada yang mengendus hubungan TTM-an itu?
 
Duh neng Sherly kasian jadi TTM aja.
Hehehe lanjutakn suhuuu
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd