Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT Bb M — Baby Maker (Ribak Sude Story)

Bimabet
Mantaappp!! Pipit calon korban penggarapan sawah selanjutnya..

Makasih updatenya suhu, tetap semangat dan sehat selalu:beer:
 
Pantau terus lah lae aseng ini,,,, nunggu warisan terompak saktinya,, sambil pertamax.... Hehehe
 
Ninggal tiker sendal sama sarung plus sabun
hehehe monggo bang
Mantap lay ceritanya,...dah keq di kampung sendiri bacanya...
oke lek @Reza Fahlevi jumpa nanti di kampung keling kita...
Terima kasih updetenya suhu @RyuzakiKen :ampun:
Sehat dan dilancarkan selalu RLnya,,:beer::semangat:
tenkyu hu
Makasih atas updatenya lae @RyuzakiKen
tenkyu jyga lae
Makasih updatenya om @RyuzakiKen,
matur suwun om @kuciah
Mantap bg ceritanya
Tetap semangat menunggu update an nya
Salam dari bumi lancang kuning
Salam juga dari Mabar
Nunggu pipit di sosor puki nya .. hhhiii
lanjut kita ini...
Mantaappp!! Pipit calon korban penggarapan sawah selanjutnya..

Makasih updatenya suhu, tetap semangat dan sehat selalu:beer:
target ditemukan
Yo sabana kalera si Asemg ko yo....ha ha ha
Iyo bana kalera si Aseng ko, uda. Ba'a mada bana paja ciek ko ha? Padusi urang pun diambiaknyo. kkk
Pantau terus lah lae aseng ini,,,, nunggu warisan terompak saktinya,, sambil pertamax.... Hehehe
tenkyu pantauannya
Gelar ttiker dulu lah
duduk manis ya hu
gelar tiker dulu lah..kali aja TS nya mau khilaf jadi double update
duduk manis sambil ngeteh
Cerita bagus seperti ini jangan disia siakan... Lanjut teross..:adek::tegang::semangat:
kita update hari ini. 123
 
Setelah bertemu dengan Pipit siang itu di kafe hotel, aku kembali lagi membelah kemacetan ibu kota provinsi Sumatera Utara untuk kembali lagi ke kantorku. Panas dan lelah ditambah harus kembali bekerja di sisa jam yang ada.

Pipit tidak pulang ke rumahnya melainkan buka kamar di hotel itu dan aku akan menyusulnya nanti malam. Itu rencana yang sudah kami susun. Sebenarnya itu usulan dari Pipit sendiri dan kuiyakan. Kalo laki sama perempuan udah sekamar di hotel di malam hari, apa yang akan terjadi hayooo?

Bobo?

Teng-tong! Anda benar. Silahkan nyemplung di sunge Deli yang keruh berlumpur penuh dengan ikan sapu-sapu.

"Bang Aseng? Tadi dicariin bu Sandra?" tiba-tiba itu asisten Factory Manager udah nyamperin mejaku di ruangan.

"Bu Sandra? Udah nyampe Medan dia?" kaget aku. Dia nyariin pas waktu aku lagi gak ada di tempat pulak. Gaswat!

"Belom... Besok dia pulangnya... Dia tadi nyariin abang lewat telpon... Kata anak-anak lain abang lagi permisi keluar, ya?" kata anak gadis hijaber bernama Tiwi ini.

"Oo... Kaget aku, Wi... Kirain dia dah nyampe Medan..." beneran kaget aku. Bisa-bisa aku kena semprot karena aku tak ada di tempat saat dia tidak ada. Karena ia secara langsung menugaskanku meng-handle pabrik saat dia keluar kota dibantu Tiwi. Walaupun tak ada masalah yang berat tetap aja ada laporan yang harus kukerjakan. Kuperiksa HP-ku untuk melihat miss-call yang ada. Ada 3 kali miss-call dari bu Sandra selama aku dalam perjalan pulang dari hotel tadi.

"Woles, bang... Tadi Tiwi bilangnya sama bu Sandra abang lagi di lapangan... Jadi gak kedengeran HP-nya..." kata Tiwi kooperatif.

"Ish... Makasih kali-la, Wi... Nanti abang traktir naek odong-odong-lah, Wi..." kataku berterimakasih padanya.

"Yah... Odong-odong... Memangnya awak anak-anak apa... Huu..."

-------------------------------
"Seng? Aman pabrik?" tanya bu Sandra lewat saluran telepon.

"Aman, kak..." jawabku. Aku berdiri di semacam balkon yang menghadap ke arah pabrik. Bu Sandra sering mengamati pabrik di sini secara langsung. Mengawasi setiap lini produksi atau menerima laporan verbal dari tiap kepala bagian produksi. Secara umum semua bagian berjalan sesuai schedule.

"Gak ada kendala, kan? Mesin yang baru itu masih ngulah?" tanyanya kembali.

"Udah jinak dia, kak... Udah dikasih kepala kerbo (kerbau) baru jinak dia..." jawabku. He-he-he... Gimana pulak menejer pabrik kupanggil kakak? Kakak ketemu gede?

"Bagus deh kalo begitu... Tadi wa telpon lu... Kemana lu?" sindirnya tentang ketiadaanku tadi. Nah-loh. Orang Medan yang ngomong pake ngomong elu-gua ini pasti ada beberapa sebabnya. Satu, dia pelarian dari Jakarta dan sekitarnya. Entah residivis nyuri sempak ato apalah sampe lari ke Medan. Kedua, sok gaul sama kebanyakan nonton sinetron orang kaya di TV. Ketiga, Cina Medan. Mayoritasnya adalah bersuku Hokkien yang banyak menyebar di Sumatera. Beberapa Cina Medan selalunya ngomong elu-gua (guwa).

"Di lapangan, kak..." jawabku tetap ngeles sesuai alibi yang diberi Tiwi tadi. "Gak kedengaran suara bising di pabrik..."

"Ah... Palingan lu ngelayap keluar, kan?" katanya nge-gep aku. Pasti dia nanya sama anak lain di kantor nih.

"Ish... Kek gak tau aja kak Sandra ini..." jawabku gak mau ngeles lagi.

"Ya udah... Nanti abis Maghrib lu jemput wa di Polonia... Wa pulang sore ini juga... Bosen wa di Jakarta ini... Macetnya kek kimak kali wa rasa..." putusnya tiba-tiba.

"HA? Maghrib? Supir kakak kan ada... Masak awak yang disuruh jemput? Mau kakak rupanya naik kereta kujemput?" kagetku. Gak kebayang gimana kalau kelas menejer naik motor pulang dari Polonia. Sampe rumah hair-do rambutnya pasti jigrak-jigrak.

"Paok kali lu, Seng... Kao pinjam-la mobil kantor satu... bawa pulang dulu... Pokoknya jemput kakak abis Maghrib...Ya?" pungkasnya.

"Iyalah..." Eh. Cemana bisa aku akrab kali sama perempuan yang posisinya hanya satu tingkat di bawah Direktur perusahaan ini? Usianya terpaut 3 tahun dariku sehingga pas kalau aku memanggilnya kakak. Sama usianya dengan kakak kandungku. Bahkan sebenarnya dia memang teman kakakku. Dulu mereka pernah satu kuliahan. Pernah dulu beberapa kali ia main ke rumah tapi aku tidak terlalu perhatikan. Ketemu lagi malah di perusahaan ini. Dia sangat gigih bekerja dan meniti karier hingga mencapai posisi sekarang ini. Karena kenal dengannya, aku sedikit terbantu di karierku juga. Gitu aja, sih.

---------------------------------------
Pesawatnya terjadwal mendarat jam 8 malam. Aku sudah sampe di Polonia setengah jam sebelumnya. Sore tadi tentunya istriku kaget aku pulang bawa mobil karena biasanya aku pinjam mobil kantor paling kalo mau jalan-jalan jauh aja di weekend. Tapi setelah dengar penyebabnya dia paham sih kedekatanku dengan bu Sandra. Apalagi dia pernah beberapa kali datang ke rumahku. Dua kali kami mengadakan syukuran penabalan nama kedua anak kami, bu Sandra rajin datang.

Sementara menunggu pesawat landing, aku chattingan dengan Pipit mengkabarkan padanya kalau aku belum tau jam berapa nyamperin dia di hotel. Tapi kalo udah jelas, aku akan memberitaunya. Katanya dia sudah bosan nunggu di kamar hotel. Dia ngakunya ada di rumah pada lakiknya, Imran.

Chatting senada juga kusampaikan pada Yuli. Aku masih dalam program penghamilannya. Ciee program. Program bayi tabung iya. Ini program menghamili binor. Kalo seperti Aida yang hanya butuh 4 hari, berapa hari yang dibutuhkan untuk menghamili Yuli? Lakiknya gak ada sampai seminggu ke depan, mungkin aku harus rutin setoran sperma padanya selama itu.

Tak lama ada pemberitahuan kalo pesawat yang kutunggu sudah mendarat dan dalam proses menepi. Aku tidak perlu buru-buru karena bu Sandra pasti banyak barang bawaan yang harus di-claim-nya. Kutunggu dia di pintu para penumpang pada keluar dan sudah kuliat tampangnya yang suntuk sambil menyeret tas koper berodanya. Aku sebenarnya mau menolongnya dengan tas berat itu tapi ia tak kunjung keluar dari pembatas karena masih sambil teleponan. Kuambil alih gagang tas koper itu begitu lewat dan mengikutinya yang menuju pintu keluar.

"Pulang, kak?" tanyaku begitu ia sudah selesai nelepon di kursi penumpang depan. Naga-naganya dia hampir melempar benda itu ke dashboard tapi urung malah... "Aagghh.... Sakit, kak!" teriakku kaget. "Ish... Apa-lah kakak ini? Aku gak ngapa-ngapain digigit!" kuelus-elus lengan kiriku yang barusan digigitnya. "Ih, kan? Bauk! Belom gosok gigi ini pasti..." sakit beneran ini. Sampe berbekas tuh.

"Biarin! Palak (kesal) kali wa sama Cina satu itu... Udah tua gak tau diri kali..." meluap juga kekesalannya. Aku tau orangnya. (Lah Cina maki Cina lainnya. Entah hapa-hapa cici satu ini)

"Palak sama koko itu jangan tangan awak pulak-lah kak yang jadi sasarannya... Dah baek-baek awak jemput kakak... Dah kayak supir pulak aku jadinya..." kataku sambil terus mengendarai mobil ini keluar dari kawasan bandara Polonia yang berada di tengah kota. Kak Sandra ini pasti kesal atau palak sama suaminya sendiri. Suaminya ini, ko Johanes, sering dipanggil ko Amek, jarang ada di Medan. Dia lebih sering ada di Singapur mengurus bisnisnya di sana. Yang kutau bisnis spare part komputer dan sejenisnya. Sebulan paling banter seminggu di Medan. Kak Sandra sering curiga kalau suaminya itu punya selingkuhan atau malah sudah kawin lagi disana.

"Gak enak kalok kursi ini yang wa gigit... Tangan lu-lah yang wa gigit... Lu kan dah kek Cina jugak..." katanya malah nambah mukul lenganku yang abis digigitnya tadi. Plak!

"Aduh, kak... Sakit tau!" kuelus-elus lagi lenganku. Ini orang mukul pake tenaga sekuatnya. Sabarlah untungnya awak ini. "Gak pulang koko itu, kak?" tanyaku. Pasti ini lagi masalahnya.

"Entahlah, Seng... Cantik kali wa rasa komputer di Singapur itu sampek dientotnya tiap malam..." kesalnya terus dan melipat tangannya di depan dadanya sambil melempar pandangannya ke jalanan. Jalanan malam ini sepi hanya ada beberapa kendaraan lewat di kegelapan malam. Lampu jalan berwarna jingga kekuningan memberi nuansa yang berbeda menerangi gelap jalanan aspal hitam. Kabut tipis yang dihasilkan pepohonan yang banyak tumbuh di tepian jalan sayup-sayup menghalangi lampu jalan di tajuk tertingginya. Belitan sabuk pengaman di dada kak Sandra membelah ditambah membusung akibat lipatan tangannya. Aku sudah sering liat ini karena sehari-harinya ia selalu begitu. Kurasa satu pabrik juga ikut menikmati pemandangan ini. Panlok-panlok jenis ini suka berpakaian yang provokatif dan cenderung terbuka.

"Lagi M keknya si kakak, nih..." kataku terus fokus ke jalan. Gak-lah pulak aku nengokin itu terus walopun memang besar juga itu bempernya. Lirik-lirik aja dikit. Dikiiit aja.

"Cobak-lah lu pikir... Wa ini kurangnya apa-hah? Wa cantik, kan? Wa selalu menjaga penampilan wa... Wa salon sana-sini supaya wa tetap cantik... Wa juga modalin usaha itu orang sampek sebesar sekarang-hah? Trus gara-gara masalah kecil saja dia gak pulang-pulang-hah? Itu orang gak ada otak memang..." semburnya malah ke aku. Dia duduk bersandar ke pintu mobil dan menghadap ke arahku hingga rok pendeknya mengarah padaku-terbuka dikit, walau gelap.

"Kak... o-kak... Kakak awak yang cantik... Orang itu lakik kakak-loh, kak... Kalok mau marah-marah... kakak marah sama ko Amek aja-lah, kak... Jangan ke awak... Awak ini apalah... Cuma remah-remah kuaci aja-nya awak, kan?" kataku paham dia maunya apa. Cuma mau curhat-nya kakak awak yang cantik ini. Malah udah sering kali dia curhat padaku. Sampe-sampe istrikupun jadi khawatir. Karena seringnya mulainya perselingkuhan itu dimulai dari curhat-curhatan kek gini.

"Dituduhnya wa yang mandul... Udah sering kami periksa... Sampek ke Penang kami bolak-balik... Kuajak program bayi tabung gak mau dia... Entah mungkin-pun dia yang mandul gak tau wa... Ntah-lah... payah cakap wa udah..." cetusnya melempar pandangan kembali ke luar jendela. Jadi kak Sandra sama ko Amek itu udah hampir 9 tahun menikah tapi masih belum dikaruniai anak. Yang namanya orang kaya dan banyak duit itu ikhtiar-nya beda sama kita-kita yang kere ini. Maenannya langsung dokter spesialis mahal, udah konsultasi macam-macam yang paling top di luar negri tapi masih belum kesampaian juga. Dari curhat-curhatnya, kak Sandra malah sudah coba cara ekstrim. Yaitu pejantan lain; alias lelaki bayaran. Tetapi tetap aja tidak berhasil. Dari situ mungkin dia sendiri yakin kalau ia memang mandul buktinya pria lain-pun tak bisa menghamilinya.

Kulirik dia yang masih bersandar di pintu tetapi memandang ke luar jendela. Kakinya masih seperti tadi. Sorotan lampu mobil yang berbelok dari satu persimpangan sekilas memberiku pemandangan isi dalam roknya. "Kak... kakinya dijagalah, kak... Ada laki-laki normal di sini-loh, kak..." kataku mengingatkannya. Dia tidak perduli dan tetap diposisi itu.

"Itu... Belok situ..." perintahnya menunjukkan kemana ia mau menuju. Loh... Itu, kan hotel tempat Pipit menginap. Aku menurutinya dan memasuki entrance hotel. Seorang petugas di depan menurunkan koper milik kak Sandra dari bagasi belakang lalu aku mencari tempat parkir yang kosong. Kususul dia lobby dan kutemukan ia menungguku di dekat counter resepsionis, sedang mengetik sesuatu di HP-nya. Ketika dilihatnya aku mendekat, ia langsung berjalan menuju lift. Aku mengekorinya.

"Gak pulang nih, kak?" tanyaku di dalam lift. Ia sudah menekan tombol lantai 6. Lembut lift membawa kami menuju lantai tujuan hingga pintu terbuka. Kak Sandra hanya menggeleng dengan diam dan keluar lift tanpa banyak bicara. Room boy sudah membukakan pintu dan memasukkan koper miliknya ke kamar dan diberi tip. Didorongnya aku memasuki kamar itu dan ditutupnya pintu.

"Kalo mau makan pesan room service aja... Wa mau mandi..." katanya tak memberi aku kesempatan apapun ini maksudnya. Begini ini kalo udah sama kak Sandra. Ia memang suka menang sendiri. Walopun aku ini secara struktural bawahannya tapi itu kan di kerjaan, kalo diluaran begini masak terus disamain juga. Nasib-nasib. Ya udah aku pasrah aja dan memeriksa isi kulkas kamar hotel ini dan mengambil minuman ringan. Kutarik satu kursi dan duduk mepet ke jendela kamar yang gordennya kubuka lebar-lebar. Pemandangan kota Medan malam hari terhampar di depanku. Kelap-kelip lampu tower provider telekomunikasi di beberapa titik. Di kejauhan ada kedip-kedip lampu pesawat yang akan mendarat. Siluet gedung-gedung yang ada di sekitar sini adalah gambaran malam yang sepi. Kamar hotel ini juga sepi.

Aku tidak mungkin meninggalkan kak Sandra sendirian disini. Entah apa yang akan dilakukannya nanti. Kemungkinan besar adalah ke pub hotel ini dan minum-minum sampe tenggen (mabok) dan dimanfaatkan pria-pria oportunis. Atau pula dia yang memanfaatkan mereka. Semuanya sama berbahaya dan aku tidak bisa membiarkannya melakukan itu semua. Kuharap dia hanya butuh teman curhat seperti biasa. Lalu pamit jam 12 nanti. Ini sudah jam 9 malam... 3 jam cukuplah kurasa. Kan ada janjian sama Pipit di hotel ini juga.

Ppt: bang Aseng sama siapa tu?

Aseng: sm bos ni Ppt liat dimana tadi?

Ppt: oooo bos cw y? ;p

Itu chatting singkatku dengan Pipit yang menunggu di kamar hotelnya. Ketepatan saat dia turun tadi, dia melihatku berjalan bersama kak Sandra memasuki lift. Udah dua kali ia memergokiku sedang bersama perempuan lain. Aku gak perlu membela diri padanya sama sekali kali ini karena aku tidak sedang melakukan apa-apa. Pipit hanya mau memberitau nomor kamarnya ternyata. Kuberitau kalau aku akan sangat terlambat. Dia paham.

"Lu gak pesan makan?" tiba-tiba kak Sandra sedang mengubek-ubek kopernya mencari sesuatu. Ia keluar hanya memakai piyama handuk hotel saja. Rambutnya dibungkus handuk. Posisinya yang menunduk membuatku bisa melihat sebagian besar dada kirinya yang tak terbungkus bra dari lipatan piyama yang kendor. Samar aku bisa ngeliat pentilnya. Dikit aja tapi.

"Udah kenyang awak, kak..." kataku hanya memperhatikannya tetap duduk di kursiku di dekat jendela.

"Kenyang liat tetek wa lu?" katanya menyadari apa yang kuliat dari tadi. Aku hanya tertawa dan ia pun tak kunjung memperbaiki piyamanya yang tak diikat ketat. Dia tetap menunduk mencari sesuatu di koper menghadap tepat ke arahku. Membangunkan macan tidur si kakak cantik. Bergoyang-goyang kala ia mengaduk isi kopernya.

"Kenapa gak pulang ke rumah sih, kak?" tanyaku. Mungkin begini ia mau lebih terbuka.

"Ngapain wa pulang ke rumah... Rumahnya kosong gitu... Paling juga sama bibik-bibik (ART) aja di rumah... Trus wa ngobrol sama bibik di rumah gitu...?" katanya telah menemukan yang dicarinya, beberapa potong pakaian. Trus dia balik lagi ke kamar mandi. Gak lama dia balik lagi. "Bagus wa ngobrol sama elu orang aja..."

"Kak... ngobrol itu ada kondisinya kak... Kakak enak ngobrol santai gitu... Lah awak... tegang yang ada, kak... Kakak pake bajunya kek gitu..." kataku jelas salah tingkah. Gimana gak salah tingkah cobak? Kak Sandra keluar kamar mandi masih dengan rambut dibungkus handuk lalu cuma pake mini dress pendek longgar tanpa bra dan juga celana dalam aja. Itu tetek gondal-gandul saat ia berjalan. Apalagi pentilnya ngecap dengan jelas di bahan kainnya.

Sandra


"Biasa aja deh lu... Wa juga gak bisa ngapa-ngapain... Wa lagi palang merah... Nih..." santai aja ia malah mencondongkan pinggangnya kedepan yang tebal disumpal pembalut. Lah kalo gak palang merah mau ngapain juga?

Dia lalu naik ke ranjang, menarik selimut dan menutupi kakinya sampai pinggang lalu bersandar di sandarannya. Itu tetek gede sama pentilnya masih tetap mengganggu pandanganku. Hadeeh. "Eh anak lu yang paling kecil dah gede dong?" tanyanya tak masalah. Cuek. Aku gak bisa cuek, kimak!

"Hampir sembilan bulan, kak..." jawabku mengantongi HP-ku dan duduk bersandar di kursiku. Lumayan jauh jarak kami. Ada sekitar sepuluh langkah di kamar yang lumayan besar ini. Lumayan untuk ngurangi ketajaman resolusi mataku.

"Enak lu pada ya... buat anak udah kek kelinci... Wa yang udah bertahun-tahun gak dikasih juga..." kembali ia pada kalimat pembuka terkenalnya. Ia pernah juga ngomong kek gini sama seorang staff cewek yang baru sebulan menikah dan langsung hamil. Tapi karena dia memang suka ngomong ceplas-ceplos tidak ada yang tersinggung dengan gaya bicaranya ini.

"Beda-beda rejekinya, kak... Kami dikasih rejekinya cepat... kakak agak lama..." jawabku standar lah.

"Wa suka palak liat anak-anak muda itu yang buatnya disemak-semak eh jadi... Wa yang buatnya mahal-mahal di Bahama... Hawaii... legal... Gak jadi bertahun-tahun... Dibuang pulak di semak-semak anaknya... Anji** gak tuh orang..." kesal sekali kak Sandra dengan berita-berita begitu. Engkau tak sendiri, kak. Dakupun demikian adanya.

"Lu tau gak tukang kusuk (pijat) yang bisa ngusuk (memijat) perut supaya peranakan wa kuat... Ada yang ngasih tau gitu sama wa waktu kemaren di Jakarta... Apalagi lu kan kenal banyak orang pintar gitu disini..." cerocosnya tak disangka. Kusuk peranakan itu bukan hal main-main. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melakukan itu, biasanya orang tua yang sudah tinggi jam terbangnya di bidang perpijatan. Dalam hal orang pintar, aku pernah mengenalkan orang pintar yang 'menjinakkan' salah satu mesin produksi kami yang berulah dan hampir memakan korban hingga harus diberi persembahan gitu. Seekor kerbau jantan harus dipotong dan kepalanya ditanam di pondasi mesin itu untuk membuatnya adem dan dagingnya dibagi-bagikan ke karyawan. Sejak itu tak ada masalah lagi di mesin tersebut. Itu semua harus dilakukan karena mesin itu termasuk vital fungsinya dan sudah mengeluarkan investasi yang besar untuk membelinya.

"Ng? Nanti awak tanya binik awak-lah kak... Gak pernah pulak kami kusuk-kusuk kek gitu... Kalo dukun patah tau awak, kak..." kataku memang gak ada channel ke hal begituan.

"Dukun patah untuk apa wa? Nyambungi hati wa yang lagi patah ini?... Hak hak hak hak..." tawanya terbahak-bahak. Persis kek orang mabok nih kak Sandra kalo ketawa kek gitu. Matanya cipit jadi tinggal segaris aja dengan tetek berguncang-guncang. Sempat-sempatnya aku liat matanya, orang itu cuma tinggal tetek aja semuanya. "Kalo cuma dukun patah gampanglah nyari di Medan sini... Udah betabur yang buat spanduk patah tulang gitu..." ingatnya pada beberapa aliran pengobatan patah tulang dari suku Karo yang terkenal di daerah ini.

"Siapa tau mau nyambung burungnya ko Amek yang kakak patahin... Kan bisa..." sambungku mencoba tetap menghiburnya. Tambah pecah tertawa kak Sandra. Kami tertawa-tawa sepanjang malam. Turun-naik pembicaraan kami. Kadang sedih-sedihan, serius, ngelucu lagi, terus paok-paokan (bodoh), ketawa-ketiwi, ngomongin pabrik, gosip murahan. Entahlah. Semua yang teringat kami obrolin. Karena lapar dia pun mesan makanan dan terus ngobrol sambil makan. Aku tetap menemaninya sampai hampir menjelang tengah malam.

"Udah ya, kak... Awak pulang... Kak Sandra abis ini tidur aja yang nyenyak... Jangan kelayapan... Awak udah ngasih foto kakak ke yang jaga pub itu... Jangan dikasih masuk orang di foto ini..." kataku memperingatkannya. Aku pernah dibuatnya repot harus membopongnya keluar dari pub abis mabuk berat. Lakiknya entah ada dimana saat itu. Aku menjelang pagi harus pontang-panting mengejarnya kesana.

"Kimbek-lah kao, Seng... Itu-itu aja-pun yang kau ingat..." katanya rupanya malu sambil memukul lenganku. "Iyaa... Tidur-lah wa ini... Besok da kerja lagi..." katanya mengantarku sampe pintu. Ia menutupi tubuh bagian bawahnya masih dengan selimut yang diseret-seretnya.

"Da-dah kakak Sandra..." kataku iseng melambaikan tangan.

"Da-da..." balasnya dengan menggoyangkan teteknya ke kanan-kiri. Itu dada betulan. Boing-boing! Aku kabur menuju lift. Ia tertawa-tawa di balik pintu.


-------------------------------------

Pipit


Pipit mengintip dari pintu yang juga dibukanya sedikit untuk melihat siapa yang mengetuk pintunya. Begitu diliatnya aku di depan pintu, dibukanya lebar dan aku masuk ke dalam. Kamar ini tidak sebesar kamar kak Sandra tadi karena ini cuma kamar regular. Pemandangan di jendelanya hampir sama karena ini di ketinggian lantai 4.

Disuguhinya aku sekaleng minuman ringan dan cemilan ringan. Kami terdiam beberapa saat duduk berhadapan di meja kecil di kamar ini. Suasananya jadi agak canggung sekarang karena hanya ada kami berdua di kamar ini. Tadi siang walau juga cuma berdua di kafe itu, tetapi itu masih di tempat umum hitungannya. Orang lain bisa masuk kapan saja. O-iya jangan lupa si khodam itu masih memelototi aku.

"Jadi..." suaranya pelan sekali membuka omongan. Aku terkesiap ingat kalau aku ada urusan disini. Bukan karena ngantuk ato apa. Aku hanya terbawa suasana tadi. Dari ketawa-ketiwi meriah lalu tiba-tiba sunyi senyap seperti ini.

"Jadi-jadi, Pit... Duh... Sori... Kaget awak jadinya... Pipit sih... maen diam-diam... awak jadi diam-diam juga..." aku malah jadi latah. Padahal aku gak latahan, kok. Gugup malah. Padahal aku kemari cuma mau nolongin si khodam yang terbelenggu ini aja kan? Bukan yang lain-lain. Bukan mau menghamili Pipit juga kek Aida dan Yuli. Bukan! Bukan itu.

"Pipit tadi gak... itu... foto-foto lagi, kan?" tanyaku hati-hati. Kupilih kata-kataku dengan hati-hati.

Ia tergelak dan langsung menutup mulutnya karena merasa lucu. Bisa kuasumsikan kalo dia gak mengabadikan momenku berdua dengan kak Sandra tadi sesaat sebelum masuk lift. Kalau iya-pun, pasti Pipit mau menghapusnya lagi seperti kejadian dengan Yuli kemaren.

"Gak loh, bang... Gak Pipit foto tadi... Tapi Pipit kaget loh sampe dua kali nemuin abang di momen begitu... Abang Aseng nakal, ya?" katanya setelah selesai tertawa. Tapi ia masih senyum-senyum. Setidaknya kecanggungan antara kami lebih cair sekarang, dia bisa tertawa.

"Itu tadi bos awak di pabrik, Pit... Baru balik dari Jakarta... Mau diantar pulang dianya gak mau... Malah maunya belok ke hotel ini juga... Awak temanilah ngobrol-ngobrol... Curhat dia... Banyak jugak masalahnya... Mirip-mirip jugak sama Pipit sedikit..." kataku gak terlalu berharap dia mau mengerti bongak-ku (bualan). Tapi dia manggut-manggut paham.

"Bang Aseng dah kayak konsultan gitu-yah... Banyak pasiennya..." katanya malah menyimpulkan begitu. Kalo bisa dibilang pasien, memang pasien-lah mereka semua ini. Awak cuma jadi tukang donornya aja. Yang periksa awak, yang ngobatin awak, yang jadi babak belur ya awak jugak. Ia tertawa kecil lagi sambil menutup mulutnya dengan manis. Binik orang ini memang-lah manis cantik gitu. Ini penyakitnya. Cemana gak jadi penyakit? Berduaan di kamar hotel dengan binik orang yang cantik, apa gak carik penyakit namanya, Seng?

"Jadi abang Aseng gak pake menyan-menyan gitu?" tanya Pipit kepo karena aku gak bawa peralatan tempur apa-apa. Tangan kosong aja alias mokondo.

"Iduplah nanti alarm kebakaran hotel ini kubuat kalok pakek bakar menyan, Pit... Gak-lah... Mana ada aku pake menyan-menyan gitu... Syirik itu... Marah Tuhan masuk neraka aku nanti..." kataku memutar-mutar bola mataku jenaka mencoba lebih mencairkan suasana yang semakin akrab. Kembali ia tertawa, kali ini lebih lepas dan tak ditutupi mulutnya. Tertawanya ternyata lucu karena keras dan ngebass. Mantan laki apa ya ini cewek? Yang menarik perhatian malah dadanya yang sedikit berguncang kala bahunya naik kala tertawa.

"Tau gak kalo bahasa Padang-nya tertawa itu galak... Jadi Pipit galak... Pipit tertawa..." kataku dengan banyolan garing. Aku sendiri yang malah tertawa. Pipit tertawa karena mentertawakanku. Jadinya kami saling mentertawakan. Mentertawakan tragedi ini. Tragedi apa? Tragedi Aseng junior yang tak mendapat jatah malam ini karena harus berada di kamar hotel ini sambil ngetawain nasib ngenes ini. Yang seharusnya bisa enak-enakan di rumah Yuli. Menikmati apem mlenuk yang paling juara se-gang. Aah... Enaknya. Harusnya.

Kami berdua membersihkan sisa air mata yang keluar karena tertawa-tawa tadi. Sisa tawa memudar dan kurasa sudah waktunya untukku bekerja. Tugasku kali ini adalah membantu sang khodam lepas dari belenggunya. Entah apa yang akan menungguku di sana tapi setidaknya aku sudah bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Yang baik ataupun yang buruk sekalipun.

Aku berdiri dan memberi tanda pada Pipit untuk tetap duduk saja karena aku mendekat pada sisi kirinya. Tanganku mengacung untuk menggapai sang khodam yang berbentuk kakek-kakek ini. Menggapai ke atas untuk menyentuh ujung akar itu. Segera kemudian aku tersedot masuk dengan cepat memasuki sebuah alam di dimensi lain yang merupakan teritorial seseorang. Daerah kekuasaan siapa gerangan ini?

Padang savana luas dengan rumput-rumput meranggas coklat adalah pemandangan yang kini kutemui. Khodam itu masih kupegangi bagian keningnya. Ia tetap melayang di udara tetapi perbedaannya sekarang adalah aku bisa melihat kelanjutan awal mula akar tebal belenggu tubuhnya. Sebelumnya awal akar itu tidak terlihat. Ternyata ada rangkaian akar-akar tebal yang menggurita di permukaan tanah padang savana ini. Akar-akar itu menopang sebuah pohon yang tidak terlalu besar tak jauh di belakangku. Pohon itu sejenis pohon beringin yang memang memiliki cakupan akar yang luas. Tingginya hanya sekitar dua meter dan daunnya belum terlalu lebat seperti seharusnya.

Tunggu dulu. Beringin tidak seharusnya tumbuh di tempat seperti ini. Biasanya tumbuh di tempat dengan banyak kandungan air bersama pohon-pohon lain. Padang savana ini pastinya miskin air karena mengandalkan suplai air dari hujan yang jarang. Ini ada dua kemungkinan, entah pohonnya yang salah pilih tempat tumbuh atau tempatnya yang salah. Beda loh artinya. Ini masalah dimensi ya. Pertama pohon ini seharusnya tidak ada di sini. Yang bisa tumbuh di savana ini hanya jenis rumput dan semak tertentu. Yang kedua adalah lingkungannya yang salah. Lingkungan ini sedemikian berubah atau dirubah sehingga pohon beringin ini tidak bisa tumbuh semestinya. Bingung? Sama.

Setelah kuhampiri pohon ini, ternyata ia tumbuh cukup sehat dan kuat, batangnya kokoh dengan kulit yang beralur tegas, cabang dan rantingnya tumbuh dengan wajar. Pertumbuhannya juga bagus sesuai dengan umurnya. Tingginya sudah mencapai dua meter yang menandakan bahwa pohon beringin ini masih muda. Yang tidak wajar adalah akarnya. Bentuk liar menggurita akar ini seharusnya dimiliki oleh pohon yang sudah berusia ratusan tahun. Menjalar jauh kemana-mana. Apa untuk mencari kurangnya air?

Mencari dan mencari dan malah menangkap khodam kakek-kakek itu di sana. Membelenggu dan menghisapnya! Apa khodam itu menjadi sumber makanannya yang kurang didapat dari lingkungannya? Weit e minit.

Pohon ini adalah sentral dari dimensi ini. Ini pusatnya. "Eits!" kagetku. Aku mendapat kilasan statis memori ketika kucoba sentuh batang pohon ini. Coba disentuh lagi. Aku dapat merasakan bahkan melihatnya. Ini adalah kumpulan memori seseorang yang kukenal. Ini adalah memori Pipit!

Ternyata ini adalah dimensi milik Pipit. Secara tidak sadar ia telah menjadi seorang Menggala Suba karena memiliki khodam yang selalu mengikutinya. (Ingat penjelasan tentang tata cara menjadi seorang Menggala di post sebelumnya) Semua yang sudah pernah diceritakannya padaku dapat kulihat jelas kembali melalui ingatannya langsung. Dari masa kecil, remaja hingga dewasa sekarang. Masa bermainnya, pacaran, kehilangan perawan, hamil, menikah, cerai, bertengkar, kabur, bekerja, menikah kembali, sakit dan mendambakan anak. Bahkan aku bisa merasakan pedihnya.

Kutarik paksa untuk menghentikan banjir informasi dari memori Pipit hanya dengan sentuhan tanganku. Semacam lendir lengket membuat rekatan yang cukup kuat tadi. Kakek khodam terikat di sana oleh akar besar ini. Jaraknya tidak jauh. Hanya berjarak lima meter. Aku memeriksa awalan akar besar yang membelenggu kakek khodam. Akar-akar lain pasti mencari sumber makanan. Kutelusuri akar lainnya dan kutemukan sesuatu yang mengejutkan. Akar itu juga ternyata membelenggu mahluk astral lain. Berupa mahluk bertubuh besar, berbulu lebat, berkulit kemerahan, bermuka serem dengan beberapa taring menonjol, yang sering disebut sebagai genderuwo. Tubuhnya juga dibelenggu sama persis seperti kakek khodam. Ia hanya bisa melotot memandang padaku dengan ekspresi sama seperti kakek khodam minta tolong. Tubuhnya kini kurus. Ada apa ini?

Jarak genderuwo ini jauh sekitar 25 meter dan pohon beringin itu tumbuh di puncak semacam gundukan tanah savana yang paling tinggi; yang merupakan pusat sentral semua dimensi ini. Dari sini aku bisa melihat beberapa hal lain yang dibelenggu akar-akar ini. Ada sejenis kuntilanak kurus berwajah gosong, kera ceking berbulu merah, genderuwo kurus lainnya dan kerangka manusia kerdil semacam tuyul yang kutenggarai sudah habis dihisap oleh pohon beringin. Kuperiksa semuanya.

Kalo begini ceritanya, namanya gak jelas nih. Aku belum pernah pulak nemuin kasus pelik kek gini. Diantara semua ini, yang mana satu sebenarnya mahluk media Suba milik Pipit? Sekarang aku malah jadi tidak yakin kalau kakek khodam itu adalah yang sebenarnya. Apa malah salah satu dari sekian banyak mahluk astral ini? Tapi yang mana? Kalau kutanya satu-satu, pastinya mereka akan mengaku-aku kalau dialah yang kucari. Mahluk seperti mereka ini tidak bisa dan tak boleh dipercayai. Sesat jadinya.

Rencanaku yang akan membebaskan kakek khodam batal sudah. Dari sekian banyak mahluk astral yang memasuki dimensi ini, tujuannya hanya satu. Menyerang Pipit. Mereka ini pastinya suruhan dari beberapa individu yang bertujuan mencelakai Pipit. Bisa dari orang yang sama atau beda orang atau bahkan beda motif. Pusing gak? Pusing-lah pala berbie.

Eh! Kok paok kali kao, Seng? Kan sudah jelas jawabannya! Pohon itu-lah media Suba Pipit yang sebenarnya. Ia menangkap semua penyerang gelap yang bermaksud mencelakai Pipit. Tidak langsung dihancurkan tetapi malah dimanfaatkan untuk menjadi energi. Karena kesemua mahluk astral ini bertujuan jahat, tujuan jahat mereka malah terkonversi menjadi penyakit yang terkumpul menjadi wujud kista yang mengganggu peranakannya. Menghalanginya untuk memiliki anak karena rahimnya terganggu. Karena pohon adalah mahluk vegetatif yang tentunya tak berakal, dia hanya tau itu adalah energi gratis yang dapat digunakan, tak perduli ia bagus atau jahat.

-----------------------------------------
"Pohon beringin pelindung Pipit di hadapanku... berikan saya sebuah pencerahan... informasi... Apa tujuan hidupmu?" tanyaku langsung pada sang pohon yang akarnya melindungi Pipit. Aku duduk bersila selagi melakukan komunikasi ini. Tapak tanganku menempel dibatasi sehelai daun keladi berukuran sedang yang sengaja kubawa.

"Kau sudah datang... Cino?" jawabnya. Benar, kan? Pohon yang bersuara ngebass ini yang menulis di cermin berembun itu. Bukan kakek khodam. Hanya karena dia yang paling dekat dengan Pipit, hanya kakek itu yang dapat terlihat jelas. "Tujuanku hanya melindungi anak manusia ini dari banyaknya gangguan... Cino tau anak manusia ini sangat bermasalah hidupnya... Setidaknya aku tidak akan membiarkan mereka menambah masalah lagi..." mereka maksudnya adalah mahluk-mahluk astral itu.

"Tapi karenanya malah Pipit mendapat penyakit akibat energi tidak baik mereka bukan?" kataku mencoba membuka argumen.

"Setidaknya itu akan menjadi ujian buatnya... agar tetap menjauhi masalah..." cerdas sekali jawabannya ternyata. Ternyata dia jauh dari kata vegetatif. Pikirannya malah visioner. Kalo di dunia nyata mungkin dia bisa jadi Komisaris BUMN. Halaah! "Mereka ini sudah terputus hubungannya dari pemiliknya karena jangkauan mereka terputus oleh air asin..."

Air asin? Oo... Rupanya ilmu dukun-dukun atau siapa-lah yang mengirim ilmu hitam ini terputus karena sang target sudah menyebrangi pulau. Pipit yang berasal dari Jawa dan menyeberang ke Sumatera sebenarnya sudah aman dari serangan ilmu hitam ini karena ilmu itu ternyata masih cetek yang gak bisa nyebrang pulau. Tetapi karena para mahluk astral yang sudah kadung terbelenggu oleh pohon beringin tetap dibawa-bawa sampai ke Medan sini. Begitu rupanya.

"Jadi selama ini yang membisikinya itu bukanlah kamu, pohon beringin?" tanyaku penasaran. Apakah salah satu dari mahluk astral ini?

"Benar sekali, Cino... Dia yang selalu membisiki anak manusia ini... Bisikannya terdengar baik tetapi sebenarnya menyesatkan... Waktu itu aku masih kecil dan tak sanggup membelenggunya... Yang pertama sekali berhasil kutangkap adalah tuyul-tuyul kecil dan kuhisap habis sehingga kekuatanku bertambah... Dan akhirnya aku berhasil menangkapnya..." jelasnya. Ia menunjuk si kakek khodam. Pasti seru sekali proses penangkapan semua mahluk astral pengganggu saat itu. Tapi pastinya saat itu terjadi terjadi juga guncangan-guncangan supranatural pada Pipit.

"Jadi apa yang bisa kubantu, pohon beringin? Sepertinya kamu bisa sebenarnya mengatasi ini semua..." tanyaku. Untuk ini aku datang ke dimensi ini. Daerah kekuasaan Pipit.

"Ada gangguan di dasar akarku... Kemungkinan besar disanalah juga semua akar penyakit yang diderita anak manusia ini... Aku tidak bisa menjangkau kesana terkecuali membahayakan diriku sendiri..." jelasnya gamblang. Disana rupanya. Saat ku menunduk terasa hangat samar-samar dari bagian bawah pohon beringin ini.

"Akan kucoba... Permisi..." kataku lalu melepas koneksi komunikasi kami. Aku yang menggunakan senjata daun empat penjuru angin, bisa berkomunikasi dengan sesama tumbuhan. Ini adalah salah satu kelebihanku yang sudah menguasai jurus Gugur Glugur. Aku lalu mengeluarkan salah satu bekal daun yang kubawa bakal senjata. Sehelai daun kaku panjang berwarna hijau tua dan kuning dengan bintik-bintik bergaris bernama tanaman Lidah Mertua. Aku mendapat ini di taman depan hotel. Secara bentuk ini akan menjadi pedang yang handal karena ketebalannya.

KROSAAKK!!

Kutusukkan pedang Selatan tebal ini ke dasar akar pohon beringin dengan penuh kehati-hatian agar tidak melukai akar pohon beringin. Terasa menyentuh sesuatu yang lembek dan berair. Tembus tertusuk. Bau anyir segera menyeruak menusuk hidung. Baunya seperti darah busuk dari bangkai yang sudah terpendam lama. Kutusuk lagi berulang-ulang untuk membuat beberapa lubang agar seluruh isinya bisa keluar. Benar saja tak lama ada lumeran cairan serupa darah kental menggelegak mendesak keluar dari dasar akar pohon beringin. Pohon yang vegetatif ini terdiam saja. Ada getaran-getaran kecil sebenarnya yang terjadi di sekitarku. Kuperhatikan terus aliran darah busuk itu. Baunya menusuk hidung. Tapi harus tahan. Swiisshhh!!

Blak! Tangkis dan lompat mundur menjauh.

Sebuah akar berukuran besar putus oleh tebasan bertahanku barusan.

"Kau..."

"Tidak perlu gusar begitu, Siluman... Aku ini bukan anak kemaren sore yang bisa kau tipu-tipu..." menanggapi kegusaran pohon beringin itu. Apa yang terjadi? Ini intrik yang terjadi yang sudah berumur setua bumi ini. Tipu daya. Menyaru sebagai kebaikan padahal sejatinya kejahatan.

Beringin itu kemudian mulai bergerak secara mencengangkan. Pernah liat pohon berjalan? Kek film Lords of the Ring? Di cerita itu, pohonnya berukuran besar. Disini ia berukuran kecil saja tetapi akarnya sangat luar biasa masif. Ia menarik semua akar-akarnya yang seperti menjalar tak menentu lalu menjulang tinggi serupa tiang listrik. Beberapa mahluk astral yang masih dibelenggunya, masih terus dibawa-bawanya. Ia menyatukan akar-akar dengan saling belit menjadi sepasang kaki yang besar. Tubuhnya masih berupa sebatang pohon beringin kecil yang pada selangkangannya akarnya masih menetes darah busuk yang sudah kutusuk-tusuk.

"Nah... Gitu-lah... Maen terang-terangan aja kita..." kataku mendongak. Padahal ngemop (gertak) aja-nya ini. Ini udah kek pertarungan Daud melawan Goliath kurasa. Awak yang seukuran manusia normal melawan siluman pohon beringin setinggi 5 meter.

"Bagaimana kau tau aku ini siluman?" tanyanya masih gusar. Penyamarannya bertahun-tahun terbongkar.

"Ah... geleng (mudah)-nya itu... Kalau kau jadi pohon... jadi pohonlah yang betol... Mana ada pohon bisa nulis-nulis di kaca... Kou kira paok kali aku, kan? Kau yang lebih paok lagi..." kataku mengulur waktu memancing emosinya. Aku bergeser pelan-pelan ke kanan. Ia bergerak ke kiri. Bagus. Dia sudah melepaskan Pipit di dasar lubang berdarah busuk itu. Biar begitu saja dulu tapi sementara ini dia aman walau berlumuran darah gelap nan busuk. Tubuhnya tergolek lemah.

"Waktu kau jadi manusia... kau pasti bejad kali sampek kenak penyakit kotor itu, kan?" usikku. Tebakanku kalok nggak raja singa ya herpes. Yah! Dia marah. Pakek ngentak-ngentak kaki kek bocah gak dikasih beli balon. "Untung-lah kau milih jadi siluman... jadi gak ada perempuan yang ketularan kau..." tambahku memanas-manasin kompor mledug. Walau tertawa-tawa, pedang Selatan jelmaan daun tanaman Lidah Mertua tetap kupegang erat siap digunakan.

"UWAAARRRHHH!!!" amuk siluman beringin itu mengangkat kakinya terpancing emosi. Hentakan kakinya yang besar menghantam bumi dengan keras. Untung aku melompat sebelum hantaman terjadi. Selagi melompat kucoba memapas kaki akarnya. BLAK! Keras kali, mak! Mungkin-mungkin kalau pake pedang daun pisang Cloud Strife kemaren-pun belum tentu putus. Aku bergulingan menjauh dan ia mengejarku.

Berkali-kali kemudian menghujaniku dengan hentakan kaki lagi. Ia sepertinya bernafsu untuk melumatkan tubuhku dengan gencetan kaki raksasanya. Aku hanya menjauh dan sekali-kali menangkis dengan pedang daun Lidah Mertua. Saat sudah cukup dalam jarak aman, kupanggil bantuan. Ini akan menyeimbangkan skor.

"Aku memanggilmu... Temanku Pandapotan Samuel Hutagalung anak Efraim Mangatas Hutagalung..." setelah sebelumnya mengerahkan Lini pemanggilan secukupnya. Memanggil bantuan sekaliber Kojek akan memakan banyak tenaga Lini.

"Yoo, lae? Kou panggil pulak aku tengah malam kek gini? Orang lagi enak-enak tidur..." gerutu teman seperjuanganku.

"Ah... Nanti aja-lah komplennya... Cak kou tengoklah itu... Lae-lah lawannya yang paling pas..." tunjukku padaku siluman pohon beringin setinggi 5 meter yang menyadari kalau lawannya kini ada dua. "Besar, kan?"

"U-WOW!... Siluman pohon beringin!... Langka kali lawan kek gini, Seng... Udah lama aku gak olah raga-ah... Pemanasan dulu kita, ya?" ternyata Kojek cepat antusias melihat calon lawannya. "Gak kou panggil sekalian si Iyon? Biar kita rame-ramekan dia...". Ia membuka singlet putih yang jadi pakaian tidurnya tadi tapi tidak dengan celana pendeknya. Kojek selalu membuka bajunya kalau sedang serius mau berkelahi. Badannya memang kurus ceking lagi hitam mengkilat, tetapi soal tenaga dia selalu menjadi andalan kami.

"Gak cukup tenagaku, Jek... Kalok kou mau... kao aja-lah yang manggil..." usulku. Aku harus menghemat tenaga. Aku sudah menggunakan setengah kekuatanku. Harus hemat-hemat.

"Gak usahlah... Keknya dia masih kerja jam segini... Aku aja-pun dah cukup kurasa..." katanya. Kojek lalu menyiapkan jurus andalannya. Mengerahkan aliran lini ke satu titik di tubuhnya. Di punggung hitamnya muncul semacam tato timbul bergambar babi hutan dengan taring melengkung panjang. Kedua tangan Kojek meniru posisi taring itu. "HORTUK! (taring babi hutan) HEAAAAAHHHH!!" tiba-tiba Kojek melesat maju dengan posisi menunduk. Kala berlari kedua tangannya menggaruk tanah bak traktor. Tanah porak-poranda dengan cepat dan garukan itu menghantam kaki kanan raksasa siluman pohon beringin.

Tubuh siluman itu limbung karena kaki yang barusan dihantam Kojek patah dengan telak. Bak dihantam traktor gila. Suara berdebum membahana seolah pohon yang barusan ditebang. Siluman pohon beringin berusaha bangkit. Kojek meneriakkan nama "BABIAT BALEMUN" (harimau besar, ganas) itu pertanda ia memunculkan tato timbul bergambar harimau di sekujur tangan kanannya. Serta merta ia mencabik-cabik sisa kaki kanan siluman pohon beringin. Terdengar auman Kojek kala ia melakukan kegilaannya. Kami tak pernah mau dekat-dekat kalau ia sudah mengeluarkan Babiat Balemun karena ia seakan mengeluarkan semua amarah yang selalu dipendamnya. Bak harimau mengamuk, ia menghancurkan lawan dengan cakar tangannya. Habis berderai-derai kaki kanan lawan dibuatnya tanpa ampun. Serpihan kaki yang terdiri dari jalinan banyak akar berserakan.

Kaki kiri yang masih utuh mencoba membalas perbuatan Kojek yang menggila. Ia akan menggencet Kojek yang sangat dekat dengan tubuhnya. Tetapi Kojek dengan mudah menghindarinya bak seekor monyet yang lincah. Ia malah melompat dan nemplok di bagian tulang kering kiri siluman pohon beringin itu bermaksud akan mencabiknya juga. Tak pikir panjang siluman pohon beringin menghentakkan kakinya agar getarannya menjatuhkan lawan. Kojek terjatuh karena pegangannya terlepas akibat getaran yang lebih mirip goncangan pada skala manusia normal. Lawan jatuh, ia bermaksud menggencet Kojek yang mendarat di tanah.

BROOKKK!!

Suara rengkahan tanah terdengar sangat memilukan. Kojek ditindihnya dengan kaki kirinya yang masih utuh. Tapi aku sempat mendengar Kojek mengucapkan "NABIRONG!" Birong itu bahasa Batak untuk hitam. Untuk apa dia mengumpat si-hitam? Kulitnya pun hitam jugak-nya?

Kaki kiri siluman pohon beringin yang cukup besar itu kemudian membelah dua untuk menggantikan kaki kanannya yang sudah hancur. Kini siluman itu sudah memiliki dua kaki lagi dan bisa berdiri tegak. Dibekas pijakannya tadi ada tubuh hitam Kojek yang sudah digencet. Tubuhnya utuh tetapi membuat lekukan indentasi persis tubuhnya di tanah keras. Perlu kalian ketahui kala memakai jurus Nabirong ini, tubuh Kojek akan keras seperti baja hitam. Satria baja hitam, dong? Hehehe... Siluman pohon beringin yang tak menyadari ini mundur untuk mencariku yang menjauh. Apa yang kulakukan? Malah membiarkan Kojek bertarung sendirian padahal ini urusanku, kan? Bukan lae... Aku sengaja melakukan ini untuk menyelamatkan tujuan utamaku di daerah kekuasaan seseorang ini. Tentu saja menyelamatkan Pipit.

Aku baru saja mengeluarkan tubuh Pipit dari genangan darah busuk di lubang bekas berkubangnya bersama pohon beringin tadi. Genangan itu berubah menjadi berwarna kecoklatan pekat. Baunya minta ampun busuk. Kuseret ia sejauh mungkin dari lubang terkutuk di tempat tertinggi daerah ini. Dengan begini, Pipit sepenuhnya sudah sembuh dari penyakit yang dideritanya akibat akumulasi berbagai energi negatif yang terkumpul akibat ulah si siluman pohon beringin yang memerangkap banyak mahluk astral dari golongan hitam.

Sepasang kaki siluman pohon beringin itu kini lebih ramping karena sebenarnya satu kaki yang dibagi dua. Tetapi hasilnya ia bisa berlari dengan kencang menyusulku. "NABALGA!" Siluman itu terhenti di tengah prosesi pengejarannya karena ditahan sesuatu. Sepasang tangan besar menahan kedua kaki siluman yang sangat besar dan berbahaya itu. Tangan besar? Balga itu bahasa Batak untuk besar. Sudah selesai. Siluman pohon beringin itu sudah selesai. Kojek membesarkan tubuhnya bahkan lebih besar dari si siluman yang setinggi 5 meter. Tubuh jangkung kurusnya kini sudah setinggi 8 meteran. Dipatah-patahkannya kedua kaki siluman yang terbuat dari jalinan akar-akar beringin seperti mematahkan ranting tak berarti saja. Menyisakan tubuh berupa batang pohon beringin kecil setinggi 2 meter.

"PARBEGU!"

Ini dia puncak kekuatan Kojek. Tapi untuk apa ia melakukan itu? Siluman itu pastinya tak bisa berkutik lagi. Kojek pasti sudah gatal untuk kembali menggunakan ini kala menemukan lawan yang tepat. Tapi tepatkah? Bukannya siluman itu sudah tidak berdaya? Jangan lupa, siluman pohon beringin itu masih membelengu beberapa mahluk astral sebagai sumber energinya. Ternyata untuk itu Kojek menggunakan Parbegu. Begu adalah bahasa Batak untuk setan atau hantu. Kojek jadi hantu? Lebih mengerikan dari itu. Dia jadi pemakan hantu!

Wajah Kojek yang seram kek gembong preman penguasa jalan Sekip jadi lebih seram dari sebelumnya. Matanya merah, kulit hitamnya memerah, muncul taring panjang di keempat sudut mulutnya. Mulutnya kemudian terbuka lebar dengan mencengangkan. Lebar tak wajar! Ia melakukan gerakan menghisap. Menghisap semua lawan yang ada di depannya. Jadi yang pertama ditelannya adalah semua mahluk astral yang dibelenggu siluman pohon beringin dengan akarnya, kemudian menyusul beringin itu. Kakek tua, genderuwo, kuntilanak, siluman monyet, pocong, semuanya disedot abis. Kojek dengan jenaka tak pantas yang mengerikan, sendawa. "ERRGGHH!!"

Temanku itu lalu kembali ke wujud semulanya, pria kurus jangkung berkulit hitam dengan rambut kriwil nanggung. Dia cengengesan mengusap-usap perutnya yang katanya kenyang setelah melakukan jurus mengerikan itu.

"Kurang andaliman (bumbu khas suku Tapanuli) tadi kek-nya..." jenaka temanku ini masih mengusap perutnya yang kerempeng. Mulutnya berdecap-decap.

"Ah... Gak ada kenyang-kenyangnya kao... Gak-lah bisa gemuk jugak kao, Jek makan banyak-pun... Ntah udah hapa-hapa aja yang udah kao makan selama ini... Gelik pulak aku dekat sama kao... Kao jilat pulak nanti aku... Hi-ih..." geli aku membayangkan harus memakan mahluk-mahluk astral kek tadi. Tapi itu pulak ilmu yang dikuasai temanku ini. Apa mau kubilang?

"Ah... Karna cewek-nya pulak rupanya..." pungkas Kojek setelah melihat sosok Pipit yang berangsur-angsur membaik tubuh spiritualnya. Sisa darah busuk tadi tinggal sedikit di tubuhnya. "Tapi cantik pulak... Dapat aja ya kao...?" lanjutnya setelah ia lebih dekat. "Tau-nya si boru Jawa orang rumah (binik)-mu?" tanyanya perihal istriku. Tentunya Kojek kenal betul dengannya.

"Hmm... Gak-lah, Jek... Ini kerjaan sampinganku-nya... Jangan ember kao, ya kalo jumpa binik-ku... Rahasia top secret ini..." kataku membersihkan sisa-sisa darah kotor yang tersisa di bagian betis Pipit. Pipit selama ini dalam keadaan tidak tau apa-apa karena sisi spiritualnya tidak memiliki pengalaman karena ia menjadi Menggala Suba yang memiliki daerah kekuasaan berupa padang savana ini secara tidak sengaja. Entah bagaimana statusnya nanti setelah tadi siluman pohon beringin yang memanfaatkannya selama ini sudah ditelan Kojek. Secara teori media Menggala Suba-nya telah musnah. Berhenti menjadi Menggala?

"WANI PIRO?" tereak Kojek malah memerasku. Gak pantas kali kao ngomong Jawa, kimak!

"Kimbek kao, ya!" makiku yang dibalas dengannya tertawa-tawa kek orang nyedot kecubung satu ladang.


-------------------------------------------------
"Apa tadi itu, bang?" tanya Pipit yang kebingungan. Tentu saja ia bisa melihat semua kejadian ganjil barusan di padang savana yang merupakan daerah kekuasaannya. Ia bisa melihat tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Itu hal wajar bagi Menggala Suba pemula. Seiring waktu akan semakin menguasai.

"Gak usah dipikirin, Pit... Lupain aja... Yang penting... Pipit udah sembuh... Dah itu yang penting..." kataku mencoba meyakinkannya. Diliriknya jam tangan mungil di pergelangan tangan kirinya. Waktu tidak ada perubahan sama sekali. Ini masih sama persis seperti aku memulai tadi.

"Tapi Pipit harus tau, bang... Apa yang terjadi pada Pipit sebenarnya..." desaknya penasaran.

Aku menarik nafas panjang dulu. "Kalo mau diceritain rumit, Pit... Itu tadi alam spiritual... Jangan ditanya lebih jauh... Cukup segitu aja... karena Pipit gak bakal balik kesana lagi... Penyakit yang Pipit derita adalah akumulasi dari tipu daya dari golongan jin dan manusia... Entah kapan masuknya satu siluman yang berpura-pura menjadi pelindung untuk melakukan rencana jangka panjangnya... Pipit yang punya banyak masalah dengan orang... mengundang begitu banyak kekuatan jahat yang menyerang... Siluman penipu tadi menangkap semua penyerang tadi untuk kepentingannya sendiri... Seperti yang awak bilang tadi... semuanya malah berakumulasi menjadi penyakit yang Pipit alami... Intinya... Mereka-mereka itu tidak bisa dipercaya... Selalu ada agenda tersembunyi dibalik kebaikan yang mereka tunjukkan..." jelasku panjang lebar.

Keningnya berkerut-kerut mencoba memahami dan mencerna penjelasanku barusan. Tentu saja tadi itu semua adalah garis besar saja tapi karena Pipit yang menjalani itu semua pastinya ia lebih paham. Lalu ia menanyakan beberapa hal seperti apakah ada orang yang mengirim semacam guna-guna, sihir, santet dan semacamnya. Kujawab banyak. Buktinya ada banyak mahluk astral yang ditangkap siluman pohon beringin di perangkap akarnya. Tapi tidak perlu kuberitau siapa-siapa saja. Tentu akan ada balasan tersendiri bagi pelakunya.

"Trus... Mm... Gini... Pipit malu nyeritainnya... Jadi... ini yang terakhir mau Pipit tanya... Kenapa Pipit sering mimpi... ML sama bang Aseng, ya?" tanya Pipit shy-shy cat. GUBRAK!
 
Terakhir diubah:
Mantap sekali suhu, seperti biasanya adegan menggala pendekar kita ini sangar habis..sambil ketawa mbaca adegan duelnya, itu daun lidah mertua bisa dibuat jadi pedang..
Terimakasih super updatenya suhu..
:ampun: :ampun::ampun:
 
Thanks upnya hu,,
Oh iya sekalian dong agendain lanjutin satria hu, kangen nih ama para wanitanya,, udah kerja pasti klo lanjutin haha, tapi ane request mulai dari kuliah aja deh hu, sama pelatihannya,,, karakter cewe yg ane paling suka si nining, pas ceritanya pun paling berasa,,, ama satu lagi dunia mytral semoga satria bisa kesono lagi, guiness off record 8k gangbang terbesar, hahaha
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd